Pantomime Bug Farm Ialah Game VR yang Tak Membutuhkan VR Headset

Virtual reality yang kita kenal selama ini membutuhkan sebuah perangkat headset khusus untuk bisa menjelajah dunia virtual di dalamnya. Bisa dari yang sesederhana Google Cardboard, sampai yang amat canggih macam Oculus Rift, intinya semua perangkat tersebut merupakan ‘jembatan’ antara kita dan dunia virtual.

Namun bagi sebagian orang, virtual reality mungkin masih terdengar amat asing. Maka dari itu, dibutuhkan cara maupun sarana yang lebih mudah untuk memperkenalkan konsep dunia virtual kepada orang-orang tersebut. Itulah misi yang dituju sebuah startup bernama Pantomime, mereka ingin menyajikan nuansa immersive khas VR tanpa harus mengandalkan headset khusus sama sekali.

Buah pemikirannya adalah Pantomime Bug Farm, semacam mini game dimana pengguna bisa berinteraksi langsung dengan dunia virtual menggunakan iPhone, iPad maupun Mac. Tidak ada VR headset yang dilibatkan di sini, Pantomime memadukan kecanggihan augmented reality dan virtual reality untuk memberikan pengalaman baru bagi para pengguna perangkat mobile.

Pantomime Bug Farm

Dalam Bug Farm, pengguna memakai iPad-nya sebagai jendela ke dunia virtual. Saat iPad Anda gerakkan ke arah lain, pemandangan yang tampak pun juga berbeda. Anda bahkan bisa menggerus serangga-serangga yang tampak menggunakan iPad Anda. Pada dasarnya, teknologi rancangan Pantomime ini akan mengubah smartphone dan tablet menjadi semacam controller Nintendo Wii.

Lebih hebat lagi, Pantomime sengaja merancang Bug Farm – dan gamegame lain di masa yang akan datang – untuk bisa diakses oleh beberapa orang sekaligus. Anda bisa melihat tablet milik pengguna lain di layar tablet Anda, jadi seakan-akan apa yang ada di balik layar tersebut merupakan suatu dunia virtual yang bisa dieksplorasi.

Pantomime Bug Farm

Apa yang diciptakan Pantomime ini memang tidak bisa disebut sebagai virtual reality yang sebenarnya karena tidak benar-benar memberikan nuansa immersive layaknya sebuah VR headset. Tapi memang itu bukan tujuan utama Pantomime. Mereka beranggapan bahwa kreasinya ini bisa menjadi sarana perkenalan sebelum pengguna awam akhirnya tertarik untuk mendapatkan pengalaman yang lebih sempurna dengan membeli sebuah VR headset.

Kalau Anda tertarik mencoba, Pantomime Bug Farm sudah bisa diunduh secara cuma-cuma lewat App Store maupun Mac App Store. Tonton juga video demonstrasinya di bawah ini untuk mendapat gambaran lebih lengkap mengenai fitur-fitur yang ditawarkan Pantomime.

Sumber: Pantomime via VentureBeat.

Megadeth Bakal Luncurkan Album Baru dengan ‘Bumbu’ Virtual Reality

Virtual reality (VR) sedang di atas angin. Semua pihak ingin memanfaatkannya sebagai media distribusi konten yang menawarkan pengalaman yang benar-benar baru, termasuk halnya band metal kenamaan asal Amerika, Megadeth.

Yup, dalam album ke-15 Megadeth nanti yang berjudul Dystopia, para fans bakal disuguhi semacam konser mini yang bisa dinikmati menggunakan VR headset. Megadeth berkolaborasi dengan perusahaan VR Next Galaxy Corp. guna menciptakan sebuah dunia virtual yang dapat dieksplorasi.

Band yang dikenal akan lagu Symphony of Destruction ini nantinya akan menawarkan album Dystopia dalam paket khusus yang mencakup sebuah VR headset berbasis Google Cardboard, kompatibel dengan perangkat Android maupun iOS. Sebuah kode unik yang termasuk dalam paket pembelian nantinya bisa dipakai untuk mengakses konser virtual tersebut.

Dystopia sendiri mencakup 11 lagu, dan 5 di antaranya akan disajikan dalam wujud konser virtual tersebut, dengan setting kota dystopia seperti yang bisa Anda lihat dalam video salah satu lagunya di bawah. Kelima lagu tersebut adalah Fatal Illusion, The Threat Is Real, Dystopia, Poisonous Shadows dan Post American World.

Buat yang sudah tidak sabar melihat aksi Dave Mustaine dkk dalam virtual reality, Anda bisa melakukan pre-order Dystopia Deluxe Edition melalui situs resmi Megadeth atau Amazon. Album Dystopia sendiri baru akan dirilis pada tanggal 22 Januari 2016.

Sumber: Digital Trends.

Bocoran Gambar Perlihatkan Wujud Versi Konsumen HTC Vive dan Unit Controller?

Sayang sekali HTC dan Valve terpaksa menunda peluncuran head-mounted display Vive dari 2015 ke tahun 2016. Jika tidak, ia akan mengungguli Oculus Rift dalam hal ketersediaan, apalagi banyak developer serta tester mengakui sejumlah kecanggihan Vive dibanding rival besarnya itu. Wujud development kit Vive memang sudah diperlihatkan, tapi bagaimana dengan versi konsumennya?

Sekali lagi kita harus berterimakasih pada para pengguna Reddit. Para user di sana saling sharing dua buah gambar yang memperlihatkan revisi rancangan HTC Vive. Mereka ‘memungutnya’ dari kebocoran di website HTC sebelumnya. Gambar-gambar tersebut menunjukkan foto headset serta sepasang unit controller. Melihat lebih detail, ilustrasi boleh jadi dimaksudkan sebagai bagian dari profile produk atau iklan.

HTC Vive DK2 01

User bernama Heaney555 bilang bahwa foto kemungkinan merupakan versi development kit 2 (varian developer generasi pertama sudah didistribusikan berbulan-bulan silam) atau malah penampakan unit retail. Bentuknya tidak banyak berbeda dibanding tipe terdahulu, masih ada lingkaran-lingkaran cekung berisi tracker mememuhi bagian luar head-mounted display, tapi HTC membuatnya tidak lagi terlalu menonjol.

Ketika unit DK1 memiliki dua kamera di depan, model baru ini cuma mengusung sebuah kamera. HTC juga menurunkan posisinya. Tak ada lagi kabel mencuat dari strap atas ke display. Logo HTC turut dihilangkan, dan dimunculkan di pangkal strap. Meskipun foto hanya menunjukkan Vive dari sisi depan saja, saya melihat tampaknya headband telah dilengkapi lapisan bantalan supaya lebih nyaman dikenakan.

HTC Vive DK2 02

Beralih ke controller, unit ini jauh lebih representatif dan matang ketimbang tipe purwarupanya. Dahulu, periferal terdiri dari gagang dan pelat sensor berbentuk segi enam. Sekarang desainnya jauh lebih ergonomis, mengikuti kontur tangan. Bagian pelatnya melingkar (posisi sensor ditandai dengan lingkaran-lingkaran kecil), terdapat tombol trigger di balik pad, ditambah sepasang tombol di sisi atas, dan satu tombol lagi di samping.

Engadget juga melaporkan bahwa HTC dan Valve mengumumkan mereka baru saja membuat sebuah terobosan besar dalam sistem virtual reality. Begitu signifikannya, kedua perusahaan memutuskan untuk mengambil lebih banyak waktu buat menyempurnakan sistem tersebut meskipun memberi dampak pada dimundurkannya jadwal rilis dari agenda awal.

CEO Cher Wang tidak menjelaskan lebih rinci seperti apa terobosannya, namun inovasi tersebut kabarnya akan dipamerkan di ajang Consumer Electronics Show 2016.

Via PC Gamer. Sumber: dua sub-Reddit.

VirZoom Adalah Sepeda Fitness Sekaligus Controller Game Virtual Reality

Saat Nintendo merilis Wii, pandangan orang-orang terhadap video game berubah drastis. Tadinya mereka berpendapat bahwa para gamer adalah orang-orang yang malas dan tidak pernah beraktivitas fisik, Wii menunjukkan bahwa kita masih bisa menjaga kebugaran tubuh selagi bermain video game.

Kombinasi olahraga dan game sudah bukan hal yang unik lagi dewasa ini, apalagi melihat adanya perangkat macam Microsoft Kinect maupun PlayStation Move. Akan tetapi sebuah startup asal Amerika ingin membawanya ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu virtual reality alias VR.

Mereka memperkenalkan VirZoom. Perangkat ini sepintas terlihat seperti sepeda fitness yang biasa kita jumpai di gym, akan tetapi di saat yang sama ia juga merangkap tugas sebagai controller game VR. VirZoom kompatibel dengan Oculus Rift, PlayStation VR dan HTC Vive.

VirZoom

Pada bagian setangnya, terdapat sejumlah tombol dengan layout yang menyerupai controller milik Xbox. Tapi bukan itu senjata utama VirZoom, melainkan sederet sensor yang dapat mengenali gerakan dan kecepatan. Dengan kata lain, Anda harus menggenjot sepasang pedalnya untuk menggerakkan karakter di dalam game.

Jadi semakin cepat Anda mengayuh pedal, semakin cepat pula gerakan Anda di dalam game. Sejauh ini VirZoom sudah punya lima game yang kompatibel. Di dalam gamegame tersebut, Anda harus mengayuh pedal untuk mengemudikan mobil balap di sirkuit, menunggang kuda sampai mengumpulkan koin selagi berada di atas seekor pegasus.

VirZoom Game - Stampede!

Pihak pengembangnya mengungkapkan bahwa developer bisa merancang game untuk VirZoom dengan memakai engine Unity. Syaratnya cuma satu, yakni gerakan karakter harus dikontrol dengan cara mengayuh pedal, sehingga pada akhirnya tujuan mulia untuk membugarkan tubuh para gamer pun bisa tercapai.

Di saat yang sama, VirZoom rupanya juga menawarkan layanan berlangganan seharga $10 per bulan. Layanan ini akan memberikan akses ke mode multiplayer maupun update, plus data-data fitness macam laju jantung, jumlah kalori yang terbakar, dan sebagainya. Dengan demikian, keringat yang terkucurkan pun tidak bakal sia-sia begitu saja.

Mengingat ketiga VR headset di atas baru akan dirilis tahun depan, VirZoom pun juga baru akan dipasarkan pada babak pertama tahun 2016 seharga $250. Mereka juga membuka pre-order untuk 300 pembeli pertama yang berhak mendapat potongan senilai $50 dan bonus layanan berlangganan selama sebulan pertama.

Sumber: TechTimes.

Kamera Ini Hanya Sebesar Bola Biliar, Tapi Bisa Merekam Video 360 Derajat

Kamera 360 derajat tidak selamanya ditujukan buat kaum profesional. Perangkat semacam ini memang bertanggung jawab atas ekosistem konten virtual reality (VR), akan tetapi konsumen umum seperti kita pun juga berhak memberikan kontribusi.

Maka dari itulah produk seperti Ricoh Theta dan Kodak PixPro SP360 lahir ke dunia. Keduanya merupakan kamera 360 derajat yang diciptakan buat publik, memiliki wujud yang ringkas dan cara pengoperasian yang begitu mudah. Dua aspek ini adalah kunci saat kita berbicara soal produk kelas konsumen.

Sebuah startup asal Taiwan bernama Memora tampaknya juga tak ingin ketinggalan kesempatan dalam memulai tren kamera 360 derajat ini. Lewat situs crowdfunding Indiegogo, mereka memperkenalkan Luna 360 Camera. Apa istimewanya? Well, ia diklaim sebagai kamera 360 derajat terkecil sejagat.

luna-360-camera-02

Luna benar-benar memenuhi aspek yang pertama yaitu portabilitas. Ia berwujud bola dengan diameter 6 cm dan bobot 170 gram, tidak lebih besar dari bola biliar. Melihat bentuknya, saya teringat dengan Polaroid Cube. Hanya saja kalau Cube merupakan action cam berwujud kubus, Luna merupakan kamera 360 derajat berwujud bola.

Meski berfisik kecil, Luna sepertinya punya daya tahan yang cukup baik. Case-nya terbuat dari aluminium, dan ia siap Anda cemplungkan ke dalam air karena ia telah mengemas sertifikasi IP68. Sisi bawahnya merupakan magnet, sehingga ia bisa Anda tancapkan ke permukaan apapun yang berbahan logam – sekaligus pada dock-nya untuk keperluan charging dan transfer data.

Anda pun juga bisa memindah foto dan video melalui Wi-Fi. Pengguna juga dapat memanfaatkan smartphone atau tablet-nya (Android dan iOS) sebagai viewfinder dari Luna.

Jeroan Luna terdiri dari sepasang sensor 5 megapixel identik yang ditemani oleh lensa f/1.8, masing-masing dengan sudut pandang 190 derajat. Video yang ditangkap memiliki resolusi 1920 x 960 pixel, dan akan disimpan ke dalam storage berkapasitas 32 GB miliknya. Baterainya diperkirakan bisa bertahan selama 40 menit penggunaan.

luna-360-camera-03

Terkait aspek kunci yang kedua, yaitu kemudahan pengoperasian, di sini Luna pun turut bersinar. Ia hanya memiliki satu tombol pada sisi atasnya. Tekan dan tahan tombol itu selama tiga detik untuk menyalakan kamera, tekan satu kali untuk mengambil foto 360 derajat, dan tekan dua kali untuk memulai perekaman video 360 derajat. Selama perekaman berlangsung, gyroscope milik Luna akan berusaha menstabilkan video semaksimal mungkin.

Untuk sekarang, Luna 360 Camera bisa dipesan lewat Indiegogo seharga $299. Pihak pengembangnya juga menawarkan paket aksesori yang bisa dibeli secara terpisah, yang mencakup monopod, gantungan kunci dan power dock.

Aplikasi Cardboard Camera Ubah Smartphone Anda Jadi Kamera VR

Virtual reality (VR) telah terbukti sanggup memberikan pengalaman baru dalam mengonsumsi konten multimedia. Hal itu juga didukung oleh keberadaan perangkat seperti Google Cardboard yang pada dasarnya bisa dinikmati semua orang karena harganya yang amat terjangkau.

Kendati demikian, kita tak bisa mengelakkan fakta bahwa VR masih dalam tahap awal, yang berarti ekosistem kontennya masih perlu diperluas. Untuk itu, Google punya ide yang cukup menarik, yaitu mempersilakan kita sebagai pengguna untuk menciptakan konten VR sendiri dengan mudah.

Ide tersebut disampaikan dalam bentuk aplikasi bernama Cardboard Camera. Aplikasi ini sejatinya dapat mengubah smartphone Android kita masing-masing menjadi sebuah kamera VR. Dengan demikian, semua momen-momen pribadi yang kita alami bisa dinikmati dalam wujud virtual reality.

Aplikasi ini pada dasarnya akan meminta Anda untuk mengambil foto selagi bergerak memutar. Hasilnya tentu saja adalah foto panorama 360 derajat, akan tetapi bukan sekedar foto biasa. Cardboard Camera menerapkan trik khusus yang membuat foto panorama tersebut punya efek tiga dimensi.

Google Cardboard Camera App

Jadi ketika smartphone kita selipkan ke dalam Google Cardboard, foto yang kita ambil tadi akan tampak agak berbeda di mata kiri dan kanan; efek kedalaman membuat objek yang dekat terlihat dekat, dan yang jauh tampak jauh.

Lebih lanjut, pengguna juga bisa merekam suara di sekitar selagi mengambil foto panorama 3D tadi. Hasilnya, Anda bisa ‘menjelajahi’ foto dari segala sudut selagi mendengarkan suara di sekitar yang terjadi pada saat itu juga.

Kalau Anda sudah punya Google Cardboard dan memakai smartphone Android, silakan unduh aplikasi Cardboard Camera langsung dari Google Play.

Sumber: Google Blog.

Samsung Luncurkan Browser Khusus untuk Gear VR

Teknologi virtual reality (VR) perlahan mulai memasuki kategori mainstream dengan adanya perangkat seperti Samsung Gear VR dan Google Cardboard. Pun begitu, ekosistem kontennya masih dirasa kurang begitu oke, paling tidak menurut Samsung. Apa sebenarnya yang kurang? Jawabannya adalah browser yang punya tampilan dan cara bernavigasi optimal untuk VR.

Itulah inisiatif baru yang coba ditawarkan oleh sang raksasa teknologi asal Korea Selatan tersebut. Mereka baru saja meluncurkan Samsung Internet for Gear VR, sebuah web browser yang dioptimalkan untuk, well, untuk Gear VR.

Melalui browser ini, pengguna Gear VR pada dasarnya bisa menikmati beragam konten di web secara lebih immersive. Browser ini membawa dukungan penuh atas video 3D, video 360 derajat maupun video HTML5 yang tersebar luas di internet. Semuanya bisa dinikmati secara langsung tanpa harus mengunduh konten terlebih dulu ke smartphone.

Samsung Internet for Gear VR

Karena tak lagi mengandalkan sentuhan, navigasi di VR headset pun harus dilakukan dengan cara yang berbeda. Samsung paham akan diperlukannya mode navigasi baru tersebut, sehingga mereka menyematkan fitur input suara ke browser VR ini.

Lebih lanjut, browser ini juga menawarkan fitur Gaze Mode, dimana pengguna bisa mengaktifkan berbagai menu hanya dengan melirik ke sana-sini, tanpa mengandalkan jarinya sama sekali. Agar semuanya berjalan mulus, fitur untuk meng-import bookmark turut dihadirkan sehingga pengalamannya bisa terasa familiar.

Samsung Internet for Gear VR akan hadir dalam versi beta mulai tanggal 2 Desember mendatang. Perangkat yang didukung mencakup Samsung Galaxy S6, S6 Edge, S6 Edge+, Note 4 dan Note 5 – tentu saja harus disertai headset Gear VR.

Sumber: Samsung.

Tech Forward Conference Singkap Potensi IoT di Ranah VR, AR, dan Robotik

Ada fakta-fakta menarik seputar Internet of Things. 87 persen penduduk planet Bumi sama sekali belum pernah mendengar istilah tersebut, padahal mesin ATM masuk dalam kategori IoT dan mulai dimanfaatkan sejak 1974. Lalu di 2008, perangkat yang tehubung ke internet sudah melewati total populasi manusia. Dan sekarang terhitung ada 4,9 miliar objek telah ‘saling terhubung’.

Angka-angka di atas memang fantastis, dan sebagai upaya menyibak potensi Internet of Things, tema tersebut diangkat di acara Tech Forward Conference 2015. Sederhananya, IoT ialah jaringan objek elektronik yang mampu mengumpulkan dan bertukar data. Ia membuka jalan bagi bermacam-macam ranah, dari wearable, agrikultur, produksi, hingga smart city serta smart home. Dan di artikel ini, saya akan fokus pada robotik, augmented reality serta VR.

Tech Forward Conference 2015 01

Mengapa drone boleh dibilang merupakan bagian dari IoT? Jawabannya bisa kita lihat dari tren penggunaan unmanned aerial vehicle di lini foto dan videography. Di sesi presentasinya, Gatot Budiman dan Dony Riyanto menuturkan bagaimana drone adalah masa depan Internet of Things. Alasannya karena mereka tidak statis, ‘deployable‘, fleksibel dalam membawa beban, dapat diprogram untuk misi berbeda, dan tidak ada kriteria desain.

Tech Forward Conference 2015 03

Drone terdiri dari sejumlah komponen yang menjadikannya device IoT, misalnya sistem komunikasi, software, GPS, sensor, kamera dan lain-lain. Di segi komersial, umur adopsinya tergolong sangat muda dan menjanjikan. Para narasumber bilang, salah satu alasan mengapa drone naik daun ialah, tak seperti dunia penerbangan, ia tidak menuntut standard terlalu tinggi. Anda cukup membutuhkan keseriusan buat mempelajarinya. Buktinya, ahli aerial imaging UAV Gatot Budiman turut berprofesi sebagai guru seni rupa.

Tech Forward Conference 2015 10

Naik ke jenjang yang lebih umum, Internet of Things membuat robot jadi lebih merakyat dan dapat diaplikasikan ke fungsi edukasi. Founder Saft7 Robotics Firmansyah Saftari mengatakan, bermacam-macam opsi kit microcontroller sangat memudahkan khalayak berkecimpung di dunia robotik. Ia sempat memamerkan dua desain di Saft7, yaitu Arm Robot, robot berbentuk lengan; dan Alien Robot, mempunyai empat kaki dan berbentuk mirip laba-laba.

Tech Forward Conference 2015 09

Dan ternyata, Firmansyah bukan cuma mahir di bidang robot. Ia juga menaruh minat di produksi video 360 dan virtual reality. Video 360 merupakan jenis rekaman yang menampilkan adegan spherical atau melingkar, di mana kamera merekam ruangan dari segala sudut. Ketertarikan ini Firmansyah tuangkan dengan merancang swivel mount untuk camera action sejenis GoPro, dan menjualnya secara komersial.

Tech Forward Conference 2015 06

Berbicara soal VR, tentu kita harus mendengar penjelasan langsung dari mereka yang berkecimpung langsung dalam industri. Tim pelaksana Tech Forward Conference 2015 tak lupa mengundang Fabien Feintrenie selaku CEO dan co-founder Noodles LLC, tim special effect dan digital arts – turut mengerjakan film animasi seperti komedi horor Rubber, Wrong, Reality dan Wrong Cops. Noodles juga fokus pada pembuatan konten virtual reality, sempat mengajak peserta konferensi buat menjajal karya mereka via Oculus Rift DK2.

Tech Forward Conference 2015 07

Kepada Feintrenie, saya bertanya mengenai teknologi VR apa yang paling dinanti oleh Noodles. Dalam perspektif produsen konten, ia memerlukan model kamera 360 model terbaru dengan kapabilitas ‘mendeteksi cahaya tertentu’, kabarnya baru dirilis tahun depan (sekali lagi memperlihatkan bagaimana device dan tema Internet of Things saling terkoneksi, meskipun tidak secara langsung).

Tech Forward Conference 2015 04

Di ranah augmented reality, Octagon Studio asal Bandung memberikan presentasi mengenai metode Internet of Things mengubah cara manusia berinteraksi dengan informasi digital. Contoh kreasi mereka yang sudah dirilis ke publik adalah kartu-kartu AR interaktif, dikombinasikan bersama aplikasi mobile.

Tech Forward Conference 2015 05

Buat sekarang, implementasinya memang lebih ditujukan untuk edukasi multimedia, dan dirancang agar kompatibel ke perangkat-perangkat kelas entry-level sampai level menengah. Namun demikian, Lukman Hakim selaku technical manager Octagon sempat menyatakan pada saya bahwa mereka sedang mengembangkan konsep hiburan augmented reality yang lebih ambisius, dan juga telah lama melirik VR.

Laju pertumbuhan Internet of Things tidak bisa dibendung, dan apa yang Anda saksikan saat ini hanyalah permulaan. Analis memperkirakan, lima tahun lagi, akan ada 50 miliar device elektronik saling tersambung satu sama lainnya.

Nvidia dan Stanford Berkolaborasi Demi Atasi Masalah Terbesar di Virtual Reality

Sudahkah Anda menjajal headset VR? Menurut Anda, apa kendala terbesar yang masih menghadang teknologi ini untuk bisa diterima sebagai platform hiburan mainstream oleh konsumen? Bagi banyak orang, device virtual reality masih tidak nyaman, menyebabkan mereka merasa mual. Nvidia menyadari hal ini, dan memutuskan buat mengambil langkah konkret demi mengatasinya.

Sang perusahaan spesialis bidang grafis pimpinan Jen-Hsun Huang itu dilaporkan menggandeng Stanford University untuk masuk ke ranah virtual reality. Misi mereka adalah menyingkirkan problem motion sickness dan fokus yang masih menodai head-mounted display, melalui sebuah teknik bernama light field stereoscope. Kabarnya teknologi ini terbilang futuristis, baru bisa diimplementasikan ke headset VR dalam tiga sampai lima tahun lagi.

Dikutip dari Fortune, senior director of research Nvidia David P. Luebke, Ph.D. sempat memberikan pernyataan, “Hampir semua setup VR terasa tidak nyaman ketika perangkat berada di jangkauan tangan karena faktor kedalaman stereo dan akomodasi mata. Hal ini disebabkan konflik vergence-accommodation [gerakan refleks kedua mata ke arah berlawanan untuk mendapatkan visi binokular], di mana lensa harus berubah supaya penglihatan jadi fokus.”

Nvidia Stanford VR 02

Menurut kedua tim, jawaban masalah itu ialah light field stereoscope, sedang dikembangkan Universitas Stanford. Mereka menjanjikan pengalaman visual yang lebih natural dan kaya dibanding headset konvensional. Gordon Wetzstein selaku asisten profesor di Departemen Teknik Elektrik menjelaskan bahwa teknologi ini berpotensi besar mengurangi kelelahan pada mata, rasa mual, meningkatkan aspek kenyamanan secara umum.

Light field stereoscope memanfaatkan dua lapis display, dengan panel LCD yang dipisahkan sejauh 5-milimeter di satu headset. Kemudian perangkat garapan Nvidia dan Stanford mengirimkan medan cahaya 4D dari gambar-gambar tersebut, sehingga tiap bola mata dapat menyebarluaskan/beralih fokus antara objek dekat dan jauh. Unit prototype turut dibekali fitur head-tracking, dan user bisa melihat tangan mereka di alam VR.

Wetzstein tampak optimis melihat masa depan virtual reality. Pelan-pelan, produsen dan peneliti mulai membereskan hambatan seperti mengusung display beresolusi tinggi, menggunakan field of view yang luas, serta mengadopsi teknologi tracking rendah latency. Ia yakin kolaborasi Nvidia dan Stanford akan memberi dampak besar terhadap produk VR kelas konsumen di masa depan.

Buat sekarang, cuma tim Stanford dan Nvidia yang mengetahui seperti apa wujud headset tersebut.

Via Gamasutra.

Casing iPhone Ini Bisa Berubah Jadi VR Headset

Satu hal yang kita tahu pasti dari VR headset adalah, perangkat itu tidak bisa disimpan di dalam kantong. Bahkan yang dikategorikan portable seperti Samsung Gear VR atau Google Cardboard pun masih mustahil dijejalkan ke dalam kantong tanpa merusak wujudnya.

Berbeda dengan Figment VR. Perangkat yang sedang menjalani kampanye di Kickstarter ini bisa dengan mudah Anda selipkan dalam saku celana. Pasalnya, ia sebenarnya merupakan sebuah casing untuk iPhone – mulai dari iPhone 6 sampai iPhone 6S Plus – tapi punya kemampuan untuk berubah jadi VR headset.

Figment VR

Jadi, Figment VR secara garis besar tidak berbeda dari casing iPhone pada umumnya. Hanya saja, dengan menekan sebuah tombol, bagian belakangnya akan berputar dan berpindah ke depan. Bagian ini adalah sepasang lensa yang akan mengubah tampilan di layar menjadi tampilan virtual reality.

Saat sedang tidak dibutuhkan, pengguna tinggal melipat bagian lensa tersebut kembali ke sisi belakang iPhone. Pihak pengembang Figment VR memanfaatkan material-material yang tahan banting, mulai dari polycarbonate sebagai rangkanya sampai aluminium sebagai penghubung antara lensa dan casing. Semuanya dikemas dengan bobot tak lebih dari 57 gram.

Figment VR

Soal konten, Figment VR dirancang agar kompatibel dengan seluruh konten yang dibuat untuk Google Cardboard. Jadi pada dasarnya pengguna tak perlu khawatir bakal kehabisan konten, apalagi YouTube sekarang sudah mendukung mode virtual reality secara penuh.

Sejauh ini prototipe Figment VR sudah siap, namun pihak pengembangnya masih memerlukan modal ekstra untuk memulai tahap produksi massal. Satu unitnya ditawarkan seharga $49 di Kickstarter. Kalau proyeknya terbukti berhasil, barulah sang pengembang berniat menggarap Figment VR untuk smartphone Android.