[Review] Sony Alpha A7 III: Kamera Mirrorless Full Frame Serbaguna

Sebagai seorang content creator, kemampuan fotografi dan videografi sangat penting dalam menunjang pekerjaan saya. Kurang lebih untuk keperluan reportase atau meliput event, serta pengambilan foto dan video review.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, saya membeli kamera mirrorless Sony Alpha A7 karena memiliki sensor full frame. Karena saya membutuhkan kualitas gambar gambar yang lebih baik, terutama saat low light – di mana kamera menggunakan ISO tinggi.

Satu hal yang paling mengganggu pada A7 adalah absennya stabilizer di body kamera. Sehingga tidak memungkinkan merekam video dengan hand-held, harus menggunakan tripod – bila menggunakan lensa tanpa dukungan Optical SteadyShot image stabilization.

Makanya tahun depan nanti, saya berencana upgrade body kamera ke A7 II yang sudah memiliki 5 axis stabilization atau investasi ke lensa. Tetapi, rencana tersebut kemungkinan saya urungkan dulu setelah dicekoki Sony Alpha A7 III.

Review-Sony-Alpha-A7-III

Ya, meja redaksi DailySocial lifestyle kedatangan kamera mirrorless full frame A7 series terbaru generasi ketiga. Sudah hampir satu bulan Sony Alpha A7 III menemani berbagai aktivitas saya – untuk liputan, foto dan video review, traveling, dan bahkan prewedding.

Pengalaman paling berkesan saat menggunakan A7 III ialah kepraktisan menentukan titik fokus, daya tahan baterainya panjang, 5 axis stabilization yang sangat berguna saat merekam video, dan masih banyak lagi. Berikut review Sony Alpha A7 III selengkapnya.

Desain Sony Alpha A7 III

Review-Sony-Alpha-A7-III

Pada minggu pertama bersama A7 III, kebetulan event sedang padat – di mana hampir setiap hari pergi meliput. Saya masih meraba-raba untuk mengoptimalkan kamera ini, tetapi jujur saja – leher dan juga pundak saya berasa pegal-pegal.

Sebenarnya wajar, mengingat dimensi A7 III lebih besar (127x96x74 mm). Bobotnya juga lebih berat, A7 hanya 474 gram (termasuk baterai tanpa lensa) – sementara A7 III mencapai 650 gram.

Review-Sony-Alpha-A7-III

Harus diakui, bertambahnya dimensi dan grip lebih besar yang nyaman di tangan membuatnya jauh lebih ergonomis. Peningkatan kontrol kamera pada A7 III juga membuatnya lebih responsif saat digunakan. Dalam grip tersebut telah tertanam baterai baru yang menyuguhkan ketahanan hampir 2x lebih panjang.

Garis desain A7 III sendiri masih sama seperti pendahulunya yaitu mengambil desain klasik seperti kamera SLR atau rangefinder. Dari luar, tampilan A7 III nyaris sama dengan A7R III – sangat ganteng.

Kontrol Kamera Sony Alpha A7 III

Review-Sony-Alpha-A7-III

Saat mengambil foto dan video review, biasanya saya bermain aperture, area fokus, dan angle. Namun menentukan titik fokus pada A7 adalah hal yang cukup merepotkan.

Oleh karena itu, keberadaan joystick dan fungsi layar sentuh pada A7 III menurut saya merupakan fitur esensial – karena sangat berguna membantu berpindah area fokus.

Sayangnya, layar sentuh 3 inci miliknya belum bisa diputar ke samping dan depan. Jadi, kadang masih suka ribet sendiri saat mengkomposisi foto dalam angle tertentu dan sukar merekam video diri sendiri atau vlogging. Fungsionalitas layar sentuhnya juga terbatas, hanya untuk menentukan titik fokus dan belum bisa untuk navigasi menu.

Review-Sony-Alpha-A7-III

Bagian depannya cukup ramai, selain layar sentuh dan AF joystick – terdapat pula dan jendela bidik tipe electronic 2,36 juta dot OLED (0,78x magnification) lengkap dengan dial diopter untuk menyesuaikan fokus dari lensa viewfinder.

Tombol lainnya antara lain tombol menu untuk mengakses pengaturan kamera, tombol FN yang terdiri dari 12 shortcut, kustom C3 dan C4, AF-ON, AEL, playback, dan roda kontrol.

Sementara, pada bagian atas terdapat tombol shutter yang dilengkapi toggle on/off, dial untuk menyesuaikan aperture, dial untuk mengatur shutter speed, multi interface shoe, serta tombol kustom C3 dan C4.

Lalu, ada mode dial untuk mengatur exposure compensation, serta dial untuk beralih ke mode pemotretan seperti auto mode, program auto, aperture priority, shutter priority, manual exposure, memory recall satu dan dua, movie, S&Q motion, dan SCN (scene selection).

Review-Sony-Alpha-A7-III

Lanjut ke belakang, ada tombol tuas untuk membuka dan memasang lensa. Serta, lampu AF illuminator atau self-timer. Sementara, di bagian bawah ada slot untuk baterai dan lubang soket tripod.

Ke sisi kanan, ada dua slot untuk kartu memori dan kait untuk strap. Sementara pada sisi kiri, ada jack microphone, jack headphone, jack HDMI mirco, USB Type-C, lampu charge, dan multi/micro USB.

Kontrol kamera pada A7 III memang relatif kompleks dan terdapat banyak sekali tombol yang fungsinya dapat diubah. Pastinya akan menyita waktu kita untuk menyesuaikan sesuai kebutuhan, tetapi semua kesabaran itu akan terbayar – jangan ragu mengotak-atik kamera.

Spesifikasi Teknis Sony Alpha A7 III

Review-Sony-Alpha-A7-III

Kamera ini mengusung sensor full frame 35mm, dengan resolusi 24-megapixel seperti A7 dan A7 II. Namun teknologi didalamnya telah ditingkatkan, di mana kini telah menggunakan sensor BSI (backside-illuminated) – singkatnya A7 III menawarkan kinerja lebih baik di bright light maupun low light.

Desain sensor baru yang disebut ‘dual gain‘ tersebut juga membawa kemampuan sistem autofocus hybrid dengan 693 titik phase-detection yang nyaris memenuhi keseluruhan frame (93%), 425 titik contrast-detection, rentang ISO hingga 51200 (bisa ditingkatkan sampai ISO 204800), dan mampu memotret 10 fps dengan buffer 163 foto.

Saya tidak suka kehilangan kontrol di mode auto, karena itu saya selalu memilih mode manual. Tetapi saya percaya dengan ISO otomatisnya, karena performa ISO tingginya bagus. Namun untuk memastikan hasilnya tetap terjaga, kita bisa menentukan nilai ISO minimum dan maksimum.

Review-Sony-Alpha-A7-III-18

Soal video, A7 III sanggup merekam video 4K pada 24 fps tanpa crop, video 4K pada 30 fps dengan crop 1,2x, dan video slow-motion 1080p pada 120 fps di mode S&Q.

Lengkap dengan dukungan S-log3 yang bisa disimpan ke SD card (8 bit 4:2;0) maupun ke HDMI out (8 bit 4:2:2) dan HLG (hybrid log gamma) yang berguna saat keadaan kontras tinggi.

Ya, kemampuan perekaman video 4K milik A7 III sudah terbilang mumpuni. Meskipun banyak yang masih membuat video pada 1080p – mengambil footage 4K memiliki sejumlah keuntungan. Misalnya bisa digunakan untuk bermain multi-angle, bisa zoom atau re-framing tanpa mengurangi kualitas saat kita me-render ke 1080p.

Pengalaman Menggunakan Sony Alpha A7 III

Saya mendapatkan kesempatan menguji A7 III untuk membantu pemotretan prewedding. Saya benar-benar terkesan dengan fitur Eye-AF tracking yang sangat cepat dan akurat.

Eye-AF akan melacak mata subjek yang paling dekat dengan kamera, bahkan saat bermain bokeh dengan aperture besar seperti f1.8. Eye-AF juga akan terus melacak mata ketika subjek bergerak dan saat kita melepaskan tembakan beruntun (continuous shooting) 10 fps.

Jujur saja, saya merasa begitu fleksibel dan bisa dengan mudah beradaptasi saat mengubah skenario. Sehingga bisa sepenuhnya fokus mengejar komposisi yang saya inginkan, menangkap ekspresi yang tepat, dan mengabadikan momen secara lebih sempurna.

Penggunaan baterai lithium-ion baru NP-FZ100 yang sanggup mempersembahkan hingga 710 foto sekali full charge dan dukungan dual slot SD card – membuat saya bernafas lega. Tidak perlu begitu khawatir lagi kehabisan daya dan memori penuh, terutama saat harus syuting berat.

Review Sony Alpha A7 III ini, pengambilan sampel gambar juga dibantu oleh salah satu fotografer Dailysocial – Sadam. Menurutnya, meski bermain di ISO tinggi dan aperture kecil di kondisi low light – hasilnya masih bagus dan minim noise. Sangat recommended bagi penikmat fotografi malam yang anti flash.

Secara umum, kualitas bidikan dari A7 III sangat bagus – keunggulannya terletak di low light dan dynamic range-nya. Penggunaan ISO tinggi pun hasilnya masih tetap minim noise dan di kondisi backlight detail tertangkap dengan sangat baik. Kualitas warna untuk skintone juga sudah membaik dibanding A7.

Untuk kebutuhan hobi fotografi serius ataupun semi pro, kualitasnya sudah lebih dari cukup. Demikian juga buat kerja/pro, dengan catatan bila Anda tidak perlu resolusi tinggi. Kemampuan perekaman video 4K bagus, serta didukung koleksi lensa yang lengkap dan berkualitas (Zeiss, Sony GM).

Berikut beberapa bidikan dari Sony Alpha A7 III:

Verdict

Review-Sony-Alpha-A7-III-17

Meski menyasar kalangan professional, Sony menyebut A7 series merupakan model paling basic. Bisa dimaklumi, karena Sony memiliki A7R series yang mengunggulkan resolusi tinggi, A7S series spesialis di video, dan A9 series mampu menjepret foto berturut-turut 20 fps.

Menurut saya, A7 III adalah kamera yang serbaguna – cocok untuk segala kebutuhan fotografi dan juga andal untuk kebutuhan video – baik hobi maupun buat kerja (pro). Feel-nya professional dan fitur-fitur yang ada sangat memanjakan penggunanya.

Sony Alpha A7 III juga menjadi benchmark untuk kamera full frame. Saat Nikon meluncurkan Z6 dan Z7, serta Canon dengan EOS R – kebanyakan orang akan langsung membandingkan dengan A7 III. Harga A7 III juga sangat kompetitif bila dibandingkan para kompetitornya.

Sparks

  • Baterai 2,2x lebih tahan lama (710 jepretan)
  • Grip lebih besar, lebih nyaman saat digunakan
  • Layar sentuh dan AF joystick sangat membantu memilih area fokus
  • Dua slot memory card

Slacks

  • Layar belum bisa diputar ke samping dan depan layaknya camcorder
  • Tanpa PlayMemories, tidak bisa menginstal aplikasi tambahan

Sony Akhirnya Menyerah, Fortnite Versi PlayStation 4 Kini Didukung Cross-Platform Play

Eksklusivitas konten mungkin jadi salah satu kekuatan utama produk console, namun dukungan fitur juga punya peranan penting. Dalam berkompetisi, beberapa produsen memilih untuk membuka gerbang multiplayer, sehingga game tak cuma bisa dinikmati konsumennya, tapi dapat menyatukan gamer dari platform berbeda. Itulah prinsip dari cross-platform play.

Namun boleh jadi karena merasa berada di atas angin berkat larisnya penjualan PlayStation 4, Sony menolak gagasan ini. Ketika Nintendo dan Microsoft berkolaborasi demi mendukung cross-play di sejumlah game seperti Rocket League dan Minecraft, Sony sendiri malah memblokir akses serta progres. Hal serupa juga berlaku untuk Fortnite, hingga sang produsen menyadari bahwa kreasi Epic Games itu ‘lebih besar’ dari dugaan mereka.

Melalui blog PlayStation, Sony akhirnya mengumumkan pembukaan gerbang cross-platform play Fortnite lewat sesi open beta. Selain memperkenankan gamer-nya bermain bersama pengguna sistem lain, progres Fortnite di Windows, Xbox One, Switch, Android hingga iOS juga dapat diteruskan di PlayStation 4 – dan begitu pula sebaliknya. Periode beta ini Sony maksudkan sebagai cara buat melakukan pengujian, baik dari sisi teknis maupun sosial.

“Setelah melakukan evaluasi secara menyeluruh, Sony Interactive Entertainment memutuskan buat mendukung fitur cross-platform di judul-judul third-party pilihan,” ungkap CEO John Kodera. “Kami memahami bagaimana para pemain PlayStation 4 sangat menanti update ini dan sangat menghargai kesabaran komunitas dalam menunggu solusinya.”

Sony menjelaskan bahwa selama 24 tahun, mereka berkomitmen buat memberikan pengalaman gaming dengan perspektif unik lewat PlayStation. Komunitas sejumlah permainan sudah berevolusi begitu jauh dan saat ini fitur cross-play dapat memberikan nilai tambah secara signifikan buat pemain. Merespons hal tersebut, Sony mencoba membuka platform-nya sembari memastikan pengalaman pengguna layanan mereka tetap utuh.

Keputusan Sony untuk mendukung cross-play merupakan kabar gembira untuk para pemain PlayStation karena Fortnite hanyalah permulaan. Sony memang belum mengonfirmasi akan mendukung cross-platform play di judul permainan lain, tapi pintu kini telah terbuka.

Ada kemungkinan, setujunya Sony buat menghadirkan cross-play bukan cuma didorong oleh kompetisi  dengan Microsoft atau Nintendo, namun juga atas desakan pemain dan publisher third-party. Contohnya: belum lama ini Bethesda sempat bilang bahwa mereka tidak mau melucurkan The Elder Scrolls: Legends di console yang tak menunjang cross-platform play.

Melihat dampak cross-play yang begitu besar bagi playerbase, boleh jadi di masa depan ia akan menjadi fitur utama di sejumlah permainan. Tentu mau tak mau, penyedia platform harus merangkulnya.

Sony Ajak Anda Bernostalgia Dengan Console Retro PlayStation Classic

Telah dibuktikan berkali-kali, nostalgia adalah bumbu terkuat dalam meracik produk. Kami para gamer pendiam di DailySocial akan jadi sangat cerewet ketika mulai berdiskusi soal permainan lawas favorit di SNES, Sega Mega Drive atau PlayStation. Individu-individu seperti kami inilah sasaran empuk saat produsen berencana buat meluncurkan kembali console lawasnya.

Kita sudah menyaksikan bagaimana NES dan SNES Classic Edition menjadi fenomena tak terduga di kalangan penggemar berat Nintendo. Kali ini, rival besarnya yang juga menjadi perusahaan console game terbesar di dunia mengambil langkah serupa. Tepat di tanggal 19 September 2018, Sony Interactive Entertainment resmi memperkenalkan PlayStation Classic, yaitu versi miniatur dari home console pertama mereka.

PlayStation Classic 3

Lewat PS Classic, kita bisa melihat bagaimana Sony betul-betul mencoba membuntuti langkah kesuksesan NES dan SNES ‘mini’; melalui penamaan, perancangan, hingga konten. PlayStation Classic mempunyai wujud yang benar-benar mirip seperti console edisi pertamanya, namun ukurannya telah disusutkan hingga hanya sebesar telapak tangan. Volumenya 80 persen lebih kecil dari edisi orisinalnya, sehingga sangat mungkin bagi kita untuk memasukkannya dalam tas atau kantong.

PlayStation Classic 1

Di bagian luar, Anda bisa menemukan pernak-pernik familier. Ada tombol Power, Open, dan Reset, lalu saya juga melihat dua slot untuk connector controller serta memori. Saya belum mengetahui secara pasti bagian-bagian apa saja yang betul-betul dapat berfungsi (optical disc drive kemungkinan hanyalah pemanis), namun kehadiran mereka menunjukkan bagaimana Sony betul-betul memerhatikan detail.

PlayStation Classic 4

PlayStation Classic 5

Agar bisa dipasangkan ke monitor atau televisi model baru, Sony telah membekalinya dengan standar koneksi modern berupa HDMI. Paket penjualan PlayStation Classic juga disertai dua unit controller berdesain orisinal tanpa stik analog untuk mendukung mode multiplayer split/shared screen. Selanjutnya, Sony menjelaskan bahwa perangkat ini tidak kompatibel dengan Memory Card, dan Anda tidak dapat menambahkan software meskipun tersedia port USB di sana.

PlayStation Classic 6

Sang produsen membundel console retro ini dengan 20 game – jumlah yang sama seperi koleksi permainan dalam SNES Classic Edtion. Sony belum mengumumkan semua judulnya, namun beberapa yang sudah dikonfirmasi meliputi Final Fantasy VII, Jumping Flash!, Ridge Racer Type 4, Tekken 3, dan Wild Arms. Game-game tersebut kabarnya akan menghidangkan resolusi antara 480p hingga 720p.

PlayStation Classic 2

Sony punya rencana untuk membawa PlayStation Classic ke Indonesia, akan mulai dipasarkan di bulan Desember 2018 nanti. Untuk memilikinya, Anda perlu menyiapkan modal sebesar Rp 1,8 juta.

Sony HX99 dan HX95 Diklaim Sebagai Kamera Terkecil dengan 30x Optical Zoom

Anggap Anda baru saja membeli sebuah kamera saku, apa alasan Anda memilihnya ketimbang smartphone? Kalau Anda bilang kualitas gambar, saya yakin Anda bakal dicerca banyak orang, dan jawaban itu pun hanya berlaku untuk kamera-kamera tertentu saja, macam Sony RX100 yang duduk di kelas premium.

Jawaban yang lebih masuk akal mungkin adalah optical zoom. Beberapa smartphone terkini memang ada yang menawarkan fitur optical zoom, tapi tidak lebih dari sebatas 2x atau 3x saja. Untuk zooming ekstrem (di atas 20x) misalnya, kamera saku yang masuk kategori superzoom masih belum bisa ditandingi smartphone.

Sony HX99

Salah satu yang terbaru adalah Sony HX99 dan HX95. Keduanya diklaim sebagai kamera terkecil yang mengemas lensa 24–720mm (30x optical zoom). Kualitas lensanya juga tak perlu diragukan kalau melihat label “ZEISS” di sana, dan Sony tak lupa membekalinya dengan sistem image stabilization yang bakal sangat membantu ketika lensa di-zoom cukup jauh.

Urusan kualitas gambar, HX99 dan HX95 sama-sama mengemas sensor Exmor R 1/2,3 inci dengan resolusi 18 megapixel dan dukungan pemotretan dalam format RAW. Video 4K 30 fps pun dapat ia rekam, sedangkan kecepatan menjepret tanpa hentinya mencapai angka 10 fps. Sistem autofocus-nya diklaim sanggup mengunci fokus secepat 0,09 detik saja.

Sony HX99

Keduanya memiliki desain dan spesifikasi yang identik, akan tetapi HX99 sedikit lebih unggul soal pengoperasian. Meski sama-sama dibekali pop-up viewfinder dan LCD yang bisa dilipat hingga menghadap ke depan (180º), cuma HX99 yang dilengkapi layar sentuh, dan lensanya juga dikitari sebuah control ring yang dapat dikustomisasi untuk mengatur fokus manual atau zooming secara bertahap.

Fitur pelengkap seperti Wi-Fi, NFC dan Bluetooth turut tersedia pada HX99 dan HX95. Keduanya akan dipasarkan di Eropa mulai bulan Oktober mendatang seharga 520 euro (HX99) dan 500 euro (HX95).

Sumber: DPReview dan Sony.

Berkat Sony SRS-XB501G, Google Assistant Siap Anda Ajak Nongkrong di Samping Kolam Renang

Sony tidak hanya membawa headphone wireless noise cancelling tercanggihnya ke IFA 2018. Mereka rupanya juga memperkenalkan speaker baru dari lini Extra Bass-nya. Yang istimewa, speaker bernama SRS-XB501G ini juga merupakan sebuah smart speaker.

Ya, untuk pertama kalinya, Sony mendatangkan integrasi Google Assistant pada lini party speaker-nya. Dengan begitu, pengguna dapat mengajak Assistant ke tempat yang sebelumnya tidak memungkinkan, semisal di samping kolam renang, sebab XB501G telah mengantongi sertifikasi IP65 (basah-basahan biasa saja, jangan sampai diceburkan).

Sony SRS-XB501G

XB501G dibekali sebuah subwoofer 4,92 inci dan sepasang speaker 1,75 inci yang diposisikan sedemikian rupa demi memperluas distribusi suara. Agar lebih maksimal lagi, speaker juga bisa diletakkan di atas tripod – plus penampilannya bakal kelihatan seperti lampu gantung warna-warni.

Sebagai smart speaker, konektivitas XB501G jauh dari kata mengecewakan. Wi-Fi, NFC dan Bluetooth sudah menjadi standar, demikian pula dukungan Chromecast untuk menyinkronkan beberapa speaker sekaligus. Baterainya diklaim bisa bertahan sampai 16 jam tanpa lampu warna-warni yang menyala, sedangkan charging-nya sudah menggunakan sambungan USB-C. XB501G juga bisa dijadikan power bank dadakan jika perlu.

Sony SRS-XB501G

Rencananya, Sony SRS-XB501G akan dipasarkan mulai bulan Oktober mendatang seharga $300. Sulit rasanya mencari smart speaker yang lebih ‘meriah’ dari ini.

Sumber: PR Newswire.

Sony WH-1000XM3 Adalah Pesaing Kuat Bose di Segmen Headphone Wireless Noise Cancelling

Ajang IFA setiap tahunnya selalu dibanjiri oleh produk-produk audio baru, tidak terkecuali tahun ini. Salah satu yang paling getol meluncurkan produk audionya di IFA adalah Sony. Di IFA 2017, mereka menghadirkan tiga headphone wireless berteknologi noise cancelling sekaligus. Tahun ini mereka cuma membawa satu, yakni WH–1000XM3.

Generasi ketiga dari seri Sony 1000X ini boleh dibilang membawa peningkatan yang paling signifikan. Pertama-tama, desainnya telah disempurnakan meskipun masih terlihat mirip, kini diklaim sedikit lebih langsing dan lebih ringan. Kendati demikian, bantalan telinga dan kepalanya malah bertambah tebal guna semakin meningkatkan kenyamanan.

Sony WH-1000XM3

Namun perubahan yang paling besar pengaruhnya adalah sebuah prosesor terpisah berlabel QN1 yang secara khusus menjadi otak dari kinerja noise cancelling-nya. Sony bilang kinerja pemblokiran suaranya ini empat kali lebih baik dari sebelumnya, dan itu turut dibantu oleh sepasang mikrofon yang bertugas menangkap suara dari luar, sebelum akhirnya diteruskan ke prosesor untuk dieliminasi.

Prosesor ini, dipadukan dengan DAC (digital-to-analog converter) dan amplifier terintegrasi, sanggup mengatasi file audio sampai yang beresolusi 32-bit (kabar baik buat kaum audiophile). Unit driver-nya sendiri berdiameter 40 mm, dan dibantu oleh diaphragm berbahan liquid crystal polymer (LCP), mampu menyuguhkan respon frekuensi 4 – 40.000 Hz.

Sony WH-1000XM3

Sony tak lupa menyematkan sejumlah fitur pintar pada 1000XM3. Yang pertama adalah Adaptive Sound Control, di mana headphone diklaim dapat mendeteksi situasi fisik secara otomatis, lalu menyesuaikan kinerjanya. Contoh, selagi pengguna berjalan kaki, headphone akan mendeteksi dan membiarkan suara dari luar masuk, begitu juga ketika ada suara pengumuman di tempat umum. Namun ketika di dalam bus atau kereta yang bergerak, noise cancelling bakal aktif sepenuhnya.

Yang kedua, Quick Attention Mode memungkinkan pengguna untuk mendengarkan suara di sekitarnya tanpa harus melepas headphone. Cukup tutupi earcup sebelah kanan dengan tangan, maka volume akan turun secara instan. Sebagai informasi, 1000XM3 memang mengandalkan pengoperasian berbasis gesture pada earcup-nya.

Terakhir, fitur Customizable Automatic Power Off memungkinkan pengguna untuk mengaktifkan fungsi noise cancelling tanpa harus memutar lagu maupun menyambungkan headphone ke ponsel. Headphone cukup dikenakan saja, maka suara dari luar akan diblokir, dan pengguna bisa beristirahat dengan tenang tanpa harus ditemani alunan musik.

Sony WH-1000XM3

Semua itu masih kurang? Well, masih ada integrasi NFC untuk memudahkan proses pairing, serta dukungan Google Assistant. Baterainya diyakini mampu bertahan sampai 30 jam pemakaian dengan noise cancelling aktif, dan perangkat juga mendukung fitur fast charging via USB-C (10 menit charging cukup untuk menikmati musik selama 5 jam). Kalaupun charging tak bisa dilakukan, 1000XM3 masih bisa digunakan bersama kabel audio standar.

Jujur saya pribadi sangat tertarik dengan kelengkapan yang ditawarkan Sony WH–1000XM3. Sony akan memasarkannya mulai bulan September seharga $350, cukup kompetitif kalau dibandingkan sang juara di segmen ini, yakni Bose QuietComfort 35 Wireless II.

Sumber: PR Newswire.

Sony Umumkan Xperia XZ3, Dikemas Dalam 3D Curved Design dan Layar OLED

Gelaran teknologi IFA 2018, tengah berlangsung di Berlin, Jerman – mulai dari tanggal 31 Agustus sampai dengan 5 September 2018. Sejumlah perusahaan teknologi pun sudah menyiapkan kejutan-kejutan di sana, salah satunya adalah Sony.

Sony baru saja merilis smartphone flagship teranyarnya yaitu Sony Xperia XZ3 yang tampil dengan desain menawan dan layar OLED. Sejak dulu, desain yang original memang menjadi salah satu ciri khasnya.

Sony menyebutnya 3D curved design, bisa Anda lihat sendiri lekukan di tepi layarnya terlihat begitu natural. Dengan sudut-sudut agak membulat dan sedikit melengkung di kedua sisinya.

Sony mengemasnya dengan bingkai yang terbuat dari material yang sangat kuat yakni 7000 series dan body-nya telah disertai sertifikasi IP65/68. Lalu, bagian muka dan belakangnya telah diproteksi oleh Corning Gorilla Glass 5.

Layarnya sendiri membentang 6 inci, berjenis OLED, resolusi QHD+, dalam rasio 18:9, dan sudah mendukung video HDR. Teknologi ini dipinjam dari Sony Bravia TV image processing technology. Namun, bagian dahi dan dagunya terlihat masih relatif tebal.

sony-umumkan-xperia-xz3-1

Disektor kamera, Sony masih mengandalkan single kamera di bagian belakang, dengan sensor berukuran 1/2.3 inci, lensa 25mm, resolusi 19-megapixel, pixel ukuran 1.22µm, dan aperture f/2.0.

Lengkap dengan teknologi autofocus PDAF dan laser AF. Serta, kemampuan merekam video slow motion 1080p pada 960fps dan 4K HDR real-time. Sedangkan, kamera depannya 13-megapixel dengan aperture f/1.9.

Jeroannya mengandalkan chipset Qualcomm Snapdragon 845 dengan konfigurasi RAM 4GB dan storage 64GB dengan dukungan kartu MicroSDXC hingga 512GB. Baterainya sendiri berkapasitas 3.330 mAh dan sudah mendukung Qi wireless charging.

Sony Xperia XZ3 akan menjalankan OS Android 9.0 Pie dan membawa fitur baru Side Sense yang berbasis gesture. Di mana bagian sisi smartphone mampu mendeteksi gerakan tap dan swipe.

Untuk harga, Sony Xperia XZ3 dibandrol US$900 atau sekitar Rp13,2 jutaan di Amerika Serikat dan tersedia pada 24 September.

Sumber: PhoneArena

[Review] Sony RX100 VI: Teman Travelling dan Rekan Kerja yang Bisa Diandalkan

17 dan 22 Agustus lalu ialah tanggal merah, jadi saya izin untuk bekerja dari rumah (secara remote) dalam seminggu. Pulang ke kampung halaman kali ini terasa spesial, karena saya ditemani kamera compact premium yang muat dalam saku yakni Sony RX100 VI.

Piknik keluarga ke dataran tinggi Dieng menjadi salah satu agenda saya, kesempatan yang bagus untuk menguji kehebatan kamera mungil ini. Penasaran bagaimana kepiawaiannya mengabadikan pesona dari daerah yang dijuluki ‘negeri di atas awan’ tersebut – inilah review Sony RX100 VI selengkapnya.

Desain Sony RX100 VI

review-sony-rx100-vi

Saking ringkasnya bentuk RX100 VI, saya hanya perlu membawa tas selempang kecil ini. Isinya antara lain kamera, tripod mini VCT-SGR1, smartphone, power bank, dan dompet. Bisa dibayangkan bukan bagaimana praktisnya? Saya bisa cukup leluasa bergerak dan memotret dengan bebas.

Namun karena RX100 VI tidak memiliki hand grip, saya mesti sangat berhati-hati dalam menggunakannya – takut selip. Solusinya, saya menggunakan tripod mini VCT-SGR1.

Aksesori ini dijual secara terpisah dan bisa disambungkan ke kamera dengan kabel microUSB. Dengan begitu, saya bisa mengambil gambar, merekam video, dan memanfaatkan fungsi zoom dengan lebih aman.

Dengan dimensi 58,1×101,6 cm dan ketebalan 42,8 cm, lebar dan tingginya jauh lebih ramping dibanding smartphone saat ini yang rata-rata punya layar 6 inci dalam rasio 18:9. Namun, RX100 VI jelas lebih tebal dan lensanya juga akan memanjang saat fungsi zoom digunakan.

review-sony-rx100-vi

Untuk desainnya, kurang lebih masih sama dengan para pendahulunya. Build quality-nya sangat bagus – material logam terasa solid di tangan. Meski begitu, RX100 VI tetap butuh perawatan ekstra. Satu lagi, meski muat di kantong – tapi jangan menyimpannya di sana. Kalau kamera tiba-tiba aktif di dalam saku, lensanya bisa tertahan dan tergesek.

Kontrol Kamera Sony RX100 VI

Sekarang mari lihat lebih dekat kontrol kamera yang dimiliki RX100 VI. Kita mulai dari sisi atas, di mana terdapat tombol power dan punya LED yang menyala hijau saat kamera aktif, serta menyala kuning saat charging.

Kemudian ada tombol shutter, yang dilengkapi slider untuk melakukan zoom out dan zoom in. Lanjut disampingnya, ada mode dial yang memungkin Anda beralih ke mode memotret dengan cepat seperti auto mode, program auto, aperture priority, shutter priority, manual exposure, memory recall, movie, high frame rate, sweep panorama, dan scene selection.

Lalu terdapat internal flash dan electronic viewfinder dengan mekanisme pop-up, ada tombol khusus untuk menggunakan – kita cukup menggesernya. Di RX100 VI, pop-up viewfinder-nya bisa langsung digunakan dan tak perlu ditarik keluar.

review-sony-rx100-vi

Ke sisi bawah, ada akses untuk memasang dan mencabut baterai, serta slot kartu memori. Lalu, ada lubang untuk menempatkan kamera ke tripod.

Ke sisi kanan, ditemui port microUSB dan HDMI, serta kait untuk tali kamera. Lalu, di sisi kiri, tombol geser untuk memunculkan viewfinder, kait untuk tali, dan area NFC.

Beralih ke bagian depan, ada layar sentuh 3 inci yang telah mendukung touch focus dan fungsi pinch serta zoom saat preview foto. Layarnya dapat dilipat 180 derajat ke atas dan 90 derajat ke bawah.

Lalu, di samping layar bisa ditemui tombol movie untuk merekam video, tombol menu pengaturan kamera, tombol Fn yang berisi 12 shortcut yang bisa disesuaikan, tombol playback, dan tombol delete. Serta, roda putar dan tombol enter.

Menu Setting Sony RX100 VI

Ada banyak sekali menu-menu di pengaturan kamera Sony RX100 VI dan untuk memaksimalkannya kita perlu mengeksplorasi fitur-fitur yang ditawarkan. Serta, memilih pengaturan penting yang sering Anda gunakan ke tab my menu setting.

Harus diakui, mungkin akan butuh waktu untuk membiasakan diri dengan kontrol kamera dan menu-menu yang ada. Namun begitu memahaminya, maka kita bisa lebih fleksibel dan fokus mendapatkan hasil foto terbaik.

Seperti kamera Sony lainnya, RX100 VI juga punya fitur auto ISO dan meski mendukung sampai 12.800. Untuk memastikan hasil foto memiliki noise yang rendah, kita bisa membatasi maksimal ISO yang digunakan.

Fitur dan Spesifikasi Sony RX100 VI

review-sony-rx100-vi

Sony RX100 VI menggunakan sensor CMOS tipe 1.0 resolusi 20,1-megapixel dengan prosesor gambar BIONZ X dan chip DRAM. Kombinasi tersebut membuatnya mampu menangkap fokus sangat cepat 0,03 detik dan sistem AF yang mencakup 315 titik.

Lensa ZEISS Vario-Sonnar T dengan rentang zoom panjang 24-200 mm f2.8-f4.5 sangat cocok sebagai teman travelling dengan jangkauan lensa dari wide ke tele. Lensa ini juga dilengkapi ring untuk mengatur aperture.

Sistem autofocus yang sangat cepat, kemampuan menjepret 24 foto per detik, sistem peredam getar 5 axis image stabilization, dan perekaman video 4K pada 30 fps atau 24 fps – menjadi keunggulan RX100 VI.

Pengalaman Menggunakan Sony RX100 VI

review-sony-rx100-vi

Saat piknik ke Dieng, jujur saya hanya mengandalkan auto mode saja. Saya tidak mau terlihat asyik sendiri, berusaha mengambil sample foto secapat mungkin, dan tetap fokus pada acara keluarga.

Meski begitu, saya sudah sangat puas dengan hasilnya. Kamera ini mampu mendeteksi objek dan scene dengan sangat baik. Tapi yang paling berkesan memang kecepatan autofocus-nya dan 5 axis image stabilization. Hasil foto di bawah ini sebagian diambil dari balik kaca mobil.

review-sony-rx100-vi

Lensa dengan rentang zoom panjang juga membuatnya menjadi kamera yang sangat fleksibel untuk mengakomodasi jenis-jenis fotografi. Ditambah sistem eye AF yang canggih, memungkinkan kita mengambil foto portrait dari jauh tanpa diketahui oleh objek.

Namun semakin panjang zoom yang digunakan, biayanya adalah aperture maksimum menjadi lebih kecil. Lalu, aperture kecil tersebut bisa mempengahui hasil foto di cahaya low light. Kalau untuk hasil foto di luar ruangan, rata-rata warna dan detailnya sudah sangat bagus.

review-sony-rx100-vi

Dalam beberapa acara peliputan di Jakarta, Sony RX100 VI menjadi teman kerja yang sangat bisa diandalkan. Saya bisa memotret objek di panggung dari jauh tanpa harus mendekat. Serta, sangat memudahkan saat membuat konten video.

Untuk foto-foto saja, kamera ini sanggup mengambil 240 bidikan sekali charge. Tapi, kalau sudah dipakai untuk video – baterainya bakal terkuras lebih cepat. Perlu setidaknya bawa satu baterai cadangan dan power bank.

Berikut beberapa bidikan dari kamera saku premium Sony RX100 VI:

Perekaman Video Sony RX100 VI

review-sony-rx100-vi

Dengan Sony RX100 VI, kita bisa merekam video resolusi tinggi dengan mudah. Kamera ini sanggup merekam video 4K pada 30 fps atau 24 fps dan video slow motion 1080p pada 120 fps.

Sayangnya, durasi rekaman video 4K-nya dibatasi hanya dalam waktu lima menit saja. Itu pun sudah membuat body terasa panas. Namun, dari pengalaman saya untuk merekam video 1080p dalam waktu 30 menit suhu body masih aman.

Ketiadaan port mic 3,5mm bisa dimaklumi mengingat bentuknya yang kecil. Solusi untuk meningkatkan audio juga mudah, cukup pakai recorder eksternal saja.

Verdict

review-sony-rx100-vi

Buat saya Sony RX100 VI adalah teman yang menyenangkan saat travelling dan rekan kerja yang dapat diandalkan. Satu kata yang paling tepat ialah ‘praktis’, sangat ideal untuk para creator video (misalnya YouTuber). Dengan sistem autofocus sangat cepat, zoom amat panjang, serta hasil foto dan video yang bagus.

Namun sebagai kamera saku premium, harga Sony RX100 VI memang tidak murah yakni Rp17 juta. Dengan kisaran harga yang sama, Anda juga bisa mendapatkan kamera mirrorless full frame Sony Alpha A7 II yang menyimpan potensi lebih besar.

Pilihan di tangan Anda, kalau mau praktis dan tak perlu berpikir beli lensa – Sony RX100 VI untuk Anda. Tapi, kalau sedikit direpotkan dan ingin berinvestasi lebih di lensa, lebih baik pilih body Sony Alpha A7 II.

Sparks

  • Body terbilang sangat kecil tapi dengan kontrol cukup lengkap
  • Autofocus sangat cepat
  • Sistem peredam getaran 5 axis image stabilization juga sangat berguna
  • Jangkauan lensanya sangat fleksibel

Slacks

  • Tidak ada hand grip, kurang nyaman dipegang lama-lama
  • Baterai cepat habis bila untuk merekam video
  • Durasi perekaman video 4K dibatasi hanya 5 menit

Sony Meraih Lima Penghargaan EISA Awards 2018-2019 Kategori Photography

Keterpurukan bisnis smartphone Sony memang cukup disayangkan, namun di pasar kamera mirrorless dunia – Sony masih menjadi market leader.

Di Indonesia sendiri, belum lama ini Sony telah menghadirkan kamera saku premium Sony RX100 VI. Dan sabtu depan, Sony akan memperkenalkan lensa Sony 400mm F2.8 G Master Prime.

Tahun 2018 dijalani Sony dengan baik, mereka telah meraih lima dari delapan belas penghargaan dari EISA Awards 2018-2019 di kategori photography.

EISA (European Imaging and Sound Association) sendiri merupakan organisasi editorial multimedia terbesar di Eropa. Mereka dikenal akan keahliannya dalam menilai produk.

Lima best product dari Sony yang meraih penghargaan EISA Awards 2018-2019 di kategori photography adalah:

  • Sony Cyber-shot RX10 IV sebagai Superzoom Camera
  • Sony Alpha A7R III sebagai Professional Mirrorless Camera
  • Sony Alpha A7 III sebagai Camera of The Year
  • Sony FE 100-400mm F4.5-5.6 GM OSS sebagai Mirrorless Telezoom Lens
  • Sony FE 16-35mm F2.8 GM sebagai Mirrorless Wideangle Zoom

Lalu, smartphone terbaik untuk photography diraih oleh Huawei P20 Pro, smartphone triple camera pertama di dunia, hasil dari kerja sama Huawei dan Leica.

Dengan kamera utama RGB sensor berukuran 1/1.7 inci, lensa 27mm resolusi 40-megapixel, dan bukaan f/1.8. Kemudian kamera monochrome dengan sensor berukuran 1/2.7 inci, lensa 27mm resolusi 20-megapixel, dan bukaan f/1.6. Satu lagi, kamera dengan sensor 1/4 inci, lensa telephoto 80mm resolusi 8-megapixel, dan bukaan f/2.4.

Berikut 12 best product yang meraih penghargaan EISA Awards 2018-2019 di kategori photography lainnya:

  • Fujifilm X-H1 sebagai Mirrorless Camera
  • Canon EOS M50 sebagai Best Buy Camera
  • Canon EOS 6D Mark II sebagai DSLR Camera
  • Canon Speedlite 470EX-AI sebagai Photo Innovation
  • Canon EF 85mm f/1.4L IS USM sebagai DSLR Prime Lens
  • Nikon D850 sebagai Professional DSLR Camera
  • Nikon AF-S Nikkor 180-400mm f/4R FL ED VR sebagai Professional Lens
  • Panasonic Lumix DC-GH5S sebagai Photo Video Camera
  • Tamron 28-75mm F/2.8 Di III RXD sebagai Mirrorless Standard Zoom Lens
  • Tamron 70-210mm F/3 Di VC USD sebagai DSLR Telezoom Lens
  • Sigma 14-24mm F2.8 DG HSM | Art sebagai DSLR Zoom Lens
  • CEWE Photobook Pure sebagai Photo Service

Sumber: Dpreview

Sony Luncurkan Pemutar Musik Digital Kelas Sultan Seharga Mobil LCGC

Jangankan orang awam, terkadang orang yang sudah akrab dengan perkembangan teknologi saja terheran melihat gelagat kaum audiophile. Mereka ini tidak segan mengucurkan dana yang begitu besar hanya demi memanjakan kedua telinganya, dan pabrikan pun merespon dengan baik pasar yang teramat niche ini.

Lihat saja Sony. Di event Hong Kong High End Audio Visual Show belum lama ini, mereka memamerkan dua perangkat audio kelas sultan dari lini Signature Series mereka: earphone IER-Z1R seharga HK$13.990 (± Rp 26,1 juta) dan pemutar musik digital DMP-Z1 seharga HK$61.880 (± 115,5 juta). Tak perlu digabung, banderol music player-nya saja sudah setara mobil baru kelas LCGC.

Sony IER-Z1R / Sony
Sony IER-Z1R / Sony

Pertanyaannya, apa yang konsumen dapat dari perangkat audio seharga mobil itu? Dukungan audio berformat hi-res sudah pasti, tapi tentu ini baru secuil dari cerita lengkapnya. Pada DMP-Z1, Anda bisa melihat bubuhan emas di sekujur tubuhnya; di kenop volume besarnya, dan bahkan solderan di jeroannya pun disebut mengandung emas demi menyempurnakan aliran sinyal.

Satu komponen yang unik adalah yang Sony juluki dengan istilah Vinyl Processor. Berkat ini, DMP-Z1 dapat menyajikan karakter khas vinyl pada musik digital yang diputarnya. Bukan cuma itu, prosesor lain berlabel DSEE HX yang ada di dalamnya juga diklaim sanggup menyempurnakan kualitas suara pada format audio lossy, termasuk yang sudah melewati tahap kompresi intensif – ibaratnya seperti TV 4K yang meng-upscale video 1080p.

Sony DMP-Z1

DMP-Z1 dapat digunakan langsung bersama headphone atau earphone berkat kapasitas penyimpanan internal sebesar 256 GB, plus sepasang slot microSD. Ia juga bisa difungsikan sebagai DAC (digital-to-analog converter) via USB-C, maupun menyambung ke ponsel via Bluetooth jika perlu. Baterainya sendiri diperkirakan bisa bertahan sampai 9 jam ketika dipakai memutar musik hi-res.

Jadi, anggap Anda seorang audiophile, Anda pilih ini atau LCGC?

Sumber: The Verge.