Robot Sphero Bolt Dirancang untuk Memberikan Pengalaman Belajar dan Bermain yang Amat Bervariasi

Produsen robot mainan Sphero kembali membuktikan bahwa fokus utama mereka adalah menciptakan produk yang mendidik, bukan sebatas untuk keren-kerenan saja seperti miniatur BB–8 maupun Spider-Man. Usai meluncurkan Sphero Mini tahun lalu, tahun ini mereka memperkenalkan Sphero Bolt yang bahkan mengemas filosofi STEM (science, technology, engineering, math) yang lebih mendalam lagi.

Bolt masih berwujud bola, sama seperti Sphero orisinil. Perbedaan yang langsung kelihatan adalah sebuah LED matrix dengan layout 8 x 8 yang dapat diprogram untuk beragam kebutuhan, mulai dari sesederhana menampilkan emoticon senyum, sampai menampilkan data secara real-time.

Sphero Bolt

Komponen baru lain yang diusung Bolt adalah empat buah sensor infra-merah, yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan unit Bolt lain. Sphero bilang bahwa hingga lima unit Bolt sekaligus dapat berbicara satu sama lain dalam radius lima meter, dan ini merupakan pertama kalinya ada robot Sphero yang dapat saling berkomunikasi.

Sensor ambient light turut disematkan agar Bolt bisa diprogram berdasarkan kondisi pencahayaan di sekitarnya. Semua tahap coding ini berlangsung melalui aplikasi Sphero Edu yang memadukan bahasa pemrograman JavaScript dengan Scratch Blocks yang lebih visual.

Sphero Bolt

Ekosistem Apple turut didukung melalui kompatibilitas dengan Swift Playgrounds, dan kalau memang sudah bosan coding, Bolt tetap bisa dipakai untuk sekadar bersenang-senang dengan bantuan aplikasi Sphero Play. Juga telah disempurnakan adalah baterainya, yang kini bisa tahan sampai sekitar dua jam pemakaian.

Saat ini Sphero Bolt sudah dipasarkan dengan harga $150. Ia memang tidak seekonomis Sphero Mini (yang memang dirancang untuk menjangkau lebih banyak kalangan konsumen), akan tetapi kapabilitasnya memang jauh lebih banyak berkat kehadiran sederet sensor barunya.

Sumber: TechCrunch dan The Verge.

Temi Ialah Robot Telepresence Pintar yang Memahami Perintah Suara Anda

Selain untuk kebutuhan industri, pengembangan teknologi robotik untuk keperluan telepresence sudah lama dilakukan. Sederhananya, telepresence adalah satu set teknologi yang bisa mewakilkan keberadaan seseorang di tempat tertentu. Namun hingga sekarang, pemanfaatan robot telepresence belum populer karena mahal dan pengoperasiannya kurang praktis.

Keterbatasan ini yang mendorong startup Roboteam asal Tel Aviv menggarap Temi. Temi merupan robot personal serbaguna, dapat dimanfaatkan sebagai asisten personal, pusat hiburan, hingga dijadikan fotografer sekaligus disc jockey pribadi. Dengannya, Anda bisa tetap berinteraksi dengan keluarga ataupun mengecek keadaan rumah dan hewan peliharaan meski berada jauh dari tempat tinggal.

Temi berdiri setinggi 90-sentimeter dan bergerak menggunakan empat roda. Sebagai ‘wajahnya’, sang robot dibekali layar sentuh IPS 10,2-inci QHD yang tersambung ke bracket bermotor – memungkinkan bagian tersebut bergerak ke atas dan ke bawah sehingga interaksi tersuguh lebih natural. Temi bekerja secara otomatis, mampu mempelajari kondisi suatu tempat dan mengetahui posisi docking buat mengisi ulang baterainya.

Temi 3

Ada dua metode buat mengoperasikan Temi, yaitu lewat aplikasi smartphone atau suara. Via app, Anda dapat mengaktifkan Temi dari jauh dan memerintahkannya untuk pergi ke ruangan – misalnya kamar si kecil atau ruang keluarga. Robot telepresence ini dilengkapi sistem pemetaan 3D dan navigasi, kemampuan pengaturan rute, hingga teknologi pengenalan dan pelacakan wajah; berbekal sensor LIDAR 360 derajat, dua kamera depth dan dua lagi kamera RGB, lima sensor jarak, dan lain-lain.

Temi 2

Ketika percakapan sedang berlangsung, lawan bicara bisa mengaktifkan mengaktifkan mode ‘follow‘ melalui tap pada layar, berguna untuk memudahkannya menunjukkan sesuatu pada Anda.

Anda juga dipersilakan mengaktifkan Temi lewat suara, misalnya untuk menghubungi seseorang. Robot ini menyimpan empat speaker omni-directional yang turut ditunjang sistem echo-cancellation dan noise reduction sehingga percakapan tersaji optimal. Sebagai output-nya, Temi memanfaatkan speaker Harman Kardon plus sub-woofer, kabarnya mampu menghasilkan audio 20W.

Temi 1

Temi diotaki oleh CPU ARM. Robot mengandalkan sistem operasi berbasis Android dengan UI yang dikhususkan untuk interaksi antar-manusia. Selain itu, Temi juga didukung oleh satu set CPU ARM hexa-core lagi untuk menangani sistem navigasi serta pengoptimalan pemakaian penggunaan daya.

Robot ini diperkenalkan secara formal di ajang IFA 2018. Roboteam punya agenda untuk mulai memasarkannya di tahun ini, dan berniat untuk meningkatkan angka produksinya jadi 300 ribu unit per bulan di Desember nanti. Satu unit Temi rencananya akan dijajakan seharga mulai dari US$ 1.500 – sangat terjangkau untuk sebuah robot telepresence.

Via VentureBeat.

Anki Vector Adalah Robot Mungil yang Mandiri dan Penuh Kepribadian

Melihat perkembangan pesat teknologi robotik dan artificial intelligence (AI) dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit yang membayangkan skenario masa depan di mana robot berhasil memperbudak manusia. Bahkan sosok jenius macam Elon Musk dan almarhum Stephen Hawking pun percaya kemungkinan seperti ini bisa terjadi.

Lain halnya dengan perusahaan robotik dan AI bernama Anki. Mereka ingin membuktikan hal sebaliknya, bahwa robot juga bisa berteman dengan manusia. Dua tahun lalu, mereka pun memperkenalkan Cozmo, robot mungil yang punya kepribadian dan dirancang untuk menjadi penggembira keseharian manusia.

Anki Vector

Anki masih sangat percaya dengan visinya itu. Mereka bahkan ingin membuktikannya lebih jauh lagi. Dari situ lahirlah Anki Vector, saudara sekaligus suksesor Cozmo yang jauh lebih cerdas. Wujudnya memang mirip, begitu juga fungsi-fungsi mendasarnya, akan tetapi Anki telah menerapkan sederet pembaruan yang punya dampak sangat signifikan.

Yang paling utama, kalau Cozmo memerlukan koneksi konstan ke smartphone untuk melancarkan semua aksinya, Vector tidak demikian. Sambungan dengan smartphone hanya diperlukan pada setup awalnya. Setelahnya, Vector bisa ‘hidup’ sendiri tanpa bantuan smartphone.

Anki Vector

Rahasianya terletak pada penggunaan prosesor Qualcomm APQ8009, yang pada dasarnya mirip seperti prosesor smartphone, hanya saja dirancang secara spesifik untuk perangkat IoT (Internet of Things) dengan mempertimbangkan faktor-faktor krusial seperti dimensi, efisiensi energi, dan lain sebagainya. Sebagai robot mungil yang mandiri, Vector merupakan kandidat kuat untuk prosesor ini.

Berkat prosesor tersebut, Vector bisa menerapkan kapabilitas berbasis AI maupun kebutuhan komputasi lainnya secara lokal. Ia memang masih perlu terhubung dengan jaringan cloud (via Wi-Fi), akan tetapi ini hanya untuk menerima firmware dan software update, serta untuk mengolah perintah suara dengan teknik natural language processing.

Anki Vector

Perintah suara? Ya, Vector bisa mendengar. Tidak seperti Cozmo, Vector telah dibekali empat buah mikrofon berteknologi beam-forming. Cukup panggil dia dengan frasa “Hey Vector”, maka Vector langsung siap menerima instruksi maupun mendengar pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya.

Kamera HD dengan sudut pandang 120º masih ada dan masih berperan sebagai indera penglihatan di sini. Wajahnya juga diisi oleh panel layar IPS berwarna untuk mengekspresikan beragam perasaannya. Ia bahkan bisa bereaksi terhadap sentuhan manusia berkat panel kapasitif yang tertanam di bagian punggungnya.

Anki Vector

Anki mengklaim bahwa secara total ada nyaris 700 komponen yang membentuk Vector. Itu termasuk beraneka sensor seperti 4 sensor infra-merah di bagian bawahnya yang berfungsi untuk mencegah Vector terjatuh saat berada di ujung permukaan, serta scanner laser di bawah wajahnya untuk memetakan lingkungan di sekitarnya dengan radius maksimum sekitar 90 cm.

Ketika baterainya hampir habis, Vector bakal bergerak sendiri menuju charging dock-nya untuk ‘mengisi bensin’. Sifat mandiri dan disiplin memang sudah semestinya tidak mengenal ukuran, apalagi dalam konteks robot.

Anki Vector

Sama seperti Cozmo, Vector juga dipastikan bakal bertambah pintar seiring Anki merilis update demi update. Komitmen Anki ini pun sudah terbukti; selama dua tahun Cozmo berkiprah, sudah ada 23 update yang dirilis untuknya, dan itu semua bisa didapat tanpa biaya ekstra.

Berhubung Vector lebih pintar, wajar kalau harga jualnya lebih mahal ketimbang Cozmo. Anki bakal memasarkannya mulai tanggal 12 Oktober mendatang seharga $250. Anki pun juga melangsungkan kampanye crowdfunding di Kickstarter bagi yang tertarik melakukan pre-order sekaligus mendapatkan potongan harga, meski ini hanya berlaku untuk konsumen di Amerika Serikat saja.

Sumber: 1, 2, 3.

Rolls-Royce Kembangkan Robot Mini untuk Membantu Mempercepat Perbaikan Mesin Pesawat

Rolls-Royce mungkin lebih dikenal sebagai produsen mobil super-mewah, akan tetapi pabrikan asal Inggris itu sebenarnya sudah memproduksi mesin pesawat sejak era Perang Dunia I, dan masih terus aktif sampai saat ini. Mereka pun juga tidak mau ketinggalan perihal teknologi. Buktinya, mereka sedang mengembangkan robot untuk membantu mempercepat proses perbaikan mesin pesawat.

Proyek ini Rolls-Royce kerjakan bersama para cendekiawan asal Harvard, University of Nottingham, dan sejumlah mitra lainnya. Bukan cuma satu, total ada empat robot yang tengah ditelusuri konsepnya, serta ada pula yang sudah mulai masuk dalam tahap pengembangan.

Robot yang pertama dijuluki Swarm, memiliki bentuk menyerupai kecoak dengan diameter sekitar 10 mm. Fungsinya adalah untuk merayap ke bagian tengah mesin, melakukan inspeksi visual di area-area yang sulit, yang sebelumnya mustahil dijangkau tanpa melepas mesin dari rangka pesawat.

Rolls-Royce Swarm robot

Setiap unit Swarm dilengkapi kamera kecil berdimensi 15 mm sehingga apa yang dilihat bisa langsung dipantau oleh tim operator secara real-time. Sebelum memulai aksinya, Swarm akan terlebih dulu ‘diantar’ oleh robot kedua yang bernama Flare. Flare memiliki bodi yang fleksibel macam seekor ular, sehingga ia dapat dioperasikan layaknya sebuah endoskop.

Kombinasi ini diyakini dapat mempercepat proses perbaikan secara drastis. Berbicara kepada CNBC, James Kell yang menjabat sebagai Technology Specialist di Rolls-Royce memperkirakan waktu inspeksi yang diperlukan oleh robot-robot ini mungkin hanya sekitar lima menit, sedangkan kalau ditangani tim mekanik seperti yang ada sekarang, bisa memakan waktu sampai lima jam.

Robot yang ketiga dinamai Inspect, persis sesuai fungsinya. Secara teknis, Inspect merupakan kamera kecil berwujud ala periskop yang ditanamkan secara permanen ke dalam mesin. Berdasarkan observasinya dari waktu ke waktu, Inspect bakal melapor ketika masa perawatan mesin sudah tiba.

Mesin pesawat Rolls-Royce Trent XWB / Rolls-Royce
Mesin pesawat Rolls-Royce Trent XWB / Rolls-Royce

Robot yang terakhir disebut dengan istilah remote boreblending, dan ini yang sudah mulai masuk tahap pengembangan. Robot ini bertugas melakukan perbaikan, semisal mereparasi bilah kompresor menggunakan laser, dan sesuai namanya, ia bisa dikendalikan secara remote oleh tim operator di markas Rolls-Royce, yang berarti waktu tidak akan terbuang sia-sia hanya untuk menerbangkan tim mekanik ke lokasi pesawat.

Kalau kita perhatikan, robot-robot ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran manusia secara menyeluruh. Mereka tidak lebih dari sebatas alat bantu, dan kehadiran tim ahli tentu masih sangat diperlukan. Jadi, ya, sepertinya profesi teknisi mesin pesawat masih aman dari jarahan robot, setidaknya untuk beberapa tahun mendatang.

Sumber: CNBC dan Rolls-Royce.

Robot CanguRo Bisa Jadi Asisten Pribadi Sekaligus Alat Transportasi

Pembuatan robot dilakukan untuk berbagai macam kebutuhan, dari mulai manufaktur, riset, hingga turisme. Sudah lama pengembangannya juga diarahkan ke end-user, misalnya dijadikan asisten di rumah, menjaga toko sampai menemani Anda dalam bepergian. Dan belum lama ini, dipamerkan-lah kombinasi unik antara konsep asisten dengan sistem transportasi

Dua pakar robotik bernama Shunji Yamanaka dari University of Tokyo serta Takayuki Furuta dari Future Robotics Technology Center di Chiba Institute of Technology mengungkap RidRoid CanguRo. Diambil dari bahasa Itali kangguru, CanguRo adalah campuran antara robot asisten pribadi dan kendaraan self-driving. Ia memang tidak bisa melompat, tetapi sang robot mampu membawa beban yang berat.

Wujud seperti hewan asli Australia itu merupakan efek yang diberikan desain setang melengkung di ‘kepalanya’ serta sepasang roda yang dipengang oleh dua lengan di bagian depan, mempunyai bobot total 64-kilogram. Buat saya pribadi, penampilan robot ini menyerupai sepeda roda tiga terbalik.

Dengan mengaktifkan mode ‘asisten’, CanguRo dapat mengikuti ke manapun Anda pergi. Selain itu, ia juga bisa membantu kita membawakan barang-barang belanjaan. Lalu jika Anda merasa lelah setelah berjalan jauh, tinggal buka aplikasi mobile dan perintahkan CanguRo untuk jadi alat transportasi personal. Selanjutnya, sang robot akan mengantarkan majikannya pulang atau ke alamat yang diinginkannya.

RidRoid CanguRo 1

CanguRo mampu melesat dikecepatan maksimal 10-kilometer per jam. Untuk mencapai lokasi tujuan secara otomatis, robot dibekali teknologi pemetaan serta pengenalan objek real-time. Saat berbelanja, Anda bisa memposisikannya di satu tempat, kemudian memanggil CanguRo jika membutuhkan bantuan. Tentu saja Anda bisa mengambil alih kendali robot jika menginginkannya. Metode pengendalian CanguRo menyerupai sepeda.

RidRoid CanguRo 2

Robot multi-fungsi ini menyimpan sistem body-sonic built-in serta mampu menghasilkan denyutan yang dipicu saat ia melintas. Teknologi tersebut dimaksudkan agar pengendara/ operator mendapatkan ‘sensasi haptic‘ ketika melaju di kecepatan tertentu, serta memungkin-kannya mendeteksi kemiringan tubuh dengan akurat, yang kemudian diterjemahkan sebagai manuver gerakan secara responsif.

Faktor keamanannya juga menjadi perhatian para penciptanya. CanguRo dilengkapi fungsi penghentian pintar, gunanya ialah menerapkan rem secara otomatis tanpa membuat Anda terpental begitu mendeteksi adanya bahaya.

Terlepas dari kemampuannya yang terlihat matang ini, belum diketahui apakah Chiba Institute of Technology akan menghadirkan RidRoid CanguRo sebagai produk konsumen. Namun bahkan jika akhirnya dipasarkan nanti, harganya kemungkinan tidak akan murah.

Via Japan Times & Japan Trends.

Drone Ini Dapat Berubah Bentuk dengan Sendirinya Selagi Mengudara

Sudah ada cukup banyak drone yang mampu mengudara di dalam ruangan dengan cekatan, tapi sejauh ini baru yang ukurannya kecil saja. Drone besar di sisi lain bakal kesulitan ketika harus berhadapan dengan pintu, tembok dan berbagai perabot lainnya di dalam ruangan.

Namun drone buatan para ahli robotik di JSK Lab University of Tokyo ini berbeda. Ukurannya besar, tapi ia dapat berubah bentuk dengan sendirinya, menyesuaikan dengan kondisi di sekitarnya selagi mengudara. Kalau memang perlu, bentuknya bahkan bisa menyerupai seekor naga seperti pada gambar di atas.

Drone ini dinamai DRAGON, namun seperti proyek sains pada umumnya, nama tersebut ada kepanjangannya: “Dual-rotor embedded multilink Robot with the Ability of multi-deGree-of-freedom aerial transformatiON”. Ya, lebih baik kita panggil dia DRAGON saja.

DRAGON drone

Prototipe robot terbang ini sebenarnya terdiri dari empat modul yang disatukan. Masing-masing modul memiliki sepasang rotor yang tersambung ke gimbal, sehingga arah dorongannya bisa diatur sesuai kebutuhan. Setiap modul kemudian disambungkan dengan semacam lengan robotik, dan yang menjadi otak semuanya adalah komputer mini Intel Euclid yang dilengkapi kamera 3D.

Pengembangnya membayangkan skenario di mana DRAGON dapat memanfaatkan kemampuan transformasinya untuk berinteraksi dan memanipulasi objek di sekitarnya. Misalnya, kedua ujungnya bisa ditemukan lalu membentuk semacam penjepit, atau malah ‘memeluk’ sebuah objek dan membawanya dari titik A ke B.

DRAGON tentu saja masih belum benar-benar matang. Prototipenya untuk sekarang baru bisa mengudara selama 3 menit saja. Selain itu, pengembangnya juga bilang bahwa DRAGON sebenarnya bisa terbentuk dari 12 modul, bukan cuma 4.

Sumber: IEEE Spectrum.

Disney Kembangkan Robot Humanoid Pengganti Stuntman

Dalam pembuatan film blockbuster, hanya ada sejumput aktor dan aktris yang berkenan memerankan adegan berbahaya tanpa peran pengganti. Tapi di zaman ini, teknologi seperti motion capturing dan CGI bisa menjadi solusi, dan melihat kualitas film-film box office yang belakangan tayang, orang awam sudah tak bisa melihat batasan antara aktor dengan gambar-gambar CG.

Namun sebagai salah satu perusahaan hiburan terbesar di dunia, The Walt Disney Company terlihat begitu berambisi untuk terus mengembangkan teknologi penunjang bisnisnya – baik di ranah film layar lebar maupun wahana atraksi Disneyland. Belum lama ini, Disney memamerkan karya terbaru para insinyurnya: robot humanoid yang dapat jadi alterntif dari penggunaan stuntman atau peran pengganti.

Disney memang sudah lama memanfaatkan robot-robot animatronic di wahana-wahana andalanan di Disneyland seperti Pirates of the Caribbean hingga Pandora: The World of Avatar. The World of Pandora sendiri baru dibuka awal tahun lalu dan berhasil memukau pengunjung melalui teknologi animatronic plus audio mutakhir garapan tim Walt Disney Imagineering. Sebagian objek di sana – misalnya tumbuhan dan kadal terbang – betul-betul dibuat secara fisik.

Namun robot stuntman baru Disney bahkan lebih canggih lagi. Dalam penggarapan proyek Stuntronics tersebut, Walt Disney Imagineering berhasil membuat robot bertubuh manusia melakukan beragam manuver di udara setelah diluncurkan menggunakan kabel; misalnya berputar beberapa kali, salto sembari mengubah posisi kaki, hingga melakukan gaya terbang ala superhero.

Robot humanoid ini merupakan pengembangan lebih jauh dari eksperimen Stickman yang Disney kerjakan sebelumnya. Berwujud seperti tongkat, Stickman dapat mengubah serta memperbaiki posisinya ketika terlempar di udara. Di inkarnasi barunya itu, robot dibekali accelerometer on-board serta gyroscope yang ditopang oleh sensor laser untuk mengukur jarak.

Dengan kemampuan melakukan gerakan akrobatik kompleks, Disney bisa memberikan robot tersebut kostum dan menjadikannya pengganti stuntman di adegan-adegan berbahaya dalam pertunjukan live.

Principal R&D Imagineer Tony Dohi menjelaskan bahwa alasan Disney mengerjakan proyek Stuntronics adalah realisasi ke arah mana mereka akan menghadirkan karakter-karakter Star Wars, Pixar dan Marvel setelah ditampilkan di layar lebar. Disney yakin, selanjutnya para penggemar berharap agar tokoh-tokoh itu juga muncul sebagai bagian dari atraksi di Disneyland.

Dan mungkin di waktu yang akan datang, robot-robot Walt Disney Imagineering bukan hanya cuma bisa bermanuver di udara, tapi juga mengiringi para aktor sungguhan di panggung atraksi…

Sumber: TechCrunch.

MIT Kembangkan Robot yang Bisa Dikendalikan Dengan Pikiran

Di tahun 2011, Toyota sempat mengembangkan sepeda Prius berkemampuan thought-control. Kendaraan roda dua itu punya kemampuan untuk membaca gelombang otak dan menerje-mahkannya menjadi perintah untuk mengganti gigi. Pencapaian ini sangat mengagumkan, namun bagi mayoritas orang, mengendalikan sesuatu hanya berbekal pikiran baru ada di alam fiksi ilmiah.

Itu alasannya upaya yang dilakukan para peneliti Massachusetts Institute of Technology baru-baru ini terdengar luar biasa. Tim Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory berhasil membuat robot yang dapat dikendalikan berbekal pikiran. Ketika robot biasa bekerja berbasis program atau dikendalikan langsung operator, manusia hanya berperan sebagai supervisor bagi robot MIT ini.

Cara kerja kreasi CSAIL itu sangat simpel. Berbekal robot Baxter buatan Rethink Robotics, sistem buatan tim ilmuwan bisa mendeteksi gelombang otak secara real-time. Yang tinggal Anda lakukan adalah mengawasinya bekerja. Lalu jika ia keliru dalam bertindak, Anda dapat mengoreksinya dengan menggerakkan tangan. Kemampuan sang robot dipamerkan oleh tim CSAIL melalui satu video singkat, silakan simak di bawah.

Di video, CSAIL memperlihatkan seorang ‘pengawas’ memerintahkan robot membor satu dari tiga titik di tubuh mock-up pesawat terbang. Saat robot itu keliru, supervisor tinggal menggerakkan tangannya hingga robot mengarahkan bor ke posisi yang tepat. Hal terbaik dari metode penyajian ini adalah: robot bisa dioperasikan oleh siapapun tanpa memerlukan pelatihan khusus mengingat ‘interface-nya’ sangat sederhana.

Buat mengontrol robot, Anda perlu memasang topi berisi rangkaian sensor otak (EEG atau electroencephalography) dan menyematkan elektroda EMG di tangan agar sistem dapat menangkap sinyal listrik di otot. Sinyal otak diproses buat mencari ‘error-related potentials‘ yang dihasilkan pikiran tanpa disadari, kemudian sinyal otot secara terus menerus dibaca untuk menentukan sasaran yang tepat.

Mengendalikan robot dengan otak pada dasarnya menuntut Anda untuk berpikir dalam cara tertentu agar sensor bisa menerjemahkan perintah secara tepat. Tak masalah jika pengoperasian dilakukan di laboratorium tertutup, tapi bagaimana jika Anda diminta mengendalikan robot di suasana gaduh?

Itulah mengapa kemampuan memindai ‘error-related potentials‘ menjadi krusial. Teknologi tersebut dapat mengetahui kesalahan begitu Anda menyadarinya dan segera menghentikan gerakan robot. Jika betul-betul diperlukan, supervisor bisa mengambil alih kendali secara manual.

Berbekal pengawasan manusia dan solusi berbasis EEG serta EMG, CSAIL melaporkan bahwa keakuratan robot Baxter meningkat dari 70 persen menjadi 97 persen.

Sumber: MIT.

Amazon Akan Meluncurkan Robot Rumah ‘Vesta’ Tahun Depan?

Lewat peluncuran Alexa secara luas di Amerika pada bulan Juni 2015, Amazon resmi menyelami ranah asisten virtual. Sederhananya, asisten virtual adalah agen software ‘pelayan’ individu dengan metode interaksi yang alami. Namun belakangan juga diketahui bahwa Amazon punya niatan untuk mengembangkan asisten yang bisa membantu manusia secara fisik.

Dilaporkan oleh Bloomberg berdasarkan info dari narasumber mereka, sang raksasa eCommerce asal Seattle itu kabarnya tengah menciptakan robot rumah tangga. Robot tersebut mereka beri codename ‘Vesta’, diambil dari nama dewi keluarga dan rumah dalam kepercayaan Romawi Kuno. Upaya tersebut juga bukan sekadar wacana. Pengembangannya sudah dimulai bertahun-tahun lalu dan Vesta rencananya akan didistribusikan tak lama lagi.

Pengerjaan Vesta diawasi oleh Gregg Zehr, kepala divisi riset hardware Amazon Lab126 yang berlokasi di Kalifornia. Lab126 merupakan tim yang berjasa menciptakan speaker Echo, set-top box Fire TV, tablet Fire serta Fire Phone. Mereka mempercayakan mantan eksekutif Apple Max Paley untuk mempimpin pengembangan bagian computer vision-nya, lalu Amazon juga telah menyewa sejumlah pakar ilmu mekanik ternama di industri robotik.

Belum diketahui jelas apa saja kemampuan Vesta, dan seperti apa penampilannya. Para informan berspekulasi, boleh jadi sang robot merupakan ‘vesi mobile’ dari Alexa, mampu menemani pengguna di bagian-bagian rumah yang tidak mempunyai perangkat Echo. Unit purwarupa dari Vesta dibekali rangakaian kamera dan software computer vision, memungkinkannya mengenali keadaaan lingkungan di sekitarnya.

Proyek Vesta berbeda dari robot kreasi Amazon Robotics. Tim berbasis Massachusetts itu fokus pada perancangan robot ‘pemindah barang’ untuk keperluan pengelolaan gudang. Amazon Robotics adalah anak perusahaan yang dahulu dikenal sebagai Kiva Systems – sebelum Jeff Bezos dan tim mengakuisisinya. Solusi-solusi dari Kiva Systems telah digunakan oleh The Gap, Office Depot hingga Walgreens.

Meski penggarapan Vesta dilakukan cukup lama, baru di tahun ini Amazon tampak gencar merekrut lebih banyak talenta. Blooomberg menyampaikan bahwa ada lusinan lowongan kerja sempat terbuka di laman Lab126, dari mulai ‘teknisi software robot’ sampai ‘teknisi sensor’.

Hal paling menarik dari kabar ini adalah, kita mungkin akan berkenalan dengan Vesta dalam waktu dekat. Narasumber bilang bahwa jika semuanya berjalan lancar, proses distribusi untuk keperluan uji coba akan dilakukan di akhir tahun nanti, kemudian Vesta akan tersedia bebas buat konsumen di awal 2019.

Tentu saja tidak menutup kemungkinan bagi divisi Lab126 dan Amazon Robotics untuk berkolaborasi demi menyempurnakan Vesta jika Amazon melihat kebutuhan itu. Selamat datang di masa depan.

Gambar: The Verge.

Dengan Wujud Seperti Ikan, Robot ‘SoFi’ Bisa Mudah Membaur Dengan Satwa Air Lain

Di ranah robotik, para ilmuwan sudah lama memanfaatkan alam sebagai sumber inspirasi mereka. Ada banyak robot yang dibuat mengikuti hewan, misalnya salamander atau kelelawar. Konsep desain biomimicry ini biasanya diadopsi dalam pengembangan sistem pergerakan atau sensor. Namun kreasi anyar MIT ini digarap untuk keperluan yang lebih praktis.

Minggu ini, tim Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory Massachusetts Institute of Technology memperkenalkan karya unik baru mereka. CSAIL menamainya SoFi (kependekan dari Soft Robotic Fish) yaitu robot yang dirancang seperti ikan baik dalam wujud maupun gerakan, sehingga ia tak kesulitan berbaur dengan hewan air lain. SoFi dikembangkan buat membantu para ilmuwan maritim mempelajari kehidupan laut secara lebih mudah dan komprehensif.

Lewat video yang diunggah CSAIL di YouTube, Anda bisa melihat langsung bagaimana alaminya SoFi berenang. Tubuhnya memiliki penampilan hydrodynamics seperti ikan, lengkap dengan sirip atas, samping serta belakang. SoFi juga mampu menggerakkan bagian tubuh belakangnya secara natural, sekaligus menjadi cara untuk melaju dalam air. Selain itu, robot ikan ini bisa bergerak lincah, mampu melintas di bawah koral atau celah-celah sempit.

Dilihat lebih dekat, tubuh SoFi terbagi dalam beberapa ruas. Modul kamera menggantikan mata serta mulut di kepalanya. Dan di bagian tersebut, CSAIL menyematkan komponen-komponen elektronik serta komputer berbasis Linux. Untuk menggerakan buntutnya yang terbuat dari bahan silikon elastis, tim ilmuwan memanfaatkan pompa hidraulik, lalu menambahkan busa urethane buat memberi robot daya apung.

Ada banyak hal yang membuat SoFi lebih unggul dari alat pengawas kehidupan maritim lain. Selain mudah menyamar, proses setup-nya lebih sederhana, kemudian robot juga ditenagai oleh baterai lithium polymer (biasa ditemukan di smartphone) dengan durasi aktif hingga 40 menit. Proses pengendalian dapat dilakukan dari jauh via remote control (CSAIL menggunakan controller USB ala gamepad SNES plus case anti-air), lalu apa yang dilihat SoFi bisa langsung ditampilkan di layar.

“Sepengetahuan kami, ini pertama kalinya robot ikan bisa berenang secara tiga dimensi tanpa tertambat dalam waktu lama,” ujar Robert Katzschmann dari CSAIL pada Science Robotics. “Kami sangat bersemangat untuk melihat lebih jauh pemanfaatannya dalam mempelajari kehidupan maritim.”

Katanya, manusia lebih memahami permukaan bulan dibanding isi lautan di Bumi. Mungkin dengan bantuan SoFi, kita dapat lebih cepat menguak rahasia samudra. Bulan lalu, para peneliti berhasil merekam spesies hiu Arktika yang sangat langka. Siapa tahun ada lebih banyak makhluk unik yang nantinya bisa SoFi temukan.

Sumber: MIT News.