ATM Capital Siapkan $200 Juta untuk Investasi Startup di Asia Tenggara

ATM Capital pemodal ventura asal Beijing, Tiongkok mengawali tahun dengan mengumumkan penutupan pertama dana investasi senilai $200 juta. Dana tersebut akan difokuskan ke startup Asia Tenggara, tak terkecuali di Indonesia. Beberapa jajaran investor yang tergabung di ATM Capital termasuk Alibaba eWTP Technology Innovation Fund, 58 Group, Wang Xiaochuan dan beberapa pengusaha Tiongkok lainnya.

Kendati berangkat dari keahlian industri internet di Tiongkok, ATM Capital menilai bahwa Asia Tenggara memiliki karakteristik serupa. Hal tersebut dibuktikan dari keterlibatan investor Tiongkok dalam mendukung unicorn di Asia Tenggara, seperti Gojek, Grab, Lazada dan lainnya. Untuk memastikan manuvernya mulus, ATM Capital kini telah memiliki mitra lokal di Asia Tenggara — dari sumber terkait mengatakan ada yang berbasis di Jakarta.

Sejauh ini ATM Capital telah berinvestasi di beberapa perusahaan di Indonesia, Gojek dan ReWork masuk ke dalam jajaran portofolionya. Di Indonesia, ATM Capital fokus berinvestasi di perusahaan di bidang logistik, ritel, dan insurtech. Modal ventura dengan dana dari Qu Tian ini memiliki visi untuk membangun mitra lokal strategis dan membentuk visi jangka panjang, termasuk menghubungkan dengan sumber daya melalui jaringannya di Tiongkok.

Debutnya di Indonesia juga sudah dimulai sejak tahun lalu. Pada bulan September 2018, Tsinghua University dan ATM Capital sukses mengadakan acara bertajuk “Southeast Asia Unicorn Growth Program” di Jakarta. Acara tersebut diharapkan dapat meningkatkan komunikasi startup berpotensi untuk menemukan peluang kolaborasi dengan mitra di Asia Tenggara dan Tiongkok.

Pemerintah Tiongkok Bentuk Komite Etika Game Online, 20 Game Terkena Sensor

Tiongkok selama ini terkenal sebagai negara yang ketat dalam hal regulasi industri video game, termasuk game online. Anda mungkin sudah pernah mendengar bahwa di Tiongkok, Arena of Valor (alias King of Glory) memiliki batasan usia pemain. Pemain dengan usia 12 tahun ke bawah hanya boleh bermain AOV selama sejam per hari, sementara usia 12 – 18 tahun hanya dua jam per hari. AOV juga menggunakan teknologi face recognition untuk mengenali wajah pemainnya, jadi usia tidak dapat dipalsukan dengan mudah.

Pada tanggal 7 Desember 2018, pemerintah Tiongkok mendirikan Komite Etika Game Online. Komite ini terdiri dari para pakar yang mempelajari game online serta isu-isu seputar kawula muda. Mereka berasal dari universitas, institusi profesional, serta media. Tujuan pendirian komite ini adalah untuk mengadakan pemeriksaan terhadap judul-judul game online yang telah atau akan beredar di Tiongkok, kemudian menilai apakah game tersebut punya dampak negatif bagi pemain atau tidak.

King of Glory - Zhuang Zhou
Hero-hero King of Glory terinspirasi dari tokoh Tiongkok, misalnya Zhuang Zhou | Sumber: Tencent

Game yang dinilai “perlu peningkatan etika” harus melakukan perubahan konten, atau bisa jadi malah dilarang beredar sama sekali. Dilansir dari Esports Observer, Komite Etika Game Online telah mencatat 20 judul game bermasalah. Di antaranya ada 11 game yang mendapat perintah pengubahan, sementara 9 lainnya ditolak penerbitannya. Sayangnya pemerintah Tiongkok tidak merilis nama-nama game tersebut ke ranah publik.

Proses penerbitan game di Tiongkok sejak tahun 2018 ini memang telah menjadi semakin sulit. Dengan semakin populernya game, terutama mobile game dan game online, mulai muncul kekhawatiran akan dampak buruk game terhadap kesehatan, misalnya kesehatan mata bagi anak-anak. Jumlah game yang diijinkan terbit setiap tahunnya kini mengalami penurunan cukup drastis. Akibatnya, pertumbuhan industri game di negara tersebut juga melambat.

Steam China Ceremony
Peresmian Steam China dan pengumuman The International 2019 | Sumber: Esports Observer

Kendati cukup ketat dalam urusan regulasi game, pemerintah Tiongkok justru sangat suportif terhadap dunia esports. Pada bulan November lalu, pemerintah Tiongkok baru meresmikan peluncuran platform Steam China, sekaligus merilis berbagai panduan untuk registrasi serta manajemen atlet-atlet esports. Pemerintah Tiongkok juga mendukung pelaksanaan turnamen Dota 2 The International 2019 yang akan digelar di Shanghai. Turnamen Dota 2 Major berikutnya pun akan digelar di Tiongkok dengan nama Chongqing Major.

Tiongkok adalah salah satu pasar terbesar industri game terbesar dunia. Dengan jumlah gamer mencapai 527 juta jiwa (458 juta di antaranya pengguna mobile) dan revenue mencapai US$15 miliar di tengah tahun 2018, membuat pasar ini sangat diminati oleh para penerbit game baik di dalam ataupun luar negara itu sendiri. Akan tetapi dengan semakin ketatnya aturan pemerintah, mungkin sudah waktunya para penerbit mencari pasar alternatif. Bagi penerbit besar seperti Tencent mungkin ini bukan masalah serius, tapi penerbit-penerbit kecil serta developer indie tampaknya perlu menaruh perhatian khusus pada masalah ini.

Sumber: Esports Observer

Twitch Diblokir di Tiongkok

Twitch telah melangkah begitu jauh dari saat ketika ia diperkenalkan sebagai spin-off Justin.tv. Banyak hal terjadi pada Twitch dalam kiprahnya selama tujuh tahun ini: kepopularitasannya mendorong sang perusahaan induk mengubah nama jadi Twitch Interactive, kemudian kita semua menjadi saksi bagaimana Amazon memutuskan buat mengakusisinya senilai US$ 970 juta.

Namun ada sebuah kabar buruk bagi para pengguna Twitch, khususnya mereka yang berdomisili di kawasan Tiongkok. Terhitung di minggu ini, platform video on demand dan streaming spesialis konten video game itu tidak lagi bisa diakses oleh user Tiongkok. Tak cuma itu: eksistensi aplikasi mobile-nya pun sudah menghilang dari Apple App Store lokal, padahal kepopuleran mereka sedang melonjak tinggi di sana.

Dari laporan The Verge, Twitch menempati urutan ketiga aplikasi gratis terpopuler di Tiongkok bulan lalu, dipicu oleh dipertandingkannya turnamen esports di Asian Games 2018. Tepat pada tanggal 27 Agustus silam, total unduhan app mobile Twitch meningkat 23 kali dibanding minggu sebelumnya. Menggunakan Twitch tampaknya merupakan satu dari sedikit cara untuk menonton pertandingan, apalagi Tiongkok memenangkan dua medali emas.

Terhitung di kuartal tiga 2017, Steam tetap menjadi platform video bertema gaming nomor satu di Amerika, menjadi favorit pengguna karena menawarkan keunggulan fitur dibanding YouTube Gaming. Lalu di bulan Mei 2018, Twitch berhasil menghimpun sekitar 2,2 juta broadcaster selama sebulan, dan diakses oleh 15 juta pengguna setiap hari. Rata-rata, ada satu juta user menikmati Twitch secara bersamaan.

Melesatnya Twitch juga didorong oleh meledaknya kepopuleran game fenomenal, salah satunya Fortnite, serta partisipasi para streamer terkenal hingga kalangan selebriti, misalnya Tyler ‘Ninja’ Blevins serta musisi rap Drake. Kedua individu ini berjasa dalam membantu Twitch mencetak rekor stream video paling banyak.

Pemblokiran tersebut tentu saja menuai kehebohan di Tiongkok, dan warganet mengekspresikan ketidaksetujuan mereka secara online. Seorang di antara mereka mengatakan bahwa ditutupnya akses ke Twitch ialah bentuk dari ‘penyerangan terhadap kebebasan berbicara’. Kita tahu, langkah serupa tak hanya berlaku buat Twitch. Pemerintah Tiongkok juga memblokir sejumlah platform media barat yang naik daun di negara itu – misalnya Facebook, YouTube dan Google.

Menariknya, saat ini pemblokiran Twitch belum dilakukan secara merata. Pengguna yang berlokasi di beberapa daerah (misalnya Changchun) masih bisa menyaksikan stream di Twitch, sedangkan user di daerah lain (Liaoning) sama sekali tak dapat mengaksesnya.

Sumber: The Verge & Abacus News.

Kepolisian Tiongkok Uji Kacamata Facial Recognition ala Mission Impossible

Pernah menonton Mission: Impossible – Ghost Protocol? Kalau pernah, kemungkinan besar Anda ingat dengan adegan di mana seorang agen berhasil menemukan targetnya menggunakan lensa kontak super-canggih yang dapat mendeteksi dan mengenali wajah orang-orang di sekitarnya. Di tahun 2011 – tahun film itu dirilis – teknologi semacam ini mungkin terkesan mustahil, akan tetapi 2018 menunjukkan bahwa realisasinya sudah di depan mata.

Wall Street Journal belum lama ini melaporkan bahwa kepolisian Tiongkok sedang menguji kacamata pintar yang dibekali teknologi facial recognition dan integrasi artificial intelligence (AI). Kacamata canggih ini dibuat oleh perusahaan asal Beijing bernama LLVision Technology, dengan fitur-fitur yang dirancang khusus mengikuti kebutuhan aparat kepolisian.

Kacamata facial recognition polisi Tiongkok

Menurut penjelasan CEO LLVision, Wu Fei, modul kecil yang terpasang di kacamata (seperti pada foto) tersebut mampu mengidentifikasi tiap-tiap individu berdasarkan database berisikan 10.000 orang dalam waktu 100 milidetik saja. Wu percaya kinerja modul ini lebih cepat ketimbang CCTV berteknologi serupa, yang memang sudah diterapkan secara luas oleh pemerintah Tiongkok.

Untuk bisa bekerja secepat itu, modulnya harus tersambung ke semacam perangkat genggam yang menampung database secara offline. Keuntungan lain mengandalkan kacamata facial recognition dibanding CCTV adalah, tim polisi bisa mengambil tindakan secara instan.

Kacamata facial recognition polisi Tiongkok

Pengujiannya berlangsung di sebuah stasiun kereta api di kota Zhengzhou, di mana tim polisi setempat bakal menggunakan kacamata canggih tersebut untuk mendeteksi para pelaku tindak kriminal. Sebelumnya, perangkat ini sudah membantu kepolisian dalam meringkus tujuh buron besar, serta menangkap 26 orang yang bepergian dengan identitas palsu.

Momen pengujiannya bertepatan dengan Tahun Baru Imlek yang sudah tinggal hitungan hari, di mana stasiun tersebut pastinya akan terus dipenuhi dengan para pemudik sampai setidaknya pekan depan. Kalau memang terbukti efektif, saya yakin kepolisian Tiongkok bakal menerapkannya di lebih banyak kawasan.

Kacamata facial recognition polisi Tiongkok

Mungkinkah produk semacam ini dijual ke konsumen secara umum? Untuk sekarang masih belum. Ini demi menjaga privasi masing-masing individu, dan LLVision pun tidak sembarangan dalam memilih klien besar yang tertarik dengan teknologi mereka. Kendati demikian, kerja samanya bersama kepolisian setidaknya bisa menumbuhkan image yang positif di tengah-tengah kekhawatiran seputar privasi.

Sumber: WSJ dan QQ via Wareable.

Huawei Masih Jadi Nomor Satu di Tiongkok

Huawei berhasil mempertahankan posisinya sebagai pabrikan perangkat yang paling banyak mengapalkan smartphone di Tiongkok selama kuartal pertama 2017, dengan kembali mencatatkan prestasi bahkan menorehkan angka yang lebih tinggi. Demikian menurut laporan Canalys, perusahaan analisis dan riset.

Menurut Canalys, Huawei berhasil mengapalkan 23 juta unit smartphone atau naik 2 juta unit dibandingkan kuartal pertama sebanyak 21 juta. Catatan ini selain mempertahankan prestasi di kuartal sebelumnya, juga menjadi penegas dominasi mereka di pasar Tiongkok yang di saat bersamaan justru mengalami penurunan 3% setelah enam bulan berturut-turut membukukan peningkatan.

Oppo yang sebenarnya punya catatan pertumbuhan yang mengesankan kuartal lalu harus tertahan di peringkat kedua dengan jumlah pengapalan sebanyak 21 juta unit smartphone. Tambahan ini masih menjadikan Oppo sebagai satu-satunya pabrikan yang mampu menorehkan pertumbuhan di atas 35% dari tahun ke tahun. Tetapi masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan di kuartal pertama yang bahkan mencapai angka 55%.

Vivo tak beranjak dari peringkat ketiga dengan jumlah pengapalan sebanyak 16 juta unit smartphone. Namun catatan ini perlu menjadi perhatian khusus karena dibandingkan dengan kuartal pertama, jumlah ini mengalami penurunan sebanyak 1 juta unit.

Jika posisi satu, dua dan tiga tidak mengalami perbedaan. Lain halnya dengan peringkat keempat dan kelima. Strategi Xiaomi mendorong pertumbuhan toko offline di samping memperkuat kanal penjualan online terbukti tetap sasaran. Berdasarkan laporan Canalys, Xiaomi berhasil merebut kembali peringkat keempat yang sebelumnya diambil alih oleh Apple. Sebanyak 15 juta unit smartphone berlabel Xiaomi dikapalkan ke Tiongkok, naik tajam dari kuartal sebelumnya yang hanya 9 juta unit.

Lucio Chen, Canalys Research Analyst mengatakan bahwa Xiaomi masih menawarkan nilai terbaik di pasar Tiongkok, dan menjadi pilihan favorit untuk konsumen yang mempertimbangkan harga sebagai keputusan pembelian. Kanal penjualan online masih jadi jalur kunci bagi Xiaomi, dua yang tersukses adalah JD.com dan Tmall.

Sementara itu, di peringkat tujuh besar secara berurutan ditempati oleh Apple, Samsung dan Meizu. Ketiganya sama-sama mengalami penurunan jumlah pengapalan perangkat di kuartal ini.

Jumlah pengapalan bukanlah jumlah penjualan yang sebenarnya di lapangan. Namun jumlah ini kerap jadi acuan untuk menentukan popularitas sebuah brand.

Sumber gambar header ilustrasi Huawei P10.

Nvidia dan Baidu Berkolaborasi Kembangkan Teknologi Mobil Self-Driving

Ketertarikan para raksasa teknologi terhadap driverless car meningkat beberapa tahun ke belakang. Mungkin terpicu oleh Google, kita tahu Baidu menggandeng BWM untuk menggarap mobil tanpa pengemudi. Dan di CES 2016, Nvidia juga menyingkap supercomputer  Drive PX 2. Dan bidang ini jadi kian menarik setelah kedua perusahaan itu memutuskan buat berkolaborasi.

Strategi kerja sama tersebut diumumkan CEO Baidu Robin Li dan CEO Nvidia Jen-Hsun Huang dalam acara Baidu World Conference di Beijing minggu lalu. Masing-masing perusahaan akan saling berbagi apa yang mereka miliki. Baidu belum lama ini memperoleh izin untuk menguji mobil self-driving mereka di Kalifornia, sedangkan Nvidia bertanggung jawab menyediakan platform komputer untuk mengembangkan mapping HD, sistem kendali dan parkir otomatis.

Lewat langkah ini, Nvidia dan Baidu berharap agar semua aspek di driverless car dapat terpenuhi, misalnya sistem cloud, perakitan kendaraan, sampai kecerdasan buatan. AI sendiri bukanlah hal baru bagi kedua perusahaan itu, dan Baidu bahkan boleh berbangga dengan karena chief scientist-nya, Andrew Ng, sempat membuat terobosan di ranah AI dan memicu kelahiran ratusan startup.

Pertama-tama, mereka mencoba menjawab sejumlah tantangan besar di AI, salah satunya ialah menciptakan mesin yang pintar. Tentu saja, misi utama Nvidia dan Baidu adalah membuat mobil tersebut aman, baik untuk penumpang serta orang-orang di sekitarnya – mampu meminimalisir bahaya dan jumlah korban ketika kecelakaan tidak dapat dihindari. Selanjutnya, produsen harus memastikan kendaraan bisa dimanfaatkan oleh semua orang.

Berdasarkan informasi yang ditulis oleh Fortune, platform kreasi Baidu dan Nvidia itu akan diimplementasikan sebagai layanan taksi di Tiongkok. Mereka juga mempersilakan siapapun untuk menggunakannya karena kedua kreatornya mengusung konsep open platform, memungkinkan perusahaan-perusahaan lain menerapkan teknologi tersebut di kendaraan self-driving mereka.

Arsitektur mobil self-driving Nvidia sendiri terdiri atas tiga komponen utama: pertama adalah supercomputer Drive PX (Drive PX 2-nya disiapkan untuk Roborace Championship, sudah diadopsi oleh Volvo), berfungsi buat memproses data yang masuk dari rangkaian sensor serta kamera; kedua ialah sistem operasi berbasis algoritma; dan terakhir adalah sistem map 3D beresolusi HD berbasis cloud.

Baidu sendiri sudah menyelesaikan uji coba kendaraan otomatis mereka sejauh 30-kilometer, dan berencana mengenalkannya di10 kota di China. Selanjutnya, Baidu memiliki keinginan untuk melakukan produksi massal lima tahun lagi.

Sumber: Nvidia.

Kemenangan Didi Chuxing Atas Uber Bisa Direplikasi Layanan Sejenis Lainnya

Di beberapa negara di dunia laju bisnis Uber menjadi sorotan. Ada sorotan yang berdampak pada penolakan oleh para penyedia jasa transportasi konvensional seperti di Indonesia dan Prancis tempo hari, namun ada juga tanggapan positif dari warga dan wisatawan yang terbantu dengan sistem yang dikelola Uber. Di Tiongkok kondisinya sedikit berbeda, Uber menjadi sorotan karena mendapat tantangan serius oleh produk lokal, Didi Chuxing.

Persaingan bisnis ini menjadi begitu menarik untuk disimak karena menjadi sebuah titik puncak dari persaingan solusi transportasi berbasis teknologi (on-demand) lokal vs luar. Sesuatu yang seharusnya bisa ditiru oleh negara-negara lain untuk bisa memunculkan “Uber” lokal.

Didi Chuxing (selanjutnya disebut Didi) yang sebelumnya memiliki nama Didi Kuaidi dikenal dekat masyarakat setempat karena selain bersaing secara harga, Didi juga disebutkan akan segera menyematkan teknologi-teknologi mutakhir seperti artificial intelligence dan machine learning sebagai kunci untuk lebih memahami pengguna mereka.

Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam keberhasilan Didi dalam persaingannya melawan Uber yakni localization (konten yang didasarkan pada kultur lokal), subsidi, bagaimana Didi memandang teknologi, dan tentu dukungan berupa modal dari perusahaan-perusahaan top dari dalam dan luar Tiongkok.

Untuk masyarakat Tiongkok yang akrab dengan produk-produk lokal macam Weibo untuk media sosial, JD dan Alibaba untuk e-commerce, dan layanan-layanan lain, hadirnya Didi tentu menjadi alternatif yang menarik untuk layanan perjalanan menggantikan Uber. Hingga pada akhirnya Uber benar-benar ‘menyerah’ dan akhirnya menjual operasional mereka yang ada di Tiongkok kepada Didi.

Mungkin apa yang dilakukan Didi di Tiongkok bisa ditiru startup-startup lain di negara mana pun, termasuk Indonesia, namun dengan sedikit penyesuaian. Penyesuaian di sini adalah dengan tidak mengartikan localization yang dilakukan Didi hanya dengan jargon-jargon bernada nasionalis macam “gunakan produk-produk dalam negeri” dan lain sebagainya.

Localization harus lebih dimaknai dengan menambahkan pemahaman terhadap kebiasaan dan budaya-budaya setempat. Salah satunya adalah memastikan para mitra paham rute daerah sekitar sehingga bisa menghindarkan penumpang dari kawasan-kawasan macet dan lain sebagainya. Selain itu, bentuk kerja sama dengan driver juga bisa menjadi faktor sukses lainnya. Misalnya dengan menambah porsi persentase bagi hasil atau bentuk subsidi-subsidi lainnya.

Faktor teknologi menjadi faktor lain. Masyarakat pada umumnya menilai kualitas layanan transportasi online tidak terlepas dari kemudahan akses dan kestabilan aplikasi yang digunakan. Untuk itu membangun infrastruktur dan aplikasi yang baik bisa berpengaruh pada tingkat kepuasan pelanggan, termasuk juga bagaimana menjaga kerahasiaan pelanggan.

Selain beberapa faktor internal, faktor eksternal kesuksesan Didi didapat dari kebijakan pemerintah. Selain mendukung bisnis berkembang kebijakan ketat terhadap pola kepemilikan kendaraan umum dan surat izin mengemudi untuk warganya juga berperan untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum, apa pun itu.

Di Indonesia hal tersebut yang masih menjadi masalah. Harusnya jika pemerintah ingin meningkatkan penggunaan transportasi umum untuk mengurai kepadatan kendaraan di jalan mendorong transportasi umum seperti kereta, busway, termasuk juga layanan transportasi online harus dimulai dari sekarang. Karena diakui atau tidak potensi mengurangi kemacetan juga ada pada layanan-layanan transportasi online macam Go-Jek, Uber, Grab dan lainnya.

Developer Tiongkok Garap Versi ‘Clone’ Overwatch?

Kurang dari dua minggu setelah Blizzard Entertainment menyingkap bahwa permainan multiplayer shooter mereka berhasil menghimpun tujuh juta player, Overwatch lagi-lagi mencetak rekor baru. Via Twitter, sang publisher mengumumkan sudah ada lebih dari 10 juta pemain Overwatch di seluruh dunia. Kesuksesannya itu ternyata turut ‘menginspirasi’ sejumlah pihak.

Di industri pengembangan game, mengadopsi, menyempurnakan dan memodifikasi ide dari kreasi orang lain bukanlah hal yang dilarang, akan tetapi fans mungkin langsung mengerutkan dahi setelah melihat potongan demonstrasi karya developer game mobile asal Tiongkok ini. Dalam sebuah video, mereka memperlihatkan permainan berjudul Legend of Titan, game yang boleh dibilang sebagai clone dari Overwatch.

Jutaan gamer Overwatch akan segera melihat pemandangan familier: Reinhardt, Tracer, Widowmaker, dan karakter-karakter lain beserta kemampuan unik mereka ada semua di sana; bahkan layout map (King’s Row sampai Hanamura) juga dipakai meski menggunakan tekstur baru. Tentu saja kualitasnya masih jauh dibanding karya Blizzard, resolusi tampak rendah dan ada penurunan frame rate drastis di sejumlah adegan. Terdapat probabilitas besar sang developer China memanfaatkan aset Overwatch.

Dari diskusi di Reddit (berdasarkan upaya terjemahan para user di sana), developer mengklaim bahwa mereka tidak memiliki rencana memublikasikan Legend of Titan. Game sekedar dibuat sebagai tech demo. Studio bilang, video dan gambar-gambar tersebut berasal dari acara internal, di mana mereka mencoba mempelajari konsep desain Blizzard terutama dari segi kontrol dan ‘feel‘; serta mencoba menerapkannya ke platform web dan mobile.

“Video ini sebetulnya direkam dari laman web,” tutur seorang juru bicara. “Kami tidak mengira seseorang akan merekam dan mengunggahnya ke internet. Saat permainan aslinya betul-betul diluncurkan, Anda tidak akan melihat kesamaannya dengan game Blizzard itu. Kami menunjukkan video tersebut demi membuktikan teknik desain browser game ciptaan tim dan sedang mencari parner untuk bekerjasama.”

Buat sekarang, game masih dalam pengembangan dan developer enggan memberikan info lain. Studio ini menjamin, di waktu rilisnya nanti, ciptaan mereka hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan Overwatch.

Memang tidak ada masalah jika ternyata alasan mereka benar adanya. Namun perlu diingat, beberapa produsen Tiongkok terbukti tidak gentar menggarap tiruan produk-produk ternama secara terang-terangan.

Via The Escapist.

Ilmuwan Tiongkok Ciptakan Jia Jia, Robot Berparas Cantik yang Pemalu

Saat negara-negara modern menggunakan robot di bidang manufaktur atau sebagai asisten, visi ilmuwan Jepang lebih ambisius. Bagi mereka, robot bukanlah sekedar pembantu. Ambil contohnya Profesor Hiroshi Ishiguro. Ia telah lama mengembangkan android yang mempunyai wajah menyerupai orang sungguhan. Tapi Jepang belakangan mendapatkan kompetisi berat dari beberapa negara tetangga.

Awal April lalu, mungkin Anda sudah mendengar soal desainer grafis asal Hong Kong yang menghabiskan dana US$ 50.000 untuk menciptakan robot Scarlett Johansson. Kali ini, tim ahli dari University of Science and Technology di China (USTC) memperkenalkan Jia Jia, sebuah robot ultra-realistic berparas cantik. Dan tak cuma penampilan, peneliti juga membekalinya dengan pemrograman khusus, seakan-akan ia pemalu.

Betapapun besarnya usaha para ahli, uncanny valley (yaitu rasa kurang nyaman saat kita melihat robot berwujud mirip manusia) memang sulit dihilangkan. Tetapi USTC mampu meminimalisir efeknya karena Jia Jia memiliki wajah sangat cantik. Dengan rambut panjang dan pipi kemerahan, sekedar melihat Jia Jia dari foto, mungkin Anda akan mengiranya sebagai model.

Jia Jia 01
Jia Jia dipamerkan pertama kali di depan publik.

USTC mencurahkan segenap kepiawaian mereka agar Jia Jia tampil natural. Detail ekspresinya sangat apik: kelopak dan bola mata bisa bergerak alami, lalu bibir juga terinskronisasi dengan ucapan. Agar tak kalah dari kapabilitas android sejenis, peneliti mengajarinya kemampuan belajar, dan sejauh ini Jia Jia bisa memperkenalkan diri dan berinteraksi bersama orang disekitarnya.

Tim baru fokus pada area kepala robot – tangan Jia Jia belum bisa bergerak. Buat sekarang, Jia Jia belum dapat tertawa atau menampilkan ekspresi sedih. Sebagai perbandingan: selain didukung kesanggupan interaksi, robot Scarlett Johansson ‘Mark 1’ juga bisa menggerakan bagian tubuh dan kepala, mengangguk, menyeringai, serta mengedipkan mata.

Jia Jia
Seperti yang Jia Jia bilang, sebaiknya jangan terlalu dekat saat mengambil foto.

Di acara pengenalannya, Jia Jia berkata ke para pengunjung, “Jangan terlalu dekat ketika mengambil foto, karena saya akan terlihat gemuk.”

Tim ilmuwan yang dipimpin oleh direktur Chen Xiaoping membutuhkan waktu tiga tahun untuk menciptakan Jia Jia, dan proyek mereka masih belum selesai. Xiaoping memiliki agenda buat melengkapi robot dengan kecerdasan buatan melalui deep learning. Lalu selanjutnya, peneliti berencana membubuhkan fitur pengenal ekspresi wajah. Sang direktur berharap, Jia Jia bisa menjadi ‘dewi robot’ yang bijaksana.

Chen Xiaoping menyampaikan bahwa unit prototype-nya ‘sangat berharga’, dan buat sementara ia belum berpikir untuk memproduksi Jia Jia secara massal.

Sumber: Xinhua.

Ogah Pakai Microsoft, Tapi OS Buatan Tiongkok Mirip Windows XP

Keinginan pemerintah Tiongkok untuk sepenuhnya terbebas dari produk buatan Microsoft tampaknya sebentar lagi akan terealisasi. Pasalnya, sebuah sistem operasi asli buatan mereka bernama NeoKylin diberitakan kian populer dan diadopsi secara meluas sebagai alternatif Windows.

Continue reading Ogah Pakai Microsoft, Tapi OS Buatan Tiongkok Mirip Windows XP