The Unspoken Truth Behind OJK’s Public Appeal on Illegal Fintech Lending

Fintech, peer to peer lending (FP2PL) in particular, is still an on-demand sector in Indonesia. However, the industry exists with the presence of illegal fintech lending. Although law enforcement and authorities have been hunting it down, these illegal FP2PL keep surviving and multiplying.

The act against illegal practices took place on December 21th, 2019. An operation by Polres Metro Jakarta Utara uncover the fraudulent practice of online lending (fintech lending) office under the name PT Vega Data and PT Barracuda Fintech in Penjaringan, North Jakarta, specifically pinned at Mal Pluit Village. The police named 5 suspects of the total of 76 employees at that time.

The impact of the massive raid on illegal fintech lending is OJK’s appeal letter. It is to appeal registered fintech to avoid the Pluit and Central Park area, West Java, for an office space.

OJK said some of that illegal fintech players were running as syndicates, therefore, they are most likely to move in one area. Appeals to not have offices in the two places mentioned, according to the FSA, are part of prevention efforts.

“Considering that illegal fintech can be very tricky for intimidating users, and in terms of protection for the public community, prevention steps are required, as well as to maintain the quality and reputation of registered and/or fintech lending licenses,” OJK’s Director for Fintech Managing, Licensing and Supervision, Hendrikus Passagi told DailySocial,

In fact, the illegal fintech termination wasn’t just a one-time thing. Similar operations have been carried out before. There are some factors that allow those illegal firms to keep appearing and capture new customers.

Large market

Lending businesses grow big every year. In 2017, lending has contributed 15% of the total fintech transaction in Indonesia. Another indicator is the number of cash distributed to customers that keeps increasing.

Based on OJK’s data during 2019, fintech lending has distributed up to Rp68 trillion. The number grew from Rp22.66 trillion last year. This is considered a rapid growth.

It is obvious that the business players are also increasing, both legal and illegal. OJK said, there are a total of 25 fintech lending players by December 2019, while the illegal ones are getting thousands.

Regarding the illegal fintech lending, they’ve been using various kinds of platforms. There’s an app-based operation, websites, or through SMS blast that’ll lead into instant messages platforms, such as WhatsApp. The Ministry of Communication and Information, as part of the OJK-formed Investment Alert Task Force, claims that there are 4,020 illegal fintech players have been blocked during the last two years.

The existing gap

Observing the government’s effort in terminating illegal fintech is like trying to dodge a bullet. The acts are unstoppable because there’s still a gap to be leveraged by the law gangsters.

The biggest one is, there’s no exact law to avoid the rise of these illegal businesses. Passagi admitted the absence of regulations can be the main reason for the mushrooming illegal fintech lending.

Another hole that may be missed by the supervisory authority, especially by the Ministry of Communication and Information, is the SMS feature to outsmart the government systems supervision and operating system provider. Quoted from Kompas, the Pluit based office search by the police used random SMS chains. Start from the SMS, potential victims will be escorted to a site through the sent link. They will be asked for some data to process loans such as National Identity Cards, Family Cards, also the Tax ID.

On the other hand, prohibiting an area for fintech lending operation is a kind of unreasonable act. Seeing how dynamic the movement of illegal syndicates is, a place is just a place. With the existing passionate market and multiple gaps, they can be anywhere.

Room for Improvements

Aside from hoping the regulations for illegal fintech lending issued, the government has an “optimistic” plan coming.

The Kominfo, The Indonesian Telecommunications Regulatory Agency (BRTI), and the Directorate General of Population and Civil Registration are currently working on renewing the registration terms of prepaid cellular. This plan will later enable cellular operators to use the ‘know your customer’ mechanism as in banking.

It will involve biometric technology to make sure the prepaid cellular owner has a valid number. In reverse, when the data doesn’t match in the Dukcapil’s system, there will be sanctions.

“For example, with face recognition technology, fingerprint, or iris recognition. On the records, operators are fully responsible for the validity of their customers. In this way, hopefully there will be no misuse of other people’s data to register prepaid customers,” BRTI’s member, I Ketut Prihadi said.

Basically, the new draft regulation will patch up the failure of the prepaid registration policy which was previously said to overcome SMS / telephone spam. The rest is yet to know whether the new policy is applicable. No doubt, as long as there is no policy intends to protect the industry from unlicensed organizers, the stories of illegal fintech lending with tens of billions of revenue like the one in Pluit will keep repeating.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Yang Tak Terkatakan dari Imbauan OJK Soal “Fintech Lending” Ilegal

Fintech, terutama peer to peer lending (FP2PL), memang masih naik daun di Indonesia. Namun pertumbuhan industri ini juga turut dinikmati pelaku fintech lending ilegal. Meski penegak hukum dan otoritas berwenang mengejar, FP2PL ilegal ini dapat bertahan dan berlipat ganda.

Penindakan terhadap praktik ilegal tersebut paling anyar terjadi pada 20 Desember 2019 lalu. Sebuah operasi oleh Polres Metro Jakarta Utara mengungkap praktik culas kantor peminjaman online (pinjol) bernama PT Vega Data dan PT Barracuda Fintech di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara, tepatnya di Mal Pluit Village. Polisi menetapkan 5 tersangka dari total 76 karyawan saat penggrebekan itu.

Salah satu imbas penggrebekan terhadap fintech lending tak berizin itu adalah surat imbauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam surat itu, OJK mengimbau fintech berizin untuk menghindari kawasan Pluit dan Central Park di Jakarta Barat sebagai tempat mereka berkantor.

OJK menyebut ada indikasi pelaku fintech ilegal tadi beroperasi dalam bentuk sindikat sehingga mereka cenderung bergerak dari lokasi yang sama. Imbauan untuk tidak berkantor di dua tempat tadi, menurut OJK, menjadi bagian dari upaya pencegahan.

“Mengingat fintech ilegal dapat beroperasi seperti siluman dalam melakukan intimidasi kepada pengguna, dan dalam rangka perlindungan bagi masyarakat secara luas, maka langkah pencegahan sangat diperlukan, sekaligus untuk menjaga kualitas dan reputasi fintech lending terdaftar dan atau berizin OJK,” ucap Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology OJK Hendrikus Passagi kepada DailySocial.

Kendati demikian, perlu dipahami bahwa upaya pemberantasan FP2PL ilegal tak sekali ini terjadi. Operasi serupa sudah dilakukan beberapa kali sebelumnya. Ada sejumlah faktor yang memungkinkan FP2PL tak berizin tetap bermunculan dan menjerat nasabah baru.

Pasar yang besar

Bisnis pinjam-meminjam tumbuh dengan mantap setiap tahun. Pada 2017 saja, lending berkontribusi 15 persen dari total transaksi fintech di Indonesia. Indikator lainnya adalah nominal uang yang disalurkan kepada nasabah terus meningkat.

Data OJK sepanjang 2019 menunjukkan total pinjaman yang sudah disalurkan oleh fintech lending mencapai Rp68 triliun. Angka itu tumbuh 200% dari sekitar Rp22,66 triliun pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terbilang sangat pesat.

Maka tak heran pelaku bisnisnya terus bertambah, baik yang legal maupun ilegal. OJK menyebut jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar hingga Desember kemarin berjumlah 25 perusahaan, sedangkan yang ilegal jumlahnya mencapai ribuan.

Mengenai fintech lending ilegal itu, platform yang mereka gunakan cukup beragam. Ada yang operasinya berbasis aplikasi, situs web, atau sekadar SMS blast yang berlanjut via aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagai bagian dari Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi bentukan OJK, mengklaim sudah 4.020 fintech ilegal mereka blokir sepanjang dua tahun terakhir.

Masih Ada Celah

Melihat upaya pemerintah dalam membasmi fintech ilegal ini serupa menghabisi cendawan di musim hujan. Penindakan tak henti-henti terjadi karena masih ada celah yang dapat dimanfaatkan para pelanggar hukum tersebut.

Celah paling besar adalah ketiadaan payung hukum yang dapat mencegah lahirnya pinjol nakal. Hendrikus mengakui absennya peraturan tersebut jadi alasan utama maraknya fintech lending ilegal.

Lubang lain yang mungkin terlewatkan oleh otoritas pengawas, terutama oleh sistem Kemenkominfo, adalah penggunaan fitur SMS untuk mengakali pengawasan darri sistem pemerintah maupun penyedia sistem operasi. Dikutip dari Kompas, kantor layanan fintech yang di Pluit yang digrebek polisi memanfaatkan SMS berantai secara acak. Dari SMS itu, calon korban akan digiring ke sebuah situs via tautan yang tertera di dalamnya. Mereka nantinya akan dimintai sejumlah data untuk memproses pinjaman seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, hingga Nomor Pokok Wajib Pajak.

Di sisi lain, melarang suatu kawasan sebagai tempat fintech lending beroperasi justru bisa tidak beralasan. Melihat betapa dinamisnya pergerakan sindikat pinjol ilegal, tempat hanyalah tempat. Dengan kondisi pasar yang tengah bergairah dan berbagai celah yang ada, mereka bisa hidup di mana saja.

Harapan untuk Perbaikan

Selain berharap munculnya undang-undang yang dapat menghukum penyelenggara fintech lending tak berizin, ada satu rencana pemerintah yang dapat diharapkan jika nanti sudah direalisasi.

Kominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil saat ini sedang menggodok pembaruan registrasi pelanggan seluler prabayar. Rencana ini nantinya memungkinkan operator seluler memakai mekanisme know your customer seperti halnya di perbankan.

Mekanisme ini akan melibatkan teknologi biometrik untuk memastikan identitas pemilik nomor prabayar tadi benar-benar valid. Sebaliknya, jika data yang diberikan pelanggan tidak cocok dengan data yang terekam di sistem Dukcapil, maka ada sanksi yang menunggu.

“Misalnya dengan face recognition technology, finger print, atau iris recognition. Dengan catatan, operator bertanggung jawab penuh terhadap validitas pelanggannya. Jadi dengan cara ini, diharapkan tidak akan terjadi lagi penyalahgunaan data orang lain untuk melakukan registrasi pelanggan prabayar,” ucap anggota BRTI I Ketut Prihadi.

Pada dasarnya rancangan peraturan baru itu akan menambal kegagalan kebijakan registrasi prabayar yang sebelumnya disebut akan mengatasi SMS/telepon spam. Selebihnya, belum diketahui kapan kebijakan baru itu dapat diterapkan. Maka jangan lagi heran selama kebijakan yang diputuskan untuk melindungi industri dari penyelenggara tak berizin ini masih nol, kisah-kisah penggrebekan kantor pinjol ilegal yang beromset puluhan miliar seperti di Pluit tadi akan kembali terjadi.

Running Startups Without External Funding

Funding is an essential and integral part of startup operations. Without funding, it is very likely for a startup to lose before competing.

If it says so, then is it possible for a startup to operate without funding? The answer is probably. Fresh funds are obviously substantial for just daily operations or “burn-money” for promotion.

The truth is, startups can do without funding. This is so far the most relevant option for revenue-based rather than growth-based startups. The following are a few steps for those consider running a startup without funding.

Fixed financial planning from an early stage

With this option, financial planning should be fixed from the very beginning. Without funding, startups must have a detailed calculation of whether the revenue earned from consumers will be greater than the cost spent to acquire consumers.

It’s not only for the early startups but also for mature businesses. Moreover, it is important to be aware of the remaining cash. Drastic steps must be taken when there is only enough cash available for operations in the next six months.

Achieve Product-Market Fit

Startups need parameters to find out whether consumers really want to spend on their products or services. It is important for us to know the product can be the best solution for its users.

The problem is that there are no truly scientific parameters for finding product-market fit. But there are three things that can at least be used as indicators, namely product use, customer retention, and sales activities.

There is no such thing as another metric, it’s only profit

Having a product that is widely discussed by the public is certainly good news. But high traffic, positive engagement, can’t possibly become the right substitute for mature sales and marketing strategies.

Such metrics are often become the early startups killer. They are fixated on pursuing something that doesn’t really impact sales or user acquisitions. Another thing to avoid is investing their money and time and resulting in sales and marketing strategy that won’t last long.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengoperasikan Startup Tanpa Bergantung Pendanaan Eksternal

Pendanaan adalah bagian penting yang tak terpisahkan dalam menjalankan suatu startup. Tanpa pendanaan, sangat mungkin sebuah startup kalah sebelum berkompetisi.

Jika memang pertanyaannya demikian, lalu apakah mungkin startup dapat beroperasi tanpa sebuah pendanaan? Jawabannya mungkin saja. Dana segar dari pendanaan jelas sangat berarti untuk sekadar operasional sehar-hari hingga untuk “bakar uang” promosi jor-joran.

Namun kenyataannya, startup tetap bisa melaju tanpa pendanaan. Opsi ini paling relevan untuk startup yang mengedepankan profit ketimbang growth. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diperhatikan jika ingin menjalankan startup tanpa pendanaan.

Perencanaan keuangan solid sejak dini

Perencanaan keuangan harus benar-benar matang sejak awal dengan opsi ini. Tanpa pendanaan, startup harus memiliki perhitungan detail apakah uang yang diperoleh dari konsumen lebih besar dari uang yang dihabiskan untuk menggaet konsumen.

Ini tidak hanya berlaku untuk startup yang masih berusia dini, tapi juga mereka yang sudah cukup matang. Maka menjadi penting untuk awas terhadap nominal kas yang tersisa. Langkah drastis harus diambil ketika kas yang tersedia hanya cukup untuk operasional enam bulan ke depan.

Mencapai Product-Market Fit

Startup perlu parameter untuk mengetahui apakah konsumen benar-benar mau merogoh koceknya untuk produk atau jasa mereka. Parameter ini penting karena kita dapat mengetahui produk kita jadi solusi terbaik bagi penggunanya.

Masalahnya tak ada parameter yang benar-benar saintifik untuk mencari product-market fit. Namun ada tiga hal yang setidaknya bisa dijadikan indikator yakni penggunaan produk, retensi pelanggan, dan aktivitas penjualan.

Metrik lain itu fana, yang abadi hanya profit

Memiliki produk yang ramai dibicarakan khalayak tentu kabar bagus. Namun trafik yang padat, engagement positif, tetaplah bukan pengganti yang tepat untuk penjualan dan strategi pemasaran yang matang.

Metrik-metrik seperti itu seringkali jadi pembunuh startup berusia dini. Mereka terlalu terpaku mengejar sesuatu yang tidak benar-benar menghasilkan penjualan atau adopsi pengguna baru. Hal lain yang harus dihindari jika investasi uang dan waktu mereka ternyata untuk strategi penjualan dan pemasaran yang tak akan bisa bertahan lama.

Kaleidoskop Startup Teknologi Asuransi Sepanjang 2019

Asuransi adalah produk keuangan yang secara umum penetrasinya masih rendah di Indonesia. Kemunculan insurtech beberapa tahun terakhir berpeluang menambal kekosongan besar itu.

Sepanjang 2019 ini, industri insurtech di Indonesia dapat dikatakan cukup berkembang. Kami mencatat sejumlah cerita penting yang dihasilkan dari perjalanan setahun ini oleh para startup insurtech mulai dari pendanaan, ekspansi, hingga kolaborasi. Berikut ulasan lengkap dari kami.

Pendanaan dan investasi

Kabar pertama datang dari MDI Ventures yang mengumumkan rencananya untuk mengucurkan uang ke startup asuransi digital asal Singapura bernama CXA Group pada Maret silam. CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengatakan pendanaan tersebut akan bersinergi dengan jaringan Telkom Group perihal bisnis dan inovasi CXA.

Berita berikutnya berasal dari startup Qoala. Pada Mei lalu Qoala berhasil mengamankan pendanaan seed round sebesar US$1,5 juta atau sekitar Rp21,6 miliar dari Sequoia Capital India (Surge). Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin menyebut pendanaan ditujukan untuk inovasi teknologi asurasi bermacam industri dengan harapan memperluas jangkauan dan edukasi produk asuransi mikro di kota-kota kecil Indonesia.

Terakhir pada November lalu, Mandiri Capital Indonesia (MCI) menyebut ketertarikannya terhadap insurtech sebagai bagian dari rencana pendanaan mereka di tahun depan. CEO MCI Eddi Danusuputro mengungkap pihaknya menyiapkan sekitar Rp50 miliar untuk tiga startup yang bergerak di fintech dan insurtech yang masih di tahap pra seri A.

Go International

Dari sejumlah pemain insurtech di Tanah Air, nama PasarPolis bergaung ketika mereka mengumumkan ekspansi bisnisnya ke level Vietnam dan Thailand. Ekspansi ini tak bisa dilepaskan dari kucuran pendanaan seri A yang mereka peroleh dari Gojek, Tokopedia, dan Traveloka pada tahun sebelumnya.

Langkah berani PasarPolis ini diikuti dengan penunjukkan country manager untuk masing-masing negara. Adapun produk yang mereka tawarkan dalam ekspansi itu meliputi asuransi keselamatan konsumen ride-hailing, pengiriman barang, serta pengiriman makanan.

Kolaborasi

Beberapa startup insurtech menghiasi pemberitaan melalui aksi kerja sama mereka dengan startup lain. Langkah ini dilakukan tentu untuk melebarkan jangkauan layanan mereka demi meraup pasar yang lebih besar.

Yang paling anyar adalah kerja sama antara Futuready dengan e-commerce Ralali. Dalam kolaborasi ini Futuready menjadi penyedia asuransi B2B untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Lewat kolaborasi ini, kedua startup menargetkan satu juta UMKM menjadi nasabah asuransi mereka.

Kolaborasi berikutnya datang dari Grab dan Qoala. Produk asuransi yang ditawarkan melalui kerja sama tersebut berupa asuransi proteksi ponsel, lebih tepatnya terhadap layar ponsel. Namun perlu dicatat kolaborasi yang diumumkan pada awal November ini masih bersifat eksperimen. Dengan produk ini Grab menyusul super app rival mereka, Gojek, yang sudah memiliki layanan asuransi sejak empat tahun lalu.

Mundur dua bulan sebelumnya, kabar kolaborasi juga datang dari tanamduit dengan Premiro. Sebagai platfrom investasi, tanamduit menggandeng Premiro untuk merambah pasar asuransi terutama untuk segmen milenial. Produk yang mereka tawarkan meliputi perlindungan ponsel hingga perlindungan dari sejumlah penyakit seperti demam berdarah (DB).

Hal lain yang perlu dicermati

Penting untuk diingat industri asuransi sedang tumbuh. Penetrasi produk asuransi di Indonesia masih sangat rendah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut penetrasi asuransi hanya 2-3% dari total populasi. Insurance Technology Survey 2019 yang diterbitkan DSResearch menunjukkan ada sejumlah penyebab rendahnya penetrasi tersebut mulai dari aksesibilitas produk asuransi, harga yang terlalu mahal, hingga minimnya pengetahuan akan manfaat asuransi.

Namun hal itulah yang membuat mereka yang menggeluti insurtech kian berlomba-lomba berebut pasar. Dengan dasar demikian regulator, dalam hal ini OJK, tampak masih memberi kelonggaran lebih untuk mendukung pertumbuhan pasar.

Namun kelonggaran itu tak akan berlangsung lama lagi. Pasalnya OJK kini tengah menggodok peraturan baru untuk insurtech. Menurut laporan Kontan, aturan yang sedang diracang itu terkait dengan aspek salura distribusi seperti agregator, marketplace, dan peer to peer insurance, serta proses model asuransi yang lebih terdigitalisasi.

Ditjen Dukcapil Gandeng Sejumlah Perusahaan Optimalkan Data Kependudukan untuk e-KYC

Sebanyak 7 perusahaan termasuk Nodeflux menjalin kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) terkait pemanfaatan data kependudukan. Kerja sama ini tak lepas dari kebutuhan electronic-know your customer (e-KYC).

Nodeflux, Pajakku, Nebula Surya Corpora, Bank Yudha Bhakti, BNI, dan BNI PJAP merupakan perusahaan yang ikut dalam perjanjian kerja sama dengan Ditjen Dukcapil. Dengan demikian semua perusahaan yang sudah bekerja sama dapat melakukan verifikasi data seperti nomor induk kependudukan (NIK) yang ada di database Ditjen Dukcapil.

Nodeflux dalam kerja sama ini berperan sebagai penyedia platform pengenalan wajah dengan kecerdasan buatan yang terhubung dengan basis data Dukcapil. Platform mereka ini selanjutnya memungkinkan perusahaan yang sudah terdaftar untuk memverifikasi data pelanggan ke basis data Dukcapil.

“Dalam kerja sama ini tidak ada nama, alamat, tanggal lahir, pekerjaan, dan informasi lainnya yang keluar dari platform bersama. Dukcapil berperan penuh dalam pemegang keputusan, jika ada satu entitas memasukkan NIK-nya, kami akan mencocokkan dengan teknologi face recognition untuk memberikan kesimpulan sebagai akurasi dari NIK dengan wajah dari entitas tersebut,” ucap Dirjen Dukcapil, Zudan Arif Fakrulloh.

Sebab penggunaan teknologi

Zudan menjelaskan verifikasi data konsumen sebuah layanan digital yang saat ini menggunakan NIK dan KK tak lagi cukup. Dalam berbagai kasus, pengguna yang mendaftarkan dirinya untuk suatu layanan digital ternyata memakai NIK dan KK sembarang yang berserakan di internet.

Autentikasi berdasarkan pengenalan wajah menurut Zudan menjadi kunci. Dengan teknologi ini ia berharap potensi penyalahgunaan data terhindarkan.

“Kalau transaksi cuma pakai NIK saja, kita bisa tertipu. Maka dari itu perlu piranti yang berikutnya. Jangan percaya nama, NIK, atau KK saja,” imbuhnya.

Hingga saat ini tercatat sudah ada sekitar 1.617 lembaga pemerintah dan swasta yang bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil terkait pemanfaatan data. Sektor keuangan, terutama perbankan, merupakan jenis sektor yang akan terbantu oleh teknologi ini dalam hal KYC mereka.

Maka tak mengherankan institusi perbankan akan paling banyak terbantu dalam kerja sama ini. Salah satunya adalah Bank Artos. Hal ini membuat perusahaan yang baru saja resmi diakuisisi oleh Perry Waluyo dan Jerry Ng kian mantap menjelma menjadi bank digital dalam waktu dekat. “Kami sekarang masih develop platform, tapi tahun depan segera running. Mungkin di semester 1 atau triwulan 1 kita coba,” ucap Plt Direktur Utama Bank Artos Deddy Triyana kepada DailySocial.

Mengenal Lebih Dekat Lokadata, Wajah Anyar Situs Beritagar

Situs berita Beritagar mewarnai sejumlah pemberitaan pada pertengahan Oktober 2019 lalu. Kabar pemutusan hubungan kerja sejumlah karyawan, perubahan nama dan fokus bisnis menjadi topik utamanya.

Per 1 Desember kemarin, Beritagar yang berada di bawah naungan PT Cipta Lintas Media resmi rebranding menjadi Lokadata. Nama Lokadata sendiri sebelumnya digunakan sebagai merek dagang produk mereka terkait paparan data.

Mengutip apa yang tertera di situs mereka, kian besarnya derajat data sebagai dasar pengambilan keputusan dalam segala bidang kehidupan menjadi salah satu alasan kelahiran Lokadata ini.

Kendati demikian, Lokadata tetap mengidentifikasi dirinya sebagai perusahaan media. Hal ini ditekankan oleh Dwi Setyo Irawanto selaku Pemimpin Redaksi.

“Kita masih merasa sebagai perusahaan media karena kita bekerja dalam prinsip-prinsip jurnalistik, tidak meninggalkan etika jurnalistik, melakukan verifikasi terhadap fakta, tidak suuzan, mengonfirmasi kepada orang-orang yang disebut. Semua rambu-rambu jurnalistik itu tetap kita penuhi meskipun sebagian kerja kita dibantu mesin,” ujar Dwi kepada Dailysocial saat ditemui di kantornya.

Media dan robot

Lokadata adalah salah satu perusahaan media yang pertama di Indonesia –jika bukan satu-satunya– yang melibatkan mesin pintar ke dalam kerja jurnalistik. Di belahan dunia lain seperti Amerika Serikat, tren ini sudah dimulai sejak 2014 silam ketika Associated Press (AP) menggandeng perusahaan kecerdasan buatan/AI bernama Automated Insights.

AP memanfaatkan AI khusus untuk menyusun laporan mengenai bidang finansial, seperti laporan keuangan perusahaan. Sama seperti AP, Lokadata memanfaatkan AI secara penuh untuk laporan-laporan yang bersifat repetitif.

“Yang sudah full mesin itu sepak bola, saham, gempa bumi, dan indeks kualitas udara. Editor nanti mengerjakan barang-barang yang tidak repetitif, yang lebih analitis, bertemu orang wawancara, jadi lebih indepth lah,” ucap COO Lokadata Didi Nugrahadi.

Didi menjelaskan secara umum ada beberapa jenis laporan yang dihasilkan oleh Lokadata berdasarkan derajat keterlibatan robot. Jenis laporan repetitif yang sudah disebut sebelumnya seratus persen dibuat oleh robot. Jenis laporan bernama Sorotan Media melibatkan 10-15% kerja manusia dan sisanya oleh robot. Terakhir ada laporan yang 80% digarap oleh manusia dengan sisanya dibantu robot.

“Yang 100% manusia tanpa bantuan teknologi sepertinya enggak ada,” imbuh Didi.

Penggunaan robot dalam kerja jurnalistik menghindari awak redaksi dari laporan-laporan repetitif namun memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Pemanfaatan robot juga mendongkrak produktivitas suatu media. Lokadata memang tidak membeberkan berapa jumlah artikel yang bisa mereka hasilkan semenjak “mempekerjakan” robot, namun pengalaman AP bisa jadi bayangan kasar.

Semenjak AP melibatkan AI ke dalam redaksinya, mereka bisa menerbitkan 3000 judul berita keuangan setiap kuartal. Angka itu bahkan bisa terus bertambah sesuai kebutuhan perusahaan.

Namun tak bisa dimungkiri bahwa ada yang dikorbankan untuk meraih efisiensi lewat adopsi teknologi ini. Redaksi mereka kini hanya diisi oleh 8 orang saja, termasuk pemimpin dan wakil pemimpin redaksi, jauh lebih sedikit dibanding punggawa mereka yang mengurusi data dan teknologi platform.

Model bisnis

“Pendapatan naik terus, tapi masih tidak mengejar beban biaya,” ujar Dwi pada media Oktober lalu kepada CNN Indonesia.

Dengan kondisi demikian, Lokadata akan lebih fokus terhadap jurnalisme data, serta riset dan analisis mengenai lanskap bisnis, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain data tidak sekadar menjadi komponen produk jurnalistik, tapi sebagai produk itu sendiri.

Didi mengatakan sumber pemasukan Lokadata berasal dari iklan dan produk data tadi. Sebab mereka sadar pendapatan iklan di bisnis media sedang meredup di seluruh dunia, monetisasi produk data jadi jalan keluarnya. Dwi bahkan tak menutup kemungkinan pihaknya akan menerapkan paywall.

“Ada kemungkinan ke sana, tapi lihat nanti saja,” pungkas Dwi.

The Rise of Sharia Market, Startups Need to Buckle-up

Sharia economy becomes a topic in Presidential election debate last April. Aside from the representatives’ answers, to bring the topic is one thing, it marks the sharia economy and its derivatives are already taken place in the country’s economy.

Today, after Joko Widodo and Ma’ruf Amin officially Indonesia’s President and Vice President, sharia economy is emerging. It’s represented by some digital companies which counting their luck in this Islamic-based economy.

First indicator is seen as Tokopedia and Shopee visited the office of Vice President Ma’ruf Amin last November. Tokopedia‘s Chief Commissioner Agus Martowardojo and Vice-Chairman Leontinus Alpha Edison arrived first. After two weeks, Shopee also made a similar move by taking its top officials to meet Ma’ruf as the Chairperson of the Indonesian Ulema Council (MUI) and an important figure in the local Islamic financial industry.

The second visit of the e-commerce giant is said to be a new round of their competition in the Islamic market. Tokopedia with the Tokopedia Salam feature, while Shopee with Shopee Barokah.

Another indicator is the entrance of some conventional investors into sharia-based businesses. It can be traced from the investment of Golden Gate Ventures, Agaeti Ventures, and RHL Ventures to Alami, a local sharia-based fintech company. The emerging new startups that focus on providing sharia products or those expanding its coverage into the sharia market showed a high demand for sharia market in Indonesia, such as Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, and Akulaku.

The keen interest of digital companies to enter the sharia market points out at one thing: a great potential ready to be executed. It is clearly not just pocket-sized money, considering Indonesia as a country with the largest Muslim population in the world.

The State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 reported Indonesia’s score at 49, placed at 5th position out of 73 countries. The score was determined from several sectors such as Islamic finance, halal food, Muslim-friendly tourism, fashion, media & recreation, also pharmacy & cosmetics. Halal food and Islamic finance are the two biggest sectors contributing to this assessment.

The report shows Indonesia’s overall sharia market has developed quite significantly, from 10th place last year to the 5th place this year. The biggest factor is said to be the country’s blueprint of Islamic economy development and fresh initiatives such as Halal Park which was launched a few months ago.

Of the six sectors in the report, Indonesia has positioned in the top 10 in 3 sectors, namely 5th in the Islamic financial sector, 4th in Muslim-friendly tourism destinations, and 3rd in the fashion sector. Halal or sharia-based product consumption in Indonesia is the largest in almost every sector, especially for halal food. Indonesia is rated as a country with halal food consumption value at US$ 173 billion (Rp2,400 trillion) or the largest in the entire world.

In terms of Islamic financial institutions, Indonesia is likely to be on the right path. Indonesia’s sharia financial asset is projected at the 7th rank with valuation at US$ 86 billion or Rp1,200 trillion. The number is likely to grow along with the implementation of the Sharia Economic Master Plan 2019-2024.

The Players

Some of Indonesia’s startup players have penetrated the Islamic market and halal products. Primarily, they are categorized in two; those providing Muslims products since the beginning and those who expand their services.

However, the number appeared to be not big enough. Some of the players are Ammana, Alami, Syariah Funds, Qazwa, Duha Syariah, Syarfi, Bsalam, GoHalalGo, Waqara, Umra.id, Hijup, and Hijabenka. It’s to be noticed that almost all of these names are divided only into two types of services: Sharia fintech and Umrah marketplace. As for investors, the Financial Services Authority (OJK) noted per October 2019, there were at least 6 registered venture capital companies operating. Ma’ruf himself has claimed 31 fintech sharia in Indonesia, are a bigger number than any other country.

On the other hand, there are some conventional startups entering the sharia business. A few names, such as Bukalapak, Tokopedia, Shopee, LinkAja, and Investree. As an example, Tokopedia through its Tokopedia Salam. The expansion was quite aggressive. Through this feature, they are transformed into a marketplace for Umrah travel agent services to accommodate Muslims. In addition, Tokopedia claims to provide over 21 million halal products on their platforms.

Opportunity’s Wide Open

Referring to the [still] small numbers of Sharia business players, this type of economic clearly has a large opportunity to grow. Based on the State of Global Islamic Economy report above, Indonesia has the opportunity to expand the sharia business in various sectors.

In terms of halal products, for example, there are some sub-sectors to be focused on by local businesses such as halal-certified e-commerce products, halal-concept retail, or halal food technology. Remember, global’s money circulation in the halal food business is to reach US$ 2 trillion or around 28,000 trillion Rupiah by 2024. Instead of listed as the top 10 halal food producers, Indonesia is said to be the largest market in the world.

The same opportunities count in the halal tourism sector, Islamic finance, Islamic fashion, and media & recreation. Specifically, startups can pay more attention at the tourism and finance sectors. Also, the government has been facilitated tourism through the halal tourist area. Meanwhile, sharia-based finance is considered an alternative way of fueling the country’s economic growth. The sharia-based finance sector’s contribution to the national economy is still at 8.73 percent. It determines a greater opportunity to grow and transform into an alternative engine driving economic growth.

Before moving further, Indonesia still had quite a large amount of homework. STIE SEBI’a sharia economic observer, Azis Setiawan, said the blueprint of the sharia economy and halal industry made by the government has yet to meet its objectives.

“I think the current blueprint still needs sharpening up and to translate it is the relevant government institutions’ job,” Setiawan said to DailySocial.

In fact, digital companies engaged in sharia-based economics, said Setiawan, is yet to penetrate the overall market potential in Indonesia. The lack of public knowledge of sharia products and halal industries is one reason, but he also highlighted the fact that Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world.

“Let’s take the example of halal tourism. There are matters like Sharia homestay, halal food, and many others. The perspective must be taken globally because people come from various countries,” he added.

Setiawan believes the government is capable to make the sharia economy an alternative engine to Indonesia’s economic growth. However, he suggested that the government as a full policy-holder must be faster at implementing plans and be responsive to the existing developments like Malaysia if we’re not to be further left behind.

“We might have been left behind with Malaysia for about a decade or two for this Islamic economy,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pasar Syariah Makin Diminati, Waktunya Startup Isi Peluang

Ekonomi syariah adalah salah satu topik dalam debat pilpres terakhir pada April lalu. Terlepas dari jawaban para peserta, dipilihnya topik itu ke dalam debat capres tersebut menandakan ekonomi syariah dan derivasinya makin mendapat tempat di perekonomian negara.

Kini, setelah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, geliat ekonomi syariah kian terlihat. Salah satunya tercermin dari sejumlah perusahaan digital yang menjajal peruntungan di ekonomi berasas nilai-nilai Islam ini.

Indikator pertama dapat dilihat ketika Tokopedia dan Shopee bertandang ke kantor Wapres Ma’ruf Amin pada November lalu. Komisaris Utama Agus Martowardojo dan Vice Chairman Leontinus Alpha Edison yang mewakili Tokopedia ke kantor Ma’ruf datang lebih dulu. Selang dua pekan kemudian, Shopee melakukan kunjungan serupa dengan memboyong petinggi mereka menemui Ma’ruf yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan figur penting industri keuangan syariah dalam negeri.

Kunjungan kedua raksasa e-commerce itu bisa dikatakan ronde baru kompetisi mereka di pasar syariah. Tokopedia dengan fitur Tokopedia Salam, sementara Shopee dengan Shopee Barokah.

Indikator lain adalah masuknya sejumlah investor konvensional ke dalam bisnis berbasis syariah. Ini dapat dilacak dari investasi Golden Gate Ventures, Agaeti Ventures, dan RHL Ventures kepada Alami, startup fintech lokal bernapas syariah. Kemunculan sejumlah startup baru yang fokus menyediakan layanan produk syariah ataupun startup yang memperluas jangkauannya ke pasar syariah turut menandai ramainya minat terhadap pasar syariah di Indonesia, sebut saja seperti Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, dan Akulaku.

Kian besarnya minat perusahaan digital merambah pasar syariah ini menandakan satu hal yang jelas: ada potensi besar yang menunggu digarap. Jumlahnya pun jelas tak kecil mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.

State of Global Islamic Economy Report 2019/2020 mencatat skor Indonesia di angka 49, bertengger di peringkat ke-5 dari 73 negara. Skor itu dihitung dari sejumlah sektor seperti keuangan syariah, makanan halal, wisata ramah muslim, fesyen, media dan rekreasi, serta farmasi & kosmetik. Makanan halal dan keuangan syariah merupakan dua sektor terbesar yang berkontribusi dalam penilaian ini.

Laporan itu menunjukkan secara keseluruhan pasar syariah di Indonesia berkembang cukup signifikan, dari peringkat 10 pada tahun lalu menjadi peringkat 5 tahun ini. Faktor terbesar disebut karena negara kini punya cetak biru pengembangan ekonomi syariah dan sejumlah inisiatif segar seperti Halal Park yang sudah diresmikan sejak beberapa bulan silam.

Dari keenam sektor dalam laporan itu, Indonesia masuk 10 besar di 3 sektor yakni peringkat ke-5 di sektor keuangan syariah, peringkat ke-4 untuk tujuan wisata ramah muslim, dan nomor 3 dalam sektor fesyen. Konsumsi produk halal atau syariah di Indonesia memang begitu besar hampir di segala sektor, terutama di sektor makanan halal. Indonesia tercatat sebagai negara dengan nilai konsumsi makanan halal sebesar US$173 miliar (Rp2.400 triliun) atau yang terbesar di seluruh dunia.

Sementara di institusi keuangan syariah, Indonesia tampak sudah berada di jalan yang tepat. Aset keuangan syariah Indonesia terpantau berada di peringkat ketujuh dengan nilai US$86 miliar atau Rp1.200 triliun. Angka itu diprediksi akan terus tumbuh seiring penerapan Master Plan Ekonomi Syariah 2019-2024.

Para Pelaku

Ada beberapa pemain startup di Indonesia yang merambah pasar syariah dan produk halal. Pada umumnya mereka terbagi dua yakni mereka yang sedari awal berdiri menyediakan produk yang dibutuhkan muslim serta mereka yang memperluas layanannya.

Kendati begitu jumlah mereka ini ternyata tak begitu banyak. Beberapa dari mereka adalah Ammana, Alami, Dana Syariah, Qazwa, Duha Syariah, Syarfi, Bsalam, GoHalalGo, Waqara, Umra.id, Hijup, dan Hijabenka. Patut dicermati hampir semua nama tersebut hanya terbagi ke dua jenis layanan: fintech syariah dan marketplace umrah. Adapun dari sisi investor, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Oktober 2019 setidaknya sudah ada 6 perusahaan modal ventura yang terdaftar beroperasi. Ma’ruf sendiri sempat mengklaim fintech syariah di Indonesia mencapai 31 buah, lebih banyak dari negara mana pun.

Di pihak lain ada beberapa startup konvensional yang mencoba peruntungan ke bisnis syariah. Beberapa dari mereka adalah Bukalapak, Tokopedia, Shopee, LinkAja, hingga Investree. Ambil contoh Tokopedia melalui Tokopedia Salam. Ekspansi yang mereka lakukan cukup agresif. Lewat fitur itu mereka menjelma sebagai marketplace bagi agen travel ibadah umrah hingga perlengkapan penunjang ibadah umat Islam lainnya. Selain itu, Tokopedia mengklaim pihaknya menyediakan sekitar 21 juta lebih produk halal di platform mereka.

Kesempatan Masih Luas

Merujuk pada pelaku bisnis syariah yang relatif masih sedikit tersebut, peluang ekonomi jenis ini untuk tumbuh jelas besar. Dengan menyandarkan laporan State of Global Islamic Economy di atas, Indonesia punya kesempatan untuk memperlebar kapasitas bisnis syariah di berbagai sektor.

Dalam produk halal misalnya, ada sejumlah sub-sektor yang dapat menjadi perhatian pelaku usaha lokal seperti produk e-commerce bersertifikat halal, ritel berkonsep halal, atau teknologi makanan yang halal. Jangan lupa, uang yang beredar secara global dalam bisnis makanan halal ini akan mencapai US$2 triliun atau sekitar Rp28.000 triliun pada 2024 nanti. Dan Indonesia tercatat bukan sebagai 10 besar produsen makanan halal, melainkan sebagai pasar terbesar di dunia.

Peluang yang sama juga ada di sektor pariwisata halal, keuangan syariah, busana islami, dan media & rekreasi. Khusus di pariwisata dan keuangan, pelaku startup dapat melirik ini lebih jauh. Pasalnya pariwista sudah difasilitasi pemeritah lewat kawasan wisata halal. Sedangkan keuangan syariah dapat dibilang pemerintah kini sudah menjadikannya sebagai alternatif untuk menyokong pertumbuhan ekonomi negara. Porsi kontribusi keuangan syariah terhadap keuangan perekonomian nasional sendiri masih di angka 8,73 persen. Itu artinya masih ada ruang besar untuk tumbuh dan menjelma menjadi mesin alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebelum melangkah ke sana, Indonesia masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang cukup besar. Pengamat ekonomi syariah STIE SEBI, Azis Setiawan, mengatakan cetak biru ekonomi syariah dan industri halal yang dibuat oleh pemerintah belum terpenuhi tujuannya.

“Saya kira blueprint yang ada harus dipertajam lagi dan yang dapat menerjemahkan itu para lembaga pemerintah terkait,” ucap Azis kepada DailySocial.

Perusahaan digital yang bergerak di ekonomi syariah pun menurut Azis belum benar-benar mengisi potensi pasar di Indonesia. Minimnya pengetahuan publik terhadap produk syariah dan industri halal menjadi satu alasan, namun ia menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

“Ambil contoh pariwisata halal. Di sana kan ada soal penginapan syariah, kuliner halal, kebutuhannya banyak. Perspektifnya juga harus secara global karena yang datang kan dari berbagai negara,” imbuhnya.

Azis yakin pemerintah mampu menjadikan ekonomi syariah sebagai alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hanya saja, ia menyarankan pemerintah sebagai pemegang penuh kebijakan harus lebih cepat mengimplementasi perencanaan dan responsif terhadap perkembangan yang ada seperti halnya Malaysia jika tak ingin tertinggal lagi.

“Mungkin kita sudah ketinggalan dengan Malaysia sekitar satu atau dua dekade untuk ekonomi syariah ini,” pungkasnya.

KaiOS dan Strategi Indosat Ooredoo Merebut Pengguna 2G Indonesia

Indosat Ooredoo memperkenalkan feature phone pintar harga terjangkau berteknologi KaiOS. Ponsel ini menjadi cara anyar Indosat untuk memperluas akuisisi pelanggan jaringan 4G mereka.

Indosat menggandeng pabrikan lokal Advan untuk memproduksi ponsel ini. Mereka membanderol Rp499.000 per unit untuk ponsel yang dapat dipakai untuk mengakses YouTube, WhatsApp, dan platform media sosial seperti Facebook dan Twitter.

“Peluncuran ponsel ini untuk pengguna 2G dan migrasi ke feature phone 4G dengan harga terjangkau,” ujar Chief Sales & Distribution Officer Indosat Ooredoo Hendri Mulya Sam.

Peluncuran produk ini mudah dipahami sebagai bagian strategi Indosat merebut pelanggan yang masih menghuni jaringan 2G yang cuma bisa dipakai untuk SMS dan telepon. Seperti diketahui, masih cukup banyak masyarakat Indonesia yang masih merasa nyaman di jaringan tersebut.

Tak disebut berapa jumlah unit yang akan dipasarkan oleh Indosat dan Advan lewat feature phone ini. Akan tetapi mereka memastikan ponsel ini akan banyak dipasarkan di kota-kota-kota seperti Medan, Pekanbaru, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Palu, dan Makassar mulai akhir bulan ini.

“Secara pengguna [2G] memang masih besar dan secara jualan masih banyak potensinya. Kita juga lihat dari succsess story sebuah operator di India,” ucap Boy Aulia selaku AVP Head of Device Partnership Indosat Ooredoo.

Mengenal KaiOS

Ada alasan di balik keyakinan Indosat akan potensi produk baru mereka ini. Seperti yang dikatakan Boy, alasan itu mungkin bisa dilacak ke India di mana KaiOS sebagai sistem operasi mulai diakui secara global.

KaiOS bisa disebut lahir sebagai “sepupu jauh” Mozilla Firefox. Dalam penjelasan sederhana, teknologi KaiOS disebut dapat menampilkan aplikasi berbasis web sebagai aplikasi mobile di feature phone. YouTube, WhatsApp, Facebook, Twitter, Google Maps, hingga Google Assistant adalah contoh aplikasi yang dapat dijalankan di KaiOS. Sistem operasi ini juga memungkinkan ponsel biasa memiliki teknologi 4G, WiFi, serta GPS.

KaiOS ini sengaja dibuat untuk menjangkau masyarakat yang tak bisa membeli ponsel pintar ataupun mereka yang terlanjur nyaman memakai feature phone. India merupakan contoh terbaik di mana sejak meluncur pada tahun lalu, KaiOS berhasil menyandang status sistem operasi kedua yang paling banyak dipakai oleh penduduk di sana, di belakang Android dan di atas iOS, dengan penjualan 40 juta perangkat dan terus bertambah.

Kesuksesan KaiOS di India terulang di negara-negara Afrika. Dengan harga rata-rata perangkat di kisaran US$20, sistem operasi ini mendulang sambutan positif. Kemunculannya seolah menjadi jawaban akan kebutuhan akses layanan digital bagi mereka yang masih terhalang oleh harga smartphone yang relatif mahal.

Pasar smart feature phone seperti ponsel KaiOS ini disebut dalam laporan Counterpoint Research akan terus meningkat. Diperkirakan pengapalan perangkat KaiOS akan menembus satu miliar unit pada 2021 nanti. Potensi ekonomi dari pasar ini pun diperkirakan mencapai US$16 miliar atau Rp224 triliun.

“Ada lebih dari 3 miliar orang di seluruh dunia yang hidup dengan pendapatan di bawah US$2,50 per hari. Segmen ini tidak bisa menjangkau smartphone atau paket data seperti yang terjadi di pasar smartphone. Maka dari itu, feature phone yang dilengkapi layanan mobile dasar jadi pilihan pengguna ini untuk berkomunikasi dan tersambung ke internet. Sebagian besar pengguna ini tersebar di Afrika, sebagian Asia, dan Amerika Latin,” tulis Associate Director Counterpoint Research, Tarun Pathak.

Ceruk Peluang

Sebagian besar masyarakat Indonesia memang sudah terhubung dengan jaringan 4G LTE. Laporan OpenSignal menunjukkan ketersediaan jaringan 4G di Indonesia sudah mencapai 83,5 persen. Kendati begitu, mereka yang masih menetap di jaringan 2G dengan feature phone tak bisa dihiraukan begitu saja.

Ambil contoh Telkomsel. Sebagai operator seluler terbesar dengan kisaran pelanggan 167 juta dan mayoritas pendapatan mereka sudah berasal dari data, Telkomsel masih memiliki pelanggan di jaringan 2G sekitar 47 persen. Jumlah itu saja sudah lebih besar dari jumlah pelanggan milik operator mana pun.

Operator lain seperti XL Axiata mengambil langkah berbeda untuk layanan 2G mereka. Jika Telkomsel masih berniat menghidupi layanan 2G mereka, XL sudah mulai mematikan layanan 2G mereka di wilayah perkotaan. Keputusan serupa juga diambil oleh Hutchison 3 Indonesia (Tri). Fokus ke layanan data dan sepinya pengguna di jaringan tersebut memantapkan kedua operator tadi untuk sepenuhnya meninggalkan jaringan 2G.

Situasi tersebut menjadi kesempatan bagi Indosat untuk akuisisi pelanggan baru lewat perangkat KaiOS. Peluang ini menjadi cukup penting mengingat layanan bisnis selular, yang terutama didorong oleh layanan data, menjadi sumber pendapatan utama Indosat.

Strategi ini pun berkesinambungan dengan target Indosat mengincar 1 juta pengguna baru sampai 2020 nanti. Mereka menggandeng Facebook dalam program literasi digital “Internet 101” dengan target wilayah terutama di Kalimantan dan Sulawesi. Kombinasi antara literasi digital dan feature phone 4G yang terjangkau cukup menunjukkan keseriusan Indosat merebut pengguna internet baru di Indonesia.  Maka tak heran Indosat begitu yakin smart feature phone ini akan diterima publik luas seiring pengembangan sistem operasi di masa depan yang memungkinkan aplikasi lain dapat diakses lewat perangkat KaiOS.

“KaiOS punya store juga meski saat ini lebih banyak jenis media sosial dan aplikasi gim tapi tidak menutup kemungkinan [tersedia aplikasi] lain. Ini masalah waktu aja sih, seiring waktu kalau ini working dan ekosistem terbentuk akan mengarah ke sana,” tutup Boy Aulia.