Sony SR Display Sajikan Gambar 3D Tanpa Wajibkan Pengguna Memakai Kacamata Khusus

Di ajang CES 2020 pada bulan Januari lalu, Sony sempat memberikan teaser mengenai teknologi Eye-sensing Light Field Display (EFLD) yang sedang mereka kembangkan saat itu. Premisnya kurang lebih mirip seperti display hologram, di mana perangkat dapat menampilkan grafik 3D, dan kita bisa melihatnya tanpa perlu mengenakan kacamata khusus.

Sembilan bulan berselang, teknologi tersebut rupanya sudah menjelma menjadi perangkat yang siap dijual ke publik. Namanya Sony Spatial Reality Display (SR Display), dan Sony percaya perangkat ini bisa membantu para ahli computer graphics (CG) maupun visual effects (VFX) untuk merealisasikan ide-idenya dengan lebih baik lagi.

Rahasia utama SR Display terletak pada sebuah sensor yang dapat mengikuti pergerakan mata pengguna secara sangat presisi dalam hitungan milidetik. Informasi ini kemudian diproses oleh algoritma untuk me-render gambar stereoscopic berdasarkan posisi mata pengguna relatif terhadap layar, dan semuanya berlangsung secara real-time.

Agar gambar stereoscopic itu bisa dilihat dengan mata telanjang, Sony tidak lupa menyematkan lensa micro optical yang pada dasarnya berfungsi untuk memisah gambar antara porsi kiri dan kanan. Posisi lensa ini berada persis di atas panel LCD 15,6 inci beresolusi 4K milik SR Display.

sony-sr-display-02

Sony melihat potensi SR Display ini di sejumlah bidang industri, otomotif salah satunya. Pada dasarnya pekerjaan apapun yang melibatkan proses desain suatu objek dalam wujud 3D bisa dipermudah oleh keberadaan SR Display, sebab pengguna dapat melakukan observasi dari berbagai sudut seakan-akan bendanya memang sedang berada di hadapannya.

Sony tidak lupa memastikan agar SR Display dapat disesuaikan dengan workflow masing-masing pengguna. Itulah mengapa mereka turut menyertakan software development kit yang kompatibel dengan engine Unity maupun Unreal Engine 4, yang bisa dibilang merupakan standar industri.

Sebagai alat bantu untuk lingkup profesional, tentu saja harga Sony SR Display jauh dari kata murah. Satu unitnya dibanderol $5.000, dan Sony berniat memasarkannya mulai bulan November mendatang.

Sumber: SlashGear dan Sony.

Zomato to Disband Indonesia’s Local Operation

As an effect of the pandemic, Zomato is adjusting (downsizing) its business in Indonesia. After officially launched at the end of 2018, the Zomato Pro or Zomato Gold features were discontinued. It’s a paid service that users can use to get exclusive access to Zomato’s restaurant partners – including selecting menus and making reservations.

In the FAQ statement in the application, it is stated that the closure of this feature was due to the company’s decision to disband the local operational team in Indonesia – all employees affected by the layoff. As contacted, Zomato only provided information that Zomato’s basic service (restaurant directory) is still accessible in Indonesia, its operations are carried out remotely from India.

The F&B sector has been badly hit by Covid-19. Last May, Zomato reportedly laid off 13% of its total employees. Also, for those who stayed, there is still a deduction of up to 50%.

In order to strengthen the business foundation and accelerate growth,  Zomato’s parent company has been intensively raising series J funding since April 2020. The latest funds were announced a few days ago, Kora Investment participated in investing $52 million. According to Fintrackr, Zomato currently has a valuation of around $3.5 billion along with this round.

Zomato alone has been existing in Indonesia since 2013. Thanks to impressive business growth mid-decade, in 2016 the Indian startup has achieved Break-Even Point (BEP), including for its business unit in Indonesia.

Aside from Zomato, there are several similar services in Indonesia, two of which are Qraved and Eatigo.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

HygienePass, Inovasi Industri Perhotelan untuk Hadapi Pandemi

Masa pandemi memberikan dampak yang cukup besar terhadap industri akomodasi dan pariwisata, salah satunya perhotelan. Kejayaan operator hotel yang terus berkembang beberapa tahun terakhir, terpaksa perlahan runtuh digerus menurunnya permintaan terhadap unit penginapan yang dimiliki.

Akan tetapi, meski terus menghadapi berbagai tantangan, para pelaku bisnis perhotelan harus terus menghadirkan inovasi yang dapat mempertahankan operasional bisnisnya. Mulai dari menghadirkan produk baru, hingga menerapkan protokol kesehatan yang dapat memberi rasa aman dan nyaman pada konsumen. Hal ini juga dapat didukung oleh tetap adanya permintaan dari konsumen yang masih melakukan kegiatan traveling domestik baik untuk kepentingan pekerjaan ataupun pribadi di tengah pandemi ini.

Peluang inovasi ini juga dilihat oleh RedDoorz Indonesia. Melalui sertifikasi HygienePass yang dihadirkan, RedDoorz kini dapat memberikan rasa aman untuk para pengguna hotel saat menginap di masa pandemi ini.

Menjamin Higienitas dan Kenyamanan bagi Pengguna Hotel

Sertifikasi HygienePass ini dapat menjadi inovasi terbaru yang efektif untuk meningkatkan jaminan kebersihan dan kenyamanan bagi pengguna hotel. Di sisi konsumen, sertifikasi ini dapat membuat mereka dapat lebih tenang untuk bepergian selama pandemi. Dari sisi pelaku bisnis, sertifikasi ini dapat membuat operasional bisnis mereka dapat terus berjalan di tengah pandemi.

Salah satu upaya RedDoorz untuk menjamin standarisasi higienitas dan kebersihan mitra perhotelan melalui sertifikasi HygienePass ini adalah dengan menggandeng Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). Kolaborasi ini dilakukan untuk melakukan penilaian dan pemberian sertifikat untuk para mitra hotel.

Melalui sertifikasi HygienePass, ada beberapa poin yang akan disiapkan oleh pihak hotel untuk menjamin kenyamanan para penggunanya. Pertama, hotel akan melakukan pengukuran suhu di saat proses check-in. Pengecekan suhu tubuh ini tidak hanya berlaku untuk tamu, tetapi juga untuk staf hotel yang bertugas. Kedua, staf hotel dan juga tamu harus melaporkan kondisi kesehatan serta riwayat perjalanan mereka selama dua minggu terakhir.

Ketiga, hotel akan memastikan penggunaan masker oleh para staf serta menyediakan pembersih tangan berbahan dasar alkohol 80% selalu disediakan di beberapa area umum pada hotel tersebut. Terakhir, hotel harus terus melakukan pembersihan dan penyemprotan desinfektan secara menyeluruh, teratur, dan berkala.

Selain untuk melakukan pencegahan penularan virus, sertifikasi HygienePass ini dapat menjadi salah satu inovasi penting yang dapat digunakan oleh industri perhotelan untuk terus bertahan. Bagi RedDoorz sendiri, sertifikasi ini merupakan hal wajib yang dimiliki oleh seluruh mitra perhotelannya. Indonesia sendiri merupakan pasar utama dari RedDoorz di Asia hingga akhir tahun 2019 dengan total unit yang mencapai angka 1200 unit. Sehingga hal inovasi ini juga dapat menjadi upaya utama RedDoorz untuk mempertahankan pasarnya di tengah pandemi ini.

Dengan memiliki sertifikasi HygienePass ini, para pelaku bisnis perhotelan dapat memberikan jaminan kesehatan dan kenyamanan para tamunya tanpa mengurangi pelayanan apapun. Bagi para pengguna yang tetap membutuhkan penginapan selama pandemi ini, dapat tetap menggunakan hotel murah, tanpa perlu rasa khawatir akan protokol kesehatan yang diterapkan.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh RedDoorz

Multi-Version Backup Sebagai Solusi Hadapi Cyber Crime

Tidak hanya soal kesehatan, pandemi Covid-19 membawa begitu banyak dampak dalam kehidupan manusia, salah satunya adalah dari sisi teknologi. Dengan pembatasan kegiatan di luar rumah, masyarakat kini lebih banyak memanfaatkan berbagai teknologi internet untuk melakukan berbagai hal secara online. Mulai dari bekerja, berbelanja, belajar, hingga menikmati hiburan.

Namun di balik percepatan penerapan teknologi informasi yang semakin tinggi, kita juga dihadapkan pada ancaman cyber crime alias kejahatan dunia maya. Menurut laporan 2020 State of Malware Report yang diterbitkan oleh Malwarebyte Labs, Indonesia merupakan lokasi dengan ancaman kasus kejahatan dunia maya tertinggi di wilayah Asia Pasifik. Salah satu kasus terparah adalah ransomware WannaCry di tahun 2017 yang sempat menginfeksi banyak industri di Indonesia, termasuk rumah sakit.

Bahaya ransomware saat ini sangat nyata dan semakin canggih, serta hampir tidak dapat terdeteksi oleh program anti-malware tepat waktu. Ransomware berbasis enkripsi akan mengenkripsi file yang disimpan di komputer dan menyebar ke seluruh jaringan. Bahkan setelah terinfeksi, tidak ada jaminan bahwa data yang terinfeksi dapat dikembalikan. Parahnya lagi, menurut penelitian yang dilakukan oleh Ponemon Institute LLC, 59% responden tidak yakin dengan kemampuan perusahaan mereka untuk melindungi diri dari serangan ransomware.

Untuk melindungi diri dari bahaya ransomware, perusahaan perlu memiliki sikap proaktif dan preventif. Mulai dari melakukan security update secara berkala, penggunaan firewall untuk memisahkan extranet dengan jaringan lokal, serta menggunakan VLAN untuk membagi intranet menjadi area-area yang lebih kecil, untuk mengurangi jangkauan risiko infeksi ketika terjadi serangan. Selain itu, para karyawan juga perlu diberikan pemahaman mengenai keamanan informasi secara rutin, misalnya mengenai bahaya membuka tautan/link sembarangan dari email atau website yang tidak dikenal.

Selain itu, hal paling penting untuk diperhatikan adalah mengenai proses backup data yang komprehensif, sehingga apabila terjadi serangan yang menyebabkan hilang atau rusaknya data yang dimiliki, data tersebut dapat segera dipulihkan dengan segera agar bisnis tetap berjalan. Salah satu langkahnya adalah dengan menggunakan layanan multi-version backup solution yang dimiliki oleh Synology.

Salah satu perusahaan multinasional SHISEIDO beberapa tahun lalu mengalami serangan ransomware. Mereka lalu menerapkan layanan Synology Active Backup for Business untuk mengelola proses cross-platform backup dari PC, virtual machine, dan server Windows ke dalam Synology NAS, dengan waktu yang lebih cepat, serta menghemat penggunaan kapasitas storage hingga 56%.

Selain itu, ada pula BBC Media Action yang menggunakan layanan Synology Hyper Backup untuk melakukan backup data rutin secara otomatis dari 16 kantor mereka di seluruh dunia. Dengan kemudahan pengelolaan dan antarmuka yang intuitif, kantor pusat mereka di London dapat menerima update harian secara langsung tanpa harus meminta bantuan dari tim IT. Kolaborasi antar kantor cabang pun dapat dilakukan secara efisien.

Solusi multi-version backup dengan opsi pemulihan cepat dan fleksibel sangat penting dan diperlukan oleh bisnis, terutama dalam menghadapi berbagai serangan cyber crime yang selalu mengintai setiap saat. Dengan solusi ini, proses pemulihan data dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mudah setelah terjadi serangan, serta bisnis dapat tetap berjalan seperti sediakala.

Selain itu, untuk membahas mengenai berbagai solusi bisnis untuk menghadapi situasi post-pandemi ini, Synology juga akan menyelenggarakan webinar bertajuk “Data & Technology Revolution in Post-Pandemic Era” yang dapat Anda ikuti secara online pada hari Rabu, 4 November 2020 pukul 14.00-16.00 WIB. Jangan lewatkan acara ini karena ada giveaway menarik bagi peserta terpilih. Daftar segera di sy.to/dspostpandemicwebinar.

Lakukan Penyesuaian Bisnis, Zomato Bubarkan Tim Lokal di Indonesia

Terdampak pandemi, Zomato lakukan penyesuaian (perampingan) bisnisnya di Indonesia. Setelah diluncurkan sejak akhir tahun 2018 lalu, fitur Zomato Pro atau Zomato Gold dihentikan. Itu merupakan layanan berbayar yang bisa dimanfaatkan pengguna untuk mendapatkan akses eksklusif di mitra restoran Zomato – termasuk memilih menu dan melakukan reservasi.

Dalam keterangan FAQ di aplikasi disebutkan, penutupan fitur tersebut dilatarbelakangi keputusan perusahaan untuk membubarkan tim operasional lokal di Indonesia – seluruh tim lokal terdampak layoff. Ketika dihubungi, pihak Zomato hanya memberikan keterangan, bahwa layanan dasar Zomato (pencarian restoran) tetap bisa diakses di Indonesia, operasionalnya dikerjakan secara remote dari India.

Sektor F&B memang menjadi salah satu yang terdampak parah akibat Covid-19. Mei lalu, Zomato dilaporkan telah memberhentikan 13% dari total karyawannya. Bahkan untuk staf yang masih bekerja, terdapat pemotongan gaji sampai 50%.

Untuk perkuat fondasi bisnis dan genjot pertumbuhan, sejak April 2020 induk Zomato tengah gencar menggalang pendanaan seri J. Dana teranyar berhasil dibukukan beberapa hari lalu, Kora Investment berpartisipasi menyuntikkan $52 juta. Menurut Fintrackr, dengan putaran tersebut Zomato saat ini memiliki valuasi sekitar $3,5 miliar.

Zomato sendiri sudah hadir di Indonesia sejak tahun 2013. Berkat pertumbuhan bisnis yang mengesankan pertengahan dekade, di tahun 2016 startup asal India tersebut telah capai Break Event Point (BEP), termasuk untuk unit bisnisnya di Indonesia.

Selain Zomato, di Indonesia sendiri ada beberapa layanan serupa, dua di antaranya adalah Qraved atau Eatigo.

Application Information Will Show Up Here

Gambar Header: Depositphotos.com

Tips Mengawali Hari dari Founder Fabelio, Gadjian, dan eFishery

Selain membawa pertumbuhan untuk bisnisnya, founder startup memiliki tugas lain yang tak kalah penting, yakni selalu tampil prima sepanjang hari. Produktivitasnya selalu dituntut 100%, selain karena demi bisnis yang mereka kelola tetapi juga sebagai contoh tim yang lain. Hari yang produktif sangat dipengaruhi bagaimana pagi dilewati. Kebiasaan-kebiasaan di pagi hari yang baik tidak hanya membuat mood sepanjang hari jadi lebih baik tetapi juga dipercaya membuat hari menjadi terorganisasi dengan baik.

DailySocial mengumpulkan tips yang mungkin bisa jadi rujukan bagi para pembaca, baik sebagai founder maupun mereka yang tengah menghadapi masalah dengan manajemen waktu, dari founder Fabelio, Gadjian, dan e-Fishery.

Tips yang pertama datang dari Christian Sutardi. Salah satu pendiri Fabelio ini memiliki rutinitas pagi yang cukup unik. Ia selalu bangun pagi tanpa alarm setelah menjalani tidur berkualitas selama tujuh jam. Selanjutnya, membuka laporan KPI Fabelio hari sebelumnya sambil memesan Iced Americano tanpa gula, diikuti memeriksa pesan yang diterima tentunya dengan urutan berdasaran urgensi.

“Setelah itu saya pergi ke ruang tamu, mengambil segelas besar air dan memeriksa headline berita; biasanya berita internasional di aplikasi Bloomberg. Saya mulai dengan politik internasional, pembaruan Covid-19, pasar saham, dan berita apa pun yang disarankan Google. Preferensi berita saya ditetapkan untuk furnitur, startup, pasar saham, sepak bola, dan olahraga lainnya, ” terang Christian.

Christian “secara resmi” menjalani kerjanya mulai pukul 8.30. Untuk menjaga produktivitasnya Christian juga menerapkan sebuah framework produktivitas yang disebut dengan “eat the frog first“. Frog yang dimaksud adalah task penting atau pekerjaan yang memiliki urgensi tinggi. Secara sederhana framework tersebut berisikan instruksi, tentukan pekerjaan apa yang paling penting. Cukup satu saja. Kemudian segera kerjakan task tersebut sebagai yang pertama di pagi hari. Sebisa mungkin task tersebut harus selesai saat itu juga, sehingga esok hari bisa menyelesaikan hal penting lainnya.

Tips selanjutnya datang dari co-founder dan CEO Fast8 Group (Gadjian, Hadirr & Benefide) Afia Fitriati. Bagi Afia, tidur yang cukup adalah faktor penting dalam menjaga produktivitas. Menurutnya dengan memberikan waktu tidur yang cukup, otak bisa beristirahat setelah bekerja keras seharian, sekaligus mengendapkan proses berpikir agar tetap bisa melihat suatu masalah dengan jernih.

“Waktu sih gak akan pernah cukup, jadi kemampuan menentukan prioritas sangatlah penting bagi seorang founder atau siapa pun yang bekerja di startup. Kalau salah menentukan prioritas, kita akan membuang waktu yang sangat berharga dan tidak bisa ditarik kembali untuk melakukan aktivitas yang kurang signifikan. Jadi, tips dari saya, setiap hari kita harus menanyakan ulang: apakah yang saya lakukan hari ini hal penting atau tidak?” cerita Afia.

Tips terakhir datang dari CEO dan Founder eFishery Gibran Huzaifah. Sama seperti keduanya Gibran termasuk morning person yang selalu mengawali hari dengan sempurna. Kondisi badan dan pikiran yang masih fresh dimanfaatkan Gibran untuk berolahraga, merencanakan hari, dan mempelajari hal baru.

“Pagi adalah waktu paling cerah, bening, dan bergairah dalam hari kita, makanya saya selalu memulai dengan aktivitas yang biasanya bikin semangat: exercise, day planning. Exercise ini kadang bisa lari di sekitar rumah atau dengan 7-minute workout. Workout ini membantu menambah energi dan menjaga kesehatan mental.”

“Setelah itu, saya ada slot waktu untuk membaca atau belajar. Kalau tidak membaca, saya ikut online course di Udemy. Di hari sabtu dan minggu, saya ada slot 4 jam untuk learning activities semacam ini, pagi dan malam hari. Dan dengan adanya slot ini, saat ada role atau tasks baru, kita jadi lebih paham dan kompeten karena meluangkan waktu untuk terus belajar,” cerita Gibran.

Gibran juga percaya bahwa segala sesuai yang urgent atau big impact harus dikerjakan di pagi hari, seperti strategic thinking, planning, dan sejenisnya. Dilanjutkan dengan update internal dan membantu tim menyelesaikan masalah. Selanjutnya, jika ada project kunci atau metrik yang didelegasikan untuk orang lain, di sore hari Gibran akan meluangkan waktu untuk nudging project, problem solving atau membuat sesuatu hal yang berkaitan dengan hal terssebut.

“Bagian terpenting lainnya ada di malam hari, di mana setelah family time dan saat anak lagi mau tidur, saya melakukan retro untuk agenda hari itu, mana yang berjalan optimal, mana yang tidak. Biasanya pertanyaannya sederhana: ‘apa yang perlu saya lakukan supaya besok bisa 5–10% lebih baik dari sekarang?’. Khusus di akhir minggu, saya juga punya satu sheet untuk tracking apakah waktu yang dibuat sesuai dengan yang direncanakan atau tidak. Setelah itu, saya membuat improvement plan untuk pekan depan,” lanjut Gibran.

Ketiga narasumber sepakat bahwa manajemen waktu adalah kunci. Bagi Gibran, membentuk sistem kerja yang baik membantu kita mengelola pikiran, energi, dan waktu. Termasuk di dalamnya membangun rutinitas yang baik setiap harinya dan evaluasi setiap waktu.

“Mayoritas hidup kita habis untuk hal-hal yang kita lakukan di pekerjaan. Dengan menjadi lebih produktif, kita bisa melakukan lebih banyak hal dalam waktu yang lebih singkat sehingga kita punya lebih banyak waktu untuk melengkapi dimensi kehidupan kita yang lain dan merealisasikan sepenuhnya potensi kita sebagai manusia, atau membuat sebanyak-banyaknya amalan dan karya yang bisa kita tinggalkan,” tutup Gibran.

Philoit Q&A Platform for Millennials’ Creative Space

Not just building a question-and-answer platform, Philoit was initiated last year because of the uneasiness of the “unconscious problem” or the phenomenon of unconscious problems in society, which was felt by the Co-Founders Philoit Aldi Tahir and Pieter Surya. They feel that young people in Indonesia spend their energy on content that does not build literacy and knowledge in digital media.

From the data Aldi quoted, more than 60% of Indonesia’s young people spend more than 4 hours on the Internet. In fact, as many as 7% of them spent more than 11 hours on the internet. In other words, the youth’s time and energy is spent on media discussion content that does not build knowledge, such as the thousands of comments on YouTube and Instagram that every opinion written on them will not be read and lead to ongoing discussion.

“This anxiety makes it difficult for us to share the background of [the Philoit being initiated], because the problem we are solving is called an” unconscious problem “. But fortunately recently there was a Netflix documentary “The Social Dilemma” which can very clearly describe the problem in the algorithm on the internet, making us bound and become a product of media consumption, “explained Aldi to DailySocial.

The background of the two co-founders has to do with the core product of Philoit. Aldi mastered technical expertise in data & machine learning which was strengthened by literacy from books about technology and its relation to human behavior in consuming the digital world, and the use of AI.

Meanwhile Pieter has a passion in education in the field of teaching teachers and tutors. He previously started a startup called Tutoreal, to connect parents who need tutors. “But before Pieter launched its digital product, we met and agreed to build a Philoit.”

Philoit is one of the startups participating in the DailySocial Launchpad 1.0 incubation program, the incubation program from TheGreaterHub SBM ITB, BekUP Bekraf for Startup 2020, Cubic Incubator (Bandung), and one of the startup partners at Block71 Bandung.

Currently, Philoit is still actively mentored by Aji Santika from Feedloop-DeepTech-StartupBandung and Novistiar from HarukaEdu.

Zhihu as an objective not Quora

Aldi continued, a popular question-and-answer platform, especially in Indonesia, is Quora, which is always used as a mecca. Even though the basic functionality of the platform is similar, he claims Philoit is more focused on providing features to engage active users in discussions within the application.

These features include gamification, points & levels, titles & achievements, and the digital currency “Philoit COIN” which can be exchanged for prizes. “Philoit wants to stand in the middle as a combination of conventional forums and media-based applications full of various unique features because its aim is to target young people.”

He prefers to place Philoit as an “expert hub” by taking the mecca of a Chinese player named Zhihu. This question and answer platform is included in the top 10 most accessed applications in the Bamboo Curtain country. Its features are more or less the same as Philoi, there are gamification and stats features, like playing games in the form of sharing and discussion.

“Apart from that, the demographics and forms [of habits] of Indonesians and Chinese are similar, which can be good examples in building a similar success platform.”

Because he is passionate about becoming an expert hub, Aldi admits that his party is still perfecting Philoit’s features and core business which will be implemented by inviting experts to join. This is because the company wants to build an ecosystem from a question and answer platform first, then inviting credible people into it.

This strategy was taken because the lessons learned were drawn from the failures of previous players, that in the early stages they immediately used experts / public figures to attract the audience. Meanwhile, the discussion ecosystem in which the form is formed and has not even been validated, which in the end faces difficulties in maintaining the experts / figures in it.

Business plan and challenges

Aldi said that currently Philoit has not carried out monetization. However, in the plan, the company will implement a business model form “Pay Per Question”, not freemium or subscribe. For that, he invites credible experts or resource persons to the platform to answer any questions.

“Just like experience in the game world, users are required to buy diamonds which will later be used to ‘unlock’ content from experts.”

According to him, this concept is the customization of the user experience because users can choose what content they need and want to access. Moreover, this method is in accordance with the habits of young people who tend to be choosy. Users only need to pay for content for which they want to read answers, opinions, or opinions, from experts who are experts in their fields.

As for the challenge itself, considering that Philoit has a coin redeem feature as a form of appreciation for every opinion, discussion, point of view, and a form of content contribution from anyone and gives the same right to benefit.

“This is very different from other UGC platforms which do manual filtering of people who become partners or special contributors and get benefits such as money and others.”

However, at the beginning of the test, many users took advantage of the gap in order to collect as many coins as possible in various ways. Common examples include answers that do not fit the context of the question, copy and paste other people’s answers or from other content without including links, spam best answers, spam unvotes, and use multiple accounts.

“There are even those who directly attack our system and access coin changes through the database. Honestly, that’s not what we wanted from this coin system. ”

Finally, the team made a strategy change by updating the terms and conditions of the redemption, and updating the system that could automatically differentiate content quality based on text analysis. You do this by giving weight to the input from the user, so that the provision of content by the system varies.

Meanwhile, to minimize negative content, his party chose several active users to become moderators who manually report on existing content.

“For other challenges in the future, we believe there will still be, but on the way, we believe that honesty from users, sincerely sharing opinions along with a balance of benefits to be obtained, will form a good sharing ecosystem in Philoit.”

Aldi explained that in the future he wants to apply AI technology like those already used by large platforms such as Quora and Zhihu. Also, developing other interesting features such as Room to accommodate the questions and answers that occur during an event

“We have tried this feature by conducting several independent events and inviting experts in the form of sharing and online discussions. Every question submitted to the expert at the event will be shown live in a specific room that can be accessed by anyone, even after the event ends, “he concluded.

Philoit has so far been bootstrapping and is planning to do some fundraising. Since its release last year, now Philoit has more than 20 thousand registered users with a total of about 190 thousand question and answer content and 14 thousand blog posts. The application has been downloaded more than 10 thousand times on the Play Store.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Borderlands 3: 1 Year, 4 DLCs, and 300 Hours Later

I have to say at the beginning that I am a huge fan of the Borderlands series. I play all of the games from BL1, BL2, BL: TPS, and BL3. I wrote my review when the game was released a year ago. Now, it has released all of its first Season Pass DLCs — since it will have a 2nd Season Pass. That’s why I want to revisit this game to look at its progress and result so far.

I have been playing it for more than 300 hours (EPIC+Steam versions). It’s not much I admit… Compared to POE 2: Deadfire, I play that game for more than 500 hours. I play Skyrim for more than 600 hours. Despite my short time playing this game, I never uninstall it from my PC.

I come and go with this game. When there is a new update, I play a little while. Yet, sadly, it can’t make me stay for a long time. Nevertheless, I do appreciate Gearbox’s best effort to keep updating BL3.

For a justification in writing this opinion, I have finished all 4 DLCs and 2 Takedowns. I have 4 characters (Amara, Zane, Moze, and Fl4k) finished their main story campaign and reached the latest level cap (65). Last, before we go further, spoilers alert!

 

Stale Storytelling

This is my biggest gripe with BL3. Indeed, the previous game (BL: TPS) doesn’t deliver an outstanding plot, but BL2 is amazing from a storytelling point of view.

Let’s dig deeper on each part of the game and compare it with BL2.

From the base game, BL2 has Handsome Jack as a remarkable nemesis. He is funny and annoying at the same time, which is not easy to create such a character.

Via: The Verge
Via: The Verge

BL3? It has annoying characters. Tyreen and Ava, I hate them. Gearbox fails to redeem Tyreen or Ava even after 4 DLCs.

Still, on the main story of BL2, Claptrap is featured in most parts of the campaign. In BL3, Claptrap doesn’t get enough spotlight. To be fair, Claptrap is my favourite character in the Borderlands franchise.

The story of Angel and Roland in BL2 are remarkable. It’s heartbreaking, yet Gearbox manages to deliver it delicately. Maya and Lilith’s story in BL3? Not so much. Maya’s death is annoying, thanks to Ava. Lilith is made so weak deliberately in BL3 when she is, in fact, should be the most powerful Vault Hunter.

How about the DLCs?

All DLCs from BL2 are memorable or, at least, offer funny characters in each part. Captain Scarlett (1st) DLC gives Shanks and Herbert that always make me giggle every time I remember them. Mr Torgue (2nd) DLC? Well, who doesn’t like Torgue? Hammerlock (3rd) DLC also has a funny main antagonist, especially if you remember the final battle.

BL3 also fails to deliver a meaningful ending with its last DLC. Meanwhile, the last campaign DLC from BL2, Tiny Tina’s, is one of the best DLCs I ever played — along with The Witcher 3’s Blood and Wine.

How about the DLCs from BL3? Even if I played it more recently, I have trouble remembering most characters from those DLCs. Sure I remember Timothy and Krieg, but they are in the previous games. The only new memorable character in BL3 DLC is Burton Briggs from Tentacle (2nd) DLC.

I do think that the writers on BL2 are so much better than the writers on BL3. In BL2, it knows its strongest selling point — silly jokes and characters with a heartbreaking twist. While in BL3, I am not sure what Gearbox is trying to do with its story.

Do fans love Claptrap and Tiny Tina? Sure let’s give them more spotlight in BL2. But, noooo… You guys won’t see them enough in BL3. To be fair, sure Claptrap has a funny tale in Tentacle DLC, and we have Krieg as the main focus in DLC 4, but I think it’s just not enough — especially when they can’t create the same level of goofiness using new characters.

Last but not least, there is no follow-up with the war that was mentioned at the end of BL: TPS. I am frustrated when it isn’t presented in the base game. I hoped it would be brought up in the DLCs. Yet, Gearbox manages to torment me once again.

 

Evolved Gameplay

Although I’m still disappointed Gearbox doesn’t want to bring new playable characters as DLC, Gearbox has done a better job in the gameplay aspect of BL3 — compared to its storytelling.

Let’s discuss the gameplay throughout the updates. At launch, every character was quite balanced. It’s not perfectly balanced though since Zane had the worst class mods compared to others.

However, it’s getting worse when Gearbox launched Mayhem Mode and higher level caps. Fl4k and Moze suffered a lot because of their action skills were not scalable. Fl4k’s pets were useless because their damage and health couldn’t compete at higher levels. Even though Amara has been consistent enough, her build variety was very narrow.

The only scaling damage was from the guns for a long time. Skill action, melee, and pets’ damage didn’t scale at all. Although thankfully, it’s fixed now, I think it shouldn’t be a problem at all if Gearbox learned their mistake from BL2.

The balancing problem with BL2 is caused by non-scaling damage besides from guns. That’s why Salvador is the only beast in OP levels while the others can’t compete with him in terms of damage.

Again, luckily, Gearbox addressed the problem in BL3 in June 2020 along with the release of Bounty of Blood (DLC 3). Still, it takes too long if you ask me. BL3 was released in September 2019 and Gearbox should have realized their mistake from BL2. So, I don’t get why they need 9 months to fix that problem in BL3.

Even now, a year after release, BL3 still has balancing problem. For example, Fl4k’s blue skill tree capstone is still useless. Meanwhile, Moze’s blue skill tree capstone is far more useful than the others.

Gearbox plans to release the 4th skill tree for each character. While the plan gives me hope, it causes some concerns.

New DLC from 2nd Season Pass. Via: Gearbox
New DLC from 2nd Season Pass. Via: Gearbox

First, why does it take so long? Considering the new skill trees are the equivalent of new DLC characters, let’s compare it again with BL2. In BL2, Mechromancer was released one month after initial BL2 release date. While Krieg, he was released 7 months later. It didn’t take a year to release 2 new characters (each character has 3 skill trees), yet it takes more than a year for a new skill tree for four characters.

The second concern, it takes so long and so many updates for BL3 to reach its current state. Yet, not every initial balancing problem is fixed. So, will Gearbox create more problems with new skill trees?

 

Conclusion

Gameplay-wise, I know that Gearbox manages to fix the scaling problem and I appreciate that. However, as I mentioned earlier, it shouldn’t be a problem in the first place.

Moreover, even after a year and 4 DLCs, there are some problems regarding bugs and balancing. Indeed, it’s better than BL2 since Gearbox didn’t manage to fix that. However, BL2 allows modding (through patches and Phyton SDK), which enables the community to fix so many gameplay problems.

Story-wise, BL3 is definitely worse than BL2 in so many aspects (including DLCs). Gearbox really needs to find a better writing team to handle their next game.

Finally, even after all of that, I still have hope for BL3 and Gearbox. I will probably buy the 2nd Season Pass and play it when the time comes. I will definitely buy and play the next Borderlands game too. However, for me, the next Borderlands game will be the last chance.

5 Tips Memaksimalkan Kamera Milik OPPO Reno4 F

Hanya dalam rentang waktu sekitar tiga bulan, keluarga OPPO Reno4 kini telah berisikan tiga smartphone yang berbeda. Yang terbaru, OPPO Reno4 F hadir belum lama ini dengan banderol yang paling terjangkau di angka Rp4.299.000 saja.

Namun harga rupanya tidak menjadi penghalang Reno4 F untuk tetap berpegang pada tema “creative and innovation” yang sudah menjadi DNA seri Reno sejak generasi pertamanya. Seperti kakak-kakaknya yang sudah hadir lebih dulu, Reno4 F turut mengemas kemampuan fotografi dan videografi yang sangat mumpuni.

Dari segi hardware, Reno4 F datang membawa kamera utama 48 megapixel f/1.8 dengan sensor sebesar 1/2 inci, kamera ultra-wide 8 megapixel f/2.2, dan sepasang kamera monokrom 2 megapixel, sedangkan di bagian depan, ada kamera selfie 16 megapixel dan depth sensor 2 megapixel.

Lalu dari segi software, Reno4 F juga dilengkapi sederet fitur fotografi berbasis AI seperti Reno4 maupun Reno4 Pro, beberapa di antaranya bahkan baru tersedia di Reno4 F. Namun yang mungkin jadi pertanyaan para konsumen adalah, bagaimana semua itu bisa membantu menghasilkan foto dan video yang apik? Berikut lima tips yang bisa Anda coba terapkan.

Jangan segan mengaktifkan fitur AI Super Clear Portrait

AI Super Clear Portrait

Dari namanya sudah kelihatan jelas bahwa fitur ini diciptakan untuk menghasilkan foto portrait yang jernih, jadi jangan segan mengaktifkannya saat memang sedang memotret wajah seseorang dari jarak yang cukup dekat.

Secara teknis, AI Super Clear Portrait memanfaatkan teknik rekonstruksi wajah sekaligus deep learning untuk membuat detail-detail pada wajah, macam alis atau bulu mata misalnya, jadi lebih jelas lagi daripada biasanya. Seperti yang kita tahu, foto portrait yang baik adalah yang bagian matanya terlihat detail, jadi jangan lupa untuk memanfaatkan fitur ini.

Jangan ragu mengambil selfie di malam hari

AI Super Night Portrait

Sering kali minimnya penerangan saat malam sudah tiba membuat kita jadi mengurungkan niat untuk mengambil selfie. Pada Reno4 F, kita bisa mengandalkan fitur AI Super Night Portrait yang secara spesifik dirancang untuk keperluan ini.

Cara kerja fitur ini cukup mirip dengan HDR, di mana kamera akan mengambil beberapa gambar dengan pengaturan exposure yang berbeda, sebelum akhirnya digabungkan menjadi satu gambar yang paling optimal. Pada praktiknya, fitur ini memungkinkan tampilan wajah kelihatan lebih terang di kondisi cahaya yang redup, tapi di saat yang sama tanpa mencerahkan latar belakangnya secara berlebihan (overexposure).

Cari background dengan lampu warna-warni

AI Night Flare Portrait

Seperti Reno4 dan Reno4 Pro, Reno4 F turut dibekali fitur AI Night Flare Portrait. Untuk mendapatkan hasil yang paling maksimal, Anda bisa mencari lokasi dengan latar belakang yang menampilkan banyak pancaran cahaya dari lampu, terutama yang warna-warni jika ada.

Dengan begitu, efek bokeh yang dihasilkan oleh fitur ini bakal terlihat jauh lebih dramatis. Tidak perlu jauh-jauh ke kafe atau naik ke jembatan penyeberangan, di komplek rumah pun juga oke selama bisa menemukan latar belakang yang dihiasi banyak sumber pencahayaan.

Kenakan pakaian warna-warni

AI Color Portrait

Masih seputar warna-warni, baju warna-warni bakal jadi properti yang sangat pas untuk sesi fotografi menggunakan Reno4 F. Pasalnya, ada fitur AI Color Portrait yang memungkinkan kita untuk mengisolasi warna pada subjek foto dan membuat latar belakangnya jadi hitam putih.

Fitur ini sudah menjadi favorit konsumen semenjak Reno4 diperkenalkan, dan hasil tangkapan terbaik dari konsumen kebanyakan memang melibatkan subjek yang sedang mengenakan pakaian warna-warni.

Isi waktu dengan vlogging

OPPO Reno4 F

Selagi waktu luang berlimpah selama pandemi, kenapa tidak kita manfaatkan saja untuk memulai hobi vlogging? Hitung-hitung sebagai diari selama menjalani masa sulit. Perangkat yang dibutuhkan tidak lebih dari Reno4 F itu sendiri, sebab fitur Ultra Steady Video pada perangkat ini juga berlaku untuk kamera depannya.

Singkat cerita, hasil perekaman menggunakan kamera depannya bakal terlihat cukup stabil berkat fitur ini, dan Anda juga tidak perlu mengandalkan alat bantu seperti gimbal kalau sesi vlogging-nya dilakukan selagi sebatas jalan-jalan di komplek sekitar rumah.

OPPO Reno4 F saat ini sudah bisa dibeli melalui jaringan toko fisik dan toko online OPPO, serta berbagai situs ecommerce dengan banderol resmi Rp4.299.000. Pilihan warna yang tersedia ada dua, yakni Matte Black dan Metallic White.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh OPPO.