Survei DailySocial: Konversi Transaksi E-Commerce Melalui Perangkat Mobile Masih Rendah

Agustus 2016 silam DailySocial menerbitkan Laporan Perilaku Konsumen Digital 2016 yang menyoroti perubahan perilaku konsumen di berbagai segmen. Salah satu hal menarik yang ditemukan di antara responden adalah 65% aktivitas belanja online melalui perangkat mobile di Indonesia saat ini adalah browsing. Hanya 22% responden yang menyebutkan bahwa mereka melakukan aktivitas belanja hingga membayar melalui perangkat mobile-nya.

Indonesia adalah negara berkembang yang kerap mendapat julukan mobile first. Salah satu alasannya didasari pada active mobile subscription yang jumlahnya 13 persen lebih banyak dari populasi. Bila disandingkan dengan pengguna internet yang kini mencapai 100 juta, adalah hal yang masuk akal jika seseorang berasumsi bahwa pengguna mobile internet di Indonesia tidak sedikit.

Faktanya, data yang diungkap oleh Nielsen pada tahun 2011 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah pengakses internet via handphone yang tinggi di Asia Tenggara. Angkanya mencapai 48%. Hal tersebut pun menjadi salah satu faktor dalam perubahan perilaku masyarakat terhadap dunia digital yang kini bergeser dari desktop ke mobile.

Perilaku belanja online via mobile masih banyak didominasi kegiatan browsing dan pembandingan harga / DailySocial
Perilaku belanja online via mobile masih banyak didominasi kegiatan browsing dan pembandingan harga / DailySocial

Dari Laporan Perilaku Konsumen Digital 2016 yang kami terbitkan, ditemukan hal yang menarik. Perilaku belanja online via mobile saat ini masih didominasi kegiatan browsing dan pembandingan harga. 65% responden menyebutkan bahwa mereka hanya melakukan kegiatan browsing saja ketika mengunjungi layanan e-commerce dan 51% memilih untuk membandingkan harga. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi hingga membeli melalui perangkat mobile di Indonesia saat ini masih rendah. Hanya 22% responden yang melakukan pembelian melalui perangkat mobile-nya.

Data menarik lain adalah tentang alasan online shopper berbelanja dan kampanye yang membuat mereka tertarik melakukan aktivitas belanja online. Kami menemukan bahwa bagi 42% responden harga yang terjangkau adalah alasan utama mereka berbelanja. Di sisi lain, kampanye potongan harga (40%) dan pengiriman gratis (32%) merupakan dua program yang paling menarik bagi responden jika ingin berbelanja online.

Faktor harga adalah alasan utama pebelanja online untuk belanja / DailySocial
Faktor harga adalah alasan utama pebelanja online untuk belanja / DailySocial

Di satu sisi, konversi konsumen hingga melakukan aktivitas pembayaran melalui perangkat mobile saat ini memang masih rendah. Namun di sisi lain, ruang tumbuh untuk aktivitas transaksi belanja melalui perangkat mobile masih besar.

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Telekomuniasi, pembelian barang secara daring yang dilakukan melalui perangkat mobile mengalami pertumbuhan hingga 164% dari 2014 hingga 2015. Sedangkan pembelian melalui website atau desktop hanya mengalami peningkatan sebesar 32%.

Di samping itu,  survei Criteo di tahun 2015 juga menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara penyumbang tren m-commerce tertinggi di Asia Tenggara. Angkanya mencapai 34% yang diikuti oleh Taiwan di posisi kedua dengan 31% dan Singapura di posisi ketiga dengan 29%.

E-Commerce sendiri saat ini memang tengah menjadi salah satu sektor bisnis digital paling menarik di Indonesia, baik bagi para pelaku bisnis lokal maupun luar negeri. Meski memiliki tantangan yang tidak sedikit, namun dengan ruang untuk tumbuh yang masih besar, sudah sewajarnya industri e-commerce di Indonesia tak perlu dicemaskan.

Laporan Perilaku Konsumen Digital 2016 di Indonesia merupakan kolaborasi DailySocial dan JakPat untuk mengumpulkan informasi perilaku konsumen digital di Indonesia dan memberikan perspektif makro mengenai kebiasaan masyarakat dalam menggunakan layanan digital.

Anda bisa mengunduh laporan lengkapnya setelah menjadi member DailySocial melalui tautan ini.

Survei: Penetrasi Layanan Startup Digital di Sektor Kesehatan Masih Rendah

Hari ini DailySocial meluncurkan hasil survei yang menyoroti layanan startup digital di sektor kesehatan melalui “Indonesia’s Digital Healthcare Services Penetration Survey”. Lewat survei ini kami mencoba mencari tahu tingkat kesadaran responden terhadap layanan startup digital di sektor kesehatan. Survei ini merupakan hasil kolaborasi DailySocial dan Jakpat untuk memberikan gambaran besar mengenai penetrasi layanan startup digital di sektor kesehatan, hingga alasan apa saja yang membuat responden menggunakan layanan tersebut.

[Baca juga: Laporan: Mayoritas “Online Shopper” Puas dengan Layanan E-Commerce di Indonesia]

Beberapa hal menarik yang dapat ditemukan dalam survei startup kesehatan yang melibatkan 1000 responden ini adalah:

  • Penetrasi layanan startup digital yang fokus di sektor kesehatan masih rendah dengan hanya 36,92% responden yang menyatakan tahu mengenai keberadaannya dan hanya 21,56% yang saat ini menggunakannya.
  • Social media adalah sumber utama responden yang tahu tentang keberadaan startup kesehatan.
  • Dokter.id, KlikDokter, dan AloDokter adalah startup yang memiliki tingkat popularitas tertinggi saat ini.
  • 69,54% responden menyebutkan bahwa mereka mengakses layanan startup kesehatan hanya pada saat tertentu saja seperti ketika sedang sakit atau dalam program diet dan konten yang paling sering diakses adalah informasi gejala penyakit, tips kesehatan, dan konsultasi online.
  • Alasan utama mereka mengakses layanan startup kesehatan yaitu terkait dengan informasi yang lengkap dan detail (64,15%), keberadaan fitur chat/forum untuk konsultasi online secara langsung (14,02%), dan kredibilitas dokter yang berkontribusi (8,36%).

[Baca juga: DailySocial.id Luncurkan Laporan Perilaku Konsumen Digital Indonesia 2016]

Hasil “Indonesia’s Digital Healthcare Services Penetration Survey” yang terdiri dari 23 halaman dapat diakses secara cuma-cuma setelah Anda menjadi member DailySocial.

Survei Fintech Indonesia 2016: 61 Persen Startup Fintech Anggap Regulasi di Indonesia Belum Jelas

Di sela-sela acara Indonesia Fintech Festival & Conference (IFFC) 2016 hari pertama, Deloitte Consulting bekerja sama dengan Asosiasi Fintech Indonesia merilis hasil Survei Fintech Indonesia 2016. Terungkap bahwa 61 persen startup fintech Indonesia menganggap regulasi Indonesia masih belum jelas dan lambat beradaptasi terhadap perkembangan fintech. Temuan lainnya menyebutkan bahwa kolaborasi dan kemitraan strategis dianggap penting untuk mendorong inovasi keuangan digital.

Survei Fintech Indonesia 2016 ini dilakukan pada Juni-Agustus 2016 yang melibatkan 70 perusahaan fintech Indonesia. Ditemukan bahwa saat ini fintech di Indonesia masih berusia muda dengan 76 persen perusahan fintech baru beroperasi selama dua tahun. Di samping itu, terungkap juga bahwa 24 persen perushaan fintech Indonesia bergerak di bidang P2P atau Online Lending dan 25 persen responden saat ini memiliki total 30-100 staf.

Penasihat untuk industri jasa keuangan Deloitte Consulting Erik Koenen menyampaikan bahwa dari hasil Survei Fintech Indonesia 2016 ada empat poin penting yang bisa diambil. Keempat poin tersebut berkaitan dengan regulasi, kolaborasi, talenta, dan financial literacy dan financial inclusion.

Dari sisi regulasi ditemukan bahwa 61 persen responden menganggap adaptasi regulasi di Indonesia terhadap perkembangan fintech tergolong lambat dan berada di area abu-abu. Setidaknya, ada lima area dalam fintech yang dirasa responden memiliki kebutuhan paling tinggi untuk kejelasan regulasi. Lima area tersebut adalah Payment Gateway (60%), e-money/e-wallet (58%), mekanisme Know Your Client atau KYC (57%), P2P lending (57%) dan digital signature (54%).

Dari sisi kolaborasi ditemukan bahwa 100% responden setuju kolaborasi merupakan poin penting dalam pengembangan bisnis fintech, baik itu dengan pemerintah dan institusi finansial atau dengan pelaku fintech lainnya. Ada 38% responden yang percaya bahwa peningkatan penerapan best practice adalah manfaat terbesar kolaborasi dan 25% lainnya percaya kolaborasi bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan data pasar.

Masalah kekurangan talenta juga tidak lepas dari sektor fintech, terutama kepada keahllian spesifik di bidang fintech itu sendiri. Erik menyampaikan ada banyak engineer dan developer di Indonesia, seharusnya tidak ada kekurangan bakat dari sudut pandang ini. Namun, menurutnya saat ini tidak ada banyak engineer atau sales person di Indonesia yang memahami teknologi di balik jasa keuangan.

Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa untuk perusahaan fintech yang berusia 0-2 tahun talenta di bidang data and analytics adalah permintaan tertinggi (83%). Perusahaan berusia 3 tahun butuh talenta di bidang back end programming (67%). Sedangkan perusahaan dengan usia 4 tahun ke atas kebutuhan talenta yang memahami risk management adalah yang paling dicari (90%).

Dari hasil survei juga ditemukan bahwa perusahaan fintech Indonesia hingga saat ini kesulitan untuk memajukan inklusi keuangan karena rendahnya tingkat pendidikan keuangan.  Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia Karaniya Dharmasaputra bahkan menyebutkan masalah ini tidak hanya terjadi di antara anggota masyarakat umum tetapi juga di antara pemain di industri keuangan konvensional.

Berdasarkan hasil survei, 36 persen reponden percaya bahwa collaborative training and communications efforts adalah cara terbaik untuk meningkatkan financial literacy dari konsumen yang dibidik.

Karaniya mengatakan, “Saat ini kita sedan berada di tengah era inovasi keuangan, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi. Melalui survei ini, kami ingin menyoroti bagaimana kolaborasi di antara pemain fintech dan regulator dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan-layanan keuangan, khususnya yang memanfaatkan teknologi.”

Erik menambahkan, “Berkembangnya penggunaan teknologi di sektor keuangan membuktikan bahwa pasar Indonesia memiliki potensi besar dan ini perlu menjadi agenda penting pemerintah [sebagai regulator]. Kolaborasi antara perusahaan fintech atau dengan institusi keuangan juga merupakan faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.”

Laporan: Mayoritas “Online Shopper” Puas dengan Layanan E-Commerce di Indonesia

DailySocial kembali melakukan penelitian terhadap konsumen layanan e-commerce di Indonesia. Melalui survei “Customer Satisfaction in Indonesia’s E-Commerce Services (2016)” yang diterbitkan hari ini, kami mencoba mencari tahu tingkat kepuasan pelanggan terhadap layanan e-commerce di Indonesia yang mulai merangkak naik ke permukaan sejak tujuh tahun silam. Di sini, kami mencoba mengungkap perilaku konsumen terhadap e-commerce di Indonesia, kendala yang pernah dialami, hingga faktor apa yang membuat konsumen puas dan tidak puas terhadap layanan e-commerce.

Survei ini merupakan hasil kolaborasi DailySocial dan JakPat untuk memberikan gambaran besar mengenai faktor yang mempengaruhi konsumen untuk berbelanja online hingga pelayanan apa yang dirasa oleh pelanggan Indonesia harus ditingkatkan oleh pelaku e-commerce di Indonesia.

[Baca juga: DailySocial.id Luncurkan Laporan Perilaku Konsumen Digital Indonesia 2016]

Beberapa hal menarik yang bisa ditemukan dalam survei 21 halaman ini di antaranya yaitu:

  • Tokopedia, Lazada, dan Bukalapak merupakan tiga besar layanan e-commerce yang populer digunakan oleh konsumen untuk berbelanja online dan Go-Jek berhasil merangsek ke posisi empat di sini, meski inti layanan adalah transportasi on-demand.
  • Meski tak banyak perubahan berarti dalam metode pembayaran favorit, namun pilihan pembayaran melalui minimarket rupanya berhasil menyalip pilihan pembayaran kartu kredit.
  • Harga yang terjangkau dan diskon menjadi pertimbangan utama konsumen untuk berbelanja online dan menjadi faktor utama ukuran tingkat kepuasan mereka.
  • Pelaku e-commerce Indonesia sudah cukup cepat menyelesaikan kendala dengan lebih dari setengah responden menyebutkan kendala mereka bisa selesai di rentang 1-3 hari.
  • 93,45% responden menyatakan sudah puas dengan layanan e-commerce di Indonesia dan sebagian besar dari mereka juga bersedia untuk berlangganan newsletter dari layanan e-commerce yang bersangkutan.

Hasil survei Customer Satisfaction in Indonesia’s E-Commerce Services (2016) secara lengkap dapat diakses cuma-cuma setelah Anda menjadi member DailySocial.

Laporan FireEye Ungkap Indonesia Jadi Sasaran Ancaman Keamanan Siber

FireEye sebagai perusahaan keamanan, baru-baru ini mengeluarkan hasil risetnya mengenai serangana siber yang ada di Indonesia. Dalam laporan tersebut ditemukan bahwa 36 persen perusahaan yang disurvei di Indonesia menjadi target serangan di semester kedua tahun 2015. Bahkan hasil observasi FireEye menyebutkan setidaknya ada empat kelompok penyerang profesional yang terus menargetkan perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Chief Technology Office FireEye Asia Pasifik Bryce Bolan dalam keterangan tertulisnya mengatakan bahwa ada kesenjangan keamanan siber di Indonesia yang patut menjadi perhatian dan harus segera ditangani, terutama yang terkait dengan perekonomian dan keamanan nasional.

“Di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat di seluruh kawasan ini, penting untuk menyadari bahwa ketegangan ini juga tercermin di dunia cyber,” kata Bryce.

Laporan FireEye serangan siber
Laporan FireEye serangan siber

Ia juga menjelaskan bahwa serangan siber tingkat tinggi atau yang dilakukan kelompok profesional bisa menimbulkan banyak dampak negatif, seperti gangguan operasi, kerugian finansial, rusaknya reputasi dan tuntutan hukum. Menurutnya, penting bagi perusahaan di sektor yang krusial untuk memadukan kemampuan ahli keamanan yang dimiliki perusahaan dan dari luar perusahaan dan juga membangun intelejensi serangan.

Dari data observasi yang dilakukan FireEye, di wilayah Asia Pasifik, sektor industri yang paling banyak mendapatkan serangan APT (Advance Persistent Threat) di enam bulan terakhir tahun 2015. Selain industri, berbagai sektor tercatat juga mendapatkan ancaman, sektor lain tersebut meliputi pemerintahan federal (45 persen), hiburan/media/rumah sakit (38 persen), high-tech (33 persen), manufaktur (29 persen), energi (29 persen), pemerintahan negara bagian dan lokal (28 persen), jasa/konsultasi (25 persen) dan jasa keuangan (20 persen).

Khusus Indonesia, FireEye mengungkap pada bulan April 2015 ada kampanye cyber espionage atau kegiatan spionase siber selama satu dekade terakhir oleh pelaku cyber threat yang berasal dari Tiongkok. Fokus mereka antara lain pemerintahan, bisnis, dan jurnalis – yang memegang kunci politik, ekonomi, dan informasi militer tentang Asia Tenggara dan Asia Selatan. Analisis FireEye terhadap kelompok malware ini menghasilkan petunjuk bahwa kelompok tersebut menyasar Indonesia.

Microsoft: Transformasi Tempat Kerja Dukung Peningkatan Produktivitas

Teknologi saat ini telah merubah cara kerja yang sifatnya konvensional menjadi lebih fleksibel dan memudahkan setiap pekerja. Mulai dari sistem kerja dengan cara remote atau mobile, penggunaan  cloud, hingga fasilitas pendukung dalam hal komunikasi, mengerjakan proyek hingga lainnya.

Baru-baru ini Microsoft merilis studi dengan tema New World of Work, yaitu transformasi tempat kerja bagi peningkatan produktivitas dan daya saing bisnis di Indonesia. Studi ini melibatkan 200 responden Indonesia, yang mengklaim telah memposisikan diri sebagai mobile worker. Indonesia saat ini dinilai telah mendukung cara kerja dengan sistem remote atau mobile worker kepada para pekerja, atau yang lebih dikenal dengan era gaya kerja baru New World of Work, sebanyak 67%, dan menyisakan hanya 29% pekerja yang saat ini belum terfasilitasi oleh tempat kerja untuk mengadopsi cara kerja baru. Kebijakan perusahaan hingga ketatnya kesempatan untuk mengakses informasi dan data penting melalui server internal perusahaan, menyulitkan para pekerja untuk bekerja secara mobile.

“Teknologi berperan sebagai kunci utama yang memungkinkan karyawan untuk bekerja dari manapun serta meningkatkan produktivitas. Namun, terdapat aspek lain seperti budaya organisasi, kebijakan, infrastruktur, peluang kolaborasi atau kemampuan untuk menanggulangi hal-hal yang menghalangi inovasi, yang menjadi semakin penting bagi organisasi dalam usahanya untuk lebih kompetitif.” Kata César Cernuda, President Microsoft Asia Pacific.

Dari hasil studi tersebut disebutkan juga bahwa sebanyak 89% pekerja di Indonesia menggunakan email untuk layanan komunikasi online, sementara sebanyak 89% menggunakan social tools, dan 75% pekerja menggunakan document collaboration tools dan sebanyak 70% menggunakan file sharing services untuk melihat dan berbagi dokumen. Sementara untuk keperluan rapat bersama atau internal meeting sebanyak 60% menggunakan virtual meeting tools.

Lingkungan kerja paperless

Selain gaya bekerja secara mobile dan memanfaatkan online tools untuk rutinitas kerja, teknologi juga memungkinkan kebiasaan di kantor untuk meminimalisir penggunaan kertas atau paperless, sehingga bukan hanya menghemat, namun semua bisa didokumentasikan secara online dan bisa diakses oleh seluruh tim. selain itu gaya kerja New World of Work juga terbukti membantu mempercepat bisnis dengan keuntungan seperti, tenaga kerja yang lebih produktif, kolaboratif, inovatif dan tempat kerja yang lebih menyenangkan.

“Peningkatan produktivitas merupakan tujuan krusial bisnis di Indonesia saat ini. Dari luar, bisnis nampak tidak bisa mendedikasikan Sumber Daya Manusia (SDM) mereka untuk menyelesaikan tantangan, atau menempatkan seorang spesialis untuk setiap peran. Namun faktanya, orang-orang yang ada dalam bisnis, baik yang bekerja sebagai karyawan maupun wirausaha cenderung memiliki beberapa peran,” ujar Peter Sutiono, Small & Midmarket Solutions & Partners (SMS&P) Director, Microsoft Indonesia.

Hasil studi lain yang dikeluarkan oleh Microsoft juga menunjukkan karyawan di negara berkembang lebih banyak diuntungkan dengan kebijakan yang lebih fleksibel dalam hal menggunakan perangkat kerja seperti laptop, smartphone perusahaan diluar kantor. Hal ini berbeda dengan kebiasaan para pekerja di negara maju yang menerapkan lebih ketat peraturan menggunakan alat-alat pendukung di luar kantor. Kebiasaan bring your own device pun semakin banyak dilakukan oleh pekerja di luar kantor.

Dalam hal ini Microsoft sebagai perusahaan dalam bidang perangkat dan produktivitas di era mobile first dan cloud first, mencoba untuk memberikan dukungan lebih kepada bisnis di Indonesia untuk mulai menerapkan cara kerja terkini yaitu New World of Work.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai hasil studi New World of Work beserta indeks pendukung lainnya, silakan klik link ini.

Survei: Masyarakat Indonesia Makin Selektif Berbelanja Berkat E-Commerce

Dalam tatanan masyarakat umum di Indonesia, dampak Internet terasa kental pada dua hal, yakni media sosial dan e-commerce. Kendati banyak sektor digital lain yang turut terdongkrak, tapi kedua poin tadi yang kini terlihat makin “menginfeksi” pola hidup di masyarakat. Kemudahan proses transaksi yang dihadirkan e-commerce dibawa viral melalui media sosial hingga berdampak luas di seluruh penjuru Indonesia.

Hal ini terbukti dengan sebuah survei bertajuk “Shopping is One Click Away! Online Shopping Survey 2016” yang dilakukan oleh Jajak Pendapat (JakPat) terhadap 430 reponden usia produktif (18-38 tahun) di berbagai penjuru Indonesia. Dari total responden yang mengikuti survei 87 persen di antaranya pernah melakukan transaksi jual/beli melalui layanan e-commerce. Dari persentase sisanya, yang belum pernah mencicipi layanan e-commerce, mayoritas (74 persen) mengatakan ke depan akan segera mencoba.

Survei JakPat 1

Dari survei tersebut turut, dilansir item terfavorit dalam transkasi jual/beli online, yakni produk busana (fashion), elektronik dan gadget, tiket bepergian, kosmetik dan perlengkapan rumah tangga. Secara garis besar barang-barang yang dibeli adalah barang tahan lama, mengingat proses jual/beli melalui e-commerce terkadang memerlukan waktu lama untuk pengemasan dan pengiriman.

Terkait metode pembayaran, persentase tertinggi masih dilakukan melalui transfer bank via ATM (70 persen), diikuti pembayaran tunai atau COD (14 persen), pembayaran online (Internet banking, e-money, QR, dan lain-lain) (9 persen), kartu kredit (4 persen) dan rekening bersama (2 persen).

Masyarakat semakin teliti dalam menentukan barang yang akan dibeli

Proses yang dilakukan secara virtual turut membangun karakteristik konsumen yang lebih teliti dalam memilih barang. Terlebih internet juga makin memudahkan penggunannya untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan. Dari survei yang dirilis JakPat, dari total responden yang mengatakan pernah melakukan transaksi e-commerce, 90 persen di antaranya menyatakan bahwa mereka selalu membaca review barang sebelum menentukan pembelian.

Tak hanya itu, nyaris semua konsumen e-commerce (99 persen) mengatakan selalu membaca ulasan tentang produk sebelum memutuskan untuk membeli. Mengulas produk secara matang tak terlepas dari proses adaptasi masyarkat secara menyeluruh terhadap layanan e-commerce. Untuk beberapa segmentasi masyarakat layanan e-commerce sudah menjadi bagian yang tak diragukan, namun untuk segmentasi lainnya proses tersebut masih baru, sehingga membutuhkan kehati-hatian.

E-commerce turut menghadirkan budaya baru dalam masyarakat

Istilah HARBOLNAS (Hari Belanja Online Nasional) dewasa ini makin banyak diketahui dan ditunggu-tunggu masyarakat. Dalam jangka waktu tertentu hampir semua layanan e-commerce di Indonesia menghadirkan penawaran diskon berlebih kepada pelanggannya. Dari responden survei yang sama, 60 persen di antaranya bersemangat menantikan pagelaran HARBOLNAS untuk memborong kebutuhan yang bisa didapat secara online.

[Baca juga: 76 Persen Pengguna Internet Mengetahui Gerakan Hari Belanja Online Nasional 2015]

Budaya HARBOLNAS pun turut mengencangkan kehadiran berbagai layanan e-commerce di Indonesia, baik pemain lokal ataupun asing.

Lazada didapuk sebagai layanan e-commerce terpopuler untuk kategori gabungan, diikuti Tokopedia dan OLX. Khusus untuk produk travel, Traveloka memimpin, diikuti Tiket di urutan selanjutnya.

Satu hal menarik adalah toko online di Instagram disebutkan sekarang lebih banyak digunakan dibanding Kaskus. Apakah terjadi pergeseran, terutama untuk jenis produk fashion yang kini menjadi primadona kalangan Instagrammer?

Survei JakPat 2

Kendati sudah banyak layanan e-commerce untuk kebutuhan umum ataupun spesifik, intensitas transaksi per orang masih terbilang belum optimal. Survei JakPat menuliskan bahwa 47 persen responden mengatakan bahwa dalam satu bulan belum tentu melakukan transaksi e-commerce. Sisanya minimal satu kali (26 persen), dua sampai tiga kali (16 persen) dan lebih dari tiga kali (11 persen). Namun tetap saja, persentase tersebut jika benar-benar mewakili populasi produktif di Indonesia jumlahnya tentu sangat besar. Tak heran jika pemain e-commerce berbondong melakukan berbagai usaha untuk akuisisi pelanggan.

Mayoritas Gamer Tidak Tertarik Membeli Headset Virtual Reality?

Virtual reality adalah istilah terpanas saat ini. Ia semakin populer, dan para perusahaan ternama berbondong-bondong berupaya ambil bagian di sana. VR diprediksi akan menjadi masa depan hiburan digital serta memanaskan kembali kompetisi di bidang grafis. Namun apakah antusiasme serupa dirasakan oleh konsumen, khususnya di kalangan gamer?

Setelah HTC dan Oculus VR mengungkap info lebih detail terkait head-mounted display mereka, kita tahu baik Rift dan Vive akan tetap menjadi produk niche meski mereka segera meluncur sebentar lagi. Keduanya dibanderol di harga yang tidak murah, lalu Anda juga memerlukan hardware canggih buat mendukungnya. Ternyata para gamer merasakan sentimen serupa, berdasarkan data Gamer Network.

Gamer Network sebelumnya melakukan survei ke kurang lebih 14.000 gamer di jaringan website mereka. Hasilnya, dari hampir 13.000 responden, hanya 15 persen yang bilang berniat untuk membeli headset VR di tahun ini. 25 persen masih belum yakin, dan 60 persen terang-terangan menyampaikan mereka tidak berencana buat memilikinya. Menariknya lagi, 75 persen subjek survei mengaku mempunyai gaming PC.

Tak bisa disangkal, gamer ialah target konsumen utama dari Vive dan Rift. 32 persen responden menyatakan bahwa harga adalah faktor krusial yang memengaruhi keputusan mereka. Fakta unik mengenai VR tidak berhenti sampai di sini. Kita menyangka Oculus Rift merupakan headset terfavorit, mengingat ia lebih dulu ‘dicicipi’ banyak orang melalui versi development kit-nya. Faktanya, persentase antusiasme konsumen terhadap Rift malah di bawah HTC Vive, dengan perbandingan 13,74 versus 15,5 persen.

Mungkin tidak disangka, menakar dari harga, PlayStation VR berpeluang menjadi alternatif terbaik – menempatkan Sony di posisi unggul. Tapi berhasil atau tidaknya langkah mereka sangat ditentukan oleh keputusan Sony untuk ‘berani rugi‘. Seandainya ketiga headset menyajikan kualitas konten serupa, Sony dapat memimpin dengan menjajakanya di harga lebih ekonomis – misalnya di bawah US5 500. Console maker asal Jepang itu dahulu sempat bertaruh dengan PlayStation 3.

Di luar tema virtual reality, responden juga ditanya mengenai platform game apa yang tertarik untuk mereka beli selanjutnya. Jawabannya cukup mengejutkan. Walaupun detail tentangnya sangat minim dan Nintendo belum mengungkapnya secara resmi, NX memimpin di urutan pertama dengan 31 persen, diikuti oleh PC di posisi runner-up (hampir 30 persen). Di kelas persaingan current-gen console, PlayStation 4 jauh meninggalkan Xbox One: 20 banding 9 persen.

Sumber: Games Industry.

BlackBerry Messenger Masih Terpopuler di Indonesia

Aplikasi pesan menjadi salah satu yang paling esensial di hampir setiap penggunaan smartphone. Di Indonesia, terdapat beberapa opsi aplikasi pesan yang umum digunakan oleh masyarakat. Dari beberapa opsi aplikasi tersebut, BlackBerry Messenger (BBM) masih menjadi yang terlaris di Indonesia. Data tersebut seperti yang tersaji dalam laporan riset JakPat (JajakPendapat) kepada 1033 responden di usia produktif smartphone dari beberapa wilayah di Indonesia.

Survey Messenger App Jakpat 1

Dari lima besar aplikasi yang digunakan, setelah BBM di urutan kedua ada WhatsApp, LINE, Facebook Messenger dan Telegram. Tiga besar di urutan pertama mendominasi di setiap jangka usia, baik anak-anak hingga dewasa. Sisanya terlihat tersegmentasi di beberapa pembagian usia. Sedangkan beberapa aplikasi pesan lain, misalnya KakaoTalk atau Path Talk, masih ada penetrasinya, namun sangat sedikit dibanding dengan para pemimpin pasar.

Menariknya di riset yang sama mengungkapkan penggunaan BBM merata berada di persentase puncak di setiap kategori penggunaan, baik untuk berhubungan sesama teman, di lingkungan pekerjaan dan juga keluarga. Sedangkan berada di urutan selanjutnya masih didominasi antara LINE dan WhatsApp.

Di platform WhatsApp, LINE dan BBM, banyak pengguna tergabung di lebih dari satu grup. Dengan grup yang paling mendominasi adalah grup pertemanan, kantor, keluarga, hobi/komunitas, sekolah/alumni dan mobile shopping. Sedangkan kebanyakan konten yang dibagikan kebanyakan adalah gambar lucu, salinan pesan broadcast, berita dan juga info lowongan pekerjaan.

Survey Messenger App Jakpat 2

BBM juga menguasai persentase (lebih dari 65%) dengan pengguna yang paling sering mengganti status atau foto profil.

Menjadi menarik ketika melihat BBM masih menduduki peringkat terpopuler dalam penggunaannya di Indonesia. Hal ini bisa dikaitkan dengan bagaimana tren ponsel BlackBerry di awal masuk ke Indonesia. Banyak dari tokoh publik atau populer menggunakannya. Kala itu handset BlackBerry menjadi modis, dengan fitur BBM, tat kala masih sangat sedikit penetrasi aplikasi mobile messenger, dan baru di fase perpindahan dari tren SMS.

Namun handset BlackBerry sendiri saat ini sudah terlihat mulai tenggelam, di balut penggunaan ponsel berplatform Android dan iOS. Keputusan pihak BlackBerry merilis BBM di berbagai platform sepertinya menjadi langkah yang pas ketika mereka sudah merasa penetrasi hardware sudah mulai kurang diandalkan untuk bisnis mereka.

Survei: Instagram Kini Lebih Populer ketimbang Twitter di Indonesia

Fakta yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah Facebook Country, nampaknya memang tidak salah. Dari survei terhadap 1033 responden yang dilakukan oleh JakPat bulan Januari ini, sebanyak 87,45% masyarakat Indonesia pria dan wanita aktif menggunakan Facebook dalam seminggu terakhir. Di peringkat kedua Instagram menyalip Twitter dengan persentase 69,21%, sedangkan Twitter digunakan oleh 41,31% responden. Urutan keempat ditempati Path dengan jumlah persentase 36,29%. Yang menarik, lebih dari 5% responden menjawab aktif menggunakan Snapchat.

JakPat melakukan survei kepada 1033 reponden di pulau Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan Timur dan Sulawesi dengan fokus rentang usia 16 – 35 tahun.

Di segi usia, lebih dari 90% responden di rentang 26-35 tahun aktif menggunakan Facebook. Angka itu terus turun untuk rentang usia responden yang lebih muda dan hanya mencapai angka 80% di rentang 16-19 tahun.

Lantas media sosial apa yang menarik kalangan millennials yang rata-rata berusia 16 – 25 tahun? Ternyata hasil survei JakPat menyebutkan media sosial favorit di kalangan muda adalah Instagram, dengan persentase pengguna di rentang usia tersebut mencapai lebih dari 70%.

Sebagian besar pengguna Instagram menggunakannya untuk mencari informasi produk online shop dan meme, kemudian sebanyak 48% pengguna Instagram gemar mengunggah foto-foto liburan dan wisata.

Khusus untuk Twitter, hampir 40% responden mengatakan tidak setiap hari membuka layanan media sosial berbasis 140 karakter itu.

Pengguna Snapchat sendiri paling tinggi berada di rentang usia 16-19 tahun dengan kebanyakan aktivitas berkisar di lingkungan pertemanan dan mengunggah video sendiri.