Semua Tentang Game Porting: Apakah Semuanya Hanya Soal Uang dan Keuntungan?

Setiap platform gaming punya pasar sendiri-sendiri. Karena, setiap gamer punya platform favorit masing-masing. Sebagian orang sudah puas dengan mobile game dan sebagian yang lain lebih memilih untuk bermain di konsol. Selain itu, juga ada gamers yang menjadi penganut “PC Master Race”. Jadi, salah satu cara bagi developer untuk memperluas target market mereka adalah dengan meluncurkan game di banyak platform.

Hanya saja, membuat game di banyak platform sekaligus bukanlah hal yang mudah. Jika tidak hati-hati, hal ini justru bisa jadi bumerang bagi developer. Contohnya, ketika CD Projekt Red memaksakan untuk meluncurkan Cyberpunk 2077 di konsol last-gen — PlayStation 4 dan Xbox One — mereka diprotes para gamers karena game itu tidak bisa berjalan lancar di kedua konsol itu. Mereka bahkan sempat harus menarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation Store.

Namun, jika developer sukses membuat porting game ke platform lain, hal ini akan menjadi sumber pemasukan baru bagi developer. Developer yang sukses melakukan porting game ke banyak platform adalah Rockstar Games dengan Grand Theft Auto V. Pada awalnya, game itu diluncurkan untuk PlayStation 3 dan Xbox 360. Setelah itu, mereka merilis game itu untuk PS4, Xbox One, dan PC. Sekarang, mereka berencana untuk membawa game tersebut ke PS5 dan Xbox Series X.

Serba-Serbi Porting di Game

Sebelum membahas tentang keuntungan dan tantangan dalam melakukan porting game, mari kita bahas definisi dari proses porting itu sendiri. Sederhananya, porting adalah proses untuk menyesuaikan software — dalam kasus ini, game — sehingga ia bisa dijalankan di platform yang berbeda dari platform orisinal ketika game itu dibuat.

Salah satu alasan mengapa developer memutuskan untuk melakukan porting dari game mereka adalah untuk menjangkau audiens baru. Karena, masing-masing platform punya pasarnya sendiri. Secara total, angka penjualan PS3 mencapai 87,4 juta unit dan Xbox 360 84 juta unit. Jadi, ketika Rockstar merilis GTA V untuk PS3 dan Xbox 360, maka target pasar mereka terbatas pada 171,4 juta orang yang memiliki konsol itu. Dengan meluncurkan GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, maka Rockstar juga akan bisa menjangkau gamers dari ketiga platform tersebut.

Grand Theft Auto V pada awalnya hanya tersedia untuk PS3 dan Xbox 360.

Dengan memperluas target pasar sebuah game, developer bisa menggenjot pemasukan mereka. Terlepas dari model bisnis yang developer terapkan pada game yang mereka buat — baik model premiun, subscription, ataupun in-app purchase — semakin banyak orang yang memainkan game mereka, semakin besar pula pemasukan yang developer bisa dapatkan, seperti yang disebutkan oleh Know Techie.

Selain itu, jika dibandingkan dengan membuat game yang sama sekali baru, melakukan porting ke platform lain lebih mudah untuk dilakukan. Ketika melakukan porting game, developer juga tidak perlu lagi melakukan validasi pasar. Karena, mereka sudah tahu bahwa game yang hendak mereka porting sudah punya fanbase. Meskipun begitu, melakukan porting game dari satu platform ke platform lain bukanlah perkara gampang.

Miguel Angel Horna, Co-founder dan Lead Programmer dari Blitworks menjelaskan langkah-langkah dalam proses porting. BlitWorks adalah perusahaan asal Spanyol yang dikenal karena telah melakukan porting dari sejumlah game ternama, seperti Fez, Sonic CD, Jet Set Radio, Bastion, Spelunky, dan Don’t Starve. Perusahaan yang didirikan pada 2012 itu telah melakukan porting game ke berbagai platform, mulai dari PS3, PS4, PS5, PS Vita, Xbox 360, Xbox One, Xbos Series X, Steam, Nintendo Switch, sampai iOS dan Android.

“Biasanya, proses porting game terdiri beberapa langkah. Masing-masing langkah itu punya tantangan tersendiri,” kata Horna pada Game Developer. “Langkah pertama adalah membuat game yang hendak kita porting bisa dijalankan di platform yang menjadi target porting. Proses ini kompleks. Masalah yang timbul di bagian ini juga biasanya paling sulit untuk diatasi karena ketergantungan pada libraries atau middleware khusus.”

Spelunky 2 adalah salah satu hasil kerja BlitWorks.

Horna mengungkap, salah satu hal yang berpotensi memunculkan masalah adalah ketika developer menggunakan closed-source tools untuk membuat game mereka. Artinya, source code dari tools itu tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Masalah akan semakin rumit jika tools yang developer gunakan tidak mendukung platform target porting. Dalam kasus ini, developer yang hendak melakukan porting harus membuat ulang game yang ingin mereka porting. “Terkadang, kami harus membuat game dalam bahasa programming baru yang mendukung platform target,” katanya.

Setelah game yang hendak di-porting bisa berjalan di platform tujuan, langkah berikutnya, jelas Horna, adalah untuk menyediakan graphics support yang sesuai. Dia menyebutkan, jika sejak awal pengembangan game developer sudah mempertimbangkan untuk melakukan porting ke platform lain, biasanya mereka akan memisahkan bagian graphics calls dari kode utama. Hanya saja, terkadang, kode graphic calls tercampur dengna kode utama. “Jadi, kami harus memisahkan graphic calls ke library lain, sebelum mengimplementasikannya ke graphics API dari platform tujuan,” katanya.

Tahap berikutnya adalah menyempurnakan game. Karena, di tahap ini, walau game sudah bisa dijalankan di platform tujuan dan grafik game sudah disesuaikan, masih ada bugs dalam game. Menurut Horna, bugs yang muncul dalam game biasanya sulit untuk diduga. Karena itu, penting bagi developer yang hendak melakukan porting untuk memahami cara kerja hardware dari masing-masing platform gaming. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui penyebab dari masalah yang muncul dan mencari solusi yang tepat.

“Akhirnya, setelah game berjalan dengan lancar, Anda harus berurusan dengan banyak detail kecil yang memakan banyak waktu,” ujar Horna. “Anda harus mengubah control game agar sesuai dengan platform tujuan porting. Anda juga harus menyesuaikan antarmuka dengan ukuran layar dan resolusi dari platform tujuan.”

Ketika melakukan porting, control game harus disesuaikan karena setiap platform punya metode input yang berbeda-beda. Misalnya, smartphone memiliki touchscreen sementara konsol menggunakan controller. Dan gamers PC biasanya menggunakan mouse dan keyboard, walau mereka juga bisa memasang controller. Dan ketika resolusi game diubah, Horna mengungkap, mereka harus memastikan bahwa semua teks dalam game tidak hanya sesuai dengan resolusi dari platform tujuan, tapi juga bisa dibaca dengan jelas.

Melakukan Porting Game Lama “Lebih Aman” Bagi Developer

Game memang industri yang besar. Dan demokratisasi alat untuk membuat game — seperti game engine — memudahkan orang-orang yang ingin terjun ke dunia game development. Masalahnya, membuat game adalah bisnis yang membutuhkan model besar di awal. Dan jika game yang sudah diluncurkan tidak laku, maka developer harus siap menelan rugi. Karena itu, penting bagi developer untuk melakukan riset dan validasi pasar sebelum mereka membuat sebuah game.

Dalam sebuah video Asosiasi Game Indonesia (AGI), CEO Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjelaskan bahwa ketika developer hendak menentukan game yang mereka mau buat, ada dua pendekatan yang bisa mereka gunakan: market-oriented approach dan product-oriented approach.

Ketika developer menggunakan pendekatan market-oriented, maka sejak awal, mereka memang sudah mencari tahu tentang tren di industri game. Mereka kemudian membuat game berdasarkan tren tersebut. Sebagai contoh, ketika genre battle royale tengah booming, ada banyak developer yang ikut membuat game dengan genre itu.

Sementara itu, dalam pendekatan product-oriented, developer akan menentukan game yang hendak mereka buat terlebih dulu, sebelum melakukan validasi pasar. Kris menyebutkan, saat developer menggunakan pendekatan ini, kesalahan yang biasa terjadi adalah developer terlalu sibuk untuk membuat game yang mereka inginkan, lalu lupa untuk mencari tahu apakah ada orang-orang yang juga mau memainkan game tersebut.

Karena validasi pasar penting, melakukan porting game menawarkan risiko yang lebih kecil daripada membuat game baru. Karena, game yang hendak di-porting pasti sudah memiliki fanbase sendiri. Hal ini juga jadi alasan mengapa belakangan, ada banyak developer yang memutuskan untuk membuat versi remastered atau remake dari game-game mereka.

Alasan lain mengapa melakukan porting game bisa meminimalisir risiko kerugian adalah karena membuat game lama bisa dimainkan di platform baru, hal ini bisa membuat pemain merasakan nostalgia. Dan nostalgia bisa mendorong seseorang untuk mengeluarkan uang; dalam kasus ini, untuk membeli game.

Efek perasaan nostalgia pada kecenderungan seseorang untuk membeli sesuatu dibahas dalam studi berjudul Nostalgia Weakens the Desire for Money. Dalam jurnal itu tertulis, konsumen punya kecenderungan lebih besar untuk menghabiskan uang ketika mereka merasakan nostalgia. Misalnya, ketika Anda melihat sesuatu yang membuat Anda teringat akan masa kecil bahagia Anda bersama teman dan keluarga, Anda akan punya kemungkinan lebih besar untuk terdorong membeli barang tersebut. Contoh lainnya, saya membeli Stardew Valley karena saya punya kenangan manis saat memainkan Harvest Moon.

Nostalgia bisa jadi salah satu cara untuk melakukan marketing game. | Sumber: Steam

“Kami ingin tahu, kenapa nostalgia sering digunakan dalam marketing,” tulis Jannine D. Lasaleta, Constantine Sedikides, dan Kathleen D. Vohs — penulis jurnal Nostalgia Weakens the Desire for Money. “Ternyata, salah satu alasannya adalah karena nostalgia melemahkan kendali seseorang akan uang. Dengan kata lain, seseorang punya kesempatan lebih besar untuk membeli sesuatu yang membuat mereka merasakan nostalgia.”

Ketiga penulis itu juga menyebutkan, di masa resesi, konsumen biasanya sangat hati-hati dalam menghabiskan uang mereka. Nostalgia bisa digunakan untuk mendorong konsumen berbelanja, dan pada akhirnya, menstimulasi ekonomi, seperti disebutkan oleh Science Daily.

Membuat porting dari game yang sudah ada tidak hanya “lebih aman” dari segi bisnis, tapi juga dari segi kreatif. Ketika developer berhasil membuat game yang sangat keren, fans akan punya ekspektasi tinggi akan game yang dibuat oleh developer tersebut. Sebagai contoh, berkat kesuksesan The Witcher 3: Wild Hunt, orang-orang punya ekspektasi tinggi akan Cyberpunk 2077, game baru dari CD Projekt. Banyak gamers yang mengira dan berharap, Cyberpunk 2077 akan punya kualitas yang sama, atau bahkan lebih baik dari The Witcher 3. Sebagian orang bahkan menyebut Cyberpunk 2077 sebagai “penerus” dari The Witcher 3. Sayangnya, Cyberpunk 2077 gagal untuk memenuhi ekspektasi fans.

Dari segi bisnis, Cyberpunk 2077 memang terbilang sukses. Buktinya, dalam laporan perkiraan keuangan CD Projekt untuk 2020, total pemasukan perusahaan diperkirakan mencapai US$562 juta, 4 kali lipat dari pemasukan mereka pada 2019, seperti yang disebutkan oleh GamesIndustry. Tak hanya itu,  total pemasukan itu juga 2,5 lipat lebih besar dari pemasukan CD Projekt pada 2015 — tahun ketika The Witcher 3 diluncurkan. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, banyak fans yang merasa kecewa dengan CD Projekt karena gagal memenuhi janji-janji yang mereka buat sebelum Cyberpunk 2077 diluncurkan. Misalnya, janji tentang AI dan NPC di Cyberpunk 2077 yang jauh lebih baik dari kebanyakan game.

Cyberpunk 2077 sempat diharapkan akan menjadi “penerus” The Witcher 3.

Jadi, dengan membuat porting game, tim kreatif sebuah developer tidak terlalu dipusingkan dengan apakah game terbaru mereka akan memiliki kualitas yang tidak kalah dari “masterpiece” mereka sebelumnya. Karena itu, jangan heran jika Rockstar memutuskan untuk membawa Grand Theft Auto V ke PS5 dan Xbox Series X. Saat ini, game tersebut telah terjual sebanyak 155 juta unit, menjadikannya sebagai game dengan total penjualan terbesar ke-2 setelah Minecraft.

Hambatan untuk Membuat Porting?

Membuat porting game dari satu platform ke platform lain memang relatif lebih mudah daripada membuat game dari nol. Namun, hal itu bukan berarti proses porting tidak menawarkan tantangan tersendiri, khususnya ketika developer melakukan porting game ke PC. Berbeda dengan konsol — yang memiliki spesifikasi yang sama — PC punya spesifikasi yang berbeda-beda. Ketika Anda membeli PS5, Anda tahu bahwa konsol itu akan menggunakan AMD Zen 2-based CPU, memiliki custom RDNA 2 sebagai GPU, dengan internal storage berupa SSD custom 825GB, dan memori 16GB GDDR6.

Sementara PC hadir dalam berbagai spesifikasi. Di satu sisi, para sultan bisa membeli PC gaming terbaik, tak peduli berapa banyak uang yang harus mereka habiskan. Yang penting, mereka bisa memainkan game dengan setting rata kanan. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang hanya memiliki laptop/PC kentang.  Bagi developer yang hendak melakukan porting game ke PC, keberagaman spesifikasi PC ini jadi momok tersendiri.

PC hadir dalam spesifikasi yang sangat beragam.

“Bayangkan, ada berapa banyak komponen dalam sebuah PC? Masing-masing komponen itu memiliki drivers sendiri-sendiri. Sebagian gamers mungkin sudah memasang update itu, tapi sebagian yang lain belum. Dan masing-masing komponen itu akan saling berinteraksi dengan satu sama lain,” jelas Jason Stark, Co-founder Disparity Games pada PC GAMER. “Membawa game ke konsol memang tidak mudah. Tapi, setidaknya, ketika Anda membuat game untuk konsol, Anda akan tahu bahwa ketika Anda menemukan masalah di Xbox One yang Anda gunakan, masalah itu akan muncul di semua Xbox One lain.”

Melakukan porting game PC dari konsol last-gen juga berpotensi menimbulkan masalahh tersendiri, seperti dalam resolusi dan framerate. Game yang dibuat untuk dijalankan pada 30 fps tidak akan mendadak bisa dijalankan pada 60 fps. Selain itu, sebuah game lawas tidak akan mendadak terlihat seperti baru ketika developer meningkatkan resolusi grafiknya, menjadi 4K. Stark bercerita, terkadang, developer harus mengutak-atik kode dasar sebuah game untuk membuat game bisa dijalankan pada resolusi dan framerate yang lebih tinggi. Dan jika salah, hal ini bisa menyebabkan bug yang mengacaukan gameplay.

Misalnya, dalam game Vanquish, ketika developer membuat game bisa berjalan pada 60 fps, muncul bug yang membuat pemain mendapatkan damage 2 kali lipat dari ketika game dijalankan pada 30 fps. Walau terkesan sederhana, bug ini bisa membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki. Sebagai contoh, di Dark Souls II, ada bug yang membuat senjata pemain rusak lebih cepat. Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki bug tersebut adalah satu tahun.

Selain menyesuaikan bagian grafik, Stark bercerita, terkadang, developer harus “membuat ulang” sebuah game menggunakan engine baru ketika mereka hendak melakukan porting ke platform baru. Bahkan, jika game yang hendak di-porting memang sudah sangat lawas, developer mungkin harus mempertimbangkan untuk merombak game itu sama sekali, termasuk bagian gameplay dari game.

Mari kita bandingkan Final Fantasy 7 Remake dengan Grand Theft Auto V. Ketika Rockstar membawa GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, mereka tidak merombak gameplay dari game tersebut. Mereka hanya perlu memastikan, GTA V bisa berjalan di ketiga platform tersebut. Lain halnya dengan FF7 Remake.

Ketika Square Enix memutuskan untuk membuat ulang FF7, mereka tidak bisa serta-merta meluncurkan game itu ke PlayStation 4. Pasalnya, FF7 adalah game lawas, diluncurkan pertama kali pada 1997. Square Enix tidak hanya harus memperbarui grafik dari FF7 ketika mereka membuat versi Remake, tapi juga mengubah gameplay dari game itu. Karena, gameplay FF7 orisinal kurang relevan di era modern.

Tak terbatas pada aspek teknis, ketika developer hendak melakukan porting game ke platform lain, mereka juga harus mempertimbangkan sisi marketing. Nicole Stark dari Disparity Games mengatakan, ketika sebuah game diluncurkan untuk platform baru, maka developer juga harus siap melakukan kampanye marketing baru, seperti menghubungi YouTubers baru atau mengurus fanbase baru.

Kesimpulan

Nilai industri game mencapai lebih dari US$100 miliar. Ironisnya, tidak sedikit developer game — khususnya developer indie — yang justru menjadi starving artists. Misalnya, di Indonesia, pengembangan When the Past Was Around hampir dihentikan karena Mojiken Studio mengalami masalah finansial. Karena itu, penting bagi developer untuk meminimalisir risiko game yang mereka buat gagal. Dan membuat porting game merupakan salah satu cara untuk melakukan hal itu.

Ke depan, proses porting game tampaknya juga menjadi semakin penting. Karena, menurut laporan App Annie dan IDC, cross-play adalah salah satu fitur yang membuat sebuah game menjadi semakin populer. Belum lama ini, Sony juga menyebutkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game di PC. Bahkan, saat ini, bisnis porting game sudah cukup lukratif sehingga ada developer yang memang mengkhususkan diri untuk melakukan porting.

Daftar Turnamen Esports Terpopuler Pada Oktober 2021

Pada Oktober 2021, League of Legends World Championship dan The International digelar. Keduanya merupakan kompetisi esports tertinggi untuk League of Legends dan Dota 2. Karena itu, tidak heran jika keduanya berhasil menjadi pusat perhatian fans esports pada bulan lalu. Sementara itu, di skena Counter-Strike: Global Offensive, turnamen Major juga tengah berlangsung. Di tingkat nasional, MPL Indonesia Season 8 tengah memasuki puncaknya dan di tingkat regional, ada kompetisi PUBG Mobile yang digelar untuk kawasan Asia Tenggara.

Berikut daftar lima turnamen esports terpopuler di Oktober 2021, menurut data dari Esports Charts.

5. PUBG Mobile Pro League Season 4 2021 SEA

PUBG Mobile Pro League Season 4 2021 SEA dimulai pada 12 Oktober 2021 dan berakhir pada 7 November 2021. Sepanjang bulan Oktober 2021, Ronde ke-12 pada Super Weekend 2, Hari ke-3 menjadi pertandingan paling populer dari PMPL S4 SEA. Di ronde tersebut, total peak viewers mencapai 644 ribu orang. Menurut laporan Esports Charts, satu-satunya liga PUBG Mobile nasional yang bisa menyaingi viewership PMPL S4 SEA adalah PUBG Mobile Professional League Indonesia (PMPL ID). Jika dibandingkan dengan PMPL S4 SEA, jumlah peak viewers PMPL ID hanya lebih sedikit 15%.

Statistik viewership PMPL S4 SEA berdasarkan platform dan bahasa. | Sumber: Esports Charts

YouTube merupakan platform favorit para fans untuk menonton PMPL S4 SEA. Di YouTube, PMPL S4 SEA mendapatkan 81,6 juta views dan 1,29 juta likes. Selain YouTube, PMPL S4 SEA juga ditonton di Facebook, NimoTV, TikTok, dan Twitch. Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, dari segi bahasa, siaran dengan bahasa Indonesia menjadi siaran PMPL S4 SEA yang paling banyak ditonton. Siaran dalam bahasa Malaysia menjadi siaran terpopuler ke-2, diikuti oleh bahasa Thailand dan Vietnam.

4. PGL Major Stockholm 2021

PGL Major Stockholm menawarkan total hadiah sebesar US$2 juta. Hal ini menjadikan kompetisi itu sebagai turnamen CS:GO dengan hadiah terbesar dalam 2 tahun terakhir. PGL Major Stockholm berlangsung sejak Oktober hingga November 2021. Seiring dengan memanasnya kompetisi, jumlah penonton dari turnamen Major itu pun naik. Namun, pada Oktober 2021, PGL Major Stockholm hanya mendapatkan peak viewers sebanyak 975 ribu orang. Pertandingan terpopuler pada bulan lalu adalah pertandingan yang mempertemukan NAVI dan Ninjas in Pyjamas.

Total durasi siaran PGL Major Stockholm mencapai 120 jam. Sementara total hours watched yang didapat turnamen itu adalah 71,2 juta jam dan dengan total views sebanyak 123,4 juta views. Twitch menjadi platform paling populer untuk menonton kompetisi CS:GO tersebut. Dan siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran yang mendapatkan paling banyak penonton. Meskipun begitu, total peak viewers dari siaran dalam bahasa Rusia juga hampir menyamai siaran dalam bahasa Inggris.

PGL Major Stockholm jadi turnamen paling populer ke-4 pada Oktober 2021. | Sumber: Esports Charts

Sepanjang PGL Major Stockholm, NAVI menjadi tim esports paling populer, baik dari segi hours watched maupun average viewers. Tim tersebut mendapatkan 16,6 juta hours watched dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 1,13 juta orang. Posisi kedua ditempati oleh G2 Esports, yang mendapatkan 14,82 juta hours watched dan 911,8 ribu average viewers.

3. MPL ID Season 8

Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID) Season 8 berhasil menjadi turnamen esports terpopuler pada Agustus dan September 2021. Dan pada Oktober 2021, MPL ID S8 kembali masuk dalam daftar kompetisi esports terpopuler.. Namun, kedudukannya merosot ke peringkat 3. Kabar baiknya, jumlah peak viewers dari MPL ID S8 pada Oktober 2021 mencapai 2,4 juta orang, jauh lebih tinggi dari peak viewers pada Agustus 2021, yang hanya mencapai 1,7 juta orang.

Tim terpopuler di MPL ID S8 berdasar hours watched dan average viewers. | Sumber: Esports Charts

Pertandingan paling populer dari MPL ID S8 sepanjang bulan lalu adalah babak grand final, yang mempertemukan EVOS Legends dengan ONIC Esports. Sementara pertemuan antara ONIC Esports dengan RRQ Hoshi di babak semi-final jadi pertandingan paling populer ke-2, dengan peak viewers mencapai 2,39 juta orang. Meskipun ONIC Esports keluar sebagai juara, EVOS Legends merupakan tim favorit di MPL ID S8, jika Anda menggunakan metrik hours watched. Sepanjang MPL ID S8, EVOS mendapatkan 30,35 juta hours watched. Namun, dari segi average viewers, RRQ Hoshi ada di peringkat satu. Tim itu memiliki jumlah penonton rata-rata paling banyak sepanjang liga, mencapai 710,4 ribu orang.

Total durasi siaran dari MPL ID S8 adalah 172 jam. Turnamen itu mendapatkan 76,9 juta hours watched, 285,2 juta views, dan 447,1 ribu average viewers. YouTube menjadi platform favorit untuk menonton MPL ID S8, diikuti oleh Nimo TV dan Facebook. Di YouTube, MPL ID S8 mendapatkan 265,9 jua views dan 4,35 juta likes.

2. The International 10

The International 10 — turnamen Dota 2 paling bergengsi — jadi kompetisi paling populer ke-2 pada Oktober 2021. Babak grand final menjadi pertandingan yang menarik paling banyak penonton. Pada puncaknya, pertandingan antara Team Spirit dan PSG.LGD ditonton oleh 2,74 juta orang. Secara total, durasi siaran dari The International 10 mencapai 125 jam. Turnamen itu mendapatkan 107,2 juta hours watched, 529,5 juta views, dan 857,3 ribu average viewers.

Platform dan bahasa terpopuler untuk TI10. | Sumber: Esports Charts

Kompetisi TI10 disiarkan di bebreapa platform, antara lain Twitch, YouTube, Dota TV Match, Steam.tv, Facebook, VK Live, dan Nonolive. Twitch jadi platform paling populer, dengan peak viewers mencapai 1,7 juta orang. Di platform milik Amazon itu, TI10 disiarkan di 122 channel dan mendapatkan 454,9 juta views serta 5,08 juta follows. Sementara itu, YouTube menjadi platform terpopuler ke-2 untuk menonton TI10. Di YouTube, TI10 mendapatkan 52,7 juta views dan 735,8 ribu likes. Pada puncaknya, ada 665,8 ribu orang yang menonton TI10 di YouTube.

TI10 jadi kompetisi terpopuler di negara-negara berbahasa Rusia. | Sumber: Esports Charts

The International 10 merupakan kompetisi favorit dari fans esports di kawasan Commonwealth of Independent States (CIS). Selain itu, TI10 juga populer di negara-negara yang menggunakan bahasa Rusia. Buktinya, babak final TI10 ditonton oleh 1,2 juta penonton berbahasa Rusia. Menurut Esports Charts, angka ini hampir dua kali lipat dari jumlah penonton berbahasa Rusia pada The International 2019, yang mencapai 670 ribu orang.

1. League of Legends World Championship 2021

Dengan peak viewers sebanyak 3,54 juta orang, League of Legends World Championship jadi kompetisi esports terpopuler pada Oktober 2021. Bulan lalu, pertandingan yang paling banyak ditonton adalah pertandingan antara T1 dan DAMWON KIA Gaming (DWG KIA), yang terjadi pada hari pertama dari babak semi-final. Hal ini tidak aneh, mengingat kedua tim asal Korea Selatan itu merupakan finalis dari Worlds tahun lalu.

Tim terpopuler di Worlds 2021. | Sumber: Esports Charts

Dari segi average viewers, DWG KIA dan T1 juga merupakan dua tim terpopuler di Worlds 2021. Jumlah penonton rata-rata DWG KIA mencapai 2,16 juta orang dan T1 1,94 juta orang. Namun, dari segi hours watched, posisi dua tim terpopuler diisi oleh DWG KIA dan Edward Gaming (EDG) dari Tiongkok. DWG KIA mendaaptkan total hours watched sebanyak 42,5 juta jam sementara EDG 37,68 juta jam.

Worlds 2021 disiarkan di 8 platform dalam 17 bahasa. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran paling populer, diikuti oleh siaran dalam bahasa Korea, dan Spanyol. Sementara itu, Twitch dan YouTube merupakan dua platform favorit untuk menonton Worlds 2021. Di Twitch, Worlds 2021 disiarkan di 20 channel dan berhasil mendapatkan 122,4 juta views serta 956,8 ribu follows. Sementara di YouTube, Worlds 2021 berhasil mendapatkan 94,89 juta views dan 1,16 juta likes.

Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Exclusive Interview: Industri VR Indonesia dari Kacamata Developer Game

Berdasarkan data terbaru dari GlobalData, industri Virtual Reality (VR) bernilai US$5 miliar pada 2020. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi US$51 miliar pada 2030. Associate Project Manager, GlobalData, Rupantar Guha mengatakan,  sampai saat ini, teknologi VR belum diadopsi secara massal. Padahal, teknologi VR telah dikembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

“Dalam beberapa tahun belakangan, baik hardware maupun software untuk VR telah berevolusi. Meskipun begitu, masalah seperti latensi, harga hardware yang mahal, masalah privasi, dan ketiadaan konten membuat VR tetap menjadi industri niche,” kata Guha pada GamesIndustry. “Memang, teknologi seperti 5G, cloud, dan motion tracking bisa digunakan untuk mengatasi masalah latensi. Namun, kunci untuk menumbuhan industri VR adalah jaminan privasi untuk para pengguna dan ketersediaan konten yang memadai.”

Bagaimana Keadaan Industri VR di Indonesia?

Lee Marvin, VP of Gamification at Agate International memperkirakan, teknologi VR mulai masuk ke Indonesia ketika Facebook mengakuisisi Oculus pada 2014. Ketika itu, telah ada beberapa perusahaan yang menyediakan headset VR, seperti Oculus, HTC, dan Samsung. Dia bercerita, orang-orang mulai tertarik mencoba VR karena framerate lensa di headset VR sudah mencapai 60 fps sehingga konten bisa tampil dengan mulus. Orang-orang yang masuk dalam kategori early adopters tersebut adalah pelaku industri kreatif dan brand agency. Mereka tertarik dengan VR karena teknologi itu bisa menjadi cara baru bagi brand untuk berkomunikasi dengan konsumen.

“Kendalanya adalah karena kurang kreator konten,” ujar Marvin dalam wawancara dengan Hybrid. “Ketika akses ke teknologi VR terbuka, developer juga masih coba-coba; bagaimana membuat konten/game yang bagus, bagaimana cara memastikan pengguna tidak bingung dengan controller-nya.”

Lebih lanjut, Marvin menjelaskan, di Indonesia, hype akan teknologi VR memuncak pada 2016. Memang, ketika itu, Sony baru saja meluncurkan PlayStation VR. Jika dibandingkan dengan HTC Vive — yang harganya bisa mencapai belasan atau puluhan juta — harga PSVR relatif terjangkau, hanya berkisar Rp5-7 juta. Sayangnya, hype akan VR di Indonesia tetap turun pada 2018.

Hype teknologi VR di Indonesia mulai hilang, karena aksesnya sangat terbatas,” jelas Marvin. “Untuk beli headset-nya sendiri saja masih impor. Tidak ada official store yang menyediakan hardware-nya, khususnya Oculus. Sementara HTC ada toko resmi, tapi harganya mahal.”

Tantangan di Industri VR

Marvin menyebutkan, salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga hardware yang mahal. Dia lalu membandingkan harga headset VR — yang bisa mencapai puluhan juta — dengan harga smartphone. Sekitar tahun 2018, Anda sudah bisa membeli smartphone dengan harga Rp1-2 juta, jauh lebih murah dari headset VR.

Padahal, kata Marvin, untuk bisa bermain game VR, Anda tidak hanya memerlukan headset, tapi juga komputer yang cukup powerful. Karena entry barrier yang cukup tinggi itu, maka jumlah orang yang bisa mengakses teknologi VR pun menjadi sangat terbatas. “Biasanya, pihak yang punya dana untuk beli PC/laptop gaming dan headset VR memang perusahaan,” jelas Marvin. Dan ketika itu, laptop gaming juga baru hype. Jadi memang, pasarnya sangat terbatas.”

Senada dengan Marvn, Nico Alyus, CEO OmniVR, juga mengatakan bahwa harga hardware yang mahal jadi salah satu penghalang utama bagi industri VR di Indonesia untuk tumbuh. “UMR di Indonesia itu hanya Rp3,5-4 juta, sedangkan satu paket alat VR yang complete itu seharga Rp40 juta,” kata Nico pada CNBC Indonesia. “Artinya, orang harus nggak makan selama 10 bulan, baru dia bisa beli alat VR.” Berdasarkan data internal dari OmniVR, selama 3 tahun — sejak 2016 sampai 2019 — total alat VR yang terjual di Indonesia hanya mencapai 228 unit.

HTC Vive bisa dihargai belasan sampai puluhan juta.

Ketika ditanya tentang masa depan industri VR, Marvin mengatakan, selama harga hardware VR masih cukup mahal, maka teknologi VR akan sulit untuk menjadi mainstream. “Hardware seharga Rp7 juta itu, orang-orang yang tidak tinggal di kota besar, seperti nelayan atau petani, mereka tidak bisa afford hardware itu. Bagi mereka, smartphone seharga Rp1-2 juta saja sudah terbilang mahal. Harga Rp7 juta hanya bisa di-afford oleh orang-orang level menengah atas,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah konten. Marvin berkata, “Popularitas VR tergantung konten. Apakah konten yang bisa diakses melalui VR mempengaruhi produktivitas atau tidak. Kalau hanya sebatas entertainment, hardware VR ya akan diperlakukan sama seperti konsol.”

Kabar baiknya, selama pandemi, minat masyarakat Indonesia akan VR naik. Menurut Marvin, hal ini terjadi karena orang-orang yang sudah lama terkurang di rumah tengah mencari metode hiburan baru. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri VR adalah keberadaan Oculus Quest 2. Keberadaan hardware itu membantu karena Anda bisa menggunakan Quest 2 tanpa harus menghubungkannya ke komputer. Dan Anda bisa melakukan setup dengan smartphone.

Siapa Target Pasar VR di Indonesia?

Meski pasar VR tidak sebesar yang diperkirakan beberapa tahun lalu, Indonesia tetap punya pasar VR. Marvin menjelaskan, bisnis VR milik Agate menargetkan perusahaan sebagai klien, berbeda dengan game yang Agate buat, yang ditujukan untuk konsumen.

Marvin menjelaskan, biasanya, perusahaan menggunakan teknologi VR untuk membuat simulasi latihan dari tugas yang punya risiko tinggi. Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. “Dengan VR, biaya latihan bisa menjadi lebih terjangkau. Selain itu, keamanan pegawai pun menjadi lebih terjamin,” ujarnya. Selain perusahaan kontruksi, perusahaan lain yang biasanya menjadi klien Agate adalah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif dan pertambangan

“Perusahaan pertambangan adalah yang paling banyak. Karena, mereka menggunakan alat berat yang besar-besar semua,” jelas Marvin. “Untuk melatih pegawai, daripada menggunakan truk seukuran 10 meter, bisa bahaya kalau terguling, lebih baik menggunakan VR.” Dia menambahkan, pihak lain yang sering menggunakan VR adalah militer. Memang, salah satu proyek VR pertama — yang dikembangkan pada tahun 1960-an — dibuat untuk keperluan militer Amerika Serikat.

Marvin merasa, di masa depan, VR akan terus digunakan sebagai alat latihan perusahaan. Pasalnya, pelatihan menggunakan VR terbukti efektif. Dia memberikan contoh pelatihan menembak.

“Ada yang namanya imaginary training, untuk latihan menembak. Jadi, ada orang yang memang latihan manual, ada yang latihan dengan simulasi menggunakan VR, dan ada yang tidak latihan sama sekali,” ungkap Marvin. “Hasilnya, tingkat akurasi dari orang yang berlatih menggunakan VR hampir sama dengan orang yang latihan secara manual. Sementara orang yang tidak berlatih sama sekali menunjukkan tingkat akurasi paling rendah.”

Mengingat simulasi VR biasanya digunakan untuk latihan dalam sebuah perusahaan, proses pembuatannya pun berbeda dengan proses pengembangan game. Marvin menyebutkan, sebelum membuat simulasi VR untuk sebuah perusahaan, Agate biasanya akan bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk membahas tentang requirement yang mereka butuhkan. “Karena kebutuhan perusahaan adalah untuk latihan, simulasi harus disesuaikan dengan skillset yang diperlukan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan,” kata Marvin.

“Jika perusahaan sudah tahu requirement apa saja yang mereka butuhkan, biasanya mereka akan mengeluarkan request for proposal, yaitu undangan bagi para vendor untuk mengajukan proposal mereka,” ujar Marvin. Menariknya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di dunia VR biasanya adalah developer game atau penyedia solusi VR. Marvin menjelaskan, hal ini terjadi karena perusahaan yang bisa membuat simulasi VR hanyalah mereka yang memang mengerti teknologi VR. Apalagi karena proses pembuatan aplikasi VR akan tergantung pada jenis headset yang digunakan perusahaan.

Selain untuk latihan, perusahaan biasanya menggunakan teknologi VR untuk menyebarkan informasi produk atau melakukan edukasi produk ke konsumen. Meskipun begitu, Marvin menekankan, ketika Agate membuat aplikasi VR, interaksi yang terjadi di simulasi itu tetaplah layaknya game.

The Bizarre World of Cheating and Hacking in Video Games

Cheaters or hackers are definitely a unique species that are constantly frowned upon in the gaming community. Most of the honest players never even understood why they resorts to hacks in the first place. Are they bad at the game? Are they too lazy to learn, practice, and grind? How do they find enjoyment in accomplishing feats that they didn’t work for?

Although most of us categorize cheaters into one sociopathic, evil, and ill-driven personality, not all hackers are actually the same. It is 100% true that hackers, malicious or not, will always ruin the integrity and sabotage the true gaming experience, especially when their actions affect other players. I, myself, stopped playing CS:GO due to the insane abundance of hackers in my matches despite Valve’s constant effort to stop the cheating problem. Plus, cheating is always punishable by a ban, showing its illegal nature. However, like the cheaters who use them, not all hacks are the same. Thus, in this article, we will be taking a look at the different forms and “severity” of hacks, trying to answer why people cheat in games, and how to resolve the hacking problems that are prevalent in gaming today.

Different Types of Hacks

For us to understand the whole topic of hacking, we first need to distinguish hacks into two different classes and where they are commonly used. The first type of hack is called soft hacks. Soft hacks do not interfere with other players’ experience despite altering the gameplay to your advantage. If you use hacks in a single-player game, chances are you are using soft hacks. Take Grand Theft Auto, excluding its multiplayer elements, as an example. Money hacks, car hacks, infinite HP, and other cheats are always used in that game. People never complained about the abundance of GTA hacks and even deemed them necessary as part of the gameplay since it only affects one player: you yourself.

Money cheats in GTA 5 are an example of a “soft” hack

Of course, soft hacks can also be present in multiplayer games. Skin mods are incredibly popular in many mod-able games like Counter-Strike back in the day, but they can be highly punishable by the devs who want to rack up money from the legitimate skins. There are also money, level, and HP hacks in RPG games, which is definitely a multiplayer genre. However, they are rarely utilized in PvP and more in the PvE scenarios when players are trying to grind for loots or resources.

Despite being illegal to use, skin mods do not interfere with others’ playing experience | Source: Zagruzka Mods

On the flip side, we have hardcore hacks, the hacks that truly matter in this discussion. These are everybody’s favorite, run of the mill type of hack. Hardcore hacks are infamous for frustrating the hell out of players and destroying their gaming experience. In the FPS genre, we have aimbots, which allows you to lock on the people’s heads automatically, and wallhacks, which allows you to see through walls and obtain free information on the enemy’s whereabouts. CS:GO is also known for its incredibly annoying spinbot hack. You essentially but an aimbot hack and add rapid 360 degree turns so that you will spot enemies from all different angles. There are also other FPS hacks like speed hack, anti-aim, but they are niche and rarely used.

An aimbot software in CS:GO

In the MOBA genre, there are many, extremely undetectable scripts that can allow you to automatically cast abilities or incoming spells based on game events. Some hacks allow you to zoom out and give a larger top-down FOV. You might see a common theme in the examples of these games: competitiveness. FPS and MOBA are both multiplayer games that rely on PvP elements, which is why cheats that give an unfair advantage are detrimental to the game’s experience. Nobody really cares if you use infinite HP hacks when fighting a boss in World of Warcraft. However, use that same infinite HP hacks on Dota, and you’ll piss off every single player on the server.

The psychology of using hacks

So why do people use hacks? Well, it is for a variety of reasons, and is also unique to the type of hacks used. For instance, people use soft hacks to remove unnecessary burdens or blockades in the game. Not everyone has the time and effort to grind out money and resources for a game. These grinds, more often than not, are incredibly boring, stale, and hindering the real excitement that people play games for. Cheats, as result, has the capability to provide the necessary shortcuts to more freedom and fun in the game.

Cheats’s can allow players to experience certain games to the fullest extent without having to grind hours on it | Source: Kwebbelkop

Furthermore, as a person who always seeks to play on the same playing field, I do sometimes justify the use of money hacks in pay-to-win games. These games rarely emphasized the players with the best skills and more often rewards players who have access to their mom’s credit card. Free-to-play players can, in turn, lift out the paywall set up by the developers through money hacks and show their true skill-level in the game.

However, the notion of using hacks to remove built-in barricades in games doesn’t apply to cheaters who use hardcore hacks. More often than not, people fall into the world of using hardcore hacks because they simply suck at the game and do not want to slowly improve. They want to get an easy advantage without having to practice or learn properly. It is not a strange fact that everyone starts out as a noob in every game. We cannot install CS:GO for the first time and begin one-tapping everyone on the server. We can’t queue our first Dota 2 game landing every single invoker combo. It is through thousands of hours of practice, experience, and losses that we can achieve all these amazing feats that we see from pro players. Perhaps, in the minds of hackers, they are some sort of talented chosen one who never needs to practice to be a pro. However, when they can be wrecked by better players who grind at the game, they turn to hacks to fulfill their misled purpose.

The next point ties closely to the previous one, which is that hackers can’t handle losses. Everyone who plays games will always face losses. Even the best players in the world lose their games. However, what separates normal players, pros, and cheaters is how they treat their losses. Normal players might not even think that big from losses, it is just part of the game. Pros get better from losses because they think critically about how they can improve and what aspects they could’ve done better to increase their chances of winning the next game. Cheaters, on the end of the spectrum, perhaps never want to learn from their mistakes. They do not recognize losses as a stepping stone for the future but as a setback on their goal to win. To them winning = good, losing = bad, simple as that. Thus, they turn to hacks to maximize their winning percentage and make it impossible to lose. Hackers want to get instant gratification from their wins without acknowledging that it does not come from their effort.

However, I also mentioned that not all hardcore hack users might have the same ill-intent and malicious behavior we all associate them with. In the depths of the hacking community, we also have ethical cheaters who consider hacks to be their own art-from. In the CS:GO landscape, there are often hack vs. hack servers where cheaters hang out and battle each other to show off who has better or more optimized cheats. They even develop a set of strategies specialized to combat other hackers. So, instead of playing CS:GO like a normal shooting game, they play the game like a mechanic tuning their race car. These ethical hackers simply enjoy the game in a different way than most of us, and that way just happens to involve one of the most illegal aspects in gaming. But what happens if these hackers queue up in a normal match with honest players? Well, true ethical hackers will simply turn off their hacks or even use unique cheats to cancel the game. For all they know, they are wasting their time queueing with the wrong players. There is a whole video about the topics of these hackers in the following video from CS:GO YouTuber under the name of 3kliksphillip.

Solutions to hacking problems in games

Whether or not a hacker is ethical, their presence is undoubtedly not always welcomed in the eyes of honest players. Many players have, consequently, even stopped playing certain games due to the immense cheating problems. Therefore, let’s take a look at existing several approaches that game developers have implemented to combat cheaters in their games.

The first and most straightforward solution to cheating problems is using anti-cheats. An example of this is VAC or Valve Anti-Cheat, undisputedly the most popular anti-cheat software in all of gaming. However, VAC and most anti-cheat software out there are also notorious for being highly ineffective in spotting cheaters. Expert or experienced hackers can effortlessly identify obvious weaknesses in anti-cheats and can develop hacks that are specialized to bypass these blindspots. VAC’s weaknesses, for instance, are already common knowledge in CS:GO hacking community, which could explain the rampant case of cheaters in the game.

Perhaps the best anti-cheat software in today’s era is Riot Games’ Vanguard, their cheat protection software for VALORANT. Taking from my experience when playing VALORANT, I could never recall getting matched up against a hacker. Even if there are hackers, none of them are blatant enough to fully ruin the game like CS:GO spinbotters. However, Riot’s ability to achieve such impressive security in detecting potentially malicious programs stems from Vanguard accessing our operating system kernel. Essentially, Riot has the capability to extract information about all of your computer’s ongoing processes and, to a certain extent, take full control of your device. Incredibly sus, but highly effective in spotting cheating programs nonetheless.

Riot’s Vanguard when a cheater is detected | Source: Hotspawn

Unfortunately, anti-cheats still suffer from one major problem: creating new accounts. Although anti-cheats can spot hackers and ban them in place, the same cheaters can easily create a new account and modify their programs in the hopes of not getting detected in the future. Simply put, there is no significant consequence or punishment that will prevent hackers from returning to the game after being banned. One method of overcoming this loophole is establishing some sort of paywall, or making the game not free. CS:GO, for instance, costs $15, which is already decent in preventing a minority of “free-to-play” hackers. But again, there still exists blatant hackers in my CS:GO matches from time to time. Creating a price tag in a game will also sacrifice some of the honest player bases who aren’t willing to pay for the game.

A more weighty punishment is an IP ban, which bans you from fully connecting and playing with the game server. Even if you make new accounts, you still wouldn’t be able to play because you still use the same exact IP address from your home network. However, IP bans are not a common practice in this day and age because most IPs today are dynamic, meaning that they change from time to time. VPNs or are also widely available today to mask and “change” your IP. From what see, anti-cheats can be useful to a certain extent, but will never thoroughly eradicate the cheating plague because no significant consequence exists to stop hackers from disregarding their bans. Thus, another solution is required, one that does not need to remove the cheaters in the first place.

We can solve the cheating problem by essentially isolating the cheaters from the honest player base. Therefore, cheaters will play against cheaters whereas the honest players can have their own fun. Hiding the problem is not always the most elegant solution, but it is definitely necessary in this case. To isolate or cluster the cheaters, we need to first identify the cheaters using the anti-cheat software. However, instead of banning the cheaters, we will simply mark their accounts and force them to queue with other marked cheaters. Developers can also provide hack vs. hack servers where cheats are allowed, but I highly doubt that any dev will ever promote this sort of idea. Nonetheless, with this approach, cheaters are allowed to thrive on their own without interfering with the honest player base. A win-win solution in the end

The last approach to solve the cheater problem is to scam the cheaters themselves. This solution is inspired by the ScriptKid. If you do not know who ScriptKid is, he basically creates “bait” cheat software that will troll anyone who runs the program. In one of his early YouTube videos, he engineered a fake PUBG hack that will secretly chuck grenades underneath the player without their knowledge, resulting in many hilarious deaths. He also makes similar fake hacks in CS:GO and even Minecraft. Of course, these bait hack software will ruin the experience of noob cheaters who don’t know how to find or create their own high-quality hacks. In turn, this solution could be effective in pushing away potential newcomers to the hacking community.

Conclusion

Hacking, whether we like it or not, will always be a part of gaming. With the continuous development of technology, hacks are also getting more evasive and sophisticated against anti-cheats. For instance, a new next-gen cheat program was released a couple of months ago that utilizes AI and computer vision input movement that will assist your aim. This program doesn’t work like any normal aimbots and is virtually impossible to detect since there is no way of distinguishing between the AI movement with human movement. I suspect that similar or even more sophisticated cheats will be created in the future.

Despite this fact, we can still keep our chin up with our newfound knowledge of cheating and hacking. We know that not all cheats or cheaters are the same, how some of them may be “legal” or “illegal”. We also have seen several solutions that might be implemented in the future to combat the ever so worsening cheating problem. So, even if you and I all hate cheaters, just keep in mind that there are several ethical hackers out there who aren’t willing to annoy and waste your time. As for the non-ethical ones, we can hope that they can be clustered together away from our playground and have their own fantasy of being a “god gamer”.

 

Featured Image: Pexels

Studi Kasus Teknologi VR: Faktor Apakah yang Membuat Teknologi Baru Sukses?

Metaverse kini tengah naik daun. Ada banyak perusahaan yang tertarik untuk menjajaki metaverse, walaupun definisi dari metaverse itu sendiri masih rancu. Salah satu perusahaan besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse adalah Facebook. Perusahaan media sosial tersebut bahkan mengubah namanya menjadi Meta. Bersamaan dengan perubahan nama perusahaan, Mark Zuckerberg mengumumkan rencananya untuk membangun metaverse, yang dia artikan sebagai dunia digital yang dibangun di atas dunia fisik.

Menariknya, tidak semua orang yang bekerja untuk Meta setuju dengan  rencana Zuckerberg. Ialah John Carmack, Consulting Chief Technology Officer dari Oculus. Selama ini, dia selalu menentang usaha perusahaan untuk membangun metaverse, walau dia mengaku bahwa dia punya ketertarikan akan metaverse itu sendiri.

“Saya ingin metaverse ada, tapi saya punya alasan kuat untuk percaya bahwa mencoba membangun metaverse bukanlah cara terbaik untuk menemukan metaverse,” ujar Carmack, seperti dikutip dari GamesIndustry. Dia juga menyebut metaverse sebagai “jebakan” untuk orang-orang yang hanya peduli akan sebuah konsep secara luas, tanpa peduli akan bagaimana cara merealisasikan konsep tersebut.

“Tapi, Mark Zuckerberg telah memutuskan bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membangun metaverse. Jadi sumber daya pun digelontorkan untuk itu. Sekarang, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan semua energi dan sumber daya ini bisa disalurkan ke sesuatu yang positif agar kita bisa membangun sesuatu yang bisa memberikan manfaat dalam waktu dekat,” kata Carmack.

Di tengah booming metaverse, bukan hal yang aneh jika ada orang-orang yang justru merasa skeptis. Sebelum ini, ada beberapa teknologi yang juga sangat hype, tapi gagal merealisasikan ekspektasi masyarakat. Contohnya adalah virtual reality alias VR.

Industri AR/VR, Kini dan Enam Tahun Lalu

Pada 2015, Digi-Capital memperkirakan, nilai industri AR/VR bakal mencapai US$150 miliar pada 2020, dengan pembagian US$120 miliar untuk industri AR dan US$30 miliar sisanya untuk industri VR. Ketika itu, mereka mengatakan, industri VR akan disokong oleh game dan film 3D, menurut laporan TechCrunch. Sementara harga headset VR diperkirakan akan sama seperti harga konsol.

Perkiraan nilai industri AR/VR pada 2015. | Sumber: Digi-Capital via TechCrunch

Enam tahun lalu, Digi-Capital memperkirakan, pasar Augmented Reality (AR) akan lebih besar daripada pasar VR. Karena, pasar AR akan mirip dengan pasar smartphone/tablet. Jika jumlah pengguna VR diperkirakan akan mencapai puluhan juta orang, jumlah pengguna diduga bakal menembus angka ratusan juta orang.

Dua tahun kemudian, pada 2017, nilai industri AR/VR diperkirakan mencapai US$11 miliar. Dengan total belanja sebesar US$3 miliar, Amerika Serikat menjadi negara yang memberikan kontribusi terbesar ke pasar AR/VR. Dalam beberapa tahun ke depan, pada 2021, BI Intelligence memperkirakan bahwa nilai industri AR/VR akan mencapai US$215 miliar. Setiap tahunnya, industri AR/VR diduga akan mengalami pertumbuhan sebesar 113%. Saat itu, industri AR/VR diperkirakan akan tumbuh pesat karena perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti Apple, Facebook, dan Google — menanamkan investasi yang tidak kecil di bidang AR/VR.

Pada 2017, AR/VR diperkirakan akan banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan retail. Industri retail diperkirakan mengeluarkan US$422 untuk investasi di ranah AR dan VR. Selain retail, bidang manufaktur juga diperkirakan akan menanamkan investasi besar — sekitar US$309 juta — untuk AR dan VR.

Sekarang, mari bandingkan estimasi nilai industri AR/VR dari beberapa tahun lalu dengan nilai industri AR/VR yang sebenarnya pada 2021. Berdasarkan data dari Statista, nilai industri AR/VR di tahun ini hanya mencapai US$30,7 miliar, jauh lebih kecil daripada perkiraan sebelumnya. Meskipun begitu, seperti yang Anda bisa lihat pada gambar di bawah, nilai industri AR/VR diperkirakan masih akan naik dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2023, industri AR/VR diperkirakan akan menembus US$100 miliar dan pada 2024, angka itu akan naik menjadi hampir US$300 miliar.

Perkiraan nilai industri AR/VR dalam beberapa tahun ke depan. | Sumber: Statista

Per April 2021, eMarketer mengungkap bahwa paling sedikit, ada 58,9 juta orang yang menggunakan VR setidaknya satu kali dalam satu bulan sepanjang 2021. Angka itu naik menjadi 93,3 juta orang untuk penggunaan AR. Mereka juga memperkirakan, pandemi akan membuat jumlah pengguna AR/VR bertambah. Karena, selama pandemi, orang-orang harus bekerja, belajar, berbelanja, dan melakukan berbagai kegiatan lainnya dari rumah. Selain pandemi, beberapa hal lain yang akan mendorong tingkat adopsi AR/VR adalah jaringan 5G, kecerdasan buatan (AI), dan edge cloud processing.

Pada 2018, Global World Index merilis laporan tentang persepsi konsumen di Amerika Serikat dan Inggris akan teknologi AR dan VR. Berdasarkan survei itu, sebanyak 53% responden percaya, VR akan digunakan secara massal terlebih dulu dari AR. Sementara itu, hanya 34% responden yang menganggap, AR akan digunakan oleh masyarakat banyak terlebih dulu. Menariknya, bagi orang-orang yang sudah mencoba teknologi AR/VR, sebanyak 50% percaya akan potensi AR dan 47% percaya akan potensi VR. Ketika itu, GWI sendiri juga menyebutkan, mereka percaya, AR punya kemungkinan lebih besar untuk membuktikan bahwa teknologi AR bisa memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari para konsumen.

Tentang penggunaan teknologi AR/VR, kebanyakan konsumen masih menganggap, teknologi AR/VR akan digunakan di industri game. Selain game, beberapa industri lain yang dianggap akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR adalah film dan TV, siaran olahraga, edukasi, dan media sosial.

Bidang-bidang yang diperkirakan akan bisa memanfaatkan teknologi AR/VR. | Sumber: Global World Index

Dari survei yang mereka lakukan, GWI juga mengetahui bahwa masalah terbesar untuk membuat VR diterima oleh masyarakat luas adalah harga perangkat VR yang mahal. Jika Anda mengecek situs e-commerce, Anda akan tahu bahwa HTC Vive dihargai sekitar Rp16-Rp24 juta. Tak hanya itu, Anda juga harus membeli PC yang cukup powerful untuk bisa menggunakan headset VR tersebut.

GWI mengungkap, menumbuhkan pasar VR, maka pelaku industri VR harus  bisa menunjukkan manfaat yang bisa konsumen dapat dari teknologi VR. Selain itu, mereka juga punya pekerjaan rumah untuk menurunkan harga dari perangkat VR agar menjadi lebih terjangkau. Kabar baiknya, saat ini, sudah ada perangkat VR yang harganya lebih murah dari HTC Vive atau perangkat VR kelas atas lainnya. Salah satunya adalah Oculus Quest, yang ada di rentang harga Rp5 juta-an. Masalahnya, headset VR murah meriah biasanya tidak akan memberikan pengalaman semulus headset VR mahal. Buktinya, orang-orang yang menggunakan headset VR kelas bawah atau menengah biasanya mengeluhkan bahwa mereka mengalami motion sickness. Pengalaman yang buruk saat menggunakan teknologi VR justru bisa membuat konsumen mempertanyakan legitimasi teknologi VR.

Selain harga headset yang mahal, masalah lain yang menghambat industri VR tumbuh adalah konten. Jika dibandingkan dengan konten biasa, konten VR masih jauh lebih sedikit. Padahal, salah satu cara untuk menarik konsumen untuk membeli headset VR adalah dengan mengiming-imingi mereka dengan konten. Memang, jumlah konten VR akan bertambah dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna VR. Hanya saja, pasar VR tidak akan bisa tumbuh jika tidak ada konten yang membuat konsumen tertarik untuk membeli VR.

Kabar baik untuk pelaku industri AR, harga perangkat yang mahal bukanlah masalah di industri AR. Karena, untuk mencoba menggunakan teknologi AR, Anda tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Hanya dengan smartphone, Anda sudah bisa merasakan pengalaman menggunakan AR. Pokemon Go adalah contoh penggunaan teknologi AR yang sangat sukses.

Kenapa VR Tidak Bisa Merealisasikan Hype?

Google pertama kali meluncurkan headset VR Daydream View pada 2016. Tiga tahun kemudian, pada 2019, mereka memutuskan untuk berhenti memproduksi Daydream. Google mengatakan, mereka memulai proyek Daydream karena mereka melihat potensi besar untuk smartphone VR. Namun, mereka kemudian menyadari berbagai keterbatasan dalam smartphone VR. Dan hal ini membuat mereka percaya, smartphone VR tidak akan bisa bertahan lama.

Alasan lain Google memutuskan untuk menghentikan proyek Daydream adalah karena jumlah orang yang membeli headset VR itu tidak sebanyak harapan mereka. Seolah hal itu tidak cukup buruk, seiring dengan berjalannya waktu,  waktu penggunaan Daydream View oleh orang-orang yang headset VR itu pun terus turun, lapor BBC.

Daydream VR. | Sumber: Wikipedia

Terkait keputusan Google untuk menghentikan proyek Daydream, James Gautrey, Portfolio Manager di Schroders — perusahaan yang mengkhususkan diri untuk menganalisa saham perusahaan teknologi — mengatakan bahwa salah satu masalah yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga headset VR yang mahal.

“Menurut saya, hambatan dari adopsi VR secara massal adalah karena VR memerlukan hardware yang mumpuni,” kata Gautrey, dikutip dari BBC. “Ambil game sebagai contoh; Anda akan memerlukan PC yang powerful, tempat yang luas, Anda juga harus memasang sensor yang diperlukan, dan tentu saja, headset VR itu sendiri. Biaya yang harus Anda keluarkan bisa mencapai ribuan dollar. Selain itu, memasang sistem VR juga merepotkan.”

Lebih lanjut, Gautrey mengatakan, berbagai tantangan untuk mengadopsi teknologi VR bukan berarti VR tidak berguna. Selain game, teknologi VR menawarkan sejumlah manfaat. Misalnya, VR bisa digunakan untuk melatih orang-orang yang punya pekerjaa berbahaya, seperti pilot, ahli bedah, atau penyelam. “Namun, selain itu dan game, saya tidak melihat bagaimana VR bisa digunakan oleh banyak orang,” ujarnya.

Untuk mengetahui tentang masalah lain yang menghambat pertumbuhan industri VR, Andreea-Anamaria Mureesan, murid Ph.D jurusan Human-Centered Computing di University of Copenhagen mencoba untuk menganalisa lebih dari 200 video VR fails di YouTube. Dia berusaha mencari tahu masalah apa yang merusak pengalaman VR seseorang dan apa yang bisa developer lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk membuat laporan ini, Mureesan bekerja sama dengan Emily Dao dari Monash University, Jarrod Knibbe dari University of Melbourned, dan Kasper Hornbæk dari University of Copenhagen.

Setelah menganalisa lebih dari 200 video VR fails, Mureesan dan rekan-rekannya menemukan bahwa hal yang paling sering terjadi dalam video-video itu adalah  pengguna menabrak tembok, furnitur, atau orang lain saat menggunakan headset VR. Hal itu berarti, ruang menjadi salah satu faktor yang membuat pengalaman menggunakan headset VR menjadi tidak menyenangkan, seperti yang disebutkan oleh Digital Trends.

Memang, jika Anda ingin bisa menjelajah dunia virtual atau memainkan game VR dengan leluasa, Anda membutuhkan tempat yang luas. Masalahnya, tidak semua orang memiliki ruang yang cukup luas untuk memainkan VR. Di Indonesia, jangankan ruang bermain, 20% warganya masih tidak punya rumah. Sementara di Amerika Serikat, pada 2020, jumlah orang yang memiliki rumah hanya mencapai 65,8% dari total populasi.

Tidak habis sampai di sana, masalah ketersediaan ruang juga mencakup orang-orang yang punya tempat tinggal, tapi tidak punya ruang yang cukup luas untuk bermain. Sebagai contoh, orang-orang yang tinggal di apartemen mikro, tren yang mulai populer di kalangan warga kota yang tinggal di kota yang padat dan punya biaya hidup tinggi.

Data kepemilikan rumah di Amerika Serikat. | Sumber: Statista

Kabar baiknya, ada cara bagi developer aplikasi/game VR untuk memanfaatkan ruang yang terbatas. Para peneliti asal Jepang berhasil menemukan cara untuk “mengecoh” otak pengguna VR, membuat mereka berpikir bahwa mereka terus berjalan lurus walau sebenarnya mereka sedang berjalan memutar. Dengan begitu, seseorang bisa terus berjalan tanpa henti di dunia VR tanpa harus khawatir akan menabrak tembok. Hanya saja, ruang yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan metode ini tetap cukup besar, yaitu 5×7 meter.

Sementara itu, solusi yang ditawarkan oleh Muresan dan rekan-rekannya sedikit berbeda. Daripada mencoba untuk mengubah persepsi pengguna akan ruang, mereka menyarankan developer perangkat VR untuk memungkinkan pengguna membuat batasan ruang yang lebih fleksibel.

Sekarang, jika Anda ingin menggunakan perangkat VR seperti HTC Vive atau Oculus Quest, Anda harus menentukan batas “ruang bermain” terlebih dulu. Jadi, ketika Anda sudah masuk ke dunia VR, Anda akan mendapatkan peringatan saat Anda berada terlalu dekat dengan batas yang sudah Anda tentukan sebelumnya. Dengan menentukan batas ruang, pengguna diharapkan tidak tidak menabrak tembok atau furnitur lainnya ketika mereka sedang di dalam dunia virtual.

“Kami menyarankan developer untuk membiarkan pengguna membuat batas ruang yang lebih kompleks untuk mencegah pengguna menabrak sesuatu. Misalnya, dengan mempertimbangkan objek yang ada di atas kepala pengguna,” ujar Muresan. “Pendekatan lain yang kami sarankan adalah mengubah elemen dalam game sesuai dengan situasi pemain.”

Contoh skenario yang Muresan berikan adalah ketika seorang pemain berada dekat dengan batas ruang yang dia tentukan, senjata yang dipegang oleh pemain akan secara otomatis berubah. Daripada membiarkan pengguna memegang pedang — yang mengharuskan pengguna untuk membuat gerakan melebar — senjata yang pengguna pegang akan secara otomatis berubah menjadi perisai, sehingga dia tidak harus membuat gerakan lebar.

Apa yang Membuat Teknologi Populer?

Setelah membahas tentang hype dari teknologi VR dan bagaimana VR tidak bisa memenuhi ekspektasi dari konsumen, sekarang, mari membahas teknologi yang memang sukses menjadi populer dan diadopsi oleh banyak orang. Salah satunya adalah Universal Serial Bus (USB).

Sekarang, Anda bisa memasang berbagai aksesori komputer — mulai dari mouse, keyboard, headphone, sampai game controller — melalui port USB. One port to rule them all. Namun, pada awal tahun 1990-an, PC punya inpu port yang beragam, seperti serial ports, parallel ports, mouse dan keyboard ports, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, saat Anda menghubungkan sebuah aksesori ke komputer, terkadang Anda harus memasang software khusus atau bahkan melakukan reboot. Dengan kata lain, ketika itu, proses memasang peripheral komputer jauh lebih rumit dari sekarang.

Ajay Bhatt, seorang Computer Architect yang ketika itu bekerja di Intel, menyadari hal ini, bahwa komputer terlalu rumit untuk digunakan, bahkan oleh dirinya sendiri, yang mengerti teknologi. Dia lalu mendapat ide untuk menyederhanakan penggunaan komputer, dengan cara membuat satu port standar yang bisa digunakan untuk menghubungkan berbagai aksesori ke komputer.

“Pada awalnya, tujuan saya adalah untuk menarik pengguna baru untuk komputer,” kata Bhatt pada Fast Company. “Semua berawal pada 1992. Saya mengajukan ide port terstandar pada beberapa manajer, tapi mereka tidak tertarik. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya keberadaan Universal Serial Bus (USB), tapi saya tidak patah semangat. Saya tahu bahwa pengoperasian komputer bisa dibuat menjadi jauh lebih mudah. Anda seharusnya tidak memerlukan orang IT untuk memasang printer atau mengonfigurasi mouse atau keyboard.”

Ajay Bhatt. | Sumber: Twitter

Lebih lanjut, Bhatt bercerita, karena keinginannya untuk membuat port eksternal universal mendapat respons yang kurang baik, dia memutuskan untuk pindah ke sister company dari Intel. Di sana, dia bertemu dengan Fred Pollock, seorang Intell Fellows, yaitu orang-orang yang dianggap memang sangat ahli dalam teknologi. Ketika Bhatt meminta pendapat Pollock akan idenya, Pollock mengatakan bahwa dia tidak tahu dan mendorong Bhatt untuk mencoba untuk merealisasikan idenya sendiri. Sejak saat itu, Bhatt mulai menggaungkan idenya akan port universal ke banyak grup di Intel.

“Saya berbicara dengan divisi bisnis, saya bicara dengan ahli tenkologi lainnya. Dan saya juga pergi dan berbicara dengan Microsoft,” kata Bhatt. “Kami juga pergi untuk bicara pada perusahaan-perusahaan yang akhirnya menjadi rekan kami, seperti Compaq, DEC, IBM, NEC, dan lain sebagainya.” Dia mengatakan, untuk merealisasikan idenya, dia tidak hanya harus membangun jaringan di dalam perusahaan Intel, tapi juga bekerja sama dengan orang-orang dari perusahaan lain.

Bhatt akhirnya berhasil meyakinkan orang-orang di dalam Intel akan legitimasi idenya. Pada 1993, Intel setuju untuk membuat port universal. Bhatt mengungkap, proses untuk meyakinkan orang-orang Intel akan legitimasi idenya membutuhkan waktu sekitar satu sampai satu setengah tahun. “Pada akhir 1993 atau awal 1994, saya sudah punya tim kecil,” kata Bhatt. “Kami punya grup internal untuk menciptakan ide baru di Intel dan juga melakukan analisa dan menuliskan spesifikasi yang diperlukan. Setelah itu, kami juga bekerja sama dengan rekan di luar perusahaan.”

Standar USB akhirnya resmi dirilis resmi dirilis pada 1996. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa dalam membuat teknologi terstandarisasi, kerja sama antara pelaku industri sangat penting.

Pada awalnya, komputer punya beragam jenis ports, termasuk Parallel Port. | Sumber: Wikipedia

Selain UBS, mari kita mengambil contoh teknologi lain yang sukses diadopsi banyak orang, yaitu VHS. Format kaset video itu diluncurkan oleh JVC. Sebenarnya, sebelum JVC memperkenalkan VHS, Sony telah terlebih dulu meluncurkan format kaset video bernama Betamax. Sony bahkan sempat mendapat dukungan dari pemerintah Jepang. Karena, pada 1974, pemerintah Jepang ingin melindungi konsumen dengan mengharuskan perusahaan manufaktur elektronik untuk membuat satu format standar dan tidak  lagi menggunakan format-format berlainan yang tidak kompatibel dengan satu sama lain.

Meskipun Sony hadir dengan Betamax terlebih dulu, JVC tidak mau kalah. Mereka berhasil meyakinkan Matsushita — manufaktur elektronik terbesar di Jepang, bertanggung jawab atas produk Panasonic dan National — untuk mendukung format buatan mereka, VHS. Tak berhenti sampai di situ, JVC juga mencari dukungan dari perusahaan-perusahaan lain, seperti Hitachi, Mitsubishi, dan Sharp. Dukungan dari ketiga perusahaan tersebut hadir dalam bentuk peluncuran VHS player pada 1976. Alhasil, pemerintah Jepang terpaksa membatalkan rencana mereka untuk memaksa manufaktur elekronik dalam menggunakan satu format standar. Dan perang antara Sony dan JVC pun dimulai, lapor The Guardian.

Jika dibandingkan dengan VHS, Betamax tidak hanya hadir terlebih dulu, tapi juga menawarkan kualitas yang lebih baik. Namun, VHS digunakan oleh lebih banyak orang. Dengan begitu, JVC bisa memproduksi kaset VHS dalam jumlha lebih banyak dan menawarkan kaset tersebut dengan harga yang lebih murah. Pornografi jadi salah satu industri yang menggunakan VHS. Karena harganya yang murah, banyak pelaku industri pornografi yang menjadikan VHS sebagai format untuk video mereka. Penggunaan VHS oleh industri pornografi merupakan titik tolak balik yang membuat VHS bisa mengalahkan Betamax.

Pada 1988, Sony membuat VHS recorder pertama mereka. Hal ini menjadi penanda bahwa mereka telah mengaku kalah dari JVC dalam perang format kaset video. Pada 2002, Sony meluncurkan recorder Betamax terakhir dan pada 2016, mereka berhenti memproduksi kaset video berformat Betamax.

VHS recorder dan player. | Sumber: Wikipedia

Dari perang antara Sony dan JVC terkait format kaset, kita bisa menarik kesimpulan bahwa teknologi yang hadir pertama kali tidak melulu akan diadopsi secara massal. Kualitas yang lebih baik juga tidak menjamin bahwa sebuah teknologi akan digunakan oleh banyak orang. Buktinya, walau Sony meluncurkan Betamax — yang punya kualitas lebih baik dari VHS — lebih dulu, pada akhirnya, VHS-lah yang keluar sebagai pemenang.

Berbicara soal teknologi yang digunakan banyak orang, smartphone merupakan salah satu teknologi terpopuler saat ini. Tidak heran, mengingat jumlah pengguna smartphone diperkirakan mencapai 6,4 miliar orang, menurut Statista. Lalu, kenapa smartphone bisa menjadi sangat populer? Salah satunya adalah karena smartphone punya daya komputas yang cukup memadai, walau ukurannya kecil, menurut laporan Business Insider.

Jika Anda menghubungkan smartphone dengan internet, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan melalui smartphone, mulai dari membuka email, chatting, dan menjelajah internet. Melalui smartphone, Anda sekarang bahkan bisa mencari pacar atau membeli saham. Dan hal ini tidak lepas dari peran para developer aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan banyak hal melalui smartphone mereka.

Selain ukurannya yang lebih kecil — sehingga bisa dibawa kemana saja — smartphone juga punya keunggulan lain dari PC, yaitu harga yang lebih murah. Faktanya, ada banyak orang yang mengenal internet pertama kali melalui smartphone dan bukannya PC. Indonesia merupakan salah satu negara yang kebanyakan warganya mengenal internet melalui smartphone.

Kesimpulan

Dalam marketing, hype memang bisa mendorong penjualan sebuah produk. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi baru. Teknologi yang dibicarakan oleh banyak orang berpotensi untuk digunakan oleh banyak orang. Sayangnya, hype saja tidak menjamin sebuah teknologi sukses. Buktinya, walau punya hype yang besar, industri VR belum menjadi sebesar yang diperkirakan pada beberapa tahun lalu. Sebaliknya, terkadang, teknologi baru yang pada awalnya kurang diminati, justru bisa jadi sesuatu yang mengubah sebuah industri. Contohnya, USB.

Apakah hal itu berarti kita tidak boleh mengikuti teknologi yang sedang tren? Tidak juga. Memperhatikan dan mencoba teknologi baru yang sedang berkembang, tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun, ada baiknya jika kita juga tidak menelan informasi yang didapat bulat-bulat.

Sumber header: Pixabay

Sejarah Diablo: Pionir Revolusi Action ke Dalam Genre RPG

Menyebut judul Diablo mungkin akan membawa beragam reaksi dari para gamer. Ada yang mungkin tidak tahu sama sekali mengenai franchise game ini, namun mungkin tidak sedikit yang memiliki memori terhadap seri game RPG Aksi (Action-RPG) yang satu ini. Sebagai catatan singkat, judul ini telah ada sejak 1997 dan telah memiliki tiga seri judul utama (seri keempatnya tengah dikerjakan).

Saat muncul pertama kali, Diablo dianggap merevolusi industri video game pada saat itu lewat berbagai terobosan di dalam game-nya. Mulai dari kehadiran mekanisme hack-and-slash secara real-time di sebuah game yang fokus pada Role-Playing. Visualisasi game-nya juga tampil dewasa dan bahkan kelam dibandingkan dengan game-game RPG mainstream lainnya. Hingga ke sistem perkembangan karakter yang sangat variatif sehingga para pemain dapat bereksperimen dengan strategi yang berbeda-beda.

Namun, semua kesuksesan yang diraih oleh seri Diablo dan juga Blizzard kembali ke 25 tahun lalu ke seseorang bernama David Brevik. Seseorang yang nantinya akan menjadi salah satu dari 10 orang paling berpengaruh dalam perkembangan game komputer.

Sejarah awal pengembangan Diablo (1994)

Image credit: Venture Beat

Awalnya pada tahun 1994, salah satu developer game di Condor Games yaitu David Brevik memiliki ide untuk membuat sebuah game RPG yang terinspirasi dari game-game roguelike dengan sistem pertarungan turn-based. Brevik juga ingin menyederhanakan elemen role-playing di dalamnya dan memberikan perhatian khusus pada sistem ‘loot’-nya.

Brevik pun mulai menyusun idenya tersebut ke dalam sebuah proyek pribadi dan memberinya nama Diablo, yang ternyata terinspirasi dari gunung Diablo tempat tinggal David Brevik saat dirinya membayangkan game impiannya tersebut.

Salah satu momen penting bagi Brevik adalah ketika Condor Games bekerja sama dengan Blizzard Entertainment. Blizzard memberikan iming-iming untuk membantu Brevik mengembangkan Diablo, namun Blizzard juga mendesak untuk mengubah mekanisme turn-based menjadi pertarungan real-time. Desakan yang akhirnya disetujui Brevik ternyata menjadi keputusan terbaiknya. Karena setelah pengembangan dan akusisi Condor kepada Blizzard, Brevik akhirnya berhasil merilis Diablo pada Januari 1997.

Diablo (1997) – Lahirnya seri legendaris Action RPG

Image credit: Blizzard Entertainment

Setelah perilisannya, Diablo ternyata mendapatkan reaksi yang sangat positif dari para gamer. Bahkan game-nya menjadi game dengan penjualan tertinggi pada 1997 dengan lebih dari satu juta kopi. Pujian datang terhadap hampir semua aspek yang ada di dalam game-nya. Beberapa aspek tentu telah dijelaskan pada awal artikel, namun ada banyak aspek lainnya yang membuat game ini menjadi sangat penting.

Salah satunya adalah mekanisme pertarungan hack-and-slash yang ternyata dapat bekerja dengan mouse dan keyboard di PC. Hal ini disebut menyelamatkan komunitas game PC dari stagnannya game-game RPG untuk PC pada kala itu yang selalu mengandalkan sistem turn-based. Hal tersebut juga membuat Diablo, yang awalnya dirilis eksklusif untuk platform PC, akhirnya dirilis untuk platform PlayStation setahun kemudian.

Salah satu keuntungan lain yang didapat oleh Diablo berada di bawah Blizzard Entertainment adalah hadirnya akses multiplayer lewat layanan online mereka, Battle.net. Meskipun pengguna online pada tahun 1997 tidak sebanyak sekarang, tetapi hal ini merevolusi Diablo sebagai game yang dapat dimainkan bersama-sama. Setelah kesuksesannya, Blizzard juga merilis ekspansi perdana untuk game ini yang berjudul Diablo: Hellfire.

Diablo II (2000) – Sekuel yang memecahkan rekor dunia

Image credit: Blizzard Entertainment

Kesuksesan Diablo pertama menuntun Blizzard untuk akhirnya mengumumkan keberadaan sekuel game-nya sesaat setelah seri pertamanya dirilis. Pada awalnya game ini direncanakan dirilis setahun setelah seri pertamanya, namun seiring perkembanganya game ini akhirnya selesai setelah tiga tahun masa pengembangan.

Yang cukup menarik adalah fakta bahwa Diablo II disebut oleh sang designer and project lead, Erich Schaefer tidak pernah memiliki dokumen desain yang resmi. Sehingga dalam pengembangannya, banyak hal baru yang dibuat begitu saja tanpa direncanakan sebelumnya. Hal ini juga membuat hasil akhir game-nya disebut oleh para game tester sebagai game yang sama saja meskipun telah dibangun ulang dari awal.

Untungnya, Blizzard Entertainment cukup cerdik dalam membangun hype untuk game ini baik untuk para gamer di Amerika Serikat maupun internasional. Strategi marketing tersebut akhirnya berhasil membuat Diablo II terjual hingga 1 juta kopi hanya dalam waktu 2 minggu dan 2 juta pada tahun 2000 dalam satu setengah bulan saja. Membuat game ini masuk ke dalam Guinness Book of World Records sebagai game dengan penjualan tercepat dalam sejarah.

Diablo III (2012) – Game ketiga yang terlalu berubah

Image credit: Blizzard Entertainment

Setelah semakin suksesnya seri Diablo, tidak ada alasan bagi Blizzard untuk berhenti mengeluarkan sekuelnya. Namun berbeda dari sebelumnya, yang hanya terpaut satu tahun, Blizzard kini mengambil waktu yang cukup lama sejak pengumuman mereka mulai mengembangkan seri ketiganya pada 2001. Game ini secara resmi diumumkan pada 2008 dan dirilis pada 2012; membuat game ini dikembangkan hampir 11 tahun.

Di seri ketiganya ini, Blizzard membawa beberapa perubahan besar pada seri Diablo. Mulai dari kebutuhan selalu online untuk bermain hingga sistem pertarungan yang lebih luwes. Selain itu Blizzard juga menyuntikkan berbagai fitur baru ke dalam Diablo III ini. Sayangnya, semua hal baru yang ditawarkan Blizzard tersebut ternyata malah menjadi penilaian negatif dari para fans.

Salah satu yang tidak disukai para fans adalah perubahan gaya visual yang di dua game pertama kental dengan nuansa horor dan kelam kini bergeser lebih condong ke game fantasi mendekati game Blizzard lainnya, World of Warcraft. Ditambah beberapa elemen RPG jadi terlalu disederhanakan demi mengundang pemain baru. Dan yang terakhir, keharusan game-nya untuk selalu online meskipun dalam mode solo juga turut membuat para fans kecewa dengan seri ketiga ini.

Setelah perilisan Diablo III, Blizzard kembali memasuki masa pengembangan yang cukup panjang kembali sebelum mengumumkan game terbarunya. Meskipun tanpa game baru, selama kurang lebih 6 tahun Blizzard tetap memberikan update untuk Diablo III dan bahkan mengeluarkan dua ekspansinya yaitu Reaper of Souls pada 2014 dan Rise of the Necromancer pada 2017.

Pengumuman Diablo Immortal (2018) – Kejutan yang tidak diinginkan para fans

Image credit: Blizzard Entertainment

Pada gelaran Blizzcon 2018, Blizzard akhirnya membuat kejutan dengan mengumumkan seri terbaru untuk Diablo. Bedanya game baru ini bukanlah lanjutan untuk seri utamanya, melainkan sebuah game free-to-play untuk mobile. Game ini merupakan kerja sama antara Blizzard dengan pengembang asal Tiongkok, NetEase.

Gelombang reaksi negatif langsung dilontarkan oleh para fans baik yang hadir langsung maupun menonton dari rumah. Para fans yang mayoritas merupakan gamer PC dan konsol tersebut semakin geram karena Blizzard juga mengkonfirmasi bahwa Diablo Immortal tersebut tidak akan dirilis untuk platform PC maupun konsol.

Meskipun dihujani reaksi negatif, namun Blizzard terus melanjutkan pengembangan dari Diablo Immortal ini. Mereka juga beberapa kali memberikan update dan bahkan telah membuka sesi tes beta tertutup pada 28 Oktober lalu. Blizzard juga masih tetap berencana untuk merilis game free-to-play ini pada semester awal 2022 mendatang.

Pengumuman Diablo IV (2019) – Kelanjutan serinya yang masih abu-abu

Image credit: Blizzard Entertainment

Setahun setelah pengumuman Diablo Immortal yang cukup mengecewakan para fans, Blizzard kelihatannya ingin membayar kesalahannya tersebut dengan mengumumkan Diablo IV pada BlizzCon 2019. Blizzard juga belajar dari kesalahan yang mereka lakukan pada seri ketiganya dan membangun seri keempatnya dengan pendekatan yang kembali ke akarnya. Hal tersebut terlihat dari gaya artistik game-nya yang kembali ke dua game pertamanya dengan tampilan kelam dengan nuansa horor dan gelap yang lebih kental.

Cerita naratif yang diusung pada seri keempat ini juga tidak lagi terlalu mengikuti kisah-kisah fantasi namun kembali ke kisah originalnya tentang melindungi dan bertahan hidup suatu daerah. Dari segi gameplay, Blizzard juga tetap menghadirkan hal-hal baru yang akan menarik para pemain. Mulai dari kostumisasi karakter, hingga sistem build karakter yang lebih beragam.

Namun, sayangnya masih belum ada kejelasan kapan game ini akan dirilis. Mengingat Blizzard tengah terkena masalah gugatan dari para karyawannya yang membuat semua proses pengembangan game-game Blizzard menjadi terhambat.

Diablo II: Resurrected (2021). Nostalgia indah yang harus ternodai

Image credit: Blizzard Entertainment

Ketika Diablo IV belum memiliki tanggal rilis pasti, Blizzard memberikan kejutan lewat remaster terhadap Diablo II. Diumumkan pada awal tahun, para fans yang telah dikecewakan dengan beberapa pengumuman sebelumnya menyambut antusias game ini. Apalagi Diablo III juga sudah tidak mendapatkan update sejak tahun 2017 lalu. Namun proyek remaster ini sendiri baru dimulai pada 2019 lalu lewat kerjasama Blizzard dan studio milik Activision, Vicarious Visions.

Versi remaster ini masih menjaga inti gameplay yang dimiliki oleh game originalnya. Para pemain veteran juga dapat melanjutkan progres yang telah mereka tempuh sebelumnya. Diablo II: Resurrected membawa ubahan grafis yang kini diubah menjadi 3D penuh, dengan pembaruan mulai dari karakter, lingkungan, hingga beragam efek dan animasi. Sedangkan gameplay tidak banyak diubah karena mereka ingin mempertahankan gameplay klasik yang dimiliki.

Sayangnya perilisan Diablo II: Resurrected pada 21 September 2021 lalu yang seharusnya menjadi perayaan bagi para fans sedikit ternodai karena masalah teknis. Mulai dari game yang tidak dapat diakses, hingga karakter yang tidak dapat dimainkan. Namun untungnya masalah-masalah tersebut kini sudah teratasi dan para fans sudah dapat bernostalgia dengan Diablo II.

Penutup

Image credit: Blizzard Entertainment

Seri Diablo mungkin bukan menjadi seri yang selalu dicintai oleh para fans, namun bagaimanapun juga Diablo memiliki andil penting dalam perkembangan genre Action RPG. Banyak game yang terlahir berkat inspirasi dari Diablo.

Dan meskipun kini nasib Diablo 4 yang harus ditunda dan belum ada tanggal rilis pasti, namun setidaknya (harusnya) para pengembang game ini telah menyadari apa keputusan mereka yang kurang tepat saat membuat Diablo III dan juga pengumuman Diablo Immortal.

Program AGI Bersama Pemerintah untuk Kembangkan Industri Game Lokal

Nilai industri game di Indonesia pada 2018 mencapai US$1,1 miliar (sekitar Rp15,7 triliun), menurut data dari Newzoo. Dengan begitu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pasar game terbesar di Asia Tenggara. Mengetahui besarnya nilai industri game Indonesia, pemerintah tertarik untuk mendukung para pelaku industri game lokal, termasuk developer game lokal.

Kolaborasi Pemerintah dengan AGI

Belakangan, ada beberapa menteri yang menunjukkan ketertarikan akan industri game dan esports. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Dia  mengatakan, pemerintah ingin agar gamers di Indonesia juga memainkan game-game buatan developer lokal. Tak hanya Luhut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekfraf) Sandiaga Uno juga pernah angkat bicara. Dia menyebut esports sebagai “pandemic winner. Alasannya, karena industri competitive gaming tetap bisa tumbuh di tengah pandemi virus corona.

Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan mendukung para pelaku industri game. Pertanyaannya, apa saja yang sudah pemerintah lakukan untuk mendukung pelaku industri game lokal? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya menghubungi Program Manager, Asosiasi Game Indonesia (AGI), Febrianto Nur Anwari. Ketika ditanya tentang kapan pemerintah mulai menunjukkan ketertarikan dengan industri game, pria yang akrab dengan panggilan Febri ini menyebutkan, pemerintah sebenarnya sudah mulai peduli dengan industri game sejak lama.

“Dulu sejak zaman Menteri Pariwisatanya Bu Mari Eika Pangestu,” kata Febri ketika dihubungi melalui pesan singkat. Untuk informasi, Mari Eika Pangestu menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada 2011-2014, ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat sebagai Presiden Indonesia. Lebih lanjut, Febri mengungkap, “Dukungan pemerintah semakin besar sejak ada Bekraf.”

GamePrime adalah salah satu acara dari Bekraf. | Sumber: Antara

Didirikan pada 2015, Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Bekraf) merupakan lembaga pemerintah non-kementerian yang ada di bawah tanggung jawab presiden. Pada 2019, Bekraf dilebur kembali ke Kemenparekraf. Meskipun begitu, pemerintah tetap menunjukkan keseriusan mereka untuk mengembangkan industri game di Indonesia.

Febri bercerita, saat ini, ada banyak rencana yang hendak AGI realisasikan bersama dengan Kemenkominfo dan Kemenparekraf. Salah satunya, AGI bersama Kemenparekraf membantu developer lokal untuk bisa ikut di eksibisi game yang diadakan di luar negeri, seperti DevCom di Jerman dan Tokyo Games Show di Jepang. Selain itu, bersama dengan Kominfo, AGI juga akan menggelar Indonesia Game Developer Exchange (IGDX). Febri mengungkap, IGDX akan punya empat fokus, yaitu Akademi, Bisnis, Konferensi, dan Karir.

“IGDX 2021 merupakan upaya meningkatkan kapasitas pelaku industri game dalam negeri dan mendorong industri game lokal untuk go global. Sehingga industri game Indonesia semakin hari semakin meningkat, baik dari sisi produsen maupun penggunanya,” jelas Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, dikutip dari situs resmi Kominfo.

AGI gelar IGDX bersama Kemenkominfo. | Sumber: IGDX

“Saat ini, kita juga sedang diskusi intens dengan beberapa kementerian untuk merancang roadmap industri game sampai 2024,” ujar Febri. Dia lalu menjelaskan tentang alur kerja sama antara AGI dan pemerintah. “Biasanya, pemerintah akan reach out ke AGI, kira-kira apa sih yang dibutuhkan industri game Indonesia untuk berkembang,” jelasnya. “AGI lalu membuat proposal dan menyodorkannya ke pemerintah; kebutuhan dan juga program apa yang bisa dilakukan. Dari sini, AGI dan pemerintah terus berdialog untuk mewujudkan program tersebut.”

Febri mengungkap, waktu yang diperlukan untuk merealisasikan program AGI — dari diskusi sampai program berjalan — membutuhkan waktu yang beragam, tergantung pada skala program itu sendiri. “Kalau program besar seperti IGDX, kita biasanya membuat rencana satu tahun sebelumnya,” katanya. “Tapi, kalau yang kecil-kecil, ya sekitar 2-4 bulan. Kalau program yang berulang setiap tahun, biasanya persiapannya hanya perlu 1-2 bulan.”

Masalah SDM di Industri Game

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, CEO Agate, Arief Widhiyasa mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa industri game Indonesia belum semaju Jepang atau Amerika Serikat adalah karena industri game kita memang masih jauh lebih muda. Dia juga menyebutkan, kelangkaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpengalaman merupakan salah satu masalah yang harus diatasi. Terkait hal ini, Febri menyebutkan, AGI sudah punya program untuk meningkatkan kualitas SDM di industri game.

“Untuk saat ini, kita coba untuk level up SDM yang sudah ada melalui IGDX Academy,” kata Febri. “Program itu adalah program mentoring selama 13 minggu yang menghadirkan banyak mentor, baik dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan untuk pencetakan talenta baru, kami juga punya beberapa program seperti aliansi dengan kampus lewat Game Talent ID. Dan kini, AGI dengan dukungan Kominfo sedang merancang Standar Kompetisi Kerja Nasional (SKKNI) di bidang game development. Seharusnya, dalam waktu dekat, program itu masuk ke fase konvensi, sebelum disahkan.”

Game Talent ID jadi salah satu program AGI untuk cetak developer baru. | Sumber: Esportsnesia

Dalam peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Luhut mengatakan bahwa impor game di Indonesia mencapai 97%. Ketika itu, dia mengimplikasikan harapannya agar gamers Indonesia juga memainkan game-game lokal. Meskipun begitu, ARPU gamers Indonesia relatif lebih kecil dari negara-negara lain yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita lebih tinggi. Hal itu berarti, developer bisa mendapatkan pemasukan lebih besar dengan menyasar pasar game global. Namun, tentu saja, pasar global juga lebih menantang.

Tentang target pasar, Febri mengatakan, AGI tidak pernah mengarahkan developer lokal untuk menyasar pasar game lokal ataupun global. “Tergantung game dan developer-nya ya,” ujarnya. Sementara ketika ditanya soal target pemerintah tentang berapa besar pangsa pasar yang dikuasai developer lokal, dia menjawab, “Idealnya, kita bisa setidaknya impas, baik itu dari pasar sendiri ataupun melalui ekspor.”

Deaths in Games: What can We learn from Them?

With all that we have been through in the COVID-19 pandemic, it’s safe to say that we will not come out of this event the same person. In particular, all the chaos and outrage that the virus rained down upon our society has prompted me and a lot of people to rethink the occasion that all of us human beings are predestined to experience: death. For the past year, I began to notice that so many close individuals around me have died, whether it’s my relatives, friends’ family, or people in my communities. Most of their deaths were not even caused by COVID but by the surmounting pressure and stress that this new era has inflicted on their lives. 

However, when all of this turmoil around the world was going down, a majority of us are fortunate enough to be able to cope through video games. Thus, it begs the question of whether there are any correlations between death and video games? If there are, what are the valuable lessons we can take from them?

I am sure that all of you gamers out there is not a stranger when it comes do dying, in-game of course. Anyone who has played games in their life will have experienced some form of death inside a game. Most of us likely interpret dying as a mere level restart or a sign or that we didn’t perform to our expectations. However, blind to our perception, death in-game might actually serve a deeper purpose or function that can even re-wire our brain processes. But before discussing what these purposes are, let’s take a look at the unique approaches to death in various popular games or gaming genres.

The Games

Different games utilize death mechanics to induce different experiences for the players. Some urge players to learn from their mistakes. While others induce extreme and often comical rage and frustration. Some games also use death to send a unique, thought-provoking message to their players.

Dark Souls | Source: Steam

Dark SoulsBloodborne, and other similar dungeon crawling games are infamous for their annoying deaths. It is close to impossible to complete these games without dying to the point where death is literally part of the process itself. The game is essentially a vicious cycle of progress and death: you face a new challenge in the game, die, learn how to get past that part, and repeat. The game punishes and forces you to learn until you get it right. However, the most irritating part about dying in Dark Souls or Bloodborne is the “YOU DIED” message that pops out on your screen. Yes, we get it, we died, you really don’t have to add salt into our wounds.

A majority of competitive games like Dota 2CS:GO, or VALORANT, are incredibly unique since they utilize the element of death in a sport-like environment. Obviously, you can’t (or are unlikely to) die when playing traditional sports like football, basketball, or even boxing. However, the competitive games I mentioned use death to remove the players out of the game momentarily, rendering them useless to contribute to the team. Unlike Dark Souls, death in this fashion also forces you to carefully consider the decisions and actions you make in-game because there are no restarts; all the mistakes you make will compound and determine the fate of your victory in the match. Furthermore, your deaths will also affect your teammates and their morale, since these are all team games after all. You might die so much to the point where you get called a feeder or get reported for griefing the match; that is something no one wants.

Spiritfarer | Source: Xbox

While these two genres utilize death to amplify or use it as a mechanic in the game, Spiritfarer brilliantly tackles the event of death and grief like no other has done before. Chances are you have probably never heard Spiritfarer, so let me briefly introduce you to this criminally underrated game. Spiritfarer is an indie sandbox or simulation game that’s all about helping the spirits of the deceased accomplish their unfinished business on earth. The game gives the players deep-seated messages and a thought-provoking perspective on the concept of death or the afterlife, which can be extensively relevant during these times. The music and visuals are also fantastic, aesthetic, and allows you to immerse into the world of the characters. You should definitely try out this game, especially if you are interested in the topic.

Death and Taxes | Source: Wikipedia

Death and Taxes is also another sim game that discusses death by allowing players to choose who lives and dies, essentially being a grim reaper of sorts. You’ll be given a brief description of each of the souls that you will be judging. Their final fate, which you will determine, will ultimately shape the reality of the world. Although the game’s objectives are rather simple, Death and Taxes opens up about death in a way that helps people deal with this delicate issue and reflecting on it from a new perspective.

To Learn

As seen from Dark Souls and Dota 2, death encourages players to learn from their mistakes and grow. The more you die, the more you will know yourself and the game. Death in this fashion actually draws parallels to our failures in real life, as both of them represent the results of our mistakes. Similarly, there are always two ways to look at our downfalls or death in-game: we can see it as an outcome of our incompetency, or we can see it as an opportunity to learn and come out as a better person. However, only people who are to thrive both in life or games are the ones who adopted the latter perspective.

As a result, gaming could be incredibly beneficial to learn core and important life values as well. By constantly being bombarded with death and losses, you’ll eventually be able to endure failures and know how to use them to your advantage. Soon enough, your disappointments will turn into an unstoppable drive to try again, and death will be a force that brings about success.

There is a saying that goes “Death is not the opposite of life, but a part of it.” Although this might be referring to the afterlife, I think that gaming is perhaps a fitting embodiment of the quote. Through the deaths we experience in-game, we learn and progress in life. It teaches us invaluable lessons through mere projections of light in each pixel of your screen. More importantly, however, gaming shows that death or failure does not put a permanent roadblock in the journey of our lives but is a stepping stone to something much greater.

To Cope

Processing loss and grief in these troubled times can be a challenge. Fortunately, gaming has provided us with an avenue and safe space to cope and endure death. We have seen death-oriented games like Spiritfarer tackle this issue and provide some possible interpretations about the afterlife, which can undoubtedly aid us in our griefing journey. For others who prefer to seek to disconnect from the death of their loved ones, games can also serve as a necessary escape for our minds.

Roy Sugarman – a psychologist and the cofounder of Transhuman – also mentioned video games can help us unload all the complex emotions in the stages of grief. “Games put you in a metaphoric world where you can express a range of stuff honestly, where you can express grief,” says Sugarman. “For people who are isolated, video games bring you to another world where you can be disinhibited and expressive.”

Roy Sugarman

According to Sugarman, the anonymity that video games provide can help us express our emotions freely without any fear of judgment from the outside. As he put it, “You’re willing to show a lot more emotion to these metaphoric avatar-like creatures than you would face-to-face with some old guy with a beard.”

Furthermore, he thinks that the games have the capability to gather people in grief and bring about a much-needed sense of togetherness during their hard times. “There is a consistency of grief, distractibility, irritability, which is replaced by kind of an addictive contact with people,” Sugarman explains. “If you think about it in evolutionary terms, we all sacrifice a great deal for kinship or a sense of relatedness, and video games do all of this.”

We have seen this exact case last year when the gaming community lost one of the most beloved streamers on Twitch named Byron “Reckful” Bernstein. Thousands of players gathered in World of Warcraft for his funeral and memorial, showing to the world that video can be more than just a place to play. Of course, in-game funerals like these did not only happen on one occasion. Franchises like Final Fantasy and Animal crossing have also started to provide such services to be used by the player base.

Byron Daniel Bernstein, more known as “Reckful”

Conclusion

From this article, I hope that you have obtained a much deeper understanding of the meaning of death in games and how it could evoke different responses in players. Similarly, we could utilize all the in-game experiences that we have accumulated and translate them into valuable real-life lessons. However, perhaps the most essential thing we can take from dying in games is the appreciation that we are still alive today, and we should make the most out of it.

 

Featured Image: Unsplash

The Story of the Biggest Minecraft YouTuber: Dream

Dream is undoubtedly one of the biggest Minecraft content creators on YouTube. His speedy rise to fame through the fan-favorite Minecraft Manhunt series is also definitely a story to tell, breaking all records and expectations from the community. However, Dream is also not free from the fair share of controversies of famous pop culture stars today with his speedrunning allegations that occurred last year. With that said, let’s take a look at the story of how this Minecraft player from Florida was able to gather millions of loyal followers and become one of the most successful YouTubers in Minecraft History.

Before Youtube Popularity: How the Dream Team got assembled

Source: MunchyMC

Dream actually created his Youtube channel way back in 2014. However, we may never see what the old videos look like since Dream either private or unlisted all of them. What we do know about his activities in those days is playing in the Mc PVP server, where he also met his most notable partner in crime: Sapnap. Dream was never really into the grind of posting YouTube videos for a long time until he came up with an idea to create his own Minecraft server. This is ultimately when he learned his useful coding skills since he coded the entire server entirely by himself. His work also got noticed by BadBoyHalo, which used to be a much more popular YouTube channel than Dream and consequently asked him to join Bad’s server (MunchyMC) developer team. Coincidentally, Dream crossed paths with another favorite figure we all know as GeorgeNotFound in the dev team. And thus, the Dream team bond that we know and love today has been forged.

The Start of the YouTube Grind

Dream hadn’t made any moves on YouTube for 5 years after the creation of his channel. However, he decided to change his fate forever. He posted a comment on Discord, mentioning that he will be a giant YouTuber and that he will do anything to achieve this goal. Thus, he began studying the gears that run the YouTube website, how the infamous algorithm works, and how to manipulate it to his own advantage.

After months of research, he uploaded his legitimately first YouTube video entitled “This Cursed Minecraft Video Will Trigger You”. The video was relatively simple and essentially contains Dream breaking all the unwritten rules of Minecraft like mining dirt with a pickaxe, killing your pet dog, not using shear with right-click, and so on. Despite its simplicity, the video was able to blow up due to its easily sharable moments; not bad getting more than a million views for your first video. However, the video also shed some light on Dream’s programming capability when he was able to sleep in the nether and make a pig blow him 10 feet into the air.

Dream continued to post these “triggering” Minecraft videos for quite a while, and all of them were all viral hits. However, while most YouTuber’s might decide to stick with the winning formula of success, Dream improvised and initiated another project that is correlated with one of the biggest names on the website: PewDiePie.

The PewDiePie Saga

Source: PewDiePie

In July 2019, PewDiePie decided to create a YouTube series on Minecraft. The game was somewhat considered to be dead, and many avid fans have left the game for good. However, PewDiePie ultimately relighted Minecraft and brought back millions of audiences to the game. PewDiePie’s viewers were also incredibly curious in getting his Minecraft’s world seed, and Dream took this opportunity to do the impossible: locate the exact seed out of 18 quintillion possibilities. He gathered a team of Minecraft experts and tried to reverse engineer PewDiePie’s world seed using coordinate locations, maps, and other crazy shenanigans. They eventually succeeded and released the world seed to the public. However, a few hours later, PewDiePie spoiled the party by announcing that he won’t be releasing the world seed until he defeated the Ender Dragon. Dream ultimately was under fire from a barrage of criticism and made an apology video towards the matter. Luckily for him, some people recognized the sheer skill, effort, and time required to find the world seed, further growing his following on YouTube.

Before Manhunt

After the charade with PewDiePie, Dream quickly took advantage of the fame that he had accumulated and released yet a novel series on his channel called Minecraft Unsolved. The series tackles intriguing questions in Minecraft, such as the infamous Herobrine and the longest possible jump in the game. Needless to say, the series far exceeds expectations and showed the knowledge Dream had about Minecraft. The videos are also deeply researched and highly informative, which helped Dream establish his trust with his audience and the community.

The next series that Dream released was exponentially popular compared to the previous one, namely the coded Minecraft challenges. Here, Dream showcased his programming skills that he has learned to create Minecraft plugins that infinitely increase the game’s excitement. He also teamed up with all of his friends to complete these challenges. Some of the popular videos from this series are beating Minecraft with X-ray on, placing a massive black hole that slowly swallows everything, and random gravity flips.

Yet again, Dream continues to improvise and implement the element of PvP in these coding challenges. Instead of working together, Dream and his friends would duel to the death and be the last man alive. A popular video from this series is Minecraft Block Shuffle, where players have to stand in a designated block before the timer runs out. Minecraft Death Swap is another example of these PvP coded challenges and, this time, players would have to cleverly set traps before swapping positions with the opposition.

The Manhunt Era

Source: Dream

The YouTube series that needs no introduction. Dream created the Manhunt series as another iteration of the coded PvP challenges and titled the first video “Beating Minecraft, But My Friend Tries To Stop Me”. As we know, the videos displayed Dream’s prowess in Minecraft PvP in an incredibly fun fashion. He also did several modifications to Manhunt such as the “Assassin” video where Dream’s opponent will one-shot him but will freeze if Dream placed locks his crosshair on the opponent. It was also around this time that Dream broke through the 1 million subscriber mark, a feat that is probably not that amazing considering his later achievements. The Manhunt era eventually still lasts until today, producing over 25 videos and a million Reddit-worthy plays or clutches that you are all too familiar with. If by any chance you haven’t experienced any of this fun, here is the playlist for all of Dream’s Manhunt videos.

Dream SMP

The Dream SMP initially just started out as a private server between Dream and GeorgeNotFound, where they try to explore the new Nether Update in Minecraft. Soon, Dream invited some of his team crew, with the likes of Sapnap and ItsAlyssa, to join the server. Eventually, more content creators joined the fray, and the Dream SMP spiraled into all the chaos we all know today. The content made in the server ranges from drama, war, politics, friendship, and betrayal, you name it. Most of the events that occurred in Dream SMP are only shared on Twitch streams, so a majority of Dream’s YouTube fans might never get a full glance at what truly transpired in the server. However, you can check out the fascinating Dream SMP documentary below to catch up with all the drama.

Speedrunning & Cheating Controvery

To train for the Manhunt series, Dream decided to embargo his journey of Minecraft speed runs. After all, random seed Minecraft speedruns require a similar set of skills (excluding PvP) and achieve the same goal of eliminating the ender dragon, like Manhunt. Streaming and doing Minecraft speedrun essentially kills 2 birds with one stone: train for Manhunt, and try to get a world record in the speedrunning category. Dream did his speedrun streams for quite a while and things went pretty normally. However, in early October of 2020, Dream achieved a world record and placed 5th as the fastest runs in the 1.16 random seed category. He subsequently submitted his run on speedrun.com and his name was placed on the podium. 

Unbeknownst to Dream, another Minecraft speedrunning expert has been spectating his stream and noticed the significantly higher drop rates of Ender pearls in his runs, an integral item to have in this category. A few weeks later, Dream denied all allegations of cheating or tampering with his Minecraft drop rates, dismissing it as another form of cherry-picking random events.

However, after two months of rigorous investigation by the moderators of speedrun.com, Dream’s run was concluded to be not legitimate and was consequently removed from the leaderboards. A YouTube video on Geosquare’s channel (one of the speedrun.com mods) and an in-depth report were soon released to explain the whole matter. In short, the primary reason behind the verdict to discard the run was Dream’s insane drop rate odds of 1 in 7.5 trillion.

Guilty or not, Dream was considerably pissed off at the whole thing and went on a Twitter and discord rant that produced quite the drama, to say the least. Nevertheless, he still believes that the allegations are false and will soon hire an expert to back his perspective. On December 23, Dream released his response as well as the report made by an anonymous statistician claiming that Dream’s odds were much closer to 1 in 10 million, far less than the initial 7.5 trillion. However, the report eventually received a lot of criticism and other statistics or math experts, such as the likes of Matt Parker, quickly pointed out existing errors and still stand on the side of the moderators. At the end of the day, Dream did not get his speedrun reenlisted on the leaderboards, and the controversy was at a stalemate. On the one hand, we have people who believe in the maths and, on the other, we got people who do not exclude the chance of someone’s lottery-winning lucks.

Fortunately, the drama was finally concluded on May 30, 2021, when Dream made a statement that admits that he accidentally had a mod that tinkered with the item drop rates. So yes, Dream did cheat, but it is now only an issue of whether it was done unintentionally or blatantly

Other Ventures Outside YouTube

On April 2021, two YouTube giants, Dream and MrBeast, did a crossover no one expected. MrBeast collaborated with Dream to release the Dream Burger in his MrBeast Burger fast food restaurant.

Unbeknownst to most of Dream’s fans, he also released several songs on his music channel. His first-ever song, titled “Roadtrip” was released on February 4, 2021, as part of a collaboration project with PmBata.Mask” was released a few months later on May 21, and his latest song, “Change My Clothes“, which features Alec Benjamin, was released on August 19.

 

Featured Image: Dexerto

Trash-Talk di Esports: Dampak Positif dan Negatif dari Menurut Riset

Bagi organisasi esports, menjaga reputasi tidak kalah penting dengan memenangkan kompetisi. Pasalnya, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama organisasi esports. Ketika sebuah brand mendukung organisasi esports, mau tidak mau, image brand juga akan terpengaruh oleh reputasi organisasi esports. Dan saya yakin, tidak ada brand yang mau melekatkan nama atau logonya pada organisasi esports yang punya reputasi buruk.

Masalahnya, bagaimana jika strategi untuk menang punya potensi untuk merusak reputasi tim? Kali ini, “strategi” yang saya maksud adalah trash-talking atau taunting. Di satu sisi, tak bisa dipungkiri, trash-talking memang sering dianggap negatif. Di sisi lain, ada banyak atlet esports dan olahraga yang melakukan trash-talking. Sebagian atlet olahraga bahkan juga dikenal berkat kemampuannya untuk melontarkan trash-talk, seperti Richard Sherman dan Mike Tyson.

Tak hanya di lingkup olahraga, trash-talk juga merupakan fenomena yang biasa terjadi di dunia politik. Dan asal Anda tahu, trash-talk ini tidak hanya terjadi di lingkup politik kelas kecamatan. Politikus selevel Donald Trump, yang pernah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, pun kerap melakukan trash-talk saat melakukan kampanye.

Karena itu, kali ini, saya akan membahas tentang trash-talk, mulai dari alasan seseorang melakukan trash-talk, dampak yang mungkin timbul pada target trash-talk, sampai apakah melakukan trash-talk etis dilakukan.

Pengertian dan Contoh Trash-Talk

Sebelum membahas lebih lanjut tentang trash-talk, mari samakan persepsi tentang definisi dari trash-talk itu sendiri. Menurut Jeremy A. Yip, trash-talk adalah komentar yang membanggakan diri sendiri atau komentar merendahkan lawan. Yip adalah Assistant Professor, Georgetown University’s McDonough School of Business, yang pernah membuat studi tentang trash-talking.

Trash-talking hadir dalam beragam rupa. Secara sederhana, trash-talking berupa makian langsung pada lawan. Terkadang, trash-talk juga muncul dalam bentuk sarkasme atau hiperbola. Dan sesekali, seseorang memberikan trash-talk dalam bentuk pantun atau puisi. Terlepas dari bagaimana trash-talking disampaikan, ada beberapa topik yang menjadi bahan dari trash-talking. menurut studi Trash-Talking and Trolling, topik yang paling sering digunakan sebagai bahan trash-talking adalah performa lawan. Misalnya, ketika seseorang memanggil lawannya “noob” atau “feeder” di Dota 2. Contoh lainnya adalah komentar “ez game” dari Team Spirit untuk tim OG di The International 10.

Komentar TORONTOTOKYO dalam pertandingan antara Team Secret dengan OG.

Selain performa lawan, topik lain yang sering dijadikan bahan trash-talking adalah penampilan. Padahal, penampilan seseorang tidak ada kaitannya dengan performanya. Penampilan layaknya skin kosmetik dalam game: membuat seseorang terlihat lebih menarik, tapi tidak memberikan status tambahan. Fakta bahwa penampilan jadi salah satu bahan trash-talking menunjukkan bahwa konteks dari trash-talking tidak kalah penting dengan omongan dalam trash-talking itu sendiri. Karena, menurut sejumlah evolusionis, penampilan yang menarik atau kemampuan atletis yang baik merupakan bukti akan “gen yang superior.”

Berikut contoh trash-talk yang menyasar penampilan seseorang. Trash-talk di bawah dilontarkan oleh juara tinju kelas berat, Muhammad Ali, seperti dikutip dari ABC.

“Sulit untuk merasa rendah hati ketika Anda setampan saya.”

“(Linston) jelek, ya? Dia terlalu jelek untuk jadi juara dunia. Juara dunia seharusnya tampan, seperti saya.”

Ali memang merupakan salah atlet trash-talker paling populer sepanjang sejarah. Tak hanya itu, dia juga dipercaya sebagai orang yang mempopulerkan trash-talk. Pada 1963, dia pernah merilis album rekaman trash-talking yang dikemas dalam bentuk puisi. Sejak saat itu, ada banyak petinju, pegulat, atau atlet olahraga lain yang mengadopsi trash-talk sebagai strategi.

Berikut adalah salah satu trash-talk dari Ali yang hadir dalam bentuk pantun:

“Float like a butterfly, sting like a bee.
George can’t hit what his eyes can’t see.
Now you see me, now you don’t.
He thinks he will, but I know he won’t.
They tell me George is good, but I’m twice as nice.
And I’m gonna stick to his butt like white on rice.”

Ali bukanlah satu-satunya orang menjadikan penampilan lawan sebagai bahan trash-talk. Dalam debat nominasi kandidat presiden dari Partai Republik, Donald Trump juga pernah melontarkan trash-talk yang menyasar penampilan lawannya, yaitu Carly Fiorina. Ketika itu, Trump berkata, “Lihat wajahnya! Apa ada orang yang mau mendukung orang dengan wajah seperti itu? Bayangkan, jika orang dengan wajah seperti itu jadi presiden kita.”

Menurut Trash-Talking and Trolling, laki-laki punya kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan trash-talking daripada perempuan. Diduga, hal ini merupakan cerminan intersexual selection, yaitu ketika laki-laki saling berkompetisi dengan satu sama lain untuk menunjukkan dominasinya. Temuan lain dalam studi itu adalah bahwa atlet dari olahraga dengan body contact — seperti gulat, american football, hoki, dan lain sebagainya — juga cenderung melakukan trash-talk. Tren ini memang sesuai dengan fakta bahwa trash-talking merupakan metode komunikasi agresif. Menariknya, penggunaan helm atau penutup muka pada olahraga tidak mempengaruhi frekuensi trash-talk. Artinya, kecenderungan seseorang melakukan trash-talking tidak dipengaruhi oleh anonimitas.

Dalam Trash-talking: Competitive incivility motivates rivalry, performance, and unethical behavior, Yip dan dua rekannya menyebutkan bahwa seseorang bisa melakukan trash-talk di depan atau di belakang lawan. Ketika seseorang melakukan trash-talking di depan lawan, trash-talking punya dua fungsi. Pertama adalah untuk meningkatkan kepercayaan diri pelaku. Kedua adalah untuk menghina lawan. Sementara ketika seseorang melakukan trash-talking di belakang lawan — misalnya, melalui media sosial — maka ada satu tujuan lain yang trash-talker coba capai, yaitu mengubah persepsi audiens.

Dampak Positif dan Negatif Trash-Talk

Untuk mengetahui tentang dampak akan trash-talking, Yip dan kedua rekannya mengundang 178 orang untuk bermain game online. Sebelum bermain, setengah dari peserta mendapatkan pesan yang bersifat netral. Sementara setengah yang lainnya menjadi target dari trash-talking. Dari studi itu, terbukti bahwa trash-talking punya dampak pada targetnya. Menariknya, menjadi target dari trash-talking justru membuat seseorang termotivasi untuk mengalahkan lawan mereka. Hal ini menunjukkan, dalam lingkungan kompetitif, salah satu dampak positif dari trash-talking adalah untuk membakar semangat.

“Temuan ini menarik karena kita biasanya berasumsi, trash-talk adalah cara untuk mengintimidasi lawan dan membuat performa mereka turun,” kata Yip kepada BBC. “Tapi, temuan dari studi kami menunjukkan, jika Anda menjadi target dari trash-talk, Anda justru menjadi termotivasi untuk mengalahkan lawan Anda.”

Sejumlah petinju yang dikenal sebagai trash-talkers. | Sumber: CNN Indonesia

Lebih lanjut, Yip menjelaskan, trash-talk juga bisa menciptakan persaingan ketat dua pihak secara instan, bahkan jika keduanya tidak punya rekam jejak apapun sebelumnya. Hanya saja, trash-talk juga mendorong target untuk melakukan tindakan curang. Studi Yip menunjukkan, orang-orang yang mendapatkan pesan trash-talk tidak hanya mau berjuang lebih keras untuk mengalahkan lawannya, tapi mereka juga lebih bersedia untuk mengeksploitasi kelemahan musuh.

Selain membuat target terdorong untuk berbuat curang demi kemenangan, trash-talk juga punya dampak negatif pada kreativitas seseorang. Orang-orang yang menjadi target dari trash-talk mengalami penurunan kreativitas. Yip mengatakan, hal ini terjadi karena tugas yang melibatkan kreativitas membutuhkan tenaga kognifif yang lebih besar. Pasalnya, ketika seseorang melakukan tugas kreatif — seperti menulis, menggambar, dan lain sebagainya — dia harus memikirkan banyak ide sekaligus. Tak hanya itu, dia juga harus menata ide-ide tersebut untuk menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Padahal, trash-talk bisa membuat konsentrasi seseorang menjadi buyar.

Pertanyaannya, apakah trash-talk efektif di olahraga? Jawaban singkatnya, ya.

Dalam pertandingan olahraga, tujuan seseorang melakukan trash-talk adalah untuk membuat lawan kehilangan fokus dengan membuatnya merasakan emosi yang kuat. Dengan begitu, harapannya, performa lawan akan menurun. Fenomena ini tidak hanya terjadi di esports — yang membutuhkan konsentrasi tinggi — tapi juga olahraga tradisional. Seperti yang disebutkan oleh Karen C.P. McDermott, olahraga tidak hanya mengadu kemampuan fisik seseorang, tapi juga kemampuan atletnya. McDermott belum lama ini membuat disertasi doktor terkait trash-talk di bidang komunikasi.

“Banyak pelatih yang menyarankan para atlet untuk fokus pada pertandingan, karena kekuatan mental dan kemampuan fokus dalam pertandingan punya peran sangat penting, khususnya dalam olahraga yang membutuhkan koordinasi antara mata dan tangan,” kata McDermott, dikutip dari Eurekalert. “Kompetisi olahraga selalu punya elemen mental dan trash-talk adalah salah satu metode serangan yang harus diperhatikan atlet.”

Richard Sherman, yang dikenal sebagai trash-talker, menjadi investor dari Luminosity Gaming. | Sumber: Esports Insider

Untuk mempelajari tentang dampak trash-talking, McDermott mengamati 200 pria dan perempuan saat mereka bermain game Mario Kart. Sebagian dari peserta aktif melakukan trash-talking dan sebagian yang lain tidak. Berdasarkan observasinya, McDermott menemukan bahwa trash-talking bisa digunakan untuk mengalihkan perhatian lawan, membuat mereka merasa marah dan malu. Selain itu, berbeda dengan hasil studi Yip, McDermott juga menemukan bahwa trash-talking justru menyebabkan target kehilangan motivasi.

“Awalnya, saya merasa, rasa marah dan malu adalah dua emosi yang saling bertolak belakang. Saya berasumsi, seseorang hanya bisa merasakan salah satu dari emosi tersebut. Jika Anda merasa marah, maka Anda akan lebih termotivasi,” ujar McDermott. “Tapi, apa yang saya temukan adalah rasa marah dan malu justru saling terhubung dengan satu sama lain. Orang-orang tidak hanya merasakan salah satunya, tapi merasakan keduanya secara bersamaan. Dalam banyak kasus, seseorang merasa sangat malu sehingga mereka merasa marah. Dan hal ini mempengaruhi performa mereka.”

Apakah Trash-Talk Etis?

Sekilas, trash-talk tidak ada bedanya dengan kata makian. Kepada BBC, McDermott bahkan mengaku, ketika dia mengadakan studi tentang trash-talking, dia harus memilih kata-kata yang digunakan untuk trash-talking dengan hati-hati. Alasannya, tidak sedikit trash-talking yang bersifat seksis atau homophobic, seperti: “You fight like a girl!” Di Indonesia, kata makian yang sepadan mungkin adalah: “Dasar banci!” Karena itu, menurut McDermott, salah satu hal yang membedakan trash-talk dengan makian adalah adanya elemen “playfulness“. Hanya saja, di luar dunia olahraga sekali pun, ada banyak orang yang bersembunyi di balik kata-kata “Ah, cuma bercanda.” untuk menghina seseorang.

Bermain game adalah kegiatan yang membutuhkan konsentrasi, apalagi jika Anda adalah atlet esports yang bertanding di kompetisi profesional. Beban mental yang dipikul atlet esports kelas dunia bahkan sama dengan beban mental yang dihadapi oleh atlet Olimpiade. Dan trash-talk terbukti bisa memecah konsentrasi korban. jadi, trash-talk memang bisa menjadi senjata untuk menurunkan performa lawan.

Masalahnya, trash-talk — yang memang ditujukan untuk membuat pelaku menjadi lebih percaya diri — juga bisa meningkatkan ego pelaku. Dan hal ini justru bisa membuat sang trash-talker melakukan hal-hal yang tidak sportif. Di dunia olahraga, trash-talking bahkan bisa berujung pada kekerasan, seperti yang terjadi pada final Piala Dunia 2006, ketika Zinedine Zidane menanduk Marco Matterazzi.

Salah satu tujuan trash-talk memang untuk meningkatkan kepercayaan diri. Namun, trash-talk juga bisa membuat seseorang menjadi besar kepala. Anak dan remaja punya risiko lebih besar mengalami masalah tersebut. Karena, jika dibandingkan dengan orang dewasa, remaja masih belum matang secara emosional. Selain itu, remaja juga punya pengalaman yang lebih sedikit. Jadi, ketika atlet muda — seperti kebanyakan atlet esports — melakukan trash-talk, mereka punya kesempatan lebih tinggi untuk berulah, menurut Stack.

Industri esports bisa tumbuh berkat bertambahnya jumlah penonton. Dan memang, trash-talk bisa menjadi bumbu untuk membuat pertandingan esports lebih dramatis. Hanya saja, sportivitas tetaplah bagian penting dari kompetisi olahraga, termasuk esports. Dan trash-talk layaknya antitesis dari sportivitas. Jadi, membiarkan seorang atlet melakukan trash-talk tanpa kendali bisa berujung pada hilangnya sportivitas dalam pertandingan. Padahal, pertandingan yang adil juga merupakan salah satu daya tarik kompetisi esports.

Valve terapkan Overwatch di CS:GO. | Sumber: Daily Esports

ESL bahkan menghabiskan sekitar seperlima sampai seperempat dari dana teknologi mereka untuk membuat teknologi anti-cheating. Tak hanya penyelenggara turnamen, publisher game seperti Riot Games dan Valve pun ikut berinvesasi untuk mengembangkan teknologi anti-cheating. Di skena esports, bahkan ada Esports Integrity Commission (ESIC). Sesuai namanya, ESIC bertujuan untuk menjaga integritas ekosistem esports.

Dalam studi berjudul The Intrinsic Wrongness of Trash Talking and How It Diminishes the Practice of Sport, Nicholas Dixon mencoba untuk menjelaskan mengapa trash-talk justru bisa menghilangkan esensi pertandingan olahraga. Salah satu argumen pro trash-talking adalah karena trash-talk bukan dianggap sebagai hinaan. Namun, Dixon menyebutkan, salah satu tujuan trash-talk adalah untuk menurunkan performa lawan dengan membuatnya merasa marah dan terhina.

Argumen pendukung trash-talk lainnya adalah bahwa seorang atlet memang harus siap secara mental menghadapi tekanan mental, termasuk trash-talk. Hanya saja, Dixon mengatakan, kekuatan mental yang diperlukan untuk tidak terpancing trash-talk berbeda dengan ketahanan mental yang harus dimiliki seseorang untuk bisa memenangkan kompetisi olahraga. Menurut Dixon, kemampuan untuk tetap tenang ketika lawan melontarkan trash-talk tidak seharusnya dijadikan sebagai tolok ukur kemampuan seorang atlet.

Terakhir, argumen yang digunakan untuk mendukung trash-talker adalah dalam pertandingan olahraga, hal-hal yang biasanya tidak boleh dilakukan dianggap lumrah. Misalnya, dalam sepak bola, para pemain boleh melakukan tackle. Di luar lapangan, jika Anda mendadak men-tackle orang lain, tentunya Anda akan kena damprat. Meskipun begitu, Dixon berargumen, tetap ada peraturan yang harus dipenuhi oleh para atlet ketika mereka hendak melakukan hal-hal yang biasanya tidak boleh dilakukan. Sebagai contoh, di sepak bola, pemain memang boleh melakukan tackle, tapi dia tidak bisa menanduk pemain lawan begitu saja. Selain itu, ada beberapa tim olahraga yang memang melarang pemainnya melakukan trash-talk.

Di skena esports, ada beberapa game yang melarang para pemain untuk saling memprovokasi satu sama lain. Riot bahkan tidak mengizinkan pemain dari dua tim yang berbeda untuk saling berkomunikasi di chat.

Kesimpulan

Di dunia olahraga, trash-talk sudah menjadi hal biasa. Sebagian atlet olahraga bahkan dikenal karena kemampuannya dalam memberikan trash-talk. Tak terbatas pada dunia olahraga, trash-talk juga bisa dijadikan sebagai senjata oleh politikus. Bahkan di tempat kerja, ada saja orang yang menyasar rekan kerjanya dengan trash-talk.

Thrash-talk memang bisa meningkatkan motivasi seseorang. Namun, orang tersebut juga menjadi lebih terdorong untuk berbuat curang — sesuatu yang terlarang di kompetisi olahraga, termasuk esports. Dan dalam lingkup kerja, memberikan trash-talk pada rekan satu tim justru bisa membuatnya menjadi tidak bersemangat. Tidak tertutup kemungkinan, target trash-talk justru sengaja menyabotase performa tim.

Wajar bagi tim esports — atau tim/atlet olahraga — untuk ingin menang. Dan tidak bisa dipungkiri, trash-talk merupakan salah satu strategi yang bisa digunakan untuk mengacaukan konsentrasi lawan, memperbesar kemungkinan untuk menang. Namun, apa demi meraih kemenangan, semua cara dihalalkan? Saya rasa, menang dengan berbuat curang tidak artinya.

Dalam dunia competitive gaming, memang tidak semua turnamen/liga esports melarang trash-talk. Meskipun begitu, trash-talk punya konotasi yang negatif. Ketika sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama bagi organisasi esports, apakah rusaknya reputasi tim adalah risiko yang patut diambil?

Sumber header: True Sport