DailySocial Memperkenalkan #Deals

DailySocial berkembang bersama para penggiat teknologi dan orang-orang yang tertarik tentang informasi teknologi terkini, Kini sudah saatnya kami memberikan nilai lebih bagi pembaca setia kami. Itu sebabnya DailySocial memperkenalkan Deals, sebuah cara baru berbelanja online.

Kami akan memberikan diskon-diskon menarik (baca: signifikan) dari berbagai layanan e-commerce, SaaS, cloud hosting, atau co-working space yang produk-produknya menjadi kebutuhan pembaca kami.

Untuk dapat menikmati penawaran ini, pembaca diwajibkan melakukan login, yang bisa dilakukan dengan menautkan akun Facebook atau LinkedIn. Tenang, kami menjaga privasi data-data Anda.

Berikut ini adalah promo yang sedang berjalan:

Tunggu apalagi, daftar sekarang dan nikmati privilege menjadi pembaca terdaftar dengan penambahan deals sepanjang waktu. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku.

Infiltrasi EMTEK ke Layanan Streaming iflix

Aroma iflix memasuki pasar Indonesia semakin terasa. Terakhir, konglomerat media EMTEK mengkonfirmasi keterlibatannya dalam pendanaan Seri B untuk iflix senilai total $45 juta (hampir 600 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh raksasa televisi Inggris Sky. Sebelumnya ada dua mantan personel Emtek yang direkrut iflix. Mumbrella menginformasikan bahwa Cam Walker direkrut untuk memimpin operasional iflix di Indonesia. sementara David Goldstein menjadi Special Advisor. Belum ada informasi kapan tepatnya iflix bakal beroperasi di Indonesia, tetapi dipastikan pasti diluncurkan tahun ini.

Tahun 2016 menjadi momentum kehadiran layanan streaming konten video di Indonesia, setelah Netflix hadir awal tahun ini. HOOQ, iflix, dan yang terbaru Viu berlomba-lomba menyiapkan layanannya di sini dengan mencoba mengakomodasi banyak konten lokal dan regional yang diharapkan bisa menjadi favorit pemirsa Indonesia. Sebelumnya sempat diberitakan iflix berencana masuk Indonesia di akhir tahun 2015, tapi realisasinya baru terjadi tahun ini.

Kembali soal iflix, sejauh ini mereka telah tersedia di Malaysia, Thailand, dan Filipina. Indonesia bakal menjadi ujian penting apakah konten-konten yang mereka bawa sesuai dengan selera lokal. Hadirnya EMTEK sebagai “pendukung” adalah langkah strategis untuk mencapai target tersebut, apalagi saat ini Netflix, yang tidak menggandeng partner lokal, mendapatkan tantangan dari berbagai pihak, baik dari sisi penyedia layanan infrastruktur (Telkom), maupun pemerintah sebagai regulator yang mensyaratkan perusahaan OTT menggandeng partner lokal atau mendirikan Badan Usaha Tetap.

EMTEK sendiri memiliki sudah layanan streaming Vidio yang bersifat User Generated Content, selain berbagai portofolio digital yang diakuisisinya dalam 2 tahun terakhir. Kehadiran iflix bakal melengkapi portofolio layanan berbasis konten, termasuk tiga stasiun televisi yang dimilikinya. Sebagai penyedia konten, iflix telah bermitra dengan The Walt Disney Company, 20th Century Fox, MGM, BBC Worldwide, Paramount Pictures, Starz, dan Warner Bros untuk mendistribusikan konten yang dimiliki di kawasan Asia Tenggara.

Perbaikan kualitas infrastruktur fixed broadband dan mobile broadband, khususnya kehadiran 4G/LTE, di Indonesia membuat konten berbasis video menjadi primadona baru di kalangan konsumen. Biasanya, yang menjadi “korban” dari naik daunnya layanan konten video adalah stasiun televisi. Itu sebabnya mereka yang berinvestasi di layanan seperti ini tak jauh-jauh dari konglomerat media yang tidak ingin ketinggalan kereta.

Application Information Will Show Up Here

Carousell Perkenalkan Chai Jia Jih Sebagai VP of International

Layanan mobile marketplace C2C Carousell yang berbasis di Singapura memperkenalkan Chai Jia Jih sebagai VP of International. Jia Jih bertanggung jawab memperluas pasar Carousell secara internasional, termasuk di Indonesia yang merupakan pasar yang sangat potensial untuk segmen mobile commerce. Jia Jih sendiri percaya bahwa strategi viral marketing adalah cara paling tepat mengakuisisi lebih banyak pelanggan di Indonesia.

Jia Jih memilih Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjunginya setelah dua minggu menjabat sebagai VP Carousell. Jia Jih sebelumnya membawa pengalaman selama lebih dari 12 tahun di bidang teknologi, termasuk menjadi Managing Director Asia Tenggara dan Head of APAC Host Operations Airbnb selama 3,5 tahun terakhir.

Ketika ditanya tentang alasan memilih Carousell dan meninggalkan Airbnb, Jia Jih kepada media mengatakan “tantangan” adalah kata kuncinya. Menurutnya sangat menantang untuk membantu sebuah startup Asia mengglobal.

Carousell sendiri dirumorkan mendapatkan pendanaan besar untuk berekspansi di Asia, meskipun pihak Carousell sampai sekarang tidak mengkonfirmasinya, dan Jia Jih adalah eksekutif yang dipilih untuk memimpin usaha ini. Secara total, berdasarkan dua putaran pendanaan, Carousell sudah memperoleh pendanaan mendekati $7 juta (mendekati 90 miliar Rupiah).

Tentang pasar Indonesia bagi Carousell, meski tak mau memberikan statistik yang detil, Jia Jih mengatakan mereka mengalami pertumbuhan 10 kali lipat dibanding tahun lalu. Meskipun belum memiliki target khusus untuk perkembangan Carousell di Indonesia, Jia Jih memastikan mereka akan fokus untuk membantu menyelesaikan masalah, dalam hal jual beli produk dan tidak akan terlalu fokus terhadap kompetisi di segmen C2C. Carousell sendiri secara global telah memiliki lebih dari 26 juta produk yang terdaftar di situsnya.

[Baca juga: Carousell Selenggarakan Curated Garage Sale Sebagai Strategi C2C]

Di Indonesia sendiri ada sejumlah layanan marketplace yang menyasar C2C, sementara pasar mobile marketplace mulai memanas dengan masuknya Carousell, Shopee, Lyke, dan Sale Stock. Seperti halnya para pesaing, jenis barang yang paling banyak diperjualbelikan di Carousell adalah produk fashion, furnitur, dan produk bayi. Jia Jih mengkonfirmasi segmen pasarnya, meskipun bervariasi, paling banyak adalah perempuan di rentang usia 18-35 tahun.

Tentang operasionalnya di Indonesia, Carousell sendiri telah merektur 3 orang lokal dengan fungsi menjadi Community Manager. Ia tidak menutup peluang untuk merekrut lebih banyak pegawai, termasuk seorang Country Manager, tergantung bagaimana perkembangan bisnisnya di Indonesia. Untuk hal ini, dia memastikan perekrutan orang-orang lokal diutamakan karena mereka lebih mengerti soal pasar Indonesia ketimbang orang asing.

Jia Jih percaya bahwa Carousell bisa bertahan lama jika pengguna memang benar-benar suka menggunakan layanannya dan menyebarkan informasi ini ke teman-teman di sekitarnya. Untuk itulah Carousell mencoba menitikberatkan penggalangan komunitas dan campus ambassador sebagai usaha mendukung viral marketing. Pendekatan ini tidak berbeda jauh dengan strategi yang diusung para Co-Founder Carousell saat mulai mengembangkan pasar di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Insight Pemanfaatan Marketplace Jasa di Indonesia

Di tahun 2016 ini, layanan on-demand menjadi primadona baru di kalangan masyarakat. Kesibukan kegiatan sehari-hari dan sudah tidak zamannya mencari kontak tukang di yellow pages membuat konsumen beralih ke Internet untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai hal, terutama berkaitan dengan urusan domestik.

Kami bekerja sama dengan Seekmi, sebuah platform marketplace jasa yang hadir sejak tahun 2015, untuk memberikan gambaran seperti apa sebenarnya pemanfaatan layanan seperti ini oleh masyarakat.

seekmi1

Berdasarkan data yang diperoleh, dalam enam bulan terakhir terjadi lonjakan permintaan pekerjaan hingga 3-4 kali lipat menggunakan Seekmi. Data awal di bulan Agustus 2015 menunjukkan adanya 404 permintaan pekerjaan, kemudian melonjak hampir 4 kali lipat di bulan Desember 2015, dan terakhir saat ini mencapai 1372 permintaan pekerjaan di bulan Februari 2016. Secara rata-rata, terdapat 900 pekerjaan setiap bulan yang diminta melalui Seekmi.

[Baca juga: Menilik Persaingan Marketplace Jasa di Indonesia]

Seperti apa sebenarnya jenis pekerjaan yang dibutuhkan konsumen? Dengan variasi yang bermacam-macam, apalagi ada 520 jenis layanan yang ditawarkan, ternyata layanan pembersihan AC, layanan pembersihan domestik, dan pencarian asisten rumah tangga menjadi hal yang paling dicari konsumen. Tak salah jika layanan on-demand Ahlijasa menyasar dua hal yang pertama tersebut sebagai bagian layanannya.

seekmi2

Yang menarik, meski keluhan yang diterima tidak banyak, ternyata keluhan terbesar yang diterima Seekmi dari pengguna adalah dikontak terlalu banyak vendor. Keluhan minor berkisar soal situs yang bermasalah, harga yang mahal, atau respon yang lambat. Ini artinya antara demand dan supply masih belum berimbang. Dari sisi supply, tampaknya mereka yang menyediakan jasa makin menyadari bahwa mereka butuh layanan seperti ini untuk tetap beroperasi dan menjemput bola mencari konsumen.

seekmi3

Secara umum, konsumen merespon quotation dalam hitungan jam atau paling lambat 1-2 hari, terutama untuk kebutuhan asisten rumah tangga. Dari konsumen yang sudah menggunakan layanan marketplace jasa seperti Seekmi, sejauh ini responnya cenderung positif.

seekmi5

Memang terlalu dini untuk menyimpulkan apapun dari data tersebut. Meskipun demikian, terlihat bahwa pasar layanan jasa masih memiliki peluang yang luas untuk berkembang. Dari sisi demand, kesibukan masyarakat membuat mereka tak banyak memiliki waktu mencari bantuan untuk kebutuhan domestiknya. Pencarian di Internet kini menjadi pilihan yang lebih mudah. Sementara dari sisi supply, mereka sadar bahwa kehadiran di layanan online merupakan cara yang secara signifikan bakal membantu mereka mendapatkan basis konsumen yang lebih luas. Marketplace jasa, seperti Seekmi, tampaknya berada di jalan dan waktu yang tepat untuk mengembangkan bisnisnya.

Dimo Bertaruh pada Platform Berbasis QR

Di tahun 2011, pengguna Internet dikejutkan dengan berita bagaimana gampangnya seorang konsumen Korea Selatan membeli barang kebutuhan sehari-hari di papan pengumuman sebuah stasiun kereta dan membayarnya menggunakan kode QR. Layanan yang diimplementasikan Tesco tersebut mulai bisa dirasakan di sini dengan hadirnya platform “Pay by QR” dari PT Digital Money Indonesia, atau Dimo.

Dalam peluncuran resminya hari ini di D.Lab, Jakarta Pusat, CEO Dimo Brata Rafly menjelaskan peluang Dimo memasuki bisnis fintech didorong rendahnya penetrasi produk perbankan di masyarakat, termasuk kartu kredit, dan tingginya kepemilikan smartphone di Indonesia. Ini adalah peluang yang bagi sebuah solusi alternatif, setidaknya begitu di benak punggawa Dimo.

IMG_2731

Fintech menjadi vertikal yang menarik karena investasi di sektor ini dalam sembulan pertama tahun 2015 di kawasan Asia Pasifik, menurut studi Accenture, mencapai angka $3,5 miliar. DailySocial sendiri, dalam laporannya, memprediksikan fintech bakal menjadi segmen primadona di tahun 2016.

Dimo didukung oleh sejumlah investor, dengan dukungan terbesar berasal dari SMDV, perusahaan investasi milik Sinar Mas.

[Baca juga: Prediksi Tren Fintech Asia Tahun 2016 Versi Penyedia Data Center Digital Realty]

Seperti yang sudah dijelaskan di artikel terdahulu, Pay by QR tidak menjadi sebuah aplikasi tersendiri. Solusi ini menempel ke aplikasi yang berbasis sumber dana, misalnya aplikasi e-money dan aplikasi perbankan. Setiap transaksi akan langsung memotong saldo e-money atau saldo tabungan. Perbankan dan operator telekomunikasi yang memiliki izin OJK menjadi tulang punggung teknologi Pay by QR. Bank Sinarmas, Bank Mega, Bank Danamon, Smartfren, dan Indosat adalah segelintir pendukung awal platform ini.

Pay by QR bisa diimplementasi di berbagai situasi

Penggunaan Pay by QR bisa dibedakan menjadi tiga hal. Pertama adalah penggunaannya di kasir toko dan restoran, atau warung pinggir jalan sekalipun. Jika kita berkunjung ke mitra Dimo, kita bisa membayar transaksi menggunakan berbagai metode yang mendukung Pay by QR. QR cashier bisa diimplementasikan di mesin EDC atau aplikasi QR Cashier.

Kedua adalah penggunaannya di layanan e-commerce. Pay by QR bisa menjadi opsi pembayaran di berbagai layanan e-commerce. Terakhir adalah implementasi Pay by QR di jaringan supply chain. Yang ini khusus untuk segmen B2B.

IMG_2736

Dimo, seperti ditegaskan Brata, berusaha mendukung semangat cashless yang dicanangkan pemerintah dengan membantu UKM mengurangi penggunaan uang tunai. Skema monetisasi Dimo adalah revenue sharing, artinya tidak perlu modal awal sama sekali untuk menggunakan fitur ini, dengan rataan biaya 1-1.5% per transaksi yang diklaim lebih rendah ketimbang menggunakan layanan Visa atau MasterCard.

Tentang kenapa memilih QR sebagai sistem yang paling didukung Dimo, Brata menjawab QR dianggap teknologi yang paling murah, sudah tersedia tanpa memerlukan infrastruktur tambahan, dan edukasi penggunaannya dianggap lebih mudah karena QR sendiri sudah mulai umum digunakan untuk kemudahan akses tautan situs. QR sendiri merupakan skema pembayaran yang umum digunakan di Tiongkok dan Korea Selatan. Alipay misalnya, menggunakan QR sebagai metode utamanya.

[Baca juga: Dimo Luncurkan “Pay by QR”, Metode Pembayaran dengan QR Code]

CTO Dimo Ari Awan mengaku pihaknya sendiri sudah berhasil mengimplementasikan berbagai teknologi canggih untuk pembayaran, seperti biometrik, suara, atau NFC yang sedang banyak digunakan. Dengan pertimbangan di atas, QR menjadi pilihan utama, tetapi tim R&D tetap melakukan riset tentang teknologi pembayaran yang up-to-date.

Head of Uangku Smartfren Steven Shih di kesempatan yang sama menyebutkan penggunaan Pay by QR saat ini sudah melampaui pemanfaatan fitur lain di aplikasi Uangku. Khusus kepada DailySocial, Steven mengaku pihaknya mengandalkan Pay by QR untuk melakukan penetrasi ke skema pembayaran e-commerce.

IMG_6945

Soal implementasi QR store yang menjadi cita-cita Dimo, mereka sudah mengimplementasikan QR store di kantor Sinar Mas Land sebagai pilot project-nya. Di acara peluncuran tadi juga ditunjukkan showcase tentang bagaimana mudahnya menggunakan QR store untuk membeli berbagai barang kebutuhan sehari-hari.

Tahun ini Dimo, disebutkan Brata, menargetkan Pay by QR siap tinggal landas dengan secara agresif mengembangkan infrastruktur, meningkatkan jumlah merchant, dan menambah partner pemilik sumber transaksi (issuer). Sejauh ini Dimo masih fokus ke pasar Jakarta yang dianggap memiliki adopsi teknologi paling cepat, tapi tak menutup kemungkinan ekspansi bersama mitra issuer ke daerah lain.

Pay by QR bergabung dengan Fira Pay, Sakuku, Mandiri E-Cash, atau BBM Money menjadi sarana pembayaran alternatif berbasis elektronik yang berupaya mencari peluang dari rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

HappyFresh Perluas Jangkauan ke Filipina

Layanan online grocery HappyFresh mengumumkan ekspansi terbarunya dengan membuka operasi di Filipina. Kehadirannya di Filipina membuat HappyFresh kini beroperasi di 5 negara Asia. Selain Indonesia dan Filipina, HappyFresh juga hadir di Malaysia, Thailand, Taiwan. Di Indonesia sendiri, setelah Jabodetabek dan Surabaya, HappyFresh telah beroperasi di Bandung dan menambah jaringan Super Indo sebagai mitranya.

Di Filipina HappyFresh mengangkat Isabel “Pao” Barientos sebagai Managing Director. Co-Founder dan CEO HappyFresh Markus Bihler mengatakan, “Filipina adalah pasar yang menarik karena kekayaan masyarakat yang terus bertambah dan pertumbuhan belanja konsumen terus berakselerasi hingga tahun 2030.”

[Baca juga: HappyFresh Paparkan Perkiraan Bisnis Grocery Online di Asia]

Di bulan September tahun lalu, HappyFresh, yang berbasis di Jakarta, telah mendapatkan pendanaan Seri A senilai $12 juta. Termasuk di dalam investornya adalah SMDV, perusahaan investasi Sinar Mas, yang juga memasuki pasar e-commerce melalui investasi di Ardent Capital.

Sejak kehadiran HappyFresh, bisa dibilang konstelasi online grocery di Indonesia berubah. Paradigmanya bergeser dari startup yang mendirikan pasa swalayan secara online, seperti Sukamart atau Seroyamart, menjadi layanan on-demand bekerja sama dengan pasar swalayan yang sudah ada. Kini bisa dibilang pesaing kuat HappyFresh tinggal Go-Mart yang diusung Go-Jek.

Application Information Will Show Up Here

Ada Apa dengan PinkEmma?

Mengarungi samudera e-commerce Indonesia sejak tahun 2012, layanan e-commerce fashion perempuan PinkEmma terlihat tidak lagi aktif beroperasi dan baru-baru ini mengganti halaman depannya dengan halaman “under renovation“. Dengan tidak lagi menerima order sejak Januari dan kanal media sosialnya tak lagi aktif sejak akhir Desember, ada apa dengan PinkEmma? Apakah mereka menjadi korban “keganasan” persaingan di segmen e-commerce berikutnya?

Menyasar segmen fashion perempuan, PinkEmma sempat menjadi primadona di kalangannya. Namun memasuki tahun keempat bisnisnya, tim kami justru menemukan bahwa kanal media sosial utama PinkEmma seperti Facebook, Twitter, dan Instagram-nya tak lagi aktif sebagai mana biasanya. Pembaruan terkini dilakukan pada bulan Desember 2015 silam, sedangkan pertanyaan soal order yang belum dikirim tidak lagi dijawab.

Di bulan Januari, meskipun masih menampilkan katalog berbagai produk, tak ada lagi tombol untuk melakukan pemesanan. Kini, halaman depan diganti dengan status “under renovation” tersebut.

4

Persaingan di segmen fashion perempuan memang sangat ketat. PinkEmma bersaing dengan Zalora, 8Wood, BerryBenka, Hijabenka, HijUp, dan masih banyak lainnya. Hadir pula layanan khusus mobile marketplace, seperti Shopee, Lyke, dan terakhir Coral yang membuat kondisi semakin pelik.

[Baca juga: Produk Fashion adalah Segmen yang Paling Sering Dibeli Pembelanja Online Jabodetabek]

Keriuhan seperti ini yang akhirnya membuat Moxy dan Bilna melakukan merger, dan mengubah entitas menjadi Orami, supaya tetap relevan di segmen ini.

Survei Telkomsel MSight di bulan Agustus 2015 menunjukkan produk fashion (khususnya fashion perempuan) adalah segmen paling populer di kalangan online shopper di kawasan Jabodetabek, diikuti gadget & produk elektronik dan kegiatan travel (hotel dan tiket pesawat).

Lantas, apakah PinkEmma akan tutup dan tak lagi mewarnai dinamika industri e-commerce Tanah Air? Berdasarkan keterangan yang DailySocial peroleh dari Co-Founder PinkEmma Winda Rezita, PinkEmma memastikan telah menutup kantor layanannya di Jakarta dan memusatkan operasionalnya kembali ke Bandung, tempat kebanyakan produknya dibuat, tetapi Winda tidak menjelaskan lebih jauh kapan PinkEmma akan kembali beroperasi dan inovasi seperti apa yang ingin dihadirkan.

Dalam tiga bulan terakhir, sudah ada beberapa layanan e-commerce yang menutup layanan, diakuisisi, atau merger untuk tetap relevan. Konsolidasi jelas tak terelakkan di vertikal ini. Semoga PinkEmma tidak mengikuti jejak Rakuten yang baru saja menutup operasional layanannya di Indonesia.

Inovasi atau pivot apa yang bakal dilakukan PinkEmma? Apakah mereka masih bisa bangkit dengan kreasi baru di tengah-tengah persaingan di segmen ini? Kita tunggu saja pembaruan berikutnya.


Michael Erlangga berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Tinggal Ingin Jadi yang Terdepan di Layanan Pemesanan Hotel Budget dan Independen

Layanan pemesanan hotel budget dan independen Tinggal (atau “Stay” dalam bahasa Inggris) memperkenalkan dirinya untuk pasar Indonesia. Tinggal menjadi layanan ketiga, setelah Zenrooms dan Nida Rooms, yang menyasar segmen ini. Dengan modal 1 juta dollar dari sejumlah investor, Tinggal berharap menjadi yang terdepan di sektor ini, di Indonesia tentunya, tahun ini. Tiga minggu beroperasi, mereka telah memiliki setidaknya 50 hotel yang bekerja sama. Dibanding kompetitor, Tinggal mendeferensiasi diri dengan fokus ke pengalaman pengguna.

Berbicara dengan media di Jakarta, Co-founder dan CEO Tinggal Arjun Chopra memperkenalkan diri dengan menjelaskan latar belakang pendidikan manajemen hotel dan pengalaman bekerja di beberapa perusahaan teknologi yang mendorongnya mendirikan Tinggal. Dia melihat pasar Indonesia yang masif dengan dukungan adopsi teknologi yang sangat baik, setidaknya jika dibandingkan dengan India.

India, sebagai negara asal Arjun, sudah memiliki sejumlah layanan pemesanan hotel budget yang mulai berkonsolidasi. Salah satunya adalah Wudstay. CEO Wudstay Prafulla Mathur menjadi salah satu investor awal, bersama dengan CEO Nimbuzz Vikas Saxena, Mangrove Capital Partners, dan Simile Venture Partners yang menyuntikkan dana 1 juta dollar untuk Tinggal.

Dibanding pesaingnya, dana awalnya sebenarnya tidak terlalu besar, tapi Tinggal saat ini fokus untuk pasar Indonesia, sedang yang lain secara serentak aktif di berbagai negara di Asia Tenggara.

Pembeda Tinggal dibanding kompetitor

Jika kita membuka situs Tinggal, baik dari desktop maupun mobile, ada beberapa hal yang berbeda dibanding kompetitornya. Pertama adalah ketiadaan akun pengguna, kedua adalah tidak ada nama hotel, dan ketiga adalah sementara ini mereka belum menyediakan opsi pembayaran digital.

Menurut Arjun, dari awal mereka ingin memberikan pengalaman yang berbeda untuk penggunanya. Oleh karena itu mereka memberikan penaman generik seperti Tinggal Standar, Tinggal Premium, atau Tinggal Elite, tanpa menyebutkan nama hotel mitranya. Mereka ingin konsumen merasakan pengalaman menyenangkan dari Tinggal karena perusahaan menjamin semua hotel yang bermitra sudah sesuai dengan standar yang diterapkan. Standar di sini setidaknya ada AC, Wi-Fi, dan bahkan makan pagi, di luar hal standar soal kebersihan dan kerapihan. Itu sebabnya untuk saat ini mereka tidak akan memberikan sistem rating dan review untuk para penggunanya.

[Baca juga: Layanan Pemesanan “Budget Hotel” Zenrooms Hadir Di Indonesia]

Seandainya konsumen tidak puas dengan kamar yang dihadirkan, Arjun mengklaim tim Tinggal akan membantu konsumen untuk pindah ke hotel lain, termasuk untuk pengantarannya.

Soal ketiadaan akun dan opsi pembayaran digital, Arjun mengatakan hal ini untuk memudahkan konsumen memesan. Meskipun demikian dalam waktu dekat Arjun mengatakan pihaknya segera menyediakan opsi pembayaran dengan kartu kredit, transfer bank, dan melalui sejumlah minimarket.

tinggal

Soal harga, Tinggal mengaku tak mau jor-joran dengan iming-iming biaya murah, jika itu berarti mengorbankan kualitas. Tinggal mengatakan harga termurah yang ditawarkan di harga 200 ribuan Rupiah per malam hingga kamar hotel bintang 4 berharga sekitar 1,5 juta Rupiah per malam. Tak cuma sekedar membantu soal pemesanan, Tinggal berupaya meningkatkan kualitas para mitranya dengan menyediakan pelatihan dasar soal perhotelan.

Khusus untuk akun korporasi, Tinggal sudah menyediakan halaman khusus yang terpisah dengan landing page konsumen perorangan.

Target dan strategi Tinggal di tahun 2016

Saat ini Tinggal sudah memiliki mitra di Jakarta, Pulau Bali, Malang, dan Bandung. Mereka berencana memperluas kemitraan sambil menambah jumlah pegawai. Dari 9 orang pegawai penuh waktu yang dimiliki sekarang, mereka ingin mengembangkannya menjadi 35-40 orang sepanjang tahun ini.

[Baca juga: Nida Rooms Sambangi Indonesia dan Malaysia]

Meskipun memiliki target tinggi untuk menjadi terdepan di segmen ini, Tinggal disebut tidak meninggalkan model bisnis dari awal berdirinya. Arjun mengaku memiliki margin yang cukup sehat supaya bisnisnya bisa berkelanjutan. Pun Arjun tak mau Tinggal jor-joran untuk strategi pemasaran.

Di sisi pengembangan, Tinggal sedang menyiapkan aplikasi mobile (untuk platform Android dan iOS) dan pelokalan situs dalam Bahasa Indonesia.

“Saya berharap dapat berekspansi dengan cepat ke seluruh destinasi bisnis dan liburan utama di Indonesia, dan saya yakin para konsumen akan menghargai nilai sebuah kenyamanan dan keselamatan yang kami tambahkan dalam pengalaman berwisata mereka,” tutupnya.

Masa Depan “Exit Startup” di Asia Tenggara adalah Merger dan Akuisisi, Bukan IPO

Golden Gate Ventures (GGV) yang berbasis di Singapura merilis laporan kedua tentang pertumbuhan merger dan akuisisi (M&A) di kawasan Asia Tenggara. Mereka menyimpulkan bahwa masa depan “exit startup” di Asia Tenggara adalah M&A, bukan IPO (penawaran saham perdana) di bursa saham. GGV memprediksikan bakal terjadi pertumbuhan 500% untuk M&A di kawasan ini, sehingga diperkirakan sejak tahun 2020 bakal ada 250 proses M&A setiap tahunnya.

Pemetaan GGV menunjukkan hanya ada 11 IPO perusahaan teknologi di Asia Tenggara sejak tahun 2005, sementara di periode yang sama ada 127 akuisisi. 43% di antara proses M&A ini dilakukan oleh perusahaan non-Asia Tenggara.
Kebanyakan IPO yang dilakukan startup kawasan ini dilakukan di bursa saham Australia yang menawarkan posisi unik bagi perusahaan yang lebih kecil untuk berada di papan utama. Singapura mulai memasuki segmen ini dengan menawarkan papan saham The Catalist.

Indonesia sendiri sudah mempertimbangkan inisiatif kategori khusus di Bursa Efek Indonesia untuk UKM dan startup. Tercatat setidaknya 8 akuisisi terhadap startup terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2015 dan belum ada IPO yang terjadi. Bhinneka, dalam acara perayaan ulang tahunnya baru-baru ini, memberikan pernyataan berminat melakukan IPO dalam waktu dua tahun ke depan pasca perolehan pendanaan 300 miliar Rupiah dari Ideosource.

[Baca juga: BEI dan Kadin Akan Bangun Inkubator untuk Mempersiapkan IPO Startup]

Meskipun demikian, startup masih kesulitan mendapatkan return dengan melakukan IPO karena kebanyakan investor umum kesulitan memahami model bisnis dan bagaimana startup bertumbuh. Ujung-ujungnya lebih mudah bagi startup untuk melakukan exit dengan nilai tinggi melalui proses M&A. Dengan pemodelan statistik, GGV memprediksikan bakal terjadi pertumbuhan 500% untuk M&A startup Asia Tenggara dari tahun 2015 hingga tahun 2020, dengan setidaknya 250 M&A setahun mulai tahun 2020.

ggv_m&a_prediction

Managing Partner GGV Vincent Lauria menyatakan, “Di Amerika Serikat, ‘exit’ yang sukses melibatkan ‘go public’. [..] Di Asia Tenggara, [kondisinya] berkebalikan. Penjualan [startup] biasanya memberikan imbal balik finansial yang lebih besar ketimbang ‘go public’, terutama jika pengakuisisi memiliki ketertarikan strategis yang besar di kawasan [Asia Tenggara].”

Secara umum, GGV menyimpulkan startup yang didanai dengan modal besar, memiliki peluang diakuisisi lebih besar pula. Perolehan pendanaan biasanya digunakan startup untuk secara cepat membangun kemampuan pengembangan produk yang lebih cepat, merekrut talenta, dan meningkatkan operasi di seluruh kawasan. Startup yang sudah matang menarik perhatian berbagai calon pembeli prospektif yang ingin mengembangkan sayapnya di Asia Tenggara.

Dengan mengakuisisi perusahaan, pemain global dapat mengurangi sejumlah kesulitan untuk mengembangkan bisnis di pasar asing. Tahun 2015 saja GGV mencatat pendanaan yang dikeluarkan di kawasan Asia Tenggara mencapai nilai total hingga $2 miliar (26 triliun Rupiah).

“Dengan mengakuisisi perusahaan dengan tim yang kuat, basis konsumen yang sudah ada, dan fondasi operasional yang kuat, perusahaan global dapat berekspansi di Asia Tenggara dengan lebih efisien ketimbang melakukan semuanya sendiri [dari awal],” ujar Alexis Horowitz­ Burdick, pendiri startup kosmetik Luxola yang tahun lalu diakuisisi konglomerat fashion LVMH.

CT Corp Juga akan Masuki Sektor E-Commerce

Tak perlu waktu lama sampai semua raksasa bermodal besar, terutama yang sudah memiliki bisnis mapan di bidang ritel, ambil bagian dalam perlombaan marathon e-commerce Indonesia. Setelah Salim Group menggandeng raksasa ritel Korea Selatan Lotte untuk ambil bagian tahun depan, kini giliran CT Corp milik pengusaha Chairul Tanjung yang menyiapkan amunisi di sektor ini. Belum ada informasi kapan layanan e-commerce CT Corp bakal beroperasi, tetapi nantinya operasional layanan ini terpisah dari Trans Retail yang membawahi berbagai unit bisnis ritel CT Corp.

Seperti dikutip dari Detik, Chairul Tanjung mengatakan, “E-commerce saat ini sedang kita siapkan karena kita maunya begitu masuk harus langsung jadi juara. Kalau nggak jadi juara, mending nggak usah buat, karena line bisnis kita ini komplit. Ada hypermarket, department store, airlines, hotel, food and beverages, dan juga entertainment. Kita mau nanti semua platform e-commerce kita harus tersedia.”

Dari bisnis ritel yang dimilikinya, CT Corp bisa dibilang punya berbagai properti yang cocok dijual secara online. Tanpa dukungan pihak ketiga pun, bakal ada banyak hal yang langsung tersedia ketika layanan e-commerce ini siap. Sebut saja jaringan hypermarket Carrefour, department store Metro, berbagai hotel dan tempat hiburan di bawah manajemen TransStudio, dan sejumlah produk fashion branded menjadi nilai tambah bagi layanan e-commerce ini. Tentunya jika mereka tahu bagaimana mengeksekusinya secara online.

Menjadi juara di layanan e-commerce Indonesia tidak akan terjadi dalam waktu singkat. Perlu modal besar dan nafas panjang untuk bersaing dengan Lazada, Tokopedia, Matahari Mall, dan berbagai konglomerat lain yang berlomba-lomba menjadi Amazon-nya Indonesia. Diperkirakan industri e-commerce di Indonesia akan bernilai $130 miliar di tahun 2020.