Mengenal Platform Konseling Bicarakan.id dan Misinya Meningkatkan Kesehatan Mental di Indonesia

Teknologi memiliki peran signifikan dalam menghubungkan setiap orang di berbagai belahan dunia. Kehadirannya juga dimanfaatkan mereka untuk mengembangkan beragam layanan digital yang kini semakin luas fungsinya, mulai dari layanan keuangan, belanja, pendidikan, hingga kesehatan mental.

Founder & CEO Bicarakan.id Andreas Handani meyakini bahwa siapa pun berhak untuk memiliki kesehatan mental yang baik. Bahkan bagi masyarakat modern sekalipun yang cukup memiliki kebutuhan sandang, pangan, dan papan, tak menutup kemungkinan kebutuhan kesehatan mentalnya sudah terpenuhi.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di 2018, sebanyak 12 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami depresi, dan 19 juta penduduk di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Jumlah ini berpotensi bertambah, terutama di masa pandemi Covid-19, saat ruang gerak masyarakat dibatasi.

Dalam skala global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di 2017 melaporkan lebih dari 200 juta orang (3,6% dari populasi) menderita kecemasan. Sementara, jumlah penderita depresi mencapai 322 juta orang (4,4% dari populasi), hampir separuhnya berasal dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat.

DailySocial.id berkesempatan untuk mengenal lebih jauh mengenai platform konseling online Bicarakan.id yang didirikan oleh Andreas Handani beserta visi-misinya ke depan.

Mendorong kesehatan mental dengan layanan konseling

Saat mendirikan Bicarakan.id, Andreas bercerita bahwa ide awal layanan ini lahir dari sebuah lirik lagu yang menyinggung pentingnya mengutarakan masalah yang dihadapi. Secara psikologis, ia menilai bahwa mengutarakan masalah sangat berguna untuk mencari langkah penyelesaiannya.

Di samping itu, ia melihat layanan untuk mengakomodasi kebutuhan kesehatan mental belum tergarap baik di Indonesia. “Belum ada tempat yang benar-benar berfungsi sebagai ekosistem yang dapat menggabungkan para psikolog dan kebutuhan psikologis masyarakat Indonesia itu secara sinergis. Itu adalah sebuah kekacauan yang masif untuk kita sebagai masyarakat modern,” tuturnya.

Andreas mengakui bahwa ia tidak punya latar belakang pendidikan dan karier sebagai psikolog. Bahkan sebelum ini, ia sempat berkarir sebagai freelance copywriter dan marketing consultant di startup fintech. Kendati begitu, Andreas mengaku bahwa ilmu psikologi membantu hidupnya dalam melakukan perubahan dan menginspirasinya untuk mengembangkan platform konseling online.

Sebagai informasi, Bicarakan.id adalah sebuah platform yang menyediakan layanan konseling online. Misinya adalah menjadi ekosistem layanan kesehatan mental yang berkualitas dengan biayanya terjangkau bagi semua orang di Indonesia.

Bicarakan berdiri sejak Maret 2020 dan telah memiliki 11 orang di timnya. Di awal berdiri, layanan konseling online Bicarakan baru dapat diakses di website dengan biaya awal sebesar Rp149 ribu per sesi. Saat ini, biaya per sesinya dimulai dari Rp189 ribu. Layanan konseling online yang tersedia, yaitu individu dan pasangan.

Kini, pengguna dapat menjadwalkan sesi konseling online melalui Google Play Store dan Apps Store dalam waktu kurang dari 5 menit. “Bandingkan dengan konseling tatap muka yang tradisional di mana prosesnya bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Saya rasa ini improvement yang cukup drastis ya dari segi kemudahan untuk user,” tambahnya.

Selain online, Bicarakan.id juga menawarkan layanan konseling tatap muka untuk individu dan pasangan melalui Rumah Bicara. Fasilitas ini memudahkan Pembicara (sebutan pengguna Bicarakan.id) untuk bertatap muka dengan konselor pilihan mereka. Pengguna juga dapat menjadwalkan sesi konseling langsung di sana.

Saat ini, Bicarakan.id telah memiliki sebanyak 26 orang mitra konselor aktif. Menurut Andreas, proses kurasi konselor ditanganinya bersama Head of Counseling Operations Mario Albert. Siapa pun dapat mengajukan diri untuk bergabung menjadi mitra selama memiliki Surat Izin Praktek Psikolog (SIPP).  

Investasi East Ventures dan rencana bisnis

Pada kesempatan ini, Andreas juga mengungkap bahwa platform Bicarakan.id telah memperoleh pendanaan tahap awal (pre-seed) dari East Ventures dengan nominal dirahasiakan. Pihaknya juga tengah berdiskusi dengan beberapa investor lain untuk mengakselerasi rencana pengembangan Bicarakan.id menjadi sebuah ekosistem layanan kesehatan mental yang optimal di Indonesia.

Pihaknya memiliki visi untuk membangun ekosistem layanan yang berkualitas, terjangkau, dan dilengkapi dengan konten-konten terkait, seperti journaling dan meditasi. Lewat platform ini, ia memiliki visi untuk mendorong masyarakat Indonesia lebih terbuka terhadap masalah, memvalidasi emosi, dan mengapresiasi pentingnya membicarakan masalah, bukan membiarkannya.

“Saat ini, kami fokus untuk develop ekosistem layanan kesehatan mental yang berkualitas, lengkap, dan memiliki biaya terjangkau. Ada tiga hal yang menjadi area utama pengembangan kami, yaitu aplikasi, konten, serta penambahan jumlah konselor dan layanan konseling,” tuturnya.

Partisipasi program Startup Studio

Selain mencari akses permodalan, Bicarakan.id juga turut berpartisipasi pada program inkubasi Startup Studio yang difasilitasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pada September lalu, Bicarakan.id terpilih sebagai salah satu peserta yang lolos di Batch III ini.

Menurut Andreas, salah satu alasan utama mengikuti program ini adalah untuk mendapatkan pendampingan dan pelajaran dalam mengembangkan startup. Ia mengakui bahwa pengembangan produk secara mandiri akan memakan waktu lama.

“Ada banyak orang yang lebih memahami pengembangan bisnis, terutama di industri startup teknologi. [Partisipasi ini dapat membantu misi yang kami emban untuk menjadikan masyarakat Indonesia lebih sehat mental,” ucapnya.

Ada beberapa pelajaran menarik yang diperolehnya dari program ini, di antaranya adalah mempertemukan business goals dengan market reality, cara meraih profit tanpa melupakan misi sosial, cara menuju product-market fit, hingga pentingnya tracking data dan cohort metrics untuk mencapai user retention rate yang optimal.

Application Information Will Show Up Here

7 Infamous Myths Surrounding Gaming and Esports

There are definitely a lot of myths surrounding the gaming community and the activity as a whole, most of them being widely inaccurate and misleading. Unfortunately, many gamers often also fall victim to these assumptions, which is why I think it is important to air out and debunk all of these gaming or esports myths.

1. There Are Only a Few Female Gamers

One of the well-known myths surrounding the gaming community is that most females do not play video games. Indeed, the majority of the gamer population are males. The truth is, however, female gamers are not really that rare after all. According to data from Niko Partners, the number of female gamers in Asia in 2017 reached 346 million, comprising 32% of the total gamer population in the region. Two years later, in 2019, the population of female gamers rose to 500 million, which is now 38% of the gamer population in Asia. Another data from Statista shows that, in 2017, 46% of all gamers are women.

Even more surprisingly, Niko Partners have found that the growth of the female gamer population (14.8%) far exceeds the growth rate of gamers in general (7.8%). The approximate percentage of females in China’s gamer population is 45%. In Indonesia, this figure is marginally larger by 4%. However, the distribution of platforms where female gamers play is considerably skewed. Of the 500 million female gamers in Asia, 483 million (95%) mostly play on mobile, 201 million (40%) play on PC, and only 8.5 million (2%) play on consoles. 

As the number of female gamers increases, their contribution to the gaming industry’s income also rises. In 2019, female gamers contributed 35% to the total gaming industry revenue. This figure has increased to 39% in the next year. 

Proportion of gamers by age and gender. | Source: Statista

Recently, Sony also released a report which documents the details of its console sales. In the report, a significantly higher proportion of female gamers bought the Playstation 4 and 5 compared to the Playstation 1. During the PS1 era, only 18% of gamers who bought the console were females. However, during the PS4/5 era, this figure rose to an astounding 41%.

From the statistics above, we can clearly see that female gamers are not at all a rare species. Despite this fact, it can still be difficult to find and notice a female gamer in many of our games. According to recent research conducted by Reach3 Insights and Lenovo, 59% of female gamers hide their gender when playing online games. A report by GamesIndustry suggests that females do not show their gender to avoid the possibility of harassment. A respondent of the study even admitted that she goes so far as to only playing male characters in MMORPG games to maintain the anonymity of her gender. She explained that she does this to prevent receiving seductive, unwanted, and potentially sexually harassing messages. 

 

2. Gamers Are Anti-Social

Gamers are also often seen by the public as loners who spend most of their time playing games and not caring about the outside world. Contrary to most beliefs, however, the emergence of online games has encouraged gamers to socialize with each other. 

A 2016 study titled Motivations for Play in Online Games suggests three reasons why people play games. One of them is to establish relationships with other players. Given that humans are innately social creatures, it is not really surprising to see that we always try to connect with other people and be part of some like-minded group. Our natural attraction for socializing is the reason why online games — both cooperative and competitive games — are incredibly popular nowadays. In fact, in South Korea and China, playing games are considered a social activity. Before the unfortunate pandemic, Hybrid also held a gamers gathering event called Hybrid Dojo every two weeks. My friends and colleagues also frequently meet up to play PUBG Mobile together. Although some games can be enjoyed alone, most of us gamers do prefer playing games with other people.

In-game chat is one of the many forms of communication in gaming. | Source: Medium

Furthermore, a study in The Journal of Computer-Mediated Communication, released in 2014, found that a majority of online gamers deeply care about the dynamic relationships in gaming and not only focus on the sole gameplay aspect itself.

“Gamers aren’t the antisocial basement-dwellers we see in pop culture stereotypes; they’re highly social people,” said Nick Taylor, lead author of the study The Journal of Computer-Mediated Communication, as quoted from CNET. “This won’t be a surprise to the gaming community, but it’s worth telling everyone else. Loners are the outliers in gaming, not the norm.”

3. You Can Get Addicted and Become Mentally Ill from Playing Games

Today’s society does have the tendency to over glorify and, to a certain extent, romanticize mental illness, especially after the release of the movie The Joker. People in the younger generation frequently self-diagnose themselves with depression, ADHD, or Bipolar Disorder despite not having any expertise in the field of psychology. Unfortunately, this trend also spills over to gaming. 

Countless people claim that they or someone they knew is affected by gaming addiction. Furthermore, the World Health Organization (WHO) also officially recognized gaming disorder as a form of mental illness back in 2019. 

WHO officially declared gaming disorder as a mental illness in 2019. | Source: TechCrunch

WHO also elaborated the characteristics or telltale signs of someone with a gaming disorder. The first characteristic is losing control over gaming habits. In other words, someone who has a gaming disorder will find it difficult to stop playing and limit his/her playing time. The second sign of people affected by the disorder is overly prioritizing gaming over obligatory life activities such as eating, studying, or working.

Someone with a “gaming disorder” will also continue to keep playing despite being cognizant of the harmful effects that the activity has had on their life. For instance, the person will not stop playing games even though their grades have significantly declined. If a person has the three characteristics above, which also persist for 12 months, then the person is officially declared affected by gaming disorder

 

4. Games and Esports Are the Exact Same Thing

Esports is a part of gaming, a really big part, in fact. However, both of them are not the same thing. Some games don’t even have an esports scene. By definition, esports are competitions or tournaments that are based on video games. According to Red Bull, esports exists when the best players of a particular game compete for a prize. Therefore, the primary element of esports is competitiveness. But, of course, not all games are meant to be competitive. Some games highlight the narrative or the story, while other games focus on cooperative features.

Another thing that distinguishes esports from gaming is the player’s goals. In esports, the pros obviously have the sole objective to win every single tournament and title. However, normal players like most of us play games for far more varying reasons. Some of us might play to experience interesting gameplay. There are also those who play for the lore or immersive worldbuilding. Others might also play for the sake of socializing with friends or like-minded individuals. However, one thing is for sure: gaming has the primary purpose of being a medium of entertainment, not competition.

 

5. All Professional Esports Players Have Massive Salaries

The salaries of star players who play in the Premier League are certainly different from the salaries of players that compete in English Football League Two. This same salary disparity also occurs in the esports world. Although there has been an overall increase in esports pros’ salaries, many players are still affected by unequal pay. For one, player’s salaries are usually determined by their skill and capabilities. Esports scenes of different games also offer a widely diverse range of player salaries. Obviously, more popular games with a much more successful esports scene will usually offer more prestigious payments towards pros.

The minimum salary of an Overwatch League (OWL) player is around $50,000 USD per year. On the other hand, the average annual salary of a North American League of Legends (LCS) league player can reach $300 thousand USD. In Indonesia, the salary of Mobile Legends Professional League (MPL) players is only around IDR 7 million. As you can see, the pro salary of different games are incredibly diverse.

The minimum salary for an OWL player is US$50,000. | Source: Upcomer

OWL, LCS, and MPL are esports leagues with support from publishers. These publishers, therefore, determine the salary terms (such as minimum wage) of the pro players. However, not all game publishers support the esports scene of their games and explicitly define the payment terms of players. In this kind of situation, player salaries are even more uncertain. Let’s take the Valorant as an example. According to internal Hybrid.co.id sources, the range of salaries of Valorant players is relatively large. Some players receive salaries above the Jakarta Regional Minimum Wage (UMR), some have salaries around the Jakarta UMR, while other, less fortunate, players are paid below the minimum wage. Pros of unpopular games can even have salaries as low as only hundreds of thousands of rupiah.

6. Pro Players Spend All of Their Time Playing

Esports pros are comparable to conventional sports athletes. Both of them have the sole objective to improve themselves and hone their skills to be able to win. Therefore, most of us expect the esports pros to spend hours and hours every day practicing and playing. The truth is, however, esports pros don’t only use their time for playing games. They also need to engage in other activities such as reviewing VODs, strategies, and even physical exercise.

Liyu “Cody” Sun, a League of Legends player, mentions that adequate sleep, a healthy mindset, and a balanced social life are important aspects to maintain as an esports athlete. According to him, solely focusing on practice or playing is not an effective method to improve as a player.

“I do think that the most, or the best players in our industry are the ones that are able to find the best schedule for themselves, and, you know, be as efficient as they can with their lifestyle — practicing as well as exercising and eating well and having a decent social life,” Sun said in an interview from Intel.

According to Spectatorph, professional esports players usually spend about an hour of physical exercise every day. They will spend another hour on VOD reviews and up to 9 hours of practice, either alone or with the team.

Furthermore, the CEO of RRQ, Andrian Pauline also mentioned that the daily routine of pro players is not only playing or practicing. They also have to frequently review the team’s playstyle and even try to get insights into their opponent’s strategy. AP mentions that the proportion of non-gaming activities depends on the situation and needs of the team. “Sometimes the team may require the players to practice for the whole day. In other times, players can spend 20% or 50% of their time doing other activities,” he said when contacted by Hybrid. These proportions and schedules are often determined by the team coach.

 

7. Esports Fans Are Only Comprised of Males

The majority of esports viewers are, obviously, gamers. Unlike conventional sports, games in esports can be quite difficult to understand. And, of course, most of us will only enjoy esports content if we understand the game that is being broadcasted. Therefore, along with the increasing number of female gamers, it is not surprising to see that the female demography of esports viewers also increases.

According to data from Statista, around 22% of the esports audience around the world are females. The percentage of female esports viewers also differs from country to country. In the US, only 17% of esports fans are females. This figure is much larger in the UK (with 25%), China (with 30%), and South Korea (with 32%).

The percentage of female esports viewers in different countries. | Source: Statista

Data from Interpret shows that the number of female esports viewers in the fourth quarter of 2018 was 30.4%, Two years ago, however, this figure was only around 23.9%. Tia Christianson, Vice President of Interpret for Europe mentioned that this 6.5% increase was a significant milestone. She thinks that this is a step towards the right direction of gender equality in the esports community.

Conclusion

Humans have the tendency to fear new trends and also pretend to always be knowledgeable in many circumstances. As a result, our society has developed countless false assumptions, narratives, and harmful stigmas toward gaming and esports. For instance, in 1988-1992, many are concerned that that table-top RPG (TTRPG) games, such as Dungeons and Dragons, were promoting satanism, pornography, and even murder. Therefore, it is imperative that we always fact-check the ideas that we receive to get an accurate representation of the truth. I hope that this article has cleared up several popular gaming myths and helped you to be a more mindful individual.

Featured Image: South Park. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

7 Mitos Soal Game dan Esports: Fact-Checking

Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya. Seiring dengan naiknya popularitas game dan esports, semakin banyak juga asumsi yang muncul di tengah masyarakat. Seperti game menyebabkan kecanduan atau semua pemain profesional dibayar dengan gaji tinggi. Karena itu, kali ini, Hybrid.co.id akan membahas tentang tujuh mitos yang masih dipercaya oleh banyak orang.

1. Tidak Banyak Perempuan yang Bermain Game

Sampai sekarang, salah satu mitos yang dipercaya oleh banyak orang adalah tidak banyak perempuan yang bermain game. Memang, jumlah gamers laki-laki lebih banyak dari gamers perempuan. Jadi, secara teknis, laki-laki memang kelompok mayoritas. Meskipun begitu, ada banyak perempuan yang juga senang bermain game. Menurut data dari Niko Partners, jumlah gamers perempuan di Asia pada 2017 mencapai 346 juta orang, sekitar 32% dari total popoulasi gamers di Asia. Dua tahun kemudian, pada 2019, jumlah gamers perempuan naik menjadi 500 juta orang, berkontribusi 38% dari total populasi gamers di Asia.

Menariknya, Niko Partners menyebutkan, pertumbuhan jumlah gamers perempuan di Asia lebih tinggi dari angka pertumbuhan gamers secara umum. Pada 2020, pertumbuhan jumlah gamers secara umum hanya mencapai 7,8%. Sementara pertumbuhan jumlah gamers perempuan mencapai 14,8%. Di Indonesia sendiri, jumlah gamers perempuan mencapai 49% dari total gamers di Tanah Air. Sementara di Tiongkok, angka itu sedikit turun menjadi 45%.

Dari 500 juta gamers perempuan di Asia, sebanyak 483 juta (95%) bermain di platform mobile, 201 juta orang (40%) bermain di PC, dan hanya 8,5 juta orang (2%) bermain menggunakan konsol. Seiring dengan naiknya jumlah gamers perempuan, kontribusi mereka pada industri game pun terus naik. Pada 2019, gamers perempuan berkontribusi 35% pada total pemasukan industri game. Diperkirakan, angka itu naik menjadi 39% pada 2020. Sementara data dari Statista menunjukkan, pada 2017, 46% dari keseluruhan gamers merupakan perempuan.

Pembagian gamers berdasarkan umur dan gender. | Sumber: Statista

Belum lama ini, Sony juga merilis laporan tentang game. Dalam laporan tersebut, diketahui bahwa jumlah gamer perempuan yang membeli PlayStation 4/5 jauh lebih banyak dari era PlayStation 1. Pada era PS1, persentase gamers perempuan yang membeli konsol itu hanyalah 18%. Sementara di era PS4/5, jumlah gamers perempuan yang memiliki kedua konsol itu mencapai 41%.

Dari semua data di atas, bisa disimpulkan bahwa gamers perempuan sebenarnya tidak selangka unicorn. Lalu, kenapa gamers perempuan jarang ditemui? Berdasarkan riset terbaru yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, sebanyak 59% gamers perempuan menyembunyikan gender mereka ketika bermain game online. Menurut laporan GamesIndustry, alasan gamers perempuan menyembunyikan gendernya adalah untuk menghindari gangguan alias harassment. Salah seorang responden mengaku, demi menyembunyikan gendernya, dia sering memainkan karakter laki-laki di game MMORPG. Dia menjelaskan, dia melakukan hal itu untuk menghindari pemain lain merayunya serta mengirimkan item atau pesan yang tidak diinginkan.

2. Gamers Adalah Orang-Orang Anti-Sosial

Gamers sering digambarkan sebagai seorang penyendiri yang sibuk bermain game tanpa memedulikan orang lain. Padahal, sejak kemunculan game online, gamers juga sering bersosialisasi dengan satu sama lain. Berdasarkan studi berjudul Motivations for Play in Online Games yang dirilis pada 2006, ada tiga alasan mengapa seseorang bermain game. Salah satunya adalah untuk menjalin hubungan dengan pemain lain.

Mengingat manusia adalah makhluk sosial, tidak aneh jika kita selalu berusaha untuk terhubung dengan orang lain dan menjadi bagian dari sebuah kelompok. Karena itulah, game-game online — baik game kooperatif maupun kompetitif — bisa populer. Faktanya, di Korea Selatan dan Tiongkok, bermain game masuk dalam kategori kegiatan sosial. Sebelum pandemi, Hybrid juga mengadakan  acara kumpul para gamers bertajuk Hybrid Dojo setiap dua minggu sekali. Tak hanya itu, teman sekantor saya — yang bukan bagian dari Hybrid — juga sering mengajak satu sama lain mabar PUBG Mobile. Hal ini menunjukkan, walau game bisa dinikmati sendiri, tapi sebagian gamers lebih suka untuk bermain game bersama orang lain.

In-game chat adalah salah satu media komunikasi di game. | Sumber: Medium

Sementara itu, studi The Journal of Computer-Mediated Communication, yang dirilis pada 2014, menemukan bahwa para gamres online tidak hanya fokus untuk melawan musuh dan menaikkan level, tapi juga berinteraksi dengan satu sama lain.

Gamers bukanlah orang-orang anti-sosial yang selalu mengurung diri di kamar, yang merupakan stereotipe yang sering kita lihat di berbagai media pop-culture,” kata Nick Taylor, Lead Author dari studi The Journal of Computer-Mediated Communication, seperti dikutip dari CNET. “Hal ini memang bukan sesuatu yang mengejutkan bagi komunitas gamers. Namun, temuan ini pantas untuk disebarluaskan ke masyarakat awam. Tidak banyak gamers yang merupakan penyendiri.”

3. Bermain Game Lama = Kecanduan Game

Selain beredarnya meme tersebut, film Joker juga membuat banyak orang — khususnya generasi muda — yang mendadak mengaku mengalami penyakit mental, mulai dari depresi sampai Bipolar Disorder (BPD). Padahal, sebagian dari mereka mungkin hanya melakukan self-diagnose dan tidak pergi ke ahli kejiwaan. Tren ini menunjukkan bagaimana sekarang, sebagian orang mulai meromantisasi atau bahkan mengglorifikasi penyakit mental. Dan hal ini membuat sebagian orang mengaku bahwa mereka memiliki gangguan mental tertentu. Terkadang, orang mengklaim bahwa dirinya mengalami depresi, padahal dia hanya merasa sedih.

Begitu juga dengan kecanduan game. Banyak orang dengan mudahnya mengklaim bahwa dirinya atau orang lain mengidap “gaming disorder“. Padahal, senang bermain dalam waktu lama bukan berarti seseorang mengalami kecanduan game. Memang, pada 2019, World Health Organization (WHO) menyatakan gaming disorder sebagai penyakit kejiwaaan. Meskipun begitu, mereka juga menjelaskan beberapa karakteristik dari orang-orang yang memang mengidap masalah gaming disorder.

WHO mengklaim gaming disorder sebagai penyakit mental pada 2019. | Sumber: TechCrunch

Dalam situs resminya, WHO menjelaskan, salah satu karakteristik pecandu game adalah kehilangan kendali akan kebiasaan bermain game. Jadi, seseorang yang mengalami gangguan gaming disorder akan kesulitan untuk membatasi waktu bermainnya. Gejala kedua, pengidap gaming disorder akan memprioritaskan bermain game di atas kegiatan lain, termasuk kegiatan yang merupakan kewajibannya, seperti belajar dan bekerja. Tak tertutup kemungkinan, pengidap gaming disorder juga akan lebih mengutamakan bermain game daripada memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makan atau mandi.

Karakteristik terakhir dari pengidap gaming disorder adalah mereka tetap bermain walau mereka telah merasakan dampak buruk dari keputusan mereka untuk terus bermain. Misalnya, seorang pelajar yang nilainya merosot karena kebanyakan bermain game tetap memilih untuk bermain game daripada belajar. Jika seseorang memiliki tiga karakteristik di atas dan ketiga gejala tersebut bertahan selama setidaknya 12 bulan, maka dia bisa dinyatakan sebagai pengidap gaming disorder.

4. Game Sama dengan Esports

Esports merupakan bagian dari game. Namun, tidak semua game memiliki esports. Pada dasarnya, definisi dari esports adalah kompetisi dengan video game sebagai alat. Sementara menurut Red Bull, esports adalah ketika para pemain terbaik di sebuah game saling beradu untuk memperebutkan hadiah.  Dengan begitu, bisa disimpulkan, salah satu karakteristik utama esports adalah kompetitif. Namun, tidak semua game fokus untuk menawarkan elemen kompetitif. Sebagian menonjolkan sisi naratif, sebagian yang lain justru menawarkan fitur kooperatif.

Hal lain yang membedakan esports dengan game adalah tujuan dari para pelaku. Dalam esports, tujuan utama para pemain profesional adalah untuk menang dan meraih gelar juara, tidak peduli game esports apa yang mereka tekuni. Lain halnya dengan game. Karena cakupan game jauh lebih luas, maka tujuan seseorang untuk bermain game pun lebih beragam. Ada orang yang bermain game demi gameplay yang menarik, ada yang lebih tertarik dengan lore atau worldbuilding yang immersive, dan ada pula orang-orang yang bermain game demi bisa bersosialisasi dengan gamers lain. Satu hal yang pasti, tujuan utama dari game adalah sebagai media hiburan.

5. Semua Pemain Profesional Punya Gaji Besar

Gaji pemain bintang yang berlaga di Premier League tentunya berbeda dengan gaji pemain dari klub yang berlaga di English Football League Two. Begitu juga dengan pemain esports. Memang, gaji pemain profesional kini menjadi terus naik seiring dengan meningkatnya popularitas esports. Sayangnya, tidak semua pemain esports bisa meniktmati gaji memadai. Besar gaji yang diterima seorang atlet esports akan tergantung pada kemampuannya. Selain itu, hal lain yang memengaruhi gaji yang pemain profesional terima adalah game yang dia tekuni. Semakin populer sebuah game, semakin besar pula potensi gaji yang seseorang bisa terima.

Gaji minimal dari pemain Overwatch League (OWL) adalah US$50 ribu per tahun. Sementara gaji rata-rata dari pemain liga League of Legends Amerika Utara (LCS) bisa mencapai US$300 ribu per tahun. Di Indonesia, gaji pemain Mobile Legends Professional League (MPL) bisa mencapai Rp7 juta. Satu hal yang harus diingat, OWL, LCS, dan MPL merupakan liga esports dengan dukungan dari publisher. Jadi, publisher bisa menentukan gaji minimal yang diterima oleh pemain profesional. Tujuannya, untuk memastikan para pemain profesional memang memberikan performa yang terbaik.

Gaji minimal pemain OWL adalah US$50 ribu. | Sumber: Upcomer

Hanya saja, tidak semua publisher mendukung skena esports dari game mereka. Bagi para pemain esports yang menekuni game-game yang kurang populer, gaji yang mereka terima pasti tidak sebesar gaji pemain dari game-game dengan skena esports yang mumpuni. Mari jadikan pemain Valorant sebagai contoh. Menurut narasumber Hybrid.co.id, gaji pemain Valorant beragam. Ada yang menerima gaji di atas Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta, ada yang menerima sekitar UMR Jakarta, dan ada juga yang menerima gaji di bawah UMR Jakarta. Sementara bagi pemain profesional dari game yang popularitasnya sudah memudar, gaji yang mereka terima bisa hanya mencapai ratusan ribu rupiah.

6. Pekerjaan Pemain Profesional Hanya Bermain Game

Pemain profesional bisa disandingkan dengan atlet profesional. Tugas para atlet esports adalah untuk terus mengasah kemampuannya bermain. Jadi, jangan heran jika seorang pemain profesional bisa menghabiskan beberapa jam sehari untuk bermain. Namun, sebenarnya, seorang pemain profesional tidak menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk bermain game. Mereka juga harus melakukan kegiatan lain, seperti berolahraga atau meninjau gameplay tim dan permainan musuh.

Liyu “Cody” Sun, pemain League of Legends, mengatakan bahwa tidur yang cukup, pola pikir yang sehat, serta kehidupan sosial yang seimbang juga penting bagi seorang pemain esports. Menurutnya, menghabiskan waktu sepanjang hari hanya untuk bermain bukanlah latihan yang efektif.

“Saya pikir, para pemain profesional yang bisa bermain di level tertinggi adalah mereka yang bisa menemukan jadwal yang sesuai untuk diri mereka sendiri dan membangun gaya hidup yang efisien — berlatih, berolahraga, memastikan asupan gizi cukup, dan memiliki kehidupan sosial yang baik” kata Sun, seperti dikutip dari Intel.

Menurut Spectatorph, dalam sehari, pemain profesional bisa menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk berolahraga dan 1 jam lainnya untuk meninjau permainan tim. Dan waktu yang dihabiskan untuk bermain — berlatih bersama tim maupun sendirian — bisa mencapai 9 jam.

Sementara itu, CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP mengatakan, tugas pemain profesional memang tidak hanya bermain game. Mereka juga harus melakukan review dari gaya permainan tim maupun lawan. Soal porsi antara waktu bermain game dengan kegiatan lain non-gaming, AP menjelaskan, hal ini juga tergantung kebutuhan. “Kadang full main, kadang 50-50, kadang 80-20,” ujarnya saat dihubungi oleh Hybrid. Biasanya, para pelatih dari masing-masing tim yang akan menentukan porsi latihan dari anak-anak didiknya.

7. Fans Esports Pasti Adalah Pria

Kebanyakan penonton esports merupakan gamers. Pasalnya, seseorang hanya bisa menikmati konten esports ketika mereka memahami game yang diadu. Jadi, seiring dengan semakin bertambahnya jumlah gamers perempuan, tidak heran jika jumlah penonton esports perempuan juga bertambah.

Menurut data dari Statista, pada 2019, jumlah fans esports perempuan mencapai 22% dari total penggemar esports di dunia. Persentase penonton esports di masing-masing negara berbeda-beda. Di AS, jumlah fans esports perempuan hanya mencapai 17%. Sementara di Inggris, jumlah fans esports perempuan mencapai 25%, Tiongkok 30%, dan Korea Selatan 32%.

Jumlah penonton esports perempaun di masing-masing negara. | Sumber: Statista

Data dari Interpret menunjukkan, jumlah penonton esports perempuan pada Q4 2018 adalah 30,4%, naik dari 23,9% pada Q4 2016. Tia Christianson, Vice President Interpret untuk kawasan Eropa mengatakan, peningkatan sebesar 6,5% dalam 2 tahun adalah pencapaian yang signifikan. Walau dia juga sadar, perubahan dalam komunitas dengan populasi besar akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kabar baiknya, pertumbuhan jumlah penonton esports perempuan menunjukkan bahwa komunitas esports memang tengah berubah ke arah yang benar, yaitu ke kesetaraan gender.

Kesimpulan

Manusia punya kecenderungan untuk mewaspadai sesuatu yang mereka tidak pahami. Karena itu, orang-orang terkadang menjadi takut akan hal-hal baru, termasuk game dan esports. Jadi, wajar jika muncul berbagai asumsi salah akan industri game dan esports. Misalnya, pada sekitar tahun 1988-1992, muncul ketakutan bahwa game-game table-top RPG (TTRPG), seperti Dungeons and Dragons, merupakan cara baru untuk mempromosikan satasnime, pornografi, dan bahkan pembunuhan. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap berpikir kritis dan tidak mempercayai informasi yang didapatkan begitu saja. After all, assume makes an ass out of u and me.

Polemik Seputar Kecanduan Game: Bias Substansi dan Solusi

Video game sering disebut sebagai sumber dari berbagai masalah, mulai dari membuat para murid malas belajar, para pria mengacuhkan kekasihnya, sampai penembakan massal di sekolah di Amerika Serikat. Tak hanya itu, game juga diklaim bersifat adiktif, membuat para pemainnya ingin terus bermain.

Sejatinya, game adalah media hiburan. Dan seperti yang disebutkan oleh Josh Bycer, pemilik Game-Wisdom, game memang didesain untuk membuat para pemainnya ingin terus bermain. Pada saat yang sama, para developer juga biasanya menerapkan mekanisme yang memudahkan para pemain untuk berhenti kapan pun mereka mau, misalnya fitur quick save/quick load.

Sama seperti kegiatan lain, seperti membaca buku atau berkebun, bermain game juga bisa membuat Anda lupa waktu. Hal ini membuat sebagian orang — khususnya orangtua — khawatir bahwa game menyebabkan kecanduan. Pertanyaannya: kapan bermain game menjadi berbahaya?

 

Klaim WHO dan Keraguan Para Ahli

Pada Juni 2018, World Health Organization menyatakan Internet Gaming Disorder (IGD) sebagai penyakit mental yang bisa didiagnosa. Meskipun begitu, tidak semua ahli kejiwaan serta-merta setuju dengan putusan WHO. Faktanya, sebagian dari mereka enggan untuk memasukkan gaming disorder ke dalam International Classification of Diseases (ICD), panduan standar yang digunakan dalam dunia kesehatan untuk menentukan penyakit yang diidap oleh pasien.

“Saya tidak mau orang-orang yang sebenarnya tidak punya gangguan kejiwaan dianggap memiliki masalah mental karena hal ini,” kata Nancy Petry, psikolog di University of Conneticut, pada WIRED. Kekhawatiran Petry bukannya tak berdasar. Dalam sebuah studi berjudul Mental Disordres: A Glamorous Attraction on Social Media? dijelaskan bagaimana generasi muda, yang tumbuh besar dengan internet dan media sosial, terkadang meromantisasi gangguan kejiwaan, seperti depresi dan anoreksia. Seolah itu tak cukup buruk, juga ada komunitas di media sosial serta situs yang mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal-hal berbahaya, seperti melukai diri sendiri. Jadi, masuk akal jika Petry serta para ahli psikologi lainnya tak ingin dengan gampang menyatakan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan.

Di media sosial, generasi muda terkadang meromantisasi gangguan mental, seperti depresi. | Sumber: Deposit Photos
Di media sosial, generasi muda terkadang meromantisasi gangguan mental, seperti depresi. | Sumber: Deposit Photos

Pada 2013, Petry sempat memimpin subkomite dari American Psychiatric Association (APA) yang bertanggung jawabb untuk mempertimbangkan apakah IGD pantas masuk dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), buku panduan yang digunakan oleh tenaga kesehatan di Amerika Serikat dan berbagai negara lain untuk menentukan gangguan kejiwaan yang dialami oleh pasien. Ketika itu, grup yang dipimpin oleh Petry memutuskan, kecanduan game belum bisa dianggap sebagai gangguan mental karena kurangnya bukti yang menunjukkan gaming disorder sebagai gangguan jiwa. Sebagai gantinya, mereka mengklasifikasikan IGC ke bagian “Gangguan yang Memerlukan Studi Lebih Lanjut.”

Pada 2018, Petry kembali memimpin studi terkait kecanduan game. Saat itu, dia masih percaya, bukti untuk menjustifikasi klaim kecanduan game sebagai gangguan mental masih belum cukup. Para ahli psikologi setuju, efek bermain game, yang membuat para pemainnya ingin terus bermain, memang harus dipelajari lebih lanjut. Selain itu, mereka percaya, sebagian kecil gamer berpotensi untuk membangun kebiasaan bermain game yang bermasalah. Namun, mereka menganggap, jumlah riset terkait efek game pada para pemainnya masih belum memadai untuk menjadi bukti bahwa gaming disorder pantas dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan.

Selain jumlah studi terkait gaming disorder yang belum banyak, alasan lain para ahli psikologi enggan untuk mengategorikan IGD ke dalam gangguan kejiwaan adalah karena sebagian besar studi yang membahas kecanduan game tidak memiliki ukuran sampel yang besar. Tak hanya itu, biasanya, studi-studi itu tidak menyimpulkan apakah bermain game terus-menerus memang merupakan masalah psikologis atau merupakan pelampiasan dari masalah lain yang dihadapi oleh seseorang.

Sebagian ahli psikologi enggan untuk menjadikan IGD sebagai gangguan kejiwaan. | Sumber: Deposit Photos
Sebagian ahli psikologi enggan untuk menjadikan IGD sebagai gangguan kejiwaan. | Sumber: Deposit Photos

“Pada sebagian orang, bermain game merupakan coping mechanism untuk mengatasi masalah psikologis yang mereka alami,” kata Lennart Nacke, Director of the Human-Computer Interaction Games Group, University of Waterloo, seperti dikutip dari WIRED. Tanpa kriteria yang jelas untuk mendeskripsikan kecanduan game sebagai gangguan kejiwaan, WHO justru bisa membuat stigma baru pada para gamer. Jelas, menghabiskan waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu untuk bermain game adalah masalah. Namun, tidak sedikit orang yang menghabiskan belasan jam untuk bermain game setiap minggunya dan tetap bisa produktif.

 

WHO Nyatakan Gaming Disorder Sebagai Gangguan Kejiwaan

Meskipun sempat menuai protes dari para ahli psikologi, pada 2019, WHO akhirnya menetapkan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Tentu saja, hal itu tidak serta-merta membuat orang-orang yang menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game sebagai pengidap gaming disorder. Sama seperti orang yang merasa sedih tidak melulu depresi.

Faktanya, WHO menyebutkan bahwa lamanya waktu yang dihabiskan untuk bermain game bukanlah tolok ukur untuk menentukan apakah dia mengidap gaming disorder atau tidak. Menurut WHO, salah satu kriteria dari orang yang kecanduan game adalah mereka terus bermain game meski mereka sadar bahwa bermain game terus menerus mengacaukan aspek lain dari kehidupan mereka, mulai dari sekolah, pekerjaan, hubungan dengan teman dan keluarga, atau bahkan kebutuhan dasar seperti makan dan tidur. Seseorang bisa dianggap menjadi pecandu game jika gelaja ini bertahan selama setidaknya satu tahun.

Kepada Kompas, Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di RS Gading Pluit, Kelapa Gading Jakarta Utara, dr Dharmawan AP, SPKJ menjelaskan, kecanduan game masuk dalam kategori behavior addiction. Kecanduan akan bermain game memiliki pengaruh yang sama dengan kecanduan obat atau substansi lainnya.

Memang, bagaimana kecanduan memengaruhi otak manusia? Seperti yang dijelaskan dalam How Stuff Works, reward system pada otak manusia punya peran penting dalam membuat manusia bisa bertahan hidup. Jadi, ketika kita melakukan sesuatu yang positif — seperti makan dan berolahraga — otak akan mengeluarkan dopamin, hormon yang membuat kita merasa bahagia. Demi mendapatkan dopamin, kita akan mengulang kegiatan-kegiatan positif yang meningkatkan kemungkinan kita untuk bertahan hidup.

Candu membuat otak mengeluarkan dopamin dalam jumlah besar. | Sumber: Prezi
Candu membuat otak mengeluarkan dopamin dalam jumlah besar. | Sumber: Prezi

Setiap substansi punya pengaruh yang berbeda-beda pada sistem limbic. yang bertanggung jawab atas reward system. Namun, semua candu punya pengaruh yang sama, yaitu membuat sistem limbic mengeluarkan dopamin dalam jumlah banyak. Ketika seseorang mengonsumsi atau melakukan satu hal yang jadi candunya, dia bisa mendapatkan dopamin 2 hingga 10 kali lipat dari biasanya, yang membuatnya merasa “high“. Alhasil, demi mendapatkan dopamin itu, dia akan terus mengonsumsi candunya.

Masalahnya, ketika otak menghasilkan dopamin dalam jumlah yang tidak wajar, otak akan kesulitan untuk memulihkan keseimbangan kimianya setelah efek dari candu berakhir. Hal inilah yang membuat orang mengalami hangover atau withdrawal setelah mengonsumsi alkohol atau narkoba. Jika seseorang terus mengonsumsi candunya, maka otaknya akan berhenti memproduksi dopamin secara natural, yang memperburuk withdrawal. Jadi, untuk bisa mendapatkan dopamin, pecandu harus mengonsumsi candunya, yang semakin mengacaukan keseimbangan kimia pada otaknya. Pada akhirnya, hal ini justru menciptakan siklus tiada akhir.

Memang, hal ini serupa dengan apa yang dialami oleh orang yang kecanduan game, menurut Dharmawan. Dia menjelaskan, salah satu ciri orang yang kecanduan game adalah mereka tidak bisa mengendalikan diri dan terus bermain game meski mereka tahu bahwa hal itu tidak baik.

Sementara itu, American Addiction Centers (AAC) menyebutkan, gaming disorder punya beberapa gejala, baik fisik maupun emosional. Salah satu gejala fisik kecanduan game adalah seseorang sering merasa lelah dan lapar. Pasalnya, orang yang kecanduan game akan terus bermain game sampai melupakan kebutuhan dasar mereka, termasuk makan dan tidur. Orang-orang yang mengidap gaming disorder juga biasanya mengalami migrain atau mata lelah karena mereka fokus pada layar dalam waktu lama. Biasanya, mereka juga mengidap carpal tunnel syndrome karena memegang controller atau mouse selama berjam-jam.

Dari segi emosional, salah satu gejala kecanduan game adalah merasa mudah marah ketika tidak bisa bermain game. Seseorang yang mengidap gaming disorder juga biasanya hidup terisolasi, jauh dari teman dan keluarga. Tak jarang, mereka juga berbohong ketika ditanya tentang berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk bermain game.

 

Kenapa Masyarakat Takut akan Hal Baru?

WHO memang menyatakan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Walaupun begitu, game juga sebenarnya punya dampak positif. Untungnya (atau sialnya, tergantung perspektif Anda), game bukanlah satu-satunya hal baru yang ditentang oleh masyarakat luas. Faktanya, berbagai inovasi teknologi pun pernah ditentang.

Menurut Harvard Business Review, salah satu alasan mengapa masyarakat menentang perubahan adalah karena terkadang, inovasi memang membawa dampak buruk pada kehidupan mereka. Contohnya, aplikasi transportasi online. Di satu sisi, keberadaan GoJek dan Grab memang menolong banyak orang. Namun, tak bisa dipungkiri, aplikasi transportasi online merupakan ancaman nyata untuk pengendara taksi atau ojek pangkalan. Pasalnya, pendapatan mereka jadi berkurang karena banyak orang yang memilih untuk menggunakan jasa GoJek dan Grab.

Keberadaan GoJek dan Grab sempat ditentang.
Keberadaan GoJek dan Grab sempat ditentang.

Hanya saja, alasan masyarakat untuk menolak perubahan tidak melulu rasional. Calestous Juma, profesor dari Kennedy School of Government, Harvard University menjelaskan, manusia biasanya memilih untuk mendukung atau melawan inovasi baru berdasarkan perasaan dan bukannya pemikiran rasional. Misalnya, sebelum kopi menjadi populer seperti sekarang, orang-orang pernah mengklaim bahwa meminum kopi bisa menyebabkan kemandulan.

Terdengar konyol memang. Tapi nyatanya, masih banyak orang-orang yang lebih percaya pada omongan di grup WhatsApp tanpa sumber yang jelas daripada penelitian ilmiah. Contoh: anti-vaxxer. Sudah ada banyak penelitian ilmiah bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme atau kelumpuhan. Namun, para anti-vaxxer tetap berkeras untuk tidak memvaksin keluarganya karena percaya vaksin akan menyebabkan autisme atau kelumpuhan.

Juma menyebutkan, tidak aneh jika masyarakat berpegang teguh pada argumen yang tidak rasional karena sejatinya, mereka hanya takut akan teknologi baru. “Orang-orang bereaksi berdasarkan intuisi mereka dan mereka mengumpulkan bukti berdasarkan apa yang mereka percaya,” kata Juma, seperti dikutip dari The Washington Post. “Mereka melihat satu hal baru dan bereaksi secara emosional karena keberadaan produk itu mengubah cara pandang mereka. Hal ini terjadi pada hampir semua fenomena baru.”

Lebih lanjut, Juma menjelaskan, terkadang, bukan teknologi baru yang menjadi momok bagi masyarakat, tapi perubahan yang muncul akibat perubahan tersebut. “Mereka khawatir, mereka akan kehilangan sesuatu,” kata Juma. Dalam kasus pengendara taksi dan transportasi online, kehilangan yang sopir taksi dan ojek pangkalan rasakan adalah penghasilan.

Selain pemasukan, hal lain yang orang-orang khawatir akan hilang karena teknologi adalah gaya hidup atau bahkan identitas mereka. Juma mengungkap, baik pemerintah dan perusahaan swasta bisa meminimalisir rasa takut ini dengan memahami sumber ketakutan orang-orang yang hidupnya terpengaruhi oleh keberadaan teknologi baru.

Merasa takut akan hal baru memang manusiawi. Meskipun begitu, hal itu bukan justifikasi untuk tidak mencoba hal baru, atau setidaknya, mencoba memahami inovasi baru yang muncul. Seperti yang disebutkan oleh Marie Curie, “Nothing in life is to be feared, it is only to be understood.” Semakin kita paham akan satu hal, semakin berkurang rasa takut kita akan hal itu.

 

Kesimpulan

Ketika saya masih menjadi mahasiswa IT, Google adalah teman baik saya. Setiap kali saya menemui masalah saat menulis kode, saya bisa menggunakan mesin pencari itu untuk menemukan solusi dari masalah saya. Hanya saja, tampaknya, hal ini tidak berlaku untuk masalah kesehatan. Ketika seseorang mencoba untuk mencari tahu penyakit yang dia alami dengan memasukkan sederet gejala ke Google, kemungkinan, hasil yang akan dia dapatkan adalah penyakit mematikan, seperti kanker.

Dari sini, saya menarik kesimpulan, mencoba melakukan diagnosa sendiri, tanpa memiliki keahlian di bidang kedokteran, bukanlah hal yang bijak. Hal yang sama juga berlaku untuk gangguan kejiwaan. Memang, WHO telah menyatakan bahwa gaming disorder termasuk gangguan mental. Namun, hal itu bukan berarti semua gamer mengidap gejala itu.

Satu hal yang pasti, kebanyakan orang memang ingin solusi mudah atas setiap persoalan. Kecanduan game? Larang game-nya. Padahal nyatanya, setiap kecanduan memiliki penyebab lain yang tak kalah substansif. Misalnya, seorang anak jadi kecanduan game karena orang tuanya tak mau/mampu menyediakan waktu atau perhatian lebih ke anak tersebut. Sebatas melarang bermain game, kemungkinan besar, tidak akan menyelesaikan persoalan jika mereka juga tidak mencoba memberikan waktu dan perhatian yang lebih besar ke anak-anaknya.