Esports Tourism: Bagaimana Game dan Esports Bisa Memajukan Pariwisata

Valve menyediakan 26,8 ribu tiket untuk The International 2019. Dan tiket tersebut terjual habis dalam waktu kurang dari satu menit. Hal ini menunjukkan, walau kompetisi esports bisa ditonton melalui platform streaming secara gratis, sebagian fans tetap punya minat tinggi untuk menonton kompetisi esports secara langsung. Pemerintah Indonesia melihat fenomena ini sebagai kesempatan untuk memulihkan sektor pariwisata, yang terpuruk karena pandemi COVID-19. Karena itulah, mereka hendak menggenjot sports tourism.

Apa Itu Sports Tourism dan Apa yang Sudah Pemerintah Lakukan?

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengartikan sports tourism sebagai kegiatan wisata yang digabung dengan olahraga. Sementara United Nation World Tourism Organization (UNWTO) mengatakan, ada kaitan erat antara olahraga dengan industri pariwisata. Karena, keduanya bisa mendorong jutaan orang untuk berpergian, baik untuk mengunjungi sebuah atraksi wisata atau untuk menonton kompetisi olahraga. UNWTO bahkan menyebutkan, sports tourism merupakan salah satu sektor pariwisata dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi.

Di Indonesia, Kemenparekraf mengungkap, potensi nilai sektor sports tourism mencapai Rp18.790 triliun. Sejak lama, Indonesia memang punya beberapa kegiatan olahraga yang menjadi atraksi wisata, seperti lompat batu di Nias. Sekarang, pemerintah ingin mendorong sports tourism untuk menghidupkan kembali industri pariwisata.

Salah satu ajang olahraga tingkat dunia yang digelar di Indonesia belum lama ini adalah World Superbike. Kompetisi balap motor itu diadakan di Mandalika International Street Circuit. Menurut Direktur Operasi & Inovasi Bisnis, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), Arie Prasetyo, keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan balapan tingkat dunia di sirkuit Mandalika bisa mencapai Rp500 miliar. Keuntungan itu didapat dari penjualan tiket, merchandise, reservasi hotel, serta kuliner.

“Kami melakukan studi bahwa dampak pelaksanaan event itu membawa pertumbuhan ekonomi hingga Rp500 miliar di setiap gelaran event. Dari pembelian tiket, belanja, hotel, membeli merchandise, makan minuman, dan sebagainya,” kata Arie, dikutip dari Medcom.id.

Selain itu, pemerintah juga menggelar babak final dari Piala Presiden Esports (PPE) 2021 di Bali. Harapannya, hal ini akan meningkatkan jumlah wisatawan yang pergi ke Bali. Setidaknya, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Baparekraf, Rizki Handayani Mustafa mengatakan, Bali akan dikunjungi oleh pemain, penyelenggara, dan penonton dari PPE 2021.

Perempuan yang akrab dengan panggilan Kiki itu mengatakan, memang, biasanya, pihak penyelenggara atau atlet akan langsung pulang setelah acara berakhir. Namun, pemerintah bisa bekerja sama dengan biro perjalanan untuk menyediakan paket perjalanan yang membuat para pengunjung tinggal di Bali lebih lama. Hal ini diharapkan akan meningkatkan konsumsi layanan pariwisata, seperti hotel dan kuliner.

Cokorda Raka Satrya Wibawa, Kepala Seksi Peningkatan Prestasi Olahraga, Pemerintah Provinsi Bali bercerita, dampak pandemi pada sektor pariwisata di Bali memang luar biasa. Sekitar 90% industri pariwisata di Bali terkena dampak pandemi, yang membuat kegiatan pariwisata menjadi jauh berkurang. Dengan adanya acara olahraga — termasuk Piala Presiden Esports — dia berharap, industri pariwisata di Bali akan bisa hidup kembali.

Sementara itu, Mamit Hussein, Assistant Vice President of Business Innovation, Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) merasa, esports punya potensi untuk menjadi bagian dari sports tourism. Pasalnya, jumlah penonton esports saat ini sudah mencapai ratusan juta orang. Dan angka itu masih akan terus naik. Di dunia, jumlah penonton esports diperkirakan mencapai 472 juta orang. Sementara di Asia Tenggara, Niko Partners memperkirakan, jumlah penonton esports mencapai sekitar 100 juta orang.

Pemerintah memang menggelar babak final PPE 2021 di Bali dengan tujuan untuk membuat industri pariwisata kembali bergeliat. Namun, Sekretaris Jenderal Piala Presiden Esports 2021, Matthew Airlangga memastikan bahwa mereka akan tetap menekankan protokol kesehatan. Dia menyebutkan, sistem bubble akan digunakan selama PPE 2021 berlangsung.

“Sampai pertandingan selesai, kami juga akan memastikan bahwa atlet dan semua pihak yang terlibat sudah mendapatkan vaksin,” ujar Matthew. “Sebagi bagian dari sistem bubble, kami juga akan mengadakan rapid test berkala secara rutin di semua lokasi. Semua pihak yang sudah masuk ke lokasi tidak akan bisa keluar-masuk sampai pertandingan berakhir.”

Potensi Pemasukan dari Esports/Game Tourism

Kompetisi olahraga — dalam kasus ini, turnamen esports — terbukti bisa mengundang wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Pertanyaannya, berapa besar dampak ekonomi yang didapat oleh sebuah kota jika ia menjadi tuan rumah dari kompetisi esports?

Menurut data dari agensi media dan esports Big Block, turnamen Rainbow Six, Major Raleigh, memberikan dampak ekonomi langsung sebesar US$1,45 juta (sekitar Rp20,9 miliar) ke Raleigh, ibukota dari negara bagian North Carolina di Amerika Serikat. Dari segi jumlah wisatawan, Major Raleigh berhasil mendatangkan sekitar 2,6 ribu orang per hari. Sekitar 70% dari seluruh pengunjung berasal dari luar North Carolina atau bahkan dari luar Amerika Serikat. Padahal, turnamen Major Raleigh hanya diadakan secara offline selama 3 hari, yaitu 16-18 Agustus 2019 di Raleigh Convention Center.

Data tentang pengaruh dari Raleigh Major. | Sumber: The Esports Observer

Mari kita mengambil contoh lain. League of Legends European Championship (LEC) Finals diadakan di Rotterdam, Belanda pada Juli 2019. Walau hanya diadakan selama 2 hari, LEC Finals berhasil memberikan kontribusi sebesar EUR2,4 juta (sekitar Rp38,8 miliar) ke ekonomi lokal Rotterdam, menurut Riot Games. Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Riot, sebanyak 87,13% dari pengunjung yang datang untuk menonton LEC merupakan pengunjung dari luar Rotterdam. Setiap harinya, para pengunjung menghabiskan biaya rata-rata sekitar EUR52,6 (sekitar Rp850 ribu).

Semakin besar sebuah turnamen esports, semakin besar pula dampak ekonomi yang ia berikan. Ketika The International 8 digelar di Rogers Arena, Vancouver, Kanada selama 6 hari, kompetisi itu memberikan dampak ekonomi langsung sebesar CA$7,8 juta (sekitar Rp87 miliar), menurut perkiraan dari Tourism Vancouver. Penjualan tiket menjadi salah satu sumber pemasukan dari TI8. Untuk hari kerja, harga tiket dari TI8 diharga CA$75 (sekitar Rp837 ribu). Sementara tiket untuk menonton babak final di akhir pekan diharga CA$280 (sekitar Rp3,1 juta).

Jeff Lockwood, Assistant Manager, The Pint, salah satu bar yang terletak tidak jauh dari Rogers Arena mengatakan bahwa pihak event organizers sempat menghubungi The Pint untuk menyewa bar tersebut selama satu minggu. Pada akhirnya, keduanya setuju untuk menayangkan The International di bar tersebut. Lockwood mengatakan, kedatangan para fans Dota 2 membuat The Pint menjadi lebih sibuk dari biasanya.

“Para fans sangat sopan dan mereka memberikan tip yang besar,” kata Lockwood, seperti dikutip dari Vancouver Sun. “Para pekerja saya sangat senang. Karena lingkungan kerja juga jadi lebih menyenangkan.” Dia tidak menyebutkan berapa besar pemasukan ekstra yang dia dapat dengan kedatangan para fans Dota 2. Namun, dia mengaku, pendapatan The Pint memang “meningkat tajam” selama The International.

The International 8 di Roger Arena, Kanada. | Sumber: Wikipedia

Kompetisi esports besar memang bisa menarik ribuan atau bahkan puluhan ribu wisatawan. Hanya saja, turnamen esports biasanya tidak berlangsung lama. Selain itu, turnamen-turnamen besar seperti The International atau League of Legends World Championship biasanya memilih kota yang beda setiap tahun sebagai tuan rumah. Kabar baiknya, ada cara lain untuk membuat gamers tertarik mengunjungi sebuah kota sebagai turis. Ialah gaming hotel.

Di dunia, ada beberapa hotel yang menjadikan gaming hotel sebagai brand mereka, menargetkan gamers sebagai pelanggan mereka. Salah satunya adalah Arcade Hotel. Hotel yang terletak di Amsterdam, Belanda itu diklaim sebagai gaming hotel pertama. Apa yang membedakan Arcade Hotel dari hotel biasa? Di setiap kamar di Arcade Hotel, Anda akan menemukan berbagai konsol game, mulai dari konsol baru sampai konsol lawas. Tak hanya itu, Arcade Hotel juga menyediakan headset berkualitas dan internet cepat untuk para pengunjung.

Sama seperti hotel lain, Arcade Hotel punya kamar dengan ukuran yang berbeda-beda, mulai dari kamar dengan satu tempat tidur sampai kamar yang menyerupai kamar asrama dan dapat menampung hingga empat orang. Harga Single Room — untuk 1 orang — di Arcade hotel adalah EUR68,4 (sekitar Rp1,1 juta) per malam. Sementara untuk Friends Quad Room — yang bisa menampung hingga 4 orang — dihargai EUR133,2 (sekitar Rp2,2 juta) per malam. Arcade Hotel juga dilengkapi dengan Game Room, yaitu ruangan sebesar 270 kaki persegi yang dilengkapi dengan 6 PC gaming, semua konsol baru, serta bagian khusus untuk virtual reality.

Contoh gaming hotel lainnya adalah I Hotel, yang ada di Taoyuan District, Taiwan. Sama seperti Arcade Hotel, I Hotel juga menyediakan perlengkapan gaming di setiap kamar, berupa dua konsol modern dan dua PC gaming. PC gaming di hotel tersebut menggunakan prosesor i5-7400 dan GPU GTX 1080 Ti. Setiap kamar juga memiliki gaming chair serta TV 46 inci. Lobi dari I Hotel bahkan memiliki gaming arena yang bisa digunakan untuk main bersama.

Bahkan, Hilton Panama juga punya kamar khusus untuk para gamers. Memang, Hilton Panama bukanlah gaming hotel. Namun, hotel itu memiliki gaming room, yang seperti namanya, ditujukan untuk memanjakan para gamers. Kamar bernomor 2425 di Hilton Panama tidak hanya menawarkan pemandangan indah dan layanan mewah, tapi juga berbagai peralatan gaming lengkap. Di kamar itu, Anda akan menemukan TV 4K OLED, PC Alienware dengan prosesor i7-7800 dan GPU GTX 1080 Ti, konsol Xbox One Elite, laptop Alienware yang bisa dihubungkan ke monitor 34 inci, serta kursi gaming.

Gaming room yang ada di Hilton Panama. | Sumber: The Verge

Contoh gaming hotel lainnya adalah Atari Hotel, yang masih dalam tahap pembangunan. Hotel yang didesain oleh perusahaan arsitektur global Gensler itu akan dibuka di Las Vegas, Amerika Serikat, pada 2022. Hotel itu memiliki bentuk menyerupai A yang ada pada logo Atari. Konsep Atari Hotel sendiri datang dari Napoleon Smith III, pengusaha dan juga rekan dari GSD Group. Sebelum hadir dengan konsep Atari Hotel, dia memang dikenal sebagai orang yang senang menghidupkan kembali merek lama, menurut laporan Fast Company.

Smith mengatakan, Atari Hotel akan memiliki desain dengan tema gabungan antara cyberpunk dystopia dan 80s-era low-bit nostalgia. Setiap kamar akan dilengkapi dengan berbagai platform gaming dan banyak game. Kamar di Atari Hotel juga akan memiliki TV berukuran besar serta internet cepat. Smith mengatakan, target market untuk Atari Hotel adalah hardcore gamers serta keluarga.

Taman Bermain dan Kafe Bertema Game

Jika gaming hotel dirasa masih tidak cukup menarik sebagai objek wisata untuk membuat para gamers keluar rumah, taman bermain bisa menjadi opsi alternatif. Banyak gamers yang bermimpi untuk bisa masuk ke dalam dunia game favoritnya. Kabar baik bagi para fans Super Mario, mereka bisa berkunjung ke Super Nintendo World untuk merasakan bagaimana rasanya hidup di dunia Super Mario.

Terletak di Universal Studios Japan, Super Nintendo World memang didesain dengan tema Super Mario. Misalnya, gerbang dari taman bermain itu merupakan pipa hijau yang menyerupai Warp Pipes dalam game Super Mario. Selain itu, pengunjung juga akan menemukan question blocks, yang bisa dipukul untuk mendapatkan koin virtual. Super Nintendo World juga punya berbagai atraksi yang menyerupai gameplay dari game Super Mario, seperti Koopa’s Challenge, yang menyerupai Mario Kart.

Tentu saja, di Super Nintendo World, para pengunjung juga akan menemukan karakter-karakter ikonik dalam Super Mario, seperti Mario, Luigi, dan Princess Peach. Mereka bisa mengambil foto bersama dengan karakter-karakter tersebut. Hanya saja, selama pandemi, pengunjung dilarang untuk menyentuh karakter-karakter itu. Selain itu, selama pandemi, Super Nintendo World juga membatasi jumlah pengunjung yang boleh masuk. Setiap hari, jumlah maksimal pengunjung dari Super Nintendo World adalah 10 ribu orang, setengah dari kapasitas maksimal taman bermain itu.

Keputusan Nintendo untuk membangun Super Nintendo World menunjukkan bahwa mereka ingin mencari cara baru dalam memonetisasi intellectual proprety (IP) mereka, seperti Super Mario.

“Nintendo memiliki strategi untuk mengalihkan bisnis mereka dari bisnis game ke bisnis hiburan. Dan strategi itu bisa memakan waktu puluhan tahun,” kata David Gibson, analis di Astris Advisory, perusahaan asal Tokyo, Jepang, seperti dikutip dari CNN.

Super Nintendo World bisa menghasilkan miliaran rupiah setiap harinya. Di hari kerja, harga tiket masuk dari taman bermain tersebut adalah 7,8 ribu yen atau sekitar Rp980 ribu. Sementara di akhir pekan, harga tiket naik menjadi 8,4 ribu yen atau sekitar Rp1,1 juta. Dengan asumsi jumlah pengunjung hanya mencapai 5 ribu setiap hari — setengah dari kapasitas yang diperbolehkan — maka setiap harinya, Super Mario World bisa mendapatkan sekitar Rp4,9 miliar atau Rp5,5 miliar. Namun, membangun taman bermain itu juga tidak murah. Untuk membangun Super Nintendo World, dibutukan waktu selama 6 tahun dan biaya sebesar US$500 juta (sekitar Rp7,2 triliun).

Sayangnya, tidak semua perusahaan game bisa melakukan apa yang Nintendo lakukan. Untuk membuat dan menyukseskan taman bermain sebesar Super Mario World, sebuah perusahaan tidak hanya harus memiliki dana yang cukup, tapi mereka juga harus memiliki IP yang dikenal oleh banyak orang. Karena itu, sebagian perusahaan game memilih untuk “hanya” membuat kafe bertema game. Dua contohnya adalah Capcom Cafe dan Square Enix Cafe yang terletak di Tokyo, Jepang.

Pada Desember 2019, Capcom Cafe mengadakan kolaborasi dengan Devil May Cry, salah satu franchise game milik Capcom. Bentuk kolaborasi ini adalah Capcom Cafe akan menyediakan menu khusus yang terinspirasi dari game Devil May Cry. Kolaborasi itu diadakan untuk merayakan Devil May Cry 5, yang dirilis pada Maret 2019. Berikut beberapa menu yang menjadi bagian dari kolaborasi Capcom Cafe dan Devil May Cry:

1. Bloody Palace BBQ Plate ~Vergil Mode~ (1,580 yen + pajak)
2. Ciacco’s Pizza Hamburger ~Dante Mode~ (1,580 yen + pajak)
3. V’s Book Chocolate Cake (1,480 yen + pajak)
4. Devil’s Chocolate Parfait ~Nero Mode~ (1,280 yen + pajak)
5. Dante (880 yen + pajak)
6. Nero (880 yen + pajak)

Menu khusus di Capcom Cafe. | Sumber: Siliconera

Di Capcom Cafe, selain makanan yang terinspirasi dari karakter-karakter Devil May Cry, pengunjung juga bisa membeli stirring sticks — yang menampilkan karakter-karakter dalam Devil May Cry — seharga 700 yen jika mereka membeli minuman. Namun, pengunjung tidak bisa memilih karakter yang muncul di stirring sticks yang mereka dapatkan, menurut laporan Siliconera.

Di Indonesia, setahu saya, tidak ada kafe khusus bertema game seperti Capcom Cafe atau Square Enix Cafe. Namun, pada November 2021 lalu, MiHoYo — developer dari Genshin Impact — mengadakan event offline, HoYo Fest, di Jakarta. Bekerja sama dengan Warung Koffie Batavia, MiHoYo membuat kafe yang bertema tiga game mereka: Genshin Impact, Honkai Impact, dan Tear of Themis, seperti yang disebutkan dalam Medcom.id.

Bagi pengunjung yang menghabiskan uang dengan nominal tertentu, mereka akan mendapatkan mystery gift box alias gacha di dunia nyata. Kotak itu berisi artwork, pin, figurine, atau merchandise lainnya. Hanya saja, orang yang mendapatkan kotak itu tidak akan tahu apa yang ada di dalam kotak tersebut sampai mereka membukanya. Selain di Indonesia, MiHoYo juga mengadakan event offline tersebut di beberapa negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia dan Singapura.

Sayangnya, eksekusi HoYo Fest di Indonesia masih kurang maksimal. Menurut laporan Risa Media, sejumlah pengunjung mengajukan protes karena kafe bertema di HoYo Fest dianggap kurang memberikan nuansa game. Dekorasi dalam kafe hanya berupa tempelan karakter dan jejeran merchandise. Tak hanya itu, penyajian makanan juga dianggap kurang memuaskan. Memang, jika Anda membandingkan tampilan pempek yang ada di HoYo Fest dengan menu makanan hasil kolaborasi Capcom dengan Devil May Cry, akan terlihat perbedaan cara penyajian makanan antara keduanya.

Kesimpulan

Dimana ada gula, di situ ada semut. Pepatah ini juga berlaku untuk para fans esports. Dimana ada kompetisi esports besar, para fans pasti akan berkumpul. Tren ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong industri pariwisata. Semakin besar turnamen esports yang diadakan, semakin besar pula massa yang mungkin datang. Hanya saja, semakin besar turnamen esports yang hendak digelar, semakin banyak pula persyaratan yang harus dipenuhi kota tuan rumah.

Sebagai contoh, sebelum pandemi, Valve sempat hendak melelang posisi kota tuan rumah dari The International. Beberapa persyaratan yang mereka ajukan antara lain koneksi internet yang cepat, transportasi umum yang baik, bandara bertaraf internasional, dan stadion dengan kapasitas sebanyak 15 ribu sampai 80 ribu orang.

Selain turnamen esports, gaming hotel atau taman bermain juga bisa menjadi objek wisata yang menarik para gamers. Hanya saja, membangun gaming hotel atau taman bermain seperti Super Nintendo World membutuhkan biaya yang besar. Alternatif yang tersedia adalah membuat kafe bertema game. Memang, kafe bertema game kemungkinan tidak akan menarik pengunjung dari luar negeri. Namun, setidaknya, keberadaan kafe bertema akan bisa membuat gamers lokal tertarik untuk datang dan menghabiskan uangnya.

Satu hal yang harus diingat, pengunjung dari kafe bertema game biasanya sudah tahu bahwa harga makanan dan minuman di kafe itu akan lebih tinggi dari biasanya. Dan mereka bersedia untuk membayar harga tersebut. Sebagai gantinya, mereka ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan selama mereka ada di kafe, baik dari nuansa yang ditampilkan oleh kafe, menu makanan/minuman, sampai gyang ada.

Apakah Game Harus Memiliki Nilai Edukasi?

Banyak orang yang mengisi waktu luangnya dengan bermain game selama pandemi. Selain mengusir kebosanan, game juga punya fungsi lain. Sebagian orang menggunakan game sebagai alat komunikasi dengan teman dan keluarga mereka. Bahkan sebelum pandemi pun, sebagian gamers memang menganggap main bareng sebagai kegiatan sosial. Sayangnya, stigma yang sudah melekat pada game — khususnya di benak para orang tua — tampaknya tidak bisa luntur begitu saja. Padahal, orang tua bisa berperan aktif dalam membentuk kebiasaaan bermain buah hati mereka.

Sebagian orang merasa, game seharusnya punya fungsi lain selain sebagai media hiburan, seperti mengajarkan nilai budi pekerti pada para pemainnya. Padahal, jika Anda memperhatikan game-game populer, kebanyakan — jika tidak semua — akan memprioritaskan gameplay yang menyenangkan. Pertanyaannya, apa game harus selalu punya fungsi lain selain sebagai media hiburan? Dan jika game digunakan sebagai alat edukasi, apakah hal itu akan efektif?

Definisi Game dan Game Edukasi

Topik game memiliki cakupan yang sangat luas. Bahkan jika kita memperkecil topik pembahasan menjadi video game secara spesifik, cakupan topik itu pun masih cukup luas. Karena itu, mari kita samakan persepsi tentang definisi dari game itu sendiri. Dalam studi “A Short and Simple Definition of What a Videogame Is“, Nicolas Esposito mengartikan game sebagai permainan yang kita mainkan menggunakan peralatan audiovisual yang didasarkan pada sebuah cerita.

Sementara itu, dalam jurnal “Fifty Years on, What Exactly is a Videogame? An Essentialistic Definitional Approach“, Rafaello V. Bergonse mengartikan game sebagai:

A mode of interaction between a player, a machine with an electronic visual display, and possible other players, that is mediated by a meaningful ficitonal context, and sustained by an emotional attachment between the player and the outcomes of her actions within this fictional context.

Game merupakan topik yang luas. | Sumber: Pexels

Ketika ditanya akan arti gameCipto Adiguno, Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI) menjawab: game adalah sebuah media interaktif. “Ketika sesuatu jadi interaktif, yaitu bisa memberi feedback yang sesuai dengan aksi pemainnya, sesuatu itu bisa dianggap game,” katanya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Karena definisinya sangat sederhana, game bisa di-apply ke mana2, dari hiburan sampai edukasi. Oleh karena itu, menurut saya ‘fungsi utama’ game juga sangat luas, yaitu “membuat sesuatu menjadi lebih engaging“.”

Dihadapkan dengan pertanyaan yang sama, El Lim, pendiri dan Head Developer, Khayalan Arts mengatakan bahwa game merupakan media yang serba guna: game bisa menjadi media hiburan, tapi juga bisa digunakan untuk media edukasi atau bahkan media latihan, seperti yang terjadi di industri virtual reality.

Game itu terdiri dari banyak hal. Dari sisi desain, ada art, animasi. Dari sisi naratif, ada tulisan, story telling. Game juga punya elemen desain puzzle, strategi, manajemen,” ujar El ketika dihubungi melalui telepon. “Belum lagi jika kita memperhitungkan aspek bisnis dari game.” Dia juga menyebutkan, dalam beberapa tahun belakangan, gamifikasi adalah metode yang sering digunakan di berbagai sektor, termasuk edukasi.

Memang, sekarang, game edukasi memiliki pasar tersendiri. Cipto menjelaskan, di industri game, “game edukasi” merujuk pada  game yang memang tujuan utamanya adalah untuk memberikan edukasi pada pemainnya. Dia menyebutkan, “Banyak game yang dirancang murni untuk menghibur tapi tetap memasukkan unsur-unsur edukasi kok, tapi hanya sebagai pendukung agar lebih menghibur. Dalam game edukasi, paradigmanya terbalik, yaitu ada hiburan agar edukasinya lebih mengena dan tidak membosankan.”

Minecraft Education Edition.

Masalahnya, persepsi gamers akan game edukasi acap kali negatif. Game edukasi sering dianggap membosankan, walau Cipto mengatakan, game edukasi yang baik tidak akan membuat para pemainnya bosan. Sementara menurut El, game akan bisa menjadi alat edukasi yang efektif jika ia dikemas dengan menarik. Dia menjadikan Minecraft sebagai contoh. Dia menjelaskan, Minecraft tidak dibuat untuk menjadi game edukasi. Namun, ketika game itu dimainkan, ternyata, ada banyak hal yang bisa dipelajari oleh para pemainnya, mulai dari kompetisi, kolaborasi, cara bertahan hidup, sampai belajar tentang programming. Setelah itu, barulah muncul Minecraft Education Edition.

Approach kita dengan Samudra juga seperti itu,” kata El. Samudra adalah game buatan Khayalan Arts yang mengangkat tema tentang pencemaran laut. Game  berhasil memenangkan Unity for Humanity Grant. “Yang penting adalah membuat gamers suka dengan game-nya terlebih dulu.”

Game Sebagai Alat Edukasi

Game bisa digunakan sebagai alat edukasi. Buktinya, muncul subkategori game edukasi. Masalahnya, apakah menggunakan game sebagai media edukasi efektif? Jurnal “Using a gamified mobile app to increase student engagement, retention, and academic achievement” membahas tentang dampak dari penggunaan aplikasi mobile gamifikasi sebagai alat pembelajaran para mahasiswa.

Dalam jurnal itu disebutkan bahwa ada korelasi antara penggunaan aplikasi mobile dengan naiknya tingkat retensi mahasiswa serta performa akademi para mahasiswa. Walau, para penulis studi tersebut juga menyebutkan bahwa korelasi antara ketiga hal itu bukan jaminan bahwa penggunaan aplikasi merupakan alasan di balik naiknya tingkat retensi mahasiswa atau performa akademi mahasiswa.

Berdasarkan studi di atas, diketahui bahwa penggunaan aplikasi mobile membuat tingkat retensi mahasiswa naik sebesar 12,3%. Tak hanya itu, performa rata-rata para mahasiswa juga mengalami kenaikan, yaitu sebesar 7,03%. Hal ini menunjukkan, aplikasi mobile tidak hanya memperbesar kemungkinan mahasiswa bertahan di sebuah universitas, tapi juga bisa meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mempelajari dan mengingat pelajaran yang mereka pelajari.

Tingkat retensi mahasiswa berdasarkan penjurusan. | Sumber: Jurnal

Saat ditanya tentang efektivitas game sebagai media pembelajaran, Cipto mengatakan, game bisa memudahkan proses penanaman informasi di benak para pelajar. Pasalnya, game mengharuskan pemain untuk aktif melakukan tindakan tertentu. Jadi, menurutnya, game bisa menjadi media yang efektif dalam mempelajari konten yang mengharuskan seseorang menghafal. “Game juga sangat efektif untuk problem solving, karena berbeda dengan media statis — seperti menjawab pertanyaan di buku — problem dalam game bisa berubah secara instan, sesuai dengan input pemain,” kata Cipto.

El punya pandangan yang agak berbeda. Dia merasa, ada banyak hal yang bisa  seseorang pelajari dari game, mulai dari bahasa sampai sejarah. Secara pribadi, saya setuju bahwa game adalah media yang efektif untuk mempelajari bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Sewaktu saya masih SMP, saya sering bolos les Bahasa Inggris. Tapi, ketika saya bermain game — apalagi game RPG, seperti Suikoden dan Final Fantasy — saya dengan suka rela membawa kamus demi memahami percakapan antar karakter dalam game.

Selain itu, hal yang tidak kalah penting, El berkata, game bisa membuat para pemainnya merasa penasaran. Dan ketika pemain merasa penasaran — tentang topik atau karakter atau hal-hal lain dalam game — mereka akan terdorong untuk mencari tahu lebih lanjut tentang hal-hal tersebut. Jadi, game-game yang tidak punya embel-embel game edukasi pun sebenarnya bisa memberikan berbagai pelajaran pada para pemainnya.

El memberikan contoh, dari game seperti Harvest Moon atau Stardew Valley, pemain bisa belajar tentang manajemen risiko, sementara game bertema perang bisa menunjukkan sedikit tentang cara kerja sistem politik. “Kita bisa belajar tentang cara untuk mengatasi situasi dalam skala besar,” ujar El. “Hanya saja, kalau dulu situasi itu adalah perang, sekarang adalah perang antar perusahaan.”

Contoh lain yang El berikan adalah Assassin’s Creed, yang bisa mengajarkan sejarah. Tentu saja, sejarah yang diangkat dalam sebuah game biasanya telah dimodifikasi. Hanya saja, dalam kasus Assassin’s Creed, Ubisoft mencoba untuk menampilkan kota-kota penting dalam momen bersejarah dengan realistis. Faktanya, Assassin’s Creed Unty bisa digunakan untuk menampilkan tur virtual dari Paris semasa Revolusi Prancis.

“Salah satu daya tarik dari Assassin’s Creed adalah kita bisa menjelajah dunia yang biasanya hanya bisa kita lihat di museum. Dalam game, kita bisa menjelajahi kota itu, bisa memanjat gedung yang ada,” ujar El.

El menambahkan, terkadang, “nilai” yang tersirat dalam sebuah game bukanlah sesuatu yang bisa diukur secara akademik. Sebagai contoh, Spiritfarer yang mengajarkan tentang cara melalui masa duka karena kematian dari orang-orang tersayang. “Ketika Anda main game seperti Journey atau Spiritfarer, kedua game itu punya kemasan yang cantik, tapi moral yang disampaikan berat,” ujarnya.

Spiritfarer. | Sumber: Steam

Secara pribadi, saya merasa, game sangat efektif untuk mengajarkan hukum sebab-akibat. Jika Anda melakukan A, maka Anda akan mendapatkan X dan jika Anda melakukan B, Anda akan mendapatkan Y. Di dunia nyata, konsekuensi dari tindakan yang seseorang ambil tidak selalu terlihat dengan cepat. Lain halnya dengan game. Misalnya, di Stardew Valley, jika Anda tidak menyiram tanaman secara rutin atau memberi makan ternah Anda, tanaman atau ternak Anda akan mati. Jika Anda memberikan NPC sesuatu yang dia benci, dia akan terlihat kecewa atau bahkan marah. Sebaliknya, jika Anda memberikan sesuatu yang dia sukai, dia akan terlihat senang dan dia akan menjadi lebih menyukai Anda.

Contoh lainnya, ketika Anda memainkan Democracy, negara Anda akan ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan besar jika Anda mengenakan pajak terlalu tinggi. Sementara jika Anda tidak memenuhi janji Anda selama kampanye, Anda akan kehilangan kepercayaan rakyat. Dalam City: Skylines, jika Anda tidak menata kota dengan benar, Anda akan mendapat protes dari rakyat. Jika Anda terus membiarkan masalah yang ada, sebagian warga akan meninggalkan kota yang Anda urus.

Ketika Game Hanya Menjadi Media Hiburan, Apakah Cukup?

Game bisa menjadi alat edukasi yang efektif. Dan sah-sah saja bagi developer untuk menyisipkan pesan moral dalam game yang mereka buat. Namun, pada akhirnya, developer game tetaplah perusahaan, yang tujuan utamanya mencari untung. Jika developer ingin memaksimalkan keuntungan yang mereka dapat, kemungkinan, mereka tidak akan membuat game edukatif. Karena, tidak ada satupun game edukasi yang masuk dalam daftar 10 game dengan penjualan terbesar sepanjang waktu. Tiga game dengan penjualan terbanyak adalah Space Invader, Pac-Man, dan Street Fighter II.

Jika developer game dituntut untuk terus membuat game dengan muatan edukasi, hal ini akan menimbulkan pertanyaan lain: kenapa media hiburan lain — mulai dari komik, novel, film, atau bahkan sinetron — tidak dituntut untuk melakukan hal yang sama?

Menurut El, alasan kenapa game dinilai dengan standar yang berbeda dari media hiburan lain adalah masalah accessibility. Dia menjelaskan, game baru bisa dimainkan oleh banyak orang sejak kemunculan smartphone, atau sekitar 10 tahun lalu. Sementara komik, novel dan TV, semuanya sudah bisa diakses oleh masyarakat luas sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Jadi, pengetahuan masyarakat akan game pun menjadi jauh lebih terbatas.

Cipto memiliki pendapat serupa. Dia mengungkap, ketidatahuan masyarakat akan media — dalam kasus ini, game — merupakan alasan terbesar mengapa game seolah-olah dituntut untuk memenuhi standar yang berbeda dari media hiburan lain. “Dulu juga semua media lain mengalami trayektori serupa di awal eranya masing-masing, yaitu penolakan oleh generasi sebelumnya,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, “Bila dibandingkan dengan Five Stges of Grief/Kubler-Ross Model, karakteristik mengharuskan ada materi edukasi ada di tahap ‘Bargaining’. Karena, game memang sudah menjadi media mainstream, jadi setidaknya, ia punya manfaatlah. Kalau ada yang suka bilang prihatin tapi diam saja, nah itu ada di tahap ‘Depression’. Suatu hari nanti, semua akan sampai ke ‘Acceptance’, tapi mungkin masih butuh waktu.”

Lima tahap kesedihan. | Sumber: Wikipedia

Di satu sisi, ada orang-orang yang menganggap bahwa game harus punya nilai edukasi. Di sisi lain, gamers cenderung menganggap bahwa game edukasi itu membosankan. Lalu, adakah cara untuk menemukan jalan tengah antara dua kubu yang saling berlawanan ini?

“‘Game edukasi’ yang paling bagus biasanya sangat menyenangkan, sehingga tidak terlihat seperti sebuah game edukasi,” kata Cipto. “Seperti halnya film action Perang Dunia 2 bukan film edukasi, tapi penonton tetap belajar sejarah melalui film tersebut.” Lebih lanjut dia menyebutkan, “Daripada memaksakan hanya game-game tertentu yang bisa dimainkan, salah satu jalan tengah adalah membuat anak/gamer melihat lebih dekat apa yang bisa dipelajari dari suatu game yang dia sukai. Misal kalau di dalam game ada karakter atau tempat yang menarik, bisa mencari info lebih dalam mengenai inspirasinya dari dunia nyata.”

Sementara El mengajukan ide untuk menonjolkan sisi cinematic dari sebuah game untuk menarik orang-orang yang bukan gamers. Harapannya, orang-orang yang bukan gamers sekalipun bisa tertarik untuk, setidaknya, menonton konten sebuah game. Dia juga menyebutkan, sekarang, ada cukup banyak game yang menggunakan format episodic, membuat gameplay terlihat seperti penuturan cerita interaktif. Contoh game seperti ini adalah game The Walking Dead atau game-game buatan Telltale Games lainnya.

The Walking Dead adalah salah satu contoh game dengan format episodic. | Sumber: Steam

Game terbukti bisa digunakan untuk banyak hal, bahkan propaganda sekalipun. Namun, jika developer hanya membuat game sebagai media hiburan, apakah hal itu akan menghilangkan nilai dari game itu sendiri?

Tentang hal ini, El mengatakan bahwa game tidak akan kehilangan nilainya meski ia hanya menjadi media hiburan. Hanya saja, dia menganggap, menjadikan game sebagai media hiburan saja akan menyia-nyiakan potensi game sebagai media. “Game adalah media yang sangat powerful, bisa mengajarkan ini itu. Kalau cuma dipakai untuk satu bagian, yaitu bagian hiburan doang, rasanya sayang,” katanya. “Rasanya seperti memiliki Infinity Stones, tapi yang digunakan hanya gauntlet-nya saja.” Karena, dia percaya, ada banyak media lain selain game yang bisa berfungsi sebagai murni media hiburan.

Senada dengan El, Cipto juga menganggap, nilai game tidak akan hilang meski ia hanya menjadi media hiburan. Dia mengatakan, nilai sebuah produk atau objek itu tergantung pada persepsi orang yang menilai.

“Kalau dari perspektif kalipalisme, selama ada yang mau beli, pasti ada yang setuju dengan harga yang tertera. Kalau tidak, pasti tidak ada yang mau beli,” ujar Cipto. “Seperti halnya semua media lain yang pernah muncul, saya rasa, akan ada tempat bagi game yang memiliki konten edukasi maupun game murni hiburan. Ada saatnya kita butuh game untuk belajar hal-hal baru, ada saatnya untuk mencari hiburan saja. Sebagian besar orang tidak belajar sepanjang waktu, kan?”

Penutup

Sebagai media, game punya fungsi yang beragam. Tak hanya sebagai media hiburan, game juga bisa digunakan untuk mengedukasi, sebagai alat latihan, atau bahkan media propaganda. Pada akhirnya, sebagai kreator game, developer punya hak untuk memilih game seperti apa yang mereka buat. Jika mereka ingin membuat game gacha dan menggunakan berbagai trik psikologi untuk mendorong para pemain menghabiskan uang dalam game demi memaksimalkan keuntungan, ya boleh saja. Sebaliknya, jika developer ingin memasukkan idealisme mereka ke dalam game mereka, hal itu juga tidak salah.

Tentu saja, setiap pilihan punya konsekuensi masing-masing. Jika seseorang membuat game yang mengeksploitasi para pemainnya, hal ini mungkin akan membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sementara jika seorang developer bersikap idealis, bisa jadi, game yang dia buat tidak laku di pasar.

Sumber header: Pexels

Tren Industri Game dan Esports di 2021 dan Prediksi Tren untuk 2022 Menurut Niko Partners

Selama 2020, industri game mengalami kenaikan pesat berkat pandemi COVID-19. Di tahun 2021, pandemi mulai teratasi di sejumlah negara. Alhasil, kehidupan masyarakat pun mulai kembali seperti sedia kala. Tentunya, hal ini mempengaruhi industri game dan esports. Menggunakan data dari Niko Partners, Hybrid.co.id mencoba untuk merangkum tren industri game selama 2021. Tak hanya itu, kami juga membahas tentang prediksi keadaan industri game dan esports di tahun 2022.

Tren di Industri Game Asia Sepanjang 2021

Asia merupakan pasar game paling penting di dunia, menurut Niko Partners. Karena, di Asia, tuntutan akan game, esports, konten streaming, dan kompetisi esports cukup tinggi. Tak hanya itu, besar pendapatan yang bisa dibelanjakan oleh warga Asia juga terus naik. Infrastruktur di negara-negara Asia juga terus membaik. Semua ini membuka peluang besar bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang game, mulai dari developer dan publisher game, pembuat hardware, sampai penyedia infrastruktur.

Sepanjang 2021, Niko Partners mengamati industri game di 10 negara Asia, yaitu Filipina, Indonesia, India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Berdasarkan studi yang mereka lakukan, mereka memperkirakan, nilai industri game PC dan mobile di Asia-10 di 2021 akan mencapai US$35,7 miliar, naik 6,2% dari tahun lalu. Dalam 5 tahun ke depan, tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun alias CAGR dari industri game PC dan mobile di kawasan tersebut adalah 4,5%. Jadi, pada 2025, industri game PC dan mobile dari negara-negara Asia-10 akan mencapai US$41,8 miliar.

Industri game di Asia tidak hanya tumbuh dari segi pemasukan, tapi juga dari segi jumlah gamers. Pada akhir 2021, jumlah gamers di kawasan Asia-10 diperkirakan akan mencapai 714,9 juta orang, naik 12,1% dari tahun lalu. Sementara tingkat pertumbuhan per tahun (CAGR) dari jumlah gamers mencapai 8,1%. Dengan begitu, pada 2025, jumlah gamers di Asia-10 akan mencapai 940,9 juta orang.

Niko Partners mengumpulkan data industri game dari 10 negara di Asia. | Sumber: Niko Partners

Dengan tingkat CAGR sebesar 29,8%, India menjadi negara Asia yang industri game-nya yang tumbuh paling pesat. Sementara di kawasan Asia Tenggara, ada tiga negara yang industri game-nya memiliki laju pertumbuhan paling tinggi, yaitu Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Pada 2020, nilai industri game Thailand bahkan telah menembus angka US$1 miliar. Sementara Indonesia diperkirakan akan mencapai pencapaian hal itu pada 2025. Begitu juga dengan India dan Vietnam.

Dari segi ukuran industri game, Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara Asia dengan industri game paling besar. Dua negara Asia Timur itu memberikan kontribusi sebesar 80% dari total industri game PC dan mobile di kawasan Asia-10.

Perkiraan Tren di Industri Game dan Esports Pada 2022

Banyak industri yang luluh lantak karena COVID-19, seperti pariwisata. Dan game merupakan salah satu industri yang tidak hanya bisa bertahan di tengah pandemi, tapi justru tumbuh. Perlahan tapi pasti, masyarakat mulai pulih dari pandemi. Tentu saja, hal ini akan mempengaruhi perilaku para gamers, yang akan berdampak pada industri game secara keseluruhan.

Ketika ditanya tentang keadaan industri game di tahun 2022, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, Darang S. Candra mengatakan, walau pandemi telah mulai teratasi, pemasukan di industri game masih akan tetap naik. Hanya saja, tingkat kenaikannya tidak sebesar pada masa puncak pandemi. Hal yang sama juga akan berlaku untuk lama waktu bermain para gamers. Dia menyebutkan, lama waktu bermain para gamers pada 2022 diperkirakan akan lebih singkat jika dibandingkan dengan puncak masa pandemi.

Pulihnya masyarakat dari pandemi tidak hanya memberikan dampak pada industri game, tapi juga industri esports. Perubahan itu bahkan mulai terlihat pada akhir 2021. Misalnya, pada semester akhir 2021, ada sejumlah turnamen esports besar yang digelar secara offline, termasuk The International 10 dan League of Legends World Championship 2021. Soal ini, Darang mengatakan bahwa pada tahun depan, kompetisi esports memang akan mulai kembali digelar secara offline. Namun, hal itu bukan berarti kompetisi online akan menghilang sepenuhnya.

ONE Esports Singapore Major adalah salah satu kompetisi esports yang digelar secara offline. | Sumber: Win.gg

“Dari pengamatan kami, dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi,” kata Darang melalui email. “Meski turnamen offline akan kembali diadakan, sebagian besar negara dan penyelenggara turnamen akan tetap perhati-hati. Pembatasan sosial/social distancing yang akan terus berlaku juga mengurangi pengunjung potensial pada turnamen offline. Dengan demikian, turnamen hybrid — peserta offline tapi tidak ada/sedikit penonton, disiarkan secara online — sepertinya akan menjadi tren ke depan.”

Darang menegaskan, turnamen online tidak akan menghilang begitu saja di masa depan. Selain karena dunia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi, alasan lain turnamen esports online akan tetap ada adalah karena sebagian penggemar esports sudah terbiasa menonton kompetisi esports secara online.

Di kawasan Asia, tidak semua negara siap untuk mengadakan kompetisi esports secara offline. Darang menjelaskan, “Hal ini akan tergantung pada jumlah kasus, kematian akibat COVID-19, rasio vaksinasi, dan kebijakan negara masing-masing. Negara dengan jumlah kasus dan kematian lebih sedikit, rasio vaksinasi tinggi, dan mengurangi kebijakan social distancing akan lebih mungkin untuk menggelar acara esports secara offline.”

Lebih lanjut, Darang menjelaskan, faktor lain yang mempengaruhi apakah sebuah negara akan bisa menggelar esports events secara offline adalah kemampuan untuk menanggulangi COVID-19. “Negara dengan penanganan COVID-19 yang lebih mumpuni, seperti Singapura, tentu akan lebih mudah untuk mengadakan acara esports secara offline,” ujarnya

Memang, pada 2021, Singapura membuktikan bahwa mereka bisa mengadakan beberapa esports events offline, termasuk ONE Esports Singapore Major. M3 Mobile Legends World Championship yang tengah berlangsung juga diadakan secara offline di Singapura.

Viewership dan Pemasukan Industri Esports di 2022

Ada banyak orang yang mulai menonton kompetisi esports selama pandemi. Pasalnya, ketika pandemi, mereka tidak hanya dilarang untuk keluar rumah, tapi juga tidak bisa menonton pertandingan olahraga karena banyak kompetisi yang ditunda atau dibatalkan. Pertanyaannya, apakah mereka akan tetap menonton konten esports setelah pandemi telah mulai teratasi?

Ketika ditanya tentang hal ini, Darang menjawab, bahkan setelah pandemi berakhir, akan ada penggemar esports yang melanjutkan hobinya untuk menonton konten esports. Dia merasa, hobi menonton pertandingan esports sama seperti hobi-hobi lain yang orang-orang pelajari saat pandemi, seperti berkebun atau memasak. Karena itu, baik viewership maupun pemasukan dari industri esports, khususnya di Asia, diperkirakan masih akan naik pada tahun depan.

VALORANT jadi salah satu game esports yang diduga bakal populer di 2021.

“Berdasarkan tren dari beberapa tahun terakhir, viewership dan revenue industri esports di Asia selalu meningkat, dan mencapai puncaknya di kala pandemi,” ujar Darang. “Dengan berkurangnya kasus COVID-19 dan kembalinya penyelenggaraan kegiatan-kegiatan secara offline, viewership dan revenue industri esports tentu tidak akan tumbuh setinggi di masa pandemi. Hanya saja, kami memprediksi, esports sudah menjadi cara mainstream untuk mendapatkan hiburan sehingga viewership dan revenue industri esports tetap akan berkembang meski tidak setinggi di masa puncak pandemi.”

Di Asia, ada tiga genre yang populer di kalangan gamers dan fans esports, yaitu MOBA, Battle Royale, dan Shooter. Menurut Darang, tren ini diperkirakan masih akan bertahan pada 2022. Sejalan dengan tren itu, beberapa game esports yang diperkirakan akan tetap populer di tahun depan antara lain League of Legends dan Wild Rift, Free Fire, PUBG Mobile, dan VALORANT.

Sumber header: Pexels

Fan-Made Content: Tanda Cinta atau Pembawa Celaka?

Setiap orang punya love language masing-masing. Sebagian orang menunjukkan rasa sayangnya dengan memberikan hadiah, sebagian yang lain lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama. Hal yang sama juga berlaku dalam hubungan antara fans dengan hiburan yang mereka konsumsi. Sebagian fans sudah puas dengan memainkan game kesayangannya selama puluhan — atau bahkan ribuan — jam. Sementara sebagian fans yang lain ingin berinteraksi dengan hiburan yang mereka konsumsi, seperti dengan membuat fan art, fan fiction, animasi, fan game, sampai melakukan cosplay dari karakter kesayangan mereka.

Fan Labor, Kenapa Fans Melakukannya?

Terlepas dari konten yang Anda buat — fan art, fan fiction, fan game, dan lain sebagainya — membuat konten tersebut akan memakan waktu, dan terkadang, menghabiskan biaya juga. Padahal, biasanya, konten yang dibuat fans tidak bisa dikomersilkan. Menurut Lynn Zubernis, Psychologist and Professor, West Chester University of Pennsylvania, salah satu alasan mengapa fans secara aktif melibatkan diri dalam fandom dan membuat konten adalah karena mereka terinspirasi dari media yang mereka konsumsi dan mereka ingin menjadi bagian dari dunia dalam media tersebut, ungkap Zubernis pada WIRED.

Alasan lain mengapa fans tidak keberatan untuk menghabiskan waktu — dan terkadang uang — mereka untuk membuat konten dalam fandom adalah karena hal itu bisa menjadi cara untuk mengasah kemampuan mereka; meningkatkan kemampuan menggambar dengan membuat fan art atau kemampuan menulis dengan membuat fan fiction. YouTuber 3D Print Guy membenarkan hal ini.

3D Print Guy adalah fan dari film-film science-fiction, seperti The Thing dan 2001: A Space Odyssey. Dia juga menyukai Among Us. Karena itu, dia mencoba untuk membuat trilogi animasi untuk Among Us bertema horor. Dia mengatakan, ada banyak hal yang dia pelajari selama membuat trilogi tersebut, seperti memilih musik yang tepat untuk membangun mood penonton. Dan kemampuan yang dia pelajari dari membuat fan animation bisa dia terapkan ketika dia membuat animasi lain di masa depan.

Aktif membuat konten untuk fandom juga bisa menjadi cara bagi seseorang untuk mencari jati diri mereka. Studi berjudul What Art Educators Can Learn from the Fan-Based Artmaking of Adolescents and Young Adults mencoba untuk mempelajari perilaku para fan artists berumur 14-24 tahun. Dari studi itu, diketahui bahwa 70% partisipan mengaku, mereka tertarik dengan karakter tertentu dalam media karena karakter itu punya sifat yang mereka ingin miliki.

Terakhir, alasan mengapa banyak orang mau aktif di fandom adalah karena mereka bisa menjadi bagian dari komunitas. Karena, konten buatan fans biasanya hanya dibagikan di dalam komunitas mereka sendiri. “Menjadi bagian dari komunitas dari orang-orang yang punya pemikiran yang sama dengan Anda, hal ini akan menjadi validasi dari ide yang Anda coba ekspresikan melalui fan art yang Anda buat,” kata Zubernis.

Bagaimana Fan Labor Bisa Membantu Perusahaan

Pada tahun 2019, ada lebih dari 8,2 ribu game yang dirilis di Steam. Agar bisa dilirik oleh konsumen, penting bagi publisher untuk bisa memarketkan game yang mereka rilis. Media sosial jadi salah satu alat yang bisa digunakan oleh publisher. Sayangnya, terkadang, perusahaan mengalami masalah berupa kekurangan konten. Di sinilah peran fan content.

Keuntungan lain yang didapat perusahaan dari fan content adalah konten itu lebih dipercaya oleh konsumen lainnya. Menurut Nielsen Trust Index, 92% konsumen lebih mempercaya konten buatan pengguna — User-Generated Content (UGC) — daripada iklan yang dibuat oleh perusahaan.

Di industri game, bentuk konten yang fans buat tidak terbatas pada gamber, cerita, atau animasi, tapi juga modifikasi pada game itu sendiri atau bahkan fan game. Sama seperti konten buatan fans lainnya, mods bisa menguntungkan komunitas dan developer game. Di sisi komunitas, para gamers diuntungkan karena mereka bisa menggunakan mods untuk mendapatkan pengalaman bermain yang mereka inginkan.

Misalnya, Anda ingin visual yang lebih bagus ketika bermain Minecraft? Anda bisa pasang mods. Anda ingin mengendalikan cuaca di The Elder Scroll V: Skyrim? Tinggal pasang mods. Anda tidak ingin menyiram tanaman di Stardew Valley? Ada mods yang bisa membuat semua tanaman Anda secara otomatis tersiram.

Sementara itu, keuntungan yang developer dapat dengan keberadaan mods adalah hal itu membuat umur game mereka menjadi lebih panjang. Skyrim diluncurkan 10 tahun lalu, tapi sampai sekarang, ribuan orang masih memainkan game itu. Selain itu, keberadaan mods juga membantu developer untuk menjangkau lebih banyak orang. Karena, mods memungkinkan pemain untuk menyesuaikan pengalaman bermain sehingga menjadi seperti yang mereka inginkan. Mods yang populer bahkan bisa menjadi game sendiri. Dota, Counter-Strike, dan Team Fortress adalah beberapa contoh game populer yang berasal dari mods.

Walau mods bisa menguntungkan developer, biasanya mereka juga menetapkan syarat dan ketentuan bagi orang-orang yang hendak memodifikasi game mereka. Sebagai contoh, Bethesda Game Studios memang mendukung keberadaan mods untuk Skyrim. Namun, mereka hanya mengakui mods yang dibuat menggunakan software yang sudah mereka sediakan di creation kit pada situs resmi mereka.

Tak terbatas pada mods atau konten digital, perusahaan game juga terkadang membiarkan fans membuat merchandise fisik. Dua contoh perusahaan yang memberikan izin pada fans untuk membuat dan menjual merchandise berdasarkan IP mereka adalah miHoYo dengan Genshin Impact dan Supergiants Games dengan semua game mereka. Tentu saja, keduanya juga menetapkan syarat dan ketentuan bagi para fans yang ingin menjual merchandise berdasarkan IP mereka.

Misalnya, Supergiant Games melarang fans untuk memproduksi massal merchandise yang hendak mereka jual. Jika mereka ingin menjual merchandise yang diproduksi secara massal, para fans harus mendapatkan izin dari Supergiant. Selain itu, fans yang menjual merchandise juga harus menegaskan bahwa produk yang mereka jual bukanlah produk resmi alias unofficial. Fans juga tidak boleh menggunakan logo atau trademark dari  Supergiant Games, Hades, Pyre, Transistor, atau Bastion atau menggunakan aset resmi dari game-game Supergiant.

Salah satu merchandise resmi dari Supergiant. | Sumber: Supergiant

Peraturan lain yang Supergiant tetapkan adalah fans tidak boleh membuat merchandise yang mirip dengan merchandise resmi dari Supergiants. Fans juga tidak boleh menjual produk mereka melalui toko-toko online besar, seperti Amazon, Redbubble, Displate, dan Society6. Supergiant juga tidak mau dikaitkan dengan nilai yang bertentangan dengan nilai yang diusung oleh perusahaan.

Sementara itu, salah satu peraturan yang miHoYo terapkan pada fans yang ingin membuat merchandise Genshin Impact adalah mereka tidak boleh menjelekkan Genshin Impact, miHoYo, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan game dan developer. Batas maksimal merchandise yang bisa fans jual adalah 200 unit. Namun, untuk light merchandise, fans bisa menjual hingga 500 unit. Fans juga tidak boleh menggunakan, menjual, atau memodifikasi konten asli dari Genshin Impact, termasuk screenshot, menurut laporan Grid.

Olivinearc adalah salah satu penggemar yang menjual merchandise Genshin Impact di Twitter. Kepada Kotaku, dia menjelaskan alasan mengapa para fans Genshin Impact mau membeli merchandise buatan fans lain. “Para fans Genshin Impact lebih bersedia untuk membeli merchandise fisik karena kemungkinan, mereka sudah mengeluarkan banyak uang di dalam game. Jika mereka tidak menghabiskan uang, mereka sudah menginvestasikan banyak waktu di game Genshin Impact,” ujarnya. “Hal itu berarti, para fans punya kedekatan emosional dengan para karakter Genshin Impact.”

Kontra: Alasan Perusahaan Tidak Mendukung Fan Content

Tidak semua perusahaan mendukung konten yang dibuat oleh fans, baik dalam bentuk digital maupun fisik. Disney adalah salah satu perusahaan yang dikenal sangat ketat dalam menjaga IP mereka. Menurut hemat saya, alasan Disney melarang fans menjual merchandise yang didasarkan pada IP mereka sederhana: karena keberadaan merchandise itu akan mengganggu bisnis Disney. Buktinya, Disney pernah melarang penjualan merchandise “Baby Yoda” dari The Mandalorian di platform e-commerce Etsy pada awal tahun lalu. Alasannya, karena Disney ingin meluncurkan merchandise mereka sendiri.

Disney punya beberapa sumber pemasukan. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, divisi media and entertainment memberikan kontribusi terbesar, mencapai US$50,87 miliar. Sementara itu, divisi parks, experiences and products — divisi yang kemungkinan menaungi pemasukan dari penjualan merchandise — hanya memberikan kontribusi sebesar US$16,55 miliar.

Sumber pemasukan Disney. | Sumber: Statista

Walau penjualan merchandise bukan sumber pemasukan terbesar Disney, hal itu tidak mengubah fakta bahwa jika Disney membiarkan fans untuk memperjualbelikan merchandise berdasar IP mereka, bisnis merchandising mereka akan terganggu. Tak hanya itu, membiarkan fans menjual merchandise juga berpotensi untuk mengurangi sumber pemasukan Disney dari divisi content sales/licensing.

Sementara itu, perusahaan yang dikenal ketat dalam memberlakukan peraturan hak cipta adalah Nintendo. Pada Januari 2021, Nintendo pernah mengajukan Digital Millennium Copyright Act (DMCA) takedown pada Game Jolt, situs yang menampilkan fan game. Alhasil, ada 379 fan game yang harus dihapus dari situs tersebut, seperti yang disebutkan oleh Nintendo Life.

Sebulan sebelum Nintendo mengeluarkan permintaan takedown, mereka telah memberikan peringatan. Dalam surat peringatan itu, mereka menjelaskan bahwa di Game Jolt, ada game-game yang menggunakan IP Nintendo. Padahal, Game Jolt mendapatkan pemasukan dari pemasangan iklan banner yang tayang di situs atau dari iklan yang muncul ketika game tengah loading. Dari sini, kita bisa menyimpulkan, salah satu alasan Nintendo melarang keberadaan fan game adalah karena mereka tidak ingin ada pihak ketiga yang mendapatkan untung dari IP mereka.

Alasan lain mengapa perusahaan game tidak mendukung mods atau fan game adalah karena mereka ingin melindungi hak cipta dari IP mereka. Kepada WIRED, Alex Tutty, Digital Media IP Expert, Sheridans menjelaskan bahwa walau fan game dibuat dengan niat baik, tapi fan game tetap melanggar hak cipta. Memang, perusahaan game bisa tutup mata akan keberadaan fan game. Namun, jika perusahaan terus mengacuhkan pelanggaran akan hak cipta mereka, maka perlindungan dari hak cipta itu justru bisa memudar atau bahkan menghilang.

Nintendo tidak mendukung keberadaan fan game. | Sumber: Red Bull

“Ketika perusahaan mengacuhkan kasus pelanggaran hak cipta satu kali, di masa depan, mereka akan kesulitan untuk menuntut pihak lain yang melanggar hak cipta mereka,” kata Tutty.

Kabar baiknya, jika fans ingin membuat fan game berdasarkan IP dari  milik sebuah developer game, mereka bisa meminta izin pada perusahaan. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak. Fans akan bisa membuat fan game yang mereka mau dan developer bisa mendapatkan sumber pemasukan baru. Hanya saja, developer tidak punya kewajiban untuk menjawab izin permintaan dari para fans. Terkadang, walau fans sudah meminta izin pada perusahaan, pihak perusahaan tidak memberikan jawaban sama sekali.

Kesimpulan

Bagi perusahaan media, termasuk developer game, fan-made content layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, keberadaan fan-made content menunjukkan kecintaan fans pada sebuah media hiburan, termasuk game yang dibuat oleh developer. Kecintaan ini membantu developer untuk memarketkan game yang mereka buat. Di sisi lain, konten buatan fans juga bisa menghilangkan sumber pemasukan perusahaan. Tak hanya itu, fan-made content juga bisa dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

Pada akhirnya, perusahaan bebas menentukan apakah mereka akan mendukung keberadaan fan-made content. Namun, berdasarkan contoh-contoh yang saya sebutkan di atas — Supergiant Games, miHoYo, Disney, dan Nintendo — tampaknya, bisa disimpulkan bahwa perusahaan yang tidak mendukung fan-made content biasanya perusahaan yang memang memiliki IP super populer. IP mereka sudah dikenal semua orang sehingga mereka tidak lagi membutuhkan marketing dari fan-made content. Malah, keberadaan fan-made content bisa mengganggu bisnis perusahaan, seperti ketika fans membuat dan menjual merchandise fisik dari IP Disney.

Shaping Culture Idealism Through Technology and the Entertainment Industry

For a majority of parents in this day and age, video games are always the culprit to their children’s bad behavior. If they are too lazy to study, then they are too addicted to games. If they don’t want to listen to their parents, games must have a bad influence. If they like to fight, games are the ones teaching them violence. Because of all the issues that games have caused, parents also believed that governments should ban children from playing games despite being a crucial means of communication today.

The Chinese government did exactly that. On September 1, 2021, the National Press and Publication Administration (NPPA) issued a new regulation regarding the legal playing duration of underage gamers. The regulation states that children and minors can only play games for 3 hours per week. We have previously discussed the impact of these regulation changes on the gaming and esports industry here.

Limiting the playing time of video games for children is just one of the Chinese government’s efforts to change its culture. In fact, the Chinese government has also tightened regulations related to technology and also entertainment.

 

What Changes Did the Chinese Government Make?

Game time restrictions for underage gamers are not the only rules in the gaming industry that the Chinese government has changed. They also tightened the review process for games that will be launched in the country. In case you didn’t know, the Chinese government reviews every game that will be launched in China, ensuring that it meets all the requirements for its release (such as language or content used).

The source of this report came from South Morning China Post, which managed to receive an internal memo from the gaming association under the Chinese government. The memo states that video games must exhibit values that reflect Chinese history and culture. Furthermore, games featuring effeminate male characters or romantic stories between the same sex will be banned from launching. Indeed, games will not be considered a pure means of entertainment, but also as a tool for propaganda.

“If regulators can’t tell the character’s gender immediately, the setting of the characters could be considered problematic and red flags will be raised,” Games Industry quoted the memo. Additionally, games are also prohibited to give players to play as the protagonist or antagonist in the storyline. “Some games have blurred moral boundaries. Players can choose to be either good or evil … but we don’t think that games should give players this choice … and this must be altered,” 

“Some games have ambiguous moral concepts. Players can choose whether they want to be a good person or a bad person … But, we feel, that choice should not be given to players. So, this should be changed,” reads the memo.

The Chinese government will prohibit male characters who have a feminine characteristics

Despite all this special treatment that the gaming industry is receiving, it is not the black sheep in the eyes of the Chinese government. Various fields, such as the entertainment industry, are also getting their fair share of regulation changes.

On September 2, 2021, the National Radio and Television Administration (NRTA) notified TV companies and internet platforms that they must strictly screen the artists and guests who appear on their shows. Actors or musicians who attend a program must not only have a good reputation and behavior, but they must also have political views in line with the Chinese government.

Here are the eight primary regulation details which NTRA plans to implement in the entertainment sector:

  1. Radio, TV, and internet platforms may not employ or invite guests who hold politically wrong views, have violated the law or spoke against public morals and statutes.
  2. They may not air programs starring child celebrities. Entertainment programs must have a strict voting system. The programs are also prohibited to encourage fans to spend money on memberships to vote for their idols.
  3. Programs should promote traditional culture as well as create correct beauty standards. They are also not allowed to discuss gossip, effeminate idols, vulgar celebrities, or wealth.
  4. The entertainment studio must limit and discourage high salaries to the entertainers. They must make rules regarding how much an entertainment program can pay its guests. They should encourage celebrities to take part in charity events and punish the ones who are involved in illegal contracts or people who evade taxes.
  5. They should make rules for people who work in the entertainment world. They must also provide professional and moral training. TV presenters must be licensed and their activity on social media monitored.
  6. They should encourage professional commentary on the world of entertainment. The value they should emphasize is correct political views and avoiding false rumors or negative comments. Instead, they should focus on promoting a positive culture to the audience.
  7. Entertainment associations should criticize celebrities who set a bad example for the public. Training must be provided, and everyone in the industry must be encouraged to follow the rules.
  8. Regulators must be responsible for listening to complaints from the public and providing answers to these concerns.

 

One of the characteristics of effeminate men according to Beijing is the use of make-up. | Source: Koreaboo

There is one overlap in the new regulations set upon the gaming and entertainment sector: the prohibition of displaying effeminate men. One of the prominent features of these effeminate males is the use of makeup or style that is not masculine or contrasting with the traditional Chinese culture.

Indeed, not all Chinese male artists exhibit a masculine style. Some of their fashion is inspired by Japanese and South Korean actors and singers. In the hopes of encouraging young men to be masculine, the Chinese government banned content featuring effeminate male characters in video games, the South China Morning Post reports.

The Chinese government has not only tightened regulations regarding entertainment and game industry players, but also fans, especially fans who worship their idols too much. One concrete form that the Chinese government implements is to prohibit youth from participating in fan clubs. Indeed, the turnover value of money due to fan activities is quite large. According to the iResearch Consulting Group report in 2020, the amount of money involved in fan activities reached 4 trillion CNY or around Rp. 8,873 trillion in 2019. And that figure is expected to rise to 6 trillion CNY (about Rp. 13,300t trillion) in 2023.

Apart from banning participation in fan clubs, the government also prohibits teens to take part in voting or spending money to support their idols. For example, if an artist becomes a brand ambassador for a certain company, then teen fans are prohibited from purchasing the promoted products. The Chinese government believes that all these preventive measures against fandom will improve the lives of their youths.

The Chinese government also requires celebrity agencies to be active in monitoring fan club movements and preventing clashes between fans. Celebrity rankings, which are incredibly popular in China, will also be abolished in the future. Instead, the government will only allow lists of trending music or movies which do not mention the involved artists or actors.

Fan culture, or fandom,  will be profoundly limited in China. | Source: China Daily

The Chinese government pushed all these changes in gaming or entertainment to alter the fabric of Chinese culture and society. Peixin Cao, professor at the Communication University of China, an institution that has educated many entertainment talents in China, mentioned that many celebrities in the Chinese entertainment industry have committed illegal or immoral acts in the political, economic, or personal sphere. Therefore, it is not much of a surprise that the Chinese government was adamant about increasing the strictness inside the industry. 

But the government is not the only one agreeing on this matter. Cao also revealed that a large group of parents and social science researchers want the government to intervene in the entertainment world. They do not want the younger generation to be adversely affected by corrupted industry. For a long time, actors have used their economic power and social media influence as leverage to silence opposing opinions, which is why direct government intervention is the only solution.

“I believe that the general audience also has dissatisfaction with the bad ethos of the entertainment industry.,” Cao said, as quoted by The Guardian. “The parents of adolescents may have felt it more deeply.”

 

Can Content Really Influence People’s Mindset?

With all these new laws, it is clear the Chinese government is trying to filter the content that the people of China consume. The question that arises is how effective this actually is? Does content influence how people think and the values that they hold? 

In a journal titled Critical Media Literacy and Transformative Learning: Drawing on Pop Culture and Entertainment Media in Teaching for Diversity in Adult Higher Education, it is concluded that the media and pop culture does have a significant effect in alternating adults’ perspectives or takes on certain issues.

The journal also states that the media can be used to improve literacy in critical thinking based on the consumed content. However, this education tool can also backfire or potentially become useless if the audience blindly digests content without trying to understand the underlying messages conveyed.

Black and female actors are use to be severely discriminated in Hollywood. | Source: Variety

For example, in movies, people of color are often portrayed as criminals or drug addicts, which may implicitly reinforce the stereotype that they are dangerous people. However, cinema also has the power to raise awareness on important issues. The film, An Inconvenient Truth sends a vital message to its audience by discussing the topic of global warming.

Content coming from video games is also suspected to affect the players’ mindset, which is why game creators or developers often insert their idealism in their games. A topic that is constantly brought up and interests researchers in the field of psychology is the correlation between video games and violence in adolescents.

Many studies have tried to investigate the relationship between adolescent aggression and violent games. One of the research models used is the General Aggression Model (GAM) by Anderson et al. Based on this research study, playing violent games can indeed make players more aggressive. Many other studies also agreed with this proposition, mentioning that playing violent games can trigger aggressive behavior in teenagers.

However, not all researchers agree with this point of view. They also provided reasons why such a connection between the two might arise despite having no notable correlation. Sherry (2001) found that the impact of violent games on the level of aggression in adolescents is not that significant. Another study by Ferguson (2007) suggests the presence of a publication bias in the studies related to this topic. Publication bias often arises as articles with controversial results or outcomes have a greater chance of being published.

Ferguson then adjusted the publication bias on the studies that had been released. In the end, he found no significant evidence that could strongly prove the hypothesis that video games could increase a person’s level of aggressiveness. He also proposed a new study model different from GAM, namely the Catalyst Model (CM). 

Based on the CM model, a person’s aggressiveness is predominantly determined by genetics. People who do have an aggressive nature are more likely to be violent in stressful situations. External factors, such as video games, generally do not influence levels of aggressiveness. Instead, they purely act as a catalyst that might trigger aggressive behavior. Therefore a non-aggressive person cannot be suddenly violent just by playing video games on a regular basis. Several studies also show that the level of aggressiveness in adolescents is not caused by exposure to violent games, but by antisocial personality, peer pressure, or family violence.

 

Many psychologists are interested in studying the correlation between playing violent video games and levels of aggressiveness exhibited by the players| Source: Financial Times

In The study titled Relation of Violent Video Games to Adolescent Aggression: An Examination of Moderated Mediation Effect, researchers Rong Shao and Yunqiang Wang tried to combine both the GAM and CM models. It is stated that exposure to violent games does have an influence on aggressive behavior in adolescents. However, other factors (genetics, family background, etc.) might also play a huge part in altering aggression.

Therefore, adolescents who grew up in a positive family environment usually exhibit a light-hearted nature and pay more attention to morals. This behavior will aid them in understanding and filtering violence when it  is presented in video games.

On the other hand, teenagers who live in a negative family environment usually tend towards aggressive behavior, which is further amplified when consuming violent video games. From the study, we can conclude the nature of violence is affected by many different factors, internal (such as genetics) or external (family circumstances, environment, and exposure to violent games).

 

Impact of China’s Strict Regulations

Changes in laws by the Chinese government have received mixed responses. On the one hand, some parents are happy with the government’s decision because they agree that children’s playtime should be limited. However, others are also skeptical about the effectiveness of the new government regulations. There are, indeed, some minor loopholes that make the playtime limitation quite tedious to enforce. For instance, children and teenagers who want to play online games outside the allotted time can use an account from an adult. The government also regulates the playing time of online games, but not offline games.

“These changes will not be beneficial in the long term,” said Xiaoning Lu, Reader in Modern Chinese Culture and Language, SOAS. “Children may miss opportunities to learn how to express themselves or to discipline themselves.” According to him, the Chinese government’s decision to limit playing time shows the government’s laziness to designate more appropriate regulations.

When asked if these regulatory changes are part of an effort to carry out a cultural revolution, Xianing strongly answered no. Instead, he believes that it is simply an act to revive the socialist culture. “China has a long history of how culture is used by the government to shape public opinion and to create an ‘ideal citizen,” he told Al Jazeera.

William Yang, East Asia Correspondent in DW News and President in Taiwan Foreign Correspondents’ Club also shared his opinion on the matter. He feels that the government’s decision to tighten regulations in many sectors was their attempt to prevent non-governmental parties — such as pop culture icons — to move and control the masses. “That is the reason why the government is trying to remove online fan clubs. Some of these groups have proven to be able to mobilize the masses, which are potentially out of the government’s control,” said Yang.

One of the reasons why the government is focusing on banning effeminate males is that they are worried about the influence of South Korean culture. “K-Pop stars are creating phenomena and fandom culture that has the potential to cause disruption,” Yang continued. “That’s why the government enforces these strict regulations.” 

One example of K-Pop fan mobilization was when Lisa’s fans from BlackPink raised 3 million CNY (approximately Rp. 6.6 billion) to celebrate her birthday in March 2021. And this didn’t just happen once. To celebrate Lisa’s birthday in 2020, fans in China raised 1 million CNY (approximately IDR 2.2 billion), which are then all donated to charities and public service projects, reports AllKpop.

K-Pop fans can raise funds at an astonishing rate. | Source: Tirto

Xiaoning further explained that the government’s and Chinese celebrities’ culture differs at the fundamental level. Celebrities often adopt a capitalist culture, while the Chinese government obviously has a socialist background. In the government’s eyes, celebrities are required to maintain their moral integrity and set a good example for society, which is not a capitalist characteristic, to say the least. For this reason, the government often considers celebrities who have had sexual scandals or have evaded taxes as problematic figures. 

According to Hongwei Bao from the University of Nottingham, the Chinese government’s movement in tightening regulations in many sectors also stems from several internal factors. One of these factors is the demographic crisis that China has faced for the past few years due to the precariously low birth rate.

According to a report from Reuters, China’s population growth rate was only 5.38% in 2020, setting an all-time low record for the country since the 1953 census. Furthermore, the birth rate in China is also extremely low, only 1.3 children per woman. Japan and Italy, both currently experiencing demographic aging problems, have the same exact birth rate figure.

The main culprit behind this issue is the regulations enacted in the 1970s by the Chinese government itself. The regulations essentially only permit families to only have one child. Now, the effects of these laws are starting to take shape.

In line with Bao, Elliott Zaagman — host of China Tech Investor Podcast —   also revealed the same information. He believes that the Chinese government’s attempt to filter content containing effeminate men is derived from their effort to encourage marriage and having children. “Regulators in Beijing might have panicked a little bit after they realized that the demographic crisis is much more severe than they initially thought. Therefore, they are willing to do whatever it takes to encourage people to want to have children,” Zaagman said. 

There are also external factors that push the Chinese government to tighten regulations. The deteriorating relationship between China and Western countries is one of these external factors. To ensure that the feeling of Chinese nationalism doesn’t dissipate, the government might have tried to accentuate their values or beliefs onto its people.

“Today, we are constantly seeing the ‘China vs. West’ narratives, both inside and outside of China. If this trend persists, it is likely that Beijing will try to emphasize its unique characteristics as a country compared to the West or the other Asian countries, ” said Bao.

 

Conclusion

China has gone through vast economic and social transformations in the past few decades. As a result, their cultural values also began to drastically change. The Chinese government, however, wants to revive the socialist culture and thus started to tighten regulations in the sectors such as gaming and entertainment. To that end, the Chinese government seems to be utilizing culture as a tool to shape public opinion.

This extreme decision by the Chinese government is based on various reasons, such as the demographic crisis and the worsening antagonism between China and Western countries. So far, the regulations set by the Chinese government are absolute. However, now, there are still those who question the effectiveness of the regulation.

Featured Image: CD Projekt. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Cloud Song Homestead & Class Change: Blasteran Action MMORPG dengan Harvest Moon

MOBA dan Battle Royale mungkin memang kelihatannya lebih gempita akhir-akhir ini, berkat skena esports-nya yang meriah di berbagai belahan dunia.

Namun demikian, MMORPG sebenarnya masih jadi favorit banyak orang. Di Indonesia, menurut Statista, market share dari MMORPG berada pada angka 67,6% dari total keseluruhan pasar gaming. Pasalnya, tidak seperti MOBA dan Battle Royale, komunitas MMORPG seringnya tidak se-toxic dua genre kompetitif tadi — mengingat MMORPG biasanya juga punya elemen kooperatif, selain kompetitif (PVP dan PVE).

Berbicara soal MMORPG, Cloud Song: Saga of Skywalkers merupakan salah satu MMORPG yang, meski baru dirilis beberapa waktu lalu, sudah menjadi favorit banyak orang. Beberapa waktu yang lalu, game ini bahkan menempati posisi pertama di kategori Top Free RPG di Google Play. Tidak heran juga jika game ini jadi salah satu game terbaik 2021.

Gameplay dan Grafis Cloud Song

Cloud Song merupakan MMORPG yang dirilis oleh VNG untuk kawasan Asia Tenggara di bulan September 2021 kemarin.

Satu hal yang membuat Cloud Song menarik adalah sistem pertarungannya yang menuntut Anda terus aktif bergerak. Pasalnya, Cloud Song adalah game Adventure Action-RPG yang tidak hanya menuntut Anda mengeluarkan skill di saat yang tepat, tapi juga terus bergerak mencari posisi yang aman — khususnya saat melawan bos-bos raksasa.

Cloud Song juga menyuguhkan fitur PVP dan PVE yang sama asyiknya. Jadi, ARPG ini cocok juga buat dua tipe gamer, baik yang kompetitif (yang suka PVP) ataupun yang lebih suka berkawan dalam komunitas.

Jika berbicara soal MMORPG open world macam Cloud Song, konten yang masif juga jadi faktor yang krusial. Pasalnya, tidak sedikit juga game baru yang tidak memiliki banyak konten. Di Cloud Song atau Guardians of Cloudia (nama lainnya), Anda juga bisa mengumpulkan banyak Pet yang tidak hanya lucu buat dikoleksi tapi juga sangat berguna saat bertarung. Selain itu, kustomisasi di sini juga sangat variatif.

Selain gameplay-nya, Cloud Song juga memiliki gaya grafis bergaya anime yang cerah, berwarna, dan imut-imut. Gaya grafis semacam ini memang biasanya lebih menarik untuk lebih banyak orang, ketimbang gaya grafis yang kelam ataupun realistis. Karena grafisnya, Anda bahkan bisa sekadar berjalan-jalan menikmati pemandangan di setting fantasy cross world yang satu ini.

Cloud Song Homestead

Seperti yang tadi kami tuliskan tadi, Cloud Song punya segudang konten dan banyak tujuan untuk dikejar. Namun lebih hebatnya lagi, Cloud Song juga sudah mengeluarkan update baru yang cukup masif meski baru sekitar 3 bulan lalu game ini dirilis.

Update yang masif kali ini diberi nama Homestead. Fitur Homestead memungkinkan Anda memiliki rumah yang lengkap dengan taman dan pantai. Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sini. Anda bisa menanam tanaman untuk mendapatkan bahan pangan seperti gandum. Anda juga bisa menebang pohon untuk mendapatkan kayu ataupun menambang untuk mendapatkan bijih besi dan kawan-kawannya. Tidak lupa juga Anda bisa memancing. Proses memancingnya tidak terlalu ribet tapi masih cukup menyenangkan untuk dilakukan.

Screenshot: Cloud Song

Di dalam Homestead, Anda juga akan mendapatkan banyak Quest lengkap dengan berbagai hadiah. Hadiah yang bisa Anda dapatkan dari Quest Homestead bahkan termasuk Diamond. Selain hadiah Quest, ada juga Homestead Store yang menawarkan berbagai item yang tidak kalah menarik, yang akan sangat berguna untuk melanjutkan pertarungan dan petualangan Anda di luar Homestead.

Cloud Song Class Change

Bersamaan dengan rilisnya update Homestead, VNG juga merilis fitur Class Change. Fitur Class Change ini akan sangat berguna bagi Anda yang mungkin sudah bosan bermain dengan Class yang sama dari level 1 tapi Anda tidak ingin membuat karakter baru.

Pasalnya, fitur ini memungkinkan Anda mengganti Class dasar dari Class Family yang sama di level 70 dan ke Class Family yang berbeda di Level 85. Contohnya, Anda bisa berganti dari Swordsman ke Rogue atau Archer di level 70 karena masih termasuk Family yang sama. Namun, jika Swordsman Anda ingin berganti ke Mage, Anda harus menunggu sampai level 85 karena Mage hanya berada di Family yang sama dengan Oracle.

Oh iya, satu hal yang harus Anda perhatikan saat ingin berganti Class adalah jumlah populasi Class tersebut di Server Anda. Karena, jumlah populasi Class tersebut akan menentukan juga harga yang harus dibayarkan. Misalnya semakin banyak Archer di Server Anda, semakin mahal pula harga yang harus dibayarkan jika Anda ingin menjadi Archer. Sebaliknya, jika tidak banyak Oracle di Server Anda, harga yang dibutuhkan untuk berganti jadi Class tersebut akan jadi lebih murah

Screenshot: Cloud Song

Selain mengganti Class tadi, Anda juga bisa menyesuaikan Stats dari karakter yang berganti Class. Pasalnya, jika Anda misalnya berganti Class dari Archer ke Mage, Anda harus mengalokasikan poin dari STR ke INT.

Selain Homestead dan Class Change, Cloud Song juga merilis update lain seperti: fitur Equipment System, Rune System, Pet Talent, Medal System, Tampilan Avatar Baru, dan Emoji Pack

Brand Ambassador Cloud Song

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Jena 🌸 (@jenadammaya)

Berdekatan dengan update tadi, sebelumnya Cloud Song juga menunjuk JenaDammaya sebagai Brand Ambassador. Model dan gamer jelita ini akan berinteraksi dan bermain bersama komunitas gamer Cloud Song. Ia juga akan livestream juga dengan kawan-kawan Cloud Song.

Akhirnya, jika Anda ingin bertualang di game dengan tagline “Homestead – Nikmati Petualangan di Alam Bebas” yang satu ini, Anda bisa download Cloud Song gratis di tautan ini. Sedangkan untuk informasi lebih lengkap terkait game ini, Anda juga bisa mengunjungi laman resminya ataupun follow media sosialnya baik di Instagram dan Facebook.

Disclosure: Artikel ini disponsori oleh VNG

Laporan IGDX: Perketat Regulasi, Pemerintah Ingin Developer Game Lokal Jadi Lebih Kompetitif

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan pasar game paling besar. Sementara di dunia, Indonesia merupakan pasar game terbesar ke-16. Pada 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengungkap bahwa pemasukan industri game Indonesia mencapai Rp24,88 triliun atau sekitar 2,19% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Sayangnya, walau pasar game Indonesia besar, developer lokal hanya menguasai sekitar 0,4% dari pangsa pasar. Hal itu menunjukkan, pasar game Indonesia memang masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan game asing. Pemerintah Indonesia ingin mengubah hal ini.

Menyeimbangkan Posisi Developer Lokal dan Asing

Presiden Asosiasi Game Indonesia (AGI), Cipto Adiguno, mengungkap bahwa pertumbuhan industri game Indonesia sebenarnya sangat besar, yaitu 50% per tahun. Hanya saja, walau industri game lokal Indonesia terus tumbuh 50% per tahun dalam 10 tahun ke depan, pangsa pasar yang dikuasai oleh developer lokal tetap tidak lebih dari 5%. Karena itu, bergandengan dengan berbagai kementerian dari pemerintah, AGI berusaha untuk mengakselerasi pertumbuhan industri game di Indonesia.

“Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan industri adalah menciptakan perusahaan yang besar,” kata Cipto ketika ditemui di Indonesia Game Developer Conference (IGDX) yang digelar di Sheraton Kuta, Bali. “Menurut Pareto Principle, 20% perusahaan terbesar akan memberikan efek sebesar 80% pada industri. Di industri game, angkanya sebenarnya di bawah itu. Misalnya, di Kanada, 5% perusahaan terbesar mempekerjakan 80% dari seluruh tenaga kerja. Jadi, sejumlah kecil perusahaan — tapi berukuran besar — dapat memberikan efek besar ke industri. Hal ini yang ingin kami lakukan.”

Cipto Adiguno, Presiden AGI. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Menurut Cipto, mendorong terciptanya perusahaan game lokal raksasa, hal lain yang bisa mendorong pertumbuhan industri game adalah regulasi yang lebih jelas. “Saat ini, game itu nggak ada peraturan. Kita punya rating system, tapi tidak wajib. Tidak ada penegakannya dan peraturannya tidak terlalu kuat,” ujarnya. Dan ketidakjelasan tersebut bisa menciptakan masalah. Misalnya, anak kecil memainkan game yang penuh dengan kekerasan. Dengan adanya regulasi yang lebih jelas dan penegakan sistem rating yang lebih kuat, diharapkan stigma buruk akan game juga bisa memudar.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika Kementerian Kominfo, I Nyoman Adhiarna mengatakan bahwa salah satu usaha pemerintah untuk membantu developer lokal agar bisa bersaing dengan developer asing adalah menyamaratakan kedudukan keduanya dalam pasar, termasuk dalam hal pembayaran pajak.

“Selama ini, ketika kita bermain game dan membeli item di aplikasi, uang tersebut langsung masuk ke perusahaan game. Dan perusahaan tidak pernah bayar pajak ke kita,” ujar Nyoman. “Sementara itu, para pembuat game di Indonesia, mereka punya badan hukum Indonesia, mereka harus bayar PPN, harus bayar PPh. Hal ini tidak adil. Karena itu, kita ingin agar tercipta level playing field. Jadi mungkin, nantinya, perusahaan game asing harus membayar sesuatu ke pemerintah, walau bentuknya mungkin bukan pajak.”

Selain soal pajak, Nyoman mengungkap, hal lain yang ingin pemerintah lakukan adalah memastikan game-game buatan perusahaan asing yang diluncurkan di Tanah Air memang punya nilai yang sama dengan budaya Indonesia. Pada saat yang sama, dia berkata, pemerintah juga tidak ingin membuat peraturan yang terlalu ketat. Karena, dikhawatirkan, hal itu justru akan mematikan pertumbuhan industri game di Indonesia.

I Nyoman Adhiarna. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Ketika ditanya apakah rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada perusahaan game asing akan membantu developer Indonesia, Cipto menjawab iya. Dia lalu menjelaskan, selama ini, ketika gamers membeli item dalam game, maka mereka akan menanggung PPN sebesar 10%. “Kalau kita menjual barang digital sebesar Rp100 ribu, sebenarnya, pembeli harus membayar Rp110 ribu. Dari pemasukan Rp100 ribu, App Store dan Play Store akan minta sebagian sebagai komisi. Tapi, mereka tidak memberikan faktur pajak ke kita. Jadi, kita bayar lagi PPN-nya,” cerita Cipto.

Cipto juga mengungkap, saat ini, pasar game di Indonesia sangat terbuka. “Perusahaan dari luar bisa jual game seenak hati mereka,” katanya. “Tapi, dari sini, untuk bisa keluar, tidak semudah itu.” Dia memberikan contoh, terkadang, untuk bisa meluncurkan game di negara-negara tertentu, developer harus memastikan bahwa data pemain disimpan di server yang berada di negara asal pemain. Contoh lainnya, untuk bisa meluncurkan game di Jepang, developer harus mematuhi sistem rating di negara itu. Selain itu, proses penetapan rating itu juga berbayar. Hal yang sama juga berlaku di Korea Selatan.

“Ada juga negara-negara yang melarang game untuk masuk sama sekali kalau kita tidak kerja sama dengan perusahaan lokal,” ujarnya. Salah satu negara yang dia maksud adalah Tiongkok. Untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, perusahaan game harus mematuhi banyak peraturan dari Beijing. Salah satunya adalah kerja sama dengan perusahaan lokal.

“Peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah negara-negara lain kan beragam, mulai dari agak mengganggu sampai benar-benar memblokir. Kita akan coba cari regulasi somewhere in-between,” kata Cipto. “Karena, kalau ketat memblokir juga pasti banyak backlash. Dan kita sebagai pemain game juga tidak mau kalau game favorit kita tutup. Kita kan juga bagian dari WTO (World Trade Organization), jadi tidak bisa seenaknya memblokir begitu saja.”

Meningkatkan Kualitas SDM

Jika dibandingkan dengan Jepang atau Amerika Serikat, industri game di Indonesia masih sangat muda. Alhasil, salah satu masalah yang muncul di industri game Indonesia adalah kurangnnya sumber daya manusia (SDM) yang berpengalaman. Untuk mengatasi masalah itu, Kominfo dan AGI mengadakan IGDX Academy. Program one-on-one mentoring itu diikuti oleh 25 developer game lokal.

Program IGDX Academy sendiri terbagi ke dua kategori: intermediate dan advanced. Cipto menjelaskan, kelas intermediate ditujukan untuk developer yang relatif berumur muda. Mereka akan dipasangkan dengan mentor dari dalam negeri. Sementara itu, kategori advanced ditujukan untuk developer yang sudah menjadi mentor lokal. Mereka akan mendapatkan mentor dari luar negeri. Para mentor yang dipilih untuk membimbing para peserta IGDX Academy ditetapkan oleh AGI.

“Ketika mencari mentor, pertama yang kita cari adalah pengalaman,” jawab Cipto ketika ditanya tentang karakteristik dari para mentor IGDX Academy. “Sejak awal, kita tahu bahwa skill yang akan diajari bukan skill teknis, tapi bagaimana cara untuk menjalankan bisnis game. Informasi itu adalah informasi penting yang banyak orang nggak tahu.”

Para developer yang menjadi mentee dari IGDX Academy.

“Seorang mentor harus punya posisi strategis. Kalau posisinya adalah technical programmer, dia tidak bisa menjadi mentor. Karena seorang mentor harus pernah mengambil keputusan strategis, seperti kemana tujuan perusahaan,  ketika dihadapkan pada dua pilihan, kenapa perusahaan mengambil keputusan A,” ungkap Cipto. Dia lalu menjelaskan alasan mengapa AGI memilih untuk mencari mentor yang mengerti sisi non-teknis.

“Sebagian besar developer game Indonesia memulai karir mereka karena mereka memang suka main game, bukan karena mereka mau dapat uang,” kata Cipto. “Kalau seseorang mengerti bisnis dan mau dapat uang, ada banyak pilihan lain yang lebih obvious dari game, seperti membuat startup teknologi, bisa dapat investasi, atau bermain Bitcoin. Tapi, biasanya, developer yang punya produk menjanjikan, mereka memang datang dari latar belakang yang bisa membuat produk yang bagus, tapi mereka biasanya tidak punya pemahaman bisnis yang baik.”

Selain pernah menduduki jabatan sebagai co-founder atau C-level, kriteria lain dari mentor IGDX Academy adalah lama pengalaman. AGI berusaha untuk mencari orang-orang yang sudah berkecimpung di dunia game selama setidaknya 10 tahun. Cipto menyebutkan, besar kecil dari perusahaan tempat sang mentor bekerja justru bukan masalah. Kriteria terakhir dari mentor yang AGI cari adalah ketersediaan waktu.

“Orang-orang dengan posisi strategis dan banyak pengalaman pasti sibuk,” ujar Cipto. Karena itu, dia menjelaskan, AGI mendesain program mentorship IGDX Academy sedemikian rupa agar para mentor tidak harus menghabiskan banyak waktu mereka. Seorang mentor biasanya bertanggung jawab atas dua mentee. Dan setiap mentor hanya harus menghabiskan waktu dengan masing-masing mentee mereka selama 40 menit seminggu. Artinya, seorang mentor hanya harus menghabiskan waktu selama kurang dari dua jam dalam seminggu.

Blockchain Gaming: Bagaimana Axie Infinity Menggapai Popularitasnya

Konsep blockchain pertama kali diajukan pada 1982, oleh cryptographer David Chaum. Namun, blockchain baru mulai dikenal masyarakat banyak setelah teknologi itu digunakan pada cryptocurrency, seperti Bitcoin. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, blockchain punya peran penting dalam sistem cryptocurrency. Karena, blockchain adalah teknologi yang memastikan keamanan dan validitas dari transaksi cryptocurrency. Penggunaan blockchain menjamin bahwa transaksi dalam cryptocurrency aman dan terpercaya, tanpa perlu keberadaan pihak ketiga sebagai penjamin.

Setelah sukses dengan cryptocurrency, blockchain digunakan untuk berbagai sektor, termasuk game. Belakangan, mulai muncul game dengan model bisnis baru, yang diklaim sebagai blockchain game. Menurut Niko Partners, blockchain game merupakan tren teraru yang berpotensi mendisrupsi industri game. Dan tren tersebut tumbuh pesat di Asia.

Apa Itu Blockchain Game?

Sebelum membahas soal blockchain game, mari kita mendefinisikan blockchain itu sendiri. Secara sederhana, blockchain adalah sekumpulan data — disebut blok — yang terhubung dengan satu sama lain melalui cryptography. Setiap blok dalam blockchain bersifat unik dan tidak bisa diubah. Karena, jika salah satu blok dalam sebuah blockchain diubah, perubahan itu akan mempengaruhi blok-blok lain dalam blockhain tersebut.

Satu hal yang membedakan blockchain game dengan game tradisional adalah semua aset digital yang digunakan dalam blockchain game merupakan Non-Fungible Token (NFT). Artinya, setiap aset digital di blockchain game berbeda dengan satu sama lain. NFT sendiri merupakan unit data yang tersimpan dalam blockchain. Dan segmen blockchain yang menyimpan semua aset sebuah game itulah yang disebut blockchain gaming.

Blockchain dikenal sebagai teknologi yang digunakan untuk cryptocurrency. | Sumber: Pexels

Selain penggunaan NFT, satu hal lain yang membedakan blockchain game dengan game tradisional adalah model bisnis yang digunakan. Blockchain game memperkenalkan model bisnis baru yang disebut “play to earn“. Sesuai namanya, game dengan model bisnis itu memungkinkan para pemainnya untuk mendapatkan uang dengan bermain game. Jadi, ketika seseorang memainkan blockchain game dengan model bisnis play-to-earn, setiap dia bermain, dia akan mendapatkan reward berupa aset digital. Reward tersebut akan bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional.

Selain model play-to-earn, blockchain game juga menerapkan model bisnis “play to trade“. Dengan model bisnis itu, pemain akan bisa mendapatkan token saat bermain. Token tersebut bisa diperjualbelikan untuk mendapatkan uang kertas. Bagi developer, ketika mereka hendak mengembangkan blockchain game dengan model play-to-earn, mereka harus bisa mengintegrasikan model bisnis itu ke desain dan gameplay dari sebuah game.

Di atas kertas, blockchain game dengan model bisnis play-to-earn merupakan impian bagi para gamers. Gamers mana yang tidak mau mendapatkan uang hanya dengan bermain game? Dan berbeda dengan atlet esports, Anda tidak harus punya kemampuan yang sangat luar biasa untuk bertanding di turnamen kelas atas dan mendapatkan hadiah.

Meskipun begitu, para pemain blockchain game juga punya kekhawatiran tersendiri. Salah satunya, mereka khawatir bahwa masalah teknis akan membuat aset digital mereka hilang — yang berarti uang mereka akan hilang. Keresahan lain yang mereka rasakan adalah penipuan. Karena, perusahaan blockchain game tidak wajib untuk mematuhi regulasi terkait pencucian uang atau untuk mengenal pemain mereka. Hal ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh para penipu.

Contoh Blockchain Game: Axie Infinity

Saat ini, ada beberapa blockchain game yang populer, seperti CryptoKitties, The Sandbox, dan Decentraland. Dengan jumlah pemain aktif harian mencapai satu juta orang, Axie Infinity menjadi contoh lain dari blockchain game yang populer. Axie Infinity adalah blockchain game buatan Sky Mavis, developer asal Vietnam. Pada Januari 2021, total pemasukan studio itu adalah US$103 ribu. Angka ini meningkat pesat pada Agustus 2021, menjadi US$364 juta. Tak hanya itu, Sky Mavis juga berhasil mendapatkan pendanaan Seri B sebesar US$150 juta.

Bagaimana mekanisme dari Axie Infinity? Blockchain game itu punya dua token. Token pertama adalah Smooth Love Potion (SLP), yaitu mata uang dalam game yang bisa digunakan untuk mengembangbiakkan axie alias binatang dalam game. Pemain bisa mendapatkan SLP sebagai reward ketika mereka memainkan Axie Infinity. Jumlah SLP dalam game tidak dibatasi. Token kedua adalah Axie Infinity Shards (AXS), yang bisa didapatkan dengan menjual axie dalam game. AXS inilah yang bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Hanya saja, jumlah maksimal AXS dibatasi, hanya 27 juta unit. Per September 2021, harga satu AXS adalah US$60. Diperkirakan, angka ini akan terus naik di masa depan.

Ketika pemain menjual axie mereka melalui marketplace dalam game, Sky Mavis akan mendapatkan komisi senilai 4,25% dari nilai transaksi. Dari sinilah sumber pemasukan studio tersebut. Menurut CryptoSlam, sejauh ini, total nilai penjualan NFT di Axie Infinity telah mencapai lebih dari US$2 miliar.

Filipina menjadi pasar terbesar untuk Axie Infinity. Pada April 2021, sebanyak 29 ribu dari total 70 ribu downloads Axie Infinity berasal dari Filipina. Menurut Niko Partners, per Oktober 2021, jumlah gamers Axie Infinity di Filipina mencapai 300 ribu orang. Faktanya, blockchain game itu begitu populer di negara kepulauan itu sehingga beberapa penjual di sana kini menerima SLP sebagai metode pembayaran untuk produk yang mereka tawarkan.

Popularitas Axie Infinity bahkan menarik perhatian Bureau of Internal Revenue (BIR) dan Department of Finance (DOF). Keduanya membuat pernyataan resmi, mengatakan bahwa cryptocurrency juga akan dikenai pajak. Namun, cryptocurrency hanya bisa dikenakan pajak ketika pemliiknya menukar cryptocurrency dengan mata uang tradisional atau menggunakannya untuk membeli barang yang harganya bisa diukur dalam mata uang tradisional.

Masalah di Axie Infinity

Sama seperti kebanyakan teknologi baru, blockchain game juga punya masalah sendiri. Untuk Axie Infinity, naik-turun harga SLP menjadi salah satu masalah. Misalnya, pada 13 Juli 2021, harga SLP sempat mencapai US$0,39, yang merupakan rekor termahal. Sementara pada pertengahan Agustus, nilai SLP telah turun menjadi US$0,081.

Perubahan harga drastis itu sempat membuat komunitas para gamers Axie Infinity di Discord dan Facebook khawatir. Tak hanya itu, opini negatif pun sempat merebak di kalangan para gamers. Sebagian dari mereka mulai meragukan validitas Axie Infinity. Meskipun begitu, sebagian gamers justru mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka mencoba untuk mendapatkan untung dari perubahan harga SLP.

Axie Infinity dari Sky Mavis.

Masalah yang terjadi pada Axie Infinity menunjukkan, permintaan dan ketersediaan aset akan berdampak besar pada ekonomi dalam blockchain game. Pada Axie Infinity, salah satu hal yang bisa developer lakukan untuk memecahkan masalah itu adalah dengan membiarkan pemain menggunakan SLP untuk aktivitas lain. Satu hal yang pasti, jika developer ingin membuat blockchain game yang sukses, mereka harus mempertimbangkan keberlangsungan dari game itu.

Keamanan menjadi masalah lain yang dikhawatirkan oleh pemain blockchain game. Mengingat seseorang bisa mendapatkan uang dengan bermain blockchain game, tidak heran jika ada hackers yang tertarik untuk mengambil alih akun blockchain game pemain lain untuk mendapatkan uang yang ada di akun tersebut. Selain itu, juga mulai muncul situs phishing yang menargetkan para pemain Axie. Ketiadaan regulasi terkait blockchain game juga memungkinkan penipu untuk berpura-pura menjadi developer game.

Sumber header: Twitter

The History of Random Access Memory: From Drums to DDR5

The Random Access Memory, or RAM, of a computer plays a quintessential part in allowing the computer to execute processes and programs. Unlike its counterpart, the ROM (Read Only Memory), the RAM’s memory is actually not permanent or volatile in proper terms. Hence, once the computer is shut down, the contents of the RAM will cease to exist. Therefore, the RAM is not used to store permanent information like the OS program, Input/Output systems, and other necessary utilities. Rather, it acts as the temporary space where the CPU can execute its computations and run your programs or games. This is why most gamers care less about the storage size of ROMs and more often emphasize the RAM when discussing gaming computers.

There are also two primary types of RAM in existence today, namely the Dynamic (DRAM) and Static (SRAM) RAM, with their own specific uses. Of course, this was not the case back in the day. In fact, the RAM has evolved and gone through many different iterations that have upgraded its power and simplified its structure into the minuscule yet complex hardware we know RAM of today. So, let’s take a look at the full history of the RAM, from its initial invention to the recently released state-of-the-art DDR5.

But before that, you will need some basic understanding of the job of RAMs in the computer. For RAMs to work, it needs to be able to read and write information. In other words, we must be able to store information and give that information back to the computer. The reason why we keep getting new iterations of RAM is to speed up each of these two operations. Simple enough? With that out of the way, let’s proceed.

 

Drum Memory

Source: Wikipedia

The first resemblance of a RAM was called Drum memory, invented in 1932 by Gusta Tauschek. Technically speaking, a Drum memory does not fully function as a modern-day RAM and is much more suited to be an HDD or hard disk drive. However, in those olden times, there was no reason to separate the main working memory or secondary memory, which is why we still could consider a Drum memory to be the first generation of RAM. 

So how does this ancient technology work? A drum memory’s outside surface is coated using a ferromagnetic material, which acts as the storage that saves binary information. Think of it as a disk or but 100 times larger. There are also read-write heads are positioned above the ferromagnetic surface to input or extract information. If you want to write information into the drum memory, an electromagnetic pulse is produced and the orientation of the magnetic particle in the surface is altered to store the binary information. If we want to perform a read, we can simply scan the intricate orientation of each magnetic particle along the surface. This is as simple as it gets when dealing with a Drum memory.

However, to optimize read-write speeds, we must have a great deal of knowledge of the structure of each hardware component. Programmers, in particular, were constrained to optimum programming, where they strictly position their code in the drum to minimize instruction loading time (also known as skip factor or interleaving). Despite all of these difficulties, drum memory was the primary choice of computer memory for more than two decades since the 1950s due to its efficient memory retrieval and low costs.

 

Vacuum Tube Memory

Source: Wikipedia

As mentioned previously, Drum memory acts much closer to a disk rather than a RAM due to its non-volatile nature. Thus, the first true grandfather of the RAM is actually the Williams Tube. The Williams Tube was invented in 1949 by Freddie Williams and Tom Kilburn. It utilizes the same exact technology as first-generation bulky TVs, which is the cathode ray tube. The memory writing works by sending an electron beam, deflecting it off with positively charged coils, and striking the phosphor surface to make the grid patterns shown below.

Williams Tube bit pattern | Source: computerhistory.org

These patterns represent the binary information that can be read by the computer. Like modern-day RAMs, the Williams Tube is non-volatile since these patterns will fade over time and the electron beams can overlap read-writes in each pattern spot. However, the Williams Tube’s major flaw lies in the electron beam deflection process, which is highly sensitive to nearby electrical fields. If there are any charge imbalances surrounding the cathode ray tubes, write operations can severely be compromised. The Vacuum Tube memory was first implemented on the Manchester Baby computer, allowing the computer to successfully run programs in June 1948.

 

Magnetic Core Memory

Source: cs.odu.edu

The Magnetic Core memory was considered the commercial RAM for computers in the 1950s up to the 1970s, essentially displacing the use of Drum memory for random-access purposes. The hardware is comprised of many magnetic rings (or core), which can store information due to a phenomenon called Magnetic Hysteresis. Simply put, these rings can remember information by altering the direction of the magnetization. We can change the polarization of these magnets (or input information) by conducting an electrical current to the many wires that run through the rings. As for the read operation, there is a special sensing wire to detect the charge state of each core extract the corresponding binary data.

Before the meta-defining transistors became the norm, these humongous magnetic core memory was the only solution for random access. However, you might be surprised that core memory is actually non-volatile, unlike a normal RAM. Instead, it falls into the category with which we know today as NVRAM. Core memory is able to retain information when the computer is shut-down because the magnetic rings can maintain their polarization.

Static Random Access Memory

Things took a turn after the invention of the metal-oxide-semiconductor or MOS memory in 1964. In short, MOS Memory was able to significantly outperform magnetic core memory while consuming less power and being cheaper to produce. Most importantly, however, MOS memory was able to be shrunk down into small chips that can easily be fitted inside a computer. It quickly took over the market and drove core memory out of fashion

Following the development of MOS, Robert H. Horman invented the first static random-access memory (SRAM) in 1963. A year later the MOS SRAM was invented by John Schmidt. IBM finally utilized SRAMs commercially when they released the SP95 memory chip in 1965.

A typical 6-transistor SRAM cell | Source: researchgate.net

It is not really easy to explain how an SRAM operates since you will require some degree of knowledge in electrical physics. In any case, the most important thing to note here is that SRAMs typically use 6 (MOSFET) transistors to store a bit of memory (either a 0 or 1). You can supply an electrical current accordingly to charge up these transistors and store the binary information, which will stay persistent when supplied with power. The term Static comes from the fact that it does not have to be recharged or refreshed periodically, opposite its counterpart DRAM. Consequently, SRAMs also consume much less power and are used to store more persistent data such as caches or registers that require brief but fast access times.

You might already realize that SRAM is not the RAM that you are probably thinking about. If you are taking a look at computer specs and see the RAM details, that is referring to DRAM. SRAMs also do not get the same amount of attention or development as DRAMs, since it plays a less significant factor in increasing computing power. Furthermore, SRAMs are much more expensive and take up a great deal of space compared to DRAMs. The history of the SRAM’s development is also expectedly boring. For instance, the latest iteration of SRAM was released by Hyundai in 1995 and still uses the same exact same MOSFET technology that was created 3 decades prior.

Dynamic Random Access Memory

Source: HP

We can now discuss the nitty-gritty part of the topic, DRAMs. As mentioned previously, DRAMs are what we would describe today as RAMs. It functions as the main memory for most computers and provides the required space for programs codes to run properly. This is why DRAMs are more important when talking about PC specifications, as it essentially plays a significant part in affecting a computer’s processing power.

So what distinguishes DRAMs from SRAMs? And why can’t they both switch up their jobs on a computer? The answer lies in the structure of both hardware. While SRAMs mostly use 6 transistors to store one bit of information, DRAMs are able to only use 1. Therefore, DRAMs, by their design, are much smaller have a greater storage density. Its relatively simple structure also makes DRAMs much cheaper per bit compared to SRAMs.

Conventional DRAM circuit design, notice its simplicity over the SRAM | Source: allaboutcircuits.com

Instead of using 5 extra transistors, DRAMs utilize capacitors to store the information. Capacitors are similar to rechargeable batteries. If the capacitor is charged, it means that it stores a 1. If it is uncharged, it stores a 0. The main caveat of DRAM’s design is that they must be periodically refreshed (hence the dynamic name) to retain information since capacitors slowly leak their charge away. This is the reason why SRAMs are more power-efficient in the long run. However,

The idea for creating DRAMs initially came up in 1966 when Robert H. Dennard was working on the SRAM technology. Dennard realized that a capacitor can be created using the same MOS technology and use transistors it up. And thus, DRAMs were born. The new memory technology was commercialized in 1969 by Honeywell, and, at this point, DRAMs were able to store 1000 bits or 1kbit of data. Unfortunately, this iteration of the DRAM, called 1102, had many problems that didn’t appeal to the market. Intel, which previously worked with Honeywell, eventually redesigned the DRAM and created a brand new chip on their own, called 1103. This was the first DRAM chip that was truly commercially ready and available for the public.

DRAM technology was upgraded in 1973 when Mostek released its MK4096 4000-bit chip. Designed by Robert Proebsting, the new DRAM made a significant breakthrough by utilizing an effective multiplexed addressing scheme. Essentially, this new design uses single address pins to access memory rows and columns by doing it in turn. In previous DRAMs, you would have to do this with two pins and address lines. Of course, reducing the number of pins also drops significantly down manufacturing costs, especially when memory size and density grow larger.

Mostek MK4096 4-Kilobit DRAM | Source: IEEE Spectrum

Mostek released the second iteration of its new DRAM chip called the MK4116, this time having 16 kbit of storage. The MK4116 chip proved to be very popular in those times and managed to own 3 quarters of the worldwide DRAM market share at one point. The last commercially produced chip was made by Samsung in February of 2001 with a capacity of 4 Gbit, and that seals the deal with the DRAM era.

But, of course, the RAM story did not end in 2001. Instead, it marked a transition towards a more advanced type of RAM called synchronous dynamic random-access memory or SDRAM.

Synchronous Dynamic Random Access memory

The primary difference between SDRAM and DRAM lies in their names. Regular DRAMs operate asynchronously with respect to the computer’s system clock, while SDRAMs will always stay synchronized. As a result, read-write operations of SDRAM are far more efficient and fast compared to DRAMs. The memory structure of SDRAM is also divided into a number of memory banks that allow for concurrent accesses, which improves speed yet again.

Samsung coincidentally was also the first manufacturer of the SDRAM chip called KM48L2000, which has a measly capacity of 16 Mbit. In June 1998, Samsung began experimenting with the DDR or Double Data Rate technology. DDR essentially allows data transfers to occur twice as fast compared to normal SDRAMs since it is able to send or receive signals two times per clock cycle. 3 years later, DDR2 was created, which doubles the speed of DDR1 yet again since it performs access four times per clock cycle. At this point, however, most large RAM manufacturers out like Sony and Toshiba there haven’t jumped into the DDR hype train, putting more effort into producing embedded DRAMs or eDRAMs

DDR3 was eventually developed in 2003 by, you guessed it, Samsung. Again, DDR3 doubled the read-write rate to 8 accesses per cycle. Despite all the increase in speeds, its progress is still heavily held back with latency or most commonly known as CAS latency. CAS Latency pertains to the delay between the RAM in responding to data access requests and, obviously, the lower latency the better. Unfortunately, the CAS latency increases as we continue to double our data rate, which means that slower SDRAMs might have a marginally lower “true” latency (latency that we experience).

Unlike the previous iterations of DDR, DDR3 gained widespread adoption by manufacturers and by the general users as well. Starting from mid-2008, Samsung began to commercialize DDR3 chips, initially with a capacity of 8192 Mbit. The chips were a massive hit and many computer systems in that time begin opting to use the DDR technology. Consequently, Samsung continued to upgrade the capacity and clock rates of the DDR3 to combat the aforementioned problem of latency. Another relatively new player in the RAM manufacturing business also began to jump into the DDR3 fray called SK Hynix. Both the Korean tech companies create the necessary competitiveness in the market to constantly improve the DDR3 technology to the next level.

Information about DDR4 was teased at Intel Developer Forum in 2008, which was expected to be released in 2011. Hynix struck first and released a DDR4 prototype in early 2011 with a capacity of 2048. The new double data rate tech promised a lot of things, lower power consumption (1.2v compared to 1.5v) and faster data transfers just to name a few. Samsung eventually commercialized its DDR4 chip in 2013, but most people have grown accustomed to its predecessor DDR3. Thus, the DDR4 technology only gained widespread adoption later in 2015.

As for the latest iteration of the DDRAM, we have DDR5. The JEDEC standards of DDR5 were already significantly delayed by 2 years after its initial expected release in 2018. Many manufacturers have also begun laying down their plans to release their DDR5 chips, some even already have put them out on the market for purchase.

However, you should probably not get your hands on a DDR5 as of now. Indeed, like all DDRAM updates, there is always a speed or performance gain. DDR5 also further decreases the memory voltage down to 1.1v compared to the 1.2v of the DDR4. Despite all these merits, DDR5s are probably not stable or compatible with most hardware or processors out there. The price of this new RAM also speaks for itself. DDR4, despite being more than 7 years old, is probably still the most suitable RAM to use as of now.

Conclusion

The DDR5 marks end of the history of the Random Access Memory, one of the most sought-after hardware components when discussing computing speed. If we take a look back again at the progress of the RAM, we were able to shrink giant-like magnetic core structures that used to fill up a whole room into minuscule pocket-sized hardware while exponentially increasing its storage capacity and access effectivity. That right just goes to show another feat of human intelligence and the immense power it beholds.

Featured Image: Freepik

Exclusive Interview: Industri VR di Indonesia di Luar Gaming

Industri AR/VR mungkin tidak berkembang sepesat yang diharapkan pada beberapa tahun lalu. Menurut GlobalData, tahun ini industri AR/VR tahun bernilai US$5 miliar. Padahal, pada 2015, nilai industri AR/VR diperkirakan akan mencapai US$150 miliar. Meskipun begitu, menurut data dari PwC, teknologi AR/VR akan tetap dapat mendorong ekonomi global. Dalam laporan berjudul Seeing is Believing, PwC menyebutkan, teknologi AR dan VR dapat memberikan dorongan sebesar US$1,5 triliun pada ekonomi global di 2030.

Bentuk Dorongan yang AR/VR Berikan

Di laporan Seeing is Believing, PwC juga menjelaskan bagaimana teknologi AR/VR dapat mendorong ekonomi global. Mereka menyebutkan, keuntungan yang bisa didapat oleh perusahaan dari teknologi AR/VR beragam, mulai dari mempercepat proses desain produk sampai menjadi alat latihan untuk mengerjakan tugas berbahaya. Sebagai contoh, militer bisa menggunakan VR untuk melatih pasukan dalam menjinakkan bom.

Selain itu, AR/VR juga bisa memangkas waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mendesain produk. Karena, teknologi AR/VR memungkinkan perusahaan untuk menguji konsep produk tanpa harus membuat prototipe dari produk tersebut. Dampaknya ke konsumen, hal ini membuat perusahaan dapat memberikan produk dengan kualitas lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.

Dampak AR/VR pada ekonomi global. | Sumber: PwC

Contoh industri yang menggunakan teknologi VR untuk memangkas waktu desain produk adalah industri otomotif. Menurut PwC, waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan otomotif untuk membuat desain pertama sampai model di dunia nyata adalah beberapa minggu. Namun, dengan VR, proses tersebut bisa dilakukan hanya dalam waktu beberapa hari saja.

Perusahaan juga bisa menggunakan teknologi AR/VR untuk mendapatkan sumber pemasukan baru. Saat ini, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang retail, jasa, dan otomotif tengah mempertimbangkan untuk menggunakan AR atau VR untuk menampilkan produk yang mereka tawarkan pada konsumen. Sementara perusahaan game dan hiburan mencoba untuk memberikan pengalaman yang sama sekali baru dengan teknologi AR/VR.

Industri VR di Indonesia: Pandemi Justru Dorong Pertumbuhan

Untuk mengetahui tentang industri AR/VR di Indonesia, saya menghubungi Andes Rizky, Managing Director, Shinta VR. Ketika ditanya soal nilai industri AR/VR di Tanah Air, Andes berkata, “Kalau nilai industri, saya mengacu sama perhitungan dari PwC dengan beberapa adjustment, bahwa Indonesia masuk dalam pasar Asia Pasifik non-Tiongkok. Kalau kita sesuaikan, sebenarnya potensi pasar AR/VR di Indonesia itu bisa sekitar US$500 juta sampai US$2 miliar pada 2025.”

Lebih lanjut, Andes bercerita, konsumsi konten AR/VR di Indonesia mulai naik sejak 2019. Karena, ketika itu, Oculus Quest diluncurkan. Keberadaan Oculus Quest mendorong pertumbuhan industri VR karena jika dibandingkan dengan headset VR lain, Oculus Quest punya harga yang lebih terjangkau. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri AR/VR, ungkap Andes, adalah karena semakin banyak influencers dan YouTubers yang membuat konten VR, jika dibandingkan dengan 5 tahun lalu.

“Kalau dari peningkatan penjualan sendiri, kita memperkirakan, 2020-2021 ini, peningkatan pendapatan para startup VR naik di angka 50-200% dari tahun 2019,” kata Andes saat dihubungi melalui pesan singkat. “COVID-19 menyebabkan banyak sekali perusahaan, institusi pemerintah, dan masyarakat melirik VR sebagai solusi pandemi.”

Bisnis AR/VR di Indonesia

Mengutip data dari data dari Indonesia VR/AR Association (INVRA), Andes mengatakan, saat ini, ada sekitar 20 startup yang bergerak di bidang AR/VR di Indonesia. Kebanyakan dari startup itu fokus pada bisnis business-to-business (B2B). “Yang punya produk hanya beberapa startup, seperti Shinta VR dengan Millealab, Space Collab, dan Virtual Character, WIR dengan produk MINAR dan DAV, Octagon Studio dengan AR Card Education, dan Assmbler,” jelas Andes.

Startup AR/VR yang melayani perusahaan sebagai klien, mereka biasanya mengerjakan proyek berdasarkan apa yang diinginkan oleh sang klien. “Jadi, perusahaan klien mau buat konten VR, lalu dikerjakan oleh startup-nya,” kata Andes. “Nah, permintaannya macam-macam, ada untuk marketing, training, dan lain sebagainya.”

Perusahaan yang menjadi klien startup VR berasal dari industri yang beragam. Pariwisata dan kesehatan jadi contoh industri yang pelakunya menggunakan AR/VR. Sementara sektor yang paling banyak menggunakan teknologi AR dan VR, menurut Andes, adalah sektor hiburan, pendidikan, dan human development. “Kalau AR, kemungkinan, sektor retail dan e-commerce akan berlomba ke sini,” ujarnya.

Kabar baik untuk pelaku industri AR/VR, generasi milenial dan gen Z yang tinggal di kota-kota besar Indonesia biasanya sudah mengerti VR. Artinya, perusahaan-perusahaan AR/VR tidak perlu terlalu mengkhawatirkan edukasi konsumen. “Jadi, orang-orang di rentang umur 10-35 tahun di kota besar, mereka sudah mengerti VR itu apa. Setidaknya, mereka sudah pernah lihat konten di media sosial atau YouTube, yang bahas tentang VR, walaupun mereka belum pernah langsung coba,” kata Andes. “Kalau dibandingkan dengan lima tahun lalu, edukasi dan awareness tentang VR sudah jauh lebih baik.”

Selama ini, salah satu masalah terbesar yang menghambat industri AR/VR tumbuh adalah harga hardware yang mahal. Namun, menurut Andes, masalah ini bisa diakali dengan membuat produk yang memang sesuai dengan permintaan pasar di Indonesia dan menerapkan strategi harga yang sesuai. “Kita di Shinta VR, untuk melakukan market fit research, kita butuh 6 bulan di 2018,” ungkap Andes. “Kita melakukan iterasi produk beberapa kali. Satu kali iterasi validasi, biasanya membutuhkan waktu 2 bulan.”

Andes menyebutkan, riset menjadi kunci bagi Shinta VR untuk menetapkan harga dari produk mereka. Sementara soal harga ideal dari produk VR, dia mengatakan, hal itu targantung pada keadaan pasar. Karena itulah, dia menekankan, penting bagi perusahaan untuk melakukan riset market fit. “Iterasi produk bisa sampai tiga kali atau lebih,” ujarnya. “Sebagian orang masih menganggap bahwa VR itu mahal dan eksklusif. Padahal, memang dia kebetulan belum ketemu dengan vendor atau produk yang memang sesuai dengan kemampuan mereka. Atau mungkin karena added value-nya kurang tersampaikan.”

Selama ini, Shinta VR dikenal berkat Milealab mereka, yaitu platform yang mendukung penggunanya untuk membuat konten edukasi VR. Tahun ini, mereka meluncurkan produk baru bernama Spacecollab, yang merupakan sistem pelatihan untuk universitas dan perusahaan, dan Maha5, agensi untuk para Virtual YouTuber alias Vtubers.

Andes percaya, ke depan, industri Vtubers di Indonesia akan menjadi besar. Meskipun begitu, menurutnya, hal yang dapat membuat industri VR menjadi mainstream adalah konsep metaverse dari Meta, yang dulu dikenal dengan nama Facebook.

“Konsep meta ini punya banyak efek. Pertama, NFT dan blockchain system semakin meningkat. Kedua, produsen headset VR akan berlomba-lomba untuk membuat alat yang ringan dan murah. Ketiga, emotional connection insight dalam dunia metaverse ini bisa memberikan insight konsumen dengan lebih komprehensif. Empat, sudah pasti akan leverage penggunaan AI dan machine learning,” kata Andes. “Konsep Meta Facebook sebenernya untuk lebih mendapatkan insight emotional loh. Dan ini bakal banyak dibutuhkan dalam dunia commerce atau social-commerce.”

Sumber: Pexels