Gaming Gear, Atlet Esports, dan Sebuah Jalan untuk Jadi yang Terbaik

Sebagai industri yang berkembang bersama dengan teknologi, tidak heran jika industri game dekat dengan berbagai aksesori pelengkapnya, yang kini lebih dikenal dengan istilah gaming gear. The NPD Group dalam laporan jumlah belanja gamers Amerika Serikat Q1 2020, menjelaskan bahwa penjualan aksesori game mencapai angka 390 juta dollar AS (sekitar 5,7 triliun Rupiah). Angka tersebut merupakan penurunan, namun tetap dianggap sebagai jumlah penjualan tertinggi ketiga sepanjang masa.

Mungkin banyak yang bertanya. Apa yang membuat gaming gear begitu menarik dan penting? Memangnya, Anda jadi lebih jago kalau punya gaming gear? Akankah MMR Anda meningkat dari Herald ke Ancient dalam satu minggu di Dota 2 hanya karena membeli gaming gear? Sejauh ini sih jawabannya “tidak” ya. Tapi kalau Anda punya teman yang bisa naik rank hanya karena punya gaming gear baru, mungkin bisa diperkenalkan ke saya agar dapat saya wawancara… Hehe.

Saya sempat menyatakan opini singkat soal ini saat menulis tips aim di FPS PC. Pada artikel tersebut saya sengaja meletakkan soal tips memilih gear yang tepat di bagian akhir. Karena ibaratnya sepak bola, kalau kemampuan main bola Anda masih sekelas antar-kampung alias tarkam, sepatu Nike Mercurial tidak akan serta merta membuat Anda sejago Lionel Messi. Namun jika Anda sudah bisa dribble bola seperti Lionel Messi, Anda pasti membutuhkan perlengkapan terbaik, agar gerakan Anda lebih leluasa dan menghindari cidera.

Kalau begitu, apakah mouse bolong-bolong, monitor 144Hz, keyboard mekanikal, dan mouse pad RGB memang tidak ada gunanya? Jawabannya belum tentu. Pertanyaan berikutnya mungkin adalah kenapa gaming gear dibutuhkan dan gaming gear seperti apa yang punya pengaruh terhadap kemampuan gaming Anda?

Sebuah Pencarian untuk Menjadi yang Terbaik

Dalam esports, hanya yang terbaik dari yang terbaik, yang bisa berjaya duduk di tahta juara dunia. Tim OG dari skena Dota 2, butuh berkompetisi selama berbulan-bulan, mengalahkan semua lawan, dan bersaing setidaknya dengan 85 orang dari 17 tim lainnya di gelaran utama The International 2019 untuk menjadi juara dunia. Tak heran, menjadi yang terbaik selalu menjadi pencarian utama dari sebuah tim esports.

Untuk menjadi yang terbaik, banyak faktor yang perlu dipikirkan. Skill individu adalah perangkat wajib seorang pemain. Setelah skill individu, strategi serta rencana permainan akan membuat sebuah tim menjadi semakin kuat. Setelah strategi, kerja sama serta chemistry permainan menjadi perekat yang membuat sebuah kemampuan main tim esports jadi semakin solid.

Setelah tiga aspek tersebut, pencarian untuk menjadi yang terbaik sebenarnya masih belum selesai. Masih ada aspek lain yang bisa diperbaiki, agar sebuah tim bisa menjadi lebih baik lagi. Ada tim yang mencoba memperbaiki dari sisi psikologi, yang contohnya bisa terlihat dari peran kinerja sosok psikolog olahraga, Mia Stellberg, di balik kemenangan Astralis di CS:GO dan OG di Dota 2.

Tetapi kompetisi akan terus-menerus menjadi semakin berat. Jika setelah tiga aspek di atas sudah terpenuhi, lalu apa berikutnya? Aksesoris pelengkap seperti gaming gear jadi salah satu jawaban. Hal ini mungkin jadi alasan kenapa angka Refresh-Rate monitor terus meningkat selama beberapa tahun belakangan, mouse menjadi semakin ringan sampai dibuat dengan rancangan bolong-bolong, masing-masing brand terus mengembangkan switch keyboard mekanik paling responsif, dan membuat headset dengan kemampuan Surround Sound terbaik.

Semua orang dalam jalannya untuk menjadi yang terbaik, dan respon serta kecepatan menjadi salah satu yang terus berusaha dikejar. Tapi apakah benar respon adalah segalanya? Lalu apa benar gaming gear memberi dampak pada performa.

Jika kita melihat kepada olahraga tradisional seperti sepak bola, yang melibatkan lebih banyak pergerakan fisik, jawabannya mungkin iya. Sebuah artikel akademis berjudul “Current Soccer Footwear, Its Role in Injuries and Potential for Improvement” menjelaskan seluk beluk hal tersebut.

Jika saya menjelaskan secara terperinci apa yang dibahas dalam artikel ilmiah tersebut, pembahasan ini mungkin akan menjadi sangat panjang dan njelimet; apalgi jika saya menjelaskan sampai ke hitung-hitungan hukum fisika dari perancangan sebuah sepatu sepak bola. Namun yang pasti, dalam proses perancangan sebuah sepatu saja, ada banyak aspek yang perlu dipikirkan.

Mulai dari besaran momentum kaki menghantam bola harus dihitung, untuk menentukan tebal atau tipis bahan yang digunakan. Seberapa keras menghentak ke tanah saat berlari, untuk menentukan konstruksi sol sepatu. Seberapa besar beban pergelangan kaki saat berlari menggocek musuh, untuk menentukan apakah sebuah sepatu harus dirancang “High” atau “Low”. Semuanya dilakukan dengan memikirkan bagaimana agar sebuah sepatu bisa nyaman dan membantu sang pemain bola memberikan performa paling efisien.

Lalu bagaimana dengan esports? Riset mendalam terhadap performance gear sejauh ini mungkin baru dilakukan oleh “The Lab” milik Complexity Gaming dan We Are Nations, sebuah perusahaan esports merchandising asal Amerika Serikat. Dua perusahaan tersebut terinspirasi oleh Bill Bowerman, sosok co-founder Nike, yang begitu terobsesi memikirkan rancangan sepatu terbaik yang bisa membuat seorang pelari bisa berlari lebih cepat lagi.

Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider
Cam Kelly CMO Complexity Gaming. Sumber: Esports Insider

Dalam sebuah wawancara dengan Esports Insider, Cam Kelly CMO Complexity Gaming mengatakan. “Selain dari kesehatan, nutrisi, dan kebugaran, apparel dan equipment adalah bagian penting dalam menciptakan performa yang lebih baik lagi entah itu dalam skala millisecond atau milimeter. Jika seseorang kepanasan sehingga dia tidak bisa melenturkan bagian tubuhnya ke arah yang biasanya ia lakukan, maka performa permainan orang tersebut akan berkurang.” Ucapnya

Pada kasus pemain kasual, perbedaan millisecond atau milimeter mungkin tidak berarti. Namun dalam hal esports dan kompetisi, beda respon sepersekian detik adalah penentu hidup atau mati. Tidak percaya? Sebagai intermezzo, Anda bisa tonton permainan terbaik dari pro player League of Legends, Lee-Sang Hyeok (Faker), yang menunjukkan betapa berartinya setiap millisecond serta milimeter pergerakan di dalam dunia esports; dan alasan kenapa dia jadi dijuluki Unkillable Demon King.

Lebih lanjut The Lab juga menjelaskan bagaimana proses mereka melakukan riset sebuah aksesori yang bisa membuat performa seorang atlet esports jadi lebih efisien. Awalnya kecepatan, reaksi, muscle memory, dan batasan-batasan atau inhibisi diuji dalam Cognitive Lab.

Setelahnya purwarupa aksesori akan masuk fasilitas bernama Herman Miller Innovation Lab untuk memberi feedback terhadap purwarupa dalam sesi pengujian privat. Terakhir produk masuk ke dalam Advanced Training Room. Di sana, pemain akan melalui stress test, bermain dalam lingkungan yang menyerupai pertandingan LAN, termasuk temperatur, suara, lighting, serta perlengkapannya.

Dari sini, kita melihat bagaimana The Lab bisa dibilang menjadi salah satu pionir yang sangat serius dalam meningkatkan performa seorang pemain di dalam esports. Bahkan mereka melihat gaming gear bukan hanya soal mouse dan keyboard, tapi juga aksesori pakaian dan lain sebagainya. Patrick Mahoney, CEO We Are Nation lalu menambahkan lebih lanjut tentang dampak aksesori khusus gaming terhadap performa.

“Untuk meningkatkan performa esports ke tingkat berikutnya, kita bisa belajar dari cara atlet olahraga jadi lebih baik berkat teknologi. Contohnya, selama 20 tahun terakhir kita melihat pergantian bahan pakaian dari awalnya menggunakan wol dan katun, menjadi kain sintetis. Pergantian bahan ini ternyata terbukti membuat atlet lari bisa berlari lebih cepat, dan membantu menjaga temperatur tubuh seorang pendaki gunung. Esports masih berada di fase yang sangat awal, jadi siapa yang tahu nantinya kami yang akan menjadi pionir akan hal ini. Namun kami mengerti pentingnya riset pada bidang ini, dan kami sangat bersemangat bisa menjadi bagian dari hal ini.” Ucapnya.

Sumber: We Are Nation
Sumber: We Are Nation

Jason Lake Founder Complexity malah mencetuskan gagasan yang ia sebut sebagai Esports 3.0. Menurut pandangannya, gagasan Esports 3.0 akan menjadi masa depan. Menurut Lake, arti filosofi ini adalah mengelola pemain secara menyeluruh, termasuk memenuhi kebutuhan pemain dari segi nutrisi, kebugaran, mindfulness, work-life balance, dan kesejahteraan pemain secara keseluruhan.

Esports 3.0 pun bukan hanya soal kesejahteraan pemain saja, tetapi juga memberikan segala aksesori yang terbaik agar seorang pemain bisa menjadi juara. Soal gaming gear, Cam Kelly malah memberikan ide yang lebih gila lagi seperti menghubungkan audio dengan haptic (teknologi yang mensimulasikan sentuhan) sehingga menurutnya, teknologi tersebut secara potensial bisa membuat pemain merespon pergerakan musuh secara lebih cepat. “Itu mungkin belum seberapa. Coba bayangkan jika kita bisa membuat gaming gear seperti lensa kontak atau Google Glass berisi informasi tambahan yang mungkin akan menjadi keuntungan yang tidak adil.” Kelly menjelaskan angan-angan konsep gaming gear yang ada di kepalanya.

Apa yang Dicari Dari Gaming Gear Agar Permainan Anda Jadi Lebih Baik?

Menjadi terbaik dari yang terbaik bisa dibilang alasan kenapa gaming gear masih memiliki pasarnya tersendiri di dalam ekosistem gaming. Tim esports bisa menggunakannya untuk membuat performa pemain jadi lebih efisien. Sementara itu pemain kelas menengah bisa menggunakannya untuk jadi lebih baik lagi, atau mungkin sekadar agar bisa merasakan rasanya menjadi seperti seorang pro player. Lalu pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dicari?

Soal mencari gear yang tepat, ada pembahasan menarik yang dilakukan oleh Keith Stuard dalam tulisannya di The Guardian. Ia mengupas topik tersebut secara satu per satu, mulai dari monitor, mouse, keyboard, sampai controller atau joystick.

Dalam pembahasan monitor, Keith meminta pendapat Nicolas Reetz (dev1ce) pemain profesional CS:GO tim Astralis. Menurutnya 240Hz adalah suatu keharusan. “Juga sebuah monitor harus memiliki response time serendah mungkin, serta fitur color control. Saya cenderung bermain dengan saturasi warna yang tinggi, ini jadi alasan kenapa monitor saya harus punya fitur kustomisasi tersebut. Ukuran layar juga tak kalah penting. Karena kebanyakan turnamen menggunakan monitor 24-inci, jadi saya memilih ukuran tersebut.” Ungkap Nicolas Reetz.

Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV
Nicolas Reetz atau Dev1ce, pemain CS:GO dari tim Astralis. Sumber: HLTV

Beralih bicara soal mouse, Keith kali ini tidak mengutip pendapat dari pemain profesional, namun opini dari Alex Walker Editor Kotaku Australia cukup menarik. “Hal mendasar dalam mencari mouse adalah Anda harus melihat lebih dulu seberapa besar tangan Anda, dan bagaimana kebiasaan Anda memegang mouse. Build quality memang penting, tetapi jika bentuk mouse-nya tidak nyaman di tangan, maka Anda bisa jadi akan menyesal menggunakannya.” Ucap Alex.

Dalam artikel lain yang ditulis Vice, Rasmus Madsen selaku SteelSeries Industrial Lead Designer menjelaskan secara lebih lanjut. “Kami merancang sesuatu untuk kondisi yang sangat ekstrim. Kami tidak merancang sebuah produk untuk sekadar browsing internet. Ini (mouse gaming) bukanlah sesuatu yang akan Anda gunakan selama 45 menit saja.” ucapnya. “Kenyamanan selalu menjadi sesuatu yang dicari oleh pengguna. Tentunya mereka mencari produk yang tidak akan membuat tangan mereka keram setelah bermain game selama 6 sampai 8 jam.” Perjelas Rasmus.

Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech
Mouse apa saja yang digunakan oleh para pemain esports? Riset online ini jadi jawabannya. Sumber: wccftech

Menariknya, walau memiliki filosofi perancangan demikian, SteelSeries ternyata bukan mouse yang dicari oleh para pemain profesional. Wccftech melakukan riset pasar gaming gear dengan mengambil data dari situs pengumpul data konfigurasi gear pemain profesional dari berbagai games, prosettings.net, pada Februari 2020 lalu. Hasilnya, SteelSeries ternyata hanya mengambil 4,23% saja dari keseluruhan mouse gaming yang digunakan berbagai pro player. Proporsi terbesar dipegang oleh Logitech, dengan 42,80%, dan kedua dipegang oleh Zowie dengan proporsi sebesar 28,50%.

“Selama ini kebanyakan keyboard mekanik menggunakan ‘switch’ dari perusahaan bernama Cherry MX. Mereka menggunakan kode warna untuk membedakan respon yang dihasilkan tuts keyboard ketika ditekan.” Perjelas Mike. Bagi Anda yang mungkin masih awam, ada 3 jenis Switch mechanical keyboard yang umum ada di pasaran: merah, coklat, biru. Untuk gaming, menurut opini saya pribadi Switch warna merah adalah yang paling cocok. Ini karena switch warna merah punya respon yang paling cepat dibanding dua jenis switch lainnya. Jadi, sebenarnya Anda tidak harus selalu membeli keyboard dengan embel-embel “gaming”. Asalkan keyboard tersebut bersifat mechanical, dan menggunakan Red Switch, maka keyboard tersebut sudah tepat untuk main game kompetitif.

Sumber: GamingGem
Infografis singkat soal pilihan Switch yang tepat bagi Anda. Sumber: GamingGem

Lalu bagaimana dengan controller atau joystick. Jawabannya paling awal mungkin tergantung game apa yang Anda mainkan. Hybrid sempat membahas soal ini dari perspektif fighting game. Dalam fighting game, pilihan yang kerap diperdebatkan adalah antara Gamepad vs Arcade Stick. Namun antara dua jenis controller ini, bisa dibilang salah satu tidak lebih dari yang lain dalam hal performa permainan. Gamepad dan Arcade Stick sama-sama presisi. Dua kubu tersebut tercipta hanya karena media bermain fighting game mengalami pergeseran, dari yang awalnya populer lewat Arcade (atau yang kadang kita sebut dengan dingdong), sampai akhirnya jadi terkenal lewat konsol rumahan.

Pemain Arcade seperti Daigo Umehara tentu akan memilih Arcade Stick, karena dia sudah main Street Fighter dari zaman Arcade, dan jenis controller tersebut adalah yang ternyaman baginya. Sementara pemain generasi baru seperti Victor Woodley (Punk) tentu akan memilih gamepad, karena baru mengenal fighting game pada zaman konsol. Aspek apa yang perlu diperhatikan dalam Gamepad atau Arcade Stick? Anda lebih baik membaca artikel kami yang secara lebih komprehensif membahas hal tersebut.

Lalu bagaimana dengan headset? Dari opini saya pribadi, mungkin bisa dibilang kualitas output suara dari headphone dan input suara dari mic, serta kenyamanan build-quality jadi beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Anda bahkan sebenarnya tidak selalu harus membeli headset dengan embel-embel “gaming”. Karena jika bicara kualitas output suara, brand spesialis bidang audio seperti Sennheiser, atau Audio Technica tentu lebih terpercaya jika dibandingkan dengan brand gaming.

Beberapa tahun ke belakang, brand audio tersebut terbilang cukup jarang merilis produk headset. Namun, kini brand spesialis audio tersebut juga turut terjun ke ranah gaming, seperti Sennheiser yang punya brand Sennheiser Gaming yang bekerja sama dengan EPOS, atau Audio Technica yang punya seri PG dan PDG.

Aspek apa yang perlu dicari dalam sebuah headset? Sebenarnya ada banyak. Ada tipe Closed-Back atau Open-Back, yang menentukan apakah headset Anda kedap suara atau tidak. Ada tipe On-ear atau Over-ear, yang menentukan di mana busa earpad duduk di telinga Anda. Fitur tambahan selain dari itu mungkin bisa terbilang gimmick, yang terbilang tidak esensial, dan cenderung hanya untuk bahasa marketing saja. Untuk pembahasan soal tipe-tipe headset, Anda bisa membaca artikel Headphone.com yang secara lugas membahas soal hal tersebut.

Jadi apakah gaming gear benar-benar bisa membuat Anda lebih jago? Jawabannya paling valid baru bisa kita dapatkan setelah melakukan penelitian dengan pendekatan ilmiah seperti apa yang dilakukan oleh The Lab milik Compelxity Gaming. Tapi kalau menurut opini saya, gear yang tepat, nyaman, dan canggih, penting untuk digunakan, apalagi jika Anda adalah gamers kompetitif kelas berat, yang akan main game selama berjam-jam dalam satu hari, entah untuk menjadi atlet esports ataupun streamer. Jika Anda nyaman menggunakannya, Anda bisa lebih lama berlatih. Sedangkan jam terbang Anda berlatih akan berbanding lurus dengan kemampuan bermain Anda juga.

Apakah peralatan Anda harus selalu punya embel-embel gaming? Tentu saja tidak, karena tidak selamanya brand gaming peripherals tahu dan bisa membuat peralatan yang tepat dan nyaman untuk digunakan. Jika Anda membaca artikel ini sampai habis, saya ucapkan “terima kasih”. Semoga artikel pembahasan saya ini bisa menjadi semacam catatan singkat bagi Anda yang sedang galau dalam memilih gaming gear.

Kenapa Banyak Iklan Game Gratis Tipu-Tipu?

Jika Anda sudah beberapa kali bermain game gratisan, kemungkinan besar, Anda akan terpapar dengan iklan game yang tidak sesuai dengan gameplay aslinya. Iklan game gratis tipu-tipu ini biasanya ada beberapa macam bentuknya. Ada yang menggunakan hal-hal berbau seksual di iklannya meski aslinya tidak demikian. Ada yang menggunakan screenshot dari game lain yang sudah dimodifikasi biar tidak terlalu kentara. Ada juga yang sengaja membuat animasi baru seolah menunjukkan gameplay namun berbeda jauh dengan aslinya saat dicoba.

Iklan seperti itu memang, faktanya, menjengkelkan dan merendahkan intelektualitas sang pelihat iklannya. Namun pertanyaannya, kenapa hal tersebut bisa terjadi? Ada beberapa alasan yang akan kita bahas satu per satu di artikel kali ini.

Tanpa basa-basi lagi, mari kita telusuri bersama.

 

1. Developer/publisher game yang tidak percaya diri dengan produknya

Pengandaiannya, misalnya saja seperti ini, apakah Anda akan mencontek saat ujian ketika Anda percaya diri sudah menguasai materi? Harusnya sih tidak… Anda akan mencontek ketika Anda ragu dengan kemampuan Anda sendiri saat ujian tersebut.

Satu lagi pengandaiannya. Jika Anda pria seperti saya, kemungkinan besar Anda akan follow selebriti sosmed gadis-gadis yang cantik jelita… Wkwawkwakkw… Apakah mungkin gadis-gadis cantik jelita itu akan menggunakan PP (Profile Picture) anime atau yang sejenisnya? Nyahahaha…. Percaya saya, mereka juga tahu dan sadar jika mereka cantik dan digemari ribuan atau bahkan jutaan kaum Adam.

Demikian juga dengan developer/publisher game yang culun-culun. Mereka juga sadar bahwa game mereka tidak semenarik itu… Makanya mereka mengambil screenshot game lainnya, memanipulasi gambar atau video, atau bahkan membuat iklan yang berbeda jauh dengan gameplay yang ditawarkan.

Coba bayangkan saja sebaliknya. Apakah CD Projekt akan membuat iklan tipu-tipu saat ingin merilis The Witcher 3 dulu atau Cyberpunk 2077 yang akan dirilis tahun 2020 ini? Silakan lihat trailer (yang bisa dianggap juga sebagai iklan) dari The Witcher 3 yang dirilis 5 tahun silam di bawah ini.

Semua yang ada di trailer tersebut memang ada di game-nya. Pertanyaannya sama juga dengan pengandaian pertama di awal bagian ini. Jika CD Projekt memang sudah berhasil membuat game sebagus itu dan percaya diri dengan hasilnya, kenapa mereka harus memanipulasi trailer atau iklannya?

 

2. Developer/publisher game yang tak peduli dengan branding

Faktanya, tidak sedikit game publisher atau developer yang masa bodoh dengan penjenamaan (alias branding) perusahaan mereka. Publisher atau developer game yang semacam ini memang biasanya berkutat dengan game-game gratisan yang tujuan utamanya adalah mengeruk uang pemainnya sebanyak mungkin dalam waktu secepat-cepatnya (atau biasanya lebih dikenal dengan istilah pay-to-win).

Hal ini tidak terlalu berbeda dengan perusahaan investasi bodong yang memang tujuannya mengambil uang Anda secepat mungkin, kemudian kabur tanpa jejak. Yah, mungkin memang tidak semuanya separah itu juga tapi setidaknya perusahaan-perusahaan gaming semacam ini memang tidak pernah punya target jangka panjang.

Iklan game ini menggunakan screenshot dari game yang bernama Archero.
Iklan game ini menggunakan screenshot dari game yang aslinya bernama Archero.

Mereka biasanya bisa berganti nama (perusahaan/brand) jika mereka menyadari bahwa brand mereka sudah dicap buruk oleh komunitas. Ibaratnya, sama seperti ketika banyak pemain toxic di game online. Mereka memang tidak punya rencana mempertahankan nama baik mereka di komunitas dan berlindung di balik anonimitas. Ketika mereka kena ban, mereka bisa dengan mudah membuat akun baru.

Jika perusahaan-perusahaan semacam ini tidak berpikir jangka panjang, tentu saja, mereka akan lebih mudah untuk menghalalkan segala cara dalam mencari pemain baru termasuk menggunakan iklan palsu. Sebaliknya, trik semacam ini mungkin akan jadi lebih sulit dilakukan buat perusahaan-perusahaan besar berumur tua seperti Nintendo yang sudah berusia 130 tahun ataupun Sony yang berdiri sejak 1946 karena nama baik mereka yang sudah terlalu mahal untuk dirusak dengan menggunakan iklan yang menyesatkan.

 

3. Sistem digital advertising yang memang mendorong untuk trik tipu-tipu

Setelah kita membahas dari sisi pengiklannya, sayangnya, penyebab fenomena iklan game gratis tipu-tipu ini juga memang seolah didorong dengan sistem perhitungan iklan digital yang umumnya digunakan.

Di sistem perhitungan periklanan digital, ada beberapa cara yang biasanya digunakan. CPM (Cost Per Mile), CPC (Cost Per Click), CPI (Cost Per Install), dan Cost Per Activation) adalah beberapa contoh sistem perhitungan yang biasanya digunakan.

Sistem CPM berarti sang pengiklan hanya perlu membayar per seribu kali iklan tersebut ditayangkan. Sedangkan CPC berarti sang pengiklan hanya perlu membayar setiap kali iklan tersebut diklik. CPI dan CPA berarti biaya iklan akan dibayarkan setiap kali ada orang yang menginstal aplikasi (CPI) dan mengaktifkan/membuka aplikasi (CPA) sebagai hasil dari iklan tadi.

Dari sisi pengiklan, sistem perhitungan yang lebih menarik biasanya memang yang menggunakan tingkat konversi tertinggi. Tingkat konversi yang lebih tinggi itu misalnya saja seperti ini. Anggap saja Anda berjualan bawang karena seorang wibu kwkakwkawa… Kemudian, ada dua orang yang menawarkan jasa iklan untuk dagangan Anda — sebut saja Kancil dan Tikus.

Kancil mengatakan “saya punya 10 triliun follower yang bisa melihat iklan Anda.” Maklum Kancil menyebut dirinya influencer… Tapi Tikus bilang, “saya ga punya banyak follower. Jadi, Anda hanya perlu bayar saya setiap ada orang yang beli 10 gram bawang lewat iklan saya.”

Jika Anda sehat, kemungkinan besar, Anda akan memilih mengiklankan dagangan ke Tikus karena perhitungan iklannya (atau bahasa kerennya ROI) jadi lebih riil. Anda jadi tahu betul berapa uang yang dibutuhkan untuk menjual setiap 10 gram bawang misalnya.

Sebaliknya, jika Anda beriklan di Kancil, Anda mungkin tahu betul ada 10 triliun yang melihat iklan (karena ini bukan dunia nyata) tapi Anda tetap saja tidak tahu berapa orang dari 10 triliun yang melihat iklan menjadi pembeli (alias konversinya). Bisa saja dari angka besar tadi, pembelinya cuma 10 ekor padahal Anda harus membayar reach ke 10 triliun follower.

Perhitungan ini sepertinya masuk akal dan menguntungkan. Namun, Tikus sendiri juga tidak kalah licik. Ia tahu bahwa yang penting adalah ia dibayar setiap 10 gram. Ia tidak peduli apakah pembeli Anda akan jadi langganan untuk seterusnya.

Tikus pun bisa saja membuat iklan, “kalungkan 10 gram bawang ini ke leher dalam waktu 15 menit agar Anda terbebas dari berbagai macam penyakit mulai dari kencing manis, kanker, jantung, memperlancar peredaran darah, impotensi, gigi berlubang, sampai sakit hati ditinggal menikah sang mantan dengan kemungkinan 42%. Kalau setengah jam, bisa 80%.”

Penjualan pun laris manis karena siapa yang tidak tertarik? Tapi urusan manjur atau tidaknya bawang tadi, itu bukan urusan si Tikus. Ia cuma dibayar setiap 10 gram bawang terjual lewat iklannya. Jika ternyata kalung tersebut tidak sesuai yang diiklankan, ia sudah mengantongi komisi dari penjualan tadi.

Disclaimer: Kisah tadi hanyalah fiktif belaka. Kalau ada kesamaan dengan dunia nyata, itu cuma persepsi Anda semata…

 

4. Mayoritas target iklan yang mudah ditipu

Tentu saja, selain dari si pengiklan, agensi, ataupun penyedia jasa, target iklannya juga yang memungkinkan iklan game gratis tipu-tipu ini kian laris.

“Klik di sini untuk melihat foto ehm dari artis cantik yang baru saja ketahuan menginap di hotel bersama Pak Kuda.” “Gratis! Rumah 1000 tingkat ini bisa jadi milik Anda dengan hanya mengirimkan foto selfie sambil memegang KTP.” Mungkin 2 kalimat tadi memang hiperbolis namun tidak sedikit juga yang tertipu dengan janji-janji manis bak politisi yang sedang mencalonkan diri.

Via: Reddit
Via: Reddit

Tidak sedikit juga yang tidak mampu berpikir panjang jika berhubungan dengan libido… Makanya ada iklan game yang kelihatannya menjual hal-hal berbau seksual meski gameplay-nya jauh panggang dari api. Iklan game lainnya pun juga sama. Manipulasi grafis (foto/video) agar game-nya jadi terlihat bombastis juga kenyataannya bisa menipu banyak orang — makanya masih sering digunakan juga di banyak iklan.

Di bagian inilah sebenarnya saya dan Anda bisa berbuat sesuatu sebagai target pasar dari iklan-iklan tersebut. Semakin sedikit orang yang tertipu dengan iklan palsu, semakin sedikit juga para pengiklan ataupun penyedia jasa iklan yang menggunakan trik seperti itu karena mereka juga akhirnya tahu bahwa cara tersebut sudah tak lagi efektif. Saya sadar dan tahu betul jika Anda membaca artikel ini sampai sini, harusnya Anda bukan termasuk target pasar yang mudah ditipu tapi nyatanya masih banyak orang-orang di luar sana yang tidak menyadari hal ini. Makanya, share artikel ini dong… aokwaokwoakwa… Malah ikutan ngiklan

 

5. Ketidakjelasan dari sisi hukum dan perlindungan konsumen

Penyebab terakhir, dari maraknya iklan game tipu-tipu, menurut saya juga ada di ketidakjelasan soal hukum yang berlaku soal perlindungan konsumen. Dari hasil saya googling, ada dua sumber yang mungkin menarik untuk dijadikan acuan. Sumber pertama adalah dari sebuah artikel di HukumOnline. Sedangkan sumber kedua adalah hasil kajian berjudul Tanggungjawab Hukum Pelaku Usaha Periklanan atas Produk Iklan yang Melanggar Etika Periklanan (PDF).

Mungkin memang saya juga yang bodoh dan tak paham soal hukum tapi saya juga masih bingung apakah iklan-iklan game tipu-tipu tadi bisa dipermasalahkan ke meja hijau menurut 2 acuan tadi…

Kalaupun bisa dipermasalahkan, siapa sajakah yang bisa dimintai pertanggungjawaban? Apalagi mengingat sebagian besar publisher/developer game tipu-tipu tadi memang tidak punya perusahaan di Indonesia. Apakah saya bisa mempermasalahkan hal tersebut lewat jalur hukum internasional? Lalu bagaimana dengan platfom iklannya, seperti misalnya Facebook atau Google, yang menampilkan iklan sesat tersebut?

Andaikan saja yang pihak-pihak yang bertanggung jawab mengatur soal bisnis dan arus informasi digital di sini tidak terlalu sibuk mengurus aga… ataupun blok…

Namun begitu, sayangnya, meski di luar sana hukum soal iklan menyesatkan ini juga sudah ada, hal tersebut juga tidak menyurutkan fenomena ini. Mungkin karena memang penegakan hukumnya soal ini juga masih lemah?

 

Penutup

Akhirnya, saya percaya memang penyebab fenomena iklan game tipu-tipu ini tidak datang dari satu aspek saja. Dari 5 aspek yang saya sebutkan tadi, mungkin kita memang hanya bisa mengubahnya dari sisi target pasar iklan meski memang tidak mudah juga dilakukan.

Namun begitu, terlepas dari apapun, semoga artikel ini berguna untuk Anda ataupun orang-orang di sekitar Anda. Jadi jangan lupa di-share ya… Wkaokawokwa… Iklan lagi boleh yak..

 

Feat Image via: SCMP

[Rekap] Update Fase Group ONE Esports Dota 2 SEA League, Larangan Joki dan Jual Diamond Pro Player MLBB, dan Info Lainnya

Selamat datang di artikel [Rekap], rubrik baru dari Hybrid hasil kerja sama dengan ONE Esports. Untuk edisi kali ini ada rangkuman sejumlah info menarik dari berbagai skena esports dan industri game dalam sepekan terakhir. Tanpa berpanjang lebar, mari langsung kita simak Rekap berita esports minggu ini.

 

Update Fase Group ONE Esports Dota 2 SEA League

Fase grup ONE Esports Dota 2 SEA League berakhir dengan hasil imbang 1-1 antara Adroit melawan Reality Rift. Hal tersebut membuat keduanya harus memainkan laga tiebreaker untuk memastikan siapa yang tersingkir.

Pada match tersebut, Adroit memperlihatkan kapasitas terbaiknya dan memenangi laga dengan skor 1-0.

Sementara pada laga lainnya, T1 selamat lubang jarum setelah bermain imbang 1-1 menghadapi TNC Predator. Hasil yang membuat mereka naik di klasemen dan terhindar dari tiebreaker.

Sumber: ONE Esports
Via: ONE Esports

 

Interview dengan CEO Navalary

Bukan rahasia lagi jika ekosistem esports di Indonesia didominasi oleh mobile gaming, sebut saja Mobile Legends: Bang Bang dan PUBG Mobile. Sejatinya, para penggiat esports kelas wahid di negara maju lebih senang untuk berkecimpung di dalam scene PC gaming. Alasannya jelas, karena kualitas game PC jauh lebih bagus ketimbang game mobile. Praktis hal itu membuat turnamen yang dibuat pun memiliki skala lebih besar, dengan kata lain, pendapatan yang diraih juga lebih tinggi.

Lalu mengapa di negara kita game mobile lebih diminati? Itu karena device yang dibutuhkan lebih murah. Wajar saja jika negara yang memiliki pendapatan per-kapita sepuluh kali lipat lebih rendah dari negara maju memilih mobile gaming.

Namun, di tengah tren mobile gaming ini, ada sejumlah pihak yang masih berpegang teguh dan bertahan di scene PC gaming. Bahkan di antaranya sedang berjuang berkembang dari nol. Beberapa waktu lalu, kami berkesempatan untuk berbincang dengan CEO Navalary, Rifqy Januar. Navalary adalah organisasi esports baru yang saat ini fokus di divisi Dota 2.

 

 

Esports akan dipertandingkan dalam Asian Indoor And Martial Arts Games 2021

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Setelah dimasukkan ke dalam Asian Games 2018 sebagai pertandingan ekshibisi dan menjadi medal event di SEA Games 2019, Dota 2 juga akan kembali ditampilkan dalam Asian Indoor And Martial Arts Games 2021 mendatang.

Pada Maret 2020, sebuah keputusan dibuat dalam pertemuan antara Federasi Olahraga Elektronik Asia, Federasi Olahraga Elektronik Thailand, dan Komite Olimpiade Thailand untuk memasukkan esports sebagai acara medali di Asian Indoor And Martial Arts Games 2021.

Dalam ajang tersebut, Dota 2 tidak akan menjadi satu-satunya nomor esports yang akan dipertandingakan. Event tersebut juga akan menghadirkan pertandingan Arena of Valor, Legenda of Runeterra, Tekken 7, Assetto Corsa, dan One Lap E-Cycling.

 

Perbandingan Sniper Rifle di Free Fire

Saat ini, tersedia tiga sniper rifle di Free Fire. Ketiganya memiliki statistik berbeda sehingga mereka mempunyai kelebihan masing-masing. Tiga sniper yang tersedia di Free Fire adalah KAR98K, AWM, dan yang terbaru M82B. Siper rifle M82B datang bersamaan dengan update OB22.

Dalam artikel ini, kami mengulas secara rinci spesifikasi dan kegunaaan sniper di Free Fire. Kami juga akan memberitahu sniper rifle mana yang terbaik di Free Fire.

 

Larangan joki dan jual diamond untuk pro player MPL ID S6

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Bukan rahasia lagi jika cukup banyak pro player Mobile Legends: Bang Bang yang juga usaha di luar kegiatan utamanya.

Menjadi joki atau menjual diamond untuk game yang bersangkutan sudah menjadi hal lumrah untuk mereka. Bahkan rasanya tak terhitung player MPL yang juga berbisnis diamond atau pun joki.

Sebuah fakta menarik baru saja diketahui oleh pihak ONE Esports. Khusus untuk MPL season 6 nanti, para pro player sepertinya harus menggunakan cara berbeda dalam berbisnis.

Menurut analis dari Bigetron Alpha, Steven Age, pro player beserta pelatih sampai analis dilarang melakukan promosi bisnis mereka.

 

Powered by ONE Esports 

esports-logo

Sejarah Sony, Masuki Industri Game Karena Marah dengan Nintendo

Gamer mana yang tidak mengenal Sony? Perusahaan yang identik dengan merek PlayStation itu sekarang menjadi salah satu perusahaan game paling dikenal di dunia. Padahal, pada awal didirikan, Sony bukanlah perusahaan game. Faktanya, perusahaan Jepang itu baru mulai tertarik dengan industri gaming berpuluh-puluh tahun setelah ia didirikan. Menariknya, alasan Sony bersikukuh membuat konsol sendiri adalah karena kesal pada Nintendo.

Bagaimana cerita lengkapnya?

Sejarah Perusahaan Sony

Sony didirikan tak lama setelah Perang Dunia 2 berakhir. Pada 1946, Masaru Ibuka dan Akio Morita mendirikan perusahaan yang dinamai Tokyo Tsushin Kogyo alias Tokyo Telecommunications Engineering Corp. Saat didirikan, Sony hanya memiliki delapan karyawan. Mereka meluncurkan produk pertama, sebuah power megaphone, satu tahun setelah perusahaan didirikan. Pada 1950, mereka sukses membuat alat perekam pertama di Jepang, yang dinamai Type-G.

Pada pertengahan 1950-an, Tokyo Tsushin Kogyo mulai melakukan ekspansi global. Sayangnya — atau untungnya? — sudah ada perusahaan Jepang lain yang menggunakan inisial TTK. Alhasil, mereka harus mencari nama baru. Mereka memutuskan untuk menggunakan nama “Sony”, yang merupakan gabungan dari kata Sonus (suara dalam Bahasa Latin) dan Sonny (panggilan untuk anak laki-laki di Amerika Serikat). Mereka sengaja mencari nama yang tidak ada dalam bahasa apapun agar mereka bisa menjadikan nama tersebut sebagai trademark.

Pada awalnya, Sony dinamai Tokyo Tsushin Kyogo. | Sumber: Sony.net
Pada awalnya, Sony dinamai Tokyo Tsushin Kyogo. | Sumber: Sony.net

Memperkenalkan nama perusahaan baru dalam dunia bisnis bukan perkara gampang. Jadi, tidak heran jika banyak pegawai Sony mempertanyakan keputusan untuk menggunakan nama baru. Namun, pada akhirnya, nama perusahaan diganti menjadi Sony Corp. pada 1958. Dua tahun kemudian, pada 1960, mereka membuka cabang di Amerika Serikat. Pada 1968, mereka memperluas sayap mereka ke Inggris. Mereka memasuki pasar Prancis pada 1973 dan Jerman pada 1986.

 

Bagaimana Sony Bisa Masuk ke Industri Game?

Nintendo dan Sony hidup dalam harmoni. Semuanya berubah saat Negara Api menyerang… Dalam kasus ini, Nintendo adalah Negara Api. Percaya atau tidak, Sony berkeras untuk membuat konsol game sendiri karena merasa dilecehkan oleh Nintendo.

Ialah Ken Kutaragi, teknisi Sony yang menyadari potensi pasar konsol game saat dia melihat anaknya memainkan konsol Nintendo. Kutaragi kini dikenal sebagai Bapak PlayStation, tapi pada akhir 1980-an, dia hanyalah pegawai di Sony. Setelah menyadari potensi pasar konsol game, dia lalu membuat sound chip untuk Super Nintendo di laboratorium Sony Digital Research. Namun, dia membangun chip tersebut secara diam-diam. Dan begitu atasan Kutaragi tahu apa yang dia lakukan, mereka marah besar. Untungnya, Nintendo — yang memang sedang mencari sound chip untuk konsol barunya — memutuskan untuk membeli chip tersebut.

Beberapa tahun kemudian, Nintendo mengajak Sony untuk bekerja sama. Konsol Super Nintendo masih menggunakan cartridge. Sony diminta untuk memodifikasi Super Nintendo agar konsol itu juga bisa memainkan game dalam CD. Saat itu, Sony masih belum yakin akan besarnya potensi industri gaming. Namun, Kutaragi berhasil meyakinkan para atasannya bahwa dia bisa mengerjakan apa yang diminta Nintendo. Dia sukses membuat Super Nintendo yang bisa memainkan game pada cartridge dan CD. Konsol itu disebut Nintendo PlayStation.

Nintendo PlayStation bisa membaca cartrdige dan CD. | Sumber: Engadget
Nintendo PlayStation bisa membaca cartrdige dan CD. | Sumber: Engadget

Sony memamerkan Nintendo PlayStation dalam ajang Consumer Electronic Shows pada Juni 1991. Masalah muncul ketika Nintendo memutuskan untuk mengkhianati Sony. Pada hari yang sama ketika Sony memperkenalkan Nintendo PlayStation, Nintendo mengumumkan kerja sama mereka dengan Philips, yang merupakan pesaing Sony. Hal ini membuat Sony meradang.

Memang, bahkan sebelum Nintendo mengumumkan kolaborasinya dengan Philips, hubungan antara Sony dan Nintendo memang sudah bermasalah. Dua perusahaan Jepang itu tidak bisa mencapai kata mufakat dalam hal pembagian pemasukan dari kerja sama mereka. Sony mengusulkan, Nintendo mendapatkan hasil penjualan cartridge, sementara hasil penjualan CD masuk ke Sony.

Nintendo menolak keras, ungkap Chris Deering, yang saat itu bekerja di Columbia Pictures milik Sony dan nantinya menjadi Presiden dari Sony Computer Entertainment di Eropa. Nintendo bahkan menganggap, Sony berusaha untuk mengambil jatah mereka. Kerja sama antara Sony dan Nintendo pun berakhir. Dan Nintendo tak terlalu ambil pusing. Ketika itu, mereka yakin, Sony tidak tertarik dengan bisnis game. Namun, apa yang Nintendo lakukan membuat Norio Ohga, yang masih menjabat sebagai Presiden Sony, marah besar. Nintendo dianggap telah mempermalukan Sony. Ohga memutuskan bahwa Sony akan membuat konsol sendiri.

“Kita tidak akan mundur dari bisnis ini!” kata Ohga dalam sebuah pertemuan yang diadakan pada akhir Juli 1991, seperti dikutip dari GamesRadar. Dia lalu memerintahkan Kutaragi untuk melanjutkan proyek pengembangan konsol yang dia garap. Dengan ini, Kutaragi sukses mendapatkan restu dari bos besar Sony untuk mengembangkan konsol game.

Phil Harrison, yang bergabung dengan Sony pada September 1992 dan nantinya menjadi Presiden dari Sony Computer Entertainment Worldwide Studios, menjelaskan bahwa Kutaragi terpukau dengan System-G, komputer khusus special-effects yang biasanya digunakan oleh perusahaan televisi untuk menampilkan gambar 3D pada siaran secara langsung. “Dari segi teknologi, System-G tidak jauh berbeda dengan game. Namun, System-G merupakan mesin yang sangat canggih. Dan Ken ingin membuat mesin serupa secara massal sehingga ia bisa dimainkan di rumah,” kata Harrison.

Ken Kutaragi dikenal sebagai Bapak PlayStation. | Sumber: YouTube
Ken Kutaragi dikenal sebagai Bapak PlayStation. | Sumber: YouTube

Lagi-lagi, masalah muncul. Kali ini, karena Nintendo mengajak Sony bekerja sama dalam proyek selain game. Diduga, alsaan Nintendo menawarkan kolaborasi pada Sony adalah karena mereka tak ingin Sony mempermasalahkan mereka di pengadilan. Mereka juga diperkirakan ingin mengalihkan perhatian Sony agar mereka tidak bisa fokus dalam mengembangkan konsol mereka sendiri. Hal ini membuat Kutaragi frustasi. Pasalnya, dia juga mendapatkan banyak kritik dari internal Sony, khususnya dari orang-orang yang tidak ingin Sony masuk ke industri game.

 

Masalah Internal Sony

Pada Mei 1992, Sony akhirnya berhenti bernegoisasi dengan Nintendo. Satu bulan kemudian, para petinggi Sony mengadakan meeting untuk menentukan keberlangsungan proyek Kutaragi dalam membuat konsol game. Sebagian besar merasa, proyek Kutaragi seharusnya dihentikan. Kutaragi lalu mengungkap bahwa dia telah membuat sebuah mesin berbasis CD-Rom yang bisa menampilkan grafik 3D untuk game dan bukannya multimedia. Hanya saja, mesin itu memerlukan chip yang jauh lebih canggih dari yang ada.

Meskipun begitu, Kutaragi tak mau menyerah. Dia sengaja menyulut api kemarahan Ohga dengan berkata, “Apakah kita akan menerima penghinaan dari Nintendo begitu saja?” Pada akhirnya, Ohga membiarkan Kutaragi melanjutkan proyeknya. Hanya saja, Kutaragi harus keluar dari Sony karena, Ohga khawatir tekad Kutaragi akan tergerus jika dia harus bekerja di tengah protes dari koleganya.

“Banyak orang yang tidak setuju jika Sony masuk ke industri game,” ungkap Harrison. Para petinggi lama Sony menganggap konsol buatan Sega dan Nintendo sebagai mainan. Mereka khawatir, jika Sony mulai membuat “mainan”, reputasi mereka yang telah dipertahankan selama berpuluh-puluh tahun, akan rusak. “Pendapat mereka berubah setelah bisnis gaming memberikan kontribusi 90 persen dari total laba perusahaan selama beberapa tahun,” ujar Harrison.

Bersama dengan 9 orang lainnya, Kutaragi dipindahkan ke Sony Music, entitas yang masih ada di bawah Sony Corp. tapi memiliki keuangan yang terpisah. Markas Sony Music ada di distrik Aoyama, Tokyo. Di sana, dia bekerja dengan Shigeo Maruyama, CEO Sony Music, yang kemudian menjadi Vice President dari Sony Computer Entertainment International (SCEI), divisi yang bertanggung jawab atas bisnis PlayStation. Kutaragi juga bekerja sama dengan Akira Sato, yang juga menjadi seorang VP. Nantinya, Sony Music memiliki peran penting dalam kesukesan PlayStation.

Deering menjelaskan, saat itu, musik adalah industri yang besar. Sony tak hanya tahu cara membesarkan musisi bertalenta, mereka juga tahu cara untuk membuat dan memasarkan disc. Sementara dalam industri game, cartridge mulai ditinggalkan, digantikan oleh CD. Jadi, Sony bisa menggunakan pengetahuan mereka dari industri musik ke industri game.

Dua orang lain yang memiliki peran penting dalam kesuksesan PlayStation adalah Olah Olafsson, Presiden dan CEO dari Sony Interactive Entertainment dan Terry Tokunaka, yang pernah bekerja di kantor utama Sony Corp. dan kemudian menjadi Presiden dari SCEI. Strategi Tokunaka untuk membuat PlayStation sukses sederhana. Dia ingin memenangkan hati para developer dan publisher game sehingga mereka bersedia membuat game untuk PlayStation.

 

Memenangkan Hati Developer dan Publisher

Harrison bergabung dengan PlayStation pada 1993. Dia merupakan salah satu orang yang berusaha meyakinkan developer dan publisher agar mereka mau membuat game untuk PlayStation. “Kami harus bekerja keras untuk membuktikan kredibiltas kami,” katanya.

Harrison bercerita, mereka menerima banyak pertanyaan terkait model bisnis yang ditawarkan oleh Sony, seperti besar royalti atau sistem distribusi game. Para kreator game lalu membandingkan model bisnis Sony dengan model bisnis Sega dan Nintendo, yang ketika itu dianggap sangat ketat. “Sekarang, model bisnis mereka sudah berubah. Namun, saat itu, membuat game untuk Nintendo 16-bit memiliki risiko besar,” ujar Harrison.

Pada awalnya, Nintendo menggunakan cartridge. | Sumber: Wikipedia
Pada awalnya, Nintendo menggunakan cartridge. | Sumber: Wikipedia

Salah satu masalah yang dihadapi oleh publisher game Jepang adalah mereka tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendistribusikan game yang mereka buat. Ketika mereka membuat game untuk konsol Nintendo, maka Nintendo akan bertanggung jawab atas pendistribusian game. “Semua rekan publisher kami di Jepang senang dengan konsol kami. Hanya saja, mereka tidak tahu bagaimana cara untuk menjual game mereka ke pasar,” jelas Harrison. “Di sinilah kerja sama antara Sony Corp. dan Sony Music membuahkan hasil manis.”

Pada 1994, Sony mengundang developer dan publisher game ke hotel di Tokyo. Mereka menjelaskan, mereka sadar bahwa para developer dan publisher tidak tahu bagaimana cara menjual game mereka. Karena itu, mereka mempersiapkan tim sales. Hasilnya, ratusan publisher di Jepang siap untuk merilis game untuk PlayStation, sehingga konsol itu punya game yang sangat beragam.

Alasan lain para developer dan publisher memilih untuk membuat game PlayStation adalah karena membuat game untuk konsol Sega dan Nintendo tidak hanya berisiko, tapi juga lambat. Pasalnya, konsol Sega dan Nintendo menggunakan cartridge. Jika dibandingkan dengan proses pembuatan game di cartridge, pembuatan game di CD memakan waktu lebih singkat. Pada akhirnya, hal ini membuat developer dan publisher memiliki modal lebih yang bisa digunakan untuk mengembangkan game dan marketing.

Terakhir, alasan para developer dan publisher game tertarik untuk membuat game PlayStation adalah karena Sony tidak memiliki studio game sendiri sampai 1994. Hal itu berarti, Sony sepenuhnya menggantungkan diri pada kreator game pihak ketiga. Selain itu, mereka juga tidak perlu khawatir harus bersaing dengan Sony dalam merebut hati para pemain.

 

Konsol Buatan Sony

Konsol PlayStation pertama diluncurkan di Jepang pada Desember 1994. PlayStation menjadi konsol pertama yang berhasil terjual lebih dari 100 juta unit. PS tidak memiliki hard drive. Jadi, jika Anda ingin menyimpan data game pada konsol tersebut, Anda perlu menggunakan memory cards, yang hanya memiliki kapasitas 128KB. Pada Juli 2000, Sony meluncurkan PSOne. Dengan ini, Sony memulai tradisi mereka untuk meluncurkan konsol dalam ukuran lebih kecil.

Sony meluncurkan PlayStation 2 pada Maret 2000. Sampai sekarang, PlayStation 2 masih menjadi konsol paling laku sepanjang sejarah. Selama 12 tahun, Sony berhasil menjual 155 juta unit PlayStation 2. Salah satu alasan mengapa PlayStation 2 jauh lebih unggul dari para pesaingnya, seperti Microsoft Xbox, Nintendo GameCube, dan Sega Dreamcast, adalah karena ia memiliki game dalam jumlah banyak, mencapai lebih dari dua ribu game.

PlayStation 2 menggunakan Emotion Engine — prosesor dengan satu core — sebagai CPU. Konsol itu sudah dilengkapi dengan backward compatibility, fitur yang jarang ditemukan di konsol pada eranya. Dengan fitur backward compatibility, Anda bisa memainkan kebanyakan game PS1 di PS2.

Perubahan desain PlayStation dari masa ke masa. | Sumber: GameSpot
Perubahan desain PlayStation dari masa ke masa. | Sumber: GameSpot

PlayStation 2 juga menjadi konsol pertama yang kompatibel dengan DVD dan dilengkapi dengan port USB. Meskipun Anda bisa memasang hard drive sebesar 40GB pada PS2, konsol ini juga masih menggunakan memory card. Hanya saja, memory card PS2 memiliki kapasitas yang lebih besar, yaitu sampai 8MB. Melanjutkan tradisi, Sony meluncurkan PlayStation 2 Slimline pada September 2004.

PlayStation 3 diluncurkan pada November 2006. Ketika diluncurkan, konsol itu dihargai US$600, lebih mahal daripada Xbox 360 dan Nintendo Wii. Namun, konsol tersebut memang dilengkapi dengan Blu-ray drive. Dan jika dibandingkan dengan harga Blu-ray player, harga PlayStation 3 lebih murah.

Sony menggunakan prosesor Cell sebagai jantung dari PlayStation 3. Untuk membuat chip tersebut, Sony bekerja sama dengan Toshiba dan IBM. Sayangnya, chip tersebut mendapatkan protes dari banyak developer karena sulit untuk diprogram. Pada awalnya, PS3 dilengkapi dengan fitur backward compatibility dengan PS2. Hanya saja, untuk menyediakan fitur tersebut, Sony harus menanamkan prosesor PS2 di dalam konsol barunya. Demi memangkas harga PS3, Sony lalu memutuskan untuk menghilangkan prosesor PS2 tersebut.

PS3 menjadi konsol PlayStation pertama yang mendukung HDMI dan video 1080p. Konsol ini juga bisa terhubung ke jaringan WiFi. Sony juga sudah melengkapi PS3 dengan hard drive sebesar 20GB. Tak hanya itu, Anda juga bisa memasang HDD sendiri jika mau. Sama seperti konsol pendahulunya, PlayStation 3 juga dirilis dengan desain yang lebih ramping. Tidak tanggung-tanggung, Sony meluncurkan dua versi “Slim” dari PS3, yaitu PlayStation 3 Slim pada September 2009 dan PlayStation 3 Super Slim pada 2012.

Sony meluncurkan PlayStation 4 pada November 2013. Konsol itu terjual sebanyak satu juta unit pada hari pertama, menjadikannya sebagai konsol dengan penjualan terbanyak dalam periode satu hari. Konsol ini juga menjadi konsol pertama Sony yang memiliki CPU berbasis x86, arsitektur yang sama dengan arsitektur pada kebanyakan prosesor PC gaming. Pada 2019, PlayStation 4 terjual sebanyak 91 juta unit. Per Maret 2020, angka itu naik menjadi 110,4 juta unit.

Pada tahun ini, Sony menjadi pembicaraan hangat kerena akan merilis PlayStation 5. Pada pertengahan Juni lalu, mereka memamerkan PS5 beserta puluhan game yang bisa dimainkan di konsol tersebut. PlayStation 5 akan bersaing dengan Xbox Series X dari Microsoft. Menariknya, bahkan sebelum kedua konsol itu beredar di pasar, analis memperkirakan bahwa PS5 akan lebih laku dari Xbox Series X.

Kesimpulan

Jangan sembarangan menghina orang lain. Siapa tahu, teman culun yang sering menjadi bahan ledekan saat SMP atau SMA justru menjadi orang sukses saat sudah bekerja. Kesimpulan kedua: jangan menyinggung harga diri orang Jepang. Mereka mengerikan saat menyimpan dendam. Siapa yang mengira, keputusan Nintendo untuk memutus kerja sama Sony justru berujung dengan munculnya pesaing super tangguh di industri konsol game?

Sumber: GamesRadar, Sydney Morning Herald, BizFluent, GameSpot

Sumber header: Glassdoor

Berapakah Usia yang Tepat untuk Terjun ke Esports?

Jujur saja saya katakan di awal artikel ini bahwa saya sebenarnya tidak suka dengan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Apalagi biasanya, pertanyaan ini dihubungkan dengan ranah perkawinan, eh pernikahan…

Namun begitu, saya sangat percaya bahwa tidak ada pertanyaan yang bodoh (yang ada hanyalah jawaban ignorant dan oversimplified) jadi pertanyaan ini sebenarnya sah-sah saja. Ditambah lagi, artikel ini mungkin dapat membantu menjawab kegundahan mereka yang bingung dengan kapan waktu yang tepat untuk mulai terjun ke esports.

Di artikel ini, saya juga akan membaginya menjadi dua bagian. Pasalnya, berkarier di esports itu bisa dibagi menjadi 2 aspek besar: menjadi atlet esports atau berkarier sebagai pekerja di industri esports-nya (seperti jadi manajer, desainer, jurnalis, video editor, league ops, event organizer, dkk.).

Seperti biasa, saya harus katakan bahwa artikel ini merupakan pendapat saya berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya. Jadi, sebagai bentuk justifikasi atas pengalaman tadi, saya sudah menjadikan bermain game sebagai hobi utama saya sejak kelas 4 SD sampai sekarang dan saya pun sudah terjun ke industri game penuh waktu sebagai jurnalis sejak saya lulus kuliah di 2008. Filosofi gaming juga bahkan menjadi falsafah hidup saya sampai hari ini.

Jadi tanpa basa basi lagi, mari kita bahas bersama perihal usia yang tepat untuk terjun ke esports.

 

Usia ideal untuk menjadi pro player di esports?

Mengingat pertimbangan jawabannya lebih kompleks daripada menjadi pekerja lainnya di industri esports, kita akan membahas soal usia jadi pro player di esports lebih dulu.

Kenyataannya, jam terbang adalah penentu terbesar dari keahlian kita — apapun itu bentuknya — termasuk keahlian untuk bermain game. Maka dari itu, jika kita melihat keahlian dari ranah lainnya, kita akan melihat banyak orang yang mulai belajar hal tersebut sejak remaja atau bahkan Sekolah Dasar.

Dari ranah bermusik, misalnya, tidak sedikit juga musisi-musisi kelas dunia yang mulai belajar sejak mereka masih sangat muda. Bassist legendaris di kelas dunia, Victor Wooten, mulai belajar bermusik bahkan sejak ia masih sangat belia. Anda bisa melihat ceritanya di video di bawah ini.

Echa Soemantri, salah satu drummer tanah air paling keren (menurut saya) juga setahu saya sudah mulai belajar bermain drum sejak ia masih anak-anak. Saya yakin Anda juga bisa menyebutkan cerita yang tak jauh berbeda dari musisi-musisi lain yang kemampuannya jauh di atas rata-rata musisi profesional lainnya.

Dari ranah olahraga? Kisah-kisah serupa juga tidak jarang bisa kita temukan. Menurut laporan dari The Economist, Tiongkok bahkan merekrut anak-anak tertentu untuk dimasukkan ke dalam pelatihan atlet olimpiade sejak usia dini.

Kemudian pertanyaan pentingnya, apakah hal serupa juga bisa diterapkan ke keahlian bermain game? Seperti misalnya memberikan waktu bermain game yang sebanyak-banyaknya ke anak-anak yang masih SD sekalipun. Jawabannya sebenarnya bisa-bisa saja namun, menurut saya, saat ini masih belum masuk akal.

Kenapa saat ini belum masuk akal untuk mengembangkan bakat semaksimal mungkin sebagai pro player esports sejak anak-anak? Pertama, jika dibandingkan dengan musik dan olahraga, game-nya mungkin tidak akan bertahan selama itu. Anggap saja seperti ini, jika Anda sudah berlatih bermain gitar atau bulu tangkis sejak usia 5-7 tahun misalnya, kemungkinan besar gitar dan bulu tangkis masih akan ada saat Anda bahkan berusia 40 tahun nanti.

Namun, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk game yang spesifik. Dota 2 misalnya. Beberapa tahun silam, game ini memang jadi game dan esports paling berkembang di Indonesia. Namun sekarang? Demikian juga dengan MLBB, PUBG M, dan Free Fire. Sekarang, ketiganya memang masih mendominasi ekosistem esports di Indonesia. Namun bagaimana 20 tahun kemudian? Apakah Mobile Legends masih bertahan dengan ekosistem esports-nya? Apakah PUBG M atau Free Fire masih ramai dimainkan 20 tahun lagi?

Industri game memang masih akan bertahan sampai anak saya punya anak lagi, dan seterusnya. Namun belum tentu judul game yang sama masih akan bertahan selama itu. Padahal jika kita berbicara soal kemampuan bermain di tingkatan profesional itu sangat spesifik. Maksudnya jika Anda jago bermain bulu tangkis, tidak otomatis juga Anda akan jago bermain tenis ataupun tenis meja — meskipun kelihatannya mirip.

Musisi kelas atas juga sebenarnya hampir selalu bisa dipastikan untuk mampu memainkan lebih dari salah satu alat musik namun tingkat permainannya pasti berbeda-beda dan hanya satu alat musik yang jadi andalan utamanya.

Contoh saja, Michael Jordan memang bisa dibilang pemain basket paling legendaris sepanjang masa. Namun, saat ia beralih ke golf, ia tetap tidak bisa mencapai tingkatan yang sama dengan Tiger Woods. Demikian juga dengan Victor Wooten, kemungkinan besar, ia juga bisa bermain drum atau piano namun keahliannya di sana tidak bisa setingkat dengan keahliannya bermain bass.

Demikian juga dengan kemampuan bermain game. Saya tahu memang ada pemain seperti Ryan “supernayr” Prakasha ataupun Rivaldi “R7” Fatah yang jago di lebih dari 1 game. Namun, faktanya, kebanyakan pemain Dota 2 dari Indonesia memang tidak semudah itu berpindah ke MOBA di mobile. Tidak ada juga pro player lain yang bisa lintas genre (MOBA, FPS, Battle Royale) seperti supernayr.

Itu tadi alasan kenapa memang tidak masuk akal berlatih maksimal di satu game sejak anak-anak, karena industri game-nya yang lebih dinamis dan adaptasi kemampuan bermain kita yang tidak setinggi itu.

Di sisi lain, saya bukannya melarang juga untuk serius berlatih di satu game sejak anak-anak ataupun usia remaja. Menurut saya, berlatih serius bermain game juga memiliki nilai positifnya asalkan alokasi waktunya yang (saat ini) belum bisa disejajarkan dengan waktu berlatih musik ataupun olahraga karena alasan tadi. Meski keduanya kerap kali disandingkan bersebelahan, menurut saya, esports dan olahraga tidak bisa disamakan begitu saja.

Bagi saya pribadi, manajemen alokasi waktu inilah yang lebih penting dari sekadar usia berapa seseorang boleh berlatih serius untuk menjadi pemain profesional. Hal ini juga berlaku jika seseorang ingin bergabung ke tim esports yang memang serius mengejar prestasi dari berbagai kompetisi.

Sumber: Aerowolf
Sumber: Aerowolf

Jika berbicara soal alokasi waktu dan prioritas, ada cerita dari 2 orang pro player yang menurut saya masuk akal untuk dijadikan pertimbangan. Cerita tersebut datang dari Baskoro “roseau” Dwi Putra dan Jason “f0rsaken” Susanto. Keduanya sama-sama dari skena CS:GO Indonesia yang dulu memang cukup besar namun perlahan tenggelam.

Roseau, ketika ia masih di NXL, sempat bercerita ke saya bahwa ia bisa jadi sarjana dan juara di turnamen internasional di tahun yang sama. Jason juga tidak berbeda jauh ceritanya meski tingkat pendidikan dan usia yang berbeda. Saat masih di Aerowolf dan berusia 13 tahun, Jason mengaku bahwa ia diizinkan bermain untuk timnya (oleh orang tuanya) jika nilai sekolahnya tidak berantakan.

Pertimbangan seperti tadilah yang menurut saya lebih masuk akal. Karena, mereka tidak mengorbankan seluruh waktunya untuk berlatih apalagi dengan melihat kondisi skena esports CS:GO sekarang di Indonesia.

Sekali lagi, menurut saya, usia bukan jadi pertimbangan yang relevan untuk terjun ke esports sebagai pro player — kecuali mungkin Anda sudah terlalu tua. Pertimbangan yang lebih relevan apakah Anda bisa membagi alokasi waktu dan prioritas atau ada orang lain (seperti orang tua) yang bisa melakukannya untuk Anda?

Kenapa pertimbangannya jadi seperti itu? Karena skena esports Indonesia yang masih sangat dinamis dan saya juga melihat tidak sedikit mantan-mantan pro player Indonesia yang akhirnya tak bisa move-on saat ekosistemnya sudah tandus. Idealnya, menurut saya, cerita mantan pemain esports yang bisa dijadikan teladan adalah Ariyanto “Lakuci” Sony. Di DotA, ia adalah pemain legendaris yang dikagumi semua orang dan ditakuti lawan-lawannya. Namun, setelah ia gantung mouse, ia pun sukses dengan bisnisnya.

Saya tahu memang mungkin tidak bisa semudah itu juga bisa menjadi pro player legendaris yang kemudian sukses berbisnis. Namun setidaknya, menurut saya, rencana jangka panjang pasca pensiun dari pro player inilah yang harus dipertimbangkan dengan matang.

Terakhir, untuk menutup bagian ini, sebelum salah kaprah, tentu saja saya tidak melarang hobi bermain game sejak anak-anak juga. Sampai hari ini pun saya juga masih bermain game sampai pagi… Saya juga senang melihat anak saya bermain Minecraft setiap hari. Namun yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dengan sangat baik adalah saat mengorbankan segalanya untuk berlatih dan menjadikan kemampuan bermain game sebagai satu-satunya skill hidup Anda.

 

Usia ideal untuk berkarier di industri esports?

Bagi saya pribadi, jawaban atas pertanyaan ini jauh lebih mudah untuk disuguhkan.

Ada beberapa alasan kenapa pertanyaan ini lebih mudah dijawab. Pertama, dari tuntutan pekerjaannya sendiri, Anda tidak bisa hanya bermodalkan suka alias passion bermain game untuk bisa sukses sebagai pekerja di industri esports.

Pengetahuan dan ketertarikan di game memang menjadi nilai lebih yang sangat berharga namun hal tersebut harus diimbangi dengan skill utama pekerjaan Anda. Misalnya, sehebat apapun pengetahuan ataupun kemampuan bermain Anda, Anda tidak cocok juga jadi desainer grafis di industri esports jika tidak bisa nge-crop rambut.

Demikian juga dengan pekerjaan lainnya seperti penulis atau jurnalis di game atau esports. Tanpa kepekaan dan pemahaman lebih terhadap susunan huruf, kata, kalimat, dan juga paragraf, bagi saya, Anda memang tidak cocok jadi penulis atau jurnalis di industri ini.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Pekerjaan-pekerjaan lainnya di esports (kecuali pro player tadi), saya kira demikian juga tuntutannya. Anda harus paham broadcasting, penyelenggaraan event, ataupun segala macam fundamentalnya jika ingin mencari nama di ranah event organizer esports.

Kedua, tuntutan sebagai pekerja di industri esports ini lebih berat pada kemampuan kognitif seseorang — bukan pada penekanan muscle memory ataupun reflek yang begitu tinggi jika ingin jadi pro player. Kemampuan kognitif ini bisa lebih fleksibel jika harus beradaptasi di industri lainnya. Misalnya seperti desainer grafis tadi, tuntutan nge-crop rambut ini juga tetap akan dicari di industri lainnya di luar esports. Setidaknya, kemampuan kognitif pekerja profesional ini lebih mudah untuk diadaptasikan ke industri lainnya — andaikan industri esports di Indonesia luluh lantak wkwakakwakwa… 

Karena itulah, untuk mengasah skill-skill yang nantinya akan sangat berguna di industri esports sebenarnya bisa dilakukan sejak sedini mungkin. Misalnya saja, saya memang juga sudah tertarik dengan hal-hal yang berbau tulis menulis dan berbahasa sejak SD sampai hari ini. Contoh lain, mereka yang tertarik dengan fotografi, video, ataupun desain grafis, pemahaman soal komposisi, warna, perspektif, dan segala macamnya, bagi saya, tidak ada masalah apapun jika memang ingin dimaksimalkan belajarnya sedari kecil.

Meski demikian, jika Anda memang masih sekolah (atau kuliah) dan berasal dari keluarga yang mampu menghantarkan Anda lulus kuliah, idealnya Anda hanya menjadikan pengalaman belajar hal-hal tadi paruh waktu. Walaupun karena alasan dan tujuan yang benar-benar berbeda, hanya karena sebatas kewajiban Anda menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan oleh orang tua Anda.

 

Penutup

Akhirnya, artikel ini mungkin memang jadinya seolah terlihat menganaktirikan atau menyudutkan kemampuan bermain game ketimbang kemampuan kognitif lain yang jadi tuntutan para pekerja profesional lainnya. Namun demikian, jujur saja, dari pengalaman saya berkecimpung di industri ini lebih dari 10 tahun, itulah pendapat saya.

Sumber: dbltap.com
Sumber: dbltap.com

Pasalnya, resep sukses menjadi seorang pro player ada pada kombinasi yang ideal antara kemampuan kognitif Anda memahami game tersebut dengan kemampuan fisik Anda (muscle memory, reflek, koordinasi mata dan tangan, dkk.). Sebaik apapun Anda menghitung DPS ataupun hitung-hitungan lainnya di MOBA, semuanya tidak akan ada gunanya sebagai pro player jika Anda tidak bisa bereaksi secepat mungkin di saat pertempuran. Kemampuan fisik inilah yang tidak semudah itu diterjemahkan ke game lainnya. Seperti kemampuan Anda bermain drum tidak akan semudah itu diterjemahkan jadi kemampuan Anda bermain gitar.

Jadi, kembali ke judul artikel ini… Berapakah usia yang tepat untuk terjun ke esports? Jawabannya, tergantung — tapi bukan Hybrid namanya jika hanya memberikan jawaban tanpa argumentasi yang jelas.

Jika ingin terjun sebagai pro player, menurut saya, tidak ada usia yang ideal sampai Anda mempersiapkan backup plan setelah pensiun. Kecuali, Anda memang tidak peduli dengan hidup Anda setelah pensiun dari pro player. Sebaliknya, jika Anda ingin terjun sebagai seorang profesional di industri esports, sedini mungkin Anda mulai serius belajar dan mengumpulkan pengetahuan, hasilnya (kemungkinan besar) akan lebih maksimal di masa depan — selama Anda tetap harus menjalankan kewajiban terhadap orang tua yang sudah susah payah membesarkan Anda.

Cerita Pengembangan Lokapala, MOBA Pertama Dari Indonesia

Beberapa waktu lalu, penggemar game lokal dihebohkan dengan kehadiran Lokapala, game MOBA pertama besutan pengembang lokal. Game ini dibuat oleh tim developer yang berbasis di Jakarta bernama Anantarupa Studios. Pada saat pertama kali rilis, Lokapala memancing banyak keraguan, termasuk oleh saya sendiri.

Ulasan saya soal Lokapala terbit pada saat game tersebut pertama kali muncul di Google Play Store pada Februari 2020. Ketika itu game ini masih dalam status Beta dengan segala macam keterbatasannya. 20 Mei 2020 kemarin, Lokapala dengan resmi diluncurkan lewat sebuah acara konferensi pers yang diselenggarakan secara online.

Seiring dengan peluncuran tersebut, sedikit demi sedikit perbaikan dilakukan untuk Lokapala. Bahkan, game Lokapala berada di titik siap untuk dipertandingkan, yang hadir dalam gelaran turnamen bertajuk Melon Minor Tournament. Untuk menuju dari titik awal pengembangan hingga sekarang, tentu butuh proses dan kerja keras. Penasaran dengan perjalanan tersebut, saya berbincang dengan Diana Paskarina, COO serta Co-Founder Anantarupa Studios. Dalam perbincangan tersebut, Diana menceritakan soal alasan Anantarupa Studios membuat MOBA, juga rencana masa depannya untuk game ini

Berawal dari 2017

Saat ditanyakan soal awal mula dicetuskannya Lokapala, Diana menceritakan bahwa itu semua dimulai pada 3 tahun yang lalu, sekitar tahun 2017. “Ketika itu MOBA di mobile kan memang sudah mulai terdengar gaungnya, namun belum sebesar seperti sekarang. Melihat bagaimana potensi MOBA ketika itu membuat kami sebagai developer game lokal tergerak untuk membuat game MOBA kami sendiri.” Cerita Diana.

Memang pada saat berbincang dengan saya, Diana tidak menyatakan secara langsung soal MOBA yang menjadi inspirasinya. Namun jika ia mengatakan inspirasinya datang dari 3 tahun yang lalu, bisa jadi apa yang dimaksud adalah Mobile Legends. Tahun itu menjadi tahun pertama kompetisi Mobile Legends Southeast Asia Cup diselenggarakan di Indonesia. Gelaran tersebut menjadi satu momen fenomenal, yang juga bisa dibilang menjadi titik balik bagi perkembangan esports di Indonesia.

Sumber: Sindonews - Yorri Farli
Sumber: Sindonews – Yorri Farli

Lebih lanjut, Diana juga menceritakan bahwa dirinya dan tim Anantarupa juga sudah mengenal kehadiran Dota sebelumnya, bahkan memainkannya ketika sedang populer di skena lokal di sekitar 4 sampai 5 tahun yang lalu.

Namun demikian, bersaing di pasar MOBA tentu bukan perkara yang mudah. Apalagi, genre game ini tergolong genre game yang sudah tua. Walaupun masih cukup belia di pasar mobile, namun game ini sudah ada sejak dari lama sekali di platform PC. League of Legends sudah 11 tahun beredar di pasaran. Dota 2 sudah 7 tahun ada di pasaran. Juga jangan tanya kapan pertama kali genre ini muncul. Mungkin sudah sekitar 18 tahun lalu, ketika custom game bernama Aeon of Strife muncul di StarCraft, dan menjadi awal kemunculan genre MOBA.

Apalagi untuk saat ini, sudah ada beberapa perusahaan besar bergumul di pasar genre game ini. Mulai dari Moonton sampai Tencent lewat game Arena of Valor. “Kalau bicara persaingan, sebenarnya bisa dibilang persaingan di game Casual justru lebih berat lagi dibandingkan dengan game esports seperti MOBA. Terlebih kalau kita terus-terusan menunggu tidak ada saingan, tentu nggak bakal ada habisnya. Nanti yang ada kami malah nggak jadi-jadi bikin game, gara-gara menunggu tidak ada persaingan… Haha.” Ucap Diana menanggapi hal ini.

“Namun satu hal adalah, lagi-lagi kami melihat dari segi potensi pasarnya. Kami lihat sendiri bagaimana potensi game esports dengan genre MOBA sudah terbukti di Indonesia hingga saat ini. Selain itu, kami dari tim Anantarupa Studios ketika itu merasa percaya diri dan punya kapabilitas untuk membuat ini. Bermodalkan dua hal tersebut, akhirnya tim kami pun yakin dan mencoba untuk mulai saja membuat Lokapala.” Diana menceritakan lebih lanjut.

Ternyata benar saja. Pada saat rilis, Lokapala mendapat sambutan yang cukup hangat dari komunitas gamers. Memang tidak semua sambutannya positif. Ada juga yang memberikan tanggapan negatif (termasuk saya) pada saat game ini rilis. Namun tanggapan itu sendiri disampaikan demi membuat Lokapala menjadi game yang lebih baik lagi.

Sumber: Lokapala
Sumber: Lokapala

“Sejauh ini memang respon dan feedback dari user cukup banyak, dan tidak semuanya positif. Namun menurut saya itu tidak masalah. Bisa jadi mungkin karena rata-rata gamers terbiasa menerima produk luar negeri, yang sudah langsung bagus pada saat pertama rilis. Namun satu yang juga perlu diketahui oleh para pengguna adalah, ada perbedaan yang cukup terasa dalam hal kapasitas pengembangan developer, antara lokal dengan luar negeri. Terlepas dari semua itu, saya merasa penerimaan Lokapala sampai titik ini sudah sangat impresif, tentunya dengan tanpa membandingkan dengan pengembang luar negeri.”

Menurut catatan Google Play, Lokapala sudah diunduh sebanyak 500.000+ kali, dengan skor rata-rata sebesar 3.4 poin. Angka ratingnya mungkin terbilang cukup rendah, tetapi ini mungkin tidak terlalu jadi masalah. Toh, orang-orang yang memberi rating kecil juga menyertakan memberikan kritik, yang bisa membantu mengarahkan Lokapala agar berkembang lebih baik lagi. Apalagi mengingat posisinya sebagai game multiplayer, tentu akan terus ada perbaikan secara terus menerus, yang bisa membuat Lokapala jadi lebih baik di masa depan.

Lokapala Sebagai Sarana Pengembangan Kekayaan Intelektual Indonesia

Pada saat mengulas Lokapala untuk pertama kalinya di bulan Februari 2020 lalu, saya sempat mengomentari soal Lokapala yang cenderung kurang Indonesia. Sebetulnya, komentar itu datang untuk menyoroti ketidakhadiran bahasa Indonesia pada saat Lokapala rilis versi beta. Namun, komentar tersebut juga terlontar setelah saya melihat beberapa Ksatriya (sebutan untuk Hero) di Lokapala.

Ketika itu saya berasumsi, walaupun Ksatriya datang dari sejarah dan mitologi Indonesia, namun alasan kenapa saya tidak mengenal beberapa mungkin karena beberapa karakter bersifat orisinil buatan Anantarupa Studio sendiri. Masih penasaran, saya pun menanyakan hal ini kepada Diana. Benar adanya bahwa basis cerita Lokapala ini datang dari sejarah dan mitologi Indonesia. Namun para Ksatriya disajikan setelah melalui proses reinterpretasi, agar karakter tersebut bisa menjadi IP original Lokapala.

Ilya, yang sebenarnya adalah reinterpretasi dari Gatot Kaca. Sumber: Lokapala
Ilya, yang sebenarnya adalah reinterpretasi dari Gatot Kaca. Sumber: Lokapala

“Salah satu contohnya itu Gatot Kaca. Kalau di Lokapala, namanya adalah Ilya. Ini karena ketika tim kami melihat kisah Gatot Kaca, ternyata ceritanya adalah dia menjadi kuat karena kekuatan yang diberikan oleh para dewa. Maka dari itu, untuk Lokapala, kami melakukan proses reinterpretasi. Kami gambarkan Gatot Kaca itu sebagai anak kecil perempuan, namun dia diberikan sebuah robot bersenjatakan penuh yang membuatnya jadi siap bertempur.” Diana menceritakan soal proses reinterpretasi Gatot Kaca menjadi Ksatriya bernama Ilya di dalam Lokapala.

“Jadi, walaupun berdasarkan dari sejarah serta mitologi lokal, namun tidak selalu karakter akan muncul dengan nama dan rupa yang sama. Seperti Gatot Kaca, tidak selamanya harus selalu berpenampilan sebagai laki-laki yang punya logo bintang di dadanya bukan? Terlebih tujuan lain kami dalam pembuatan game ini adalah, untuk pengembangan Intelectual Property (IP) atau Kekayaan Intelektual. Jadi Lokapala nantinya menjadi platform atas IP lokal yang berasal dari sejarah dan budaya Indonesia. Maka dari itu untuk beberapa Ksatriya, walau berasal dari sejarah dan budaya lokal, namun kami buat ulang, ceritakan ulang, dan dibungkus menjadi Ksatriya di Lokapala.” Diana menjelaskan soal Lokapala dan tujuannya untuk mengembangkan IP lokal.

Game online memang bisa dibilang menjadi ladang untuk menciptakan IP baru. Ini mungkin paling terlihat dari metode Blizzard dalam membesarkan Overwatch. Tidak sekadar menjadi game kompetitif saja, Overwatch berkembang menjadi sebuah cerita dengan dunianya sendiri, yang disajikan lewat serial Overwatch Animated Shorts.

Jadi, jika pengembangan IP menjadi tujuan lain dari Lokapala, akankah kita bisa menikmati konten seperti cerita latar belakang dari masing-masing Ksatriya dalam bentuk lain? Diana memberi tahu, bahwa semua itu sudah berada dalam rencana pengembangan mereka. “Tentu nggak bisa sekaligus, namun jika bicara karakter Lokapala dalam bentuk media lain, semua itu sudah dalam rencana dan masuk dalam linimasa pengembangan kami.” ucapnya.

Terlebih, pada saat proses pengembangannya, Lokapala sendiri memang sudah berkolaborasi dengan beberapa insan kreatif lokal. Ilustrasi karakter misalnya, dilakukan berkolaborasi dengan Caravan Studio. Musik untuk Lokapala disajikan berkolaborasi dengan InHarmonics. “Kami punya keinginan agar industri kreatif Indonesia bisa maju bersama-sama menjadi lebih baik.” Lanjut Diana membahas Lokapala sebagai sarana pengembangan kekayaan intelektual.

Esports dan Masa Depan Lokapala

Ketika membahas soal Lokapala, satu yang menarik adalah bagaimana Anantarupa Studios dan OOLEAN GAMES begitu ambisius soal esports. Hal ini salah satunya terlihat ketika Lokapala pertama kali diluncurkan pada 20 Mei 2020 Silam. Lewat gelaran konferensi persi, Lokapala ketika itu langsung mengumumkan beberapa inisiatif esports, dengan jumlah hadiah yang tidak main-main.

Pada saat peluncurannya, dikatakan bahwa setidaknya akan ada 5 turnamen untuk game Lokapala, yang punya total hadiah keseluruhan mencapai 1 miliar Rupiah. Lima turnamen yang direncanakan tersebut adalah: Piala Menpora 2020 dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp550 juta, Weekly Online Amateur Championship dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp56 juta, Melon Mini Tournament dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp70 juta, Melon Minor Tournament dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp150 juta, dan Melon Major Tournament dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp250 juta.

Sumber: Lokapala Official
Sumber: Lokapala Official

Turnamen-turnamen tersebut direncanakan akan berjalan satu per satu mulai dari bulan Mei hingga Desember 2020, dengan Melon Minor Tournament yang kini sedang bersiap-siap menuju Season 2. Rencana ini tentu sangat positif karena game kompetitif seperti Lokapala memang butuh turnamen untuk menjadi wadah pembuktian para pemainnya. Tapi pertanyaannya, setelah jorjoran melimpahkan dana untuk hadiah turnamen di tahun ini, apakah inisiatif esports ini bisa terus berkelanjutan di masa depan?

Terkait soal ini, sayangnya Diana tidak bisa memberikan pandangannya secara lebih detil. Namun satu yang pasti tim Anantarupa Studios membagikan beban tugas ini dengan sang publisher, OOLEAN GAMES. “Pemain sebetulnya tidak perlu khawatir kalau bicara soal masa depan game Lokapala karena sudah ada pembagian tugas antara pengembangan game dengan pengembangan esports. Fokus tim Anantarupa adalah mengembangkan Lokapala agar game ini jadi lebih baik, lebih menarik, lebih bagus secara visual, dan lebih teroptimasi agar dapat dimainkan oleh lebih banyak orang lagi. Sementara itu, esports dan turnamen diurus oleh rekan publisher kami, yaitu OOLEAN GAMES.” jawab Diana.

Kekhawatiran ini sendiri sebenarnya muncul dari pengalaman saya pribadi, karena melihat salah satu MOBA di mobile favorit saya, Vainglory, semakin meredup seiring waktu. Terlalu fokus pada pengembangan esports, bisa dibilang jadi salah satu alasan. Vainglory pada awal masa kejayaannya memiliki turnamen esports dengan hadiah yang cukup besar.

Namun seiring waktu Super Evil Megacorp (SEMC) selaku developer/publisher mulai terlihat seperti kehabisan dana. Pasca Vainglory World Championship 2017, Vainglory mulai meredup, ternyata dampak dari mengeluarkan dana besar untuk esports tidak sebegitu positif. Sampai akhirnya SEMC melepas Vainglory dan memberikannya kepada komunitas pada 2 April 2020. Jadi, semoga saja sustainabilitas serta hype Lokapala bisa terjaga sampai bertahun-tahun ke depan, dan tidak mengulang kesalahan yang sama seperti Vainglory.

Masih soal esports, hal kedua yang juga menjadi pertanyaan adalah soal Lokapala untuk pasar luar Indonesia. Hingga saat ini, Lokapala cuma memiliki server lokal Indonesia saja. Tetapi kembali lagi, sebagai game kompetitif, para pemainnya tentu berharap bisa membuktikan kemampuan dirinya di tingkat yang setinggi mungkin, sampai tingkat internasional.

“Memang tujuan akhir Lokapala bukan hanya untuk publish di Indonesia saja. Membuat game yang bisa dinikmati masyarakat global juga menjadi mimpi kami dari Anantarupa Studios. Namun, untuk saat ini fokus kami adalah untuk Indonesia terlebih dahulu. Kami lihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan di Indonesia, sambil juga melihat negara mana lagi yang menarik untuk menjadi target pasar selanjutnya bagi Lokapala.” Diana menjelaskan soal ini.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Penampilan Lokapala waktu rilis pertama kali di bulan Februari 2020 lalu. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Terakhir yang mungkin juga jadi pertanyaan bagi para pemain adalah soal konten. Sebagai game multiplayer, sudah pasti update konten, dan berbagai perbaikan menjadi hal yang diharapkan. Tiara Evalda (Ravalda) juga menyatakan harapan ini pada saat saya tanyakan pendapatnya soal Lokapala dan Melon Minor Tournament beberapa waktu lalu.

Diana lalu sedikit menjelaskan, bagaimana rencana masa depan Anantarupa Studios dalam mengambangkan Lokapala. “Untuk ke depan, setiap bulannya kita pasti akan ada update terkait karakter atau skin baru. Untuk soal fitur, sayangnya saya belum bisa bicara pasti soal apa saja yang akan rilis nantinya. Tapi yang pasti kami sudah memiliki timeline yang mengatur kapan konten baru rilis, baik itu fitur ataupun karakter baru.”

Setelah beberapa bulan pengembangan saya merasa bahwa Lokapala mendapat penerimaan yang cukup hangat dari komunitas gamers Indonesia. Beberapa pemain merasa memiliki kepentingan mendukung perkembangan game ini, sebagai bentuk rasa bangganya atas produk buatan lokal. Semoga saja Lokapala bisa menjadi lebih baik dan semakin besar di masa depan.

Siapa yang tahu, mungkin beberapa tahun ke depan Lokapala akan mendunia, dan memiliki turnamen internasionalnya tersendiri? Mari kita doakan yang terbaik bagi Anantarupa Studio dan game Lokapala!

Panjang Lebar Soal Tantangan Adaptasi Game ke Film

Ada stigma yang melekat pada film adaptasi dari video game. Tidak heran mengingat kebanyakan film adaptasi game menuai banyak kritik dan dianggap gagal. Memang, dari puluhan film adaptasi game dalam daftar Wikipedia, hanya ada 4 film yang mendapatkan skor di atas 50 persen pada Rotten Tomatoes, situs agregasi review film.

Memang, selera adalah masalah subjektif. Film yang saya sukai juga tak melulu mendapatkan review gemilang. Meskipun begitu, skor di Rotten Tomatoes atau situs agregasi lain seperti Metacritic adalah sesuatu yang bisa dihitung, sehingga bisa dijadikan sebagai tolak ukur. Dan kebanyakan film adaptasi game mendapatkan skor rendah. Hal ini memunculkan pertanyaan:

Kenapa Kebanyakan Film Adaptasi Game Gagal?

Paul Dergarabedian, Senior Media Analyst, Comscore mengatakan, sulit untuk memperkirakan apakah sebuah film adaptasi game akan sukses atau tidak. Ada beberapa film adaptasi game yang dianggap cukup sukses, seperti Tomb Raider dan The Angry Birds Movie. Namun, juga ada banyak film yang gagal, meski biaya produksinya besar.

Menariknya, meskipun sebuah film adaptasi game dianggap mengecewakan di mata kritikus, terkadang, film tersebut tetap bisa meraup pemasukan besar. Misalnya, Warcraft (2016). Film tersebut memiliki skor 28 di Rotten Tomatoes. Namun, film itu sangat populer di Tiongkok sehingga ia berhasil mendapatkan US$439 juta. Sementara Assassin’s Creed (2016), yang memiliki skor 18 persen, bisa mendapatkan US$240 juta. Menurut Dergarabedian, potensi pemasukan besar ini menjadi justifikasi bagi studio film untuk terus membuat film adaptasi game meski telah banyak film adaptasi yang dicap gagal.

Game Warcraft memiliki lore yang kompleks.
Game Warcraft memiliki lore yang kompleks.

Dalam membuat film adaptasi game, menyajikan cerita yang menarik menjadi prioritas utama. Masalahnya, game lawas biasanya tidak memiliki cerita yang terlalu dalam. Jika Anda ingin membuat film tentang Tetris, cerita seperti apa yang akan Anda angkat?

Untungnya, belakangan, semakin banyak game yang menjadikan cerita yang kompleks sebagai nilai jual utama. Game bahkan bisa dijadikan sebagai media untuk menunjukkan idealisme sang kreator. Jadi, ketidaan plot atau cerita yang kurang menarik dalam game tak bisa lagi dijadikan alasan mengapa film adaptasi game sering dianggap mengecewakan. Sayangnya, kompleksitas cerita dalam game juga bisa menjadi senjata makan tuan. Jika tidak diolah dengan baik, cerita yang kompleks dalam game justru bisa membuat para penonton kebingungan.

“Skenario film yang bagus itu ringkas, tapi tidak begitu dengan game populer,” kata Cara Ellison, seorang video game narrative designer yang juga punya pengalaman dalam menulis skenario untuk TV dan komik, seperti dikutip dari The Guardian. “Game AAA dari franchise terkenal, yang menjadi target studio film untuk diadaptasi, biasanya memiliki waktu bermain setidaknya 15 jam. Memasukkan semua elemen dari sebuah game ke dalam film berdurasi 120 menit bukanlah hal yang mudah.”

Idealnya, game yang akan diadaptasi ke layar lebar memiliki plot yang jelas dan padat. Hanya saja, tidak semua game memiliki jalan cerita yang koheren. Tidak sedikit game yang memang menonjolkan gameplay dan menomorduakan plot cerita, seperti game fighting atau game balapan.

Pertarungan internal keluarga Mishima jadi salah satu fokus dari cerita Tekken.
Pertarungan internal keluarga Mishima jadi salah satu fokus dari cerita Tekken.

Misalnya, dalam game Tekken, fighting menjadi elemen utama. Memang, setiap karakter di Tekken juga memiliki cerita sendiri-sendiri. Hanya saja, cerita yang disampaikan tentunya tidak sekompleks game yang memang fokus pada jalan cerita seperti The Outer Worlds ataupun game-game besutan Obsidian lainnya. Dan jika cerita Tekken terasa tidak masuk akal, siapa yang peduli? Kebanyakan orang bermain Tekken bukan untuk mengejar ceritanya. Namun, ketika Tekken diadaptasi menjadi film, sang kreator film harus dapat memberikan cerita yang koheren dan pada saat yang sama, tak melenceng terlalu jauh dari sumber asalnya.

Anda mungkin berpikir, “Ya kalau begitu, tinggal cari game yang memang punya cerita berbobot untuk diadaptasi ke film.” Oh, tidak semudah itu, Ferguso. Ketika game yang hendak dijadikan film memiliki lore yang kompleks, seperti World of Warcraft, maka sulit bagi kreator film untuk memasukkan semua elemen cerita di game ke dalam film. Alasannya, karena film memiliki durasi yang jauh lebih pendek dari game.

Masalah lain yang harus dihadapi pembuat film ketika mereka membuat film adaptasi game adalah memastikan film tersebut disukai oleh fans game dan pada saat yang sama, bisa dinikmati oleh penonton kasual yang tidak pernah memainkan game tersebut.

“Sebuah studio film biasanya kebingungan dalam membuat film yang menarik baik untuk fans game dan juga penonton kasual. Pada akhirnya, mereka biasanya gagal untuk memenangkan hati keduanya dan justru membuat film yang biasa-biasa saja,” kata Lauren O’Callaghan, editor di situs game dan hiburan Gamesradar.

Film Assassin's Creed mencoba untuk menonjolkan fitur khas dalam game, seperti Leap of Faith.
Film Assassin’s Creed mencoba untuk menonjolkan fitur khas dalam game, seperti Leap of Faith.

Memasukkan elemen khas dari gameplay sebuah game ke dalam film agar ia terasa familiar bagi gamer juga biasa menjadi masalah sendiri. Contohnya, dalam film Assassin’s Creed, Anda sering melihat adegan elang yang sedang terbang. Jika Anda memainkan game buatan Ubisoft tersebut, Anda pasti akan paham tentang simbolisme dari adegan itu. Namun, bagi penonton kasual, mereka mungkin akan merasa bingung.

Menurut Rachmad Imron, CEO Digital Happiness, developer di balik DreadOut, tidak aneh jika ada banyak film adaptasi game yang dianggap gagal. “Karena game biasanya memiliki waktu bermain setidaknya 4-20 jam. Sulit untuk meringkas semua itu ke dalam film yang hanya berdurasi 2 jam,” katanya, saat dihubungi oleh Hybrid melalui psean singkat. “Selain itu, karakteristik penonton dan pemain game cukup berbeda. Jadi, mencari balance antara keduanya adalah tantangan tersendiri.”

Seri TV Adaptasi Game

Belakangan, game tidak hanya diadaptasi ke layar lebar, tapi juga sebagai seri TV. Salah satu contohnya adalah The Witcher. Memang, cerita dari seri TV The Witcher didasarkan pada novel The Witcher buatan Andrzej Sapkowski dan bukan game-nya. Namun, tak bisa dipungkiri, salah satu alasan mengapa seri TV The Witcher memiliki hype tinggi adalah karena popularitas dari game The Witcher buatan CD Projekt Red. Tentu saja, hal itu juga berlaku sebaliknya. Berkat seri TV The Witcher, penjualan game RPG tersebut sempat melonjak naik.

Seri TV The Witcher mendapatkan sambutan yang hangat. Jadi, tidak aneh jika muncul wacana untuk membuat seri TV live-action dari game-game lain, seperti The Last of Us, Fallout, dan Halo. Seperti yang disebutkan oleh ScreenRant, salah satu alasan mengapa semakin banyak game yang diadaptasi ke seri TV adalah karena semakin populernya layanan video-on-demand seperti Netflix.

Perusahaan VOD biasanya berusaha untuk menyediakan konten original. Game menjadi salah satu sumber ide yang bagus dalam membuat seri TV. Selain itu, game juga sudah memiliki fans tersendiri. Jadi, sang pembuat film tak perlu khawatir bahwa tidak ada orang yang melirik seri TV buatan mereka.

Geralt dalam seri TV The Witcher.
Geralt dalam seri TV The Witcher.

Dan tampaknya, game memang lebih cocok untuk diadaptasi ke seri TV daripada ke film layar lebar. Pasalnya, seri TV bisa menawarkan durasi yang jauh lebih panjang. Dengan begitu, karakter dan cerita dalam game bisa disajikan dengan lebih baik tanpa harus khawatir membuat penonton merasa bosan.

Bagaimana dengan Film Adaptasi Game Indonesia?

DreadOut adalah contoh game Indonesia yang diadaptasi ke film. Ketika ditanya tentang proses bagaimana DreadOut bisa diangkat menjadi film, CEO Digital Happiness, Rachmad Imron berkata, “pada dasarnya, saat kami membuat DreadOut, kami memang sudah membayangkan dan mempersiapkan universe-nya untuk dibawa ke beberapa bentuk media lain. Salah satunya film.”

Dia melanjutkan, “Saat itu, kebetulan, kami memang sudah di-approach oleh beberapa produser film dan production house. Namun, dari sekian yang datang, Kimo-lah yang paling sejalan dengan visi kami. Terlebih, saat itu, kami juga fans dari karya-karya Kimo sebelumnya.” Kimo yang Imron maksud adalah Kimo Stamboel, sutradara dari film DreadOut.

Imron juga bercerita, Digital Happiness hanya menjadi creative consultant dalam pembuatam film DreadOut. Sebagai creative consultant, tugas mereka adalah memberikan informasi tentang konsep dari DreadOut serta lore yang ada dalam game. “Pada dasarnya, kami memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk interpretasi DreadOut oleh Kimo dalam adaptasinya ke layar lebar,” kata Imron.

DreadOut adalah game Indonesia yang diangkat jadi film.
DreadOut adalah game Indonesia yang diangkat jadi film.

Terkait dampak peluncuran film DreadOut pada penjualan game, Imron menjelaskan, penayangan film DreadOut membuat masyarakat menjadi sadar akan keberadaan DreadOut. Dia juga mengungkap, DreadOut tidak hanya diadaptasi ke film, tapi juga ke komik di platform webcomic lokal, Ciayo. Selain itu, Digital Happiness juga telah membuat merchandise DreadOut dan melakukan cross-promotion.

Jika DreadOut adalah contoh game Indonesia yang diangkat ke layar lebar, Dilan adalah contoh game yang dibuat berdasarkan pada film dan novel Dilan, yang ditulis Pidi Baiq. Agate menjadikan game Dilan sebagai bagian dari Memories, game visual novel mereka.

Yuliana Xiaoling, Product Manager Memories, Agate mengaku, “Dilan itu sebetulnya IP (intellectual property) yang sudah besar dan berdiri sendiri. IP ini juga sudah dibuat ke dalam berbagai produk turunan, seperti komik, novel, film, sampai merchandise. Saat itu, kami melihat bahwa produk turunan berupa game belum ada.”

“Berawal dari obrolan santai antara tim Memories dan Pidi Baiq yang tertarik agar IP Dilan bisa dinikmati lebih luas dengan media yang sesuai dengan anak muda zaman sekarang, yaitu komik dan game,” kata Yuliana saat ditanya tentang awal mula pembuatan game Dilan. “Apalagi di game Memories, salah satu keunikannya adalah orang tidak hanya menjadi pembaca, tapi mereka juga akan merasakan bagaimana rasanya menjadi Milea dan mengambil keputusan yang tidak bisa didapatkan dari hanya menonton film atau membaca novel.”

Agate membuat game visual novel berdasarkan Dilan.
Agate membuat game visual novel berdasarkan Dilan.

Menariknya, Agate membuat game Dilan bukan untuk mendorong penjualan novel atau tiket film Dilan. Justru sebaliknya, Agate ingin mempromosikan game visual novel mereka dengan memasukkan cerita Dilan ke dalam game tersebut. “Strategi kami adalah untuk mengakuisisi pasar produk platform visual novel dengan memposisikan game Dilan sebagai produk turunan dari IP Dilan itu sendiri. Karena film dan novel Dilan sudah berdiri sendiri dengan popularitas masing-masing,” ujar Yuliana. “Kami merasa, Dilan adalah IP yang mampu mendongkrak awareness dari setiap produk yang menggunakan IP-nya.”

Sebesar Apa Kemungkinan Game Indonesia Diangkat Menjadi Film?

Yuliana percaya, di Indonesia, mengadaptasi game menjadi film atau sebaliknya adalah hal yang sangat mungkin terjadi. “Contohnya, selain Dilan, kami juga berkolaborasi dengan IP besar lain, yaitu Mariposa,” ujarnya. “Jika target audience-nya masih memiliki irisan, maka sangat memungkinkan terjadi kolaborasi, yang tentunya akan berdampak positif ke brand IP sendiri. Karena tidak semua IP film punya game yang bagus dan bisa dinikmati oleh banyak orang.”

Imron setuju dengan pendapatan Yuliana, bahwa mengadaptasi game ke film atau sebaliknya, sangat mungkin terjadi. “Namun, tantangan dari segi game adalah kurang banyak game lokal yang diapresiasi oleh gamer lokal sendiri,” katanya. “Misalnya, pemain lokal lebih banyak bermain Mobile Legends dan PUBG, yang bukan karya developer lokal. Jadi, bagi produser film, sulit bagi mereka untuk memvalidasi pasarnya. Sehingga, mereka lebih mudah untuk mencari konten dari webtoon, misalnya. Karena sudah jelas bahwa pembaca dari judul tertentu bisa mencapai sekian juta contohnya.”

Sementara proses pembuatan game dari sebuah IP film juga memiliki masalah tersendiri. “Biasanya, IP holder sebuah film kurang berani menyediakan investasi lebih untuk menghasilkan game yang ‘proper‘ dan bukan sekadar game iklan sebagai marketing gimmick saja,” aku Imron. “Begitu juga sebaliknya. Dari game developer sendiri, karena industrinya juga masih baru, kebanyakan game developer lokal belum punya ‘keberanian’ untuk melisensi sebuah judul film dan mengadaptasinya ke dalam game karena perlu modal yang cukup besar.”

Kesimpulan

Game tak lagi menjadi hobi niche. Newzoo memperkirakan, pada 2023, jumlah gamer akan mencapai 3 miliar orang. Jadi, tidak heran jika pembuat film berusaha untuk menargetkan para gamer dengan membuat film adapatasi game. Sayangnya, membuat film yang didasarkan pada game bukanlah hal yang mudah. Namun, mengingat potensi pemasukan yang besar — meskipun sebuah film dianggap “gagal” — tampaknya film adaptasi game masih akan terus ada di masa depan.

Di Indonesia, DreadOut tampaknya masih menjadi satu-satunya game yang pernah diangkat ke layar lebar. Meskipun begitu, seiring dengan berkembangnya industri game di Tanah Air, tidak tertutup kemungkinan, akan ada semakin banyak game yang diangkat menjadi film atau seri TV atau media lain seperti komik dan novel.

[Rekap] Build Balmond R7 di MPLI, Komentar Zeys atas kekalahan EVOS, dan Info Lainnya

Selamat datang di artikel [Rekap], rubrik baru dari Hybrid hasil kerja sama dengan ONE Esports. Untuk edisi kali ini ada rangkuman sejumlah info menarik dari berbagai skena esports dan industri game dalam sepekan terakhir. Tanpa berpanjang lebar, mari langsung kita simak Rekap berita esports minggu ini.

Rivaldi “R7” Fatah menggunakan Balmond di game ketiga.

Istimewanya Balmond dari R7 benar-benar mengambil perhatian. Bagaimana tidak, pada game ketiga tersebut, bukan Xin yang memakai Hayabusa yang menjadi MVP, melainkan Balmond-nya R7.

Lalu bagaimana build item dari R7 pada game tersebut?

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Bagaimana Zeys menyikapi kekalahan EVOS di MPLI?

Kegagalan EVOS Legends di MPL Invitational 4 Nation Cup memang menyakitkan. Bukan apa-apa, sang juara dunia tunduk dari tim Myanmar non-unggulan, Burmese Ghouls.

Salah satu sosok yang dikambinghitamkan oleh fans adalah Bjorn “Zeys” Ong. Pelatih yang sekaligus menjadi tanker EVOS itu dianggap tampil kurang baik pada beberapa game EVOS sepanjang turnamen. Simak bagaimana pemain/pelatih EVOS asal Singapura tersebut menyikapi itu semua.

Lanjutan aksi intens pada ONE Esports Dota 2 SEA League.

Aksi intens kembali tersaji di fase grup ONE Esports Dota 2 SEA League. Di hari terakhir pekan ketiga, dua tim telah membuktikan diri sebagai yang terdepan di turnamen tersebut.

TNC dan Fnatic masing-masing meraih kemenangan 2-0 atas Reality Rift dan NEW Esports. Sementara itu, gaya permainan yang unik dari Neon Esports mampu memberi mereka kemenangan kedua di fase grup saat mengalahkan T1.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

5 momen paling mengejutkan dari skena Dota 2 Asia Tenggara.

Meskipun Asia Tenggara (SEA) selalu menjadi rumah dari penggemar paling bersemangat di ranah Dota 2, tetapi region ini tidak selalu menjadi pusat perhatian. Namun hal tersebut bisa dibilang telah berubah, terutama sejak 2019.

Ada banyak hasil pertandingan yang cukup mengejutkan sempat terjadi atau dialami oleh tim-tim papan atas Asia Tenggara. Berikut lima momen pilihan dari beberapa kejadian paling mengejutkan dari tim-tim Asia Tenggara, setidaknya sejak 2019:

TobiWan undur diri sebagai shoutcaster.

Via: ONE Esports
Via: ONE Esports

Bagi para pencinta scene Dota 2 dunia, siapa yang tak mengenal nama Toby “TobiWan” Dawson. Ia merupakan salah satu caster terbaik dengan gaya membawakan sebuah pertandingan yang khas dan sukses menginspirasi banyak orang. Namun, kini ia telah memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai caster.

Hal ini disebabkan oleh tuduhan yang dilayangkan kepada TobiWan oleh beberapa wanita atas perbuatan yang tidak menyenangkan kepada mereka yang dilakukan oleh sang caster.

 

Powered by ONE Esports 

esports-logo

Review Gears Tactics: Visualisasi Grafis yang Fantastis dengan Gameplay Bombastis

Di penghujung bulan April 2020 lalu, saya cukup terkejut melihat game yang satu ini dirilis. Pasalnya, Gears Tactics adalah bentuk iterasi Turn-Based Tactics dari franchise Gears (of Wars) yang biasanya bergenre 3rd Person Shooter. Gears Tactics ini juga dibanderol dengan harga yang cukup murah, Rp250 ribu. Namun apakah pertanyaannya game ini layak dibeli meski harganya lebih murah ketimbang harga game-game AAA?

Seperti biasanya, sebelum kita masuk ke review Gears Tactics kali ini, saya harus menjabarkan beberapa hal terlebih dahulu. Pertama, bagaimanapun juga review game itu sepenuhnya subjektif alias bergantung pengalaman, selera, pengetahuan sang reviewer-nya. Kedua, karena alasan tadi, saya harus menjelaskan sedikit latar belakang saya. Saya pribadi memang lebih menyukai game-game singleplayer AAA. Karena itu, sampai hari ini, setidaknya sudah ada 2000 judul game PC yang saya selesaikan Singleplayer Campaign-nya sepanjang saya bermain game di PC sejak tahun 2003 — sebelum itu, saya menganut ‘agama’ gamer console.

Ketiga, terakhir, saya membeli Gears Tactics dari Steam (karena game ini bisa dibeli dari Steam, Microsoft Store, dan Epic Game Store) dan memainkannya di PC saya dengan spek sebagai berikut:

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz.
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

 

Visualisasi Grafis dan Performa: 87/100

Screenshot: Gears Tactics
Screenshot: Gears Tactics. Via: PC Gamer

Satu hal yang sangat menarik, Gears Tactics (dirilis tanggal 28 April 2020) dirilis dalam waktu yang berdekatan dengan XCOM: Chimera Squad (rilis tanggal 24 April 2020). Keduanya juga sama-sama bergenre Turn-Based Tactics/Strategy. Dengan begitu, Gears of Tactics memang mau tidak mau akan dibandingkan dengan Chimera Squad. Apalagi mengingat seri XCOM memang boleh dibilang game Turn-Based Tactics yang paling populer akhir-akhir ini.

Aspek pertama yang ingin saya  bahas adalah soal grafis dan performa dari Gears Tactics. Jika dibandingkan dengan Chimera Squad, yang kebetulan juga saya review bulan Juni 2020 kemarin, Gears Tactics menang telak dalam hal visualisasi grafis. Bahkan, menurut saya, Gears Tactics bisa dibilang sebagai salah satu game Turn-Based Tactics dengan visualisasi paling cantik yang pernah saya mainkan.

Ketika Anda melakukan Execute atau beberapa Skill (seperti Chainsaw Attack atau Bayonet Charge), kamera pun bergerak untuk mendekati karakter Anda untuk memperlihatkan animasi yang buas dan terasa begitu memuaskan. Meski saya berkali-kali melihatnya, saya belum bosan dengan animasi Skill tersebut karena ada beberapa variasinya.

Efek-efek ledakan, tembakan, atau apapun yang ada di sini juga jauh lebih fantastis dibanding yang saya lihat di Chimera Squad ataupun semua seri XCOM modern (mulai dari XCOM: Enemy Unknown, XCOM 2, ataupun Chimera Squad). Sungguh, saya sangat mengagumi jerih payah The Coalition dan Splash Damage (developer Gears Tactics) dalam usahanya menerjemahkan visualisasi fantastis dari Gears 5 ke Gears Tactics ini.

Biasanya, game-game Turn-Based Tactics memang tidak menyuguhkan visualisasi yang secantik genre Action, RPG, ataupun FPS. Namun, berhubung saya juga sudah menamatkan Gears 5, saya bisa merasakan atmosfir dan visualisasi fantastis yang tak jauh berbeda saat bermain Gears Tactics.

Lalu bagaimana dengan performanya? Meski grafisnya fantastis, Gears Tactics bisa dimainkan di PC murah meriah sekalipun. Berikut ini adalah System Requirements yang saya ambil dari Steam.

Sumber: Steam
Spesifikasi yang dibutuhkan Gears Tactics. Sumber: Steam

Bandingkan spek di atas dengan spek yang dibutuhkan untuk Gears 5 yang juga saya ambil dari Steam di gambar berikut ini.

Sumber: Steam
Spesifikasi yang dibutuhkan Gears 5. Sumber: Steam

Dengan spek PC saya, berikut ini adalah hasil benchmark (built-in) yang saya dapatkan:

Screenshot: Gears Tactics
Screenshot: Gears Tactics

Jika hanya melihat dari sisi grafis dan performa, saya percaya Gears Tactics harusnya bisa jadi standar baru untuk game-game Turn-Based lainnya di masa mendatang.

 

Gameplay: 81/100

Jika di aspek grafis Gears Tactics mungkin bisa dibilang revolusioner, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk aspek gameplay-nya.

Banyak mekanisme gameplay yang ada di sini mengambil komponen-komponen yang sudah ada di seri XCOM modern. Meski begitu Gears Tactics mengimplementasikan semua komponen-komponen tadi dengan sangat baik dan menambahkan beberapa komponen baru di dalamnya.

Tiga komponen gameplay yang diimplementasikan dengan baik di Gears Tactics adalah soal Loot System, Skill Tree, dan Action Point (AP).

Berbicara soal Loot System, Gears Tactics mengizinkan karakter-karakter Anda menggunakan Equipment yang bisa didapatkan dari pertempuran. Equipment yang ada di sini memiliki tingkat Rarity (dari Common sampai Legendary) dan didapatkan secara acak alias random.

Simulasi Skill Tree Gears Tactics. Sumber: Gears of War
Simulasi Skill Tree Gears Tactics. Sumber: Gears Tactics

Di Gears Tactics, ada juga 5 class berbeda (Support, Vanguard, Heavy, Scout, dan Sniper) untuk karakter-karakter Anda. Skill Tree dari masing-masing class di sini cukup menarik dan kompleks. Oh iya, asyiknya lagi, Anda bisa mengakses simulasi Skill Tree yang bisa digunakan dari situs resmi Gears Tactics (Anda juga bisa membukanya untuk melihat bagaimana Skill Tree yang ada di game ini).

Komponen gameplay terakhir yang membuat Gears Tactics jadi lebih menarik, setidaknya dibanding Chimera Squad, adalah sistem Action Point yang lebih fleksibel. Action Point ini digunakan untuk melakukan pergerakan ataupun aksi. Namun, setiap class memiliki satu skill atau lebih untuk menambahkan Action Point saat giliran mereka. Dengan begitu, jika Anda bermain cukup cerdik dan memanfaatkan skill-skill tadi, Anda bisa mendapatkan sejumlah AP untuk melakukan begitu banyak hal dalam satu kali giliran.

Misalnya saja jika kita melihat dari class yang paling saya sukai di sini, Sniper. Sniper memiliki Skill bernama Chain Shot. Di level 2, jika Chain Shot Anda mengenai lawan, Anda akan mendapatkan 2 AP. Sniper juga punya Skill bernama Fast Fingers. Fast Fingers level 2 akan membuat karakter Anda mendapatkan 1 AP sekaligus Reload gratis jika Skill tersebut berhasil membuat musuh Downed atau mati. Ada lagi Skill yang bernama Ultimate Shot (Max AP saat membunuh musuh dengan Skill ini) dan Spree (25% kesempatan untuk mendapatkan 2 AP jika membunuh musuh dengan Critical Hit).

Screenshot: Gears Tactics
Screenshot: Gears Tactics.

Itu tadi baru Skill dari satu class saja. Jika digabungkan dengan Skill yang dimiliki Support, Sniper bisa jadi menggila di medan pertempuran dan menghabisi banyak musuh hanya dalam satu turn.

Sistem AP yang fleksibel itu jadi mengubah mindset bermain Anda. Jika di Chimera Squad, mindset-nya adalah bagaimana memanfaatkan kesempatan Anda yang sangat terbatas. Mindset bermain di Gears Tactics adalah bagaimana memperpanjang turn dengan berbagai skillset yang Anda miliki.

Sayangnya, meski didukung oleh beberapa komponen gameplay yang solid tadi, Gears Tactics tidak memiliki ragam misi ataupun musuh yang membuatnya tidak membosankan untuk dimainkan berkali-kali.

 

Plot Cerita dan Karakter: 63/100

Berhubung franchise Gears of War memang sudah cukup berumur karena pertama kali dirilis tahun 2006 dan dibuat untuk 3rd Person Shooter, lore-nya memang sudah cukup panjang. Advantage ini tidak dimiliki oleh seri XCOM modern. Setidaknya, saya tak terlalu tertarik untuk mempelajari lore seri XCOM modern seperti saya mempelajari lore Gears of Wars.

Dengan begitu, Gears Tactics sebenarnya memiliki banyak materi yang bisa dikembangkan dalam aspek plot cerita dan karakter-karakternya. Di Gears Tactics, tokoh utamanya adalah Gabe Diaz — bapaknya (atau ayahanda tercinta, kalau mau flamboyan) Kate Diaz yang jadi karakter utama di Gears 5. Buat Anda yang mengikuti cerita Gears of War, tema perjuangan (sekaligus korupnya) COG melawan monster (Swarm, Locust, dkk.) juga masih kental Anda temukan di sini.

Sayangnya, mungkin karena memang dianggap sebagai spin-off, tidak banyak hal-hal baru dari cerita besar lore Gears of War yang bisa Anda temukan di sini. Karakter dan percakapan yang ada di sini juga tidak begitu menarik untuk diperhatikan. Setidaknya beberapa karakter dan percakapan dari Chimera Squad beberapa kali berhasil membuat saya tersenyum sendirian di depan layar monitor.

Sumber:
Sumber: Microsoft

Jika dibandingkan dengan Chimera Squad, satu-satunya keunggulan Gears Tactics dari aspek ini adalah soal penyajian ceritanya. Setidaknya Gears Tactics menyuguhkan ceritanya lewat cutscenes, tidak seperti Chimera Squad yang menggunakan slideshow gambar semata. Meski memang hal ini juga bisa dimasukkan dalam kategori penilaian visualisasi grafis. Namun, saya sungguh bingung mencari apa kelebihannya dari aspek ini — apalagi mengingat Gears Tactics tidak berhasil memanfaatkan lore panjang dari seri Gears of War dengan baik.

 

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 30/100

Seperti yang saya tuliskan tadi di bagian gameplay, variasi misi dan musuh yang ada di sini membuat saya tidak betah berlama-lama memainkannya.

Setelah saya menyelesaikan playthrough satu kali, saya sebenarnya sempat mencoba memainkannya kembali di tingkat kesulitan tertinggi dan Ironman Mode. Sayangnya, saya mati dan gagal menyelesaikan campaign tersebut di Act 1 Chapter 5 (Gears Tactics memiliki 3 Act dengan total 22 Chapters).

Jika dibandingkan dengan Chimera Squad yang saya mainkan selama 49 jam, saya hanya mencatatkan waktu bermain selama 24 jam di Gears Tactics.

Sebenarnya, Chimera Squad juga tidak sebagus itu namun game tersebut memiliki akses modding yang sangat baik. Anda bahkan bisa mengunduh SDK nya gratis dari Steam jika Anda membeli game-nya.

Salah satu mod yang tak bisa saya gunakan. Sumber: Nexus Gears Tactics
Salah satu mod yang tak bisa saya gunakan. Sumber: NexusMods

Sebaliknya, akses modding Gears Tactics terbilang aneh… Kita memang bisa memodifikasi beberapa file game dengan mudah. Hanya dengan menggunakan Notepad, Anda bisa mengedit file .csv untuk memodifikasi Gears Tactics. Sayangnya, cara ini sangat tidak konsisten.

Pasalnya, ada beberapa file yang sebenarnya bisa diedit dan memodifikasi game-nya namun ada juga yang akan di-overwrite begitu Anda menjalankan game tersebut. Hal ini menyebabkan modifikasi Gears Tactics jadi sangat terbatas. Di Nexus, Gears Tactics memiliki 12 mods namun parahnya kebanyakan mod tersebut tidak bisa berjalan jika Anda membeli game tersebut.

Sebagian besar mod juga hanya bisa aktif saat Anda memulai campaign baru. Hal ini semakin menyebalkan mengingat Anda tidak bisa skip tutorial mission layaknya Chimera Squad.

Tidak bisa skip tutorial ini sungguh menyebalkan di game yang menawarkan fitur Ironman Mode. Itu sebabnya juga saya malas menyelesaikan game ini untuk yang kedua kalinya. Chimera Squad mengizinkan Anda melewatkan misi tutorial setelah sekali menjalankannya.

 

Average Score: 65.25

Sumber: Microsoft
Sumber: Microsoft

Dengan harga Rp250 ribu, Gears Tactics sebenarnya sangat layak untuk dimainkan. Apalagi jika Anda ingin merasakan game Turn-Based Tactics dengan grafis yang menawan dan gameplay yang cukup solid. Sayangnya, meski seharusnya mereka bisa memanfaatkan lore Gears of War, Gears Tactics tak mampu menggunakannya dengan baik. Jika Anda tidak tertarik dengan hal-hal berbau modding, Gears Tactics juga sebenarnya akan memberikan pengalaman bermain yang sangat berkesan — asal jangan memilih Ironman Mode sebelum mereka mengimplementasi skipping tutorial mission.

Review Acer Nitro N50-110: Performa Tangguh Dengan Fitur yang Terlampau Sederhana

Selama masa pandemi, banyak perusahaan menerapkan protokol kerja dari rumah sebagai sarana mendukung usaha pemerintah untuk menanggulangi wabah COVID-19. Maka dari itu tak heran, jika kebutuhan akan komputer jadi meningkat, entah sebagai alat produktivitas maupun sebagai sarana hiburan untuk bermain game.

Saya melihat sendiri bagaimana kebanyakan teman-teman saya, yang juga gamers dan pekerja digital, belakangan terlihat menunjukkan baru saja berbelanja PC terbaru; yang tentunya bikin saya jadi iri melihatnya… Huhuhu. Jika Anda seperti saya, yang sedang terpikirkan untuk membeli PC baru untuk kebutuhan “produktivitas”, dan tidak mau kerepotan merakit, mungkin Anda bisa mempertimbangkan memilih pre-built desktop Acer Nitro N50-110.

Namun, agar Anda lebih yakin, simak dulu review Pre-built Desktop Acer Nitro N50-110 berikut ini. Oh iya, di sisi lain, jika Anda lebih butuh monitor gaming, Anda bisa membaca review BenQ Zowie XL2746s.

Performa

Ketika membeli sebuah perangkat PC, entah itu laptop maupun desktop, performa sepertinya menjadi pertanyaan pertama yang harus dijawab. Apalagi para gamers, yang mungkin akan serta-merta bertanya, “Bang, PC atau laptop spek dengan sekian-sekian-sekian kuat nggak ya untuk main game ini dan itu?”

Maka dari itu, saya sengaja meletakkan pembahasan soal performa di bagian paling depan, agar Anda tidak perlu scroll terlalu jauh untuk mengetahui seberapa tangguh Acer Nitro N50-110. Namun sebelum menuju pembahasan soal performa, mari kita lihat dulu spesifikasi hardware dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini:

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono
  • AMD Ryzen™ 7 3700X
  • 2x8GB DDR4 2666 MHz
  • X570 Chipset
  • NVIDIA® GeForce® GTX 1660Ti 6GB GDDR6
  • 512GB SSD NVMe + 1 TB HDD

Untuk menguji performa dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini saya menggunakan dua metode. Pertama adalah dengan synthetic benchmark dengan menggunakan dua program, ada 3D Mark FireStrike Ultra dan Uningine Superposition untuk menguji kemampuan pre-built desktop ini dalam memproses grafis 3d yang intensif. Lalu untuk menguji performa CPU, saya menggunakan Cinebench R20, dan menjalankan uji kemampuan CPU multi-core dan single-core.

Untuk FireStrike Ultra, konfigurasi dari pre-built desktop Acer Nitro N50-110 ini mendapatkan skor sebesar 3359. Skor tersebut bisa dibilang cukup normal untuk GeForce seri GTX 1660 Ti. Anda bisa melihat perbandingannya sendiri dengan pengujian terhadap seri 1660 Ti yang dilakukan oleh reviewer lainnya seperti guru3d atau kitguru. Lalu untuk pengujian dengan Uningine Superposition skor yang dihasilkan adalah sebesar 3260. Hasil ini juga masuk akal untuk GeForce GTX 1660 Ti jika dibandingkan dengan hasil benchmark dari legitreviews dan guru3d.

Lalu bagaimana dengan performa CPU? AMD lewat seri Ryzen memang terkenal sebagai salah satu CPU dengan performa yang baik. Bahkan seri prosesor AMD ini kerap kali dianggap sebagai “Intel Killer” karena performanya. Bagaimana dengan performa Ryzen 7 3700X yang memiliki base clock speed 3,6GHz yang bisa TurboBoost 1 core hingga 4,4 GHz, dan memiliki konfigurasi 8 core 16 threads ini?

Menggunakan Cinebench R20, skor yang didapatkan untuk performa multi-core processor ini adalah sebesar 4512. Hasil ini memang memuaskan mengingat performa procie lain yang ada di atas 3700X memang sudah sekelas workstation atau server. Lalu untuk performa single-core, Ryzen 7 3700X berhasil mendapatkan skor 478. Kali ini berhasil sedikit membalap skor Intel i7-7700K yang punya base clock speed lebih besar, yaitu 4,2GHz.

Setelah melalui synthetic benchmark dengan menggunakan beberapa tools di atas, bagian benchmark yang satu ini mungkin akan lebih menarik, terutama untuk Anda para gamers. Untuk metode kedua, saya melakukan real-world benchmark dengan menggunakan game. Saya membagi real-world benchmark ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah real-world benchmark menggunakan game AAA dengan menggunakan fitur in-game benchmark. Lalu pada bagian kedua saya melakukan real-world benchmark pada game multiplayer.

Untuk game AAA saya menggunakan Far Cry 5 (2018) dan Shadow of The Tomb Raider (2018). Jika melihat konfigurasi yang disajikan pre-built desktop Acer Nitro N50-110, harusnya pengaturan rata kanan dengan resolusi 1080p tidak menjadi masalah bagi kedua game tersebut. Benar saja, untuk Far Cry 5 hasil frame per second yang didapatkan adalah 78 min FPS, 108 max FPS, dengan 88 average FPS. Walau awalnya terlihat meyakinan, namun Far Cry ternyata bisa membuat Acer Nitro N50-110 ini jadi keteteran. Jika Anda mengatur Resolution Scale di dalam game menjadi 2 (default 1), maka torehan FPS yang didapatkan akan turun setengah jadi 29 min FPS, 40 max FPS, dengan 33 average FPS.

Sementara itu untuk Shadow of The Tomb Raider Anda juga bisa mendapatkan FPS yang terbaik dengan menggunakan pengaturan rata kanan dan resolusi 1080p. Pada game tersebut, Anda bisa mendapatkan 86 min FPS, 164 max FPS, dan 120 avg FPS. Mengingat dua game tersebut terbilang sebagai dua game yang cukup berat, bahkan sampai sekarang, maka bisa dibilang kita tidak perlu terlalu khawatir jika ingin memainkan game AAA lainnya dengan menggunakan pada Acer Nitro N50-110 ini.

Untuk skenario kedua saya menggunakan game multiplayer alat uji. Saya menggunakan dua game yang terbilang paling berat dan cukup populer belakangan ini, yaitu PlayerUnkown’s Battleground dan Apex Legends. Untuk melakukan pengujian, saya memainkan 3 kali sesi permainan, lalu merekam FPS yang didapatkan dengan menggunakan MSI Afterburner. Hasil FPS yang didapatkan (min, max, dan average) dijumlahkan, dan dibagi 3 untuk mendapatkan angka rata-rata FPS keseluruhan.

Seperti pada game AAA, dua game tersebut juga tidak memberi banyak masalah kepada Acer Nitro N50-110. Dengan menggunakan penghitungan tersebut, pengaturan rata kanan, dan resolusi 1080p, PUBG berhasil mendapatkan 61 min FPS, 95 max FPS, dengan 80 average FPS.

Rata-rata game PUBG sebenarnya masih bisa mempertahankan 60an min FPS. Tetapi sempat pada satu sesi saya mendapatkan 54 min FPS. Catatan tersebut saya dapatkan pada saat saya bermain di map Vikendi, dan berhasil mencapai peringkat 3 dengan torehan 8 kill (maaf pamer… Hehe). Mengingat pertarungan cukup intens ketika itu, mungkin banyaknya efek ledakan, serta bom asap yang dilemparkan pemain lain, jadi alasan kenapa min FPS yang saya dapatkan turun ke angka di bawah 60.

Lalu untuk Apex Legends, masih dengan pengaturan rata kanan dan resolusi 1080p, saya mendapatkan 42 min FPS, 145 max FPS, dengan 96 average FPS. Untuk min FPS, angka yang rendah tersebut saya dapatkan sepertinya karena terjadi sedikit anomali pada sesi ketiga permainan saya. Saat itu, Apex Legends mencatatkan 17 min FPS. Mungkin ini terjadi karena lag koneksi yang terjadi pada saat saya bermain di sesi ketiga. Tetapi secara keseluruhan, torehan min FPS Apex Legends memang selalu di bawah 60.

Saya sendiri sebenarnya kurang tahu apa penyebabnya. Bisa jadi karena konfigurasi Acer Nitro N50-110 yang memang kurang tangguh untuk memainkan Apex Legends, atau bisa jadi juga game tersebut yang masih kurang optimal. Namun secara keseluruhan average FPS yang didapatkan sudah lebih dari rata-rata, yang membuat pengalaman bermain jadi sangat menyenangkan.

Tampilan, Desain, dan Fitur Tambahan

Setelah kita kupas tuntas soal performa jeroan Acer Nitro N50-110, sekarang mari kita beralih ke kulit luar. Walau punya performa dan jeroan yang sangar, tampilan luar Acer Nitro N50-110 ini malah terbilang terlalu sederhana. Tidak ada kesan gamer yang berlebihan, selain warna hitam doff dengan motif brushed alumunium, ditambah aksen merah tua yang membuatnya terlihat sporty namun tetap elegan.

Anda juga tidak bisa mengharapkan lampu RGB kelap-kelip yang biasanya menjadi ciri khas bagi gaming PC. LED Backlit pada Acer Nitro N50-110 hanya ada satu, berwarna merah dan berbentuk huruf V di bagian depan casing, yang akan menyala (tapi kurang terang) pada saat PC dinyalakan.

Sumber: Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Secara ukuran, casing Acer Nitro N50-110 terbilang cukup compact dibanding dari kebanyakan PC. Menurut saya design compact sebenarnya bisa berarti menguntungkan atau merugikan. Pada satu sisi PC ini akan mudah dibawa-bawa jika Anda harus pindah rumah dan memberi kesan minimalis serta sleek. Namun pada sisi lain design compact akan memberikan kekhawatiran tersendiri dari sisi air flow.

Terlebih dari apa yang saya lihat hanya ada dua lubang air flow dan dua fan tersedia untuk sebuah PC yang punya performa tinggi ini. Jadi, apakah design compact pada Acer Nitro N50-110 ini diterapkan dengan tanpa mengorbankan performa thermal-nya? Agak sulit sebenarnya untuk menjawab ini, sebagai gambaran Anda bisa melihat penjelasan saya saja seputar performa thermal pre-built desktop ini.

Pada saat melakukan benchmark dengan Superposition dan Cinebench, suhu maksimum CPU mencapai angka 79 derajat celsius, sementara suhu maksimum GPU mencapai angka 85 derajat celsius. Sementara itu pada saat saya menggunakan pre-built desktop ini untuk kebutuhan sehari-hari, suhu CPU-nya bisa mencapai suhu maksimum 68 derajat celsius. Untuk melakukan pekerjaan sehari-hari saya sebagai penulis, saya tidak banyak melibatkan GPU, sehingga suhunya aman di kisaran 40an. Sebagai catatan juga, suhu tersebut saya dapatkan saat melakukan pengujian di dalam kamar kos saya, tanpa menggunakan AC. Lebih detil, Anda bisa lihat sendiri galeri di bawah ini yang berisikan bentuk bagian dalam Acer Nitro N50-110, beserta catatan performa thermal yang saya dapatkan.

Seperti Anda lihat di atas, bagian dalam Nitro N50-110 ini tidak bisa dibilang bagus. Jika hanya melihat bagian casing luar, skor-nya mungkin 70/100, tapi saat melihat ke dalam saya jadi terpaksa memberi skor 40/100. Bagian dalam Acer Nitro N50-110 ini terlihat sempit. Hal ini berarti Anda akan memiliki banyak sekali keterbatasan jika ingin mengupgrade desktop ini satu hari ini, misalnya seperti menggunakan kartu grafis yang berbadan bongsor.

Konsisten seperti bagian luar, bagian dalam juga minim dekorasi. Manajemen kabel juga tidak sepenuhnya bagus, karena kabel masih menggeliat ke bagian luar, dan terlihat tidak ditata dengan rapih. Untungnya casing ini tidak transparan, yang membuat jeroan Acer Nitro N50-110 jadi bisa disembunyikan.

Untuk port colokan, bisa dibilang semua hampir semua colokan tersedia di dalam Acer Nitro N50-110. Pada bagian belakang ada 2x USB 3.1 Gen 1 Type A, 2x USB 3.1 Gen 2 Type A, 2x USB 2.0 Type A, 1x LAN Port, 1x HDMI, 1x DVI Port, 1x DisplayPort dan audio port. Sementara pada bagian depan ada optical drive, 1x USB 3.0 Type A, 1x USB 3.1 Gen 1 Type C, SD Card reader, dan audio port.

Pada bagian ini, satu yang cukup saya sayangkan mungkin adalah jumlah port USB bagian depan yang hanya satu buah saja. Selain itu, kehadiran optical drive terbilang cukup membingungkan, mengingat perangkat ini yang sudah semakin ditinggal seiring zaman. Namun optical drive yang diletakkan secara vertikal ini patut diapresiasi, membuat Acer Nitro N50-110 ini jadi terlihat sleek dan modern (walau saya tetap bingung mau digunakan untuk apa… Haha).

Selain dari port tersebut, Acer Nitro ini juga dilengkapi dengan Wi-Fi card serta Bluetooth. Jadi jika Anda adalah penganut setup wireless, tidak perlu lagi membeli dongle tambahan entah Wi-Fi atau Bluetooth. Tambahan lainnya yang ada pada bagian atas PC berupa penampang Qi Wireless Charging. Walau sebenarnya bagus, mungkin ini akan kurang berguna bagi para pengguna entry (seperti saya). Tetapi mengingat MSRP Acer Nitro N50-110 ini adalah Rp22.999.000, maka kemungkinan besar pemilik pre-built desktop ini sudah menggunakan smartphone kelas atas yang punya kemampuan wireless charging, sehingga fitur ini jadi sangat handy untuk kebutuhan produktivitas sehari-hari.

Lalu bagaimana dengan paket penjualan? Paket penjualan Acer Nitro N50-110 sendiri terbilang terlalu sederhana, namun sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Acer menyertakan mouse dan keyboard standar untuk penggunaan sehari-hari di dalam paket penjualan — bukan gaming seperti Razer Basilisk V2 atau SteelSeries Apex 7. Acer Nitro N50-110 ini juga sudah menyertakan Windows 10 Home 64-bit. Jadi Anda cukup menyediakan sebuah monitor saja, dan Acer Nitro N50-110 ini sudah siap digunakan.

Kesimpulan

Sebenarnya saya agak sedikit bingung, pasar apa yang sebenarnya ingin dikejar oleh Acer Nitro N50-110 ini. Tampilannya terlalu sederhana untuk kalangan gamers, tapi juga lumayan flashy untuk kalangan pengguna profesional.

Terlebih, dari jeroan dan konfigurasi yang disajikan, Acer Nitro N50-110 seharusnya bisa menyasar gamers atau para profesional multimedia lewat paket penjualan yang lebih menarik. Padahal jika Acer Nitro N50-110 ini menyertakan bonus berupa gaming gear, para gamers mungkin jadi lebih tertarik. Atau bisa juga menyertakan bonus software multimedia, sehingga pre-built desktop ini jadi lebih menawan bagi para profesional bidang multimedia.

Dengan MSRP seharga Rp22.999.000, Acer Nitro N50-110 terbilang terlalu sederhana dan minimalis. PC ini cuma bisa menawarkan performa yang baik di kelas mid-low, belum sampai ke high-end. Dengan jumlah uang yang dikeluarkan dan apa yang didapatkan, saya cenderung masih berpikir lebih baik sedikit repot merakit PC sendiri karena bisa dapat spesifikasi serupa dengan harga yang lebih murah. Lalu sisa uangnya bisa dialihkan untuk membeli game AAA terbaru atau software multimedia untuk kebutuhan kerja.

Jadi melihat ini, bisa jadi pre-built PC ini ditujukan untuk profesional multimedia yang suka main game di waktu luang, namun tidak mau banyak repot. Mengingat spesifikasinya yang mumpuni, software multimedia kemungkinan besar bisa dilahap juga dengan Acer Nitro N50-110. Port colokan yang lengkap, Windows Home 64-bit, serta mouse dan keyboard dalam paket penjualan, juga membuat PC ini jadi sudah serba berkecukupan. Seperti yang saya bilang tadi, Anda cukup menyediakan sebuah monitor dan Acer Nitro N50-110 sudah siap digunakan.