Verihubs Kantongi Pendanaan Tahap Awal 39,9 Miliar Rupiah, Segera Rilis Layanan Skoring Kredit

Startup pengembang layanan e-KYC Verihubs mengumumkan penutupan pendanaan tahap awal sebesar $2,8 juta (sekitar 39,9 miliar Rupiah) yang dipimpin Insignia Venture Partners dengan partisipasi dari Central Capital Ventura (CCV) dan Armand Ventures. Perusahaan berencana ekspansi ke pasar regional, serta mengembangkan produk baru, salah satunya skoring kredit.

Putaran ini juga diikuti oleh sejumlah angel investor startup lokal. Di antaranya, Budi Handoko (co-founder Shipper), Jefriyanto dan Ricky Winata (co-founder Payfazz), Rohit Mulani (co-founder Gotrade), Chinmay Chauhan (founder Bukuwarung), dan Pramodh Rai (eks-Chief Product Officer Modalku).

Sebelumnya, dalam putaran pra-tahap awal di 2019 kemarin, Co-founder Payfazz Hendra Kwik dan Co-founder Xfers Tianwei Liu turut serta dalam tahap ini selain Indigo Creative Nation.

Mengutip dari TechCrunch, sejumlah angel investor ini sebelumnya adalah pengguna layanan Verihubs. Bersama Payfazz, Verihubs membuka kesempatan bagi pelanggan menyetor uang dengan agen lokal untuk digunakan untuk pembayaran online, dan BukuWarung, untuk mengakses data transaksi.

Kedua contoh di atas adalah solusi Verihubs untuk segmen unbanked. Sementara itu, perusahaan juga melayani segmen pengguna yang sudah memiliki rekening bank. Masuknya CCV sebagai jajaran investor Verihubs, membuka kemungkinan implementasi verifikasi e-KYC terutama bagi pengguna yang memiliki rekening bank, karena dapat bermitra dengan BCA untuk mengakses data nasabahnya.

Terhitung, saat ini ada 46 perusahaan yang telah menjadi pengguna Verihubs, sebagian besar bergerak di bidang keuangan. Ditargetkan jumlah pengguna akan dilipatgandakan menjadi 100 perusahaan, lantaran teknologi Verihubs juga dapat digunakan untuk perusahaan e-commerce, rental marketplace, dan hospitality. Salah satu pengguna Verihubs datang dari perhotelan, mereka menggunakan platform tersebut untuk permudah proses check-in kamar.

Co-founder & CEO Verihubs Rick Firnando mengatakan, sebelum mengadopsi Verihubs banyak kliennya yang masih memverifikasi pelanggan secara manual yang membutuhkan waktu antara satu hingga dua minggu. Verihubs berfungsi sebagai solusi verifikasi secara menyeluruh menjadi lima detik, menggunakan teknologi autentikasi identitas berbasis AI dan API yang memungkinkan perusahaan terus memverifikasi pelanggan yang kembali melalui SMS, WhatsApp, atau panggilan kilat.

“Karena integrasi dengan banyak vendor itu sulit dilakukan oleh developer, itulah mengapa Verihubs memungkinkan klien untuk melakukan KYC, menawarkan verifikasi nomor telepon menggunakan WhatsApp atau SMS, dan juga memverifikasi data keuangan pelanggan,” ujar Rick.

Saat pengguna masuk ke aplikasi yang menggunakan Verihubs untuk pertama kalinya, mereka akan diminta untuk mengambil foto selfie dan kemudian mengunggah foto tanda pengenal berfoto yang dikeluarkan pemerintah. Teknologi AI Verihubs membandingkan kedua foto untuk melihat apakah mereka cocok, dan melakukan referensi silang ID dengan skor kredit operator telekomunikasi dan database pemerintah Indonesia, termasuk catatan kriminal.

Perusahaan menerapkan model bisnis berbasis transaction fee, klien akan membayar sesuai dengan jumlah verifikasi yang berhasil dilakukan.

Rick melanjutkan, perusahaan sedang membangun sistem skoring credit berdasarkan data-data transaksi dan saldo akun. Selain itu, berencana untuk memperluas ke pasar regional, seperti Vietnam dan Filipina.

“Untuk sistem verifikasi ID, kami menemukan bahwa Verihubs sudah ada product-market fit di Indonesia, tetapi kami ingin memperluas ke produk baru. Kami mengkonsolidasikan data keuangan dari berbagai sumber, tidak hanya untuk bank, tetapi juga populasi yang tidak memiliki rekening bank. Dan kami juga menjajaki ekspansi ke pasar baru, seperti Filipina dan Vietnam.”

Startup ini baru saja selesai ambil bagian dalam batch musim panas Y Combinator 2021, pendanaan ini diklaim sebagai startup AI pertama dari Indonesia yang didukung YC.

Verihubs didirikan pada 2019 di Jakarta oleh Rick Firnando yang memiliki pengalaman lebih dari 9 tahun di industri B2B, dan Williem, peneliti AI yang memegang gelar PhD dalam bidang computer vision dari Universitas Inha Korea Selatan.

Kompetisi pasar

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menargetkan segmen sejenis seperti ASLI RI. Bekerja sama dengan LoginID, perusahaan asal Silicon Valley, ASLI RI luncurkan AsliLoginID, sebuah platform Biometric-Authentication as a Service (BaaS) yang mempunyai sertifikasi FIDO2. Sertifikasi tersebut menjadi salah satu standar keamanan yang paling ketat saat ini, diakui secara internasional dan kompatibel dengan beragam jenis sistem operasi perangkat komputasi.

Selain itu, salah satu startup pengembang layanan berbasis kecerdasan buatan Nodeflux juga memiliki lini bisnis yang fokus mengembangkan solusi untuk mempermudah proses eKYC yaitu Identifai. Nodeflux sendiri menjadi salah satu mitra Ditjen Dukcapil sebagai penyedia platform bersama untuk memberikan performa terbaik dalam pemanfaatan data tanpa risiko keamanan.

Terkait lanskap industri SaaS yang spesifik mengembangkan solusi verifikasi berbasis API, Rick turut menyampaikan bahwa dari segi edukasi, target pasar untuk layanan ini sudah memiliki pemahaman yang baik akan pentingnya solusi verifikasi. “Seiring pertumbuhan industri fintech serta perusahaan lain yang berbasis digital, solusi ini akan semakin dibutuhkan dan berkembang,” pungkasnya.

Menurut laporan dari ReportLinker, pasar perangkat lunak sebagai layanan (SaaS) global diperkirakan akan tumbuh dari $225,6 miliar pada tahun 2020 menjadi $272,49 miliar pada tahun 2021 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 20,8%. Pasar diperkirakan akan mencapai $ 436,9 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12,5%.

Verihubs Kembangkan Solusi Verifikasi Berbasis API untuk Perusahaan Digital

Proses verifikasi menjadi komponen penting dalam setiap aktivasi atau transaksi yang terjadi secara digital. Implementasinya sendiri sangat diperlukan untuk mengukur kebenaran dan kompatibilitas satu sama lain dalam berbagai ekosistem perusahaan, termasuk dalam e-commerce, lembaga keuangan, permainan online, dan bahkan media sosial.

Salah satu pemain yang coba menyasar segmen ini adalah Verihubs, sebuah layanan berbasis API yang membantu perusahaan digital dalam proses verifikasi menggunakan sumber data lokal dan mengakses informasi keuangan dan identitas pengguna. Platform ini baru saja lulus dan berhasil meraih seed funding dari program akselerator Y Combinator.

Berawal dari isu pinjaman ilegal yang menerpa salah satu anggota keluarganya, CEO & Co-founder Verihubs, Rick Firnando yang pada saat itu bekerja pada sebuah perusahaan SaaS, mulai melihat hal ini sebagai peluang. Lalu, semasa bekerja ia juga mendapati beberapa permintaan dari perusahaan untuk solusi verifikasi. Pertemuannya dengan Williem yang ketika itu sedang mendalami ilmu AI untuk face recognition di salah satu universitas di Korea, semakin memantapkan niat Rick untuk membangun solusi verifikasi berbasis API ini.

Dalam peluncuran produknya, Rick juga mengungkapkan, “Misi kami adalah untuk membantu perusahaan layanan berbasis digital baru dan yang sudah ada (termasuk fintech) untuk memulai bisnis mereka dan transisi dari verifikasi manual ke proses yang sepenuhnya otomatis, masing-masing dengan menyediakan platform tunggal untuk semua solusi KYC, memungkinkan pelanggan untuk mendapatkan autentikasi, verifikasi, dan otorisasi ke layanan klien kami dalam hitungan detik.”

Model bisnis dan target ke depan

Verihubs mulai menawarkan solusinya di tahun 2019 yang mencakup proses orientasi pelanggan, mulai dari verifikasi nomor telepon, proses KYC ujung ke ujung, deteksi penipuan, hingga menautkan akun bank. Selain itu, platform ini juga menyediakan interkoneksi antarplatform keuangan yang memungkinkan pengguna akhir dapat segera menarik dana langsung dari rekening bank pilihan melalui verifikasi instan.

Teknologi deep learning yang diterapkan diklaim dapat mengurangi risiko kesalahan dan memastikan proses berjalan mulus demi meningkatkan pengalaman pengguna. Perusahaan menggunakan lima teknologi autentikasi berbasis AI, yaitu Face Recognition, Liveness Detection, Face Search, Text Recognition, dan Telco Credit Score.

Dalam perjalanan mengembangkan solusi ini, Rick mengakui adanya tantangan ketika di masa awal mereka masih merintis bisnis. Saat itu perusahaan baru mendapat pre-seed dengan tim yang relatif sedikit, sementara talenta teknis sangat dibutuhkan untuk bisa mengembangkan sebuah platform SaaS. Namun seiring waktu, perusahaan semakin berkembang dan hingga kini timnya telah memiliki 25 anggota dengan 75% adalah tim produk dan engineer.

Perusahaan menerapkan model bisnis berbasis transaction fee, klien akan membayar sesuai dengan jumlah verifikasi yang berhasil dilakukan. Hingga saat ini Verihubs sudah memproses lebih dari 6 juta verifikasi dan dipercaya oleh sekitar 45 perusahaan terkemuka, setengah di antaranya bergerak di bidang keuangan; seperti Payfazz, Bank Central Asia, dan Bank Commonwealth.

Untuk target dalam setahun ke depan, timnya mengaku sedang menjajaki solusi open banking untuk akses finansial. Selain itu, salah satu yang juga ada di pipeline adalah ekspansi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailan, Vietnam dan Malaysia.

Kompetisi pasar

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang menargetkan segmen sejenis seperti ASLI RI. Bekerja sama dengan LoginID, perusahaan asal Silicon Valley, ASLI RI luncurkan produk AsliLoginID, sebuah platform Biometric-Authentication as a Service (BaaS) yang mempunyai sertifikasi FIDO2. Sertifikasi tersebut menjadi salah satu standar keamanan yang paling ketat saat ini, diakui secara internasional dan kompatibel dengan beragam jenis sistem operasi perangkat komputasi.

Selain itu, salah satu startup pengembang layanan berbasis kecerdasan buatan Nodeflux juga memiliki lini bisnis yang fokus mengembangkan solusi untuk mempermudah proses eKYC yaitu Identifai. Nodeflux sendiri menjadi salah satu mitra Ditjen Dukcapil sebagai penyedia platform bersama untuk memberikan performa terbaik dalam pemanfaatan data tanpa risiko keamanan.

Terkait lanskap industri SaaS yang spesifik mengembangkan solusi verifikasi berbasis API, Rick turut menyampaikan bahwa dari segi edukasi, target pasar untuk layanan ini sudah memiliki pemahaman yang baik akan pentingnya solusi verifikasi. “Seiring pertumbuhan industri fintech serta perusahaan lain yang berbasis digital, solusi ini akan semakin dibutuhkan dan berkembang,” ujarnya.

Menurut laporan dari ReportLinker, pasar perangkat lunak sebagai layanan (SaaS) global diperkirakan akan tumbuh dari $225,6 miliar pada tahun 2020 menjadi $272,49 miliar pada tahun 2021 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 20,8%. Pasar diperkirakan akan mencapai $ 436,9 miliar pada tahun 2025 dengan CAGR 12,5%.

Program akselerator

Didirikan pada tahun 2019, Verihubs sempat terlibat dalam beberapa program akselerator. Di akhir tahun 2020, timnya menjadi salah satu partisipan dalam batch pertama dari Startup Studio Indonesia, sebuah program yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk memfasilitasi startup digital yang sedang dalam proses mencapai tahap product-market fit.

Setelah itu, Verihubs juga ikut serta dalam Indigo Demo Day 1-2021 yang diadakan oleh Indigo Creative Nation pada 15 Juni 2021 silam, timnya berkesempatan pitching secara langsung dan disaksikan oleh Venture Capital terkemuka dari dalam dan luar negeri. Dari sini, mereka berhasil meraih perhatian serta pendanaan seed dari program akselerator yang berbasis di Amerika, Y Combinator.

Sebagai salah satu yang berkesempatan untuk menjalani program akselerator YC, Verihubs mengaku mendapat banyak sekali keuntungan selain pendanaan. “Bukan cuma pendanaan, tapi kita juga benar-benar diajari dari sisi produk dan komunitasnya sangat kuat. Kita jadi punya koneksi yang luas untuk bisa going global,” ujar Rick yang saat diwawancara sedang menyiapkan sesi Demo Day dan dijadwalkan lulus dari program Y Combinator di minggu ini.

Dilansir dari Crunchbase, selain Indigo Creative Nation, perusahaan yang berbasis di Indonesia ini juga turut didukung oleh beberapa angel investor untuk pre-seed termasuk dari Co-Founder Payfazz, Hendra Kwik serta Co-Founder & CEO Xfers, Tianwei Liu.

Pandemic Encourages SaaS Business Growth

The pandemic has changed the habits and behavior of people, including the way we work. The Software-as-a-Service (SaaS) platform is among those who get a positive impact when many workers no longer have to work in the same office space.

DailySocial observes the challenges and strategies in SaaS companies during the pandemic. Not only for large corporate clients but also in terms of SaaS services help SME business activities.

Pandemic triggers growth

One of the “winners” in this pandemic is cloud computing-based solutions. Most companies are now moving from physical offices to virtual offices.

“During this pandemic, we have really accelerated into what is always called the ‘future of workplace’. This is related to remote working, online collaboration. Moreover, SaaS is the most appropriate solution for businesses and companies to keep running effectively,” Mekari’s CEO. Suwandi Soh said.

During the pandemic, Mekari claims to have positive growth.

“We see an opportunity on how our products can be one of the company’s solutions to be more productive and we also see that technology is becoming an urgency in how to support work in terms of cost and time,” Suwandi added.

Regardless of the negative impact, Verihubs’ CEO, Williem said the pandemic is positive momentum for startups that present SaaS technology, not only in Indonesia but globally.

“Before the pandemic, many offline transactions [dominated] in Indonesia because there were costs to educate people to be digital. However, during the pandemic, people were forced to adopt daily activities to run businesses digitally. Thus, opening up opportunities for various SaaS players,” Williem said.

As some people have adapted to the digital lifestyle, the need for reliable user authentication is increasing. Verihubs, a platform that provides biometric facial verification, is a service that is considered relevant to help businesses.

A similar statement told by Aisensum’s Managing Director, Vivek Thomas, that the pandemic has created a significant change in behavior with the growth of online sellers to meet the high supply and demand in the market.

“We see the increasing competition triggers demand for increased efficiency and this is where we as a company have seen a rapid increase: a 7 times increase in client acquisitions in the 6 months of the pandemic. We see the same momentum continuing without lag,” Vivek said.

Meanwhile, Lintasarta’s VP Cloud Product Management, Reski Rukmantio said during the pandemic the company saw an increase in the number of opportunities and prospects, even though most opportunities were considered below average market prices compared to conditions before the pandemic occurred.

“To date, we have supported our corporate customer’s cloud infrastructure planning for 2021. We think this is a positive sign that cloud services will continue to improve both during and after the pandemic as large companies are adapting to new ways of working and cloud services are one of those. ”

As a cloud service provider and data center, Lintasarta has several targets to be achieved. One way is to create infrastructure services that are relatively easy to use for inexperienced users, while continuously meeting the complex needs of experienced users.

Challenges ahead

Although most platforms are targeting SMEs, only a few of them are willing to subscribe. Even though the technology offered is advanced, the financing factor is still an important issue.

The pandemic is one of the factors why some SMEs have been forced to stop their subscription to SaaS-based services.

“From a long-term point of view, this pandemic has actually created a learning curve for many businesses due to social distancing policies that require them to do many important things in virtual which can create momentum for SaaS startups to start focusing on building their business,” Kevin Wijaya from CyberAgent Capital said.

As the Director of GK Plug and Play Aaron Nio said, this fact does not only occur among SMEs. There are quite a few large companies willing to subscribe.

“Historically, they are more comfortable with one-off payments and additional payments when they want to upgrade/change their service/software. However, we’ve seen some changes with people’s mindset as they become more accustomed to this model. Some have been presented by Spotify and Netflix for B2C and Tableau/JIRA for B2B,” Aaron said.

Another challenge SaaS players often encounter is the issue of competition with foreign products. Similar services offered by Google, Alicloud, and other Hyperscalers entering Indonesia make it quite difficult for companies to run a business.

“Now that they are physically present in Indonesia, we have to plan other strategies to deal with them in the market, especially for industries that require to comply with data location policies and rely on local cloud providers for their services,” Reski mentioned.

Mekari also experienced competition issues with foreign platforms.

“Particularly in Indonesia, we can see unique things regarding difficulty to access or replicate by SaaS [services] from abroad. For example, purchasing raw materials may have been done by other SaaS solutions abroad. We can see what these things are. Another unique example is the simple use of Indonesian which is more understandable to our target market or our unique sales channel,” Suwandi added.

Verihubs also experienced challenges to convince clients. As a B2B SaaS player in Indonesia, they still encounter several clients who have different requirements for specific use cases.

“If we do case studies of successful SaaS products in Indonesia, the best strategy is to have a reseller or partner to increase sales. Thus, we can reduce the amount of internal sales resources, but we can still increase sales,” Williem said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pandemi Picu Pertumbuhan Bisnis Layanan SaaS

Pandemi telah mengubah kebiasaan dan rutinitas kita semua, termasuk cara bekerja. Platform Software-as-a- Service (SaaS) termasuk ke jajaran mereka yang mendapatkan sisi positif ketika banyak pekerja tidak lagi harus bekerja di ruang kantor yang sama.

DailySocial mencoba melihat seperti apa tantangan dan strategi SaaS semasa pandemi. Tak hanya untuk klien-klien perusahaan besar, tetapi juga bagaimana layanan SaaS membantu kegiatan bisnis UKM.

Pandemi pemicu pertumbuhan

Salah satu “pemenang” saat pandemi adalah solusi berbasis komputasi awan (cloud computing). Sebagian besar perusahaan kini beralih dari kantor fisik ke kantor virtual.

“Di masa pandemi ini, kita benar – benar diakselerasi masuk ke apa yang selalu disebut ‘future of workplace‘. Ini terkait remote working, online collaboration. Dan SaaS menjadi solusi paling tepat bagi bisnis dan perusahaan untuk tetap berjalan efektif,” kata CEO Mekari Suwandi Soh.

Selama pandemi, Mekari mengklaim memiliki pertumbuhan yang positif.

“Kami melihat peluang bagaimana produk-produk kami menjadi salah satu solusi perusahaan agar dapat lebih produktif dan kami juga melihat perlahan teknologi menjadi sebuah urgency bagaimana bisa mendukung pekerjaan dari segi biaya dan waktu,” kata Suwandi.

Terlepas dari sisi negatif yang dihadirkannya, menurut CEO Verihubs Williem, pandemi menjadi momentum positif bagi startup yang menghadirkan teknologi SaaS, tak hanya di Indonesia tetapi secara global.

“Sebelum pandemi, banyak transaksi offline [mendominasi] di Indonesia karena ada biaya untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi digital. Namun, selama pandemi, masyarakat dipaksa mengadopsi kegiatan sehari-hari hingga menjalankan bisnis secara digital. Dengan demikian, membuka peluang bagi berbagai pemain SaaS,” kata Williem.

Karena sebagian masyarakat telah beradaptasi dengan gaya hidup digital, kebutuhan autentikasi pengguna yang andal makin meningkat. Verihubs, platform yang menyediakan verifikasi wajah biometrik, menjadi layanan yang dinilai relevan membantu bisnis.

Hal senada diungkapkan Managing Director Aisensum Vivek Thomas. Menurutnya pandemi telah menciptakan perubahan perilaku yang signifikan dengan pertumbuhan penjual online untuk memenuhi tingginya penyediaan dan permintaan di pasar.

“Kami melihat dengan meningkatnya persaingan, muncul kebutuhan untuk peningkatan efisiensi dan di sinilah kami sebagai perusahaan melihat peningkatan pesat: 7 kali lipat dalam akuisisi klien dalam 6 bulan selama pandemi. Kami melihat momentum yang sama berlanjut tanpa jeda,” kata Vivek.

Sementara VP Cloud Product Management Lintasarta Reski Rukmantio mengatakan, selama pandemi perusahaan melihat adanya peningkatan jumlah peluang dan prospek, meskipun sebagian besar peluang dianggap di bawah harga pasar rata-rata dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi terjadi.

“Hingga saat ini, kami telah mendukung perencanaan infrastruktur cloud pelanggan perusahaan kami untuk tahun 2021. Kami pikir ini adalah pertanda positif bahwa layanan cloud akan terus meningkat baik selama dan setelah pandemi karena perusahaan besar sedang beradaptasi dengan cara kerja baru dan layanan cloud adalah salah satunya.”

Sebagai penyedia layanan cloud dan data center, Lintasarta memiliki beberapa target yang ingin dicapai. Salah satunya menciptakan layanan infrastruktur yang relatif mudah digunakan untuk pengguna yang belum berpengalaman, dengan terus memenuhi kebutuhan kompleks pengguna yang berpengalaman.

Masih ada tantangan

Meskipun sebagian besar platform menyasar kepada pelaku UKM, namun hingga saat ini masih sedikit di antara mereka yang bersedia berlangganan. Meskipun teknologi yang ditawarkan sudah advance, faktor pembiayaan masih menjadi isu penting.

Pandemi menjadi salah satu faktor mengapa beberapa UKM terpaksa menghentikan program berlangganan mereka ke layanan berbasis SaaS.

“Dari sudut pandang jangka panjang, pandemi ini sebenarnya telah menciptakan kurva pembelajaran bagi banyak bisnis karena kebijakan jarak sosial yang mengharuskan mereka melakukan banyak hal penting secara virtual yang pada akhirnya dapat menciptakan momentum bagi startup SaaS untuk mulai fokus membangun bisnis mereka,” kata Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital.

Menurut Director of GK Plug and Play Aaron Nio, fakta tersebut tak hanya terjadi di kalangan UKM. Perusahaan besar juga masih sedikit yang bersedia berlangganan.

“Secara historis, mereka merasa lebih nyaman dengan pembayaran satu kali saja dan pembayaran tambahan saat mereka ingin meningkatkan / mengubah layanan / perangkat lunak mereka. Namun, kami melihat mulai ada perubahan dalam pola pikir ini karena orang-orang semakin terbiasa dengan model ini. Seperti yang sudah dihadirkan Spotify dan Netflix untuk B2C dan Tableau / JIRA untuk B2B,” kata Aaron.

Tantangan lain yang masih kerap ditemui pemain SaaS adalah persoalan kompetisi dengan produk asing. Layanan serupa yang ditawarkan Google, Alicloud, dan Hyperscalers lain yang memasuki Indonesia cukup menyulitkan perusahaan untuk menjalankan bisnis.

“Karena mereka sekarang sudah hadir secara fisik di Indonesia, kami harus merencanakan strategi lain untuk menghadapi mereka di pasar, terutama untuk industri yang perlu mematuhi kebijakan lokasi data dan mengandalkan penyedia cloud lokal untuk layanannya,” kata Reski.

Persoalan persaingan dengan platform asing juga dialami Mekari.

“Khusus untuk Indonesia, kita juga bisa melihat hal-hal unik yang sulit diakses atau direplikasi oleh [layanan] SaaS dari luar negeri. Misalnya, pembelian bahan baku tadi mungkin ada solusi SaaS lain yang sudah sama di luar negeri. Kita bisa melihat apa hal unik lain misalnya sesederhana penggunaan Bahasa Indonesia yang lebih bisa dipahami target market kita atau channel penjualan kita yang unik,” kata Suwandi.

Tantangan untuk meyakinkan klien juga dialami Verihubs. Sebagai pemain B2B SaaS di Indonesia, mereka masih menemukan beberapa klien yang memiliki berbagai persyaratan berbeda untuk kasus penggunaan tertentu.

“Jika kami melakukan studi kasus dari produk SaaS yang sukses di Indonesia, strategi terbaik adalah memiliki reseller atau partner untuk meningkatkan penjualan. Dengan demikian, kami dapat mengurangi jumlah sumber daya penjualan internal, tetapi kami tetap dapat meningkatkan penjualan,” kata Williem.