Tutorial Lengkap Menggunakan Aplikasi Snack Video, Penantang TikTok

Snack Video pelan-pelan tapi pasti mulai memperlihatkan diri. Duduk di posisi teratas aplikasi populer di Play Store jadi bukti kalau ia pantas disebut sebagai penantang TikTok. Kami pun penasaran dan langsung mencoba menggunakan Snack Video, menjajal langsung seperti apa sih cara penggunaannya.

Continue reading Tutorial Lengkap Menggunakan Aplikasi Snack Video, Penantang TikTok

Facebook Luncurkan BARS, Aplikasi Mirip TikTok Khusus untuk Para Penggemar Musik Rap

Ketertarikan Facebook terhadap tren video pendek yang dipopulerkan oleh TikTok masih terus berlanjut. Setelah meluncurkan aplikasi bernama Collab tahun lalu, Facebook kini memperkenalkan aplikasi serupa bernama BARS.

Kalau Collab ditujukan supaya para penggunanya bisa menciptakan musik bersama-sama, BARS dirancang sebagai wadah berbagi buat para calon rapper berbakat. Premis yang ditawarkan sangatlah sederhana: pengguna bisa memilih dari ratusan beat profesional yang tersedia secara cuma-cuma, lalu mulai nge-rap selagi mengabadikan aksinya.

Yang cukup unik adalah bagaimana BARS dapat menganjurkan sejumlah kata yang berima (rhyme) buat para rapper pemula yang minim pengalaman. Buat yang sudah cukup berpengalaman dan menginginkan tantangan lebih, mereka bisa mengaktifkan semacam mode freestyle dan mulai nge-rap menggunakan pilihan kata yang muncul pada layar.

Berhubung hasil akhirnya adalah video, tentu saja sejumlah filter visual juga tersedia, demikian pula fitur-fitur audio yang spesifik macam autotune. Durasi video maksimum yang dapat direkam dalam BARS adalah 60 detik. Selain dibagikan ke platform BARS itu sendiri, hasil rekamannya tentu juga dapat disimpan ke galeri untuk kemudian diunggah ke media-media sosial lain.

Fokus pada genre rap tentu terdengar sangat niche, tapi kenyataannya belakangan ini TikTok juga semakin populer di kalangan rapper, sehingga tidak mengherankan apabila Facebook juga ingin mendalaminya lebih jauh lagi. Seperti halnya Collab, BARS merupakan hasil karya tim Facebook NPE (New Product Experimentation).

Sejauh ini peluncuran BARS masih sangat terbatas. Aplikasinya baru tersedia buat pengguna di Amerika Serikat, dan itu pun belum semua karena statusnya masih closed beta. Memang tidak ada yang bisa menjamin BARS akan terus eksis ke depannya — atau akan tersedia buat pengguna di negara-negara lain — sebab Facebook bisa menariknya dari peredaran kapan saja seandainya ia terbukti kurang begitu populer.

Terlepas dari itu, kehadiran BARS semestinya bisa berujung pada lebih banyak video rap keren di media sosial, contohnya seperti yang tim NPE sendiri unggah ke Instagram baru-baru ini.

Sumber: TechCrunch.

YouTube Shorts Mulai Merambah Kawasan Lain, Dimulai dari Amerika Serikat

Di titik ini, tidak ada lagi yang bisa menyangkal popularitas TikTok. Tren video pendek sebenarnya sudah ada sejak dulu, tepatnya ketika Vine masih eksis sebagai platform untuk berbagi video. Namun kalau bukan karena TikTok, saya yakin tidak akan ada yang namanya Instagram Reels maupun YouTube Shorts.

Ya, seperti yang kita tahu, baik Instagram maupun YouTube sekarang sama-sama punya semacam channel khusus untuk video-video pendek, yang jelas sekali ditujukan sebagai alternatif terhadap TikTok. Yang berbeda, Instagram Reels sudah tersedia untuk seluruh pengguna tanpa terkecuali, sedangkan YouTube Shorts sejauh ini baru tersedia di dua negara saja.

Sekadar mengingatkan, YouTube Shorts pertama kali diluncurkan pada September 2020 buat para kreator di India. Mengapa India? Well, karena TikTok sudah diblokir di negara tersebut sejak beberapa bulan sebelumnya, dan YouTube pun melihat ini sebagai peluang emas untuk menguji alternatif yang mereka persiapkan.

Seperti di TikTok, YouTube Shorts memungkinkan kreator untuk membuat video berdurasi 15 detik, lengkap dengan koleksi musik yang dapat dipilih sebagai pemanis. Bukan cuma proses kreasinya saja yang mirip, melainkan juga proses konsumsinya, sebab pengguna bisa mengusap layar secara vertikal untuk berpindah dari satu video YouTube Shorts ke yang lain.

Beberapa bulan berselang, YouTube Shorts kini sudah siap merambah lebih banyak lagi pengguna, dimulai dari Amerika Serikat. Kabar terbarunya, Shorts sekarang sudah tersedia di sana dalam status beta. Mengapa beta? Karena belum semua pengguna bisa menikmatinya, dan mungkin juga karena yang bisa membuat Shorts baru kalangan kreator terpilih saja.

Peluncuran YouTube Shorts di Amerika Serikat pada dasarnya bisa menjadi indikasi akan perilisan globalnya, meski mungkin kita masih harus menunggu lebih lama lagi, terutama kalau melihat kebiasaan YouTube meluncurkan fitur-fitur yang eksklusif untuk wilayah tertentu — YouTube TV contohnya.

Sebagai referensi, Instagram Reels perlu waktu sekitar 9 bulan sebelum dirilis secara global. Fitur ini pada awalnya cuma tersedia untuk para pengguna di Brasil saja pada bulan November 2019, sebelum akhirnya menyusul ke semua negara pada bulan Agustus 2020.

Sumber: XDA Developers.

Google Mulai Tampilkan Video Pendek dari TikTok dan Instagram pada Hasil Pencarian

Sepopuler apakah format video pendek yang dipopulerkan oleh TikTok? Cukup populer untuk mencuri perhatian Google. Baru-baru ini, Google rupanya tengah menguji fitur anyar yang akan menampilkan deretan video pendek dari TikTok maupun Instagram pada hasil pencarian di Google Search.

Deretan video pendek ini bisa ditemukan di segmen carousel dengan label “Short Videos” di laman hasil pencarian. Selain dari TikTok dan Instagram, Google turut mengagregasi konten serupa dari YouTube Shorts, Tangi, maupun Trell, kompetitor TikTok di pasar India.

Saat salah satu videonya diklik, pengguna akan dibawa ke versi web dari masing-masing platform, bukan ke aplikasinya, meskipun aplikasinya sudah ter-install di perangkat. Kemungkinan Google sengaja merancangnya sedemikian rupa agar pengguna bisa dengan cepat kembali ke Google Search setelah selesai menonton videonya.

Fitur ini berbeda dari fitur Web Stories yang Google luncurkan pada bulan Oktober lalu – yang sebelumnya juga dikenal dengan nama AMP Stories. Web Stories adalah kumpulan video pendek dari berbagai media publikasi yang menjadi mitra resmi Google, seperti misalnya Now This, Vice, Bustle, dan lain sebagainya.

Short Videos di sisi lain hanya menampilkan konten video pendek yang berasal dari platform sosial. Sejauh ini belum diketahui apakah Google punya deal khusus dengan TikTok maupun Facebook (Instagram) terkait upaya mereka menampilkan konten video pendek dari masing-masing platform pada hasil pencariannya.

Berdasarkan keterangan resmi dari Google kepada TechCrunch, fitur ini untuk sekarang masih diuji secara terbatas di perangkat mobile, dan ini berarti Anda mungkin hanya bisa menjumpai carousel Short Videos di beberapa hasil pencarian saja. Terlepas dari itu, kabar ini semestinya bisa meyakinkan kalangan kreator untuk semakin rajin membuat konten video pendek mengingat trennya memang seperti itu.

Sumber: TechCrunch. Gambar header: Depositphotos.com.

Collab Adalah Aplikasi Kolaborasi Musikal ala TikTok dari Facebook

Setelah menjalani fase pengujian terbatas sejak bulan Mei lalu, Collab, aplikasi eksperimental garapan Facebook, akhirnya resmi dirilis ke publik. Kalau sepintas Anda langsung memikirkan aplikasi sosial dengan cara kerja mirip TikTok, Anda tidak salah. Pasalnya, Collab memang menerapkan formula dasar dari pionir format video pendek tersebut.

Formula dasar yang saya maksud adalah terkait aspek kolaborasi musikal dalam TikTok. Bedanya, di Collab sama sekali tidak ada katalog musik berlisensi dari banyak label. Sebagai gantinya, para penggunanya diajak untuk berkarya sendiri, lalu mencari tandem yang pas untuk jamming bersama.

Menariknya, kita tidak harus bisa bermain musik untuk berpartisipasi dalam Collab. Kita pada dasarnya bisa bertindak sebagai DJ, menggabungkan tiga video musik dari komunitas, lalu mengemasnya menjadi satu video remix yang spesial di mana ketiga video tadi dapat berjalan secara sinkron dan saling melengkapi satu sama lain.

Halaman utama aplikasi Collab berisikan deretan video dari komunitas yang bisa kita pakai bereksperimen. Misalnya, kita dapat mencocokkan klip seseorang yang memainkan chord gitar suatu lagu populer dengan cover vokal dari dua orang yang berbeda, dan hasil akhirnya pun adalah sebuah video musik yang sangat unik yang berasal dari tiga orang yang mungkin sebelumnya tidak pernah kita kenal sama sekali.

Tentu saja, jika Anda dapat memainkan alat musik, Anda juga bisa menggabungkan rekaman Anda sendiri dengan klip orang lain. Setiap video collab ini terbentuk dari tiga klip yang berbeda dengan durasi maksimum masing-masing 15 detik. Seperti halnya platform sosial lain, kita dapat mengikuti para pengguna Collab lain sehingga kita bisa lebih mudah menemukan konten baru dari mereka.

Selama masa pengujiannya kemarin, Facebook telah menyempurnakan kemampuan audio-syncing milik Collab dan sejumlah aspek teknis lain di dalamnya. Pengguna sekarang bahkan juga bisa menyambungkan interface audio eskternal, sehingga mereka dapat menggunakan instrumen elektronik untuk membuat konten di Collab.

Terakhir dan yang tak kalah menarik, semua video yang pengguna buat di Collab dapat disimpan dan diunggah ke platform lain, termasuk halnya TikTok. Dibandingkan Instagram Reels, Collab terkesan lebih orisinal dan lebih dari sebatas meniru-niru TikTok. Sayangnya Collab sejauh ini masih belum tersedia secara luas, dan baru bisa diunduh oleh pengguna di Amerika Serikat saja. Versi Android-nya bahkan juga masih belum ada.

Sumber: TechCrunch.

Aplikasi Media Sosial Tiongkok Bergulat di Ekosistem Ekonomi Influencer Indonesia

Reyhan Aldaro Samuda adalah pengguna layanan TikTok yang telah mengumpulkan 2,4 juta pengikut hanya dalam satu tahun. Dibalik username @__ehan, Samuda menciptakan karakter bernama Brenda, seorang wanita muda manja dan melodramatis yang reaksi berlebihannya menjadi sandiwara andalan Samuda. Sebagai pengganti wig, Samuda mengikatkan sepotong kain ke kepalanya sehingga terlihat seperti rambut panjang tergerai, dan Brenda membesar-besarkan reaksi wanita ketika mereka berbicara dengan orang yang mereka sukai, marah pada pacar mereka, atau bergosip dengan teman dekat.

Samuda hanyalah salah satu dari sekumpulan influencer Indonesia yang berkembang, juga dikenal sebagai key opinion leader (KOLs), yang telah menjadi terkenal di internet melalui aplikasi seperti Instagram Facebook dan TikTok ByteDance.

Ekonomi influencer muda

Ekonomi digital Indonesia menunjukkan ekspansi ketat karena COVID-19 yang masih menjadi perhatian, terlebih dengan adopsi e-commerce yang semakin luas di negara ini. Kebiasaan belanja online yang semakin populer telah meningkatkan potensi model penjualan yang diberdayakan KOL, dengan memanfaatkan aplikasi sosial untuk terhubung, terlibat, dan berjualan kepada konsumen.

Drama komedi Samuda, atau Brenda, telah mengumpulkan sekitar 28,5 juta likes sejauh ini, dengan sebagian besar klip meraih lebih dari 100 komentar. Perpaduan antara keseruan dan engagement tinggi ini telah menarik perhatian merek-merek termasuk Viu Indonesia, D-bank, dan lainnya yang mempercayakan Samuda untuk memasarkan produk atau merek kepada audiensnya di TikTok. “Saya memang membuat video untuk endorsement merek, tapi dengan gaya Brenda jadi masih lucu. Saya biasanya mendapatkan hingga lima endorsement per bulan,” ujar Samuda.

@__ehan

POV: Brenda sok imut bgt ala-ala gamau ungkit masalah sama pacar🙂 #BrendaLyfe

♬ original sound – BRENDA / EHAN

Ekonomi influencer yang sedang berkembang di Indonesia kini kian meningkat. Pemerintah pun telah memanfaatkan sektor ini, menghabiskan setidaknya Rp90,4 miliar (USD 6 juta) untuk aktivitas digital yang melibatkan influencer sejak 2017.

Indonesia adalah pasar iklan digital dengan pertumbuhan tercepat di dunia, diikuti oleh India, menurut laporan Global Digital Ad Trends 2019 oleh PubMatic. Total belanja iklan digital di Tanah Air diperkirakan mencapai USD 2,6 miliar pada 2019, meningkat 26% dari tahun sebelumnya.

Semakin lama, pemasaran influencer mengambil porsi lebih besar dari anggaran periklanan digital.

Content creator memiliki peran penting dalam ekonomi digital Indonesia, mengingat perputaran uang yang besar di industri baru ini,” kata Budi Putra, COO dari startup manajemen konten dan kreator Indonesia R66 Media kepada KrASIA. “Anggaran periklanan dari brand dan agensi yang biasanya dialokasikan untuk media elektronik dan digital, kini telah dialihkan ke marketing influencer.”

Potensi pertumbuhan di Indonesia ini menarik perhatian raksasa video pendek Tiongkok ByteDance dan Kuaishou. Kedua perusahaan telah bersaing di pasar Tiongkok yang sudah matang, dengan ekonomi influencer yang diproyeksikan menghasilkan RMB 300 juta pada tahun 2020. Mereka juga berpengalaman dalam mensinergikan operasi e-commerce dengan keterlibatan sosial. KOL seperti Samuda, yang persona Brendanya telah memupuk banyak pengikut, bergantung pada aplikasi dan alat yang memungkinkan mereka membuat konten dengan lancar.

“Saya mendapat inspirasi untuk Brenda dari mengamati teman-teman perempuan saya. Saya juga pernah menampilkan karakter Brenda melalui Instagram Stories sebelumnya, tetapi itu tidak melekat. Jadi saya pindah ke TikTok yang ternyata jauh lebih mudah untuk mengumpulkan audience,” kata Samuda kepada KrASIA.

Selain fitur TikTok yang mudah digunakan, pria berusia 26 tahun ini mengatakan koleksi lagu dan musik latar TikTok yang kaya membuat platform ini menarik bagi para influencer.

“Dengan variasi musik yang beragam, kami dapat membuat video seru yang bervariasi. TikTok juga memiliki fitur duet yang tidak ada di platform lain. Fitur ini memungkinkan kita membuat video berdampingan dengan video orang lain, jadi seperti kita membuat video bersama. Banyak pengguna yang membuat video duet dengan Brenda, kemudian membantu karakter tersebut menjadi viral,” tambahnya.

Viral adalah kunci. Rade Tampubolon, salah satu pendiri dan CEO SociaBuzz, pasar bakat yang berbasis di Jakarta untuk influencer, berkata kepada KrASIA, “TikTok memahami pasar lokal dengan lebih baik. Ini juga merupakan platform yang ideal untuk pembuat konten karena lebih seperti platform distribusi konten, daripada aplikasi media sosial, sehingga pembuat dapat menemukan audiens di luar lingkaran pertemanan mereka dengan mudah.​​”

Sementara TikTok telah populer di Indonesia sejak debut pada tahun 2017, saingannya Kuaishou baru-baru ini meluncurkan kompetitornya, Snack Video. Perusahaan yang didukung Tencent tersebut dilaporkan sedang membuka kantor di Jakarta dan merekrut tim lokal, yang mencakup manajemen konten serta kemitraan dengan creator atau talent.

Permainan global Kuaishou bermula dengan baik, sejak berada di puncak daftar unduhan untuk aplikasi Android dalam beberapa bulan terakhir, menurut App Annie. Aplikasi ini menduduki peringkat keempat pada 25 November, mengalahkan WhatsApp dan Instagram, mencerminkan popularitas aplikasi yang semakin meningkat.

Mengubah engagement menjadi transaksi

Sementara platform Amerika seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram masih mendominasi ruang media sosial, TikTok telah mengumpulkan pengikut yang signifikan di antara influencer Indonesia, terutama karena aplikasi ini berbasis pada e-commerce video pendek.

Tidak seperti di YouTube, pembuat konten tidak menghasilkan uang melalui penayangan di TikTok. Sebaliknya, mereka mengandalkan dukungan merek dan sponsor. Namun, TikTok telah meluncurkan stiker donasi di beberapa pasar, memungkinkan pembuat konten untuk mengumpulkan dana dan menghasilkan uang dalam video dan sesi streaming langsung mereka.

“Meski tidak bisa dimonetisasi secara otomatis, saya rasa masih lebih mudah menghasilkan uang dari TikTok karena mendapatkan pengikut di sini jauh lebih mudah daripada di Instagram dan YouTube,” kata Samuda.

Hasilnya, TikTok kini telah menjadi platform yang sangat diperlukan bagi influencer di Indonesia, dengan sebagian besar memanfaatkan kedua platform tersebut untuk memaksimalkan interaksi. Pada bulan Oktober, TikTok bermitra dengan Shopify untuk menyediakan fungsionalitas pembelian dalam aplikasi, serta eksposur untuk lebih dari satu juta pengecer.

Keuntungan dalam livestreaming e-commerce inilah yang memberi aplikasi China keunggulan atas rekan-rekan Amerika mereka di Indonesia dalam hal mengubah keterlibatan pengguna atau engagement menjadi transaksi.

Snak Video dari Kuaishou mendarat dengan mulus di Indonesia dalam hal unduhan, tetapi akan membutuhkan lebih banyak waktu sebelum menetaskan ekosistem influencer yang matang.

“Saya belum mendownload Snack Video, tapi saya terbuka untuk platform baru apa pun selama mereka memiliki banyak pengguna, hype, dan dapat dimonetisasi,” kata Samuda.

Meski demikian, Snack Video tentunya memiliki potensi untuk dimonetisasi dalam sejarahnya. Akar perusahaan induk Kuaishou yang sederhana di Cina yang mencakup pengguna di kota-kota di tingkat lebih rendah dan daerah pedesaan menghiasi platform ini dengan orisinalitas yang membantunya mencapai tingkat konversi e-commerce yang lebih kuat daripada aplikasi kembar TikTok di Cina, Douyin.

Pendekatan sederhana inilah yang telah membantu TikTok menggantikan Instagram yang lebih glamor dan terkurasi di Indonesia, dengan serangkaian influencer di platform ByteDance yang berbasis di kota-kota non-metro, berbagi konten yang jujur, terhubung, dan menghibur.

Ambil Samuda sebagai contoh. Menurut kalkulasi TikTok dari situs analitik media sosial Exolyt, dengan engagement rate-nya, Samuda bisa mendapatkan USD 221–554 per video, yang berarti penghasilan yang menjanjikan di Indonesia.

Meski pasar video pendek di Indonesia tampak jenuh, ada satu pemain lagi yang mencoba masuk dalam pasar. ByteDance memiliki platform media sosial baru bernama Helo di Indonesia. Helo awalnya ditujukan untuk pengguna India, mengumpulkan 50 juta unduhan di negara itu. Di India, ada pertunjukan bakat bernama Helo Superstar untuk mendorong orang membuat konten di platform. Belum jelas apakah Helo akan menerapkan strategi serupa di Indonesia, atau bagaimana hal itu dapat dikaitkan dengan TikTok. Bagaimanapun, aplikasi video pendek yang berakar Tiongkok akan tetap ada di Indonesia.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Setelah Instagram, Sekarang Snapchat pun Juga Mencoba Meniru TikTok

Tren video pendek yang dipopulerkan oleh TikTok terus bertambah populer. Saking tenarnya, Snapchat pun kini juga dibekali fitur baru yang mekanismenya begitu mirip dengan TikTok.

Fitur ini mereka namai Spotlight, dan persis seperti di TikTok, Spotlight berisikan video-video vertikal dengan durasi maksimum 60 detik. Tentu saja pengguna juga dapat menambahkan musik, sebab Snap sendiri memang sudah mengamankan lisensi dari berbagai label musik sejak Oktober lalu.

Ada beberapa hal yang sedikit membedakan Spotlight dari TikTok, utamanya terkait privasi. Pada video-video yang diunggah ke Spotlight, kita tidak akan menjumpai satu pun kolom untuk membubuhkan komentar publik, sehingga mereka yang kerap dihantui sentimen negatif warganet bisa setidaknya lebih tenang di sini.

Juga berbeda adalah bagaimana pengguna juga tetap bisa mengunggah video ke Spotlight meski status profilnya private. Berbeda dari TikTok yang mewajibkan pengguna untuk mengganti status profilnya menjadi public jika ingin videonya muncul di tab “For You”. Jadi selama pengguna memilih opsi “Spotlight” ketika hendak mengunggah video, video tersebut dipastikan bakal muncul di Spotlight.

Snap tampaknya cukup serius dalam menggagaskan Spotlight. Hal itu bisa dilihat dari kemauannya untuk membayar kreator yang kontennya viral di Spotlight. Tidak peduli berapa pun follower yang dimiliki seorang pengguna, asalkan kontennya sempat viral dan mendulang view jauh lebih banyak dari konten lain di hari tersebut, maka Snap bersedia membayar.

Snap bilang bahwa mereka sudah menyiapkan budget sebesar $1 juta untuk membayar kreator setiap harinya sampai akhir 2020. Dengan adanya insentif semacam ini, semestinya para pengguna Snapchat bakal terdorong untuk mengunggah konten Spotlight secara reguler. Sayangnya Spotlight sejauh ini baru tersedia di 11 negara saja, dan belum ada satu pun negara Asia yang termasuk.

Terlepas dari itu, Spotlight sekali lagi membuktikan bahwa keberhasilan TikTok tidak bisa dipandang sebelah mata; bahkan pencetus format Story pun sekarang mencoba meniru TikTok. Snapchat juga bukan satu-satunya yang melakukan hal itu, sebab Instagram baru-baru ini juga sudah merilis fitur serupa yang mereka namai Reels.

Sumber: The Verge dan Snap.

Bagaimana Industri Esports dan Musik Saling Bersinggungan

Esports kini telah menjadi industri besar. Diperkirakan, valuasi industri esports tahun ini akan menembus US$1 miliar. Jadi, jangan heran jika semakin banyak perusahaan besar yang tertarik untuk terjun ke dunia esports. Perusahaan non-endemik sekalipun menunjukkan ketertarikan dengan esports, mulai dari merek minuman seperti Coca-Cola sampai perusahaan pembuat mobil seperti Lamborghini.

Bagi perusahaan non-endemik, esports biasanya menjadi bagian dari strategi marketing mereka, alat untuk memperkenalkan merek mereka pada audiens esports, yang biasanya masih muda. Memang, salah satu alasan mengapa industri esports bisa tumbuh begitu pesat adalah karena konten competitive gaming dipercaya akan menjadi hiburan generasi berikutnya.

Sebagai bagian dari industri hiburan, game dan esports tentu saja memiliki persinggungan dengan aspek lain dari dunia entertainment, seperti musik dan film. Banyaknya game yang diadaptasi ke film merupakan salah satu bukti dari hal itu. Bukti lainnya, semakin banyak kerja sama antara pelaku industri musik, mulai dari musisi sampai perusahaan streaming musik, dengan pelaku industri esports. Berikut pembahasan tentang sejumlah pelaku industri musik yang memutuskan untuk terjun ke esports.

 

Perusahaan Streaming Musik di Esports

Spotify menjadi salah satu perusahaan di dunia musik yang memutuskan untuk masuk ke industri esports. Mereka menjajaki dunia esports melalui kerja sama dengan Riot Games berupa sponsorship berbayar. Melalui kerja sama ini, Spotify resmi menjadi rekan streaming musik dan audio resmi dari berbagai kegiatan esports League of Legends, termasuk World Championship, Mid-Season Invitational, dan All-Star Event.

Apa artinya? Spotify akan memiliki bagian khusus LoL Esports yang berisi musik, playlist, dan podcast terkait League of Legends. Podcast tersebut tidak hanya membahas tentang cerita di belakang layar dari kompetisi League of Legends, tapi juga mengenai pembuatan original soundtrack League of Legends World Championship. Memang, dari tahun ke tahun, Riot selalu menyiapkan sejumlah lagu sebagai soundtrack dari League of Legends Worlds, sama seperti Piala Dunia.

KDA adalah girl band virtual buatan Riot Games. | Sumber: Polygon
KDA adalah girl band virtual buatan Riot Games. | Sumber: Polygon

Pada 2018, Riot Games bahkan memperkenalkan virtual girl band bernama K/DA, yang terdiri dari 4 karakter League of Legends, yaitu Ahri, Akali, Evelynn, dan Kai’Sa. Ketika itu, Riot mengaku, tujuan mereka membuat K/DA adalah karena mereka ingin serius dalam menggarap konten musik terkait League of Legends. Ambisi Riot tersebut tak padam sampai sekarang. Salah satu buktinya, Riot akan menampilkan K/DA bersama hero baru LoL, Seraphine, untuk menyanyikan lagu baru di League of Legends World Championship.

Spotify bukan satu-satunya perusahaan musik yang melibatkan diri dalam industri esports, TikTok juga cukup aktif di dunia esports. Memang, TikTok lebih dikenal sebagai media sosial. Namun, media sosial ini juga identik dengan berbagai lagu catchy yang digunakan oleh para penggunanya.

Salah satu bentuk keterlibatan TikTok dalam dunia esports adalah dengan mengadakan turnamen esports tingkat mahasiswa bernama TikTok Cup. Tak hanya itu, TikTok juga pernah bekerja sama dengan beberapa pelaku industri esports, seperti Riot Games dan ESL.

Riot Games menggandeng TikTok untuk meluncurkan “GIANTS”, lagu original yang dibawakan oleh grup hip-hop virtual, True Damage. Sementara itu, ESL berkolaborasi dengan TikTok untuk menampilkan highlight dari turnamen profesional Counter-Strike: Global Offensive dan konten esports secara umum. Di Indonesia, TikTok punya kerja sama dengan WHIM Indonesia, perusahaan manajemen influencer di bawah EVOS Esports. Tujuan WHIM menjadikan TikTok sebagai rekan adalah untuk mengembangkan bisnis influencer mereka.

TikTok bekerja sama dengna WHIM Indonesia milik EVOS. | Sumber: Esports Bureau
TikTok bekerja sama dengna WHIM Indonesia milik EVOS. | Sumber: Esports Bureau

Para streamer dan organisasi esports juga menggunakan TikTok untuk menjangkau Gen Z. Di Indonesia, beberapa organisasi esports yang punya akun resmi TikTok antara lain EVOS, Bigetron, dan ONIC. Sementara di mancanegara, Team SoloMid, 100 Thieves, dan G2 Esports merupakan contoh organisasi esports yang aktif di TikTok.

 

Kolaborasi Musisi dengan Esports

Pihak yang berkolaborasi dengan pelaku industri esports tak melulu perusahaan musik, tapi juga musisi dan grup musik. Minggu lalu, PUBG Mobile mengumumkan kerja samanya dengan grup girl band asal Korea Selatan, Blackpink. Tak lama setelah pengumuman itu, PUBG Mobile mengungkap ID dari masing-masing anggota Blackpink. Selain itu, PUBG Mobile kini juga memiliki kotak airbox bertema Blackpink dan pesawat berwarna pink.

Kali ini bukan pertama kalinya PUBG Mobile berkolaborasi dengan Blackpink. Pada Juli 2020, para pemain bisa mendengar lagu Blackpink “Playing with Fire” di beberapa lokasi pada peta PUBG Mobile.

Selain Blankpink, PUBG Mobile juga pernah bekerja sama dengan DJ Alan Walker. Tahun lalu, satu hari sebelum lagu “On My Way” dirilis secara global, lagu tersebut sudah muncul terlebih dulu di PUBG Mobile. Tak hanya itu, Walker juga tampil di PUBG Mobile Club Open Spring Split Global Finals, yang diadakan di Berlin, Jerman. Dia bahkan ikut serta dalam pertandingan showmatch. Dia kembali bekerja sama dengna PUBG Mobile dalam lagu “Live Fast”.

Sementara itu, Epic Games baru saja mengumumkan bahwa boy band BTS akan merilis video musik barunya, “Dynamite”, di Fortnite pada 25 September 2020. Tak cukup sampai di situ, Epic juga memperkenalkan 2 emote baru, yang koreografinya dibuat oleh BTS sendiri. Sebelum menggandeng BTS, Epic juga pernah mengundang Marshmello dan Travis Scott untuk mengadakan konser virtual di Fortnite.

BTS akan merilis video lagu terbarunya di Fortnite.
BTS akan merilis video lagu terbarunya di Fortnite.

Fortnite memang dikenal sebagai game battle royale. Namun, Epic juga tertarik untuk menyajikan konten musik di Fortnite. Mereka bahkan membuat studio high-tech di Los Angeles sebagai tempat untuk konser live yang akan ditayangkan di Fortnite. Pada April 2020, Epic juga memperkenalkan peta baru Party Royale Island. Seperti namanya, di sini, para pemain didorong untuk berpesta dan bukannya membunuh satu sama lain. Biasanya, di pulau inilah konser virtual para musisi diadakan.

Kepada The Verge, Head of Global Partnerships, Fortnite, Nate Nanzer mengungkap bahwa Epic memang ingin menjadikan Party Royale Island sebagai tempat bagi para musisi untuk mengadakan konser virtual. “Musisi yang tengah melakukan tur mungkin tertarik untuk melakukan konser di Fortnite,” ujarnya. “Karena konser virtual ini memungkinkan para musisi untuk tampil di depan audiens yang tidak bisa mereka temukan saat mengadakan konser biasa.”

Pada pertengahan September 2020, Epic mengundang Dominic Fike untuk mengadakan konser live di Fortnite. Sementara pada minggu lalu, mereka mengundang Anderson .Paak. Ke depan, Epic akan mengajak lebih banyak musisi untuk tampil di pangung virtual dalam game mereka.

Untuk masuk ke dunia esports, seorang musisi tak harus bekerja sama dengan publisher game. Ada juga musisi yang memilih untuk menjadi investor dari organisasi esports. Misalnya, rapper Kiari Kendrell Cephus alias Offset yang berinvestasi di Faze Clan atau Kim Hee-Chul, anggota Super Junior, yang mengucurkan dana ke BRION E-Sports agar tim itu bisa ikut berlaga dalam League of Legends Champions Korea.

 

Bagaimana dengan Musisi Indonesia?

Tren musisi terjun ke dunia esports juga terjadi di Indonesia. Buktinya, muncul sejumlah musisi ternama yang melibatkan diri dalam esports, baik dengan membuat organisasi esports, badan esports, atau ikut membuat konten gaming. Ariel dari Noah jadi contoh musisi yang membuat organisasi esports. Pada Januari 2020, dia memperkenalkan The Pillars. Tim pertama dari organisasi tersebut berlaga di Free Fire Master League dengan nama The Pillars Claymore.

Pelaku industri musik lain yang ikut terjun ke esports adalah Reza Oktavian (Arap). Pria yang dikenal sebagai DJ, musisi, YouTuber, dan streamer ini cukup aktif dalam membuat konten gaming. Tak hanya itu, dia juga sempat membentuk tim esports WAW Esports. Pada Februari 2020, dia mengumumkan terbentuknya MORPH Team, yang merupakan hasil kolaborasinya dengan BUBU.com. Tim PUBG Mobile MORPH Team terdiri dari 3 pemain mantan WAW Esports dan 1 pemain mantan EVOS Esports.

Giring Ganesha, vocalis band Nidji, juga aktif dalam dunia esports. Namun, bukan organisasi esports yang dia dirikan, tapi Indonesia Esports Premier League (IESPL), penyelenggara turnamen esports. Menurut Kumparan, salah satu alasan Nidji tertarik masuk ke dunia esports adalah karena anaknya, Zidane, punya impian untuk menjadi pemain game profesional.

 

Penutup

Layaknya kacang goreng, esports kini tengah laku keras. Pandemi juga membuat semakin banyak orang sadar dengan keberadaan industri esports. Jadi, tak aneh jika ada banyak perusahaan dari berbagai bidang yang tertarik untuk menjalin kerja sama dengan pelaku esports, termasuk musisi dan perusahaan musik. Buktinya, semakin banyak kolaborasi antara industri musik dan industri esports. Sebaliknya, perusahaan game seperti Riot Games dan Epic Games juga semakin serius dalam menyediakan konten musik dalam game mereka.

Di satu sisi, tidak semua orang akan merasa senang akan kolaborasi antara pelaku industri esports dan musik. Misalnya, sebagian fans PUBG Mobile protes akan keputusan mereka untuk bekerja sama dengan Blackpink. Di sisi lain, kerja sama antara pelaku esports dan musik akan membuat industri hiburan terus berevolusi, memunculkan berbagai hal baru, seperti konser virtual yang Epic adakan di Fortnite. Siapa tahu, konser virtual di game akan menjadi hal biasa di masa depan.

TikTok Jalin Kerja Sama dengan Distributor Musik Indie UnitedMasters

Di tengah konflik antara pemerintahan Amerika Serikat dan ByteDance yang tak kunjung selesai, TikTok malah mengumumkan bahwa mereka telah meneken kontrak kerja sama dengan UnitedMasters, distributor musik indie yang bermarkas di kota New York.

Kemitraan ini unik karena kita harus ingat bahwa TikTok bukanlah platform streaming musik maupun platform untuk menonton video musik resmi macam YouTube. Kendati demikian, keterlibatan UnitedMasters berarti para kreator TikTok dapat langsung mendistribusikan lagu-lagu kreasinya ke layanan streaming seperti Spotify, Apple Music, SoundCloud atau YouTube.

Jadi ketimbang harus menumpang suatu label rekaman tradisional, musisi bisa memanfaatkan TikTok untuk menyebarluaskan karyanya di ranah digital. Dalam siaran persnya, TikTok mencontohkan sejumlah musisi seperti Curtis Roach, Curtis Waters, Breland, Tai Verdes, dan BMW Kenny sebagai yang berhasil menjadi cukup populer lewat TikTok.

“Apabila Anda merupakan seorang musisi, TikTok adalah tempat terbaik supaya musik Anda bisa viral, dan UnitedMasters adalah tempat terbaik untuk mempertahankannya selagi masih memegang hak kepemilikan penuh atas karya Anda,” terang Steve Stoute selaku pendiri sekaligus CEO UnitedMasters.

Sistem royalti yang UnitedMasters terapkan memang berbeda dari yang umum kita dapati di industri musik. Musisi benar-benar diserahi hak penuh atas rekaman aslinya, dan UnitedMasters cuma mengambil 10% dari total pemasukan. Alternatifnya, musisi malah bisa bergabung dalam program bernama Select, yang memungkinkan mereka untuk membayar tarif bulanan sebesar $5 ketimbang harus berbagi hasil dengan UnitedMasters.

Selain menawarkan mekanisme bagi hasil yang menarik, UnitedMasters juga siap memfasilitasi kerja sama antara musisi dengan brand. Sejauh ini, portofolio kerja sama UnitedMasters sudah mencakup nama-nama besar seperti NBA, NFL, ESPN, maupun Bose. Deal dengan TikTok ini berarti mereka bakal punya akses ke sederet talent baru untuk dikoneksikan dengan brandbrand tersebut.

Buat TikTok sendiri, kemitraan ini juga berarti mereka bakal memiliki akses ke Commercial Music Library milik UnitedMasters. Ini artinya para pelaku bisnis yang sudah terverifikasi di TikTok boleh memakai deretan musik yang tersedia untuk dipakai berpromosi tanpa harus membayar biaya royalti.

Sumber: TechCrunch dan New York Times. Gambar header: Kon Karampelas via Unsplash.