Startup Edtech “Kiddu” Fokus pada Pengembangan Diri dan EQ Anak di Usia Emas

Startup edtech Kiddu meresmikan kehadirannya ke publik pada Kamis (1/12). Startup ini berupaya menjembatani orang tua dengan anaknya dalam memenuhi pengembangan skill EQ (emotional intelligence) dan pengembangan diri (personal development) yang sangat berguna dari kehidupan dini hingga dewasa.

“Kebanyakan edtech fokus pada IQ yang erat kaitannya dengan peringkat dan sebagainya. Bukan berarti ini salah, tapi kadang yang terpenting begitu anak beranjak dewasa adalah EQ dan personal development. Saat ini, hal itu masih jomplang dan belum diajarkan di sekolah,” ucap Co-founder dan CEO Kiddu Mel Bj saat konferensi pers virtual.

Menurut Mel, kepintaran akademis semata (IQ) tidak menjamin kebahagiaan dan kesuksesan dalam kehidupan, karier, dan hubungan dengan antarmanusia. Kondisi ini dialami oleh orang dewasa saat ini di tengah kesibukannya bekerja, seperti kurang dalam mengelola emosi, menjaga kesehatan mental, percaya diri, mencintai diri sendiri, manner, dan kemampuan komunikasi yang baik.

“Terutama di era digital saat ini, banyak anak-anak yang sudah biasa bermain dengan internet dan gadget dan terekspos banyak informasi setiap harinya. Sangat penting membekali mereka dengan mindset positif dan critical thinking untuk melindungi mereka dari informasi yang tidak baik dan membuat keputusan yang tepat untuk hidup mereka sendiri sejak kecil,” ujarnya.

Oleh karenanya, EQ adalah penentu karakter dan perilaku anak yang sebenarnya punya dampak sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, tetapi masih terlupakan. Selain itu, belum ada buku panduan atau sekolah yang mengajarkan bagaimana cara menjadi orang tua yang luar biasa. Biasanya orang tua berusaha melakukan yang terbaik dari pengalaman mereka dibesarkan oleh orang tua mereka sejak kecil. Bagi orang tua, mungkin saja itu cukup.

Namun, tidak sedikit juga dari orang tua yang merasa mereka hanya menggunakan insting, tanpa benar-benar tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengajarkan anak-anak mereka skill kehidupan, seperti cara mengontrol emosi, berkomunikasi yang tepat, menghadapi konflik, dan lebih percaya diri.

“Maka perlu diajarkan dari masa anak-anak, ketika watak dan perilaku mereka masih dalam masa pembentukan, yaitu pada usia emas (0-7 tahun). Ini adalah saat yang tepat untuk mengajarkan moral, etika, emosi, kepercayaan diri, disiplin, dan skill EQ lainnya,” kata Mel.

Co-founder dan CMO Kiddu Fanny Lara Ambadar menambahkan, “EQ dan personal development itu penting karena di masa golden age, otaknya baru terbentuk dari sisi mindset. Jadi secara alam sadar atau di bawah sadar, ini akan jadi inner child sampai dia besar, yang mana self-esteem, dan manner itu misalnya, sangat penting untuk ditanamkan sejak dini.”

Solusi Kiddu

Menurut Mel, Kiddu ingin menjadi bagian dalam aksi perbaikan dan pengembangan EQ di masyarakat Indonesia, dimulai sejak dini. Solusi yang ditawarkan Kiddu adalah web app yang dapat diakses melalui browser di smartphone atau PC.

Karakter KidduSaurus / Kiddu

Aplikasi tersebut dirancang khusus menggunakan metode NLP, Neuroscience & Cognitive Behavior Psychology, dan didesain berbentuk gamifikasi yang menyenangkan untuk anak berusia 4-8 tahun. Konten-kontennya berisi video animasi, kuis, menggambar dan mewarnai, dan metode bermain sambil belajar lainnya. Seluruh konten ini masih berbahasa Indonesia, tetapi rencananya akan dikembangkan dengan terjemahan bahasa Inggris.

Proses belajarnya dimulai dari menonton video yang seru dan dapat dipilih orang tua. Setelah itu, akan ada kuis yang perlu diselesaikan, dan terakhir, mendapat tantangan seru yang bisa diunduh dan dikerjakan di rumah. Orang tua akan mendapat ulasan dari setiap pelajaran yang telah diambil terkait perkembangan anak.

“Kiddu bukan menggeser klinik anak yang ada, tapi sebagai penambah aktivitas anak di rumah yang sehari-harinya sudah terpapar dengan gadget. Kalau klinik itu tidak setiap hari belajarnya. Tapi di Kiddu mereka bisa belajar setiap hari dengan dibatasi maksimal dua pelajaran sehari,” lanjut Fanny.

Saat ini model bisnis yang digunakan Kiddu adalah berlangganan dengan memilih berbagai opsi durasi, mulai dari tiga bulan hingga paling lama setahun. Biayanya mulai dari Rp495 ribu untuk berlangganan selama tiga bulan hingga Rp1,18 juta untuk berlangganan selama setahun.

Mel berencana mempermudah akses para orang tua untuk memperkenalkan Kiddu dengan mode trial selama 7 hari atau 14 hari sebelum memutuskan untuk berlangganan penuh. Aplikasi Kiddu sendiri sudah dirilis untuk publik per (28/11), setelah melakukan berbagai testing selama tiga bulan dengan mewawancarai para orang tua sebagai responden untuk meminta masukan.

“Perkembangan awalnya kami memang masuk ke web app, bukan mobile app. Tapi memang ada agenda di 2023 bakal improve supaya user experience-nya bisa ditingkatkan. Kita juga mau tambah fitur yang lebih advanced untuk gamifikasi dan ada komunitas agar app ini bisa lebih fun.”

Tidak hanya meningkatkan awareness orang tua melalui aplikasi, ke depannya Kiddu berencana untuk melakukan kerja sama dengan ratusan sekolah di Jakarta dan Kemendikbud Ristek, menggaet psikolog influencer, dan melakukan aktivitas offline dengan menggelar Kiddu Offline Center untuk mempertemukan komunitas dan melakukan aktivitas bersama yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan EQ anak.

Menurut Mel, sejauh ini perusahaan masih dalam tahap product-market fit, mencari solusi yang tepat di pasar sembari melihat model bisnis yang dipakai sudah tepat atau belum, sehingga belum aktif mencari penggalangan dari investor luar. “Kami open tapi tidak actively looking, kemarin sudah ada investor yang sudah menghubungi. Kemungkinan kebutuhan baru ada sekitar pertengahan atau akhir tahun depan.”

Zenius Mengonfirmasi Akuisisinya Terhadap Primagama

Startup edtech Zenius akhirnya resmi mengonfirmasi akuisisi penyedia layanan bimbingan belajar (bimbel) Primagama melalui penandatanganan perjanjian pada awal 2022. Melalui aksi korporasi ini, Zenius akan mengintegrasikan Primagama ke dalam platformnya agar dapat menghadirkan model pembelajaran baru berbasis online dan offline (hybrid).

Dalam wawancara eksklusif kepada DailySocial.id, CEO Zenius Rohan Monga mengatakan keputusannya mengakuisisi Primagama didasari oleh permintaan para orang tua terhadap layanan bimbel offline setelah anaknya menggunakan layanan belajar livestreaming. Sejalan dengan meningkatnya kualitas layanan livestreaming dan pengalaman siswa, para orang tua justru menginginkan Zenius dapat memiliki kurikulum sendiri.

“Karena ada permintaan dari segmen pengguna layanan livestreaming terhadap solusi/produk offline, kami merasa ada gap di learning platform. Jika kami bisa bangun sistem pembelajaran hybrid, cara ini dapat menjadi pendekatan belajar yang komprehensif, terutama bagi mereka yang ingin belajar secara offline dan online. Ini salah alasan utama karena ada permintaan pasar atau customer-led decision untuk mengakuisisi Primagama,” tuturnya.

Bahkan selama masa pandemi Covid-19, ia mencatat pertumbuhan bisnis sekitar 20% dari total basis penggunanya menggunakan layanan livestreaming ini. Kemudian, layanan ini disebut berkontribusi sebesar 50% ke pendapatan Zenius.

Di samping itu, Zenius mengamati bagaimana pandemi berdampak signifikan terhadap bisnis lembaga bimbel di Indonesia akibat pemberlakuan belajar di rumah, terutama di 2020. Karena situasi ini, valuasi perusahaan bimbel menjadi lebih ‘affordable’. Kendati begitu, Rohan mengamati industri bimbel di Indonesia mulai bangkit kembali di 2021. Ia menilai ini menjadi waktu yang tepat untuk mengintegrasikan Primagama ke platform Zenius.

“Kami melihat offline learning mulai shifting ke hybrid learning meskipun pandemi belum usai. Kami meyakini fase selanjutnya di industri edtech setelah afterschool learning segment akan didorong oleh hybrid learning. Ini menjadi fokus kami di tahun selanjutnya di mana kami akan deliver pengalaman belajar hybrid dengan mengintegrasikan jaringan bimbel Primagama ke platform Zenius,” kata Rohan.

Pandemi juga telah membawa perubahan signifikan terhadap orang tua, tak hanya akselerasi adopsi teknologi antara guru dan siswa. Karena ada learning loss akibat kebijakan belajar di rumah, situasi ini meningkatkan kecemasan orang tua terhadap pencapaian akademis anak mereka.

“Orang tua dapat mengamati langsung kualitas delivery dari guru ketika anak belajar saat pandemi. Mereka jadi punya opini lebih tentang kualitas pendidikan dan refine ekspektasi mereka ke pengalaman belajar yang lebih baik bagi anak.”

Scale-up hingga integrasi

Alasan lain Zenius mencaplok Primagama di antaranya adalah hubungan baik yang telah dibangun oleh para founder dengan pemilik Primagama. “Kurikulum, cara mengajar, dan pedagogy mereka sangat align dengan Zenius. Ini menjadi pondasi dari akuisisi ini,” ujar Rohan.

Selain itu, model bisnis franchise Primagama dianggap cocok untuk meningkatkan skala bisnis Zenius selanjutnya. Zenius dikenal sebagai salah satu platform pelopor layanan bimbel di Indonesia. Platform yang didirikan oleh Sabda PS dan Medy Suharta ini telah diakses lebih dari 20 juta pengguna di sepanjan tahun ajaran 2019/2020. Adapun, Zenius menyediakan sekitar 100 ribu video pembelajaran dan latihan soal yang bisa diakses secara gratis.

Akuisisi ini membuka kesempatan bagi Zenius untuk mengambil kue pasar baru, terutama siswa yang selama ini belajar secara offline. Rohan menyebut Zenius memiliki konten pre-recorded untuk belajar mandiri yang dinilai dapat menjadi konten komplementer dengan apa yang dipelajari siswa secara offline.

“Kami akan mencari cara untuk membawa value tersebut ke siswa Primagama, kami harap dapat melakukan integrasi kurikulum Primagama dan Zenius selanjutnya. Kami ingin membawa seamless experience bagi tutor Zenius dan Primagama dalam menghadirkan pengalaman belajar yang bagus kepada siswa,” paparnya.

Di samping itu, Primagama dinilai punya posisi yang kuat sebagai top of mind penyedia bimbel, terutama di kalangan orang tua. Sejak berdiri di 1982, Primagama diyakini telah membangun keahlian yang kuat dalam membangun metode pembelajaran secara offline dan cara mengajar bagi para siswa.

Saat ini Primagama mengoperasikan 300 cabang, lebih dari 3.000 pengajar, dan lebih dari 30.000 siswa per tahnnya dari seluruh jenjang (SD, SMP, SMA) di berbagai provinsi di Indonesia. Kualitas Primagama dalam membantu siswa menghadapi ujian masuk perguruan tinggi juga disebut telah teruji.

We would have to evolve this blended curriculum. Apakah ini dari Zenius maupun Primagama, kami akan terus meningkatkan kualitas kurikulum agar bisa deliver the best learning outcome di Indonesia. Kami akan konsolidasikan all of the tech experience through Zenius platform,” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here

Binar Academy with Its Mission to Advance Indonesian Digital Talents

One of the sectors that was rapidly growing during the pandemic was edtech. More Indonesian from various backgrounds are adapting to online learning.

As a platform that focuses on developing digital abilities and talents, Binar Academy claims to have successfully educated more than 8 thousand students in 2020 and generated an 80% increase in income.

Was founded in 2017, this startup was developed by Alamanda Shantika who was Gojek’s former VP of Technology and Products along with two other Gojek alumni, Dita Aisyah and Seto Lareno.

“The Covid-19 pandemic has encouraged educational institutions, teachers, students, and also parents in Indonesia to adapt to online learning. It is time for us to innovate in presenting education and create learning experiences that are both interesting and enjoyable. I believe that a combination of experiences contemporary learning, technology, and community will produce it all, “said Founder & CEO of Binar Academy Alamanda Shantika.

Binar Academy offers two main educational programs. Among these are Binar Bootcamp and Binar Insight. The Binar Bootcamp Program, an intensive course for beginners, has four classes of 4 to 6 months, including Product Management, UI / UX Design and Research, Android Engineering, and Fullstack Web Development.

Aslo, Binar Insight, a series of interactive webinars of 1.5 to 2 hours, with more diverse classes such as Product Management, Digital Marketing, and Data Science. The most popular classes are Product Management for Bootcamp Binars and Binar Insights.

In terms of demography, most Binar Academy users are high school graduates, students, and career shifter. This year, the company plans to increase collaboration with educational institutions including the government, universities and vocational schools. In addition, Binar Academy will also collaborate with companies affected by digitalization to upskilling employees to remain relevant.

In Indonesia, the bootcamp program becomes an alternative to non-formal education, especially for those who want to pursue a career in technology and programming. Apart from Binar, there are several other startups that offer similar services, including Hacktiv8, Impact Byte, and Skilvul. One of the unique options they offer is the “Income Share Agreement”, which allows students to gain knowledge first and pay accommodation fees later as they started to earn income.

Seed funding

Binar Academy’s Bootcamp class

In mid-April 2020, Binar Academy received seed funding led by Teja Ventures with the participation of several investors such as the Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF – a fund that aims to create social impact, managed by Moonshot Ventures and YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, as well as several angel investors from ANGIN.

The fresh funds will be used to increase tech-education growth, as well as recruit experts in the fields of education and technology to provide digitalization of content and curricula to continuously train digital talents.

Binar Academy also targetimg to increase the growth of technology education products, as well as to recruit more experts in the fields of education and technology so that they can digitize content and curriculum for 45 thousand students in Indonesia.

“In the last three years, we have continued to develop our main product, namely Binar Bootcamp to meet the learning experience of our students and the market demand for digital talents. Inspiring Indonesian youth and helping them to discover their true potential will always be my mission,” said Alamanda.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Binar Academy dan Misinya Tingkatkan Kemampuan Talenta Digital Indonesia

Salah satu sektor yang terdongkrak pertumbuhannya saat pandemi adalah edtech. Semakin banyak masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan untuk kemudian beradaptasi untuk belajar secara online.

Sebagai platform yang fokus pada pengembangan kemampuan dan talenta digital, Binar Academy mengklaim telah berhasil mengedukasi lebih dari 8 ribu siswa di tahun 2020 dan menghasilkan peningkatan pendapatan sebesar 80%.

Didirikan pada tahun 2017, startup ini dirintis oleh Alamanda Shantika yang merupakan mantan VP Technology and Product pertama Gojek bersama dengan dua alumni Gojek lainnya, yaitu Dita Aisyah dan Seto Lareno.

“Pandemi Covid-19 telah mendorong institusi pendidikan, guru, murid, dan juga para orang tua di Indonesia untuk beradaptasi belajar online. Sudah saatnya bagi kita untuk berinovasi dalam menyajikan pendidikan dan menciptakan pengalaman belajar yang menarik sekaligus menyenangkan. Saya yakin bahwa kombinasi dari pengalaman belajar kontemporer, teknologi, dan komunitas akan menghasilkan hal itu semua,” kata Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika.

Binar Academy menawarkan dua program pendidikan utama. Di antaranya adalah Binar Bootcamp dan Binar Insight. Program Binar Bootcamp, kursus intensif bagi pemula, mempunyai empat kelas berdurasi 4 sampai 6 bulan yaitu: Product Management, UI/UX Design and Research, Android Engineering, dan Fullstack Web Development.

Kemudian Binar Insight, berbagai seri webinar interaktif berdurasi 1,5 sampai 2 jam, mempunyai kelas yang lebih beragam seperti Product Management, Digital Marketing, dan Data Science. Kelas yang paling banyak dipilih pengguna adalah Product Management untuk Binar Bootcamp dan Binar Insight.

Secara demografi kebanyakan pengguna Binar Academy adalah lulusan SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang ingin berganti karier (career shifter). Tahun ini perusahaan berencana untuk meningkatkan kolaborasi dengan institusi pendidikan termasuk dengan pemerintah, universitas, dan sekolah vokasi. Selain itu, Binar Academy juga akan berkolaborasi dengan perusahaan yang terdampak oleh digitalisasi untuk upskilling employee agar kemampuannya kembali relevan.

Di Indonesia sendiri program bootcamp memang menjadi alternatif pendidikan nonformal, khususnya bagi mereka yang ingin menekuni bidang teknologi dan pemrograman. Selain Binar, ada beberapa startup lain yang tawarkan layanan serupa, di antaranya Hacktiv8, Impact Byte, dan Skilvul. Salah satu opsi menarik yang mereka tawarkan adalah skema “Income Share Agreement”, memungkinkan pelajar untuk terlebih dulu menimba ilmu dan baru membayar biaya akomodasi setelah mendapatkan penghasilan dari keahliannya.

Kantongi pendanaan tahap awal

Kelas Academy Bootcamp Binar Academy

Pertengahan April 2020 lalu Binar Academy telah menerima pendanaan tahap awal dipimpin oleh Teja Ventures dengan partisipasi dari beberapa investor seperti Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF— dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures dan YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, serta beberapa angel investor dari ANGIN.

Dana segar tersebut rencananya akan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan pendidikan teknologi, serta merekrut pakar di bidang pendidikan dan teknologi agar dapat menyediakan digitalisasi konten dan kurikulum untuk melatih kemampuan talenta digital secara terus-menerus.

Binar Academy tahun ini juga memiliki target untuk meningkatkan pertumbuhan produk pendidikan teknologi, serta merekrut lebih banyak pakar di bidang pendidikan dan teknologi agar dapat menyediakan digitalisasi konten dan kurikulum untuk 45 ribu siswa di Indonesia.

“Dalam tiga tahun terakhir, kami terus mengembangkan produk utama kami yaitu Binar Bootcamp untuk memenuhi pengalaman belajar siswa kami dan permintaan pasar akan talenta digital. Menginspirasi pemuda Indonesia dan membantu mereka untuk menemukan potensi mereka yang sesungguhnya akan selalu menjadi misi saya,” kata Alamanda.

Startup Pendidikan upGrad Ekspansi ke Indonesia, Bidik Segmen Pekerja Profesional

Platform edtech asal India, upGrad, tengah menyiapkan rencana ekspansi ke pasar Indonesia. Melalui penunjukan Sendy Filemon sebagai Country Head upGrad di Indonesia, ekspansi ini diharapkan terealisasi pada September 2021. Sebelumnya, Sendy adalah CEO dan Presiden Direktur Futuready.

Berdiri di 2015, upGrad menawarkan program pendidikan tinggi dari sejumlah mitra institusi atau universitas untuk segmen pasar working professional. Beberapa materi yang tersedia antara lain adalah program MBA, data science, marketing, software & technology, machine learning, dan management.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Sendy mengungkap ekspansi tahap awal akan mengikuti apa yang sudah lebih dulu dijalankan upGrad di India. Pihaknya juga mulai mencari mitra universitas lokal yang mampu menyediakan perkuliahan yang sepenuhnya dapat dilaksanakan secara online dan fleksibel.

“Kebanyakan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di Indonesia adalah synchronous class atau peserta didik dan pengajar berada di tempat/waktu yang sama. Kami ingin mengakomodasi kebutuhan working professional dengan metode asynchronous class sehingga mereka bisa belajar di mana saja dan kapan saja. Misalnya, menonton video materi kuliah di kereta sambil mengerjakan kuis,” papar Sendy.

Selain menawarkan program MBA dan materi existing, pihaknya juga tengah menyiapkan program kuliah online lain — nantinya universitas di luar negeri dapat berkolaborasi dengan universitas di Indonesia. Modelnya bisa berupa program kurikulum dan ijazah dari universitas luar negeri, tetapi dengan pengantar berbahasa Indonesia. Peserta didik bisa mendapat double degree.

Selain biaya lebih terjangkau, Sendy menilai belum ada lembaga pendidikan yang menawarkan program di segmen ini di Indonesia. Apalagi, menurutnya selama ini perkuliahan di universitas asing masih harus menggunakan bahasa pengantar asing pula.

“Biaya kuliah dengan range Rp3-15 juta per semester sudah banyak yang menyediakan, tetapi belum banyak yang bisa online. Selain itu, segmen program kuliah online berkurikulum asing, bekerja sama dengan universitas lokal, dan berbahasa pengantar Indonesia itu juga belum ada karena konsepnya masih baru. Kami bisa jawab kebutuhan di situ,” ujarnya.

Dalam catatannya, saat ini ada lebih dari 4 ribu institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Dari 96 institusi yang terakreditasi, hanya 7 institusi yang sudah bisa melaksanakan kuliah online sepenuhnya. Sendy menyebut, baru menjajaki kerja sama untuk rencana program tersebut dengan lima institusi di Indonesia.

“Kami tidak ingin punya izin pendidikan karena kami bukanlah lembaga pendidikan. Untuk itu, kami mesti menemukan partner yang memiliki izin [pelaksanaan kuliah] online untuk merealisasikan rencana kami di segmen tersebut. Targetnya bisa terealisasi di 2022. Tahap awal, kami jalan dengan program yang sudah ada di India,” tuturnya.

Pengembangan konten dan kreatif secara end-to-end

Untuk merealisasi rencana awal di pasar Indonesia, Sendy mengungkap masih bakal memakai resource dari India untuk pengembangan teknologi dan konten. Pihaknya juga belum menentukan investasi spesifik untuk ekspansi ke Indonesia.

Kendati demikian, pihak upGrad di India disebut sangat berkomitmen untuk pengembangan pasar Indonesia. Sendy yang tengah melakukan perekrutan tim juga memastikan bahwa upGrad bakal membangun kapabilitas sendiri di Indonesia.

Dari sisi model bisnis, upGrad menawarkan beberapa skema. Misalnya, berkolaborasi dengan institusi pendidikan untuk mengembangkan program perkuliahan dengan skema revenue share. Dalam hal ini, universitas tidak mengeluarkan biaya, hanya menyediakan kurikulum dan tenaga pengajar saja. upGrad mengelola konten dan teknologi supaya dapat di-deliver dengan baik.

Menurutnya, platform edtech di Indonesia kebanyakan berupa learning management system (LMS), mereka mengelola konten pendidikan, seperti video, tugas, dan teks. Sementara, upGrad menawarkan fleksibilitas dan teknologi yang lebih advanced sehingga pengguna bisa tetap fokus pada materinya.

Di luar itu, ujar Sendy, upGrad mengembangkan fitur-fitur lain yang dapat memberikan pengalaman end-to-end kepada peserta didik, mulai dari pelaksanaan kuliah online hingga mempertemukan mereka dengan perusahaan perekrut. Ambil contoh, upGrad berkolaborasi dengan universitas untuk menyediakan content atau study plan untuk program MBA selama 40 minggu.

“Kami berkolaborasi dengan upGrad untuk memproduksi konten dari materi pelajaran, seperti video dan animasi. Kebetulan, founder upGrad punya production house di India dan dijual ke Disney. Jadi kami punya [posisi] yang kuat di media. Jadi, kami bisa buat konten animasi untuk materi, kuis, atau tugas, dan diunggah ke sistem. Kami sudah punya teknologinya,” katanya.

Kemudian, upGrad juga mengembangkan sejumlah fitur yang mempermudah peserta didik dan tenaga pengajar dalam mengecek administrasi kelas, penjadwalan kuliah, hingga sistem penilaian. “upGrad juga menghubungkan peserta didik yang lulus ujian dengan perusahaan yang menyediakan program internship hingga mereka interview.”

Ke depannya, Sendy menargetkan dapat bermitra dengan lebih banyak lembaga pendidikan untuk membuka program S1 di akuntansi, teknik informatika, dan manajemen secara online. Program ini diharapkan dapat membantu segmen pasar yang baru lulus SMA dan D3 untuk bisa meraih gelar dengan cepat.

Application Information Will Show Up Here