Apple Music Jadi Layanan Favorit Gen Z dan Millennial

Sebuah studi yang diterbitkan oleh perusahaan konsultan Fluent menunjukkan bahwa generasi Z dan Millenial di AS lebih memilih layanan streaming musik Apple Music dibandingkan layanan serupa lainnya. Sebagai catatan, Gen Z adalah sebutan untuk kategori pengguna berusia 18 sampai dengan 24 tahun. Sedangkan Millenial adalah mereka yang berusia antara 25 dan 34 tahun.

Popularitas Apple Music di pengguna Millenial adalah yang paling dominan dengan persentase 19%, sedangkan di kalangan Gen Z sebesar 14%. Spotify paling mendekati dengan persentase masing-masing 17% dan 9%. Sedangkan layanan streaming musik lain seperti Pandora, YouTube Red, Google Play Music dan iHeartradio mengantongi persentase di bawah 10% untuk masing-masing kategori.

favorite-paid-music-consumption-channel

Content marketing Fluent, Mary Lister memberikan catatan bahwa Karena Apple adalah merek perangkat pilihan untuk generasi Milenium dan Generasi Z, sehingga ada kecenderungan untuk tetap berada dalam ekosistem iOS. Sejalan dengan ini, Generasi Z jauh lebih cenderung memilih untuk berlangganan Apple Music daripada rekan mereka yang lebih tua.

Dengan hanya 25% penduduk Amerika yang membayar untuk layanan musik, maka cukup beralasan mengapa beberapa orang berpendapat bahwa model bisnis musik freemium berdampak buruk untuk artis di manapun. Namun jika melihat manuver yang dilakukan oleh Spotify yang menawarkan paket berbayar dan juga satu level gratisan, tampaknya label freemium memang dibutuhkan di satu titik tertentu.

Apple tentu bisa saja dengan mudah mengumpulkan puluhan juta pengguna jika saja mau mengadopsi strategi tersebut. Tetapi, mempertimbangkan kekuatan layanan di masa sekarang, rasanya Apple sudah berada di jalur yang benar.

Apple sendiri sedang berupaya membangun level baru dengan secara bertahap menambahkan layanan TV dan konten-konten film. Ini disebut sebagai salah satu upaya untuk merangkul pengguna dewasa berusia 35 tahun ke atas.

Riset ini sayangnya hanya menyasar pengguna layanan streaming musik Amerika Serikat yang notabene merupakan pasar terbesar Apple. Jadi cukup wajar jika portofolio mereka relatif lebih dipilih ketimbang layanan lain.

Sumber berita Fluent via Cultofmac dan gambar header Pixabay.

MP3 Resmi ‘Dibunuh’ oleh Penciptanya

22 tahun sejak ia menyapa publik untuk pertama kalinya, MP3 yang tidak lain merupakan format audio terpopuler harus mengakhiri kiprahnya dengan cukup pahit. Ia ‘dibunuh’ oleh penciptanya sendiri, Fraunhofer Institute for Integrated Circuits, yang memulai pengembangan format tersebut pada akhir tahun 80-an.

Institusi asal Jerman tersebut baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka sudah menghentikan program licensing atas sejumlah paten yang berkaitan dengan MP3. Alasannya sederhana: dunia sudah menemukan format yang lebih superior, yakni AAC alias Advanced Audio Coding.

Memang benar, AAC merupakan format andalan mayoritas layanan streaming musik. Menurut Fraunhofer – yang sendirinya ikut membantu pengembangan AAC – AAC lebih efisien dan menawarkan lebih banyak fungsionalitas ketimbang MP3. Pernyataan ini juga benar, seperti yang bisa kita lihat pada layanan streaming film, dimana format audio yang dipakai sekali lagi adalah AAC.

Singkat cerita, AAC ke depannya bakal menggantikan MP3 sebagai standar format audio terkompresi. Namun hal ini bukan berarti MP3 lalu akan mati dan semua koleksi musik kita dalam format tersebut tiba-tiba tidak bisa lagi diputar.

Yang bisa terjadi kemungkinan adalah hilangnya dukungan format MP3 pada perangkat seperti speaker Bluetooth di masa yang akan datang, dikarenakan Fraunhofer tidak lagi ‘menjual’ lisensi patennya. Namun kemungkinan sebaliknya juga bisa terjadi seandainya Fraunhofer memutuskan untuk menggratiskan lisensinya.

Terlepas dari itu, MP3 tetap sangat berjasa dalam membantu kita bermigrasi ke musik digital. Meski tidak bisa dipungkiri MP3 adalah pemicu meledaknya angka pembajakan musik, MP3 juga yang pada akhirnya membiasakan kita menikmati musik di mana saja – dulu lewat iPod atau sejenisnya, sekarang melalui smartphone.

Karena sudah terbiasa, konsep layanan streaming musik pun terdengar begitu masuk akal di telinga kita, hingga akhirnya kita memutuskan untuk berlangganan Spotify, Apple Music, maupun layanan lainnya. Hasil akhirnya, angka pembajakan musik jadi bisa sedikit ditekan, dan menurut saya cukup wajar jika kita menganggap MP3 telah menebus ‘dosanya’.

Sumber: NPR. Gambar header: Pixabay.

Spotify Codes Permudah Sharing Lagu Tanpa Perlu Copy-Paste Link

Sebagai layanan streaming musik nomor satu, prosedur sharing konten di Spotify selama ini tergolong kurang efisien. Saat hendak membagikan sebuah lagu misalnya, Anda harus menyalin link-nya terlebih dulu, baru kemudian di-paste ke aplikasi pesan instan untuk dikirim ke teman Anda.

Saat tautan tersebut diklik oleh teman Anda, ia kemudian akan dibawa ke browser sebelum akhirnya ‘dilontarkan’ ke aplikasi Spotify dengan sebuah lagu yang siap diputar. Ribet? Sangat, tapi untung Spotify sudah menyiapkan cara baru lewat fitur bernama Spotify Codes.

Spotify Codes pada dasarnya merupakan sejenis barcode yang muncul di setiap gambar cover sebuah lagu, album, artis maupun playlist. Cukup scan gambar tersebut dengan mengklik icon baru berlambang kamera yang ada di search bar Spotify, maka konten terkait akan langsung diputar tanpa basa-basi.

Spotify Codes akan muncul pada lagu, album, artis maupun playlist / TechCrunch
Spotify Codes akan muncul pada lagu, album, artis maupun playlist / TechCrunch

Cara ini jauh lebih efektif sekaligus efisien ketimbang cara sebelumnya. Sekarang, kalau Anda penasaran dengan lagu yang sedang diputar oleh teman di sebelah Anda, Anda tinggal memintanya untuk menampilkan Spotify Codes, lalu memindainya dan langsung memutar lagu yang sama di smartphone Anda.

Kalau Anda merasa fitur ini tidak asing, itu karena Snapchat sudah lebih dulu memopulerkannya lewat fitur Snapcode yang kerap muncul di profil foto akun Twitter maupun di media sosial lainnya. Intinya adalah memudahkan aspek discovery, dan dengan puluhan juta konten yang dimiliki Spotify, fitur semacam ini tergolong cukup esensial.

Sumber: TechCrunch.

SoundCloud Luncurkan The Upload, Fitur Rekomendasi ala Release Radar-nya Spotify

SoundCloud mungkin bukan layanan streaming musik terbesar, tapi koleksi lagunya termasuk yang paling masif jika karya-karya para musisi indie dimasukkan hitungan. Pertanyaannya, bagaimana pengguna bisa menemukan itu semua? Algoritma machine learning jawabannya.

Tahun lalu, SoundCloud mulai bereksperimen dengan machine learning lewat fitur Suggested Tracks. Cara kerja fitur ini sejatinya mirip Discover Weekly milik Spotify, dimana pengguna bakal disuguhi musik dan artis yang sebisa mungkin belum pernah mereka tahu, tapi gaya-gayanya masih mirip dengan yang mereka dengarkan selama ini.

Sekarang, SoundCloud punya fitur rekomendasi berbasis machine learning lain bernama The Upload. Kalau mau disamakan lagi dengan Spotify, fitur ini pada dasarnya mirip seperti Release Radar yang bertujuan menyuguhkan lagu-lagu yang baru dirilis kepada pengguna, tapi tetap disesuaikan dengan seleranya.

Dibanding Suggested Tracks, The Upload berfokus pada lagu-lagu yang baru saja dirilis / SoundCloud
Dibanding Suggested Tracks, The Upload berfokus pada lagu-lagu yang baru saja dirilis / SoundCloud

Menurut SoundCloud, The Upload akan merekomendasikan lagu-lagu yang baru diunggah dalam beberapa hari terakhir berdasarkan apa yang pengguna sukai dan dengarkan. Sama halnya dengan algoritma machine learning lain, semakin sering Anda menggunakan SoundCloud, semakin sempurna pula hasil rekomendasi The Upload.

Pengguna SoundCloud saat ini sudah bisa mengakses The Upload lewat tab “Discover” di web, atau melalui tab “Search” di aplikasi Android dan iOS-nya.

Sumber: SoundCloud.

Spotify Dahulukan Pelanggan Berbayar Terkait Akses ke Album Musik Baru

Spotify memang sudah memiliki lebih dari 50 juta pelanggan berbayar, akan tetapi hal itu rupanya masih belum cukup untuk menutupi anggaran besar yang mereka kucurkan untuk pemegang lisensi musik. Singkat cerita, mereka harus mencari cari baru untuk menarik lebih banyak pelanggan berbayar untuk bisa menjadi perusahaan yang profitable.

Mereka sudah menemukan salah satu caranya, yakni dengan memberikan akses eksklusif ke album musik baru pada para pelanggan Spotify Premium. Inisiatif ini merupakan bagian dari persetujuan baru antara Spotify dan Universal Music Group.

Ini berarti para musisi yang lisensinya dipegang Universal berhak merilis album barunya secara khusus untuk pelanggan Spotify Premium saja. Dua minggu setelah dirilis, barulah album baru tersebut bisa dinikmati oleh para pelanggan Spotifiy gratisan, dan dalam tenggat waktu tersebut mereka hanya bisa mengakses deretan single barunya saja.

Kesimpulannya, kalau Anda merupakan pelanggan Spotify gratisan, akses Anda ke album musik baru bakal sedikit terhambat. Dan kalau Anda ingin didahulukan, Anda harus rela membayar biaya berlangganan Spotify Premium.

Pastinya ada banyak alasan yang mendasari keputusan ini, namun salah satu yang terbesar adalah absennya Taylor Swift dari peredaran musik di Spotify. Sejak 2014, penyanyi berparas cantik tersebut menarik semua karyanya dari Spotify karena dia merasa kurang dihargai dengan sistem gratisan yang diterapkan.

Meski belum ada kepastian, ke depannya ada kemungkinan label musik lain seperti Sony dan Warner Music Group untuk mengikuti jejak Universal dan menjalin persetujuan serupa dengan Spotify. Di titik itu, mungkin Taylor Swift bisa berubah pikiran dan kembali mengobati rasa kehilangan para Swifties di Spotify.

Sumber: Engadget dan Spotify. Gambar header: Pixabay.

Waze Hadirkan Integrasi Spotify, Demikian Pula Sebaliknya

Macet ataupun tidak, musik hampir selalu menemani kita di jalanan. Tradisi ini malah semakin diperkuat dengan adanya inisiatif-inisiatif dari layanan streaming, seperti misalnya Spotify yang menyuguhkan playlist yang diracik untuk mendampingi pengguna di tengah kemacetan.

Selain memutar musik, kita biasanya juga membuka aplikasi navigasi. Yang paling ideal dalam kasus ini mungkin adalah Waze, dimana yang kita cari bukannya rute pulang (yang sejatinya sudah sangat kita hafal), melainkan informasi spesifik macam titik macet akibat kecelakaan, kegiatan konstruksi dan lain sebagainya.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa Spotify dan Waze adalah aplikasi yang aktif menemani kita di perjalanan, dan ini juga berarti kita kerap bolak-balik membuka Spotify dan Waze selagi mengemudi. Tidakkah jauh lebih nyaman seandainya kita bisa mengakses keduanya dari satu aplikasi yang sama? Tentu saja, dan ini bukan merupakan angan-angan semata.

Waze baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah bekerja sama dengan Spotify untuk mengintegrasikan layanan streaming musik tersebut. Asalkan aplikasi Spotify telah ter-install di perangkat, Anda dapat memutar playlist favorit Anda di Spotify tanpa harus keluar dari aplikasi Waze.

Caranya tinggal sentuh icon Spotify yang muncul di atas kanan aplikasi Waze, dan lagu terakhir yang Anda dengarkan akan otomatis diputar. Tentu saja Anda dapat berpindah ke Spotify dengan satu tap ekstra, tapi hanya ketika mobil Anda benar-benar sedang berhenti.

Integrasi Waze di dalam Spotify / Waze
Integrasi Waze di dalam Spotify / Waze

Yang lebih menarik lagi, integrasi ini ternyata juga berlaku sebaliknya: Anda juga dapat memulai fungsi navigasi Waze dari dalam aplikasi Spotify selagi musik tetap dijalankan, sekali lagi dengan syarat aplikasi Waze sudah ter-install di perangkat Anda.

Integrasi Spotify di dalam Waze dan Waze di dalam Spotify ini akan tersedia untuk pengguna Android mulai hari ini, sedangkan pengguna iOS masih harus bersabar menunggu.

Sumber: Waze.

Spotify Tembus 50 Juta Pelanggan Berbayar

Lewat sebuah Tweet, Spotify mengumumkan bahwa mereka secara resmi sudah memiliki 50 juta pelanggan berbayar. Pencapaian ini semakin memantapkan posisi Spotify sebagai pemimpin di industri streaming musik, meski perlu diingat bahwa perusahaan asal Swedia tersebut masih merugi secara finansial per bulan Juni 2016.

Terakhir dikabarkan, yakni pada pertengahan September lalu, jumlah pelanggan berbayar Spotify mencapai 40 juta. Ini berarti mereka sukses meminang 10 juta pelanggan baru hanya dalam kurun waktu lima setengah bulan, dan selama itu mereka juga sudah meluncurkan fitur baru yang menarik seperti Daily Mix dan katalog musik hasil remix.

Lalu ke depannya strategi apa lagi yang akan dilancarkan Spotify, terutama untuk memperoleh pemasukan lebih besar? Berdasarkan rumor yang beredar, Spotify sedang menyiapkan paket berlangganan baru yang menawarkan koleksi musik berkualitas lossless, alias setara CD dan dengan bitrate di atas 320 kbps (batas tertinggi yang ditawarkan Spotify saat ini).

Screenshot undangan untuk meng-upgrade ke Spotify Hi-Fi yang diterima sejumlah pengguna / @Semantics (Twitter)
Screenshot undangan untuk meng-upgrade ke Spotify Hi-Fi yang diterima sejumlah pengguna / @Semantics (Twitter)

Paket ini untuk sementara dinamai Spotify Hi-Fi, dan harganya berkisar antara $5 – $10, di luar Spotify Premium. Spotify sepertinya masih bereksperimen dengan skema harga sekaligus fitur-fitur ekstra yang ditawarkan, terbukti dari segelintir pengguna yang tidak bisa mendaftar walaupun mereka telah menerima undangannya di aplikasi Spotify.

Perwakilan Spotify sendiri masih bungkam soal ini. Benar atau tidaknya hingga kini belum ada yang berani memastikan, tapi saya kira kita tinggal menunggu waktu saja. Andai benar, ini bisa jadi berita buruk bagi Tidal yang pelanggannya berpotensi ‘dibajak’.

Sumber: Billboard dan The Verge.

Vertigo Music Ajak Pengguna Streaming Musik Bersama Secara Real-Time

Senang rasanya menjumpai seorang teman yang memiliki selera musik yang sama dengan kita. Dalam pertemuan singkat tersebut, tidak jarang kita menyempatkan waktu untuk mendengarkan lagu favorit bersama-sama. Singkat cerita, musik sudah sejak lama menjadi jembatan komunikasi antar individu yang efektif.

Itulah mengapa selama ini ada cukup banyak media sosial yang menempatkan musik sebagai fokus utamanya. Salah satu yang terbaru adalah Vertigo Music, dimana dalam aplikasi ini Anda pada dasarnya bisa streaming musik bersama siapapun secara real-time.

Vertigo memastikan apa yang Anda dengarkan pada saat itu sama persis seperti yang teman Anda di lokasi maupun negara lain dengarkan. Vertigo memanfaatkan layanan streaming Spotify sebagai penghubungnya, dan pengguna diwajibkan untuk berlangganan Spotify Premium untuk bisa mendapatkan pengalaman yang maksimal.

Setelah menyambungkan akun Spotify Premium, Anda bisa langsung menyiarkan sesi streaming Anda kepada seseorang, sejumlah teman atau seluruh pengguna Vertigo sekaligus. Dari situ Anda bisa berinteraksi via teks, gambar atau bahkan live video selagi beat demi beat Anda sekalian nikmati bersama.

Melihat apa yang ditawarkan, Vertigo terdengar sangat ideal buat mereka yang tengah menjalani hubungan jarak jauh (LDR), atau bisa juga dimanfaatkan sebagai sarana berlatih menjelang event flash mob mendatang.

Vertigo pada dasarnya bisa dilihat sebagai versi interaktif dari fitur “Friend Activity” di Spotify, dimana ketimbang hanya melihat apa yang sedang atau terakhir di-stream oleh teman, Anda bisa langsung menikmatinya bersama-sama. Ke depannya, Vertigo berniat untuk menambahkan layanan lain sebagai alternatif – yang terdekat adalah Apple Music.

Kalau tertarik, Anda bisa langsung mengunduh Vertigo di perangkat iOS masing-masing secara cuma-cuma. Sejauh ini belum ada informasi apakah Vertigo nantinya juga akan tersedia di Android. Dugaan saya, semestinya bakal ada seandainya Vertigo ingin mempunyai user base yang lebih besar lagi.

Sumber: TechCrunch dan Vertigo Music.

Rencana Yonder Music di Indonesia Tahun 2017

Sejak diluncurkan sejak bulan Mei 2016 lalu, Yonder Music mengklaim telah mengalami peningkatan yang cukup positif, baik dari sisi jumlah pengguna (hampir satu juta), pilihan lagu, hingga label dan musisi yang menjalin kerja sama. Sebagai layanan music streaming yang memiliki strategi berbeda dan mengedepankan konten lokal, Yonder juga secara masif memberikan rewards kepada pengguna setia Yonder Music.

“Sepanjang tahun 2016 ini kami masih dalam tahap pemanasan, artinya masih mencoba untuk menciptakan awareness sekaligus melakukan akuisisi pengguna di seluruh Indonesia,” kata Country Manager Yonder Music Zico Kemala Batin kepada DailySocial.

Hal menarik yang kemudian dicatat oleh Yonder sepanjang tahun 2016 adalah pengguna terbanyak terletak di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Bali. Kota yang memiliki koneksi 3G dan 4G terbaik untuk operator telekomunikasi XL Axiata (XL). Kontrak khusus yang dijalin dengan XL juga merupakan salah satu strategi yang kemudian dimanfaatkan XL untuk mengakuisisi lebih banyak pelanggan baru melalui Yonder Music.

“Karena Yonder Music memberikan pilihan streaming lagu secara gratis tanpa iklan dan batasan lainnya, pengguna XL tentunya mendapatkan keuntungan istimewa, disisi lain diharapkan Yonder bisa mendatangkan pengguna baru untuk XL,” kata Zico.

Sejak diluncurkan bulan Mei lalu aplikasi mobile Yonder Music belum mengalami penambahan fitur atau inovasi secara khusus. Yonder mencatat fungsi unduh secara langsung saat pengguna mendengarkan lagu, merupakan fitur favorit yang paling disukai oleh pengguna.

“Yonder memiliki fungsi play and download yang secara otomatis lagu yang didengarkan akan tersimpan secara offline. Fitur ini ternyata cukup disukai oleh pengguna Yonder,” kata Zico.

Kegiatan pemasaran dan rewards program untuk pengguna

Salah satu keunikan yang dimiliki oleh Yonder adalah fungsinya sebagai platform yang bisa dimanfaatkan pecinta musik untuk berinteraksi langsung dengan musisi favorit. Hal tersebut diwujudkan dengan menggelar beberapa kegiatan offline seperti tour dengan artis lokal di beberapa kota di Indonesia, hingga menerbangkan beberapa pengguna yang memenangkan hadiah untuk menikmati konser musik artis mancanegara ke luar negeri.

Sepanjang tahun 2016 ini kegiatan tersebut sudah secara masif dilancarkan dan rencananya tahun 2017 mendatang kegiatan pemasaran tersebut semakin dipertajam dengan berbagai aktivitas menarik lainnya.

“Sesuai dengan pesan yang ingin kami sampaikan yaitu ‘we can bring you closer to your idol‘, Yonder Music ingin menghadirkan platform streaming music yang memberikan beragam rewards kepada pengguna setia,” kata Zico.

Zico menambahkan unique selling lainnya yang dimiliki oleh Yonder Music adalah konten musik original dari artis lokal yang hanya bisa dinikmati di aplikasi Yonder Music. Strategi tersebut sengaja dilakukan agar Yonder bisa memberikan layanan yang berbeda dan original untuk pecinta musik.

Fitur terbaru Snap Karaoke di kuartal pertama 2017

Tahun 2017 mendatang Yonder Music akan merilis versi 2.0 untuk aplikasi mobile. Pembaruan yang akan dihadirkan tidak hanya akan merubah tampilan yang akan memberikan user experience terbaik untuk pengguna, tetapi juga fitur baru yang bakal menjadi favorit di aplikasi Yonder Music.

“Kuartal pertama 2017 mendatang Yonder akan merilis Snap Karaoke yang bisa digunakan oleh pengguna untuk merekam video saat bernyanyi dengan menggunakan streaming musik yang ada di playlist Yonder,” kata Zico.

Application Information Will Show Up Here

Pensiun dari Bisnis Music Player, Pono Akan Disulap Menjadi Layanan Streaming Musik

Masih ingat dengan Pono, pemutar audio Hi-Res hasil pemikiran musisi legendaris Neil Young? Meski kampanye crowdfunding-nya di Kickstarter berhasil meraup jutaan dolar dua tahun silam, nyatanya penjualan produk yang berwujud seperti cokelat Toblerone tersebut tidak sesuai dengan harapan penggagasnya.

Neil Young bahkan berencana menyulap PonoMusic – nama resmi perusahaannya – menjadi sebuah layanan streaming musik Hi-Res ala Tidal, berdasarkan pernyataannya kepada Rolling Stone. Secara teknis, Pono bahkan berniat menawarkan konten yang beresolusi lebih tinggi ketimbang Tidal – 24-bit 192kHz tepatnya, jauh di atas Tidal yang sebenarnya sudah setara kualitas CD.

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua orang membutuhkan musik dengan kualitas audio setinggi itu? Kedua, apakah mayoritas smartphone yang kita miliki sanggup memutarnya dengan lancar? Dan yang terakhir, apakah kita semua punya koneksi internet yang cukup cepat, mengingat ukuran file audio Hi-Res sangatlah besar jika dibandingkan dengan MP3?

Pono sepertinya telah mempertimbangkan aspek-aspek di atas. Solusi yang mereka tawarkan? Teknologi adaptive bitrate streaming. Sederhananya, kualitas audio dalam layanan streaming Pono nantinya akan disesuaikan dengan kecepatan koneksi atau spesifikasi perangkat milik pengguna.

Semuanya diklaim berjalan secara real-time dan tanpa jeda. Untuk memberikan ilustrasi yang lebih jelas, coba Anda lihat YouTube, dimana kualitas video bisa tiba-tiba turun atau naik, tergantung kecepatan koneksi Anda atau saat Anda mengubah ukuran jendela video. Pono nampaknya akan mengambil jalan serupa.

Namun video jelas sangat berbeda dari audio. Di YouTube, perubahan kualitas video akan tampak dengan jelas. Untuk audio, kecuali telinga Anda benar-benar jeli atau Anda menggunakan headphone, amplifier dan DAC kelas premium, mungkin perubahan kualitasnya tidak akan terasa.

Sejauh ini belum ada informasi terkait jadwal rilis maupun rincian tarif berlangganan yang akan ditetapkan untuk layanan streaming milik Pono ini. Young bersama timnya saat ini sedang bekerja bersama dengan sebuah perusahaan asal Singapura untuk mengimplementasikan teknologi adaptive bitrate streaming ini selagi menegosiasikan lisensi dengan label-label musik.

Sumber: The Verge dan Engadget.