Teja Ventures Rampungkan Penutupan Dana Kelolaan Pertama 143,6 Miliar Rupiah

Hadir sebagai venture capital yang memiliki fokus lensa gender, Teja Ventures  mengumumkan telah merampungkan pendanaan pertama mereka. Nilai dana kelolaan yang diterima sekitar $10 juta atau sekitar 143,6 miliar Rupiah. Dana diperoleh sejumlah family office di Asia.

Kepada DailySocial.id, Partner Teja Ventures David Soukhasing mengungkapkan, dengan dana segar ini pihaknya memiliki rencana untuk mendukung 18 portofolio yang saat ini sudah dimiliki.

“Terutama karena di antara mereka saat ini tengah mengalami pertumbuhan bisnis dan dalam proses finalisasi penggalangan dana, di mana Teja Ventures memimpin pendanaan tersebut,” kata David.

Platform seperti Siklus, Binar, Riliv, Burgreens, Lifepack, Green Rebel, Klikdaily adalah startup yang telah didanai oleh Teja Ventures. Saat ini mereka tengah dalam tahap finalisasi pendanaan kedua dan mengklaim telah mendapat dukungan dari investor.

Teja Ventures mengklaim sebagai venture capital pertama yang berkomitmen untuk berinvestasi dengan lensa gender di seluruh Asia. Negara seperti Tingkok hingga Asia Tenggara menjadi pasar yang mereka sasar. Sementara kategori startup yang ditargetkan adalah di bidang keuangan inklusif/fintech, consumption, edutech, dan new economy.

Dukung bisnis yang dimiliki perempuan

Dikenal juga sebagai Managing Director ANGIN, David bersama relasinya Virginia Tan, yang juga merupakan klien dari ANGIN, mendirikan Teja Ventures. Pendanaan yang diberikan Teja Ventures menargetkan perusahaan yang memiliki impact positif dalam demografi perempuan sebagai konsumen sebagai bagian dari supply chain dan secara keseluruhan sebagai penggerak ekonomi dalam model bisnis mereka.

Meskipun mengklaim sebagai lensa gender investor, namun secara khusus konsep tersebut tidak hanya mendukung pendiri startup perempuan saja. Tidak menutup kemungkinan pendiri startup laki-laki juga bisa dilirik oleh Teja Ventures, yang perlu diperhatikan adalah mereka harus memahami dan secara efektif bisa menangkap pengguna perempuan.

“Kami senang melihat bahwa beberapa investor sekarang memasukkan pola pikir ini ke dalam tesis investasi mereka dan kami melihatnya akan mengarah pada lebih banyak peluang untuk scale, aliran modal, dan dampak gender di Indonesia,” kata David.

Binar Academy with Its Mission to Advance Indonesian Digital Talents

One of the sectors that was rapidly growing during the pandemic was edtech. More Indonesian from various backgrounds are adapting to online learning.

As a platform that focuses on developing digital abilities and talents, Binar Academy claims to have successfully educated more than 8 thousand students in 2020 and generated an 80% increase in income.

Was founded in 2017, this startup was developed by Alamanda Shantika who was Gojek’s former VP of Technology and Products along with two other Gojek alumni, Dita Aisyah and Seto Lareno.

“The Covid-19 pandemic has encouraged educational institutions, teachers, students, and also parents in Indonesia to adapt to online learning. It is time for us to innovate in presenting education and create learning experiences that are both interesting and enjoyable. I believe that a combination of experiences contemporary learning, technology, and community will produce it all, “said Founder & CEO of Binar Academy Alamanda Shantika.

Binar Academy offers two main educational programs. Among these are Binar Bootcamp and Binar Insight. The Binar Bootcamp Program, an intensive course for beginners, has four classes of 4 to 6 months, including Product Management, UI / UX Design and Research, Android Engineering, and Fullstack Web Development.

Aslo, Binar Insight, a series of interactive webinars of 1.5 to 2 hours, with more diverse classes such as Product Management, Digital Marketing, and Data Science. The most popular classes are Product Management for Bootcamp Binars and Binar Insights.

In terms of demography, most Binar Academy users are high school graduates, students, and career shifter. This year, the company plans to increase collaboration with educational institutions including the government, universities and vocational schools. In addition, Binar Academy will also collaborate with companies affected by digitalization to upskilling employees to remain relevant.

In Indonesia, the bootcamp program becomes an alternative to non-formal education, especially for those who want to pursue a career in technology and programming. Apart from Binar, there are several other startups that offer similar services, including Hacktiv8, Impact Byte, and Skilvul. One of the unique options they offer is the “Income Share Agreement”, which allows students to gain knowledge first and pay accommodation fees later as they started to earn income.

Seed funding

Binar Academy’s Bootcamp class

In mid-April 2020, Binar Academy received seed funding led by Teja Ventures with the participation of several investors such as the Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF – a fund that aims to create social impact, managed by Moonshot Ventures and YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, as well as several angel investors from ANGIN.

The fresh funds will be used to increase tech-education growth, as well as recruit experts in the fields of education and technology to provide digitalization of content and curricula to continuously train digital talents.

Binar Academy also targetimg to increase the growth of technology education products, as well as to recruit more experts in the fields of education and technology so that they can digitize content and curriculum for 45 thousand students in Indonesia.

“In the last three years, we have continued to develop our main product, namely Binar Bootcamp to meet the learning experience of our students and the market demand for digital talents. Inspiring Indonesian youth and helping them to discover their true potential will always be my mission,” said Alamanda.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Binar Academy dan Misinya Tingkatkan Kemampuan Talenta Digital Indonesia

Salah satu sektor yang terdongkrak pertumbuhannya saat pandemi adalah edtech. Semakin banyak masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan untuk kemudian beradaptasi untuk belajar secara online.

Sebagai platform yang fokus pada pengembangan kemampuan dan talenta digital, Binar Academy mengklaim telah berhasil mengedukasi lebih dari 8 ribu siswa di tahun 2020 dan menghasilkan peningkatan pendapatan sebesar 80%.

Didirikan pada tahun 2017, startup ini dirintis oleh Alamanda Shantika yang merupakan mantan VP Technology and Product pertama Gojek bersama dengan dua alumni Gojek lainnya, yaitu Dita Aisyah dan Seto Lareno.

“Pandemi Covid-19 telah mendorong institusi pendidikan, guru, murid, dan juga para orang tua di Indonesia untuk beradaptasi belajar online. Sudah saatnya bagi kita untuk berinovasi dalam menyajikan pendidikan dan menciptakan pengalaman belajar yang menarik sekaligus menyenangkan. Saya yakin bahwa kombinasi dari pengalaman belajar kontemporer, teknologi, dan komunitas akan menghasilkan hal itu semua,” kata Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika.

Binar Academy menawarkan dua program pendidikan utama. Di antaranya adalah Binar Bootcamp dan Binar Insight. Program Binar Bootcamp, kursus intensif bagi pemula, mempunyai empat kelas berdurasi 4 sampai 6 bulan yaitu: Product Management, UI/UX Design and Research, Android Engineering, dan Fullstack Web Development.

Kemudian Binar Insight, berbagai seri webinar interaktif berdurasi 1,5 sampai 2 jam, mempunyai kelas yang lebih beragam seperti Product Management, Digital Marketing, dan Data Science. Kelas yang paling banyak dipilih pengguna adalah Product Management untuk Binar Bootcamp dan Binar Insight.

Secara demografi kebanyakan pengguna Binar Academy adalah lulusan SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang ingin berganti karier (career shifter). Tahun ini perusahaan berencana untuk meningkatkan kolaborasi dengan institusi pendidikan termasuk dengan pemerintah, universitas, dan sekolah vokasi. Selain itu, Binar Academy juga akan berkolaborasi dengan perusahaan yang terdampak oleh digitalisasi untuk upskilling employee agar kemampuannya kembali relevan.

Di Indonesia sendiri program bootcamp memang menjadi alternatif pendidikan nonformal, khususnya bagi mereka yang ingin menekuni bidang teknologi dan pemrograman. Selain Binar, ada beberapa startup lain yang tawarkan layanan serupa, di antaranya Hacktiv8, Impact Byte, dan Skilvul. Salah satu opsi menarik yang mereka tawarkan adalah skema “Income Share Agreement”, memungkinkan pelajar untuk terlebih dulu menimba ilmu dan baru membayar biaya akomodasi setelah mendapatkan penghasilan dari keahliannya.

Kantongi pendanaan tahap awal

Kelas Academy Bootcamp Binar Academy

Pertengahan April 2020 lalu Binar Academy telah menerima pendanaan tahap awal dipimpin oleh Teja Ventures dengan partisipasi dari beberapa investor seperti Indonesia Women Empowerment Fund (IWEF— dana yang bertujuan untuk menciptakan dampak sosial dan dikelola bersama oleh Moonshot Ventures dan YCAB Ventures), Eduspaze, The Savearth Fund, serta beberapa angel investor dari ANGIN.

Dana segar tersebut rencananya akan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan pendidikan teknologi, serta merekrut pakar di bidang pendidikan dan teknologi agar dapat menyediakan digitalisasi konten dan kurikulum untuk melatih kemampuan talenta digital secara terus-menerus.

Binar Academy tahun ini juga memiliki target untuk meningkatkan pertumbuhan produk pendidikan teknologi, serta merekrut lebih banyak pakar di bidang pendidikan dan teknologi agar dapat menyediakan digitalisasi konten dan kurikulum untuk 45 ribu siswa di Indonesia.

“Dalam tiga tahun terakhir, kami terus mengembangkan produk utama kami yaitu Binar Bootcamp untuk memenuhi pengalaman belajar siswa kami dan permintaan pasar akan talenta digital. Menginspirasi pemuda Indonesia dan membantu mereka untuk menemukan potensi mereka yang sesungguhnya akan selalu menjadi misi saya,” kata Alamanda.

Siklus Ingin Biasakan Penggunaan Layanan Isi Ulang di Masyarakat

Ketika tinggal di India dan Filipina, Jane von Rabenau melihat besarnya jumlahnya sampah plastik dan memikirkan solusi yang tepat untuk mengurangi jumlahnya. Di Indonesia, ia terinspirasi untuk mengembangkan solusi penggunaan kembali plastik sebagai wadah isi ulang kebutuhan sehari-hari dengan nama Siklus.

“Banyak pelanggan berpenghasilan rendah akan menggunakan ini sebagai alternatif yang lebih murah untuk air kemasan. Jadi, saya berpikir, mengapa kita tidak dapat melakukan ini untuk produk yang biasanya dijual dalam kemasan sachet,” kata Jane.

Siklus merupakan salah satu portofolio Teja Ventures. Sebelumnya, perusahaan telah menerima investasi dari Golden Space Capital, CEO Zenius Rohan Monga, dan Chief Commercial Officer Gojek Antoine de Carbonnel. Siklus Refill juga menerima hibah dari Partnering for Green Growth and the Global Goals (P4G).

Memanfaatkan kemitraan dengan perusahaan FMCG terkemuka, seperti Wings, P&G, Nestle, Total Chemindo, Siklus menyediakan pos pengisian isi ulang mobile menggunakan motor yang memudahkan konsumen mengisi ulang sampo, deterjen, hingga cairan pembersih lantai.

“Satu jerigen sampo [yang dibawa petugas] mampu menghemat biaya pembuatan 2.500 sachet. Kami kemudian menjual kepada pelanggan kami melalui pos pengisian ulang mobile, untuk memastikan bahwa mereka dapat membeli sesedikit atau sebanyak yang mereka suka dengan harga yang lebih murah dan tanpa harus khawatir membayar untuk kemasan plastik. Ke depannya kami juga berencana untuk melakukan memonetisasi iklan di pos pengisian ulang dan aplikasi,” kata Jane.

Saat ini Siklus telah memiliki sekitar 25 pos pengisian ulang yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Perusahaan mengklaim mendapat respon positif dari pengguna. Bulan Maret lalu, Siklus meluncurkan aplikasi untuk Android.

Tantangan Siklus

Pandemi diklaim tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan bisnis perusahaan. Dengan memanfaatkan layanan pengantaran langsung ke rumah pelanggan, bisnis Siklus mampu bertahan. Perusahaan bahkan terus menambah jumlah pegawai.

“Pandemi adalah saat di mana kita harus merenungkan dan bersatu menghadapi tantangan saat ini. Polusi plastik telah meroket selama pandemi dan sekarang, lebih dari sebelumnya, kita harus bersatu untuk mengatasi krisis plastik,” kata Jane.

Tantangan yang masih ditemui Siklus adalah membangun rantai pasokan sirkular dengan perusahaan FMCG dan menciptakan norma sosial baru seputar konsep pengisian ulang.

“Tujuan kami adalah untuk memperluas layanan ke tiga kota lagi, menambahkan lebih banyak produk, dan meningkatkan teknologi pengeluaran kami. Kami sangat bersemangat untuk membawa revolusi isi ulang ke wilayah lain di Indonesia, terutama yang paling terpukul oleh krisis plastik,” kata Jane.

Application Information Will Show Up Here

Teja Ventures Invests in Binar Academy; to Secure a Second Managed Fund

Binar Academy, the edutech platform developed by Alamanda Shantika, has completed its seed funding from Singapore-based venture capital, Teja Ventures. The investment value was undisclosed.

Teja Ventures Partner, David Soukhasing revealed to DailySocial that selecting Binar Academy to join its portfolio was based on a strong belief in the company founder with fairly positive track record.

“Binar Academy has had a fairly good number of clients, ranging from middle to upper class. It also has the potential to scale-up and provide good solutions quickly and have a fairly solid foundation,” David said.

Was founded in 2017, Binar Academy is now available in around 33 cities in Indonesia. Earlier this month, they released an application that is available on the App Store and Play Store. Since the beginning, Binar Academy focus to be able to deliver new digital talents who are capable to master programming languages ​​through the platform.

Aside from education, Binar Academy also channels several talents relevant to the needs of companies and startups to join as employees.

Apart from Binar, there are several other startups that provide “bootcamp” concept education services. One of those is Hacktiv8, they provide a lot of education about programming, including channeling their graduates to partner companies. There is also Skilvul, which is also correlated with the Impact Byte program.

Teja Ventures plans

Previously, David was known as Managing Director of ANGIN (Angel Investment Network Indonesia). Then, together with his partner Virginia Tan, who is also ANGIN’s client, he founded Teja Ventures in 2019. They also focus on supporting women founders.

“Teja Ventures is one of ANGIN’s clients (as we have 120 other clients including ADB, TINC, Moonshot Ventures) and also connected with me because I am one of the four partners, including one from Indonesia,” David said.

After Binar Academy, Teja Ventures’ next plan is to continue investing in startups with good potential. Starting from beauty tech, SME supply chain, wellness, and others. Teja Ventures strives to support its portfolio companies in Indonesia, including Duithape, Burgreens, Green Butcher, Shox / Rumah, and Siklus.

“In the future, Teja Ventures is currently preparing for the second managed fund and to continue maintaining good momentum from the LP and deal-flow,” David said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Teja Ventures Berikan Pendanaan ke Binar Academy; Segera Bukukan Dana Kelolaan Kedua

Binar Academy, platform edutech yang dikembangkan oleh Alamanda Shantika telah merampungkan pendanaan tahap awal dari venture capital berbasis di Singapura, Teja Ventures. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa nilai investasi yang diberikan kepada Binar Academy.

Kepada DailySocial, Partner Teja Ventures David Soukhasing mengungkapkan, dipilihnya Binar Academy untuk masuk dalam portofolio mereka adalah kepercayaan dan keyakinan kuat kepada pendiri perusahaan yang selama ini memiliki track record yang cukup positif.

“Binar Academy selama ini juga telah memiliki jumlah klien yang cukup baik, mulai dari kalangan menengah hingga ke atas. Selain itu juga memiliki potensi untuk scale-up dan memberikan solusi yang baik dengan cepat dan memiliki fondasi yang cukup solid,” ungkap David.

Didirikan tahun 2017 lalu, Binar Academy saat ini telah hadir di sekitar 33 kota di Indonesia. Awal bulan ini mereka juga telah merilis aplikasi yang saat ini sudah bisa diunduh di App Store dan Play Store. Fokus Binar Academy sejak awal adalah untuk bisa melahirkan talenta digital baru yang mampu menguasai bahasa pemrograman melalui platform.

Selain edukasi, Binar Academy juga menyalurkan beberapa talenta yang relevan dengan kebutuhan perusahaan hingga startup untuk bergabung bersama mereka menjadi pegawai.

Selain Binar, ada beberapa startup lain yang menyajikan layanan pendidikan berkonsep “bootcamp”. Satu di antaranya adalah Hacktiv8, mereka juga banyak memberikan edukasi soal pemrograman, termasuk menyalurkan lulusannya kepada perusahaan mitra. Pemain lainnya adalah Skilvul, yang juga terkorelasi dengan program Impact Byte.

Rencana Teja Ventures

Sebelumnya David dikenal sebagai Managing Director ANGIN (Angel Investment Network Indonesia). Kemudian bersama relasinya Virginia Tan, yang juga merupakan klien dari ANGIN, mendirikan Teja Ventures sejak tahun 2019. Mereka juga memiliki konsentrasi lebih untuk mendukung pendiri bisnis dari kalangan perempuan.

“Teja Ventures adalah klien dari ANGIN (karena kami memiliki 120 klien lain termasuk ADB, TINC, Moonshot Ventures) dan juga  terhubung dengan saya karena saya adalah salah satu dari empat partner, yang mencakup Indonesia,” kata David.

Setelah memberikan pendanaan kepada Binar Academy, rencana Teja Ventures selanjutnya adalah terus memberikan investasi kepada startup yang memiliki potensi yang baik. Mulai dari beautytech, supply chain UKM, wellness, dan lainnya. Teja Ventures juga terus berupaya untuk mendukung perusahaan portofolio mereka di Indonesia seperti Duithape, Burgreens, Green Butcher, Shox/Rumahan, dan Siklus.

“Ke depannya Teja Ventures juga tengah mempersiapkan penggalangan dana untuk kelolaan dana kedua dan terus menjaga momentum baik dari LP dan deal-flow,” kata David.

Green Butcher dan Misinya Populerkan Makanan Vegan Daging Nabati

Founder Burgreens Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias menyadari, adanya pandemi yang dimulai oleh virus yang ditransmisi melalui hewan, membawa suatu dorongan untuk beralih ke protein nabati karena memiliki keamanan makanan yang tinggi dan lebih ramah terhadap lingkungan. Oleh karenanya, pola makan harus segera diubah.

Akan tetapi, Burgreens yang merupakan restoran makanan sehat berbasis nabati, tidak bisa melakukan misi tersebut sendirian karena mereka belum bisa mengakomodasi kebutuhan protein untuk masak di rumah. Sehingga dibutuhkan brand baru yang khusus menangani segmen tersebut.

Dorongan tersebut juga datang dari eksternal, ia mengaku pihaknya mendapat banyak permintaan dari konsumen loyal Burgreen dan rekan bisnis restoran untuk bisa membeli alternatif daging sapi dan ayam yang selama ini baru bisa dinikmati saat berkunjung ke restoran Burgreens.

“Kami pun akhirnya meluncurkan Green Butcher di tengah pandemi, tepatnya di September 2020. Target konsumen kami adalah semua orang yang peduli kesehatan diri dan lingkungan, namun menyukai rasa daging,” ucap Helga dalam wawancara bersama DailySocial.

“Daging nabati” ini sebenarnya terbuat dari jamur, kedelai non-GMO, buncis, dan seitan (gluten gandum). Bahan-bahan lainnya diambil dari petani lokal di Indonesia, misalnya garam laut yang berasal dari Bali, rempah-rempah (i.e. kunyit, lengkuas, dan serai) dari Jawa, dan minyak kelapanya bersumber dari pohon kelapa yang tumbuh secara berkelanjutan di Riau.

Dari segi rasa, Green Butcher mengambil pendekatan seperti Burgreens yang mengambil cita rasa dari kuliner Indonesia dan Asia, seperti Beefless Rendang, Chick’n Satay Taichan, dan Chink’n Karage. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan Vegan Boba yang mendapat respons baik dari konsumen.

Seluruh menu ini adalah makanan kemasan (Consumer Packaged Goods/CPG) yang siap masak (ready-to-cook) oleh konsumen di dapurnya masing-masing. Ada dua jenis bisnis yang dijalankan oleh Green Butcher, yakni B2C dan B2B. Untuk B2C, perusahaan bekerja sama dengan jaringan supermarket di berbagai kota dan melalui kanal digital untuk distribusi ke konsumen.

“Kami memiliki Production Facility yang berfungsi sebagai distribution center. Dari sinilah semua produk Burgreens dan Green Butcher didistribusikan.”

Sementara dengan B2B, perusahaan bekerja sama dengan pemain restoran menjadi penyuplai untuk menu daging nabati. Salah satu yang sudah terealisasi adalah bersama Starbucks yang meluncurkan meatless pastry line menggunakan Beefless Chucks milik Green Butcher.

“Kami juga sedang menyiapkan peluncuran produk plant-based dengan dua grup F&B ternama di Indonesia yang sangat terkenal dengan meat selection dan japanese food mereka.”

Helga berharap para brand F&B ini ke depannya semakin banyak yang terlibat dalam gerakan menghadirkan menu plant-based untuk mengakomodasi lebih banyak konsumen yang ingin makan protein dengan sehat dan aman.

Co-Founder Burgreens Max Mandias & Helga Angelina / Burgreens
Co-Founder Burgreens Max Mandias & Helga Angelina / Burgreens

Terima pendanaan tahap awal

Menariknya, meski usia Green Butcher belum menginjak satu tahun, sudah mengantongi pendanaan tahap awal sebesar $2 juta (lebih dari 28 miliar Rupiah) yang dipimpin Unovis Asset Management, Teja Ventures, diikuti oleh SavEarth Fund yang berorientasi pada dampak lingkungan dari James dan Suzie Cameron, Phi Trust, C4D, dan investor individu Elisa Khong, Michal Klar, dan Simon Newstead.

Teja Ventures merupakan salah satu investor Burgreens yang turut masuk dalam sejumlah putaran investasi yang digelar.

Dalam keterangan resmi, Managing Director Unovis Asset Management Kim Odhner mengungkapkan rasa terhormatnya karena bisa mendukung pekerjaan penting yang sedang dilakukan Green Butcher.

“Helga Angelina dan seluruh tim telah membuat kemajuan yang mengesankan selama setahun terakhir, dan Unovis bertujuan untuk memanfaatkan pengalaman unik dan posisi industrinya untuk membantu meluncurkan pembangkit tenaga listrik nabati yang inovatif ini kepada khalayak global,” terang Odhner.

Helga menyebut, dana segar akan dimanfaatkan perusahaan untuk mengembangkan tim R&D, meningkatkan produksi, dan masuk ke jaringan pengecer utama pada Q2 2021.

Secara terpisah, Helga mengatakan Unovis adalah investor global terdepan khusus di industri alternatif protein. Nantinya mereka akan membantu proses peluncuran Green Butcher sebagai brand global. “Kami sangat bersyukur bisa bekerja dengan highly experienced investor seperti Unovis,” tutupnya.