Profil Perjalanan Karir Xepher dan Whitemon, 2 Pemain Indonesia Pertama di The International

Pagelaran turnamen Dota 2 The International 10 yang akan digelar bulan Oktober 2021 mendatang menjadi spesial bagi pengemar di Indonesia — di masa ekosistem Dota 2 di Indonesia tak lagi subur seperti dulu. Pasalnya, turnamen TI kali ini merupakan kali pertamanya pemain asal Indonesia dapat mengikuti turnamen esports terbesar di dunia ini.

Pemain Indonesia yang berhasil menembus TI10 tidak lain adalah Kenny “Xepher” Deo dan Matthew “Whitemon” Filemon. Kedua pemain tersebut merupakan pemain Support yang saat ini membela T1. Tim T1 berhasil lolos menuju TI10 berkat penampilan apik pemainnya dalam turnamen DPC musim ini.

T1 berhasil lolos ke dalam 2 turnamen Major musim ini yakni ONE Esports Singapore Major 2021 dan WePlay AniMajor. Bahkan Xepher dan kawan-kawan berhasil menempati peringkat ketiga turnamen WePlay AniMajor yang digelar bulan Juni 2021 kemarin.

Lalu bagaimanakah perjalanan duo support Indonesia dalam mencapai tangga tertinggi turnamen Dota 2 The International? Fans Indonesia harus menunggu hingga seri yang kesepuluh alias 10 tahun sebelum dapat menyaksikan anak bangsa bersaing dalam perebutan trophy Aegis of the Immortal.

Xepher – Pemain Berpengalaman yang Selalu Tampil Konsisten

Tigers Juara DreamLeague Season 10
Image Credit: DreamHack

Kenny “Xepher” Deo merupakan pemain profesional Dota 2 yang cukup lama di Indonesia. Dia mengawali karir profesionalnya pada tahun 2014 silam bersama tim Zero Latitude. Bersama Xepher, tim ini langsung melejit menjadi salah satu tim Dota 2 terbaik di Indonesia. Sayangnya tim Zero Latitude tidak berumur panjang. Tim tersebut langsung disband di tahun yang sama, meskipun penampilan apik para pemainnya.

Selanjutnya Xepher bergabung bersama TEAM nxl>. Kiprahnya di TEAM nxl> juga tidak berjalan cukup lancar karena tim ini juga memutuskan untuk melepas para pemainnya. Kemudian di awal tahun 2015 Xepher memutuskan untuk bergabung dengan raksasa Dota 2 Indonesia yakni RRQ. Sayangnya kiprah Xepher bersama tim RRQ kurang begitu bagus. Bersama RRQ, Xepher hanya berhasil menembus tingkat Minor — itu pun GESC Indonesia Minor yang kualifikasinya hanya melawan tim-tim Indonesia lainnya.

Pada tahun 2018, Xepher memutuskan untuk keluar dari RRQ dan bergabung dengan tim TNC Tigers bersama InYourdreaM. Bersama tim TNC Tigers inilah performa Xepher semakin baik dan konsisten. Dia semakin diperhitungkan sebagai supports terbaik di Asia Tenggara. TNC Tigers yang akhirnya berganti nama menjadi Tigers berhasil merengkuh gelar juara DreamLeague Season 10 di tahun 2018.

Penampilan konsisten terus ditunjukan oleh Xepher saat bersama tim barunya Geek Fam. Di tim inilah akhirnya Xepher diduetkan dengan Whitemon sebagai duo supports. 2 trophy berhasil mereka persembahkan yakni dari turnamen BTS Pro Series Season 2: Southeast Asia dan ONE Esports Dota 2 SEA League, sebelum akhirnya tim ini memutuskan untuk disband pada tahun 2020.

Dengan susunan squad yang hampir sama, mantan pemain Geek Fam berlabuh menuju tim T1. Permainan para pemain T1 semakin lama semakin kompak. Hal ini membuat performa tim semakin naik dan menjadikan T1 salah satu tim kuat di dunia. Hingga akhirnya tim T1 dapat menembus ajang The International 10 dengan status sebagai tim undangan.

Whitemon – Pemain Baru yang Penuh Talenta

Image Credit: ESL

Matthew “Whitemon” Filemon dapat dikatakan sebagai pemain baru di kancah profesional Dota 2. Meskipun sudah bermain game Dota sejak lama yakni sejak kelas 5 SD, namun Whitemon belum perhah terjun ke dunia esports. Selain itu Whitemon juga sebenarnya mempunyai role sebagai Carry sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi Supports 5.

Karir profesional Whitemon dimulai saat dikontrak untuk bermain sebagai stand-in di tim Pandora Esports. Sayangya tim Pandora Esports tidak bertahan lama dan membubarkan timnya. Karir profesional Whitemon selanjutnya terganjal restu orang tua dan juga dia harus memulai kuliahnya. Namun berkat keseriusan dari tim EVOS Esports dan Whitemon sendiri akhirnya dia dapat bergabung bersama tim ini pada tahun 2018 kemarin.

Di EVOS Esports, Whitemon bermain bersama pemain pro Indonesia yang lebih senior lainnya seperti Aville, iLogic, dan InYourdreaM. Bermain bersama pemain-pemain berpengalaman talenta membuat Whitemon terus terasah. Sayangnya tim ini hanya tak dapat berbicara banyak di skena internasional dan kesulitan menghadapi tim-tim Dota 2 dari Asia Tenggara lainnya. Akhirnya tim EVOS Esports memutuskan untuk disband pada tahun 2019.

Tidak butuh waktu lama, Whitemon segera mendapatkan tim baru yakni bersama Geek Fam dan diduetkan dengan Xepher. Dengan talenta yang dimiliki oleh Whitemon, dia langsung beradaptasi dengan baik di tim barunya dan menjadikan Geek Fam tim papan atas di Asia Tenggara sebelum akhirnya tim ini juga memutuskan untuk disband pada tahun 2020.

Bersama dengan Xepher akhirnya Whitemon direkrut oleh tim T1. Keduanya menjadikan T1 sebagai tim yang patut diperhitungkan tidak hanya di Asia Tenggara namun juga di dunia. Meloloskan tim T1 ke dalam turnamen The International 10 langsung adalah bukti talenta dari Whitemon.

***

Kita lihat saja bagaimana kiprah duo supports Indonesia dalam turnamen The International 10 mendatang. Turnamen ini nantinya akan diselenggarakan di Rumania pada 7 hingga 17 Oktober 2021 mendatang. Total hadiah yang diperebutkan dalam turnamen ini mencapai US$40,018,195 atau sekitar Rp573 miliar.

Jika Anda tertarik, kami sempat menuliskan sejarah lengkap Dota 2 dan The Internasional di sini.

7 Best Pokemon to Play in Pokemon Unite

Pokemon Unite is currently one of the hottest growing MOBAs in the gaming market. Even if it was just officially released last July 2021, the game has managed to amass a relatively large and loyal player base that has dug up and established the meta. As of writing this article, there are only 21 available Pokemon that can be picked in Pokemon Unite, which is incredibly meager compared to other MOBAs hero pool size standards. It would make sense to pick only 2 or 3 of these Pokemon as the strongest in the pool. However, I will try to include Pokemon from all the plethora of roles in the game, so the list will be extended to 7.

And as a side note, this list was made before the balance patch that took effect on the 4th of August. A majority of the Pokemon in the game have experienced nerfs, buffs, and tweaks that might change how this list was compiled. I tried my best to consider the new update when selecting the strongest picks, but it is difficult to say for certain how the meta will alter only after the update happened for a few days.

On one hand, there is a possibility that this list might be completely useless and irrelevant. On the other hand, the meta might also not change and the list will stay the same. You can watch the video below to get a more detailed insight into what the new update might look like.

But without further ado, Here is a comprehensive list of the strongest Pokemon that are almost always picked in higher ranked games and that you should perhaps consider picking up to climb the echelons of this new game.

Snorlax

source: Pokemon Unite

Snorlax must always be present in all compositions if you want to have the advantage over the enemy. His kit and utility are too insane, and there is no other reason to pick him over most other defensive Pokemon. His CC, engage and sustain for tanking the team is very strong and impactful. Heavy Slam is an amazing early-game engagement skill that will help your team snowball and ensure your late-game damage dealers get a comfortable start. Block is simply one of the most broken moves in his kit and, honestly, the entire game. The skill is also an effective counter to annoying Pokemon like Gengar since it allows Snorlax to absorb all the bursts for his team. Snorlax is also very beginner-friendly in that the Pokemon is not that difficult to use and master. As a plus, he is not changed (buffed or nerfed) in the latest patch, which means he should theoretically still be one of the strongest picks in the meta.

Lucario

source: Pokemon Unite

Lucario is currently the most stable pick in Pokemon Unite since he can pretty much fit into any lane without losing matchups. Lucario’s early game damage is massive, and early-game characters like him should theoretically fall off as the game progresses. However, this is not the case for Lucario since his natural raw damage and agility also make him more than decent in the late game.

The skill that makes supplies Lucario’s damage is Power-Up Punch. The skill is also perfect for contesting (securing or stealing) objectives like Drednaw since the skill deals increased damage with more missing HP of the target opponent. Needless to say, when there is Lucario in your lineup, the enemy team is already at a slight disadvantage when trying to fight for an objective. The only downside of Lucario is that he has a higher skill ceiling than most other picks, so playing him optimally will require a bit of practice. On the flip side, this makes Lucario a fitting character for one-tricking since he can solo-carry and rewards players with a high mastery.

Machamp

source: Pokemon Unite

Machamp is almost replaceable and similar to Lucario in that you can easily snowball and solo carry games by outputting a lot of damage. Machamp is probably a lot weaker than Lucario in the early stages of the game before he gets Submission, which is why he is often placed in the bottom lane with a support like Eldegoss to babysit him in the early game. But once Machamp gets Submission he is a completely different beast. The skill allows you and your team to essentially delete an enemy Pokemon, and thus you can easily pick off high-priority heroes before a teamfight starts and turn it into a favorable 5v4.

Machamp’s kits are also difficult to avoid and escape. If he has a target enemy, he can most definitely reach it and eliminate it. Do you feel that the enemy Cinderace is obliterating your entire team? Well, Machamp can end your team’s misery with a press of a button. And despite having all these powerful single-target traits, his unite move, Barrage Blow, has the capability to turn around a teamfight by dealing a ton of AOE damage. His kit is just incredibly strong, overall solid, and uncounterable, so you should consider picking him up, especially if you want to one-trick a Pokemon and solo carry your games.

Gengar

source: Pokemon Unite

For those of you who played Pokemon Unite, you know why he is on the list. Gengar is infamous for being one of the most broken and annoying picks in the game as he has the ability to snowball and solo carry games, especially in lower elos. The problem with Gengar is that enemies have to play properly to counter him: be aggresive before he is level 9 since it is when unlocks the troublesome Hex + Sludge combo. Therefore, you will have to capitalize on Gengar before he reaches level 9 by applying some aggression early on. However, Gengar might be less effective in higher elos since players can capitalize on his weakness. Despite this, he is still an incredibly strong pick in all levels of play due to his solid skillsets. Note that Gengar did receive some nerfs in the new patch, specifically on his Hex move, but we can’t say for sure how much weaker he is now after this change.

Cinderace

source: Pokemon Unite

Cinderace is a very stable pickup and can be played in almost any lane. Currently, there is also no better attacker than Cinderace. Having a Cinderace on your team will highly assist in your team’s objective contesting capabilities since he can churn through them very quickly with his high physical attacks. The most popular build that makes Cinderance OP is Blaze Kick + Feint. Feint is a very elusive and sustain skill that allows you to stay longer in fights and deal much more damage. Of course, this skill counters Gengar’s annoying hex + sludge bomb combo, so consider picking this hero if you constantly find a Gengar mowing down your games. Combine this skill with the blaze kick and you have yourself a criting, high-damaging, and hard-to-kill character that will eliminate you in seconds. Cinderace is also a relatively simple and intuitive Pokemon to play and the skill ceiling is not that terribly high.

Alolan Ninetales

source: Pokemon Unite

With regards to the special attacker role, Ninetales is probably the best of the bunch. Aurora veil is the primary reason why many players in the higher ranks pick Ninetales in 90% of all team compositions. Aurora Veil does everything from decreasing incoming damage, increasing outgoing attacks, boosting the movements speed of your entire team with just a press of a button. Simply put, the skill will help you to win a majority of your teamfights in all stages of the game. The skill also counters virtually all melee and movement-dependent Pokemon that need to get up in your face to deal damage. Although Ninetales might not be able to dish out damage like a Cinderace, her kit and utility make up more than enough of her weaknesses. Ninetales is also not that difficult to learn and make an impact on your games.

Eldegoss

source: Pokemon Unite

Last but certainly not least, we have Eldegoss. In higher tier games, Eldegoss has a close to 100% pick rate and is considered mandatory in all compositions. The shield, buffs, and sustain that this support provides makes will tip the balance of any teamfight in your team’s favor. If Eldegoss is not picked off early on a fight and can stay alive to spam his skills, his team will virtually be unkillable. A highly skilled Eldegoss will make a 5v5 fight feel like it’s a 5v6 or even a 5v7. You can go for a full damage or attacking composition and, chances are, will not still be able to penetrate through the sustain of Eldegoss. Despite all these powerful traits, Eldegoss is still rarely picked in low to mid-tier games since people who are not that experienced in Pokemon Unite or MOBAs, in general, might not understand why Eldegoss is so broken.

If you want to grasp the sheer OP-ness of Eldegoss, you need to look at the perspective of other similar support healing characters in other MOBAs. Healers or supports in MOBAs are usually limited by their mana. Sona from League of Legends, for instance, can provide her team with heals, MS buffs and attack damage boosts with her supportive kits, similar to that of Eldegoss. However, once her mana is used up, she becomes virtually useless. This mechanic explicitly exists so that Sona wouldn’t be walking base that heals your team endlessly. But in Pokemon Unite, there is no mana system. Eldegoss, by the definition of other MOBAs, is literally a walking base that infinitely heals your team. Lastly, there is currently no way to counter Eldegoss’ kits. And the only way you can combat an Eldegoss is with your own Eldegoss, hence why it is always virtually picked in higher ranks.

Eldegoss did receive some heavy nerfs in the latest patch so that he can’t provide as much heal and shields to his team. However, he technically can still output unlimited heals in the long run, so it will be interesting to see if people will still run him just for this ability.

Featured Image: Nintendo Enthusiast

Studi Komparasi antara Olimpiade dan Kompetisi Esports: Mana yang Lebih Menguntungkan?

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.

Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esports events memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.

Persiapan Olimpiade

Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.

Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.

Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.

Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.

Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.

Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.

Persiapan Esports Events

Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.

Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.

Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.

“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”

“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.

Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.

“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”

Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:

1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan

“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.

LAN Events. | Sumber: ESL Gaming

Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.

“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”

Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.

“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.

“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.

LOL Worlds 2020 digelar di Shanghai. | Sumber: LOL Esports

Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.

Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.

“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”

Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.

“Dari pengalaman gue handle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”

Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.

Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.

“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.

Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports

Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.

Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.

Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.

Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:

Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%

Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.

CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.

Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah  peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.

Jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari TI dan LOL Worlds. | Sumber: Esports Charts

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.

Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.

Viewership LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Charts
Viewership dari The International 2019. | Sumber: Esports Charts

Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.

Money, Money, Money~

Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.

Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.

Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.

Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.

Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.

Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.

Pemasukan Olimpiade dari lisensi. | Sumber: Statista

Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.

Pemasukan Olimpiade dari marketing. | Sumber: Statista

Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.

Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.

Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.

Desa atlet di Turin. | Sumber: Olympics

Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.

Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.

“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”

Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah.  Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.


Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?

Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.

Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports,  sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”

Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”

BOOM Esports ketika menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.

“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”

Kesimpulan

Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.

Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.

Turnamen Esports Terpopuler Pada Juli 2021

Pada bulan Juli 2021, ada berbagai kompetisi esports yang digelar. Mulai dari turnamen yang hanya diselenggarakan selama beberapa hari sampai liga yang berlangsung selama beberapa bulan. Karena itu, daftar turnamen esports terpopuler untuk Juli 2021 pun berisi kompetisi bermacam-macam game, termasuk PUBG Mobile, Counter-Strike: Global Offensive, League of Legends, Free Fire, dan Arena of Valor. Berikut lima turnamen esports terpopuler pada Juli 2021 menurut data dari Esports Charts.

5. Arena of Valor World Cup 2021

Arena of Valor World Cup 2021 dimulai pada 19 Juli 2021 dan berakhir pada 18 Juli 2021. Pada puncaknya, jumlah penonton dari turnamen ini mencapai 550 ribu orang, yaitu ketika MAD Team bertemu dengan Team Flash pada 21 Juni 2021. Sementara pada bulan Juli, grand final yang mempertemukan Talon Esports dengan The Most Outstanding Players (MOP) menjadi pertandingan paling populer. Ketika itu, jumlah peak viewers mencapai 521 ribu orang.

Secara keseluruhan AOV World Cup 2021 disiarkan selama 123 jam dan mendapatkan 18,9 juta jam hours watched. Sementara jumlah penonton rata-rata dari turnamen ini mencapai 154 ribu orang. Di YouTube, turnamen tersebut berhasil mendapatkan 67,7 juta views dan 477,7 ribu likes.

Lima tim dan pertandingan terpopuler selama AOV World Cup 2021. | Sumber: Esports Charts

AOV World Cup 2021 disiarkan dalam beberapa bahasa, yaitu Indonesia, Inggris, Spanyol, Mandarin, Thailand, dan Vietnam. Siaran dalam bahasa Vietnam menjadi yang terpopuler pada Juni, dengan peak viewers mencapai 412,8 ribu orang. Sementara di bulan Juli, siaran dengan bahasa Thailand justru menjadi siaran terpopuler, dengan jumlah peak viewers mencapai 219,8 ribu orang. Hal ini tidak aneh, mengingat Talon — yang keluar sebagai juara — berisi pemain asal Thailand.

Meskipun begitu, dari segi hours watched, tim yang paling populer adalah MAD, dengan total hours watched mencapai 5,04 juta jam. Posisi kedua dipegang oleh Saigon Phantom dari Vietnam, yang mendapatkan total hours watched sebanyak 4,66 juta jam. Namun, dari segi peak viewers, Team Flash asal Vietnam yang menjadi tim terpopuler dengan peak viewers sebanyak 247,1 ribu orang. Dan Buriram United Esports (BUE) asal Thailand ada di posisi kedua dengan 191,32 ribu peak viewers.

4. Liga Brasileira de Free Fire 2021 Series A Stage 2

Liga Brasileira de Free Fire (LBFF) 2021 Series A Stage 2 menjadi turnamen esports terpopuler ke-4 pada Juli 2021. Turnamen itu berhasil mendapatkan 11,2 juta jam hours watched dan 168 ribu average viewers. Pada puncaknya, turnamen Free Fire tersebut ditonton oleh sebanyak 598,9 ribu orang. Ronde paling populer dari LBFF 2021 Series A Stage 2 adalah Ronde 3 pada babak final. Empat ronde terpopuler lainnya juga merupakan bagian dari babak final, yaitu Ronde 2, Ronde 4, Ronde 5, dan Ronde 6.

Lima ronde terpopuler dari LBFF 2021 Series A Stage 2. | Sumber: Esports Charts

LBFF 2021 Series A Stage 2 mendapatkan 38,7 juta views di YouTube dan 2,9 juta likes. Mengingat turnamen ini memang dikhususkan untuk kawasan Brasil, tidak heran jika siaran dalam bahasa Portugis menjadi siaran terpopuler. Peak viewers dari siaran berbahasa Portugis mencapai 598,8 ribu orang. Pada akhirnya, LBFF 2021 Series A Stage 2 dimenangkan oleh Keyd, yang membawa pulang US$59 ribu. Sementara posisi ke-2 ditempati oleh Corinthians dan posisi ke-3 diisi oleh Fluxo. Namun, gelar MVP dan Brabo da Galera (pemain terpopuler berdasarkan pemungutan suara fans), jatuh pada Gabriel “Syaz” Vasconcelos dari tim Fluxo.

3. LCK 2021 Summer

League of Legends Champions Korea (LCK) Summer 2021 juga masuk dalam daftar turnamen esports paling populer pada Juni 2021. Ketika itu, liga itu ada di peringkat dua. Namun, pada bulan ini, mereka turun satu peringkat ke peringkat tiga. Pada Juli 2021, peak viewers dari LCK Summer 2021 adalah 559,7 ribu orang. Angka ini lebih rendah dari peak viewers pada Juni 2021, yang mencapai 720,3 ribu orang. Menariknya, pertandingan paling populer pada bulan Juli tetaplah pertandingan antara T1 dan DAMWON Kia, sama seperti pada Juni 2021.

Tim dan pertandingan terpopuler di LCK Summer 2021. | Sumber: Esports Charts

T1 dan DAMWON juga merupakan dua tim terpopuler di LCK Summer 2021. Secara total, T1 mendapatkan 13 juta jam hours watched dan 299,3 ribu peak viewers. Sementara DAMON memiliki 234,2 ribu peak viewers dan 9,43 juta jam hours watched. Menariknya, saat ini, kedua tim itu bukanlah tim terkuat di LCK Summer 2021. Dengan 9 kemenangan dan 6 kekalahan, DAMWON ada di peringkat 4 sementara T1 ada di peringkat 5.

LCK Summer 2021 disiarkan di 11 channels Twitch dan mendapatkan 41,8 juta views serta 144,7 ribu follows. Sementara di YouTube, liga esports tersebut berhasil mendapatkan 13,1 juta views dan 132 ribu likes. LCK Summer 2021 disiarkan dalam delapan bahasa. Tiga bahasa terpopuler adalah Korea, dengan peak viewers sebanyak 405 ribu orang, diikuti oleh Inggris dengan peak viewers sebanyak 163,9 ribu orang, dan Vietnam, dengan peak viewers sebanyak 127,3 ribu orang.

2. IEM Cologne 2021

Dengan total hours watched sebesar 22,1 juta jam, Intel Extrem Masters (IEM) Cologne 2021 berhasil menjadi turnamen esports terpopuler ke-2 pada Juli 2021. Pada puncaknya, ada 843 ribu orang yang menonton turnamen tersebut. Hal ini terjadi pada babak grand final, yang mempertemukan G2 dengan Natus Vincere (NaVi). Kedua tim tersebut juga merupakan dua tim yang paling populer di IEM Cologne 2021, baik dari segi hours watched maupun jumlah penonton rata-rata. Total hours watched dari NaVi mencapai 6,34 juta jam, dengna jumlah penonton rata-rata sebanyak 333,9 ribu orang. Sementara G2 mendapatkan total hours watched sebanyak 5,64 juta jam dan average viewers sebanyak 300,64 ribu orang.

Tim-tim dan pertandingan paling populer selama IEM Cologne 2021. | Sumber: Esports Charts

Di YouTube, IEM Cologne 2021 mendapatkan 1,5 juta views dengan 38 ribu likes. Sementara di Twitch, turnamen yang disiarkan di 21 channels itu berhasil mendapatkan 46,9 juta views dan 436,6 ribu follows. Sepanjang turnamen, jumlah penonton rata-rata dari IEM Cologne 2021 mencapai 235 ribu orang. Sementara total waktu siaran dari turnamen itu mencapai 94 jam.

IEM Cologne 2021 disiarkan dalam beberapa belasan bahasa. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran terpopuler dengan peak viewers sebanyak 351 ribu orang. Sementara itu, bahasa terpopuler kedua adalah Rusia (263 ribu peak viewers), diikuti oleh siaran dalam bahasa Portugis (118,6 ribu peak viewers).

1. PUBG Mobile World Invitational 2021

PUBG Mobile World Invitational 2021 berhasil menjadi turnamen esports paling populer pada Juli 2021 dengan total hours watched sebanyak 13,5 juta jam. Pada puncaknya, kompetisi itu ditonton oleh 1 juta orang. Sementara jumlah penonton rata-rata sepanjang turnamen mencapai 399,5 ribu orang. Ronde 2 pada hari pertama menjadi ronde paling populer. Saat itu, jumlah peak viewers mencapai 1.04 juta orang.

Siaran dari PUBG Mobile World Invitational 2021 ditayangkan dalam lebih dari 20 bahasa. Siaran dalam bahasa Indonesia menjadi siaran terpopuler. Pada puncaknya, ada 564,8 ribu orang yang menonton siaran berbahasa Indonesia. Bahasa Inggris menjadi bahasa terpopuler ke-2, dengan peak viewers sebanyak 399,6 ribu orang dan bahasa Malaysia ada di posisi ke-3 dengan peak viewers sebanyak 81,9 ribu orang.

Lima ronde paling ramai dari PUBG Mobile World Invitational 2021. | Sumber: Esports Charts

PUBG Mobile World Invitational 2021 disiarkan di 29 channels Twitch dan mendapatkan 3,7 juta views serta 8,7 ribu follows. Sementara di YouTube, kompetisi yang disiarkan selama 34 jam itu berhasil mendapatkan 17,1 juta views dan 569,1 ribu views. Selain Twitch dan YouTube, kompetisi PUBG Mobile ini juga disiarkan di Nimo TV, Facebook, TikTok, Trovo, serta VK Live. Dari semua platform tersebut, Nimo TV menjadi platform paling populer dengan peak viewers sebanyak 649,2 ribu orang. YouTube ada di posisi kedua dengan peak viewers sebanyak 286,9 ribu orang, diikuti oleh Facebook dengan peak viewers sebanyak 133,3 ribu orang.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Tren Toko Game Digital Turunkan Potongan untuk Developer

Saat ini, Steam masih menjadi platform distribusi game PC paling dominan. Meskipun begitu, kebanyakan developer game merasa, potongan yang Steam dapatkan dari para developer — sebesar 30% dari total pemasukan sebuah game — terlalu besar. Hal ini diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh Game Developers Conference (GDC) pada lebih dari tiga ribu pelaku industri game.

Dari survei GDC tersebut, diketahui bahwa hanya 3% responden yang menganggap, Steam dan GOG pantas untuk mendapatkan potongan sebesar 30% dari total pemasukan game. Sebanyak 3% responden lainnya mengatakan, potongan tersebut sudah sangat adil. Namun, sebagian besar responden merasa, platform distribusi digital seperti Steam seharusnya menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer. Sebanyak 43% responden menganggap, platform distribusi seharusnya hanya mengenakan potongan sebesar 10-15%.

Survei yang GDC lakukan merupakan survei tahunan. Pada 2020, survei GDC juga memuat pertanyaan tentang potongan yang dikenakan oleh platform distribusi digital game. Tahun lalu, hanya 7% responden yang merasa bahwa Steam pantas untuk mendapatkan potongan sebesar 30% dari total pemasukan game. Sementara pada 2019, GDC secara gamblang menanyakan pada para responden apakah Steam pantas untuk mengambil potongan sebesar 30% dari para developer game. Saat itu, sebanyak 32% responden menjawab “tidak”, sementara 27% lainnya menjawab “sepertinya tidak”.

Selama bertahun-tahun, potongan 30% yang didapatkan oleh platform distribusi digital game dianggap sebagai standar industri. Namun, beberapa tahun terakhir, muncul diskusi yang membahas tentang apakah platform distribusi game memang pantas untuk menetapkan potongan sebesar 30%. Peluncuran Epic Games Store pada akhir 2018 menjadi pemicu diskusi tersebut. Pasalnya, Epic berani menawarkan potongan yang jauh lebih kecil, hanya 12%.

Strategi Epic Games

Sebenarnya, platform distribusi digital game tidak menetapkan potongan sebesar 30% secara asal. Angka ini didasarkan pada potongan yang diambil oleh penjual retail di era CD, DVD, dan game disc. Ketika itu, penjual retail akan mengambil potongan sebesar 30% dari total penjualan game yang dijual di toko mereka. Walau dapat potongan, para penjual retail tidak bertanggung jawab atas biaya pengiriman dan produksi dari CD/DVD game yang hendak dijual. Berdasarkan laporan IGN pada 2019, toko retail — seperti Amazon, Gamestop, Best Buy dan Walmart — juga masih mengenakan potongan biaya 30% pada developer game.

Besar potongan yang diambil oleh penjual retail. | Sumber: IGN

Berbeda dengan toko fisik, platform digital tidak memerlukan biaya untuk membangun atau menyewa ruangan. Lalu, kenapa developer tetap dikenakan potongan? Alasannya, karena platform distribusi digital tetap membutuhkan biaya untuk membangun dan mempertahankan infrastruktur yang mereka miliki serta mengurus manajemen copy rights digital. Meskipun begitu, seperti yang dibuktikan oleh survei GDC, sebagian developer tetap merasa bahwa potongan sebesar 30% yang dikenakan oleh platform distribusi digital terlalu mahal.

Diskusi tentang potongan yang dikenakan oleh platform distribusi digital pada developer game dimulai ketika Epic Games meluncurkan platform distribusi mereka sendiri, yaitu Epic Games Store (EGS). Ketika itu, EGS berjanji bahwa mereka hanya akan mengambil 12% dari total pemasukan sebuah game. Meskipun begitu, platform distribusi lain tidak serta-merta mengikuti Epic dan menurunkan potongan yang mereka berikan pada developer game. Faktanya, Microsoft baru menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer pada April 2021.

Walau EGS menawarkan potongan yang lebih kecil untuk developer, tak bisa dipungkiri, Steam tetap lebih populer baik di kalangan gamers maupun developer. Berdasarkan survei GDC, hanya 6% developer yang mendapatkan untung besar dari dari EGS. Sebanyak 78% bahkan mengaku, mereka tidak menjual game mereka di EGS. Sementara itu, sebanyak 47% developer mengatakan bahwa lebih dari setengah pemasukan mereka berasal dari Steam. Dan hanya 40% developer yang memutuskan untuk tidak menjual game mereka via Steam.

Persentase potongan yang dikenakan oleh EGS. | Sumber: EGS

Selain masalah popularitas, EGS juga masih kalah dari Steam dari segi fitur, apalagi soal konten dari komunitas. Jumlah game yang tersedia di EGS juga jauh lebih sedikit. Alasannya, Epic masih menyaring game apa saja yang boleh masuk ke EGS. Sementara di Steam, semua developer bisa memasukkan game mereka di platform tersebut selama mereka bersedia membayar biaya sebesar US$100. Menurut PC Gamer, Epic berencana untuk membuka akses ke EGS ke lebih banyak developer pada akhir tahun ini. Mereka juga terus menambah fitur baru ke EGS agar tidak kalah dari Steam.

Untuk bersaing dengan Steam, salah satu strategi yang Epic gunakan adalah dengan menyediakan game eksklusif di EGS. Untuk itu, mereka telah menghabiskan ratusan juta dollar. Hanya saja, strategi ini membuat banyak gamers PC berang. Saat ini, EGS juga masih belum bisa mendapatkan untung. Namun, Epic percaya, di masa depan, EGS akan menghasilkan untung walau mereka hanya mengambil potongan sebesar 12% dari para developer game. Jika Epic bisa merealisasikan visi mereka tersebut, tak tertutup kemungkinan, akan ada lebih banyak developer yang tertarik untuk merilis game mereka di EGS.

Microsoft Juga Turunkan Potongan untuk Developer Game PC

Pada April 2021, Microsoft memutuskan untuk mengikuti jejak Epic Games dan menurunkan besar potongan yang mereka kenakan untuk developer game,dari 30% menjadi 12%. Ketentuan baru ini akan berlaku per 1 Agustus 2021. Seperti yang disebutkan oleh Polygon, keputusan Microsoft ini akan menguntungkan developer. Namun, alasan Microsoft melakukan hal ini tidak sepenuhnya altruistik. Dengan menurunkan potongan yang dikenakan pada developer, Microsoft berharap, akan ada semakin banyak developer yang tertarik untuk merilis game mereka di platform milik Microsoft.

“Developers game punya peran penting dalam usaha kami untuk menyediakan game-game hebat pada para gamers kami, dan kami ingin para developer bisa meraih sukses di platform kami,” kata Matt Booty, Head of Xbox Game Studios, Microsoft, seperti dikutip dari The Verge. “Sistem bagi hasil yang jelas berarti para developers akan bisa membuat lebih banyak game berkualitas untuk para gamers dan bisa menjadi lebih sukses.”

Microsoft berharap akan ada semakin banyak developer yang mau merilis game di Windows Store. | Sumber: The Verge

Sayangnya, Microsoft hanya menurunkan persentase potongan untuk developer game PC. Jadi, developer game Xbox akan tetap dikenakan potongan sebesar 30%. Microsoft tidak menjelaskan mengapa mereka melakukan hal tersebut. Kemungkinan, alasan mengapa mereka membedakan besar potongan yang dikenakan pada para developer game PC dan Xbox adalah karena model bisnis gaming Xbox yang memang berbeda dari PC.

Selain untuk menarik lebih banyak developer, keputusan Microsoft untuk mengikuti jejak Epic juga akan menjadi pendorong bagi Steam untuk melakukan hal yang sama. Memang, pada November 2018, Steam mengubah kebijakan mereka tentang potongan yang mereka kenakan pada developer. Namun, mereka masih mengenakan potongan sebesar 30%. Persentase potongan di Steam akan turun menjadi 25% ketika pemasukan sebuah game mencapai US$10 juta. Setelah itu, jika sebuah game mendapatkan pemasukan lebih dari US$50 juta, maka potongan yang Steam kenakan akan kembali turun, menjadi 20%.

Berapa Besar Potongan yang Dikenakan Pada Developer Mobile?

Pada awalnya, platform distribusi aplikasi mobile, seperti App Store dan Play Store, juga mengenakan potongan sebesar 30% pada developer aplikasi. Namun, belakangan, besar potongan yang dikenakan pada developer telah turun. Pada November 2020, Apple mengumumkan program bernama App Store Small Business. Program tersebut bertujuan untuk membantu developer kecil.

Program App Store Small Business berlaku per 1 Januari 2021. Untuk ikut serta dalam program ini, para developer harus mendaftarkan diri. Melalui program itu, developer yang pemasukan tahunannya tidak mencapai US$1 juta per tahun hanya perlu membayar potongan sebesar 15%. Namun, ketika pemasukan sebuah developer menembus US$1 juta, mereka akan dikeluarkan dari program ini dan harus membayar potongan sebesar 30%, seperti yang disebutkan oleh The Verge.

Apple mulai menurunkan potongan yang dikenakan pada developer aplikasi kecil.

Sementara itu, Google mengumumkan bahwa mereka akan mengurangi besar potongan yang mereka kenakan pada developer pada Maret 2021. Sama seperti Apple, Google hanya akan mengenakan potongan sebesar 15% pada developers yang pemasukannya kurang dari US$1 juta. Begitu pemasukan sebuah developer menembus batas US$1 juta, maka mereka harus membayar potongan sebesar 30%.

Menurut laporan VentureBeat, alasan Google dan Apple menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer aplikasi tidak hanya karena tren serupa terjadi di industri game PC. Alasan lain Apple dan Google melakukan hal itu adalah karena adanya ancaman dari pihak ketiga, yaitu Huawei. Tahun lalu, Huawei menawarkan developer bahwa mereka hanya akan mengambil potongan sebesar 0-15%. Hal ini bisa membahayakan keberadaan App Store dan Play Store karena saat ini, Huawei punya lebih dari 530 juta pengguna aktif. Dan setiap tahunnya, ada 384 miliar aplikasi yang dipasang di perangkat buatan Huawei.

Sumber header: VentureBeat

10 Game Kartu Paling Asyik Pengganti Hearthstone

Digital card game adalah game kartu yang dimainkan secara online alias versi digital dari TCG (Trading Card Game) yang menggunakan kartu fisik. Biasanya digital card game lebih dikenal dengan sebutan Collectible Card Game (CCG). CCG berfokus pada konsep deckbuilding dan mengoleksi kartu. CCG terpopuler saat ini adalah Hearthstone yang telah hadir sejak tahun 2014.

Hearthstone bisa dikatakan sebagai salah satu yang memopulerkan genre digital card game ke kalangan yang lebih luas. Melihat kesuksesan Hearthstone, banyak perusahaan yang saat ini mulai menggali potensi  dari CCG. Riot hadir meramaikan persaingan CCG dengan Legends of Runeterra, Wizard of the Coast membawa versi Trading Card Game Magic the Gathering ke media digital melalui Magic: the Gathering Arena, sedangkan Konami akan mengadaptasi versi Yu-Gi-Oh! TCG menjadi CCG.

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas beberapa digital card game yang dapat menjadi alternatif dari Hearthstone. Ikuti ulasan berikut ini.

Pokémon TCG Online

Image Credit: Pokemon TCG Online

Pokemon TCG Online dirilis jauh sebelum Hearthstone diperkenalkan ke publik. Awalnya PTCGO merupakan web browser game yang dirilis pada tahun 2011 oleh Dire Wolf Digital. Pokemon TCG Online akhirnya dikembangkan lebih lanjut untuk dirilis di PC, Android, dan iOS.

PTCGO mengadaptasi langsung versi Pokemon TCG. Memiliki aturan bermain dan format yang sama membuat pemain TCG Pokemon tidak kesulitan beradaptasi dengan game ini. Untuk pemain pemula PTCGO memberikan tutorial lengkap dan mudah dipahami agar pemain dapat langsung bermain. Anda bisa mengunduh PTCGO di sini.

Gwent: The Witcher Card Game

Image Credit: Gwent: The Witcher Card Game

Gwent merupakan card game di bawah franchise The Witcher. Game ini dikembangkan oleh CD Projekt Red pada tahun 2018 yang lalu. Keunikan dari Gwent adalah sistem permainan yang ditawarkan. Setiap match menggunakan format best-of-3 (BO3) dan kemenangan setiap ronde ditentukan dengan poin tertinggi yang didapatkan oleh pemain. Apabila Anda tertarik dengan game kartu yang menawarkan permainan strategi yang mendalam, Gwent menjadi pilihan yang tepat. Unduh Gwent di sini.

Shadowverse

Image Credit: Shadowverse

Shadowverse adalah game kartu asal Jepang yang dikembangkan oleh Cygames di tahun 2016. Shadowverse seringkali dibandingkan dengan Hearthstone karena memiliki gameplay yang hampir sama tetapi Shadowverse berhasil membangun reputasinya dengan menawarkan mekanik evolution pada kartu.

Bagi Anda pencinta game kartu bertemakan anime, Shadowverse cocok untuk menemani Anda. Shadowverse saat ini tersedia di mobile dan PC.

Yu-Gi-Oh! Duel Links

Image Credit: Duel Links

Duel Links merupakan game unggulan dari Yu-Gi-Oh! yang telah dirilis sejak tahun 2016. Duel Links memiliki banyak perbedaan dengan versi Yu-Gi-Oh! TCG. Duel Links menerapkan format “speed duels” dengan beberapa modifikasi dari Yu-Gi-Oh! TCG. Hal yang paling jelas terlihat adalah pengurangan zona kartu di board dan life points pemain. Tema ekspansi Duel Links diluncurkan tahunan mengikuti era anime Yu-Gi-Oh! Tema terbaru saat ini adalah Yu-Gi-Oh! Arc-V yang mengenalkan mekanik Pendulum Summon.

Duel Links menjadi pilihan alternatif bagi Anda pencinta game Yu-Gi-Oh! atau Anda yang baru ingin mendalami Yu-Gi-Oh!. Versi PC Duel Links dapat Anda unduh di sini.

Eternal

Image Credit: Eternal

Eternal merupakan card game besutan Dire Wolf Digital yang juga mengembangkan Pokemon TCG Online. Eternal pertama sekali dirilis di tahun 2016 untuk iOS dan Android lalu tersedia di PC, Xbox One, dan Nintendo Switch di tahun-tahun berikutnya. Eternal menawarkan permainan kompleks layaknya Magic the Gathering dengan konsep free-to-play Hearthstone. Fitur terbaik di Eternal adalah Draft Mode karena Anda boleh menyimpan kartu draft ke dalam koleksi.

TEPPEN

Image Credit: TEPPEN

Teppen adalah digital card game yang dikembangkan oleh GungHo Online Entertainment dan Capcom. Teppen menghadirkan karakter dari berbagai franchise game Capcom seperti Mega Man X, Street Fighter, Resident Evil, dan lainnya. Teppen menghadirkan game kartu dengan penuh aksi dan grafis memukau ala Capcom. Teppen menjadi alternatif bagi Anda pecinta game kartu dengan kombinasi aksi ala Capcom.

Magic: The Gathering Arena

Image Credit: MTG Arena

Bagi pencinta game kartu, Magic: the Gathering pasti tidak asing lagi. Magic: the Gathering adalah game kartu tertua dan terbaik di dunia. Belum ada game kartu yang dapat mengalahkan kompleksitas dari MTG. Magic the Gathering merupakan inspirasi dari game kartu masa kini baik fisik maupun digital. Hearthstone salah satu game kartu yang terinspirasi dari mekanik MTG.

Wizard of the Coast merilis Magic the Gathering: Arena sebagai sarana untuk pemain MTG bermain secara online serta untuk menjaring pemain baru. Tahun ini kabarnya MTG: Arena akan dirilis untuk mobile.

Legends of Runeterra

Image Credit: Legends of Runeterra

Sejak tahun lalu Riot mengembangkan produksi gamenya ke beberapa genre. Salah satunya adalah Legends of Runeterra di genre CCG. Legends of Runeterra hadir untuk mengembangkan lore dari League of Legends melalui pengenalan karakter dari berbagai region Runeterra.

Legends of Runeterra membawa konsep free-to-play ke jenjang yang lebih tinggi. Pemain akan diberikan kemudahan mengumpulkan koleksi kartu tanpa harus mengeluarkan uang. Kemurahan yang ditawarkan oleh Legends of Runeterra menjadi salah satu daya saing utama untuk card game yang masing mengandalkan penjualan card pack atau bundle seperti Hearthstone.

Simak review kami di sini.

Kards

Image Credit: Kards

Kards merupakan pendatang baru di dunia digital card game. Kards dikembangkan oleh 1939 Games dan dirilis global di tahun 2020. Kards mengambil tema yang jauh berbeda dari game kartu lainnya yang biasa berpusar pada kisah fantasi. Kards mengambil tema yang terinspirasi dari perang dunia kedua (WW2)

Kards memberikan pemain pilihan untuk menggunakan negara-negara adidaya di perang dunia kedua seperti: Jerman, Britania Raya, Uni Soviet, Amerika, Jepang, Prancis, dan Italia. Kards menjadi salah satu pilihan game kartu dengan tema baru. Anda bisa mengunduh Kards di sini. Kabarnya Kards akan tersedia dalam versi mobile di tahun 2021.

Mythgard

Image Credit: Mythgard

Mythgard adalah game kartu bertemakan fantasy cyberpunk yang dikembangkan oleh Rhino Games. Mythgard menawarkan sistem mana-burn, kartu di board dapat dihancurkan menjadi mana untuk memainkan kartu lainnya. Keunikan lainnya dari Mythgard adalah mode permainan 2v2 yang masih dinantikan oleh pemain Hearthstone.


Demikian pembahasan 10 game alternatif dari Hearthstone. Konami dikabarkan akan merilis game Yu-Gi-Oh! TCG secara digital dengan judul Master Duel. Game ini diprediksi akan menjadi pesaing baru di dunia CCG.

Perubahan Kebiasaan Menonton Masyarakat: Jumlah Penonton Olimpiade di TV Turun dan di Aplikasi Naik

Ketika disiarkan di NBC Universal, upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,7 juta orang. Dengan ini, jumlah penonton upacara pembukaan Olimpiade Tokyo menjadi yang paling kecil dalam 33 tahun terakhir. Sebagai perbandingan, jumlah penonton Olimpiade Rio De Janeiro 2016 mencapai 26,5 juta dan Olimpiade London 2012 mencapai 40,7 juta. Hal itu berarti, jumlah penonton Olimpiade Tokyo menurun 37% jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio dan turun 59% dari jumlah penonton Olimpiade London.

Kabar baiknya, NBC tidak hanya menayangkan acara pembukaan Olimpiade Tokyo di channel televisi mereka, tapi juga di platform mereka yang lain, seperti NBCOlympics.com dan aplikasi NBC Sports. Menariknya, walau jumlah penonton TV turun, jumlah penonton streaming di platform lain justru naik, seperti yang disebutkan oleh Kontan. Jumlah penonton Olimpiade Tokyo di platform streaming NBC naik 76% dari jumlah penonton Olimpiade PyeongChang 2018 dan naik 72% dari jumlah penonton Olimpiade Rio.

Naiknya Jumlah Downloads Aplikasi Olimpiade Tokyo 

Setelah ditunda karena pandemi, Olimpiade Tokyo akhirnya dimulai pada 23 Juli 2021. Meskipun begitu, larangan untuk berkerumun masih berlaku. Alhasil, tidak banyak orang yang bisa menonton pertandingan Olimpiade secara langsung. Hal ini berujung pada meningkatnya jumlah download aplikasi terkait Olimpiade, seperti IOC Olympics dan Peacock. Dalam waktu dua bulan menjelang Olimpiade Tokyo, jumlah downloads dari aplikasi IOC Olympics menunjukkan tren naik. Pada puncaknya, di 25 Juli 2021, aplikasi itu diunduh sebanyak 325 ribu kali dalam sehari.

Besar pertumbuhan jumlah download aplikasi Olimpiade selama 23-25 Juli 2021. | Sumber: App Annie

Menurut data dari App Annie, Tiongkok menjadi negara dengan pertumbuhan jumlah downloads paling besar. Peak downloads dari aplikasi terkait Olimpiade  terjadi pada 23-25 Juli 2021. Ketika itu, total downloads aplikasi Olimpiade di Tiongkok naik 2270% jika dibandingkan dengan jumlah downloads rata-rata pada satu minggu sebelumnya. Korea Selatan menjadi negara dengan pertumbuhan downloads aplikasi Olimpiade Tokyo terbesar kedua, mencapai 1750% dan India di posisi ketiga dengan pertumbuhan 940%.

Selain aplikasi terkait Olimpiade, aplikasi streaming pertandingan Olimpiade Tokyo juga mengalami kenaikan. Di Rusia, aplikasi Олимпиада Токио alias Olimpiade Tokyo, dirilis pada 16 Juli 2021. Pada puncaknya, di 23-25 Juli 2021, total downloads dari aplikasi itu naik 1305% jika dibandingkan dengan jumlah downloads rata-rata harian pada satu minggu setelah aplikasi diluncurkan.

Pertumbuhan download aplikasi Olimpiade di masing-masing negara. | Sumber: App Annie

Di Eropa, jumlah downloads dari aplikasi Eurosport naik 1040% sejak upacara pembukaan Olimpiade Tokyo digelar. Sementara di Jepang, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade Tokyo, aplikasi NHKプラス mengalami pertumbuhan jumlah downloads sebesar 510%. Pada 23-25 Juli 2021, aplikasi itu duduk di peringkat 11 dalam daftar aplikasi dengan jumlah downloads terbanyak . Padahal, 3 hari sebelumnya, aplikasi tersebut ada di peringkat 79.

Game Kasual Tingkatkan Jumlah Downloads

Selain tren terkait total downloads aplikasi Olimpiade Tokyo, App Annie juga membahas tentang tren downloads game dan aplikasi streaming di laporan terbaru mereka. Pada 2021, total belanja mobile gamers diperkirakan akan mencapai US$120 miliar. Angka ini lebih besar 1,5 lipat dari total belanja oleh gamers di platform lain.

Tahun lalu, core gamers memberikan kontribusi terbesar dalam hal spending. Dari total belanja mobile gamers, core gamers memberikan kontribusi sebesar 66%. Sementara itu, kasual gamers hanya memberikan kontribusi sebesar 23% dari total belanja mobile gamers, dan casino gamers sebesar 11%. Jika dibandingkan dengan gamers kasual dan pemain game kasino, core gamers juga menghabiskan waktu paling banyak untuk bermain game. Namun, dari segi jumlah downloads, gamers kasual menjadi kontributor terbesar. Dari total downloads pada 2020, sebanyak 78% berasal dari gamers kasual, 20% dari core gamers, dan 2% dari casino gamers.

Dalam laporannya, App Annie membagi mobile game ke dalam 112 subgenre. Dari semua subgenre ittu, subgenre kasual, simulasi, dan sandbox mendapatkan market share paling besar pada 2020. Secara total, pangsa pasar dari ketiga subgenre itu hampir mencapai 7%, naik 1,9% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, kasual, arcade, dan other arcade jadi subgenre dengan pertumbuhan waktu main paling besar. Pada 2020, total hours spent dari ketiga subgenre tersebut mencapai 4,5 miliar jam, naik 300% dari tahun 2019.

Pertumbuhan total hours spent dari masing-masing subgenre pada 2020. | Sumber: App Annie

Pada 2020, salah satu hal yang mendorong para mobile gamers untuk berbelanja dalam game adalah keberadaan events. Secara global, total pemasukan dari events yang didapat oleh industri mobile game mencapai US$53 miliar. Fitur lain yang membuat gamers terdorong untuk menghabiskan uang dalam game adalah fitur kustomisasi dan leaderboards. Total spending berkat fitur kustomisasi mencapai US$47,1 miliar dan total belanja dari fitur leaderboards mencapai US$46,8 miliar.

Fitur events, leaderboards, dan kustomisasi sangat populer di kalangan mobile gamers Amerika Utara dan Eropa. Meskipun begitu, fitur-fitur tersebut justru tidak terlalu populer di kalangan mobile gamers di Asia Pasifik. Misalnya, di Tiongkok, dua fitur yang mendorong jumlah belanja para gamers adalah fitur chat serta klan dan guild. Di Jepang, daily & logins menjadi salah satu fitur dalam game yang bisa mendorong para pemain untuk menghabiskan uang. Dan di Korea Selatan, competitive multiplayer menjadi fitur yang meningkatkan total belanja para gamers.

Kebiasaan Menonton Aplikasi Streaming Video

Selama pandemi, banyak orang yang menjadi lebih sering bermain mobile game. Selain bermain game itu, mereka juga menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk menonton konten di platform streaming. Buktinya, pada 2020, total jam yang dihabiskan orang-orang untuk menonton konten streaming naik 40%.

Di Asia Pasifik, negara yang menghabiskan paling banyak waktu untuk menonton konten streaming adalah Tiongkok, diikuti dengan India dan Indonesia di posisi ketiga. Pada Q4 2020, total jam yang dihabiskan masyarakat Tiongkok untuk menonton aplikasi streaming mencapai 90,82 miliar jam. Sementara di India, total hours spent menonton konten streaming mencapai 47,21 miliar jam, dan di Indonesia 8,33 miliar jam. Secara global, total waktu yang dihabiskan untuk menonton konten streaming adalah 239,1 miliar jam.

Jumlah rata-rata waktu yang dihabiskan untuk menonton aplikasi streaming di Indonesia. | Sumber: App Annie

Dengan Tiongkok sebagai pengecualian, YouTube menjadi aplikasi streaming paling populer di semua negara yang App Annie survei. Selain YouTube, Twitch juga cukup populer. Hal ini menunjukkan, konten esports dan livestreaming kini semakin digemari.

Pada 2020, durasi menonton rata-rata dari pengguna YouTube Indonesia mencapai 25,9 jam setiap bulan, naik dari 21,8 jam per bulan pada 2019. Selain itu, lama waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk menonton konten di YouTube Go juga mengalami kenaikan: dari 12,7 jam per bulan pada 2019 menjadi 15,5 jam per bulan pada 2020. Selain YouTube dan YouTube Go, tiga aplikasi streaming video lain yang populer di Indonesia adalah MX Player, Netflix, dan Viu.

7 Infamous Myths Surrounding Gaming and Esports

There are definitely a lot of myths surrounding the gaming community and the activity as a whole, most of them being widely inaccurate and misleading. Unfortunately, many gamers often also fall victim to these assumptions, which is why I think it is important to air out and debunk all of these gaming or esports myths.

1. There Are Only a Few Female Gamers

One of the well-known myths surrounding the gaming community is that most females do not play video games. Indeed, the majority of the gamer population are males. The truth is, however, female gamers are not really that rare after all. According to data from Niko Partners, the number of female gamers in Asia in 2017 reached 346 million, comprising 32% of the total gamer population in the region. Two years later, in 2019, the population of female gamers rose to 500 million, which is now 38% of the gamer population in Asia. Another data from Statista shows that, in 2017, 46% of all gamers are women.

Even more surprisingly, Niko Partners have found that the growth of the female gamer population (14.8%) far exceeds the growth rate of gamers in general (7.8%). The approximate percentage of females in China’s gamer population is 45%. In Indonesia, this figure is marginally larger by 4%. However, the distribution of platforms where female gamers play is considerably skewed. Of the 500 million female gamers in Asia, 483 million (95%) mostly play on mobile, 201 million (40%) play on PC, and only 8.5 million (2%) play on consoles. 

As the number of female gamers increases, their contribution to the gaming industry’s income also rises. In 2019, female gamers contributed 35% to the total gaming industry revenue. This figure has increased to 39% in the next year. 

Proportion of gamers by age and gender. | Source: Statista

Recently, Sony also released a report which documents the details of its console sales. In the report, a significantly higher proportion of female gamers bought the Playstation 4 and 5 compared to the Playstation 1. During the PS1 era, only 18% of gamers who bought the console were females. However, during the PS4/5 era, this figure rose to an astounding 41%.

From the statistics above, we can clearly see that female gamers are not at all a rare species. Despite this fact, it can still be difficult to find and notice a female gamer in many of our games. According to recent research conducted by Reach3 Insights and Lenovo, 59% of female gamers hide their gender when playing online games. A report by GamesIndustry suggests that females do not show their gender to avoid the possibility of harassment. A respondent of the study even admitted that she goes so far as to only playing male characters in MMORPG games to maintain the anonymity of her gender. She explained that she does this to prevent receiving seductive, unwanted, and potentially sexually harassing messages. 

 

2. Gamers Are Anti-Social

Gamers are also often seen by the public as loners who spend most of their time playing games and not caring about the outside world. Contrary to most beliefs, however, the emergence of online games has encouraged gamers to socialize with each other. 

A 2016 study titled Motivations for Play in Online Games suggests three reasons why people play games. One of them is to establish relationships with other players. Given that humans are innately social creatures, it is not really surprising to see that we always try to connect with other people and be part of some like-minded group. Our natural attraction for socializing is the reason why online games — both cooperative and competitive games — are incredibly popular nowadays. In fact, in South Korea and China, playing games are considered a social activity. Before the unfortunate pandemic, Hybrid also held a gamers gathering event called Hybrid Dojo every two weeks. My friends and colleagues also frequently meet up to play PUBG Mobile together. Although some games can be enjoyed alone, most of us gamers do prefer playing games with other people.

In-game chat is one of the many forms of communication in gaming. | Source: Medium

Furthermore, a study in The Journal of Computer-Mediated Communication, released in 2014, found that a majority of online gamers deeply care about the dynamic relationships in gaming and not only focus on the sole gameplay aspect itself.

“Gamers aren’t the antisocial basement-dwellers we see in pop culture stereotypes; they’re highly social people,” said Nick Taylor, lead author of the study The Journal of Computer-Mediated Communication, as quoted from CNET. “This won’t be a surprise to the gaming community, but it’s worth telling everyone else. Loners are the outliers in gaming, not the norm.”

3. You Can Get Addicted and Become Mentally Ill from Playing Games

Today’s society does have the tendency to over glorify and, to a certain extent, romanticize mental illness, especially after the release of the movie The Joker. People in the younger generation frequently self-diagnose themselves with depression, ADHD, or Bipolar Disorder despite not having any expertise in the field of psychology. Unfortunately, this trend also spills over to gaming. 

Countless people claim that they or someone they knew is affected by gaming addiction. Furthermore, the World Health Organization (WHO) also officially recognized gaming disorder as a form of mental illness back in 2019. 

WHO officially declared gaming disorder as a mental illness in 2019. | Source: TechCrunch

WHO also elaborated the characteristics or telltale signs of someone with a gaming disorder. The first characteristic is losing control over gaming habits. In other words, someone who has a gaming disorder will find it difficult to stop playing and limit his/her playing time. The second sign of people affected by the disorder is overly prioritizing gaming over obligatory life activities such as eating, studying, or working.

Someone with a “gaming disorder” will also continue to keep playing despite being cognizant of the harmful effects that the activity has had on their life. For instance, the person will not stop playing games even though their grades have significantly declined. If a person has the three characteristics above, which also persist for 12 months, then the person is officially declared affected by gaming disorder

 

4. Games and Esports Are the Exact Same Thing

Esports is a part of gaming, a really big part, in fact. However, both of them are not the same thing. Some games don’t even have an esports scene. By definition, esports are competitions or tournaments that are based on video games. According to Red Bull, esports exists when the best players of a particular game compete for a prize. Therefore, the primary element of esports is competitiveness. But, of course, not all games are meant to be competitive. Some games highlight the narrative or the story, while other games focus on cooperative features.

Another thing that distinguishes esports from gaming is the player’s goals. In esports, the pros obviously have the sole objective to win every single tournament and title. However, normal players like most of us play games for far more varying reasons. Some of us might play to experience interesting gameplay. There are also those who play for the lore or immersive worldbuilding. Others might also play for the sake of socializing with friends or like-minded individuals. However, one thing is for sure: gaming has the primary purpose of being a medium of entertainment, not competition.

 

5. All Professional Esports Players Have Massive Salaries

The salaries of star players who play in the Premier League are certainly different from the salaries of players that compete in English Football League Two. This same salary disparity also occurs in the esports world. Although there has been an overall increase in esports pros’ salaries, many players are still affected by unequal pay. For one, player’s salaries are usually determined by their skill and capabilities. Esports scenes of different games also offer a widely diverse range of player salaries. Obviously, more popular games with a much more successful esports scene will usually offer more prestigious payments towards pros.

The minimum salary of an Overwatch League (OWL) player is around $50,000 USD per year. On the other hand, the average annual salary of a North American League of Legends (LCS) league player can reach $300 thousand USD. In Indonesia, the salary of Mobile Legends Professional League (MPL) players is only around IDR 7 million. As you can see, the pro salary of different games are incredibly diverse.

The minimum salary for an OWL player is US$50,000. | Source: Upcomer

OWL, LCS, and MPL are esports leagues with support from publishers. These publishers, therefore, determine the salary terms (such as minimum wage) of the pro players. However, not all game publishers support the esports scene of their games and explicitly define the payment terms of players. In this kind of situation, player salaries are even more uncertain. Let’s take the Valorant as an example. According to internal Hybrid.co.id sources, the range of salaries of Valorant players is relatively large. Some players receive salaries above the Jakarta Regional Minimum Wage (UMR), some have salaries around the Jakarta UMR, while other, less fortunate, players are paid below the minimum wage. Pros of unpopular games can even have salaries as low as only hundreds of thousands of rupiah.

6. Pro Players Spend All of Their Time Playing

Esports pros are comparable to conventional sports athletes. Both of them have the sole objective to improve themselves and hone their skills to be able to win. Therefore, most of us expect the esports pros to spend hours and hours every day practicing and playing. The truth is, however, esports pros don’t only use their time for playing games. They also need to engage in other activities such as reviewing VODs, strategies, and even physical exercise.

Liyu “Cody” Sun, a League of Legends player, mentions that adequate sleep, a healthy mindset, and a balanced social life are important aspects to maintain as an esports athlete. According to him, solely focusing on practice or playing is not an effective method to improve as a player.

“I do think that the most, or the best players in our industry are the ones that are able to find the best schedule for themselves, and, you know, be as efficient as they can with their lifestyle — practicing as well as exercising and eating well and having a decent social life,” Sun said in an interview from Intel.

According to Spectatorph, professional esports players usually spend about an hour of physical exercise every day. They will spend another hour on VOD reviews and up to 9 hours of practice, either alone or with the team.

Furthermore, the CEO of RRQ, Andrian Pauline also mentioned that the daily routine of pro players is not only playing or practicing. They also have to frequently review the team’s playstyle and even try to get insights into their opponent’s strategy. AP mentions that the proportion of non-gaming activities depends on the situation and needs of the team. “Sometimes the team may require the players to practice for the whole day. In other times, players can spend 20% or 50% of their time doing other activities,” he said when contacted by Hybrid. These proportions and schedules are often determined by the team coach.

 

7. Esports Fans Are Only Comprised of Males

The majority of esports viewers are, obviously, gamers. Unlike conventional sports, games in esports can be quite difficult to understand. And, of course, most of us will only enjoy esports content if we understand the game that is being broadcasted. Therefore, along with the increasing number of female gamers, it is not surprising to see that the female demography of esports viewers also increases.

According to data from Statista, around 22% of the esports audience around the world are females. The percentage of female esports viewers also differs from country to country. In the US, only 17% of esports fans are females. This figure is much larger in the UK (with 25%), China (with 30%), and South Korea (with 32%).

The percentage of female esports viewers in different countries. | Source: Statista

Data from Interpret shows that the number of female esports viewers in the fourth quarter of 2018 was 30.4%, Two years ago, however, this figure was only around 23.9%. Tia Christianson, Vice President of Interpret for Europe mentioned that this 6.5% increase was a significant milestone. She thinks that this is a step towards the right direction of gender equality in the esports community.

Conclusion

Humans have the tendency to fear new trends and also pretend to always be knowledgeable in many circumstances. As a result, our society has developed countless false assumptions, narratives, and harmful stigmas toward gaming and esports. For instance, in 1988-1992, many are concerned that that table-top RPG (TTRPG) games, such as Dungeons and Dragons, were promoting satanism, pornography, and even murder. Therefore, it is imperative that we always fact-check the ideas that we receive to get an accurate representation of the truth. I hope that this article has cleared up several popular gaming myths and helped you to be a more mindful individual.

Featured Image: South Park. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

54% dari Total Pemasukan Industri Esports Global Datang dari Asia

Asia menjadi rumah bagi banyak pemain profesional. Benua tersebut juga punya jumlah penonton paling banyak dari benua-benua lain. Tak hanya itu, banyak tren esports yang muncul dari Asia seperti mobile esports. Walau mobile esports tak terlalu digemari di Amerika Utara atau Eropa, mobile game berhasil membangun ekosistem esports yang besar di negara-negara Asia, seperti di Indonesia dan Tiongkok. Menurut Niko Partners, industri esports di Asia akan merefleksikan pertumbuhan industri tersebut di masa depan.

Kontribusi Asia di Industri Esports Global

Pada 2020, nilai industri esports diperkirakan hampir mencapai US$1 miliar. Asia memberikan kontribusi sebesar US$543,8 juta atau sekitar 54% dari total pemasukan industri esports tersebut. Menariknya, di tengah pandemi virus corona, pemasukan industri esports di Asia pada tahun lalu tetap naik dari tahun sebelumnya, walau hanya sebesar 4,9%. Memang, pandemi COVID-19 pada tahun lalu punya dampak positif dan negatif pada industri esports secara keseluruhan.

Di satu sisi, kebijakan lockdown yang ditetapkan oleh banyak negara berarti kompetisi esports tidak bisa diselenggarakan secara offline. Dan hal ini membuat pemasukan dari penjualan tiket dan merchandise menurun. Di sisi lain, sepanjang pandemi, jumlah penonton siaran esports meroket. Pasalnya, pandemi membuat banyak kompetisi olahraga tradisional dibatalkan. Alhasil, banyak penggemar olahraga yang beralih menonton kompetisi esports, yang masih bisa diselenggarakan online.

54% dari total pemasukan industri esports berasal dari Asia. | Sumber: Niko Partners

Menurut Niko Partners, jumlah penonton esports di Asia meningkat tajam pada 2020. Tahun lalu, jumlah penonton esports di Asia mencapai 618,4 juta orang, naik 21% dari tahun 2019, yang hanya mencapai 510 juta orang. Seiring dengan bertambahnya jumlah penonton, nilai hak siar dan lisensi kompetisi esports pun naik pada 2020.

Dampak Pandemi di Industri Esports Pada 2020

Pada awal 2020, pandemi memunculkan berbagai tantangan baru bagi pelaku industri esports. Untungnya, dalam waktu beberapa bulan, para pelaku industri esports bisa menyesuaikan diri sehingga industri esports bisa kembali pulih, seperti yang disebutkan oleh Lisa Hanson, President of Niko Partners. Di 2020, kebanyakan kompetisi esports memang hanya bisa diadakan secara online. Walau pemasukan dari penjualan tiket dan merchandise turun, nilai hak siar kompetisi esports justru naik. Selain itu, semakin banyak perusahaan yang menjadi sponsor di dunia esports. Alasannya, esports adalah salah satu cabang olahraga yang masih bisa diadakan di tengah pandemi.

Walau kebanyakan kompetisi esports digelar online, pada semester dua 2020, ada beberapa turnamen esports yang sudah diadakan secara offline. Salah satunya adalah League of Legends World Championship, yang diselenggarakan di Shanghai, Tiongkok. Untuk bisa mengadakan LWC secara offline, Riot menggunakan Bubble System, yang berfungsi untuk membatasi interaksi antar peserta, panitia, dan semua kru yang bertugas. Keputusan Riot Games untuk mengadakan LWC 2020 secara offline didukung oleh pemerintah Shanghai.

LPL 2021 telah diadakan secara offline. | Sumber: Sports Pro Media

Sementara itu, pada 2021, TJ Esports — perusahaan joint venture antara Riot Games dan Tencent — juga telah mencoba untuk mengadakan League of Legends Pro League (LPL) secara offline. Mereka sempat harus membatalkan rencana itu pada Q1 2021 dan melakukan refund dari tiket yang telah terjual. Namun, sekarang, LPL telah bisa digelar secara offline karena keadaan di Tiongkok sekarang sudah berangsur kembali normal. Artinya, berbagai events — seperti kompetisi olahraga, konferensi atau acara hiburan — sudah bisa diadakan secara offline.

Industri Esports di Asia Pasca-Pandemi

Tiongkok memang telah mulai pulih dari pandemi virus corona. Sayangnya, tidak begitu dengan negara-negara lain di Asia. Alexander Champlin, Director of Esports Research, Niko Partners menyebutkan, negara-negara lain di Asia membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa pulih dan kembali mengadakan kompetisi esports secara offline.

Dota 2 ONE Esports Singapore Major adalah salah satu kompetisi esports offline terbesar yang diadakan di Asia Tenggara pada 2021. Namun, diselenggarakannya kompetisi tersebut bukan bukti bahwa negara-negara di Asia Tenggara telah pulih dari pandemi virus corona,” kata Champlin pada GamesBeat. Kabar baiknya, para pelaku industri esports telah menyesuaikan diri dengan keadaan selama pandemi. Sekarang, kompetisi esports offline tak lagi menjadi pilar utama bagi industri competitive gaming di Asia.

Dota 2 ONE Esports Major Singapore diadakan secara offline. | Sumber: Win.gg

“Ketika industri esports hanya bisa berkutat di dunia online, kerja sama dengan brand dan kontrak streaming kini menjadi fokus dari pelaku industri esports,” ujar Champlin. “Kolaborasi dengan brand dan streaming merupakan dua faktor yang mendorong pertumbuhan industri esports pada 2020. Kami memperkirakan, bahkan setelah kompetisi esports bisa diadakan secara offline, kolaborasi dengan brands dan kontrak streaming masih akan menjadi pendorong pertumbuhan industri esports.”

Champlin juga menyebutkan, pada 2022, ketika semakin banyak negara yang pulih dari pandemi virus corona, kompetisi esports akan mulai kembali diadakan secara offline. Meskipun begitu, kemungkinan besar, turnamen esports online juga masih akan diselenggarakan. Alasannya sederhana: karena menggelar kompetisi esports secara online punya beberapa keuntungan. Salah satunya adalah biaya yang lebih murah. Selain itu, ketika mengadakan kompetisi online, penyelenggara turnamen juga bisa mengadakan turnamen dalam skala yang lebih besar. Proses pengadaan kompetisi online juga relatif lebih sederhana.

“Jumlah platform turnamen esports online terus bertambah. Selain itu, para sponsor dan pengiklan juga telah menjadi familier dengan turnamen online. Dua hal ini menunjukkan, kembali mengadakan kompetisi esports secara offline tidak sevital yang diperkirakan pada awal 2020,” kata Champlin. Dia menambahkan, beberapa negara mungkin akan memprioritaskan pengadaan kompetisi esports offline. Sementara sebagian yang lainnya tetap merasa tidak keberatan dengan penyelenggaraan kompetisi esports online.

“Kami memperkirakan, industri esports akan mengadopsi model hibrida dan tetap mengadakan kompetisi secara online dan offline. Negara-negara di Asia Tenggara, yang mendapatkan untung dari pariwisata esports, akan lebih cepat dalam kembali beralih ke events offline ketika keadaan sudah memungkinkan,” kata Champlin. “Sementara itu, negara-negara dengan ekosistem livestreaming yang kuat, seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan bahkan India, mereka tidak akan terlalu tergesa-gesa untuk kembali mengadakan kompetisi offline.”

Sumber header: Inven Global

Karakteristik Gamers di Arab Saudi: Penggemar Puzzle, Shooter, dan Strategi

Dalam 10 tahun terakhir, kualitas mobile game menjadi semakin baik. Selain grafik yang semakin bagus, gameplay dari mobile game pun menjadi semakin kompleks. Skena mobile esports pun semakin berkembang. Dua hal ini membuat industri mobile game terus tumbuh. Di beberapa kawasan atau negara, mobile game bahkan menjadi pendorong utama pertumbuhan industri game. Salah satu negara yang industri mobile game-nya tengah tumbuh pesat adalah Arab Saudi.

Industri Game di Arab Saudi

Pada 2021, total pemasukan industri game di Arab Saudi mencapai US$946 juta. Di negara tersebut, mobile game memberikan kontribusi paling besar pada keseluruhan pemasukan industri game, sama seperti yang terjadi di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Pemasukan dari industri mobile game di Arab Saudi mencapai US$520 juta atau sekitar 55% dari total pemasukan industri game di negara tersebut. Alasan mengapa mobile game sangat populer di Arab Saudi adalah karena rendahnya entry barrier dari mobile game.

Jika dibandingkan dengan PC gaming atau konsol, smartphone memiliki harga yang lebih terjangkau. Tak hanya itu, kebanyakan mobile game juga bisa dimainkan secara gratis. Dengan begitu, semua orang yang memiliki smartphone bisa bermain mobile game tanpa harus mengeluarkan uang lagi. Penetrasi smartphone di Arab Saudi juga cukup tinggi, mencapai 58%. Mengingat populasi Arab Saudi mencapai 35,4 juta orang, hal itu berarti, jumlah pengguna smartphone di sana adalah sekitar 20,5 juta orang.

Kebanyakan mobile game yang populer di Arab Saudi menggunakan model bisnis free-to-play. Meskipun begitu, lebih dari setengah gamers di Arab Saudi rela mengeluarkan uang demi game yang mereka mainkan. Berdasarkan data dari Newzoo, sekitar 17% dari gamers di Arab Saudi merupakan minor spenders alias orang-orang yang menghabiskan sedikit uang di game. Sementara itu, 34% gamers di Arab Saudi adalah average spenders dan 8% lainnya merupakan big spenders. Hal itu berarti, sekitar 60% dari keseluruhan gamers di Arab Saudi merupakan spender.

Item dalam game yang biasa dibeli oleh gamers di Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Kebanyakan gamers di Arab Saudi menghabiskan uangnya untuk membeli mata uang dalam game. Hal ini tidak aneh, mengingat kebanyakan game free-to-play memang punya mata uang sendiri untuk membli item dalam game. Contohnya, V-Bucks di Fortnite atau Unknown Cash (UC) di PUBG Mobile. Sekitar 34% gamers di Arab Saudi membeli mata uang dalam game. Sementara itu, sebanyak 33% mobile gamers Arab Saudi lebih memilih untuk menghabiskan uangnya untuk mendapatkan playable character dan 31% lainnya memilih untuk membeli content passes.

Content passes juga sering disebut dengan nama battle passes. Model monetisasi ini adalah model yang cukup baru di industri game. Pada dasarnya, battle pass merupakan sistem berlangganan musiman yang memungkinkan pemain untuk mendapatkan sejumlah item dalam game setelah mereka menyelesaikan sejumlah tantantagan.

Selain mata uang dalam game dan battle pass, dua hal lain yang biasanya dibeli oleh mobile gamers Arab Saudi adalah item powerups dan time-savers. Sesuai namanya, item powerup membuat karakter pemain menjadi lebih kuat. Dan item time-savers akan mengurangi — atau bahkan menghilangkan sama sekali — waktu tunggu dalam game. Misalnya, dalam game RTS, seperti Clash of Clans. Pada dasarnya, item powerups dan time-savers berfungsi untuk membuat pengalaman bermain menjadi terasa lebih menyenangkan. Hanya saja, game pay-to-win juga menyebabkan masalah tersendiri.

Demografi Gamers di Arab Saudi

Di Arab Saudi, sebagian orang percaya, kebanyakan gamers merupakan laki-laki muda. Namun, data dari Newzoo mematahkan mitos tersebut. Berdasarkan survei yang mereka lakukan pada 1.195 mobile gamers di rentang umur 10-50 tahun, diketahui bahwa 42% responden merupakan perempuan. Sementara 45% responden masuk dalam kategori umur 21-35 tahun. Memang, dugaan bahwa kebanyakan gamers adalah laki-laki muda tidak hanya ada di Arab Saudi, tapi juga di negara-negara lain. Meskipun begitu, sekarang, telah terbukti bahwa gamers perempuan juga tidak selangka unicorn.

Demografi mobile gamers di Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Demografi mobile gamers di Arab Saudi yang beragam membuat negara itu menjadi target pasar bagi perusahaan-perusahaan di berbagai sektor. Memang, saat ini, semakin banyak perusahaan yang menjajaki industri game dan esports demi bisa memenangkan hati para gamers dan penonton esports. Melihat jumlah gamers Arab Saudi yang menunjukkan tren naik, hal ini adalah kabar baik bagi pelaku industri mobile game dan pengiklan di sana.

Di Arab Saudi, puzzle merupakan genre favorit dari para mobile gamers. Sebanyak 31% responden mengungkap, puzzle adalah jenis game kesukaan mereka. Menariknya, walau genre puzzle yang identik dengan game kasual menjadi genre favorit di kalangan gamers Arab Saudi, tiga genre terpopuler lainnya merupakan genre dari game-game kompetitif, seperti shooter, strategi, dan battle royale.

Empat genre terpopuler di Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Mengingat puzzle merupakan genre favorit dari mobile gamers di Arab Saudi, tidak heran jika lebih dari sepertiga responden survei Newzoo mengatakan bahwa memecahkan puzzle adalah aspek dari sebuah game yang paling mereka sukai. Hal lain yang menjadi daya tarik dari sebuah game adalah art style yang digunakan oleh sang developer. Tema dunia dari sebuah game juga bisa menjadi daya tarik bagi para mobile gamers di Arab Saudi. Fantasi merupakan tema dunia favorit, diikuti oleh science-fiction.

Sumber header: Irish Times