Oculus Rift Cuma Cocok untuk Gaming, Layanan Video On-Demand-nya Dihentikan

Apa fungsi VR headset selain untuk gaming? Tidak ada, kalau konteks yang dibicarakan adalah VR headset kelas desktop macam Oculus Rift. Bukankah penggunanya juga bisa menikmati video 360 derajat? Ya, namun potensi besar perangkat itu sebaiknya diarahkan ke gaming saja sepenuhnya.

Kalau Anda tidak percaya, coba lihat kebijakan terbaru yang ditetapkan Oculus. Mereka baru saja menghentikan layanan video on-demand (VOD) untuk Oculus Rift, yang berarti pengguna headset tersebut tak lagi bisa membeli atau menyewa video untuk ditonton menggunakan perangkatnya masing-masing.

Buat yang sudah terlanjur membeli, koleksi videonya masih bisa dinikmati sampai 20 November nanti, namun Oculus juga berencana untuk mengganti pengeluaran konsumen Rift di layanan VOD-nya selama ini. Kalau memang masih ngotot ingin menonton video 360 derajat, toh masih ada sajian dari platform seperti Facebook 360.

Keputusan ini didasari observasi Oculus yang menyimpulkan bahwa mayoritas konsumen Rift menggunakan perangkatnya murni untuk gaming. Lain halnya dengan Oculus Go, yang lebih diarahkan ke multimedia mengingat spesifikasinya memang lebih ‘lemah syahwat’.

Itulah mengapa layanan VOD masih bakal bisa diakses oleh konsumen Oculus Go. Yang masih tanda tanya adalah Oculus Quest, namun dugaan saya perangkat itu juga akan diperlakukan seperti Rift saat dirilis tahun depan, mengingat spesifikasinya memang jauh lebih mumpuni ketimbang Go.

Sumber: Variety.

Google Singkap Controller Eksperimental untuk VR Headset Lenovo Mirage Solo

Lenovo Mirage Solo yang dirilis pada bulan Januari lalu adalah VR headset tipe standalone pertama untuk platform Google Daydream. Selain dapat beroperasi sendiri tanpa perlu tersambung ke PC maupun diselipi smartphone, perangkat itu juga mengemas hardware yang kapabel untuk tracking 6DoF (six degrees of freedom), yang memungkinkan pergerakan tubuh pengguna di dunia nyata untuk merepresentasikan pergerakannya di dunia virtual.

Biasanya, kapabilitas seperti ini hanya bisa terwujud dengan bantuan sensor atau kamera eksternal, seperti kasusnya pada HTC Vive. Di sini, sensor pada headset akan langsung melacak posisi controller guna mengestimasikan koordinat pengguna. Itu berarti controller-nya pun juga harus mengemas sensor yang kapabel, dan sayangnya itu tidak terjadi pada Mirage Solo.

Headset-nya memang mendukung tracking 6DoF, tapi ternyata controller-nya tidak, sehingga pada akhirnya pengalaman VR yang ditawarkan platform Daydream masih belum bisa se-immersive HTC Vive. Namun ke depannya ini sudah pasti bakal dibenahi, dan indikasinya sudah mulai terlihat sekarang.

Kepada para developer, Google baru saja menyingkap controller 6DoF untuk headset Daydream tipe standalone, spesifiknya Lenovo Mirage Solo tadi. Controller eksperimental ini dilengkapi sejumlah tombol, termasuk sebuah touchpad kecil yang juga dapat diklik. ‘Bola’ di bagian ujungnya adalah bagian yang akan dilacak oleh sensor pada headset.

Lenovo Mirage Solo
Lenovo Mirage Solo / Lenovo

Di samping controller khusus, tracking 6DoF pada platform Daydream rupanya juga banyak bergantung pada software, spesifiknya machine learning. Ini dibutuhkan untuk mengestimasikan posisi dan orientasi controller dalam konteks 3D secara akurat. Pemanfaatan software jelas jauh lebih ekonomis ketimbang mengandalkan hardware ekstra.

Sebelum konsumen dapat membelinya, developer bakal lebih dulu kebagian jatah supaya mereka bisa mengembangkan konten yang sesuai. Google juga sama sekali tidak menyinggung soal perilisannya untuk publik, bisa jadi skenario itu baru terwujud ketika headset Daydream standalone generasi kedua meluncur.

Pada kesempatan yang sama, Google turut mengumumkan fitur untuk headset Daydream standalone bernama “See-Through Mode”. Fitur ini memungkinkan pengguna headset untuk melihat kondisi di sekitarnya menggunakan kamera yang tertanam di sisi depan perangkat, sehingga konten AR pun juga dapat dinikmati menggunakan headset yang sama.

Sumber: Road to VR dan The Verge.

Acer Luncurkan Headset Windows Mixed Reality Baru, OJO 500

Salah satu headset Windows Mixed Reality yang pertama datang dari Acer tahun lalu. Di ajang IFA 2018 yang dihelat di Jerman, pabrikan asal Taiwan itu baru saja memamerkan headset generasi keduanya yang diberi nama Acer OJO 500.

Secara fisik, desainnya tampak lebih keren dari pendahulunya. Masih ada sepasang kamera di wajahnya, dan ini memungkinkan kapabilitas inside-out tracking maupun 6 degrees of freedom (6DoF) tanpa bantuan hardware ekstra.

Salah satu keunikan yang ditawarkan OJO 500 adalah desain yang detachable, di mana bagian-bagian seperti lensa dan strap kepalanya dapat dilepas agar bisa dibersihkan dengan mudah. Ini jelas sangat berguna apabila satu perangkat digunakan secara bergantian oleh banyak orang sekaligus, semisal dalam konteks keluarga atau di taman hiburan.

Acer OJO 500

Strap kepalanya sendiri tersedia dalam dua versi, satu keras dan satu empuk. Versi yang keras dilengkapi bantalan yang besar untuk membantu pemasangan headset yang benar-benar pas, sedangkan versi yang empuk diklaim dapat dibersihkan menggunakan mesin cuci.

Juga unik adalah bagian depan (yang menutupi mata) yang bisa dilipat ke atas, sehingga pengguna tak perlu melepas headset ketika hendak merespon orang di sekitarnya. OJO 500 turut dilengkapi speaker terintegrasi yang akan langsung mengarahkan suara ke telinga pengguna. Cara kerjanya mirip headphone, akan tetapi pengguna masih bisa mendengar suara dari sekitarnya demi alasan keamanan.

Soal display, OJO 500 menggunakan sepasang layar LCD 2,89 inci dengan resolusi 2880 x 1440 pixel dan sudut pandang seluas 100 derajat. Refresh rate-nya pun cukup tinggi di angka 90 Hz. Lebih lanjut, pengaturan ketajaman fokus tampilannya (interpupilary distance) dapat dilakukan via kenop pada headset, dibantu oleh aplikasi pendamping di smartphone agar lebih optimal.

Acer OJO 500

Namanya headset Windows Mixed Reality, OJO 500 sudah pasti perlu disambungkan ke PC atau laptop Windows 10 via HDMI 2.0 dan USB 3.0 menggunakan kabel bawaan yang panjangnya mencapai 4 meter. Soal konten, konsumen tak perlu meragukannya sebab OJO 500 juga kompatibel dengan platform SteamVR.

Di Amerika Serikat, perangkat ini bakal dipasarkan pada bulan November mendatang, dengan harga mulai $399. Acer rencananya juga akan menawarkan bundel yang lebih lengkap yang mencakup dua motion controller Bluetooth, touchpad, grab button dan Windows 10 button.

Sumber: VentureBeat dan PR Newswire.

Google Luncurkan Chrome untuk VR Headset Daydream

Google merancang Chrome supaya dapat digunakan di semua perangkat dan platform. Namun sampai kemarin masih ada yang terlewatkan, yakni Daydream VR bikinan Google sendiri. Beruntung Google sudah menyadarinya sejak lama, dan baru saja merilis Chrome untuk Daydream.

Bukan cuma headset Google Daydream View yang kebagian jatah, tapi juga yang bertipe standalone seperti Lenovo Mirage Solo. Pada prakteknya, Chrome edisi VR ini justru lebih berguna di VR headset tipe standalone macam Mirage Solo, sebab kalau dengan Daydream View asumsinya Anda bisa membuka browser lewat smartphone.

Google memastikan bahwa semua fitur Chrome versi desktop maupun mobile juga tersedia di sini, mulai dari bookmark, incognito mode sampai voice search. Tidak ketinggalan juga fitur yang diracik khusus untuk Chrome versi Daydream, yakni Cinema Mode, yang akan mengoptimalkan tampilan video dalam medium VR.

Kehadiran Chrome di Daydream ini juga berarti konsumen dapat menikmati konten VR lebih banyak lagi. Pasalnya, sejak tahun lalu Chrome sudah mengemas dukungan standar WebVR. Jadi seandainya ada konten VR yang tidak dikemas menjadi aplikasi oleh pengembangnya, pengguna headset Daydream masih bisa menikmatinya secara immersive lewat Chrome.

Sumber: Google.

HTC Demonstrasikan Multi-Room VR dengan Vive Pro dan SteamVR 2.0

Salah satu alasan untuk membeli HTC Vive Pro ketimbang Vive orisinil, di samping peningkatan kualitas visual, adalah antisipasi fitur baru yang akan datang. Salah satunya adalah dukungan atas platform SteamVR 2.0 yang tengah Valve matangkan, yang diklaim mampu mewujudkan tracking dalam area yang lebih luas daripada sebelumnya.

Area yang lebih luas itu pun tidak harus berupa satu ruangan besar, tapi bisa juga yang terdiri dari beberapa ruangan sekaligus. Dan ini telah didemonstrasikan sendiri oleh HTC lewat sebuah video yang diunggah ke Twitter oleh Alvin Wang Graylin selaku petinggi Vive Tiongkok.

Dalam video tersebut, tampak seorang pengguna Vive Pro berpindah dari satu ruangan menuju ke dua ruangan lainnya. Di setiap ruangan telah terpasang masing-masing dua base station SteamVR 2.0, sehingga ketika dilihat dari headset, ketiga ruangan itu membentuk satu area virtual yang luas.

Bisa dilihat juga bahwa sang pengguna Vive Pro mengambil controller baru setiap kali ia berpindah ruangan, membuktikan bahwa ia dapat mengetahui keberadaan controller tersebut secara fisik meski matanya sedang tertutupi headset, sekaligus membenarkan klaim Valve soal kehebatan kinerja tracking SteamVR 2.0.

Itu baru enam base station, sekarang bayangkan apa yang bisa kita lakukan dengan 16 base station, yang menurut Alvin juga sempat mereka uji coba meskipun tidak ada videonya. Kendati demikian, sepertinya kita masih harus menunggu cukup lama sebelum multi-room VR ini dapat terealisasi.

Alan Yates yang mewakili Valve menjelaskan bahwa untuk sekarang SteamVR baru bisa memonitor keberadaan empat base station dalam satu kesempatan. Singkat cerita, masih banyak yang harus dikerjakan Valve sebelum multi-room VR bisa terwujudkan.

Sumber: UploadVR.

Film Ready Player One yang Mengambil Tema VR Rupanya Juga Dibuat Menggunakan Teknologi VR

Tanpa harus mengangkat virtual reality sebagai tema utamanya pun Ready Player One sebenarnya sudah sangat menarik untuk ditonton berkat banyaknya cameo dan referensi pop culture yang muncul di sepanjang film. Nyatanya, film tersebut jadi penuh intrik karena berhasil menggambarkan peran VR di masa depan, meski sedikit menjurus ke arah ekstrem.

Adalah Steven Spielberg yang berhasil meramu formula tersebut menjadi keseruan selama dua jam lebih. Sutradara gaek itu berhasil memvisualisasikan OASIS secara brilian. OASIS, seperti diceritakan dalam novel asli Ready Player One karya Ernest Cline, adalah dunia virtual yang tak hanya berfungsi sebagai game MMORPG, tapi juga sebagai peradaban alternatif.

Lalu yang mungkin memicu pertanyaan, bagaimana cara Spielberg mengarahkan banyak sekali adegan film yang mengambil tempat di OASIS, mengingat OASIS sendiri murni merupakan hasil karya seniman-seniman digital yang tergabung dalam timnya? Jawabannya adalah VR. Ya, teknologi yang menjadi tema utama Ready Player One tersebut rupanya juga memegang peranan penting selama proses pembuatannya.

Steven Spielberg directing Ready Player One using VR headset

Seperti dijelaskan pada video behind-the-scene (BTS) di bawah, VR sudah dilibatkan sejak aset-aset visual (concept art) film selesai dibuat oleh tim Industrial Light & Magic. Berbekal aset-aset tersebut, tim Digital Domain diberi kepercayaan untuk membangun versi virtual-nya (3D), yang kemudian dapat dieksplorasi langsung oleh Spielberg.

Dari situ Spielberg bisa langsung mengenakan VR headset – HTC Vive dalam kasus ini – lalu mulai mengarahkan adegan demi adegan. Ia bahkan bisa langsung merekam adegan menggunakan controller Vive, yang dalam ranah virtual diterjemahkan menjadi sebuah kamera, sebelum akhirnya semuanya dipoles lebih lanjut oleh timnya.

Jadi kalau ada yang beranggapan bahwa fungsi VR tidak lebih dari sekadar medium baru video game, Anda bisa mentontonkannya video BTS Ready Player One ini. VR punya potensi besar dalam pembuatan film, dan ini sudah dibuktikan oleh sosok sekelas Steven Spielberg.

Sumber: CinemaBlend.

Fitur Baru Oculus Rift ke Depannya Hanya Bisa Diakses Jika PC Menjalankan Windows 10

Pengalaman virtual reality terbaik yang bisa didapat konsumen secara luas saat ini masih harus bergantung pada PC. PC-nya pun tidak boleh sembarangan, melainkan yang memiliki spesifikasi cukup tinggi sehingga game VR dapat berjalan secara mulus dan sensasi immersive yang didapat bisa maksimal.

Selain hardware, software rupanya juga perlu diperhatikan. Lihat saja Oculus, yang baru-baru ini menyarankan pengguna headset Rift untuk meng-update PC-nya ke Windows 10 jika belum. Menurut Oculus, 95% konsumennya memang sudah menjalankan Windows 10, tapi sisanya masih bertahan di Windows 7 dan Windows 8.1.

Alasannya, selain karena Microsoft sendiri sudah mulai mengurangi dukungan atas Windows 7 dan 8.1, fitur-fitur baru Rift ke depannya hanya dapat dinikmati jika PC kita menjalankan Windows 10. Sederhananya, Rift masih bisa digunakan bersama Windows 7 atau 8.1, hanya saja ketika ada fitur baru yang dirilis, Anda tak akan bisa menikmatinya sebelum meng-update PC ke Windows 10.

Salah satu fitur eksklusif Windows 10 yang dimaksud mencakup Oculus Desktop, yang pada dasarnya memungkinkan pengguna untuk mengakses desktop dalam tampilan yang dioptimalkan untuk VR. Ini jelas jauh lebih praktis ketimbang harus melepas headset setiap kali hendak mengakses desktop di sela-sela sesi VR.

Di samping itu, Oculus juga memperbarui spesifikasi PC minimum dan yang direkomendasikan untuk Rift. Lengkapnya sebagai berikut:

Minimum

  • GPU: Nvidia GTX 1050 Ti / AMD Radeon RX470 atau di atasnya
  • GPU Alternatif: Nvidia GTX 960 / AMD Radeon R9 290 atau di atasnya
  • Prosesor: Intel i3-6100 / AMD Ryzen 3 1200, AMD FX4350 atau di atasnya
  • RAM: 8 GB atau lebih
  • Output Video: HDMI 1.3
  • USB: 1x port USB 3.0 plus 2x USB 2.0
  • OS: Windows 10

Recommended

  • GPU: Nvidia GTX 1060 / AMD Radeon RX 480 atau di atasnya
  • GPU Alternatif: Nvidia GTX 970 / AMD Radeon R9 290 atau di atasnya
  • Prosesor: Intel i5-4590 / AMD Ryzen 5 1500X atau di atasnya
  • RAM: 8 GB atau lebih
  • Output Video: HDMI 1.3
  • USB: 3x port USB 3.0 plus 1x USB 2.0
  • OS: Windows 10

Sumber: Oculus.

Aplikasi Streaming Oculus TV Resmi Diluncurkan untuk VR Headset Oculus Go

Dijual seharga $199 saja, Oculus Go pada dasarnya bisa dilihat sebagai perangkat home theater murah meriah. VR headset tipe standalone tersebut mengemas panel display sebesar 5,5 inci dengan resolusi 2560 x 1440 (538 ppi), dan ketika dikenakan, pengguna dapat merasakan sensasi menonton TV seukuran 180 inci.

Juga sangat mendukung adalah sifatnya yang portable, yang berarti ‘home theater‘ ini bisa kita bawa-bawa dan nikmati kapan saja dan di mana saja. Maka dari itu, tidak mengejutkan apabila tim Oculus bersedia meluangkan waktunya untuk mengembangkan aplikasi khusus bernama Oculus TV.

Oculus TV

Pada dasarnya hampir semua layanan streaming video, baik live maupun on-demand, dapat diakses melalui Oculus TV. Beberapa layanan memang membutuhkan subscription, dan ini tetap berlaku ketika pengguna mengaksesnya lewat Oculus TV.

Tampilan aplikasinya sengaja dibuat seminimal mungkin dengan merujuk pada suasana nyaman yang biasa didapat di suatu lounge. Salah satu sumber konten yang menjadi andalan adalah Facebook Watch, tidak heran mengingat Facebook memang merupakan induk perusahaan Oculus.

Oculus TV

Ke depannya Oculus TV bakal kedatangan lebih banyak layanan streaming. Untuk sekarang, pengguna Oculus Go sudah bisa mengunduhnya secara cuma-cuma, dan nantinya aplikasi ini juga bakal dijadikan aplikasi default pada headset tersebut.

Yang masih tanda tanya sejauh ini adalah apakah aplikasi ini juga bakal hadir buat Gear VR. Di halaman Oculus Store, Gear VR tertera sebagai “unsupported devices“, membuat kita berspekulasi bahwa aplikasi ini eksklusif buat Oculus Go saja.

Sumber: Oculus.

Seagate Umumkan Power Bank + Hard Disk Eksternal untuk VR Headset Vive Focus

Konsep standalone yang diusung HTC Vive Focus berarti kita tidak memerlukan lagi perangkat tambahan untuk bisa menikmati virtual reality di mana saja dan kapan saja kita mau. Seperti halnya smartphone, Vive Focus memiliki prosesor dan baterainya sendiri. Namun yang menjadi pertanyaan, seberapa awet baterainya, apalagi mengingat resolusi display yang diusungnya tergolong tinggi (2880 x 1600)?

Dalam satu kali pengisian, HTC bilang Vive Focus bisa beroperasi selama sekitar tiga jam. Lalu apa jadinya kalau kita ingin bermain lebih lama dari itu? Well, HTC sudah menyiapkan solusinya dalam bentuk hasil kolaborasinya bersama Seagate.

Namanya Seagate VR Power Drive. Ia merupakan sebuah perpaduan antara power bank 5.000 mAh dan hard disk eksternal 1 TB. Ini bukan pertama kalinya perangkat semacam ini eksis, hanya saja ia merupakan aksesori resmi untuk Vive Focus, siap menyuplai daya ekstra atau menyediakan kapasitas penyimpanan tambahan dengan berbekal satu kabel USB-C saja.

Seagate VR Power Drive

Supaya tidak mengganggu sesi VR, bagian belakang perangkat dilengkapi penjepit agar bisa dicantolkan ke celana atau ikat pinggang. Karena dikembangkan bersama HTC, panjang kabelnya sudah pasti sangat pas untuk Vive Focus. Sebagai bonus, perangkat rupanya juga kompatibel dengan ponsel HTC U12+ yang dirilis belum lama ini.

Harganya belum diketahui, akan tetapi HTC bilang bahwa pemasarannya bakal dimulai pada kuartal ketiga tahun ini. Bisa jadi, Vive Focus versi global juga akan dirilis di waktu yang bersamaan.

Sumber: Seagate dan Road to VR.

Google dan LG Pamerkan Prototipe Display VR Headset Beresolusi Sangat Tinggi

Setahun yang lalu, Google membeberkan rencananya untuk mengembangkan teknologi display beresolusi tinggi untuk VR headset. Untuk mewujudkannya, mereka menggandeng salah satu produsen panel OLED ternama. Dan sekarang kita tahu produsen yang dimaksud adalah LG, sebab Google sudah punya prototipenya, diumumkan melalui sebuah jurnal ilmiah.

Prototipe panel OLED berdimensi 4,3 inci ini mengemas resolusi sebesar 18 megapixel (3840 x 4800), sedikit di bawah yang mereka umumkan dulu, tapi setidaknya masih dengan angka kerapatan pixel setinggi 1.443 ppi. Lebih istimewa lagi, refresh rate-nya mencapai 120 Hz, dan sudut pandangnya cukup luas di angka 120 x 96 derajat.

Sebagai acuan, Google bilang bahwa penglihatan manusia bisa mencapai resolusi sebesar 9600 x 9000, dengan kerapatan pixel 2.183 ppi dan sudut pandang seluas 160 x 150 derajat. Prototipe buatan Google dan LG memang belum selevel itu, tapi setidaknya jauh di atas VR headset yang ada sekarang.

Prototipe panel OLED 4,3 inci beresolusi 18 megapixel yang dikembangkan Google dan LG / Wiley Online Library
Prototipe panel OLED 4,3 inci beresolusi 18 megapixel yang dikembangkan Google dan LG / Wiley Online Library

Contoh yang ada sekarang adalah HTC Vive Pro, yang masih gres dan menjanjikan kualitas display lebih superior ketimbang Vive orisinil. Display perangkat itu terdiri dari dua panel OLED 3,5 inci, masing-masing beresolusi 1440 x 1600 pixel (615 ppi). Refresh rate-nya pun cuma 90 Hz, dan sudut pandangnya tidak lebih dari 110 derajat.

Kendalanya, setidaknya untuk sekarang, adalah keterbatasan performa chipset perangkat mobile, di mana display yang terdiri dari dua panel 18 megapixel ini hanya bisa berjalan di refresh rate 75 Hz. Singkat cerita, display ini masih belum ideal untuk mobile VR headset, dan itulah mengapa Google dan LG masih enggan berbicara mengenai ketersediaannya.

Sumber: The Verge.