Half-Life: Alyx Bahkan Belum Bisa Meyakinkan Tim Xbox Buat Berkecimpung di VR

Beberapa tahun setelah tersedianya head-mounted display virtual reality kelas konsumen, bermunculan-lah banyak game berkualitas. Mereka bukan lagi tech demo yang dirancang buat memperkenalkan VR, namun menyajikan konten eksklusif virtual reality yang tak kalah dari permainan-permainan blockbuster. Judul-judul seperti Lone Echo dan Asgard’s Wrath ialah beberapa contohnya.

Dan Anda mungkin sudah tahu, Valve Corporation saat ini tengah mencurahkan perhatiannya untuk mengembangkan satu permainan VR raksasa, yaitu Half-Life: Alyx. Alyx merupakan game khusus virtual reality yang menjanjikan durasi bermain setara Half-Life 2, dengan konten dan dunia berskala besar demi mendorong pemain buat berjelajah. Lewat virtual reality, Valve bermaksud memperkenalkan formula gameplay baru berbasis controller motion Index.

Pengembangan Half-Life: Alyx sudah berlangsung cukup lama, dan para tester wajib menjaga kerahasiaan eksistensinya. Seorang tester bahkan telah terlibat proses pengujian selama 4,5 tahun. Beberapa individu seperti bos Xbox Phil Spencer juga diberikan kesempatan untuk mencicipinya lebih dulu sebelum game dirilis di bulan Maret nanti. Namun dengan premis yang begitu menarik, Spencer masih belum yakin game virtual reality seperti Half-Life: Alyx betul-betul diinginkan gamer.

Pernyataan tersebut diungkap sang bos Xbox pada wawancara bersama Stevivor terkait mengapa Xbox belum mengintegrasikan VR ke layanannya. Spencer bilang bahwa beberapa aspek di virtual reality terasa masih mengganjal. Menurutnya, VR mengisolasi pengguna padahal seharusnya permainan video bersifat komunal dan dapat dinikmati bersama-sama. Meski begitu, ia mengaku sangat menghargai upaya para pionir teknologi, dari mulai ahli AI, fisik, 3D, ray tracing, termasuk augmented dan virtual reality.

Spencer menyampaikan, dalam menghadirkan produk, Microsoft selalu berusaha merespons keinginan pelanggan dan sejauh ini gamer Xbox belum meminta produk VR. Mayoritas konsumen tahu jika mereka menginginkan konten virtual reality, ada platform lain yang lebih baik buat menyuguhkannya: PC. Kemudian dilihat dari sisi komersial, belum ada satu produsen perangkat VR pun yang mampu menjual produknya dalam hitungan jutaan unit.

Xbox dan VR sejauh ini punya hubungan yang tidak biasa. Dahulu sebelum Xbox One X resmi diumumkan, Microsoft sempat bilang bahwa performa hardware Project Scorpio (codename-nya saat itu) tidak kesulitan buat menopang headset virtual reality layaknya PC. Namun ketika dirilis, Xbox One X malah tidak dibekali dukungan ke HMD VR.

Dan dengan pernyataan Phil Spencer tersebut, ada dugaan kuat kompatibilitas ke VR kembali absen di unit Xbox next-gen. Kita tahu, Microsoft tengah mencurahkan perhatiannya untuk mengekspansi pengalaman bermain melalui pengembangan layanan cloud gaming. Sementara itu, Sony sebagai rival utamanya memilih buat tetap mempertahankan kapabilitas VR di PlayStation 5. PSVR ‘generasi pertama’ akan kompatibel dengan console anyar mereka.

Valve Umumkan Half-Life: Alyx, Game VR Blockbuster Pertamanya

12 tahun lebih berlalu sejak Half-Life 2: Episode Two dirilis. Mayoritas fans sudah menerima fakta bahwa Valve kemungkinan tidak akan meneruskan kisah petualangan Gordon Freeman dan membiarkannya menggantung begitu saja. Bukan hanya Half-Life, Left 4 Dead dan Dota bahkan berhenti di angka ‘dua’, dan hal ini memicu lelucon di kalangan gamer: Valve tampaknya takut dengan angka tiga.

Namun minggu ini terdengar kabar yang mengejutkan terkait seri Half-Life. Bukan, Valve tidak mengumumkan Half-Life 2: Episode Three. Yang mereka singkap adalah Half-Life: Alyx, permainan virtual reality kelas blockbuster perdananya. Untuk sekarang, developer belum menginformasikan akan seperti apa permainan ini. Detail mengenai Half-Life: Alyx rencananya diungkap di hari Kamis besok.

Hal menarik dari pengumuman Half-Life: Alyx adalah, Valve melakukannya lewat akun Twitter resmi (dan juga telah terverifikasi) yang baru mereka buat di bulan Juni kemarin. Berita mengenai Half-Life: Alyx merupakan tweet pertamanya. Ada peluang besar, lewat akun inilah developer akan menyingkap informasi mengenai permainan VR anyar mereka ke depannya.

Sedikit penjelasan untuk Anda yang kurang familier dengan Half-Life 2, Alyx, dan petulangan episodik setelahnya:

Half-Life 2 dilepas pada tahun 2004 sebagai sekuel dari permainan shooter yang menjadi debut Valve di industri gaming. Setelah proyek Half-Life 2 rampung, Valve masih berambisi untuk meneruskan petualangan sang tokoh protagonis, Gordon Freeman, namun dengan durasi pengembangan yang lebih singkat (pengembangan Half-Life 2 memakan waktu enam tahun). Akhirnya diputuskanlah, game Half-Life selanjutnya dirilis dalam bentuk episode.

Half Life 2: Episode One meluncur pada tanggal 1 Juni 2006, kemudian disusul oleh Episode Two di bulan Oktober 2007 sebagai bagian dari bundel The Orange Box (ditemani Portal, Team Fortress 2 dan Half-Life 2 orisinal). Sayangnya, Valve tidak bicara banyak mengenai Episode Three di tahun berikutnya dan permainan malah tak kunjung tiba. Di tahun 2011, game akhirnya diberi label vaporware – yaitu software/hardware yang keberadaannya sempat diumumkan ke publik tapi tak pernah diproduksi.

Lalu apa atau siapa itu Alyx? Alyx Vance adalah tokoh non-playable penting di Half-Life 2 serta Episode One dan Two. Alyx setia menemani Freeman dalam perjalanannya dan memperoleh banyak pujian dari media-media game internasional karena karakteristik yang non-mainstream. Selain tangguh, Alyx juga cerdas dan pintar berbicara. Banyak orang menganggap bahwa respons dan ucapan Alyx mewakilkan apa yang dirasakan gamer terhadap tiap kejadian di dunia permainan.

Saya menduga, Half-Life: Alyx akan mempersilakan Anda untuk pertama kalinya bermain sebagai sang NPC favorit. Pertanyaannya adalah, apakah game ini di-setting sebelum Alyx Vance bertemu Gordon Freeman atau malah akan melanjutkan petualangan yang terhenti di Episode Two? Pastinya, Half-Life: Alyx akan jadi game Half-Life pertama yang Valve luncurkan dalam kurun waktu satu dekade.

Via The Verge.

Apple Kabarnya Sedang Mengembangkan Headset VR Gaming

Minggu lalu, sebuah kabar menyatakan bahwa Apple telah menggandeng Valve dalam rangka pengembangan headset augmented reality. Langkah ini boleh jadi merupakan kelanjutan dari agenda penggarapan HMD AR yang sudah terdengar sejak dua tahun silam. Teknologi AR biasanya diarahkan ke ranah profesional, tapi Apple sepertinya tetap tertarik untuk menyuguhkan konten hiburan lewat VR.

Kali ini, Bloomberg menginformasikan upaya sang raksasa teknologi asal Cupertino itu menggarap ‘perangkat-perangkat virtual dan augmented reality yang dibekali sistem sensor 3D baru’, berdasarkan laporan sejumlah narasumber. Berdasarkan keterangan tersebut, itu berarti Apple berencana mengembangkan lebih dari satu head-mounted display. Namun sebagai langkah awalnya, perusahaan mencoba mengabungkan VR serta AR lalu memfokuskannya buat kebutuhan gaming.

Salah satu narasumber bilang, Apple berniat untuk mulai mendistribusikan kacamata AR mereka secepat-cepatnya di tahun 2023. Di artikel sebelumnya, saya sempat membahas bagaimana Apple ingin agar teknologi augmented reality mereka matang di 2019 kemudian melepas dalam bentuk produk di tahun 2020. Produsen tampaknya memutuskan buat mengundur agenda mereka. Menurut dugaan Eurogamer, Apple ingin memberi ruang lebih lapan pada peluncuran iPad Pro tahun depan.

CEO Apple Tim Cook sudah lama berbicara serta menunjukkan ketertarikannya pada AR. Segmen ini menjadi fokus Apple setelah sebelumnya mereka mencurahkan perhatian pada iPhone, iPad dan Apple Watch. Tulang punggung dari teknologi ini adalah sistem sensor 3D mutakhir yang tengah digarap selama beberapa tahun. Pada Bloomberg sang narasumber mengaku, sistem ini jauh lebih canggih dari sensor Face ID yang ada di perangkat-perangkat Apple terbaru.

Saat ini, tim teknisi iPhone dan iPad telah mulai berkerja menyambungkan aplikasi-aplikasi serta fitur-fitur di software ke sistem operasi baru (secara internal disebut ‘rOS’). Dengan begini, perangkat-perangkat yang sudah ada sekarang dapat bekerja serta kompatibel dengan headset VR, kacamata AR atau head-mounted display cross reality sejenis yang akan dirilis di masa depan.

Apple kabarnya mengerahkan sekitar 1.000 teknisi demi mengerjakan prakarasa AR dan VR. Proyek besar ini dinahkodai oleh vice president Mike Rockwell. Tim ini terdiri atas pakar dari berbagai macam bidang, dan kepemimpinannya dibagi lagi pada sejumlah eksekutif yang pernah mengerjakan software gaming Apple, hardware iPhone, serta pembuatan software dan manufaktur. Tim juga diperkuat oleh mantan insinyur NASA, mantan developer game, dan pakar grafis.

Sejauh ini memang belum jelas seberapa banyak headset VR dan kacamata AR yang tengah Apple siapkan. Saya juga penasaran bagaimana pada cara perusaahaan memanfaatkan AR/VR di segmen gaming, kemudian akan sejauh apa partisipasi Valve di sana?

Respawn dan Oculus Umumkan Game VR Medal of Honor: Above and Beyond

Nama Respawn mulai terdengar akrab di telinga khalayak berkat tengah naik daunnya Apex Legends, dan banyak gamer sudah mengenalnya ketika studio yang dibentuk oleh dua mantan pendiri Infinity Ward itu meluncurkan Titanfall. Sejak saat itu, Respawn terlibat banyak pengembangan permainan berskala besar, di antaranya Star Wars Jedi: Fallen Order serta game eksklusif Oculus Rift.

Di bulan Oktober 2017, Respawn Entertainment mengumumkan proyek kolaboratifnya bersama tim Oculus Studios. Waktu itu, tim belum menjelaskan apa yang tengah mereka kerjakan, hanya mengutarakan bagaimana teknologi virtual reality dapat memberikan pemain kesempatan buat merasakan kengerian dan kacaunya medan tempur. Dan di perhelatan Oculus Connect 6 kemarin, Oculus akhirnya mengabarkan bahwa game VR tersebut memiliki judul Medal of Honor: Above and Beyond.

Above & Beyond 4

Ada banyak hal menarik dari pengumuman ini. Sebagai awalnya, Above and Beyond akan menjadi permainan Medal of Honor pertama yang Electronic Arts lepas dalam waktu delapan tahun. Seri game bertema perang ini absen dari peredaran setelah sang publisher merilis Warfighter di tahun 2012. Dan dalam mengembangkannya, Respawn dan Oculus Studios mencoba mengembalikan seri Medal of Honor ke tema akarnya.

Dalam Medal of Honor: Above and Beyond, Anda bermain sebagai seorang agen Sekutu yang berkerja untuk Office of Strategic Services (OSS) di era Perang Dunia kedua. Tugas Anda ialah menginfiltrasi, membungkam dan mengalahkan mesin perang Nazi. Game akan membawa Anda mengunjungi lokasi-lokasi tempur bersejarah di Eropa, membantu gerakan pemberontakan di Perancis, hingga menyabotase operasi militer Nazi.

Above & Beyond 3

Aspek unik kedua dari Above and Beyond adalah partisipasi Peter Hirschmann. Ia merupakan produser Dreamworks Interactive, tim yang mengerjakan permainan Medal of Honor pertama dua dekade silam atas permitaan Steven Spielberg. Hirschmann kini bertanggung jawab sebagai game director. Yang menarik lagi ialah, CEO Respawn Vince Zampella juga pernah terlibat dalam pembuatan Medal of Honor: Allied Assault (kisah lengkapnya bisa Anda baca di sini).

Above & Beyond 1

Medal of Honor: Above and Beyond siap menghidangkan mode campaign single-player berisi 50 misi dan aksi multiplayer, serta mode penyampaian cerita unik di mana ‘Anda dapat duduk bersama’ veteran Perang Dunia kedua, mendengarkan kisah mereka sembari menyaksikan kejadian tersebut secara virtual. Tiap-tiap misi single-player kabarnya bisa diselesaikan dengan pendekatan berbeda.

Above and Beyond rencananya akan meluncur di tahun 2020 nanti (namun tanggal pastinya belum diketahui), tersedia secara eksklusif untuk platform Oculus Rift.

Sumber: Blog Oculus.

VR Headset HTC Vive Cosmos Resmi Dijual Mulai 3 Oktober Seharga $699

Wujud final HTC Vive Cosmos diungkap bulan Juni lalu, dan sekarang jadwal rilisnya pun sudah tersedia. Pengganti Vive orisinal ini bakal dipasarkan secara global mulai 3 Oktober mendatang seharga $699.

Dibandingkan Vive orisinal, Vive Cosmos unggul jauh perihal display. Resolusi total 2880 x 1700 pixel yang ditawarkannya 88% lebih tinggi ketimbang Vive orisinal, dan HTC juga mengklaim efek screen-door yang dihasilkannya jauh lebih minimal. Ini semua tanpa melupakan jaminan bahwa semua konten akan ditampilkan dengan refresh rate 90 Hz di sudut pandang seluas 110 derajat.

HTC Vive Cosmos

Enam buah kamera yang terpasang pada Vive Cosmos mewujudkan fitur inside-out tracking, yang berarti ia tak lagi membutuhkan dukungan base station seperti Vive orisinal. Pada kenyataannya, Vive Cosmos tak lagi harus bergantung pada SteamVR, sehingga pada akhirnya HTC bisa menyematkan software baru yang mereka juluki Vive Reality System.

Bagaimana seandainya konsumen tetap ingin menggunakan Vive Cosmos bersama base station milik Vive orisinal? Boleh saja, tapi konsumen wajib memasangkan “mod” untuk Vive Cosmos, yakni jenis pelat depan yang berbeda yang dapat mengubah fungsionalitas perangkat. Untuk konteks ini, mod yang dimaksud adalah External Tracking Mod, yang menghadirkan kompatibilitas Lighthouse base station ke Vive Cosmos, demikian pula kompatibilitas dengan Vive Tracker.

HTC Vive Cosmos

Vive Cosmos datang bersama sepasang controller baru yang mirip seperti controller Oculus Touch. HTC mengklaim keenam kamera milik Vive Cosmos dapat mendeteksi posisi controller-nya dengan cakupan seluas 310 derajat, yang berarti bakal sangat jarang controller-nya keluar dari zona yang bisa dilacak.


Sumber: UploadVR dan HTC Vive.

Menyelami Potensi Virtual Reality sebagai Medium Pemasaran

Pengenalan teknologi baru tak selamanya berjalan mulus. Hal ini dirasakan betul oleh Omni VR, perusahaan layanan berbasis virtual reality (VR), setelah beberapa tahun beroperasi di Indonesia.

OmniVR sudah melewati banyak hal sebagai perusahaan yang mengusung perangkat VR sebagai ujung tombak. Teknologi tersebut memang sempat jadi buah bibir pada beberapa tahun lalu saat pertama kali diperkenalkan ke publik. Namun ekspektasi tinggi terhadap VR ternyata tak sebanding dengan penyerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini terbukti dalam dua tahun terakhir hanya nyaris 5 juta unit VR yang terjual, 288 di antaranya di Indonesia.

“Artinya secara distribusi perangkat VR ini sangat terbatas,” ujar Founder & CEO OmniVR Nico Alyus.

Kendati distribusinya terbatas, teknologi VR masih menyimpan segudang potensi. Dalam #SelasaStartup, Nico memperlihatkan bahwa pemanfaatan VR bisa ditarik hingga ke ranah pemasaran.

VR untuk pemasaran

Sebagai perangkat, VR mungkin lebih dikenal khalayak sebagai alat pendukung game console seperti pada PlayStation atau game PC. Nico tak membantah itu karena menurutnya game menjadi medium paling ampuh dalam memperkenalkan VR ke publik.

Setidaknya ada empat keuntungan pemasaran yang memanfaatkan VR. Pertama adalah sebagai alat berbagi pengalaman. Sederhananya seperti sekadar mendengar keindahan alam Bali tak akan sebanding dengan merasakannya sendiri.

Keuntungan kedua adalah mendapatkan 100 persen perhatian pengguna. Berbeda dengan ponsel cerdas atau medium lain, piranti VR tak memungkinkan penggunanya beralih perhatian karena sebagian besar indera mereka dipaksa bergerak dalam realita baru.

Kendati begitu, Nico meyakini VR sampai saat ini belum bisa menjangkau khalayak luas. Ini sebabnya ia menilai penggunaan VR dalam pemasaran dengan tujuan konversi penjualan tidak tepat. Namun di sisi lain, penggunaan VR dapat memudahkan pemahaman posisi dan semangat brand kepada penggunanya.

Minimnya perangkat VR yang laku di pasar menjadi hambatan tersendiri. Namun Nico menilai hal ini bisa jadi keuntungan bagi perusahaan yang ingin memakai VR sebagai alat marketing mereka.

“Karena tidak semua orang bisa mengakses VR, kita harus bisa menciptakan VR experience yang memorable,” ucap Nico.

Selain keuntungan di atas, ada juga sejumlah faktor yang harus dihindari saat menggunakan VR sebagai alat pemasaran. Di antaranya adalah membuat konten yang berisi penjelasan panjang-lebar atau konten terlalu kompleks sehingga sulit dipahami audiens.

Nico menyarankan suatu perusahaan terlebih dahulu menentukan target audiens mereka sebelum memakai VR. “Terakhir, sebaiknya jangan minta audiens untuk bayar karena dari pengalaman kami ketika orang tahu harus bayar, mereka jadi resisten. Padahal kita ingin sebanyak-banyaknya mereka mencoba.”

Bukan untuk mendongkrak penjualan

Seperti yang disampaikan sebelumnya, VR tak bisa diharapkan sebagai medium pemasaran dengan tujuan mendongkrak penjualan. Dari pengalaman OmniVR, tercatat penggunaan VR dalam marketing hanya berdampak rata-rata 18,8 persen pada penjualan.

“Sejujurnya, kalau itu ekspektasinya saya sarankan tidak menggunakan VR dulu,” Nico menambahkan.

Sebaliknya, VR menjadi sangat efektif ketika diukur dari buzz value. Nico mencatat ada kenaikan 760 persen buzz value dari pemasaran memakai VR ketimbang pemasaran secara tradisional.

“Itulah kenapa VR cocok untuk brand positioning karena ada word of mouth yang bisa dicapai dibandingkan kampanye tradisional,” pungkas Nico.

Tren Inovasi “Digital Marketing” Berbasis Teknologi

Kemudahan yang ditawarkan teknologi saat ini mempengaruhi bisnis saat melancarkan kegiatan digital marketing (pemasaran digital). Mulai dari menerapkan teknologi artificial intelligence (AI), chatbot, video hingga omnichannel. Tidak hanya membantu memangkas pengeluaran, pemanfaatan teknologi bisa menjadi alat yang lebih efektif untuk mendukung kegiatan pemasaran dan mengakuisisi target pasar.

Artikel berikut ini merangkum tren teknologi yang mendukung kegiatan kegiatan pemasaran digital.

Artificial Intelligence

Saat ini teknologi AI sudah menjadi segmentasi paling besar dalam hal menentukan calon pelanggan yang tepat. Mulai dari retargeting, push notification, click tracking dan lainnya, kombinasi teknologi AI yang tepat bisa membantu bisnis memasarkan produk mereka.

Menurut riset yang dilakukan Blueshift, sekitar 28% kegiatan pemasaran telah menggunakan AI untuk memberikan rekomendasi produk, sementara itu sekitar 26% memanfaatkan AI sebagai optimasi kampanye mereka.

Dalam survei tersebut juga disebutkan, AI secara langsung bisa membantu bisnis untuk meningkatkan layanan pelanggan. Survei yang dilakukan Forrester dalam Global State of Artificial Intelligence menyebutkan, sekitar 57% bisnis memanfaatkan AI untuk meningkatkan pengalaman pelanggan, sementara sekitar 44% memanfaatkan AI untuk meningkatkan performa produk dan layanan yang tersedia.

Personalisasi yang saat ini sudah banyak diterapkan ternyata bisa diciptakan dengan memanfaatkan AI. Menurut survei yang dilakukan IDC dan Criteo, sekitar 67% kegiatan pemasaran akan menjadi lebih personal tampilannya dengan memanfaatkan AI, sementara itu sekitar 66% kegiatan pemasaran yang mengedepankan personalisasi dalam hal rekomendasi iklan dan format yang relevan.

Sementara itu, melihat tren yang ada, diprediksi pada tahun 2020 mendatang, sekitar 64% responden survei menyebutkan personalisasi yang bisa dilakukan secara real time dan penyebaran pesan yang dioptimasi akan menjadi kegiatan pemasaran digital yang paling banyak dilakukan.

Teknologi AI juga bisa membantu bisnis memberikan fitur seperti pencarian gambar yang relevan dan cepat. Konsep ini cocok diterapkan oleh platform e-commerce. Diprediksi di masa mendatang pencarian memanfaatkan keyword akan mulai ditinggalkan dan digantikan dengan mencari rekomendasi melalui gambar ke dalam platform.

Chatbot

Media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram saat ini sudah dimanfaatkan berbagai brand untuk menciptakan relasi yang lebih personal dengan pelanggan. Namun cara tersebut dinilai kurang efektif, jika dilakukan secara rutin, dalam hal menjawab pertanyaan mendasar. Untuk mengatasi kondisi tersebut, kehadiran chatbot diklaim mampu mempercepat dan membantu proses interaksi dengan pelanggan secara lebih efektif.

Dengan makin masifnya pengembangan chatbot saat ini, teknologi tersebut memberikan kemudahan dan kemampuan untuk melakukan percakapan yang mendasar secara cepat dibandingkan jika bisnis menempatkan tim layanan pelanggan. Teknologi ini juga mampu memangkas waktu yang terbuang, meskipun perusahaan telah menyematkan live chat dalam situs mereka. Dengan biaya yang tergolong terjangkau, chatbot menjadi solusi ideal bagi bisnis untuk kegiatan layanan pelanggan.

Dalam survei yang dilakukan Leadpages terungkap, setelah beberapa periode penggunaan chatbot untuk berinteraksi dengan pelanggan bisa meningkatkan jumlah percakapan hingga 36%. Dengan makin berkembangnya teknologi AI, dipastikan kemampuan chatbot bakal mengalami peningkatan.

Omnichannel

Berbagai pilihan channel, mulai dari media sosial, pencarian secara online memanfaatkan mesin pencari, hingga berkunjung langsung ke offline store, menjadi opsi bagi konsumen mengakses layanan sebuah perusahaan.

Melihat potensi yang ada, sudah waktunya brand menerapkan kegiatan omnichannel. Berbeda dengan multichannel yang diklaim efektif meningkatkan jumlah akuisisi pelanggan hingga transaksi, melalui omnichannel brand bisa memberikan pengalaman pengguna yang lebih optimal, seamless, dan konsisten melalui proses komunikasi yang efektif memanfaatkan berbagai channel.

Melalui interaksi langsung dengan pelanggan melalui media sosial, misalnya, terapkan juga kegiatan memanfaatkan SEO dan melalui email. Tujuan kegiatan omnichannel ini adalah melihat rekam jejak pelanggan dan interaksi apa yang paling banyak dimanfaatkan mereka. Harapannya, dengan menerapkan cara ini, pelanggan tersebut bisa lebih nyaman dengan berbagai pilihan channel dan interaksi yang tersedia.

Agar kegiatan ini bisa berjalan dengan baik, tempatkan tim CRM (customer relationship management) dan buatlah program CRM khusus, agar bisa memantau lebih lanjut interaksi pelanggan dalam platform yang berbeda.

Video

Dengan memanfaatkan platform seperti YouTube atau Facebook Live hingga video tools media sosial seperti Instagram dan TikTok, kegiatan pemasaran memanfaatkan video bisa sangat efektif. Dalam survei yang dilakukan oleh Cisco, diprediksi pada tahun 2021 mendatang sekitar 82% traffic internet akan banyak diserap konten video online.

Tidak heran jika diprediksikan tahun ini sekitar $20 miliar dikeluarkan untuk kegiatan pemasaran berbasis video. Jumlah tersebut meningkat dari sekitar $2 miliar pada tahun 2015.

Tren lain yang diprediksi akan banyak muncul adalah pemanfaatan platform Live Video.

Video bisa dimanfaatkan untuk kegiatan peluncuran produk hingga membangun reputasi yang berbeda saat menggelar kegiatan offline dan mempublikasikannya secara online. Penggunaan video juga memungkinkan bisnis untuk menjangkau target pengguna lebih luas lagi secara cepat dan langsung.

Augmented Reality dan Virtual Reality

Meskipun belum terlalu masif pemanfaatannya, augmented reality dan virtual reality terbukti mampu menciptakan positioning yang efektif ke target pengguna. Kegiatan pemasaran memanfaatkan teknologi ini  memberikan pengalaman pelanggan yang berbeda, sehingga kesan hard sell tidak terlalu terasa.

Berdasarkan survei yang dipublikasi eMarketer, sekitar 48,1 juta warga Amerika Serikat telah menikmati augmented reality setiap bulannya sepanjang tahun 2018. Jumlah ini diprediksi akan meningkat tahun ini hingga 54,4 juta orang.

Contoh implementasi augmented reality yang efektif adalah fitur yang diterapkan IKEA. Memanfaatkan smartphone, calon pembeli bisa melihat secara langsung gambaran penempatan furnitur di ruangan dengan menciptakan tampilan secara real time yang memberikan pengalaman pelanggan yang baik.

Sementara itu, teknologi virtual reality (VR) paling banyak dimanfaatkan untuk pengembangan game dan industri ritel.

Valve Mempertimbangkan Untuk Garap Headset VR Index Versi Standalone

Undur dirinya Valve dalam kolaborasi pengembangan ekosistem HTC Vive sempat membuat orang (termasuk saya) berpikir bahwa sang pencipta Steam berniat meninggalkan ranah ini. Namun kami semua keliru. Valve ternyata berniat menggarap perangkat VR-nya sendiri. Agenda tersebut terungkap di bulan April kemarin, kemudian detail mengenai HMD bernama Index itu disingkap tak lama setelahnya.

Dilihat dari sisi hardware dan kelengkapan fitur, Index boleh dikatakan lebih superior dibanding Rift dan Vive. Namun pada dasarnya, headset VR Valve tersebut masih menggunakan solusi penyajian serupa model kompetitor. Perangkat bersandar pada PC agar dapat menghidangkan konten. Itu berarti, Index mungkin belum bisa jadi solusi bagi mereka yang menginginkan HMD virtual reality standalone.

Menariknya, Valve sempat mengakui ketertarikannya mengembangkan head-mounted display ‘mandiri’. Dalam presentasi di acara peluncuran Index beberapa hari lalu, co-founder Gabe Newell mengungkapkan bagaimana timnya tengah mempertimbangkan pembuatan versi alternatif dari Index yang tak mengikat penggunanya di satu tempat. Dengan kata lain, perangkat bisa bekerja tanpa memerlukan dukungan PC.

Newell menyampaikan bahwa Valve mempunyai banyak ide yang dapat diterapkan pada aspek layar dan optik. Kemudian, ada beragam peluang untuk meningkatkan kapabilitas sistem pelacakan sembari menyederhanakan prosesnya. Dengan tercapainya hal-hal ini, terbuka pula kesempatan buat mengembangkan permainan-permainan virtual reality revolusioner, baik dari Valve atau mitranya.

Sebelum sampai di sana, Newell sendiri berkeyakinan bahwa aksesori kendali ‘Knuckles’ dapat memicu digarapnya ‘game-game jenis baru’. Knuckles lebih mutakhir dibanding unit controller motion pendukung perangkat kompetitor. Ia dirancang agar Anda tidak perlu terus menggenggamnya. Di sana ada joystick, trackpad mini, rangkaian tombol, serta input sekunder yang mampu membaca seberapa erat genggaman tangan Anda. Valve membubuhkan tidak kurang dari 87 buah sensor di dalamnya.

Terkait Index, Gabe Newell menyebutnya sebagai tonggak sejarah penting bagi Valve, merepresentasikan terobosan signifikan di segmen virtual reality. Untuk sekarang, perusahaan akan fokus pada hal-hal sederhana, misalnya memperluas distribusi produk keluar wilayah Amerika Serikat, menuju Eropa dan negara-negara lain. Valve juga melihat adanya celah buat menurunkan harga produk, serta membuat Index lebih ringan dan lebih ergonomis.

Berbicara soal harga, Valve Index memang dibanderol cukup mahal. Harganya berada jauh di atas Oculus Rift S (setara Oculus Quest di US$ 400) namun masih lebih murah dibanding satu set lengkap HTC Vive Pro (US$ 1.400, headset-nya saja dipatok US$ 800).

Pertanyaannya kini adalah, jika Valve betul-betul mengembangkan versi standalone dari Index, apakah mereka akan menjualnya di harga lebih tinggi atau lebih rendah dibanding varian standar?

Sumber: GamesIndustry.

HTC Ungkap Wujud Final Vive Cosmos dengan Enam Kamera dan Display Beresolusi Amat Tinggi

Januari lalu, HTC menyingkap teaser dari VR headset generasi terbarunya, Vive Cosmos. HTC kala itu tidak berbicara banyak mengenai Cosmos, namun ternyata apa yang mereka tunjukkan saat itu juga bukan merupakan wujud final dari perangkat tersebut.

Gambar di atas adalah wujud finalnya, dan perbedaannya cukup signifikan dibandingkan yang HTC pamerkan di event CES 2019. Bukannya mengemas empat kamera, versi finalnya ini justru mengusung total enam kamera; dua di depan, dua di kiri dan kanan, dan dua terakhir menghadap ke atas dan bawah.

HTC belum menjelaskan apa manfaat dari dua kamera ekstra tersebut, tapi saya menduga ada pengaruhnya terhadap kinerja inside-out tracking Cosmos, kemungkinan supaya cakupannya bisa lebih luas lagi. Inside-out tracking juga berarti Cosmos sama sekali tak membutuhkan bantuan sensor eksternal untuk bisa berfungsi secara maksimal.

HTC Vive Cosmos

Juga sangat berbeda adalah pelat bagian depan yang berlubang-lubang, kemungkinan dimaksudkan sebagai ventilasi udara agar wajah pengguna bisa terasa tetap sejuk. Pelat depannya ini juga dapat dilepas-pasang, dan HTC pun telah merancang Cosmos agar dapat dilipat ke atas sehingga pengguna dapat keluar dari realita buatan tanpa harus sepenuhnya melepas perangkat dari kepala.

HTC tidak lupa membagikan sedikit detail teknis mengenai Cosmos: display LCD-nya mengemas resolusi total 2880 x 1700 pixel, bahkan lebih tinggi lagi ketimbang Vive Pro. Display-nya ini juga mendukung refresh rate 90 fps, dan HTC mengklaim efek screen-door yang dihasilkan menurun drastis jika dibandingkan VR headset generasi sebelumnya.

Yang masih misterius adalah kapan perangkat ini bakal dipasarkan dan berapa banderol harganya. Namun kalau melihat video pengumumannya dengan teks “The Time Has Come” di bagian awal, saya menduga kita tak perlu menunggu terlalu lama lagi sebelum HTC meluncurkannya secara resmi.

Sumber: Engadget.

Headset VR Valve Index Resmi Diumumkan, Usung Sejumlah Teknologi Inovatif

Bagi mayoritas orang, Valve ialah salah satu nama tersukses di ranah software dan layanan distribusi digital. Mereka merupakan pemegang sejumlah franchise game terbesar di dunia sekaligus pemilik Steam. Tapi upaya Valve dalam menembus pasar hardware belum bisa dikatakan sukses. Prakarsa Steam Machines tenggelam begitu saja dan belakangan perusahaan tampak menarik diri dari pengembangan VR.

Namun di awal bulan lalu, kita akhirnya tahu bagaimana Valve tidak menyerah begitu saja. Secara tiba-tiba, perusahaan yang dinahkodai Gabe Newell dan Scott Lynch itu menyingkap produk barunya: headset virtual reality bernama Index. Sesuai janji mereka ketika men-tease perangkat ini, Valve mengumumkan dan mengungkap segala detail mengenai Index bahkan sebelum bulan April berakhir.

Index 4

Valve Index menjanjikan pengalaman ‘superior’ dalam menikmati konten VR baik dalam hal visual, audio, maupun kenyamanan pemakaian. Pengoperasiannya dibantu oleh motion controller Knuckles yang versi purwarupanya pernah Valve pamerkan di Steam Dev Days 2016 dan telah mendapatkan beberapa kali penyempurnaan. Berbeda dari periferal sejenis, Knuckles mempunyai desain ber-strap unik yang memungkinkannya tidak terlepas dari tangan meski Anda tak menggenggamnya.

Index 6

Secara garis besar, penampilan head-mounted display VR Valve ini tak begitu berbeda dari Rift atau Vive. Index dibekali strap serta bantalan empuk dan headphone terintegrasi. Ada lapisan glossy semi-transparan di sisi depan, membuatnya tampak seperti visor futuristis, dan Anda akan melihat sepasang kamera di area bawah. Untuk bekerja, perangkat tetap harus tersambung secara fisik ke PC dan ia juga membutuhkan unit base station. Terdengar biasa saja? Sebetulnya, Aspek paling istimewa dari Index terletak pada kemampuannya menyajikan konten.

Index 5

Di bagian dalam, produsen mencantumkan sepasang layar LCD RGB beresolusi 1440x1600p yang kabarnya mempunyai kepadatan pixel 50 persen lebih tinggi dari jenis OLED, seehingga mampu menghasilkan gambar lebih tajam tanpa menambah beban pada hardware. Dalam penggunaannya, Index mampu menampilkan teks lebih jelas serta mengurangi efek screen door (saat Anda bisa melihat garis-garis antar pixel di panel) secara signifikan.

Index 2

Selain itu, layar Valve Index menyuguhkan refresh rate di 120Hz, yang dapat diturunkan ke 90Hz atau dinaikkan ke 144Hz jika konten mendukungnya. Display tersebut juga mempunyai ‘reduced illumination period‘ antara 0,33- sampai 0.53-milidetik. Saya belum terlalu memahami fitur ini tapi Valve bilang setup tersebut memastikan objek terlihat tetap fokus dan tajam meski Anda sedang bergerak.

Index 3

Menariknya lagi, Anda bisa menyesuaikan jarak lensa ke mata untuk memaksimalkan field of view (20 derajat lebih luas dari HTC Vive) via knop di bagian luar dan dalam. Lalu satu knop lagi di area kanan bawah berfungsi buat mengubah jarak antara lensa.

Index 7

Valve rencananya akan mulai mendisitribusikan Index pada tanggal 30 September 2019. Agar bekera optimal, PC Anda membutuhkan setidaknya kartu grafis GeForce GTX 970 atau AMD Radeon RX480 dan RAM minimal 8GB. Kompensasi dari teknologi baru di dalam Index adalah harganya yang tergolong tinggi. Satu set Valve Index dibanderol seharga US$ 1.000, US$ 200 lebih mahal dari headset standalone Vive Focus Plus.

Via Games Industry.