Pemasukan Honor of Kings Capai US$10 Miliar, Konami Buka Kontes untuk Developer Indie

Minggu lalu, ada beberapa berita menarik di dunia game. Salah satunya, Konami baru saja mengadakan kontes untuk developer indie, meminta mereka untuk membuat versi remake atau sekuel dari game klasik buatan Konami. Selain itu, Bandai Namco baru saja memamerkan logo baru mereka. Pada minggu lalu, pemasukan Honor of Kings juga menembus US$10 miliar.

Konami Buka Kontes untuk Developer Indie

Konami menggelar kontes untuk developer indie pada minggu lalu. Dalam kontes itu, para developer indie diminta untuk membuat game yang didasarkan pada seri klasik Konami, seperti Gradius, Ganbare Goemon, dan lain sebagainya.  Game yang dibuat oleh para developer bisa berupa sekuel atau pun remake. Para developer indie juga diberikan kebebasan untuk memilih apakah mereka akan membuat game dengan genre serta gameplay yang sama seperti game klasik buatan Konami atau justru memilih genre yang sama sekali baru.

Kontes ini disponsori oleh Konami. Untuk mengadakan kontes tersebut, Konami juga bekerja sama dengan Shueisha Game Creators Camp. Kontes itu akan dimulai pada 30 September 2021 dan akan berakhir pada 6 Januari 2022, menurut laporan IGN.

Sejak Diluncurkan Pada 2015, Total Pemasukan Honor of Kings Capai US$10 Miliar

Total pemasukan dari Honor of Kings telah mencapai US$10 miliar sejak mobile MOBA tersebut diluncurkan oleh Tencent pada 2015. Honor of Kings menjadi mobile game pertama yang mendapatkan pencapaian tersebbut. Berdasarkan data dari Sensor Tower, pemasukan Honor of Kings pada 2021 saja berhasil mencapai lebih dari US$2 miliar. Hal ini menjadikan Honor of Kings sebagai mobile game MOBA dengan pemasukan terbesar.

Pemasukan mobile MOBA. | Sumber: Sensor Tower

Gelar mobile MOBA dengan pemasukan terbesar kedua diduduki oleh Brawl Stars dari Supercell. Namun, pemasukan Honor of Kings jauh lebih besar dari Brawl Stars, yang mendapatkan US$320 juta pada Januari-Agustus 2021. Posisi ketiga ditempati oleh Mobile Legends: Bang Bang, yang mendapatkan US$220 juta pada periode Januari-Agustus 2021, lapor GamesIndustry.

StreamElements Akuisisi Jaringan Multichannel YouTube, Paragon

StreamElements mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Paragon, jaringan multichannel YouTube yang menaungi beberapa kreator konten ternama, seperti SyperPK, xNestorio, dan Kiingtong. Sebagai perusahaan “YouTube Network & Digital Media”, Paragon menawarkan layanan pada kreator konten untuk membantu mereka meningkatkan kualitas konten serta jangkauan konten mereka. CEO StreamElements, Gil Hirsch mengatakan, dengan mengakuisisi Paragon, mereka ingin bisa memperluas jangkauan mereka ke industri video-on-demands.

“Dengan menjadikan Paragon sebagai bagian dari keluarga StreamElements, kami akan bisa membantu banyak YouTubers ternama untuk memperkaya penawaran mereka dan membantu mereka menambah jumlah penonton mereka,” ujar Hirsch, dikutip dari VentureBeat. “Kami tidak akan memotong komisi para YouTubers dari pemasukan iklan standar. Hal ini sesuai dengan misi kami sebagai perusahaan yang mengutamakan kreator.”

Bandai Namco Pamer Logo Baru

Developer dan publisher Jepang, Bandai Namco, memamerkan logo baru mereka pada minggu lalu. Logo baru ini akan mulai digunakan pada April tahun depan. Logo ini diharapkan dapat mencerminkan tujuan baru perusahaan, yaitu “kebahagiaan untuk semua orang di masa depan.” Dalam logo barunya, Bandai Namco menggunakan “Fukidashi” atau balon kata, yang merupakan cerminan potensi perusahaan untuk menjalin hubungan dengan semua orang dan menginspirasi mereka dengan berbagai “ide yang mengagumkan”, menurut laporan Nintendo Life.

Sony Akuisisi Bluepoint Games

Sony baru saja mengakuisisi Bluepoint Games, yang telah menjadi rekan mereka sejak lama. Bluepoint dikenal berkat sejumlah game remasters dan remakes mereka, seperti versi remake dari Demon’s Souls untuk PlayStation 5, remake Shadow of Colossus untuk PlayStation 4, serta versi remasters dari Uncharted: The Nathan Drake Collection, lapor GamesIndustry.

Sejak Bluepoint didirikan, Sony memang telah menjalin hubungan erat dengan studio itu. Faktanya, Sony menjadi publisher dari game pertama buatan Bluepoint, yaitu Blast Factor, game untuk PlayStation 3 yang dirilis pada 2006. Sebelum ini, Bluepoint juga pernah diprecayakan untuk membuat remake dan remaster dari God of War dan Gravity Rush.

Sony Luncurkan TWS dengan Harga Bersahabat dan Headphone ANC Buat Para Basshead

Dengan banderol 4 juta rupiah, TWS Sony WF-1000XM4 jelas bukan untuk semua orang. Sony sadar betul akan hal itu, dan untuk menjangkau kalangan konsumen yang lebih luas, mereka sudah menyiapkan TWS lain bernama WF-C500.

Saya tahu cara Sony menamakan produknya memang agak membingungkan, tapi yang pasti WF-C500 bakal menggantikan posisi WF-XB700 sebagai TWS termurahnya. Sebagai konteks, WF-XB700 dibanderol $130 saat pertama diluncurkan setahun lalu, sementara WF-C500 dihargai cuma $100 saja.

Apa yang membedakan WF-C500 dari TWS high-end macam WF-1000XM4 tadi? Yang paling kentara adalah perihal active noise cancellation (ANC). WF-C500 tidak dibekali ANC dan sepenuhnya mengandalkan isolasi suara secara pasif. Cukup disayangkan memang, apalagi mengingat sudah banyak pabrikan yang mampu menawarkan TWS ANC di rentang harga yang sama atau bahkan lebih murah.

Terlepas dari itu, WF-C500 menawarkan dua fitur khas Sony: DSEE (Digital Sound Enhancement Engine) dan 360 Reality Audio. DSEE berfungsi untuk mengembalikan sejumlah detail yang hilang akibat proses kompresi ketika musik di-stream via Bluetooth, sementara 360 Reality Audio bakal menyajikan sensasi immersive pada koleksi konten yang kompatibel di sejumlah layanan streaming.

Untuk desainnya, tampak bahwa WF-C500 banyak terinspirasi oleh WF-1000XM4. Bentuknya ringkas dan ringan, dengan bobot tidak lebih dari 5,4 gram per earpiece. Di dalamnya, tertanam dynamic driver berdiameter 5,8 mm.

Pengoperasiannya mengandalkan tombol di dinding luar masing-masing earpiece. WF-C500 tercatat mengantongi sertifikasi IPX4, yang berarti keringat dan cipratan air tak akan jadi masalah besar buatnya.

Dalam sekali pengisian, baterai WF-C500 bisa tahan sampai 10 jam pemakaian, atau 20 jam kalau digabung dengan daya milik charging case-nya. Selain warna hitam, Sony WF-C500 juga akan tersedia dalam warna putih, hijau, dan oranye.

Sony WH-XB910N

Dalam kesempatan yang sama, Sony turut mengumumkan WH-XB910N, penerus langsung dari WH-XB900N. Label “XB” pada namanya merujuk pada fitur “Extra Bass”, cocok buat mereka yang suka dengan dentuman bass yang mantap.

Dibanding pendahulunya, WH-XB910N menjanjikan kinerja ANC yang lebih prima berkat penerapan teknologi Dual Noise Sensor. Dengan mengklik satu tombol, fitur ANC ini dapat diganti menjadi ambient mode, yang sekarang diklaim bisa menghasilkan suara yang lebih natural. Alternatifnya, ada fitur Adaptive Sound Control yang akan menyesuaikan pengaturan ambient mode secara otomatis berdasarkan lokasi dan aktivitas pengguna.

Sony juga melihat potensi headphone over-ear ini untuk kebutuhan WFH, terutama berkat teknologi Precise Voice Pickup yang diyakini mampu menangkap suara pengguna dengan jernih. Dukungan multi-point pairing juga bakal sangat membantu, sebab WH-XB910N jadi bisa dihubungkan ke dua perangkat Bluetooth yang berbeda secara bersamaan.

WH-XB910N mengemas driver berukuran 40 mm pada masing-masing earcup-nya. Sisi luar earcup-nya merupakan panel sentuh yang mendukung berbagai gestur pengoperasian. Untuk memudahkan penyimpanan, earcup-nya juga bisa dilipat ke arah dalam.

Dalam sekali charge, headphone dengan bobot 252 gram ini mampu bertahan selama 30 jam penggunaan. Itu dengan ANC menyala; kalau dimatikan, daya tahan baterainya malah diklaim bisa mencapai angka 50 jam.

Di Amerika Serikat, Sony WH-XB910N dijual seharga $250, sama persis versi sebelumnya. Pilihan warna yang tersedia mencakup hitam, biru, dan abu-abu.

Sumber: Engadget.

Sony Alpha ZV-E10 Adalah Kamera Vlogger Ringkas dengan Sensor APS-C dan Lensa yang Dapat Ditukar

Sony Indonesia akhirnya resmi meluncurkan Alpha ZV-E10, kamera mirrorless dengan lensa yang dapat ditukar dan didesain khusus untuk para vlogger. Harganya dibanderol Rp10.999.000 dengan lensa kit 16-50 mm, akan hadir di Indonesia pada bulan November 2021 dalam warna hitam dan putih.

Bila mengikuti pre-order yang dibuka dari tanggal 29 September 2021 hingga 17 Oktober 2021. Anda bisa mendapatkan keuntungan berupa program purchase with purchase spesial untuk produk Shooting Grip GP-VPT2BT seharga Rp1.199.000 dan microphone ECM-W2BT seharga Rp3.399.000.

Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia menyampaikan, “Kami menilai bahwa diperlukan cara baru dalam memperlihatkan serta menyalurkan karya secara lebih kreatif, seru, dan ekspresif. Maka dari itu, kami sangat antusias untuk memperkenalkan kamera seri Alpha terbaru yang secara khusus didesain untuk para vlogger.”

Alpha ZV-E10 adalah kamera mirrorless dengan sensor besar – APS-C Exmor CMOS yang didesain untuk memudahkan penggunanya dalam berkreasi secara maksimal. Kamera ini juga memungkinkan para pengguna untuk mengganti-ganti lensa dengan mudah, sesuai dengan kebutuhan, agar dapat berkarya secara maksimal. Alpha ZV-E10 sangat cocok bagi para vlogger yang ingin beralih pada pengaturan yang lebih canggih, namun memiliki fitur yang mudah digunakan“, tambahnya.

Desain Video-first dan Fitur Alpha ZV-E10

Seperti yang sudah saya bahas saat peluncuran global ZV-E10, ia merupakan versi advanced dari ZV-1, kamera compact 1 inci yang nyaris sempurna untuk daily vlog. Lewat ZV-E10, Sony menawarkan semua fitur yang dibutuhkan untuk pembuat konten awal atau yang ingin meningkatkan kualitas produksinya dengan sensor lebih besar CMOS Exmor APS-C 24,2MP dan sistem Sony E-mount yang membebaskan pengguna memasang lensa yang dibutuhkan.

Meski begitu, Sony mengemasnya dengan desain video-first dalam bentuk yang ringkas. Di mana sudah dilengkapi dengan layar LCD vari-angle bukaan samping, hot shoe, dan port mikrofon yang memungkinkan para vlogger menghubungkan mikrofon eksternal di atas kamera.

Selain itu, ZV-E10 juga didukung dengan berbagai fungsi lain yang mudah digunakan dan dirancang khusus untuk foto dan video. Termasuk tombol still/movie/slow dan quick motion baru yang terletak di atas kamera. Fitur video khusus dari ZV-1 juga turut dihadirkan, termasuk background defocus yang dapat beralih antara latar belakang bokeh dan tajam dengan mulus. Serta, mode product showcase setting yang memungkinkan kamera mengalihkan fokus dari wajah subjek ke objek yang disorot secara otomatis.

Saat dipasangkan dengan Shooting Grip opsional dengan Wireless Remote Commander (GP-VPT2BT), pengambilan gambar satu tangan disederhanakan dengan kemudahan akses zoom, record dan tombol yang dapat disesuaikan. Lampu perekaman (tally light) juga tersedia di bagian depan bodi untuk indikasi status perekaman. Frame merah pada layar LCD juga muncul saat perekaman untuk memberitahu pengguna dengan cepat dan mudah jika perekaman aktif saat berada di belakang kamera.

Untuk perekaman videonya, ZV-E10 mendukung hingga resolusi video 4K melalui pixel readout penuh tanpa pixel binning dengan Codec XAVC S dan bitrate 100Mbps. Juga Slow Motion 1080p 120fps dan turut didukung picture style seperti hybrid Log-Gamma (HDR), S-Gamut3.Cine, S-Log3, S-Gamut3, dan S-Log3. Serta, dilengkapi dengan stabilisasi gambar elektronik dengan mode aktif yang menghadirkan perekaman video stabil, bahkan pada saat berjalan dan pengambilan gambar dengan tangan.

Tentu saja, ZV-E10 sudah dilengkapi Fast Hybrid AF dan Real-time Eye AF untuk video, serta Real-time Tracking yang dapat melacak wajah dan mata subjek untuk pemfokusan otomatis yang cepat dan tepat. Menggunakan algoritma Face Priority AE, ZV-E10 secara otomatis dapat mengoreksi pencahayaan sehingga wajah subjek tidak terlalu terang maupun terlalu gelap ketika gambar diambil dalam pengaturan berbeda dengan perubahan cahaya yang dramatis.

Alpha ZV-E10 juga merupakan kamera yang sangat cocok untuk menunjang kegiatan para pengguna yang sedang menerapkan work from home, school from home, atau kegiatan online lainnya. Karena kamera ini dapat digunakan sebagai webcam atau kamera live streaming berkualitas tinggi hanya dengan menghubungkannya ke PC atau smartphone untuk meningkatkan mobilitas saat streaming tanpa memerlukan software tambahan. Alpha ZV-E10 mendukung standar yang digunakan untuk kamera USB seperti UVC (USB Video Class) / UAC (USB Audio Class).

Harga Diri Gamers: Jadi Alasan untuk Lakukan Gatekeeping?

Dulu, jumlah gamers tidak sebanyak sekarang. Bermain game menjadi hobi bagi segelintir orang saja. Selain itu, dulu, gamers juga punya konotasi negatif. Sekarang, memang masih ada stigma buruk yang melekat pada game, tapi, semakin banyak orang yang sadar bahwa game tidak melulu membawa efek negatif. Game telah tumbuh menjadi industri yang nilainya mengalahkan industri perfilman dan musik. Industri game bahkan mendorong munculnya industri baru, seperti streaming game dan juga esports.

Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah gamers, muncul segregasi. Biasanya, gamers dikelompokkan berdasarkan platform yang mereka gunakan — PC, konsol, atau mobile — atau berdasarkan dedikasi mereka saat mereka bermain game — kasual atau hardcore. Mengelompokkan gamers berdasarkan preferensi mereka sebenarnya bukan masalah. Hanya saja, ketika sebagian gamers mulai membatasi sebagian orang untuk bergabung dengan komunitas game, hal inilah yang menjadi masalah.

Gatekeeping: Definisi dan Penyebab

Mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan akses akan sesuatu, begitulah pengertian gatekeeping secara sederhana. Sebenarnya, gatekeeping tidak hanya terjadi di industri game. Namun, karena Hybrid.co.id adalah media yang membahas soal game dan esports, artikel ini hanya akan membahas tentang fenomena gatekeeping di dunia game.

Lalu, bagaimana cara seorang gatekeeper mencegah orang lain untuk masuk ke dunia game? Memang, siapapun bisa membeli game dan memainkannya. Namun, gatekeepers punya cara untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk masuk ke dunia game.

Salah satu caranya adalah harassment. Misalnya, stereotipe gamers adalah laki-laki muda. Jadi, orang-orang yang tidak masuk dalam kategori ini bisa jadi korban dari harassment. Gangguan itu bisa membuat seseorang berhenti main game atau enggan untuk ikut aktif dalam komunitas.Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, 59% perempuan merahasiakan gender mereka untuk menghindari harassment. Gender tidak selalu menjadi pemicu dari harassment. Terkadang, pemicunya adalah ras dan warna kulit.

Contoh harassment yang ditujukan pada perempuan. | Sumber: HuffPost

Menurut IGN, biasanya gatekeepers punya alasan kenapa mereka mencegah kelompok tertentu untuk masuk ke komunitasnya. Salah satu alsaannya adalah karena mereka menganggap komunitas gaming sebagai “safe space” mereka. Dan ketika ada orang lain di luar kelompoknya — alias outsider — mencoba untuk masuk, mereka menganggap hal itu sebagai ancaman akan ruang yang dia miliki. Apalagi karena dulu, gamers sering mendapat cap buruk.

Sementara itu, menurut Kotaku, harga diri bisa jadi awal dari gatekeeping. Banyak gamers yang merasa bangga menjadi gamers. Dengan mengklaim diri sebagai gamers, mereka ingin agar orang lain tahu akan kecintaan mereka pada game dan menghargai identitas mereka sebagai gamers. Masalah muncul ketika gamers mengelompokkan orang-orang berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, yang menciptakan pertikaian antara “kita” dan “mereka”.

Di satu sisi, membuat komunitas eksklusif untuk gamers ini bisa mempererat hubungan antara para gamers. Karena, mereka akan merasa seolah-olah mereka ada di komunitas yang memiliki pemikiran yang serupa. Di sisi lain, pengelompokkan gamers dan non-gamers ini bisa membuat gamers secara otomatis mengasingkan orang-orang yang dianggap bukan bagian dari kelompok mereka.

Masalah menjadi semakin keruh ketika industri game tumbuh pesat dan jumlah gamers meroket. Orang-orang tidak lagi dikelompokkan berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, tapi juga berdasarkan platform yang mereka gunakan atau genre yang mereka mainkan. Sebagian gamers akan dianggap “gamers sejati”, sementara yang lain tidak. Sebagian akan menjadi bagian dari kelompok, dan sebagian lagi tidak. Dan orang-orang yang bukan bagian dari kelompok akan diasingkan — atau didiskriminasi.

Dampak Gatekeeping

Salah satu masalah yang muncul karena gatekeeping adalah diskriminasi. Pada awalnya, game merupakan media hiburan yang ditujukan untuk laki-laki. Hal ini bisa terlihat dari tipe-tipe game yang muncul pada awal industri game. Namun, sekarang, jumlah gamers tidak hanya bertambah pesat, tapi juga menjadi semakin beragam. Di Asia, sekitar 38% gamers merupakan perempuan. Sayangnya, meningkatnya jumlah gamers perempuan tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik. Banyak gamers perempuan yang mengalami diskrimasi berdasarkan gender.

Selain diskriminasi, masalah lain yang mungkin muncul karena gatekeeping adalah ableism. Masalah ini muncul ketika sekelompok gamers memandang rendah orang-orang yang bermain game dengan mode easy. Memang, tidak semua game harus punya easy mode. Beberapa game memang didesain untuk menawarkan tantangan, seperti Dark Souls. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti bahwa para gamers yang memainkan game kasual atau bermain game di easy mode pantas untuk dihina dan direndahkan.

Kabar baiknya, sekarang, developer mulai memperhatikan masalah accessibility dari game mereka. Sehingga, penyandang disabilitas pun tetap bisa memainkan game tersebut. Salah satu contoh fitur accessibility yang ada pada game adalah fitur text-to-speech atau pengaturan warna bagi penyandang buta warna, lapor TechRadar. Difficulty settings juga merupakan bagian dari fitur accessibility dalam sebuah game, karena keberadaannya membuat semakin banyak orang bisa memainkan game itu.

Terakhir, masalah terbesar yang bisa muncul akibat gatekeeping adalah mematikan kreativitas pelaku industri game. Tujuan utama dari gatekeeping adalah mencegah sekelompok orang memasuki dunia game. Jadi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa ikut aktif dalam komunitas game. Pada akhirnya,  komunitas game menjadi homogen, karena hanya terdiri dari orang-orang yang berasal satu kelompok saja. Padahal, keberagaman justru bisa menguntungkan ekosistem game. Seperti yang disebutkan oleh Kotaku, tanpa ide baru yang berbeda di dunia game, maka game sebagai media hiburan akan menjadi stagnan dan akhirnya, mati.

Sumber header: InvenGlobal

Gran Turismo 7 Akhirnya Jelaskan Alasan Game-nya Harus Selalu Online

Seri Gran Turismo akhirnya kembali berfokus kepada pengalaman permainan single player lewat Gran Turismo 7. Meskipun game-nya ditunda hingga 2022, beberapa informasi baru telah diumumkan oleh developer Polyphony Digital.

Salah satu yang banyak dipermasalahkan oleh para fans adalah pernyataan bahwa Gran Turismo 7 nantinya tetap membutuhkan koneksi internet untuk memainkan campaign single player-nya. Hal tersebut langsung dipertanyakan oleh para fans, apalagi mode campaign Gran Turismo 7 memang berjalan terpisah dari mode multiplayer-nya.

Polyphony Digital tidak menunggu lama untuk menjelaskan alasan mengapa sistem “always-online” tersebut diterapkan. Lewat wawancaranya dengan Eurogamer, kreator Gran Turismo Kazunori Yamauchi menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan untuk mencegah para pemain melakukan cheating dan juga manipulasi terhadap data save.

Sebenarnya dapat dipahami keputusan untuk membuat Gran Turismo 7 ini untuk selalu online. Pertama, baik PlayStation 4 dan PlayStation 5 sudah memiliki koneksi internet yang mencukupi.

Mode Campaign Gran Turismo 7. Credit: Polyphony Digital

Kedua adalah Gran Turismo 7 menjadi game single player yang berfokus sebagai “Car Collecting Game“. Hal tersebut membuat proses dan usaha para pemain untuk membeli mobil, memodifikasinya, dan akhirnya melengkapi koleksinya. Pengalaman itu terancam rusak dengan kehadiran para hacker yang membuat “jalan pintas”.

Lebih lanjut Yamauchi juga menjelaskan bahwa bagian dari Gran Turismo 7 yang nantinya tidak membutuhkan koneksi internet adalah Mode Arcade, karena mode tersebut tidak akan mempengaruhi data save. Namun apapun dalam game-nya yang akan mempengaruhi data save akan membutuhkan koneksi internet.

Kostumisasi Mobil di Gran Turismo 7. Credit: Polyphony Digital

Gran Turismo 7 memang seri yang ditunggu oleh para fans sekaligus para pecinta game balap. Apalagi seri ketujuhnya ini mengembalikan semua formula klasik dari serinya, mulai dari Driving School, Performance Points, Car Tuning dan juga Car Customization.

Selain itu game ini juga mendapatkan beragam fitur baru yang tidak kalah menarik seperti cuaca dinamis saat balapan, physics mengemudi yang lebih natural, kehadiran GT Cafe, serta mode fotografi, dan livery editor yang ikut kembali dari Gran Turismo Sport.

Gran Turismo 7 direncanakan untuk dirilis pada 4 Maret 2022 mendatang untuk PlayStation 5 dan juga PlayStation 4.

Uncharted 4 dan The Lost Legacy Akhirnya akan Masuk ke PC

Impian para gamer PC untuk memainkan judul-judul eksklusif PlayStation keliatannya semakin mendapat dukungan dari Sony. Sony memang ingin memperluas pasar game-game mereka yang selama ini fokus ke konsol menuju ke PC yang lebih luas.

Setelah memasukkan beberapa game eksklusifnya seperti Crash Bandicoot N. Sane Trilogy, Horizon Zero Dawn, dan Days Gone. Dugaan game yang akan masuk berikutnya adalah Uncharted 4. Apalagi dugaan ini diperkuat lewat dokumen milik Sony Group yang ditampilkan kepada para investor pada Mei lalu.

Setelah 4 bulan berlalu, Sony akhirnya benar-benar mengumumkan masuknya petualangan Nathan Drake ini ke PC pada gelaran PlayStation Showcase. Bukan hanya Uncharted 4, Sony juga akan membawa ekspansi terpisah dari serinya yaitu The Lost Legacy.

Kedua game ini kini dibundel dengan judul Uncharted Legacy of Thieves Collection dan mendapat status sebagai sebuah remastered yang akan dirilis di PC sekaligus di PlayStation 5. Sayangnya, meskipun berstatus remastered, improvisasi dari sisi grafis pada versi PS5 dan PC ini tidak terlalu terlihat, setidaknya dari apa yang ditunjukkan di dalam trailer perdananya.

Apalagi untuk versi PC, proses porting game ini tidak dikerjakan langsung oleh Naughty Dog, melainkan oleh Studio Iron Galaxy. Studio satu ini memang menjadi studio yang dipercaya oleh Sony untuk melakukan portinggame-game-nya ke PC seperti Crash Bandicoot N. Sane Trilogy dan Spyro Reignite.

Image Credit: Sony

Uncharted Legacy of Thieves Collection ini nantinya akan dirilis pada 2022 mendatang. Meski belum ada tanggal rilis pasti namun, berdasarkan dari blog resmi dari PlayStation, disebutkan bahwa versi PlayStation 5 untuk game ini akan dirilis terlebih dahulu sebelum versi PC-nya.

Dengan masuknya Uncharted 4 yang merupakan salah satu judul eksklusif utama milik Sony, semoga saja lebih banyak lagi judul-judul utama PlayStation seperti The Last of Us, Spider-Man, dan mungkin bahkan God of War yang menuju ke PC.

Toge Productions Sedang Garap Coffee Talk 2, Seri Final Fantasy Klasik Bakal Dirilis di PlayStation Now

Minggu lalu, Toge Productions memamerkan beberapa game yang akan mereka rilis. Salah satunya adalah Coffee Talk Episode 2: Hibiscus & Butterfly. Selain itu, Kickstarter mengumumkan bahwa jumlah proyek pengembangan game di platform mereka pada semester pertama 2021 lebih banyak dari tahun lalu. Pada minggu lalu, juga muncul kabar bahwa game-game Final Fantasy klasik akan tersedia di PlayStation Now.

H1 2021, Total Dana untuk Proyek Pengembangan Game di Kickstarter Capai US$13 Juta

Kickstarter baru saja merilis laporan terkait proyek pengembangan game di platform mereka untuk semester pertama 2021. Dari Januari sampai 1 Juli 2021, ada 649 proyek pengembangan game yang didaftarkan di platform crowdfunding tersebut. Sementara pada tahun lalu, jumlah proyek pengembangan game di Kickstarter hanya mencapai 588 proyek.

Kickstarter menjelaskan, salah satu alasan mengapa jumlah proyek pengembangan game di tahun ini lebih banyak adalah karena adanya proyek dari 2020 yang tertunda hingga 2021. Sementara dari segi total dana yang dikumpulkan, selama semester pertama 2021, jumlah dana yang dikumpulkan untuk proyek pengembangan game mencapai US$13 juta, lebih besar US$2 juta dari tahun lalu.

Jumlah proyek pengembangan game yang didanai di Kickstarter. | Sumber: Kickstarter

Namun, bertambahnya jumlah proyek pengembangan game di Kickstarter berarti jumlah proyek yang tidak mencapai target pendanaan juga naik. Pada semester pertama 2021, ada 184 proyek pengembangan game yang berhasil mencapai target pendanaan mereka. Hal itu berarti, ada 465 proyek pengembangan game yang gagal mencapai target yang telah mereka tentukan. Sementara pada 2020, jumlah proyek yang mencapai target adalah 168 proyek dan jumlah proyek yang gagal mencapai target pendanaan adalah 420 proyek, menurut laporan GamesIndustry.

Pemasukan CD Projekt di Semester 2 2021 Naik 29%

Minggu lalu, CD Projekt merilis laporan keuangan mereka untuk semester pertama 2021. Dari laporan keuangan tersebut, diketahui bahwa pemasukan perusahaan naik 29% menjadi PLN471 juta (sekitar Rp1,76 triliun). Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan pemasukan CD Projekt adalah karena Cyberpunk 2077 dan The Witcher: Wild Hunt masih laku. Menariknya, para gamers mulai mengubah metode pembelian game. Buktinya, penjualan game secara fisik hanya naik 5% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, menurut laporan GamesIndustry, penjualan game secara digital naik 32%.

Selain perubahan dalam cara membeli game, CD Projekt menyadari adanya perubahan dalam kawasan yang memberikan kontribusi besar pada penjualan game mereka. Penjualan game CD Projekt di Eropa turun 52% dari tahun lalu. Namun, jumlah penjualan di Amerika Serikat justru naik sebesar 94%. CD Projekt juga mengungkap, walau pemasukan mereka naik, jumlah pendapatan mereka tetap berkurang karena biaya yang harus mereka keluarkan untuk memperbaiki Cybrepunk 2077.

Toge Productions Punya Game Baru: Coffee Talk Episode 2 dan Vanaris Tactics

Tujuh publisher indie game international bergabung untuk membentuk Indie Houses. Toge Productions merupakan salah satu publisher yang ikut serta dalam proyek tersebut. Minggu lalu, Indie Houses mengadakan siaran pertama mereka, menampilkan game-game yang akan diluncurkan oleh tujuh studio yang menjadi anggota mereka. Dalam siaran itu,  Toge Productions mengumumkan beberapa game baru yang sedang mereka garap, lapor IGN.

Salah satu game yang Toge sedang kembangkan adalah Coffee Talk Episode 2: Hibiscus & Butterfly. Di siaran Indie House, Toge menampilkan cuplikan pertama dari Coffee Talk 2. Selain itu, mereka mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan When the Past Was Around untuk platform mobile. Terakhir, mereka mengungumkan bahwa mereka akan merilis Vanaris Tactics. Game tersebut dibuat oleh Matheus Reis, developer solo dari Brasil. Di Vanaris Tactics, pemain akan bermain sebagai Morgana dan sekelompok pengungsi yang ingin bisa bebas dari kekangan Vanaris.

Brendan ‘PlayerUnknown’ Greene Tinggalkan Krafton untuk Buat Studio Baru

Brendan “PlayerUnknown” Greene akan meninggalkan Krafton Game Union untuk membentuk studio game baru, PlayerUnknown Productions. Studio barunya akan terletak di Amsterdam, Belanda. Meskipun begitu, Krafton masih akan memiliki saham di perusahaan tersebut. Greene dikenal sebagai kreator dari PlayerUnknown’s Battlegrounds milik Krafton. Keputusannya untuk keluar dari Krafton cukup membuat hebot, mengingat PUBG, game buatannya, berhasil mempopulerkan genre game baru, yaitu battle royale. Selain itu, PUBG juga sangat sukses dari segi keuangan. Total pemasukan dari PUBG Mobile saja telah mencapai lebih dari US$5,1 miliar, menurut Sensor Tower.

“Saya sangat berterima kasih pada semua orang di PUBG dan Krafton yang telah memberikan saya kesempatan selama empat tahun terakhir,” kata Greene, seperti dikutip dari GamesBeat. “Sekarang, saya tidak sabar untuk memulai perjalanan baru saya untuk membuat game yang telah saya idamkan selama bertahun-tahun. Sekali lagi, saya berterima kasih pada semua orang di Krafton karena mendukung rencana saya.”

Seri Final Fantasy Klasik Bakal Tersedia di PlayStation Now

Koleksi game Final Fantasy klasik akan tersedia di PlayStation Now. Dengan begitu, para gamers akan bisa memainkan game-game Final Fantasy lawas di PlayStation 4, PlayStation 5, atau bahkan PC. Game pertama yang akan bisa dimainkan adalah versi orisinal dari Final Fantasy 7. Game itu akan tersedia di PlayStation Now pada 7 September 2021. Setelah itu, setiap satu bulan, satu game Final Fantasy klasik akan diluncurkan di PlayStation Now.

Final Fantasy 9 akan tersedia di PlayStation Now pada 2 November 2021. 

Game kedua yang akan dirilis untuk PlayStation Now adalah Final Fantasy 8 Remastered. Game tersebut akan tersedia pada 5 Oktober 2021. Sementara Final Fantasy 9 akan diluncurkan di PlayStation Now pada 2 November 2021. Dan pada Desember 2021, Anda akan bisa memainkan Final Fantasy X serta Final Fantasy X-2 HD Remaster. Terakhir, pada 4 Januari 2022, Final Fantasy 12: The Zodiac Age akan tersedia di PlayStation Now, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Versi Revisi Pertama PlayStation 5 Punya Sistem Pendingin yang Lebih Inferior

Belum lama ini, beredar kabar bahwa Sony mulai memasarkan PlayStation 5 versi revisi pertamanya di Australia. Versi tersebut tampak identik dengan yang pertama diluncurkan, akan tetapi desain dudukannya sedikit berbeda, dan bobotnya hampir 300 gram lebih ringan.

Tidak seperti sebelumnya, dudukan baru itu mengandalkan thumbscrew ketimbang sekrup biasa, sehingga konsumen bisa memasang atau melepasnya tanpa memerlukan bantuan obeng. Namun yang mencurigakan tentu adalah perbedaan bobotnya, sebab 300 gram itu sangatlah signifikan, dan semestinya dapat kita rasakan perbedaannya dengan mudah.

Daripada sekadar berasumsi, saya ingin mengajak Anda menonton video unggahan YouTuber Austin Evans. Di video tersebut, Austin membandingkan unit PS5 Digital Edition yang pertama dirilis dengan unit revisinya (yang sejauh ini baru dijual di Australia, Jepang, dan Amerika Serikat). Benar saja, angka di timbangannya menunjukkan selisih berat 287 gram antara versi lama dan barunya.

Untuk mengetahui apa yang berubah, Austin lanjut membongkar jeroan kedua unit PS5 tersebut (karena sekali lagi, tampilan luarnya sama sekali tidak ada yang berubah). Usut punya usut, Sony rupanya telah mengganti komponen heatsink di PS5 versi revisi ini. Bentuknya lebih ringkas daripada milik versi orisinalnya, dan ukuran pelat tembaganya pun juga tidak sebesar sebelumnya.

Namun yang lebih penting untuk disoroti adalah, perubahan desain heatsink ini juga berdampak pada performa termal PS5. Pengujian yang Austin lakukan menunjukkan bahwa versi revisinya mencatatkan suhu sekitar 3° sampai 5° C lebih panas daripada versi orisinal. Meski demikian, dampaknya ke performa CPU dan GPU masih belum bisa diketahui.

Heatsink PS5 versi orisinal (kiri) dan versi revisi (kanan) / Austin Evans

Kesimpulannya, PS5 versi revisi mengemas sistem pendingin yang lebih inferior ketimbang versi aslinya. Namun sejauh ini tidak diketahui apakah hal yang sama juga berlaku untuk PS5 standar yang dilengkapi disc drive.

Kenapa Sony menerapkan pembaruan yang ternyata malah berpengaruh negatif? Salah satu jawabannya mungkin adalah untuk menekan ongkos produksi. Kebetulan, Bloomberg belum lama ini melaporkan bahwa Sony sekarang sudah mulai mencetak laba dari penjualan PS5 standar.

Sumber: The Verge. Gambar header: Charles Sims via Unsplash.

Tamron Ungkap Lensa Telephoto 18-300mm F3.5–6.3 untuk Kamera APS-C Sony

Tamron telah mengumumkan lensa zoom telephoto all-in-one terbaru untuk kamera mirrorless dengan sensor APS-C, 18–300mm F3.5–6.3 Di III-A VC VXD. Lensa ini tersedia untuk sistem kamera Sony E-mount mulai tanggal 27 September 2021, nantinya juga bakal ada versi Fujifilm X-mount pada akhir tahun.

Kalau di full frame, Tamron 18–300mm F3.5–6.3 Di III-A VC VXD menawarkan rentang zoom setara 27-450mm. Secara optik, lensa ini dibuat dari 19 elemen dalam 15 grup, termasuk tiga elemen hybrid aspherical dan empat low dispersion (LD).

Tamron menggunakan diafragma aperture melingkar tujuh bilah dan memiliki ulir filter depan 67mm. Rentang aperture maksimumnya antara F3.5 hingga 6.3, sedangkan untuk minimumnya F22 pada ujung lebar dan F40 pada ujung panjangnya.

Autofocus-nya didorong oleh linear motor Voice-coil eXtreme-torque Drive (VXD) dan punya optical image stabilization dengan teknologi vibration compensation (VC) milik Tamron. Dengan menggunakan AI, lensa akan memilih karakteristik kompensasi untuk videografi pada panjang fokus 70mm atau kurang.

Jarak pemfokusan minimum lensa ini ialah 15mm pada ujung lebar dan 99mm pada ujung panjangnya, dengan rasio perbesaran masing-masing 1:2 dan 1:4. Kontruksi bodinya sudah moisture-resistant dengan fluorine coating, diameternya 75,5mm, dan berbobot 621 gram.

Untuk keamanan saat menyimpan ataupun membawanya, Tamron melengkapinya dengan tuas untuk mengunci zoom. Dengan cakupan yang luas ini, Tamron 18–300mm F3.5–6.3 Di III-A VC VXD adalah lensa serbaguna untuk berbagai kebutuhan baik still maupun video.

Sumber: DPreview

Di Balik Tutupnya Sony Manchester, Studio yang Menggarap Game PSVR

Sony Manchester didirikan pada 2015. Ketika itu, studio tersebut ditugaskan untuk membuat game AAA bagi PlayStation VR. Namun, lima tahun kemudian, Sony memutuskan untuk menutup studio tersebut. Keputusan ini mengejutkan orang-orang yang bekerja untuk Sony Manchester. Pasalnya, saat itu, studio bahkan masih membuka lowongan baru.

Selama lima tahun berdiri, Sony Manchester tidak pernah membeberkan proyek yang mereka kerjakan. Para pemimpin studio itu bahkan tidak memberitahukan game yang mereka kembangkan pada orang-orang yang melamar di studio tersebut. Mereka hanya memberikan informasi tentang proyek yang mereka buat setelah pelamar diterima sebagai karyawan studio.

Ketika menutup studio di Manchester, juru bicara PlayStation mengungkap bahwa alasan mereka adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan. Namun, para pelaku industri gaming tetap bertanya-tanya: proyek apa yang dikerjakan oleh Sony Manchester? Untuk menjawab pertanyaan itu, Polygon mewawancarai sejumlah orang yang pernah bekerja di studio tersebut. Hanya saja, para narasumber enggan untuk disebutkan namanya karena mereka sudah menandatangani kontrak Non-Disclosure Agreement (NDA) alias kontrak kerahasiaan terkait tugas mereka di Sony Manchester.

Awal Berdiri Sony Manchester

Ketika Sony Manchester didirikan pada 2015, posisi Studio Director diisi oleh Sam Coates. Sebelum itu, Coates pernah menjadi bagian dari Sony Creative Development Group, yang merupakan bagian dari Sony Interactive Entertainment Eropa. Tugas dari divisi tersebut adalah untuk melakukan user testing dan riset serta mengembangkan game-game baru.

Coates turun tangan langsung untuk membesarkan Sony Manchester. Ketika studio baru berdiri, dia membawa 15 developer yang punya pengalaman bekerja untuk studio-studio besar. Sementara itu, Coates bertanggung jawab pada Mark Green yang merupakan Research Director di Sony dan Eric Matthews, yang menjabat sebagai Vice President of Sony Worldwide Studios dan merupakan pendiri Bitmap Brothers.

Horizon Zero Dawn adalah salah satu game yang pernah dikerjakan oleh Matthews dan Green.

Sama seperti Coates, Matthews dan Green juga pernah menjadi bagian dari Creative Development Group. Keduanya juga punya andil dalam pengembangan sejumlah game populer, seperti Horizon Zero Dawn, Until Dawn: Rush of Blood, dan Tearaway Unfolded. Meskipun Coates melapor pada Matthews dan Green, kedua pria itu bekerja di kantor Sony di London.

Sejak studio di Manchester didirikan, Sony tidak pernah memberikan penjelasan detail tentang proyek yang dikembangkan di studio tersebut. Sony bahkan baru mengumumkan keberadaan studio Manchester pada Mei 2015. Alasannya, fans menemukan lowongan pekerjaan dari Sony, yang mencari developer di kawasan Manchester. Walau Sony mengatakan bahwa mereka akan memberikan informasi lebih lengkap akan studio baru mereka di Manchester, informasi tentang studio itu hanya bisa didapat dari lowongan kerja yang Sony buat. Dari lowongan itu, diketahui bahwa Sony Manchester bertugas untuk membuat game AAA untuk PlayStation VR.

Menurut narasumber Polygon, salah satu game yang dibuat oleh Sony Manchester dinamai CSAR: Combat, Research, and Rescue, yang sering disingkat sebagai Rescue. Game itu didasarkan pada Desert Strike, game action klasik yang diluncurkan pada 1992 untuk Sega Genesis. Hanya saja, kali ini, Sony Manchester akan membuat game Rescue dengan teknologi yang lebih modern. Konsep untuk membuat Rescue sebenarnya datang dari Evolution Studios, yang membuat game racing DriveClub.

Sama seperti di Desert Strike, dalam Rescue, para pemain akan terbang menggunakan helikopter untuk menembaki musuh dan melakukan tugas penyelamatan. Selain itu, pemain juga akan didampingi oleh seorang kopilot dan mendapatkan akses ke kapal induk yang berfungsi sebagai markas utama. Di kapal induk, para pemain akan bisa memilih misi yang akan mereka jalankan berikutnya.

Masalah Kepemimpinan Sony Manchester

Salah satu masalah yang dihadapi Sony Manchester adalah proses pengembangan game yang berjalan dengan sangat lambat. Menurut beberapa mantan karyawan, hal ini disebabkan oleh model kepemimpinan Matthews dan Green, yang cenderung melakukan micromanagement.

Tim Sony Manchester akan menghabiskan waktu sekitar 6-12 bulan untuk membuat game dengan desain yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, para pemimpin proyek lakukan akan meminta tim developer untuk mengubah sesuatu, mulai dari artstyle yang “terlalu biru” sampai posisi NPC. Dan hal ini menyebabkan para developer harus mengulang pekerjaan mereka. Jadi, tidak heran jika Sony Manchester menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk membuat prototipe.

Walau kantor utama Matthews dan Green di London, mereka pergi Manchester seminggu sekali. Saat berkunjung ke Manchester, mereka biasanya turun tangan langsung pada proses pengembangan game. Dan hal ini justru menjatuhkan moral sebagian karyawan. Alasannya, mereka merasa seolah-olah mereka tidak dipercaya untuk menyelesaikan tugas mereka. Ketika Polygon mencoba untuk mengonfirmasi hal ini pada Matthews dan Green, Matthews tidak memberikan respons dan Green memutuskan untuk tidak mmeberi komentar.

Matthews dan Green mengunjungi Sony Manchester seminggu sekali. | Sumber: KitGuru

“Komunikasi jadi masalah,” kata salah satu mantan karyawan Sony Manchester. “Eric dan Mark sama sekali tidak terbuka pada ide yang diajukan oleh anggota tim.” Dia menjelaskan, sebagian besar ide yang diajukan oleh tim Sony Manchester ditolak. Kecuali jika ide itu memang sama seperti apa yang Matthews dan Green ingin lakukan.

“Kami punya seorang produser. Namun, dia tidak bisa melakukan tugasnya karena Eric dan Mark tidak menyukai rencana yang mendetail,” ujar sang mantan pegawai. Dia bercerita, proses untuk membuat satu musuh baru bisa memakan waktu selama berbulan-bulan. Padahal, musuh yang dibuat masih dalam tahap pra-produksi.

Jauh di Mata, Jauh di Hati

Masalah lain yang dihadapi oleh studio Manchester adalah sikap tidak acuh dari Sony. Jika dibandingkan dengan studio internal Sony yang lain, jumlah staf studio Manchester memang tidak banyak, tidak lebih dari 30 orang. Alhasil, Sony seolah-olah melupakan keberadaan studio Manchester. Lebih dari satu mantan karyawan Sony Manchester bahkan menganggap studio itu sebagai proyek sampingan untuk Matthews.

Mantan pegawai Sony Manchester juga merasa mereka tidak bekerja untuk studio internal Sony. Pasalnya, kantor mereka tidak memiliki branding Sony sama sekali. Selain itu, mereka juga harus berbagi kantor yang mereka gunakan dengan perusahaan lain. Padahal, mereka seharusnya dipindahkan ke tempat lain yang memang memiliki branding Sony dan bisa mereka gunakan tanpa harus berbagi dengan perusahaan lain. Lagi, hal ini menjatuhkan semangat para karyawan Sony Manchester.

Tiga narasumber mengatakan, saat baru diterima di Sony Manchester, para staf biasanya punya semangat tinggi. Mereka bangga karena mereka bisa bekerja untuk studio internal Sony, mengembangkan game baru. Namun, setelah mereka bekerja di sana selama beberapa bulan, mereka akan sadar bahwa kenyataan jauh berbeda dari harapan mereka.

Tugas Sony Manchester adalah membuat game AAA untuk PSVR. | Sumber: The Verge

Sony Manchester tidak memiliki banyak staf. Walau ditugaskan untuk membuat game AAA, jumlah pegawai di sana tidak pernah melebihi 30 orang. Mereka juga sering membuka lowongan kerja. Namun, para petinggi studio enggan untuk menambah karyawan, terutama ketika mereka masih ada di fase pra-produksi. Mereka berencana untuk menambah pegawai ketika proyek pengembangan game sudah masuk fase produksi, yang terus tertunda.

Pada 2016, sejumlah staf Sony Manchester memutuskan untuk meninggalkan studio itu. Salah satunya adalah Gary Napper, yang menjabat sebagai Lead Designer. Pada Juni 2016, dia pindah ke Supermassive Games. Selain itu, Richard Heasman, yang menjabat sebagai Principal VFX Artist, dan Amrish Wadekar sebagai Principal Environment Artist, juga memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan Codemasters. Bahkan Sam Coates, yang menjabat sebagai Studio Director, akhirnya keluar pada Juli 2016 dan bergabung dengan Lego Group.

Setelah kepergian Coates, Matthews dan Green harus mengisi posisi yang kosong di Sony Manchester. Akhirnya, Matthews menduduki posisi Studio Director dan Green menjadi Creative Director. Meskipun begitu, keduanya tetap bekerja dari London. Mereka sempat menambah jumlah staf Sony Manchester dengan merekrut mantan developer dari Ubisoft Reflections, Sony Liverpool, Sony XDev, dan Electronic Arts. Sayangnya, perekrutan karyawan baru tidak mempercepat proses pengerjaan game di Sony Manchester.

Pada akhir 2018, Matthews dan Green sempat memindahkan tim desain Sony Manchester ke London. Harapannya, hal ini akan membuat mereka bekerja dengan lebih cepat. Namun, keputusan tersebut justru membuat komunikasi antara tim Manchester dan London menjadi semakin buruk.

Tutupnya Sony Manchester

Ada banyak perubahan yang terjadi pada Sony di 2019. Pada November 2019, mereka menunjuk Head of Worldwide Studios baru, yaitu Hermen Hulst. Tugasnya adalah untuk mengatur tim developer internal Sony. Perubahan lainnya adalah Shuhei Yoshida melepaskan jabatannya sebagai President of Worldwide Studios dan menjadi Head of Independent Developer Initiatives.

Restrukturisasi ini membuat Sony meninjau kembali proyek mereka yang tengah berjalan, termasuk Sony Manchester. Studio itu kini mendapatkan tekanan dari Sony untuk menunjukkan hasil dari kerja mereka selama beberapa tahun terakhir. Dan pada akhirnya, tim Sony Manchester mulai menunjukkan hasil. Sayangnya, hal itu tidak menyelamatkan mereka. Sony tetap memutuskan untuk menutup studio di Manchester. Hulst mengunjungi studio Manchester untuk mengumumkan hal ini pada para staf di Februari 2020.

Sejak saat itu, banyak mantan pekerja Sony Manchester yang pindah ke studio lain yang juga bermarkas di Manchester, seperti Firesprite dan Lucid Games. Kedua studio itu juga merupakan rekan Sony dalam membuat The Persistence VR dan Destruction AllStars. Setelah Sony Manchester dibubarkan, Matthews lalu menjabat sebagai Head of Game Development di TT Games, sementara Green menduduki posisi Director of Game Development di perusahaan yang sama.

Sumber header: Dual Shockers