Ecommerce di Esports, Mau Apa?

Jika ditanya apa kesamaan antara ecommerce dan esports, saya akan menjawab, keduanya sama-sama menambahkan unsur “e” — electronic — pada sebuah kegiatan. Di kasus ecommerce, kegiatan tersebut adalah dagang (commerce) dan di esports, olahraga (sports). Keduanya memanfaatkan internet untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Namun, selain itu, saya rasa, tidak ada kesamaan lain di antara keduanya.

Meskipun begitu, banyak perusahaan ecommerce yang menjajaki industri competitive gaming. Tak percaya? Buktinya, pada 2014, Amazon mengakuisisi platform streaming game Twitch. Pada 2016, raksasa ecommerce Tiongkok, Alibaba, menanamkan investasi sebesar US$150 juta di esports. Perusahaan ecommerce asal Tiongkok lainnya, JD juga punya tim esports sendiri. Dan jangan salah, di Indonesia, perusahaan-perusahaan ecommerce juga mulai menjajaki esports, mulai dari yang hijau, biru, oranye, sampai merah.

 

Bukti Keterlibatan Ecommerce Lokal di Esports

Berikut daftar turnamen yang disponsori atau didukung oleh perusahaan ecommerce, serta kerta kerja sama antara perusahaan ecommerce dengan tim esports Indonesia:

2017
– Tokopedia mengadakan Revival E-sports Festival

2018
– Tokopedia mengadakan Battle of Fridays (TBOF)
– JD.id jadi sponsor dari High School League (HSL) Season 1

2019
– Blibli mendukung Piala Presiden 2019
– Blibli mengadakan Blibli Esports Championship (BEC)
– JD.id jadi sponsor dari High School League Season 2
– Shopee kerja sama dengan Louvre
– Shopee mengadakan Shopee Fire Cup
– Tokopedia mengadakan Indonesia Esports National Championship (IENC)

2020
– Blibli mendukung Piala Presiden 2020
– Lazada menggandeng EVOS Esports

Battle of Fridays jadi salah satu turnamen esports dengan hadiah terbesar pada 2018. | Sumber: Bolalob
Battle of Fridays jadi salah satu turnamen esports dengan hadiah terbesar pada 2018. | Sumber: Bolalob

Dari semua turnamen di atas, Tokopedia Battle of Fridays menawarkan total hadiah paling besar, yaitu Rp1,9 miliar. Memang, turnamen itu menjadi salah satu kompetisi esports dengan hadiah terbesar pada 2018. Menggunakan format tertutup, TBOF mengadu beberapa game sekaligus, yaitu Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, Mobile Legends, dan Point Blank. Mereka mengundang 12 tim esports profesional untuk ikut serta, termasuk Bigetron Esports, BOOM Esports, dan EVOS Esports.

Bukan hanya TBOF, Indonesia Esports National Championship juga menawarkan hadiah yang cukup besar, mencapai Rp750 juta. Walau IENC memiliki total hadiah yang jauh lebih kecil dari TBOF, turnamen ini juga tak kalah pamor, karena dijadikan sebagai ajang kualifikasi untuk memilih atlet esports yang akan maju di SEA Games 2019. Turnamen esports yang melibatkan ecommerce lain juga menawarkan hadiah yang cukup fantastis. Misalnya, total hadiah Blibli Esports Championship mencapai Rp500 juta, sementara JD.id High School League bahkan mencapai Rp1,2 miliar.

Oke, mari beralih untuk membahas kerja sama antara perusahaan ecommerce dan tim esports. Salah satu ecommerce yang pernah mendukung organisasi esports profesional adalah Shopee. Pada tahun lalu, mereka memutuskan untuk menjadi sponsor dari Louvre karena mereka menganggap, tim tersebut memiliki potensi untuk menang. Selain sponsorship, kerja sama keduanya juga meliputi pengadaan official store dari Louvre di Shopee.

EVOS punya official store di Lazada. | Sumber: Lazada
EVOS punya official store di Lazada. | Sumber: Lazada

Sementara itu, pada April 2020, Lazada mengumumkan kolaborasinya dengan EVOS Esports. Sama seperti Shopee, salah satu bentuk kerja sama antara Lazada dan EVOS adalah pembukaan official store EVOS di Lazada. Hanya saja, Lazada dan EVOS juga punya kerja sama lain, yaitu EVOS harus mengisi program live streaming Lazada Cyber Combat.

 

Ecommerce Adakan Turnamen Esports, Memang Bisa?

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Pepatah ini tampaknya cocok digunakan untuk menggambarkan Blibli, yang memutuskan untuk menangani penyelenggaraan Blibli Esports Championship sendiri. “Pelaksanaan turnamen BEC tersebut disiapkan dan dilakukan oleh tim khusus yang dimiliki oleh Blibli,” ujar Lani Rahayu, Associate Vice President Social Media and Community Blibli dan Project Lead Blibli Esports Championship. “Kami juga berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk gaming provider para mitra brand yang menyediakan produk-produk terkait dengan esports, komunitas, juga akademisi (HIMA di universitas Jadetabek).”

Tentu saja, pendekatan masing-masing ecommerce tak harus sama. Berbeda dengan Blibli, Tokopedia memilih untuk bekerja sama dengan pelaku industri esports. Pada 2018, untuk mengadakan Battle of Fridays, Tokopedia bekerja sama dengan IESPL. Sementara untuk menyelenggarakan Indonesia Esports National Championship, mereka menggandeng IESPA.

“Lewat berbagai kolaborasi dengan para tournament organizer ini, Tokopedia dilibatkan dalam pemilihan game yang akan dipertandingkan. Penentuan game dilakukan berdasarkan popularitas, skena kompetitif dan komunitas game tersebut,” ujar Jonathan Gilbert Tricahyo, Top-up Digital Singular Senior Lead Tokopedia.

Sementara itu, JD.id tak mau repot dan lebih memilih untuk menjadi title sponsor dari High School League. Untuk membahas tentang pengadaan HSL lebih lanjut, saya menghubungi Chief Marketing Officer dan Founder Yamisok, Diana Tjong.

“JD.id merupakan title sponsor kita, tapi event-nya, High School League, memang punya kita,” ujar Diana ketika dihubungi melalui pesan singkat. Dia menjelaskan, JD.id tertarik untuk mensponsori HSL karena perusahaan ecommerce tersebut memang tertarik dengan konsep HSL. Namun, JD.id tidak ikut campur tangan dalam memilih game yang akan ditandingkan dalam HSL. “Segala sesuatunya jadi tanggung jawab Yamisok dan MoobaTV,” katanya.

High School League pada 2018. | Sumber: Kastara
High School League pada 2018. | Sumber: Kastara

Jika dibandingkan dengan turnamen esports lainnya, salah satu keunikan HSL adalah karena liga ini menyasar pemain amatir di tingkat SMA dan setara. Hanya saja, kepuutsan ini juga menimbulkan masalah tersendiri, seperti keengganan pihak sekolah atau orangtua mengizinkan anak mereka berpartisipasi dalam kompetisi tersebut. Untuk mengatasi masalah itu, Yamisok lalu mengundang psikolog dan mengadakan roadshow ke berbagai sekolah.

“Tujuan kami melakukan roadshow adalah sebagai pendekatan dan edukasi pada orangtua dan pihak sekolah, agar bisa menjadi jembatan antara dunia pendidikan dengan esports,” jelas Diana. “Sekarang pun, kita buat program-program lanjutan. Di Yamisok, ada student representative. Sekarang, kita lagi buat trial class untuk akademi esports buat ekskul esports di sekolah.”

 

Media dan Dokumentasi Kompetisi Esports

Yamisok bukan satu-satunya pihak yang memiliki andil dalam penyelenggaraan HSL. EsportsID juga punya campur tangan sebagai media partner. Salah satu tugas mereka adalah melakukan dokumentasi dari kegiatan HSL, termasuk saat grand final dan wawancara pemenang setelah turnamen berakhir.

“Sebagai media partner, tugas kami pastinya untuk mempromosikan event-nya,” kata Michael Samuel, Editor-in-Chief, EsportsID, saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dalam dokumentasi, kita juga bantu membuat video perjalanan tim-tim finalis saat mereka di Jakarta, sampai mereka bertanding di grand final. Kami juga buat video after event ke sekolah yang juara, mengenai dampak dan pandangan positif tentang esports dari pihak sekolah. Jadi, kita wawancara guru dan timnya.” Dia menjelaskan, mereka dapat melakukan hal ini karena sekolah yang keluar sebagai juara HSL akhirnya memutuskan untuk mengadakan program ekstrakurikuler esports.

Jumlah penonton menjadi salah satu daya tarik turnamen esports. Semakin banyak orang yang menonton turnamen esports, semakin menarik pula turnamen itu di mata sponsor. Untuk turnamen esports profesional, seperti Mobile Legends Professional League, kemampuan bermain para pemain profesional jadi salah satu daya jualnya. Sayangnya, hal ini tidak berlaku untuk turnamen amatir seperti HSL. Namun, hal itu bukan berarti tidak ada hal yang pantas untuk diangkat dari pertandingan amatir.

Michael berkata, “Untuk turnamen pro dan amatir, topik yang diangkat juga berbeda. Kalau pro kan yang diangkat pasti tim atau player-nya. Sedangkan pertandingan amatir, kita bisa tampilkan perjuangan mereka, background tim atau sisi lainnya.”

Terkait HSL, Michael menjelaskan bahwa salah satu hal yang mereka coba highlight adalah usaha para tim untuk mendapatkan izin sekolah. Mereka juga menampilkan bagaimana para tim berjuang keras untuk bisa lolos babak kualifikasi hingga juara. Selain itu, EsportsID juga mengangkat topik tentang esports itu sendiri. Pasalnya, dia mengaku, masih banyak stigma buruk terkait esports yang beredar di masyarakat.

 

Tujuan Ecommerce Masuk ke Dunia Esports

Ketika ditanya tentang alasan Tokopedia terjun ke dunia esports, Jon menjawab, mereka masuk ke industri esports untuk membangun ekosistem competitive gaming sehingga orang-orang yang memiliki impian untuk berkarir di dunia esports akan bisa mencapai mimpinya.

“Mengingat potensi industri gaming di Indonesia masih sangat besar, baik dari sisi pemain maupun tim Indonesia yang sudah banyak berprestasi di level internasional. Esports bahkan saat ini menjadi industri baru yang banyak membuka kesempatan kerja kepada para peminatnya,” ujar Jon. “Kami berharap, dengan adanya dukungan Tokopedia terhadap industri esports di Indonesia, akan lebih banyak lagi talenta-talenta terbaik negeri yang nantinya bisa mendunia.”

Babak akhir Blibli Esports Championship. | Sumber: Blibli
Babak akhir Blibli Esports Championship. | Sumber: Blibli

Sejalan dengan Tokopedia, Blibli mengungkap bahwa salah satu alasan mereka tertarik mengadakan BEC adalah karena mereka melihat betapa tingginya minat akan esports di Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk ikut serta dalam membangun ekosistem esports.

“Kami mendukung esports karena sejalan dengan semangat serta komitmen Blibli sebagai ecommerce lokal yang ingin terus mendorong pemberdayaan kepada masyarakat,” kata Lani. “Melalui esports, Blibli berharap anak-anak muda dapat menggunakan konten teknologi atau games untuk pengembangan diri, seperti membentuk sportivitas, teamwork, kemampuan strategic thinking, dan membuka lapangan pekerjaan baru serta membangun karir untuk para gamers muda Indonesia, termasuk salah satunya menjadi atlet esports.”

Singkatnya, baik Blibli maupun Tokopedia mendukung esports dengan harapan industri ini bisa berkembang lebih besar lagi. Dengan begitu, semakin banyak gamer Indonesia yang bisa unjuk gigi. Tak hanya itu, semakin besar industri esports, semakin banyak pula lowongan pekerjaan baru yang muncul.

Tak ada yang salah dengan semua tujuan altruistik ini. Hanya saja, Blibli, Tokopedia, atau ecommerce lainnya tetaplah perusahaan yang dibangun untuk mendapatkan untung. Mustahil rasanya mereka rela mengeluarkan uang hingga beratus-ratus juta atau bahkan bermiliar rupiah jika tak ada untung yang bisa didapat perusahaan.

Jadi, pertanyaannya adalah keuntungan apa yang bisa didapatkan oleh perusahaan ecommerce jika mereka masuk ke dunia esports? Jawabannya sederhana: perhatian penonton. Pada 2018, jumlah penonton esports di dunia mencapai 395 juta orang, menurut data dari Newzoo. Angka ini terus naik, menjadi 443 juta pada 2019, dan diperkirakan menjadi 495 juta pada 2020. Jadi, tidak heran jika perusahaan non-endemik, seperti ecommerce, tertarik untuk aktif di industri esports.

Pertumbuhan jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Pertumbuhan jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Jika tujuan ecommerce masuk esports untuk menarik perhatian fans esports, hal ini sesuai dengan penjelasan Diana. Dia berkata, salah satu KPI (Key Performance Indicator) yang mereka harus capai saat menyelenggarakan HSL adalah impresi. “Impression itu mencakup semua, dari viewer, Instagram, influencer, dan media juga,” ujar Diana. “Tapi, target offline-nya berbeda.”

Memang, dalam konferensi pers High School League Season 2, pihak JD.id mengungkap, menjadi sponsor dari turnamen esports ini merupakan bagian dari strategi marketing mereka. Pasalnya, dengan menjadi title sponsor, nama JD.id akan selalu disandingkan dengan HSL. Tak hanya itu, logo mereka juga akan ditampilkan di semua atribut HSL. Jadi, melalui HSL, JD.id akan dapat meningkatkan brand awareness masyarakat, khususnya di kalangan siswa SMA atau setara, orangtua, dan pihak sekolah.

Setelah mengadakan turnamen esports sendiri, Blibli berhasil menjangkau penonton esports. Ketika ditanya tentang dampak yang telah Blibli rasakan setelah mereka masuk ke dunia esports, Lani menjawab, “Dampak dari penyelenggaraan esports bagi kami tentunya bisa menjangkau audience millenials yang lebih muda menjadi pelanggan Blibli. Selain itu, kami juga melihat penjualan khususnya voucher game terus meningkat, partner-partner yang menyediakan perlengkapan gaming semakin bertambah.”

Memanfaatkan hype esports sebagai alat marketing, apakah ini salah? Tentu tidak. Tak bisa dipungkiri, esports tengah populer, apalagi di tengah pandemi. Jika perusahaan ecommerce — atau perusahaan non-endemik lain — tertarik untuk mendukung pelaku esports agar mereka bisa memperkenalkan brand mereka para penonton esports, tak ada yang salah dengan itu. Toh, semakin banyak perusahaan yang tertarik mendukung pelaku esports, semakin baik.

Namun, tidak semua turnamen esports mendewakan view. Setidaknya, hal inilah yang dipercaya oleh Michael. Dia berkata, “Kalau dari saya pribadi, sebenarnya setiap event esports pasti punya tujuan masing-masing. Memang benar, tujuan itu bisa jadi view, awareness, dan lain-lain. Tapi, nggak sedikit juga event yang memang tujuan utamanya untuk mencari bibit baru dan tidak sekadar viewers sih.”

 

Penutup

Bayangkan jika Anda sedang jatuh cinta pada seseorang yang punya ketertarikan yang berbeda dengan Anda. Bukankah Anda juga akan berusaha untuk memahami hal yang disukai oleh gebetan Anda? Tujuannya, agar Anda dan si dia punya bahan obrolan. Dan mungkin, dari sana, kalian bisa jadi lebih dekat dan berakhir menjadi sepasang kekasih.

Perusahaan non-endemik, dalam hal ini ecommerce, juga begitu. Mereka tahu bahwa target konsumen mereka di masa depan — generasi Milenial dan Gen Z — kini tengah sangat suka dengan konten game dan esports. Tentu saja, mereka tak akan melewatkan kesempatan ini. Mereka ikut masuk ke dunia esports sebagai bentuk pedekate dengan fans esports. Dari sana, mungkin saja ada yang berakhir dengan checkout keranjang belanja.

Sumber header: Blibli

Tren Investasi Venture Capital di Industri Game

Tahun ini, nilai industri gaming di dunia mencapai lebih dari US$150 miliar. Jika Anda menggabungkan nilai industri musik dan industri film, industri gaming masih lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa bermain game kini telah menjadi salah satu bentuk hiburan utama bagi sebagian besar orang.

Anehnya, sebelum ini, sektor gaming jarang dilirik oleh para venture capital (VC), kecuali VC yang memang mengkhususkan diri untuk menanamkan investasi di industri gaming, seperti Play Ventures, Makers Fund, atau London Venture Partners. Menurut White Star Capital, salah satu alasan mengapa VC enggan untuk mendanai perusahaan yang bergerak di bidang game adalah karena hasil investasi yang sangat hitam-putih.

Ketika VC menyediakan modal untuk sebuah developer game, misalnya, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, game yang dibuat developer itu sukses dan developer dapat melakukan IPO atau diakuisisi perusahaan lebih besar. Kedua, game itu akan gagal. Berbeda dengan startup, developer game tidak bisa mendadak merombak konsep dari game yang mereka buat, walau mereka masih bisa meluncurkan update.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan, VC mulai tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan yang bergerak di dunia game. Faktanya, selama empat tahun — dari tahun 2014 sampai 2018 — nilai investasi VC di industri game terus naik.

Total nilai investasi VC di dunia game. | Sumber: White Star Capital
Total nilai investasi VC di dunia game. | Sumber: White Star Capital

Pada 2018, valuasi investasi dari VC mencapai puncaknya dengan total nilai US$4,7 miliar. Namun, tahun 2018 memang unik karena pada saat itu, Epic Games mendapatkan pendanaan sebesar US$1,25 miliar.  Jadi, tidak heran jika pada 2019, nilai investasi VC di perusahaan gaming turun drastis, menjadi US$1,1 miliar. Kabar baiknya, VC kembali tertarik untuk menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pada semester pertama 2020, investasi dari VC untuk perusahaan game telah mencapai US$700 juta. Diperkirakan, angka investasi itu akan mencapai US$1,5 miliar pada akhir tahun ini.

 

Kenapa Investasi dari VC Penting?

Investasi dari VC biasanya identik dengan startup. Ada beberapa alasan mengapa investasi dari VC penting untuk startup. Salah satunya adalah karena tidak ada pihak lain yang bersedia untuk menyediakan modal untuk mereka, menurut Hardware Business Review. Bank memang bisa meminjamkan modal. Hanya saja, besar bunga yang mereka tawarkan pada pelaku usaha tergantung pada besar risiko dari usaha itu sendiri. Sementara usaha startup cenderung memiliki risiko tinggi. Jika bank ingin meminjamkan modal pada startup, mereka harus memberikan bunga yang sangat tinggi. Padahal, ada ketentuan yang membatasi besar suku bunga yang bisa bank berikan pada peminjam.

Pada awalnya, hanya VC khusus game yang tertarik menanamkan modal di perusahaan game. | Sumber: Deposit Photos
Pada awalnya, hanya VC khusus game yang tertarik menanamkan modal di perusahaan game. | Sumber: Deposit Photos

Alasan lain mengapa startup kesulitan untuk mendapatkan pinjaman dari bank adalah karena biasanya bank akan meminta aset berwujud sebagai jaminan. Padahal, banyak startup — atau perusahaan game — yang tidak memiliki aset berwujud karena produk mereka berupa sesuatu yang tak terlihat. Contohnya, berbeda dengan perusahaan taksi yang memiliki armada sendiri, perusahaan transportasi online, seperti Gojek dan Grab, tidak memiliki armada sendiri. Mereka hanya menyediakan “platform” untuk menghubungkan pemilik kendaraan dengan penumpang.

Alasan lain mengapa investasi dari VC penting bagi startup adalah karena hal ini akan meningkatkan reputasi mereka di mata investor lain. Ketika startup mendapatkan investasi dari VC, hal ini menjadi tanda bahwa startup tersebut memiliki potensi untuk tumbuh besar di masa depan. Pasalnya, VC juga bukan badan amal. Tentunya, mereka ingin mendapatkan untung dari investasi yang mereka tanamkan.

Jadi, jika sebuah VC menanamkan modal di sebuah startup, hal itu karena mereka percaya, startup tersebut memiliki potensi untuk sukses di masa depan. Kepercayaan ini bisa memudahkan startup untuk menarik investor lainnya. Selain modal, VC juga bisa membantu startup untuk membangun jaringan di industri startup itu bergerak.

Berdasarkan studi, jika sebuah startup mendapatkan investasi dari VC pada tahap awal, hal ini akan meningkatkan kemungkinan startup tersebut untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.

 

Total Investasi dari VC di Industri Game Sejak 2014

Dalam sebuah artikel di Medium, White Star Capital mencoba untuk merangkum investasi yang dilakukan oleh VC di industri game sejak 2014. Mereka memperkirakan, sampai Juli 2020, total nilai investasi yang diberikan oleh VC ke perusahaan-perusahaan game telah mencapai sekitar US$13,3 miliar.

Untuk memahami tren investasi, White Star Capital lalu membagi perusahaan-perusahaan game ke dalam beberapa kategori: developer & publisher, developer tools, distribution platform, access point, esports talent & sponsor, esports platform, esports broadcasting, dan streaming & social.

Dari semua kategori itu, developer & publisher menjadi kategori yang mendapatkan investasi paling besar. Dari total investasi VC di dunia gaming sejak 2014, sekitar 48% masuk ke dalam kategori ini. Beberapa perusahaan yang masuk dalam kategori ini antara lain Epic Games, Niantic, dan Roblox. Ada empat model monetisasi yang biasanya digunakan oleh perushaaan di kategori ini, yaitu freemium, iklan, langganan, dan penjualan langsung. Hybrid pernah membahas tentang keempat model bisnis ini di sini.

Selain developer & publisher, kategori lain yang cukup populer adalah kategori streaming & social. Kategori ini mendapatkan sekitar 22,91% dari total investasi yang ditanamkan oleh VC di industri game sejak 2014. Contoh perusahaan yang bergerak di bidang ini yaitu Twitch dan Discord; serta dua perusahaan streaming Tiongkok, yaitu Douyu dan Huya. Biasanya, platform streaming atau sosial game menggunakan tiga model bisnis, yaitu freemium, iklan, dan langganan atau subscription.

Beberapa perusahaan di dunia game yang pernah mendapatkan investasi besar-besaran. | Sumber: Medium
Beberapa perusahaan di dunia game yang pernah mendapatkan investasi besar-besaran. | Sumber: Medium

Sementara itu, kategori developer tools — seperti Unity dan Unreal Engine — mendapatkan porsi investasi sebesar 14,83% dari total investasi oleh VC sejak 2014. Salah satu model bisnis yang digunakan oleh perusahaan yang membuat game engine dan developer tools lainnya adalah melakukan penjualan ke perusahaan alias enterprise sale. Bisnis model lain yang biasa dipakai oleh perusahaan di kategori ini adalah Software-as-a-Service.

Selain tiga kategori di atas, masih ada empat kategori lain. Hanya saja, nilai investasi yang pernah didapatkan oleh masing-masing kategori ini kurang dari 10% dari total investasi VC di dunia game sejak 2014. Kategori platform distribusi game misalnya — seperti SEA dari Singapura — hanya mendapatkan porsi 6,99% dari total investasi VC.

Sementara kategori access point, yaitu perusahaan-perusahaan yang membuat komponen dan hardware gaming seperti Razer, hanya memiliki bagian 1,42%. Kategori esports talent & sponsor, yang mencakup organisasi esports seperti Cloud9, mendapatkan porsi investasi yang sedikit lebih besar dari kategori access point, mencapai 1,71% dari total investasi. Dan terakhir, kategori esports platform — seperti Skillz dan PlayVS — mendapatkan porsi investasi sebesar 4,14%.

 

Investasi di Industri Game Selama 9 Bulan 2020

Sepanjang 2020, banyak industri yang mengalami masalah akibat pandemi COVID-19. Namun, industri game jadi salah satu industri yang diuntungkan. Pasalnya, ketika masyarakat harus melakukan karantina, mereka jadi punya waktu luang lebih banyak untuk bermain game. Dan hal ini juga tercermin dalam meningkatnya penanaman modal, IPO, dan akuisisi di dunia game selama 2020. Hingga akhir Q3 2020, total valuasi investasi, IPO, dan akuisisi di industri game mencapai US$20,5 miliar.

Data tersebut dikumpulkan oleh perusahaan pelacak investasi game, InvestGame. Mereka mengumpulkan data tentang transaksi — baik dalam bentuk investasi, IPO, maupun akuisisi — yang melibatkan pelaku industri game, mulai dari developer, publisher, perushaaan teknologi, esports, sampai hardware. Hanya saja, mereka hanya menghitung transaksi yang diumumkan secara terbuka dan sudah terjadi. Transaksi yang nilainya tidak diumumkan atau belum pasti akan dilangsungkan tidak dihitung. Selain itu, mereka juga tidak menghitung akuisisi ZeniMax senilai US$7,5 miliar oleh Microsoft.

“Kami melacak semua informasi tentang transaksi yang terjadi di industri game,” kata Sergei Evdokimov dari InvestGame pada VentureBeat. “Anda bisa melihat besarnya angka perputaran uang di dunia game dan angka ini masih terus tumbuh. Kami ingin bisa menunjukkan data ini pada para investor.”

Berbeda dengan White Star Capital, InvestGames mengategorikan perusahaan game ke dalam empat kategori, yaitu gaming, platform & tech, esports dan other. Dari tiga kategori lainnya, kategori gaming memiliki jumlah dan nilai transkasi paling besar. Selama sembilan bulan di 2020, ada 211 transaksi yang terjadi di kategori ini, dengan total nilai US$15,3 miliar. Sementara itu, di kategori platform & tech, jumlah transaksi yang terjadi mencapai 112 transaksi, dengan total nilai US$3,97 miliar. Dalam kategori esports, terdapat 89 transaski dengan total nilai US$685 juta, dan di kategori other, terdapat 25 transaksi yang bernilai US$504 juta.

Jumlah dan nilai total transaksi di 4 kategori selama 9 bulan terakhir. | Sumber: InvestGame
Jumlah dan nilai total transaksi di 4 kategori selama 9 bulan terakhir. | Sumber: InvestGame

InvestGame juga membagi ratusan transaksi yang terjadi selama 2020 berdasarkan tipe transaksi, yaitu IPO, akuisisi, dan investasi privat. Dari ketiga tipe tersebut, IPO memiliki valuasi paling besar, mencapai US$9,2 miliar. Salah satu perusahaan game yang melakukan IPO pada tahun ini adalah Unity.

Sementara itu, akuisisi memiliki valuasi terbesar kedua dengan nilai US$6,6 miliar. Memang, sepanjang 2020, terdapat beberapa akuisisi bernilai besar di industri game. Terakhir, jenis investasi privat, yang jumlahnya mencapai US$4,6 miliar sepanjang 2020. Di industri game, VC yang paling aktif saat ini antara lain Play Ventures, Galaxy EOS VC, Bitkraft Ventures, Sisu Game Ventures, dan Makers Fund.

 

Akuisisi di Industri Game Selama 2020

Tahun ini, cukup banyak akuisisi penting yang terjadi. Salah satunya adalah akuisisi perusahaan Turki, Peak Games oleh Zynga seharga US$2 miliar. Akuisisi lain yang menarik perhatian banyak orang adalah akusisi developer Warframe, Leyou Technologies oleh Tencent. Sementara pada September 2020, Microsoft mengakuisisi ZeniMax senilai US$7,5 miliar.

Sepanjang 2020, Tencent menjadi salah satu perusahaan yang paling aktif dalam mengakuisisi perusahaan lain. Memang, sejak tahun lalu, konglomerasi asal Tiongkok itu sangat aktif membeli saham atau bahkan mengakuisisi perusahaan game seperti Funcom dan Marvelous. Selain Tencent, dua perusahaan lain yang aktif melakukan akuisisi di industri game adalah Embracer Group serta Stilfront Group.

“Satu hal yang paling menarik, jumlah transaksi M&A di dunia game tetap sangat banyak meski di tengah pandemi,” kata Evdokimov. “Hanya saja, jumlah transaksi dari VC — baik pada tahap awal maupun akhir — memang mengalami penurunan secara signifikan.”

Sepanjang tahun ini, ada 41 perusahaan mobile game yang diakusisi. Secara total, nilai akuisisi perusahaan-perusahaan tersebut mencapai US$4,4 miliar. Sementara akuisisi terkait perusahaan game konsol dan PC memiliki nilai yang jauh lebih besar, mencapai US$10,5 miliar.

 

Popularitas Streamer dan Esports Buat Ekosistem Game Semakin Besar

Selama ini, jika sebuah merek ingin menjangkau para gamer, mereka hanya bisa bekerja sama dengan developer atau publisher game untuk memasang iklan dalam game. Namun, sekarang, ekosistem game telah berkembang menjadi lebih besar berkat semakin populernya streamer dan esports. Konsumen game tak lagi terbatas pada orang-orang yang memainkan sebuah game tapi juga orang-orang yang menonton konten game melalui platform streaming atau fans esports. Dan banyak merek yang semakin tertarik untuk memenangkan hati para audiens gaming tersebut.

Contoh beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan perusahaan game/esports. | Sumber: White Star Capital
Contoh beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan pelaku industri game/esports. | Sumber: White Star Capital

Buktinya, banyak merek ternama yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan game dan esports, seperti Louis Vuitton, Adidas, dan BMW. Ketiga perusahaan tersebut memang tidak membuat produk yang berhubungan langsung dengan game. Namun, hal itu tidak menghentikan mereka untuk bekerja sama atau menjadi sponsor dari pelaku industri game dan esports. Misalnya, dalam kasus Louis Vuitton, mereka bekerja sama dengan Riot Games tidak hanya untuk membuat koleksi pakaian bertema League of Legends tapi juga membuat skin mewah bagi karakter dalam game.

Salah satu alasan mengapa esports kini menarik perhatian merek-merek besar adalah karena pertumbuhan audiens mereka yang cukup signifikan. Menurut Deloitte, fans esports di dunia mencapai 380 juta orang pada 2018. Sementara pertumbuhan fans esports per tahun mencapai 15%.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Nfx
Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: NfX

 

Penutup

Ada beberapa kesamaan antara perusahaan game dan startup. Salah satunya, biasanya, keduanya tidak memiliki aset yang berwujud. Hal ini akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Di sinilah perusahaan venture capital bisa membantu. Mereka tidak hanya bisa menyediakan modal, tapi juga keahlian dan jaringan. Dan hal ini bisa membantu startup atau perusahaan game tumbuh.

Pada awalnya, perusahaan-perusahaan game tak terlalu menarik minat para VC, kecuali VC yang memang mengkhususkan diri untuk mendanai perusahaan game. Namun, seiring dengan semakin beragamnya perusahaan yang bergerak di bidang game, para VC pun mulai tertarik. Salah satu alasan mengapa industri game kini menjadi semakin beragam adalah karena semakin populernya streamer dan esports. Kedua hal ini membuka pintu baru bagi perusahaan yang ingin bekerja sama dengan pelaku industri game.

Sumber: Medium, VentureBeat

Evolusi Controller PlayStation dari Masa ke Masa

Saya memainkan PlayStation ketika saya masih SD. Ketika itu, saya sadar bahwa tombol X digunakan untuk memberi jawaban ya atau mengonfirmasi jawaban. Namun, saya kemudian juga sadar, pada game-game tertentu, tombol X justru digunakan untuk membatalkan pilihan. Game-game tersebut biasanya punya satu kesamaan, yaitu menggunakan Bahasa Jepang. Hal ini membuat saya paham, di Jepang, tombol X dan O memiliki fungsi “terbalik”.

Berkiblat pada negara-negara Barat, Indonesia menjadikan tombol X untuk konfirmasi dan tombol O untuk batal. Namun, lain halnya dengan Jepang. Di Negeri Sakura tersebut, tombol O justru digunakan untuk konfirmasi dan tombol X untuk batal. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan budaya antara Jepang dan negara-negara Barat.

Di Jepang, “X” — alias batsu — melambangkan kesalahan, menurut laporan The Verge. Bagi Anda yang sering mendapatkan nilai merah ketika sekolah, pasti familier dengan lambang yang satu ini. Sementara itu, ikon lingkaran — atau maru — justru memiliki arti yang sama dengan lambang centang. Jika Anda sering menonton acara kuis Jepang, Anda pasti pernah melihat ikon “O” ketika peserta memberikan jawabanyang benar.

Negara-negara Barat punya budaya yang berbeda. Di Amerika Utara dan Eropa, “X” justru dianggap sebagai lambang target. Misalnya, pada peta harta karun, “X” akan melambangkan tempat harta berada. Selain itu, tombol X juga punya posisi yang strategis. Alhasil, tombol X dipilih sebagai tombol konfirmasi pada game. Berbeda dengan Jepang, di negara-negara Barat, ikon “O” tidak memiliki arti apapun. Jadi, ikon ini bisa digunakan sebagai lambang batal.

Jika ditanya mana yang benar, saya akan menjawab tidak ada. Karena perbedaan fungsi tombol muncul karena perbedaan budaya. Masalahnya, hal ini memberikan pekerjaan ekstra untuk para developer game. Jadi, jangan heran jika…

 

Sony Bakal Menyeragamkan Tombol Konfirmasi Pada PlayStation 5

Selama empat generasi konsol, Sony tidak pernah keberatan untuk mengakomodasi perbedaan penggunaan tombol di Jepang. Namun, mereka berencana untuk menyeragamkan fungsi tombol pada PlayStation 5. Hal itu berarti, para gamer di Jepang harus membiasakan diri untuk menggunakan tombol X sebagai konfirmasi dan tombol O sebagai batal. Menurut laporan Kotaku, perwakilan Sony menjelaskan, alasan mereka melakukan hal ini adalah untuk memudahkan para developer dalam membuat game. Alasan lainnya adalah untuk menyeragamkan pengaturan tombol di semua negara.

Tentu saja, keputusan Sony ini mendapatkan protes dari gamer Jepang. Memang, ada gamer yang percaya diri jika mereka akan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Namun, tidak sedikit juga gamer percaya bahwa keputusan Sony ini akan membuat banyak orang Jepang kebingungan. Bahkan ada orang yang mengatakan, mereka tidak akan membeli PlayStation 5 karena hal ini.

Kejadian ini membuat saya penasaran: bagaimana perusahaan game seperti Sony menentukan layout dari tombol pada controller. Kenapa D-Pad diletakkan di sebelah kiri? Kenapa Sony memilih untuk menggunakan ikon X, O, kotak, dan segitiga? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya akan membahas tentang controller sejak awal.

 

Sejarah Controller

Berbicara tentang sejarah controller, tentu tak lepas dari Spacewar, yang dianggap sebagai salah satu video game pertama. Spacewar bisa dimainkan berdua. Masing-masing pemain akan mengendalikan sebuah pesawat luar angkasa. Seorang pemain akan dinyatakan sebagai pemenang ketika dia berhasil menghancurkan pesawat musuh. Untuk memainkan Spacewar, pemain bisa menggunakan empat dari delapan switch yang ada pada PDP-1. Dua switch berfungsi untuk memutar pesawat ke kiri atau ke kanan, satu switch untuk mengaktifkan thruster pesawat dan satu switch lain untuk menembakkan torpedo.

Hanya saja, ada beberapa kelemahan dari sistem kendali ini. Salah satunya adalah para pemain harus menghafal fungsi dari masing-masing switch. Pasalnya, empat switch pada PDP-1 saling berdampingan. Jadi, sulit untuk membedakan switch yang berfungsi untuk memutar pesawat dengan switch untuk menembakkan torpedo. Masalah lainnya adalah switch yang digunakan untuk bermain Spacewar terletak dekat dengan tombol power. Hal ini meningkatkan risiko pemain secara tidak sengaja mematikan komputer saat sedang bermain.

Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley
Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley

Masalah pada sistem kendali untuk Spacewar mendorong Alan Kotok dan Robert A. Saunders untuk membuat sebuah control box. Sesuai namanya, control box berbentuk kotak dengan dua switch dan satu tombol. Switch horizontal untuk membelokkan pesawat dan switch vertikal untuk menyalakan thruster. Sementara tombol pada control box berfungsi untuk menembakkan torpedo. Jika dibandingkan dengan controller modern, control box memiliki ukuran yang jauh lebih besar.

Seiring dengan semakin populernya Spacewar, semakin banyak pihak yang tertarik untuk membuat control box dari game tersebut. Et voila! Muncullah berbagai variasi dari control box untuk Spacewar. Salah satunya adalah control box dengan lima tombol yang berfungsi untuk melakukan aksi yang berbeda-beda. Control box inilah yang menjadi inspirasi dari sistem kendali pada arcade.

 

Joystick dari Atari

Spacewar bukan satu-satunya game yang populer pada 1960-an. Pong menjadi game lain yang juga digemari masyarakat. Begitu populernya Pong sehingga game ini memiliki franchise arcade sendiri.

Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0
Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0

Atari lalu meluncurkan Pong untuk konsol mereka pada 1970-an. Bersamaan dengan itu, mereka memperkenalkan controller baru yang berbeda dari kebanyakan controller yang ada. Controller ini memiliki dua kenop — bernama potentiometer — yang bisa digunakan untuk menggerakkan alat pemukul di Pong. Walau controller ini cocok untuk memainkan Pong, ia tidak bisa digunakan untuk memainkan game lain. Jadi, desain controller ini pun tak lagi digunakan.

Pada 1978, Stephen D. Bristow mendapatkan paten untuk joystick Atari. Memang, ketika itu, Atari bukan satu-satunya perusahaan yang membuat joystick, mengingat proses pembuatan joystick relatif mudah. Namun, satu hal yang membedakan joystick Atari keberadaan pondasi pada bagian bawah joystick. Dulu, kebanyakan joystick memiliki desain seperti controller Channel F.

Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture
Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture

Pada joystick buatan Atari ini, hanya ada satu tombol. Kebanyakan gamer menggunakan tangan kanan untuk mengendalikan joystick, sementara tangan kiri digunakan untuk menekan tombol. Ke depan, ketika controller memiliki lebih dari satu tombol, gamer justru akan terbiasa menekan tombol aksi dengan jempol kanan.

 

D-pad dari Nintendo

Lalu, bagaimana joystick berevolusi menjadi D-pad? Directional pad atau D-pad “ditemukan” oleh Nintendo. Pada awalnya, Nintendo adalah perusahaan yang membuat kartu Hanafuda. Untuk tahu sejarah lengkap Nintendo, Anda bisa membacanya di sini. Sementara itu, video game mulai populer pada 1970-an. Tren ini membuat Nintendo tertarik untuk masuk ke industri game.

Pada 1977, Nintendo meluncurkan Color TV Game 6, yang memiliki 6 game tenis serupa Pong. Mereka juga sempat meluncurkan Color TV Game 15. Namun, Hiroshi Yamauchi, yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Nintendo, punya visi yang lain. Dia meminta Gunpei Yokoi dan para teknisi untuk membuat video game baru. Terinspirasi dari kalkulator, Yokoi membuat Game & Watch pada 1980.

Game & Watch. | Sumber: Wikimedia
Game & Watch. | Sumber: Wikimedia/Peer Schmidt

Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, pada Game & Watch orisinal, hanya ada dua tombol: satu tombol untuk bergerak ke kiri dan satu ke kanan. Namun, video game berevolusi dengan cepat, sehingga kendali sederhana seperti pada Game & Watch tak lagi cukup. Masalahnya, Nintendo juga tidak bisa memasang joystick pada Game & Watch, mengingat kecilnya ukuran dari perangkat ini.

Nintendo lalu mencoba untuk memasang empat tombol di empat arah. Sayangnya, ide tersebut gagal. Yokoi mendapatkan ide untuk membuat “tombol” yang bisa bergerak ke empat arah, yang kini kita kenal dengan sebutan D-pad. Nintendo langsung menggunakan D-pad untuk controller dari konsol pertama mereka, Famicom alias Nintendo Entertainment System (NES). Tak hanya itu, mereka bahkan mematenkan D-pad. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Sony dan Sega untuk menggunakan D-pad pada controller dari konsol mereka. Untuk menghindari pelanggaran hak paten, keduanya biasanya melakukan sedikit perubahan desain pada controller mereka.

 

Kenapa D-Pad Ada di Sebelah Kiri?

Ketika menggunakan joystick buatan Atari — yang hanya terdiri dari satu tonggak di bagian tengah dan satu tombol — gamer lebih suka menggunakan tangan kiri untuk menekan tombol. Namun, pada controller modern, para gamer justru harus menekan tombol aksi dengan tangan kanan. Ada alasan mengapa perusahaan game melakukan hal ini.

Bagi kebanyakan orang — sekitar 90% populasi dunia — tangan kanan adalah tangan dominan. Biasanya, orang menganggap tangan dominan sebagai tangan yang bisa mengerjakan suatu tugas dengan lebih baik. Padahal, menurut studi, perbedaan antara tangan dominan dan non-dominan tidak sesederhana itu. Baik tangan dominan maupun non-dominan memiliki keahlian tersendiri. Tangan dominan biasanya dapat melakukan gerakan kecil yang membutuhkan akurasi tinggi dengan sangat baik. Sementara tangan non-dominan cocok untuk melakukan gerakan besar yang lebih mementingkan kecepatan atau tenaga.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa D-pad atau analog stick ada di bagian kiri controller, sementara empat tombol lainnya ada di sebelah kanan. Ketika Anda menggerakkan karakter menggunakan D-Pad atau analog stick, biasanya, Anda tidak perlu terlalu memerhatikan presisi. Sementara itu, untuk melakukan aksi tertentu pada game, Anda harus bisa menekan tombol X, O, kotak, dan segitiga — yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda — secara akurat. Berikut tombol yang harus ditekan untuk mengeluarkan combo dari Akuma di Tekken 7.

Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo
Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo

Kenapa Sony Menggunakan Simbol?

Sony meluncurkan PlayStation pertama di Jepang pada Desember 1994 dan September 1995 di Amerika Utara. Ketika itu, para gamer telah terbiasa dengan controller dari Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan SEGA Genesis. Tombol-tombol pada controller dari kedua konsol ini ditandai dengan huruf. Sony tampil berbeda karena mereka memilih untuk menggunakan ikon, yaitu X, O, kotak, dan segitiga.

Ada alasan tersendiri mengapa Sony memilih empat ikon tersebut. Menurut Push Square, tim desain Sony tidak ingin menggunakan huruf karena mereka tidak ingin controller mereka diidentikkan dengan satu bahasa tertentu. Dengan menggunakan ikon, mereka berharap controller mereka akan menampilkan budaya global.

Teiyu Goto, designer dari PlayStation pertama menjelaskan arti dari masing-masing simbol pada controller PS. Di Jepang, X merupakan lambang untuk tidak, sementara O untuk iya. Karena itu, tombol O di Jepang digunakan untuk mengonfirmasi, dan tombol X untuk batal. Ikon segitiga dibuat untuk melambangkan viewpoint atau arah. Dan ikon kotak diasosiasikan dengan secari kertas untuk menu atau dokumentasi. Seiring dengan perkembangannya zaman, arti dari masing-masing ikon ini tampaknya telah semakin terlupakan. Namun, empat simbol tersebut tetap identik dengan PlayStation.

 

Evolusi Controller dari PlayStation dari Waktu ke Waktu

Melihat desain dari controller PlayStation pertama, terlihat jelas bahwa Sony mendapatkan inspirasi dari controller SNES milik Nintendo. Tentu saja, mereka membuat sejumlah perubahan. Selain ikon untuk menandai masing-masing tombol, Sony juga memberikan handle pada controller mereka, sehingga ia lebih nyaman untuk digenggam. Controller dari Sony juga memiliki empat bumpers/shoulder buttons, lebih banyak dari shoulder buttons pada controller SNES.

Dua tahun setelah meluncurkan PlayStation pertama, Sony meluncurkan controller DualShock untuk PS1. Pada DualShock, Sony menambahkan dua analog stick dan juga dua rumble motors. Jika dibandingkan dengan D-Pad, analog stick memudahkan pemain untuk menggerakkan karakter dalam dunia 3D. Karena itu, analog stick dengan cepat menjadi standar industri. Tentu saja, DualShock juga menjadi controller standar untuk Sony.

Ketika Sony meluncurkan DualShock 2 bersamaan dengan PlayStation 2, mereka tidak membuat banyak perubahan. Mengingat controller DualShock memang disukai, masuk akal jika Sony memutuskan untuk terus menggunakan desain ini. Satu-satunya perubahan kasat mata pada DualShock 2 adalah soal warna. Sony mengubah warna controller DualShock 2 menjadi hitam dari abu-abu. Namun, sebenarnya, ada beberapa perubahan yang tak terlihat oleh mata. Salah satunya adalah masalah berat. DualShock 2 lebih ringan dari pendahulunya. Sony juga menggunakan tombol analog pada controller itu. Hal itu berarti, tekanan yang pemain gunakan akan memengaruhi apa yang terjadi.

Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons
Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons

Saat membuat controller untuk PlayStation 3, Sony sempat membuat prototipe yang dinamai Boomerang. Seperti yang Anda lihat pada gambar di atas, prototipe ini memiliki desain yang sangat berbeda dari DualShock. Hanya saja, di dunia online, banyak orang yang mengaku tidak suka dengan desain tersebut. Alhasil, akhirnya Sony memutuskan untuk membuat controller dengan desain yang tak jauh berbeda dari sebelumnya.

Meskipun begitu, Sony tetap melakukan beberapa eksperimen pada controller PS3. Salah satunya, mereka menghilangkan rumble motor. Memang, ketika itu, Sony juga sedang maju ke meja hijau melawan perusahaan bernama Immersion terkait penggunaan rumble motor. Sebagai ganti rumble motor, Sony memasang gyro sensor pada controller PS3, sehingga controller tersebut dilengkapi dengan motion control.

Selain itu, pada controller PlayStation 3, Sony juga mencoba untuk menggunakan teknologi Bluetooth dan baterai yang bisa diisi kembali. Dengan begitu, para gamer akhirnya bisa bermain game menggunakan wireless controller. Pada bagian tengah controller, Sony juga menambahkan tombol “PS”, yang berfungsi untuk menyalakan PS3. Ke depan, tombol ini bisa digunakan untuk mengakses menu konsol di tengah game.

Dua tahun setelah peluncuran PS3, Sony akhirnya memenangkan kasus pengadilan melawan Immersion. Dan mereka pun meluncurkan DualShock 3, lengkap dengan rumble motor. Hal ini bukan berarti DualShock 3 bebas dari kritik. Salah satu protes para gamer adalah trigger button yang tidak bekerja maksimal karena desainnya yang cembung. Keluhan para gamer ini menjadi masukan agar Sony bisa  menyempurnakan controller mereka yang berikutnya.

Sony kembali merombak desain dari controller mereka ketika meluncurkan PlayStation 4. Salah satu perubahan terbesar pada DualShock 4 adalah touch pad yang ada pada bagian tengah controller. Selain itu, Sony juga mengganti tombol Start dan Select menjadi Options dan Share. Tombol Options memiliki fungsi yang sama dengan tombol Start dan Select. Sementara tombol Share, sesuai namanya, berfungsi untuk memudahkan para gamer PS4 memamerkan kegiatan gaming mereka di internet, seperti berbagi screenshot atau video pendek dari sesi gaming mereka.

DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos
DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos

Tak berhenti sampai di situ, Sony juga menambahkan speaker kecil pada DualShock 4 serta headphone jack. Jadi, Anda bisa langsung menghubungkan headphone Anda ke controller tersebut. DualShock 4 juga memiliki light bar. Hanya saja, fitur tersebut mendapatkan protes dari sebagian gamer. Alasannya, light bar pada DualShock 4 akan memantul di layar ketika mereka sedang bermain. Sayangnya, Sony tidak bisa menghilangkan light bar itu begitu saja. Karena, ketika Anda menggunakan PlayStation VR, light bar pada controller berfungsi untuk melacak posisi controller.

Selain perubahan besar, Sony juga melakukan sejumlah perubahan kecil pada DualShock 4. Misalnya, mereka membuat pad yang lebih besar dan pegangan yang lebih nyaman. Mereka juga menyempurnakan desain trigger button. Jadi, tidak heran jika saat ini, DualShock 4 dianggap sebagai controller terbaik buatan Sony.

 

Penutup

Sama seperti konsol, controller juga terus berubah dari waktu ke waktu. Dan Sony berencana untuk memperkenalkan controller dengan desain berbeda saat mereka meluncurkan PlayStation 5. Perusahaan asal Jepang itu bahkan menggunakan merek yang berbeda untuk controller PS5. Bukannya DualShock, tapi DualSense.

Selain warna, DualSense juga memiliki desain yang berbeda dari DualShock 4. Tampaknya, Sony berusaha untuk membuat controller ini menjadi semakin nyaman digenggam tanpa harus mengganti layout tombol. Salah satu perubahan pada tombol DualSense adalah tombol X, O, kotak, dan segitiga kini memiliki warna yang sama. Selain itu, Sony juga mengganti nama tombol Share menjadi tombol Create. Sementara light bar yang menjadi keluhan para gamer di DualShock 4, kini tampil di sekitar touch pad.

Selain dari segi desain, Sony dikabarkan membuat tombol L2 dan R2 sebagai tombol adaptive. Mereka juga mengganti rumble motor dengan haptic feedback. Kabar baiknya, sejauh ini, DualSense cukup populer di kalangan warganet. Jadi, Sony tak perlu menggunakan desain lama untuk controller PS5.

Sumber: The Verge, Ranker

Pandemi Buat Nilai Industri Esports Turun, Genshin Impact Dapatkan US$60 Juta dari Mobile

Dalam satu minggu terakhir, ada sejumlah berita menarik terkait bisnis di industri game dan esports. Salah satunya adalah tentang Newzoo yang menurunkan perkiraan valuasi industri esports akibat pandemi. Selain itu, juga ada kabar tentang Genshin Impact, game buatan developer Tiongkok yang dengan cepat menjadi populer di tingkat internasional.

Newzoo Menurunkan Perkiraan Pemasukan untuk Industri Esports

Pada Februari 2020, Newzoo memperkirakan, valuasi industri esports akan mencapai lebih dari US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, karena pandemi COVID-19, mereka harus membuat perubahan pada perkiraan nilai industri esports. Pada April 2020, mereka memperkirakan, valuasi industri esports akan turun menjadi US$1,05 miliar. Sementara pada Juli 2020, mereka kembali menyesuaikan perkiraan mereka menjadi US$973,9 juta. Kali ini, Newzoo menyebutkan, valuasi industri esports turun menjadi US$950,3 juta.

“Satu hal yang harus diingat, audiens esports tidak mengecil (permintaan tidak turun) dan jumlah penyelenggara turnamen juga tidak bertambah sedikit (pasokan konten esports juga tidak berkurang),” ujar Newzoo, seperti dikutip dari VentureBeat. “Kami menyesuaikan nilai industri esports karena ada beberapa turnamen esports yang tertunda atau harus dibatalkan.”

The International 10 jadi salah satu turnamen esports yang ditunda.
The International 10 jadi salah satu turnamen esports yang ditunda.

Selama pandemi, turnamen esports memang masih bisa diselenggarakan. Namun, kebanyakan turnamen tersebut diadakan secara online. Newzoo menyebutkan, hal ini memengaruhi pemasukan industri esports dari penjualan tiket. Tak hanya itu, jika turnamen esports hanya diadakan secara online, hal ini juga berdampak pada penjualan merchandise. Akibat pandemi, Newzoo menurunkan perkiraan pemasukan industri esports dari penjualan tiket dan merchandise dari US$76,2 juta menjadi US$52,5 juta.

Kabar baiknya, pandemi membuat viewership turnamen esports meningkat. Salah satu indikasi yang Newzoo perhatikan adalah viewership dari turnamen esports yang diadakan oleh Riot Games. Biasanya, viewrship dari turnamen yang diadakan pada musim panas (Juni-September) mengalami penurunan sekitar 20%-30% jika dibandingkan dengan turnamen pada musim semi (Maret-Juni). Namun, kali ini, viewership dari turnamen League of Legends di Eropa dan Amerika Utara justru mengalami kenaikan sekitar 16,7% sampai 30%. Hanya saja, ke depan, mungkin akan muncul masalah baru karena penyelenggara kesulitan untuk mengadakan turnamen internasional.

Masalah lain yang muncul akibat pandemi adalah berkurangnya minat perusahaan untuk menjadi sponsor atau memasang iklan. Hal ini bisa membaut pemasukan di bagian sponsorship dan hak siar media mengalami penurunan. Newzoo mengungkap, jika pandemi masih berlangsung hingga 2021, berbagai pelaku dunia esports mau tidak mau harus melakukan revisi akan strategi bisnis mereka.

ReKTGlobal Mendapatkan Dana Bank Sebesar US$35 Juta

ReKTGlobal, perusahaan induk dari tim esports Rogue dan London Royal Ravens, baru saja mendapatkan dana bank sebesar US$35 juta dari Summit Partners. Dana tersebut akan digunakan untuk beberapa hal. Salah satunya adalah untuk mempekerjakan sejumlah eksekutif baru, menambah tim sales, dan juga mencari pemain esports berbakat.

London Royal Ravens adalah salah satu tim Call of Duty League. | Sumber: The Loadout
London Royal Ravens adalah salah satu tim Call of Duty League. | Sumber: The Loadout

Jika dibandingkan dengan organisasi esports lain, ReKTGlobal cukup unik. Mereka tidak hanya fokus untuk membangun tim esports yang kuat, mereka juga berinvestasi di berbagai bagian lain dari esports. Sebelum ini, mereka telah mengakuisisi perusahaan media Fearless Media dan juga perusahaan marketing Greenlit Content, menurut laporan Forbes.

Sebelum mendapatkan dana bank, ReKTGlobal juga telah berhasil mendapatkan sejumlah invsetor ternama, seperti musisi Steve Aoki, Imagine Dragons, dan Nicky Romero. Mereka juga didukung oleh beberapa atlet olahraga seperti pemain basket Prancis Rudy Gobert, atlet american football Landon Collins, dan petenis Amerika Serikat Taylor Fritz.

Genshin Impact Mendapatkan US$60 Juta di Perangkat Mobile Dalam Minggu Pertama

Dalam satu minggu, Genshin Impact dari developer Tiongkok, miHoYo, mendapatkan pemasukan sebesar US$60 juta dari App Store dan Google Play Store. Menurut laporan Sensor Tower, game ini duduk di peringkat dua dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar pada minggu peluncuran. Peringkat pertama diduduki oleh Honor of Kings, yang berhasil meraup US$64 juta dalam satu minggu setelah peluncurannya, sementara peringkat ketiga diisi oleh PUBG Mobile dengan pemasukan US$56 juta.

Di Tiongkok, Genshin Impact mendapatkan US$25 juta dari App Store. Namun, tidak diketahui berapa pemasukan yang didapatkan oleh game itu dari pengguna Android. Pasalnya, Google Play Store tidak tersedia di Tiongkok. Negara yang menyumbangkan kontribusi terbesar kedua pada pemasukan Genshin Impact adalah Jepang dengan spending sebesar US$17 juta. Amerika Serikat ada di posisi ketiga dengan total spending sebesar US$8 juta, lapor GamesIndusty.

Selain diluncurkan untuk mobile, Genshin Impact juga dirilis untuk PlayStation 4 dan PC. Ke depan, miHoYo juga berencana untuk meluncurkan game ini ke platform lain. Saat ini, Genshin Impact sudah berhasil menjadi game Tiongkok dengan peluncuran internasional paling sukses.

ESL dan GUNNAR Perkenalkan Kacamata Gaming Kedua, ESL Blade

Pada April 2020, ESL mengumumkan kerja samanya dengan GUNNAR Optiks untuk membuat kacamata khusus gamer. Sekarang, keduanya merilis produk kedua hasil kerja sama mereka, yaitu ESL Blade. Sebelum ini, mereka telah merilis kacamata Lighting Bolt 360: ESL Edition. Sama seperti produk-produk GUNNAR lainnya, ESL Blade menggunakan lensa “Blue Light Protection Factor”, yang diklaim memblokir 65% cahaya biru dari layar dan mengurangi kesilauan layar, lapor The Esports Observer.

Kacamata ESL Blade, hasil kerja sama antara ESL dan GUNNAR. | Sumber: The Esports Observer
Kacamata ESL Blade, hasil kerja sama antara ESL dan GUNNAR. | Sumber: The Esports Observer

Menurut organisasi Prevent Blindness, yang bertujuan untuk memberikan informasi pada masyarakat tentang cara melindungi mata mereka, cahaya biru dari layar komputer dan perangkat digital lainnya dapat menyebabkan kelelahan pada mata, yang bisa berujung pada kerusakan di retina.

MYBORNEO Invitational Siap Digelar dan Turnamen Baru CS:GO Tingkat Global Buka Kualifikasi

Sarawak Esports Association (SESA) bekerja sama dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga Malaysia (KBS) untuk menyelenggarakan turnamen MYBORNEO EFORCE Invitational 2020. Diadakan selama satu bulan, turnamen tersebut akan mengadu empat game sekaligus, yaitu PUBG Mobile, MotoGP 20 PC, Dota 2, dan Mobile Legends: Bang Bang.

Berikut jadwal dari turnamen MYBORNEO beserta total hadiah dari masing-masing divisi game:

  • Kompetisi PUBG Mobile akan diadakan pada 16-18 Oktober 2020, dengan total hadiah RM2.700 (sekitar Rp9,8 juta)
  • Kompetisi MotoGP 20 PC akan diadakan pada 23-25 Oktober 2020, dengan total hadiah sebesar RM1.000 (sekitar Rp3,5 juta)
  • Kompetisi Dota 2 akan diadakan pada 30 Oktober-1 November 2020, dengan total hadiah sebesar RM3.150 (sekitar Rp11,2 juta)
  • Kompetisi MLBB akan diadakan pada 6-8 November 2020, dengan total hadiah sebesar RM3.150 (sekitar Rp11,2 juta)

Saat ini, sejumlah tim esports asal Kalimantan telah diundang untuk bertanding di masing-masing kategori game, menurut laporan IGN.

Turnamen CS:GO Flashpoint 2 Kembali Diselenggarakan

Sementara itu, di scene esports internasional, turnamen Counter-Strike Flashpoint akan kembali diadakan. Flashpoint 2 akan menawarkan total hadiah sebesar US$1 juta (sekitar Rp14,7 miliar). Babak kualifikasi dari Flashpoint 2 akan diadakan pda 9-22 November 2020. Sementara babak playoff akan diselenggarakan pada 30 November-5 Desember 2020 dan babak final pada 6 November 2020. Tim yang memenangkan turnamen ini akan mendapatkan hadiah sebesar US$500 ribu (sekitar Rp7,4 miliar) dan trofi AK-47.

Pemenang Flashpoint Season 2 akan mendapatkan trofi berbentuk AK-47. | Sumber: HLTV
Pemenang Flashpoint Season 2 akan mendapatkan trofi berbentuk AK-47. | Sumber: HLTV

Karena pandemi COVID-19, Flashpoint 2 akan diadakan secara online. Untuk itu, semua tim yang berlaga di turnamen ini akan dikarantina di Eropa. Commissioner dan President of Brand Flashpoint, Christopher “MonteCristo” Mykles serta Creative Director dan Broadcast Talent, Duncan “Thorin” Shields juga akan ikut dikarantina di sana.

“Kami senang karena kami bisa pergi ke London untuk menyelenggarakan Flashpoint. Sejak awal, kami memang ingin mengadakan turnamen ini di Eropa,” kata Mykles pada The Esports Observer. “Kami telah berusaha keras untuk menyiapkan konten yang unik. Kami juga mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang muncul akibat pandemi COVID-19.” Dia mengaku bangga karena masih bisa menyelenggarakan dua turnamen Flashpoint dalam satu tahun, meski keadaan industri esports tengah tidak menentu akibat pandemi.

Metrics in Esports that can be Used to Measure its Success

In recent years, esports has become increasingly popular, both as a competition and as entertainment content. Along with the skyrocketing popularity of esports, more and more companies are also interested in becoming sponsors or investors for esports players. These companies are just not only from the companies which engaged in games or esports. More and more large non-endemic companies are starting to be interested in entering the world of esports. For example, BMW, which immediately cooperates with 5 esports organizations at once, or Lamborghini, which holds its own esports racing tournament.

It is no wonder that more and more companies are interested in entering the esports industry, considering that Newzoo estimates the value of the esports industry will reach US$ 1 billion in 2020. Indeed, currently, sponsorship is still the main source of income for esports organizations and most esports players have not made a profit yet. However, investors still believe that the esports industry will become a big industry in the future. One of the reasons is because the number of viewers continues to increase.

In Indonesia, whether a television program is popular or not is determined by the rating issued by Nielsen. According to CNN Indonesia, to measure the ratings, Nielsen installed a special tool called a people meter in 2,273 households as samples. Thousands of samples were spread across 11 major cities. However, the method for determining the popularity of esports content is not the same as television ratings. The reason is that most of the esports content is broadcast on streaming platforms, such as YouTube, Facebook Gaming, and Twitch; instead of television.

Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon
Via: Polygon

On streaming platforms, there is no “rating” that determines the popularity of a video, only the number of views. However, the number of views is not the only metric that can be used to determine the level of popularity of an esports tournament or game. There are several other units used to measure the popularity of esports events.

What are the metrics used to determine the popularity of esports?

 

AMA (Average Minute Audience)

AMA, also known as Average Concurrent Viewers (AVC) is the metric most often used to determine the popularity of esports content. There are two ways to calculate AMA. First, dividing the total hours of video watched by the video duration. Second, calculate the average number of viewers per minute of the video. One of the reasons why AMA is the most popular metric is because it is comparable to the average number of viewers, which is commonly used on television.

While still as a Managing Director at Nielsen Esports, Nicole Pike explained that using AMA to calculate viewership makes it easier for advertisers to understand the level of popularity of esports content. “We use AMA metrics so companies can compare our data with the average number of viewers of the various television shows they know about.”, Pike told Esports Insider.

Remer Rietkerk, Head of Esports Newzoo, agreed with Pike’s words. “AMA makes it easier for you to find out which programs have a higher viewership.”, he said. AMA also helps advertisers to know the length of duration of content, He added. Unfortunately, AMA is not the perfect metric for determining the popularity of esports content.

Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts
Via: Esports Charts

Artyom Odintsov, CEO of Esports Charts said, “AMA cannot be used to compare esports tournaments from different games, such as Fortnite World Cup (FWC) and League of Legends World Championship (LWC)”. The reason is, these two tournaments have totally different format. He explained, if you compare FWC and LWC in terms of AMA, FWC will get a better value. Not because Fortnite is more popular as an esports game, but because LWC has Play-In and Group Stages rounds, which extend the duration of the tournament. “AMA metrics can only be used to compare tournaments at the same stage. For example, at the final stage or group stages”, said Odintsov.
According to the Games Impact Index created by The Esports Observer in Q1 2020, League of Legends is still the most influential esports game in the esports ecosystem, followed by Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Rainbow Six Siege, and Fortnite. There are several things to consider in determining the list, such as the number of monthly active players, the total number of tournament prizes, the number of hours watched, the number of tournaments, etc.

Odintsov said, if only using AMA as a measure of the popularity of esports games, League of Legends and CS: GO might not get the best scores because the two games have many tournaments. “Games with a centralized tournament system like Overwatch might actually look more popular than LoL and CS: GO simply because Overwatch doesn’t have many tournaments,” he said.

 

Unique Viewers

Apart from AMA, another metric commonly used in the world of esports is Unique Viewers. Usually, this metric is used to find out how many people watched esports content and how long they watched the video. Rietkerk said the Unique Viewers metric is usually used to determine the level of effectiveness of a marketing campaign.

Indeed, Unique Viewers will make it easier for sponsors to find out whether their marketing campaign is successful or not. Meanwhile, for game publishers, Unique Viewers helps them to know how many people are interested in their game. The problem is, it’s difficult to compare the Unique Viewers metrics with those commonly used on television.

League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus
Via: LOL Nexus

“There are claims that the League of Legends World Championship is more popular than the Super Bowl, but when you look at the data, you find that Super Bowl popularity is calculated using the average attendance metric while LWC uses Unique Viewers,” said Pike. “In fact, the two are completely different metrics and shouldn’t be compared”.

 

Peak Concurrent Users (PCU)

Peak Concurrent Users refers to the highest number of viewers of a broadcast. Odintsov said, “PCU is influenced by many factors. The main factor is the time zone in which the tournament is held. This metric is suitable for comparing the popularity of tournaments held in the same region. The goal is to find out which tournament is more popular”.

 

Hours Watched (HW)

Finally, a metric commonly used in the world of esports is Hours Watched or the length of time a video was watched. “For sponsors, Hours Watched can help them to find out how long it took the audience to see their brand,” said Rietkerk. “This metric is also suitable if you want to compare the popularity of two games of different genres”.

However, the HW metric cannot be used alone. “The Hours Watched metric cannot be used without the support of data on the average number of viewers or length of content duration,” Odintsov said. He explained that 1 million Hours Watched could be achieved with 8 hours of broadcast and 125 thousand AMAs or 100 hours of broadcasts with 10 thousand AMAs. In this case, the two programs both received 1 million total hours watched. However, the two of them had vastly different views on average.

 

Why Are There So Many Metrics Used in Esports?

According to Pike, the reason why there are so many metrics used in the competitive gaming industry is that esports started from the grassroots community. Initially, data related to esports also came from stakeholders in the esports ecosystem, such as game publishers or tournament organizers. “In the TV industry, third parties will present data consistently to provide clarity for parties who want to make advertisements or become sponsors,” he said. “Without a third party to provide data, the publisher or tournament organizer is free to submit their own reports”.

Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety
Via: Variety

Pike further explained, “The data provided by the publisher and tournament organizer is not wrong. However, you can attract the attention of large numbers of people and sponsors by providing bombastic data. Because the metrics used are stakeholder dependent, the use of metrics is inconsistent”. For example, if the Overwatch League has a high average viewership then, of course, that’s what Activision Blizzard will stand out. Meanwhile, if the League of Legends tournament can get high Hours Watched, then Riot will use this metric.

The good news is, that along with the development of the esports ecosystem, more and more gaming and esports companies are interested in collaborating with third-party analytics companies. Some game companies have already done this include Riot Games and Activision Blizzard. One of their goals is to ensure the validity of the data they provide.

Not only publishers, esports players such as ESL and Astralis have also started working with analytics companies. Through its collaboration with Newzoo, Astralis will exchange data with the analytics company. The hope is that Newzoo will be able to make more accurately estimate of esports world using data from Astralis. Meanwhile, Newzoo will provide insight into Astralis to help that esports organization to make decisions in the future.

 

Esports Needs Standard Units to Measure Content Popularity

In the esports industry, there are various games with different genres. Usually, each esports game also has a different tournament format and target audience. For example, most of League of Legends regional leagues are using a franchise model, while Dota 2 tournaments have an open nature. Therefore, it is difficult for sponsors to calculate ROI (Return of Investment) when they support an esports tournament. Using the same metric to measure the esports content popularity can help to solve that problem.

“The biggest advantage of using the same metrics is that we can understand each other”, said Rietkerk. “If all the actors use different metrics to discuss the same thing, this act will make the sponsors confuse”. Indeed, as more and more large companies invest their marketing funds in esports, esports players are increasingly aware that they must be able to provide valid data and ensure that sponsors’ investments are not in vain.

“In the world of esports, tournament viewership data will have a direct impact on the number of partners a team or tournament organizer can get”, said Odintsov. He said that social media data was no longer in great demand. Instead, advertisers are attracted by live events, such as the livestreams made by streamers or live broadcasts tournaments.

 

Conclusion

The esports industry grew from a grassroots community. Along with the increasing interest in watching esports matches, more and more companies are interested in becoming sponsors. Therefore, esports players are also required to be able to provide valid data so that sponsors can ensure that their investments are not in vain.

Currently, there are several metrics used to measure the popularity of esports events, such as the average number of views or the total length of time a video was watched. Unfortunately, using different metrics can confuse sponsors and advertisers alike. For that reason, esports industry actors should determine the metrics they will use as a standard.

Header source: Deposit Photos

Serba-Serbi Gamifikasi: Penerapan dengan dan Tanpa Aplikasi

Ketika saya SD, saya sering bermain game Puzzle Bobble. Beberapa waktu lalu, saya melihat adik saya memainkan game serupa, di aplikasi Shopee. Sementara bulan lalu, saya mendapatkan rilis dari Tinder, memperkenalkan fitur barunya,  “Swipe Night”, berupa cerita interaktif yang mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games.

Semua hal ini membuat saya berpikir: unsur-unsur game apalagi yang ada dalam aplikasi non-gaming? Kenapa aplikasi e-commerce dan kencan online memasukkan unsur-unsur game padahal aplikasinya tak ada sangkut pautnya dengan game? Bukankah game adalah hal tak berguna yang hanya merusak masa depan?

Dalam usaha saya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, saya menemukan istilah menarik: gamifikasi. Dan kali ini, saya akan membahas segala sesuatu tentang gamifikasi.

Apa sih Gamifikasi Itu?

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang gamifikasi, saya menghubungi Eko Nugroho, CEO dari Kummara Group, perusahaan yang fokus pada game serius, pembelajaran via gaming, dan gamifikasi secara umum. Eko menjelaskan, pada dasarnya, gamifikasi adalah penggunaan unsur game di bidang selain game, mulai dari edukasi, tempat bekerja, hingga militer.

Unsur game yang digunakan dalam gamifikasi juga tidak selalu sama. Dalam kasus Shopee, mereka memasukkan game utuh ke dalam aplikasinya. Namun, gamifikasi tidak harus selalu seperti itu. Penerapan gamifikasi bisa sesederhana penggunaan sistem poin atau memasang leaderboard pada aplikasi.

Leaderboard jadi salah satu unsur game yang sering digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos
Leaderboard jadi salah satu unsur game yang sering digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos

Eko memberikan contoh gamifikasi dalam dunia edukasi. Misalnya, setelah lulus tingkat pendidikan tertentu, maka seseorang akan mendapatkan sertifikasi. Sistem ini serupa dengan penerapan sistem badge pada game. Ketika Anda berhasil mendapatkan pencapaian tertentu, usaha Anda akan dihargai dengan “badge”. Menurut Eko, penggunaan unsur game dalam bidang non-gaming sudah dilakukan sejak lama. Namun, istilah “gamifikasi” baru mulai muncul pada 2000-an.

Sayangnya, sama seperti segala sesuatu di dunia ini, gamifikasi juga bisa memberikan dampak buruk jika tidak diterapkan dengan benar. Eko kembali memberikan contoh dalam dunia edukasi. “Dunia pendidikan yang ‘menuhankan’ nilai, hal ini membuat para murid termotivasi untuk berbuat curang dan bukannya belajar lebih baik,” kata Eko.

 

Optimasi dan Tujuan Gamifikasi

Salah satu alasan mengapa penerapan gamifikasi tidak selalu optimal adalah karena masih banyak orang yang memiliki pemikiran yang salah tentang gamifikasi. Eko mengungkap, masih banyak orang yang mengira bahwa gamifikasi itu sekadar menggunakan sistem poin atau badge. “Menggunakan sistem poin atau badge memang gamifikasi. Tapi, gamifikasi itu lebih dari itu,” ujar Eko. “Gamifikasi harus bisa didesain dengan baik.”

Alasan lain mengapa penggunaan gamifikasi terkadang tidak optimal adalah karena terkadang. orang-orang yang hendak menerapkan gamifikasi ingin mengimplementasikannya dengan cepat. Padahal, gamifikasi hanya akan bisa optimal jika ia memang diimplementasikan dengan tepat. “Misalnya, pembaca Hybrid adalah orang-orang pada umur 18-30 tahun. Mendadak, Hybrid menambahkan fitur gamifikasi, tapi UI/UX-nya old school. Ya, gamifikasi tidak akan maksimal,” kata Eko.

Lalu, bagaimana cara menentukan apakah penerapan gamifikasi sudah optimal? Menurut Eko, optimal atau tidaknya gamifikasi tergantung pada apakah tujuan dari gamifikasi itu sendiri berhasil dicapai. Tolok ukur lainnya adalah apakah gamifikasi bisa memberikan pengalaman yang lebih baik pada konsumen. “Pada aplikasi, kalau fitur gamifikasi membuat pengguna tertarik menggunakan mencoba, hal itu berarti gamifikasinya berjalan dengan baik,” ujarnya.

Dalam jangka panjang, fitur gamifikasi yang optimal bisa menumbuhkan loyalitas konsumen. Contoh yang Eko berikan adalah sistem frequent flyers yang digunakan oleh maskapai penerbangan. Dalam sistem itu, semakin sering seseorang menggunakan layanan maskapai tertentu, maka semakin tinggi kelasnya dan semakin baik pula layanan yang dia dapatkan. Pada awalnya, seseorang mungkin menggunakan satu maskapai karena memang perlu. Namun,  lama-kelamaan, dia akan enggan untuk menggunakan maskapai lain karena layanan yang dia dapatkan sudah sangat baik.

Sistem serupa juga diterapkan oleh perusahaan transportasi online. Tak hanya menumbuhkan kesetiaan, gamifikasi juga bisa digunakan dengan tujuan untuk memperkenalkan produk baru. Misalnya, pada awal kemunculan transportasi online, mereka sering memberikan “reward” berupa voucher atau diskon. Hal ini mendorong konsumen untuk mencoba menggunakan transportasi online. Setelah konsumen terbiasa, diskon atau voucher itu pun perlahan dihilangkan. Namun, konsumen yang sudah terlanjur merasa senang dengan layanan yang ditawarkan tetap menggunakan layanan transportasi online.

Satu hal yang harus diingat, Eko mengingatkan, fitur gamifikasi hanya akan bisa berfungsi optimal jika produk yang diperkenalkan memang berkualitas. “Mengenalkan produk baru kan susah. Jadi, supaya konsumen mau mencoba produk atau layanan baru, perusahaan menggunakan konsep gamifikasi. Namun, gamifikasi tidak bisa berdiri sendiri. Perusahaan harus memang punya produk yang baik,” ujar Eko. Dia juga menekankan, jangan sampai fitur gamifikasi justru membuat pelanggan merasa tertipu.

Sistem badge merupakan sistem gamifikasi lain yang biasa digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos
Sistem badge merupakan sistem gamifikasi lain yang biasa digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos

Tujuan dari gamifikasi, jelas Eko, sebenarnya tak hanya menumbuhkan loyalitas atau memperkenalkan produk baru. “Tergantung pada aplikasi,” jawab Eko ketika ditanya tentang tujuan gamifikasi pada aplikasi non-gaming. “Misalnya pada e-commerce, mereka menggunakan konsep game agar pengguna menggunakan aplikasi lebih lama. Dengan begitu, para pemain bisa diekspos ke banyak hal. Contoh, ketika kita bermain game, kita bakal dapat voucher atau diskon. Contoh lainnya, ketika kita main, kita disajikan iklan.”

Lebih lanjut, dia menjelaskan, fitur gamifikasi dalam aplikasi tak melulu blak-blakan seperti yang sudah dibahas. Dia menjadikan LinkedIn sebagai contoh. “Kalau kamu isi data diri, bar completion-nya akan terisi. Di sini, tujuan gamifikasi adalah mendorong pengguna untuk memberikan data diri mereka,” ujarnya. “Jadi, tujuan dari gamifikasi itu ya tergantung masing-masing aplikasi.”

 

Contoh Gamifikasi dalam Aplikasi

Tokopedia adalah salah satu aplikasi non-gaming yang menggunakan strategi gamifikasi. Menurut Bety Rosalina, Buyer Engagement Lead, Tokopedia, mereka mulai menampilkan fitur gamifikasi sejak 2017. Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman belanja yang interaktif dan lebih menaik.

Salah satu fitur gamifikasi yang Tokopedia gunakan dinamai Lucky Egg. Fitur ini sangat sederhana. Anda cukup “membuka” Lucky Egg di Tokopedia dan Anda akan mendapatkan hadiah berupa kupon atau voucher. Bety mengatakan, kupon yang diberikan telah disesuaikan dengan masing-masing pelanggan. Sekarang, Tokopedia juga menampilkan fitur gamifikasi lain, yaitu TopQuest. Dalam game, ketika Anda mendapatkan quest atau misi, maka Anda harus menyelesaikannya — terkadang dengan batas waktu tertentu — untuk mendapatkan hadiah. Cara kerja TopQuest persis seperti itu. TopQuest mendorong Anda untuk melakukan kegiatan tertentu untuk mendapatkan hadiah berubah cashback atau voucher.

“Tokopedia juga menghadirkan Tap Tap Kotak sebagai lanjutan dari fitur Lucky Egg,” ujar Bety. Sama seperti Lucky Egg, keuntungan yang didapat pelanggan dari Tap Tap Kotak adalah hadiah. Sementara bagi para mechant, manfaat Tap Tap Kotak adalah mereka bisa membangun engagement yang lebih interaktif dan lebih personal. “Hingga Agustus 2020, jumlah kotak yang dibuka mencapai lebih dari 25 juta kali. Bahkan ada lebih dari 40 ribu kotak Tap Tap Kotak yang dibuka per menit selama malam perayaan festival belanja bulanan Waktu Indonesia Belanja (WIB) pertama Tokopedia yang berlangsung pada 29 Juli 2020,” ujar Bety.

Bety menceritakan, fitur-fitur gamifikasi pada Tokopedia merupakan hasil kolaborasi dari tim internal Tokopedia, yang terdiri dari 9 orang, termasuk software engineers dan product manager.

Tap Tap Kotak merupakan kelanjutan dari fitur Lucky Egg.
Tap Tap Kotak merupakan kelanjutan dari fitur Lucky Egg.

Selain Tokopedia, Tinder menjadi aplikasi non-gaming lain yang memasukkan fitur gamifikasi. Tinder menamai fitur gamifikasi mereka “Swipe Night”. Bagi Anda yang tidak tahu, Swipe Night merupakan cerita interaktif. Di sini, Anda bisa memilih opsi yang berbeda yang akan memengaruhi jalan cerita. Mekanisme ini mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games, seperti The Wolf Among Us. Hanya saja, opsi yang Anda ambil di Swipe Night tidak hanya memengaruhi alur cerita, tapi juga match yang Anda dapatkan.

Di Indonesia, fitur Swipe Night baru hadir pada awal September 2020 lalu. Proses pembuatan Swipe Night sendiri cukup lama. Kegiatan syuting untuk cerita Swipe Night telah dimulai sejak Q3 2019. Memang, pandemi jadi salah satu alasan mengapa fitur baru diluncurkan September 2020. Pada awalnya, Tinder berencana untuk memperkenalkan Swipe Night pada Maret 2020.

Berbeda dengan Tokopedia yang ingin menawarkan pengalaman belanja lebih interaktif, tujuan Tinder menghadirkan fitur gamifikasi adalah untuk memudahkan penggunanya memulai percakapan.

“Kami sadar bahwa orang-orang lebih mudah mengobrol ketika mereka berbagi pengalaman yang sama, seperit ketika menghadiri konser atau saat mereka tengah hangout bersama,” kata perwakilan Tinder pada Hybrid.co.id. “Kami ingin Swipe Night jadi bahan pembuka pembicaraan.” Selain itu, Tinder juga berharap, fitur Swipe Night akan membantu para penggunanya untuk membangun chemistry yang lebih baik.

Pihak Tinder menjelaskan, ide untuk membuat fitur Swipe Night muncul ketika mereka mengamati kebiasaan berkencan para Gen Z. Fortnite menjadi salah satu sumber inspirasi mereka. Memang, satu tahun belakangan, Fortnite juga mulai mengundang musisi ternama untuk melakukan konser digital di game tersebut. Tinder ingin melakukan hal serupa. Hanya saja, mereka juga ingin memastikan bahwa fitur gamifikasi yang mereka tanamkan sesuai dengan tema Tinder sebagai aplikasi kencan.

Swipe Night merupakan fitur gamifikasi pada TInder.
Swipe Night merupakan fitur gamifikasi pada Tinder.

“Kami akhirnya memutuskan untuk membuat konten dengan sudut pandang orang pertama. Di sini, para pengguna Tinder akan jadi karakter utama dan mereka bisa melakukan berbagai aksi atau membuat pilihan yang akan menunjukkan kepribadian mereka,” jelas perwakilan Tinder. “Selain itu, penting juga untuk mencantumkan hasil pengalaman mereka di bio.”

Tinder berharap, setelah mencoba Swipe Night, para pengguna akan tertarik untuk membicarakan pengalaman mereka, sama seperti setelah mereka menonton bioskop atau seri TV.

Sebelum diluncurkan secara global, fitur Swipe Night telah tersedia di Amerika Serikat terlebih dulu. Tinder mengungkap, tanggapan yang mereka dapatkan positif. “Sesuai dengan janji awal, Swipe Night dapat meningkatkan jumlah match dan dapat membantu pengguna kami untuk memulai percakapan,” aku Tinder. “Contohnya, total match di AS naik 26% sementara total percakapan naik 12%.”

 

Proses Pembuatan Gamifikasi

Jika setiap aplikasi dapat menerapkan sistem gamifikasi yang berbeda-beda, serumit apa proses pembuatan gamifikasi? Eko mengungkap, semua developer sebenarnya bisa menanamkan fitur gamifikasi pada aplikasi. Hanya saja, setiap developer memiliki pemahaman akan gamifikasi yang tidak sama. Eko memberikan analogi ketika Anda meminta tukang bangunan untuk membangun rumah. Semua tukang bangunan akan bisa membangun rumah, hanya saja, mereka akan membangunnya berdasarkan apa yang mereka ketahui saja. Lain halnya jika Anda meminta bantuan arsitek.

“Jika Anda ngomong dengan arsitek, dia tidak akan langsung membuatkan rumah yang Anda minta. Dia justru akan memberikan beberapa pertanyaan, seperti apa fungsi rumah, siapa yang akan tinggal di rumah tersebut, dan karakteristik dari orang yang akan tinggal nantinya. Setelah itu, sang arsitek baru akan mendesain rumah dan memanggil tukang bangunan untuk membangun rumah tersebut,” cerita Eko.

Meminta bantuan "arsitek" gamifikasi dapat membantu membuat fitur yang sesuai. | Sumber: Deposit Photos
Meminta bantuan “arsitek” gamifikasi dapat membantu membuat fitur yang sesuai. | Sumber: Deposit Photos

Eko menjelaskan, jika perusahaan sekadar ingin memasang sistem poin atau badge pada aplikasinya, maka developer manapun bisa melakukan itu. Namun, jika perusahaan ingin mengoptimalkan fitur gamifikasi agar ia tepat sasaran, maka tidak ada salahnya mereka meminta bantuan “arsitek” gamifikasi.

“Sama seperti konsultan di bidang lain, biasanya kita akan mempelajari terlebih dahulu keadaan klien, seperti target mereka siapa, objektif mereka melakukan gamifikasi apa, dan bagaimana infrastruktrur aplikasi/situs yang telah mereka miliki,” ungkap Eko. Setelah itu, baru mereka akan membuat strategi yang sesuai. Sayangnya, tidak semua klien memahami hal ini. “Ada juga yang pola pikirnya, ‘pokoknya mau seperti Candy Crush, biar pelanggan main terus’,” ujarnya. “Namun, hal ini memang bukan sepenuhnya salah mereka, karena konsep tentang gamifikasi itu memang masih terbatas. Sebagian orang masih merasa, gamifikasi akan bisa mengubah segala sesuatu secara instan.”

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang proses pembuatan fitur gamifikasi, saya mengobrol dengan Garibaldy Wibowo Mukti, Co-founder dan CEO dari Nightspade Studio, yang bertanggung jawab dalam membuat fitur gamifikasi untuk Tokopedia. Seperti apa game yang mereka buat untuk aplikasi e-commerce tersebut? Anda bisa melihat contohnya pada video di bawah.

“Tokopedia memang memberikan gambaran akan game yang mereka mau, maunya kira-kira seperti apa,” jawab pria yang akrab dengan panggilan Gerry ini ketika ditanya tentang proses pembuatan game untuk Tokopedia. “Tapi yang flesh out dari kita. Kita mengusulkan beberapa ide dan mereka pilih mana ide yang mau kita buat secara detail.” Secara sederhananya, proses dimulai dari briefing oleh klien — dalam hal ini Tokopedia — lalu diikuti oleh high level pitch dan terakhir, proses fleshing out. Sejak awal, Gerry mengungkap, Tokopedia juga telah menjelaskan tujuan mereka membuat gamifikasi.

“Secara umum, mereka ingin bisa menggaet lebih banyak user dan membuat mereka menggunakan aplikasi lebih lama,” jelas Gerry tentang alasan Tokopedia membuat fitur gamifikasi. “Dan gamifikasi memang bisa mendorong pelanggan stay lebih lama. Sama seperti WiFi di cafe-lah. Dengan adanya WiFi, orang-orang bakal stay lebih lama, mungkin akan pesan minuman lain.” Sambil bercanda dia menambahkan, “Bahkan ada orang-orang yang ke cafe hanya untuk mendapatkan WiFi.”

 

Game Mandiri vs Game di Aplikasi Non-Gaming

Kriteria dari game yang akan dimasukkan dalam aplikasi non-gaming berbeda dengan game yang developer buat untuk berdiri sendiri. Daripada fokus pada gameplay yang kompleks, pertimbangan utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming justru kesederhanaan gameplay. “Game-nya harus yang mudah dimengerti oleh user, tidak bisa game yang hardcore gitu,” kata Gerry.

Kriteria lainnya adalah waktu bermain yang singkat. “Karena tujuan utama orang buka Tokopedia bukan untuk bermain game,” ujar Gerry. “Game juga harus bisa dimainkan dengan lancar di perangkat low-end. Jangan sampai game-nya menggunakan fitur-fitur tertentu yang hanya ada di perangkat-perangkat khusus. Selain itu, aset visual dan audio harus sekecil mungkin agar waktu download jadi singkat.” Dia mengaku, biasanya, limitasi utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming adalah dari segi teknis. “Sisanya, gameplay harus user-friendly dan engaging. Dan walau waktu bermainnya sinngat, tapi punya depth atau konten yang membuat orang untuk bermain lagi dalam waktu lama.”

Dalam proses pembuatan, membuat fitur gamifikasi di aplikasi non-gaming tak melulu lebih sulit atau lebih mudah. “Sebenarnya tergantung klien,” aku Gerry. “Kalau klien memang sudah tahu tentang game development, atau setidaknya tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari game, itu lebih gampang. Untuk klien yang belum tahu apa-apa tentang game dan tiba-tiba mau buat game… Nah, klien kayak gini yang biasanya lebih susah untuk di-handle.”

 

Gamifikasi Tanpa Aplikasi

Anda mungkin akan berpikir, gamifikasi hanya bisa diterapkan dalam aplikasi. Namun, Eko dari Kummara berpendapat lain. Menurutnya, unsur dalam game juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa aplikasi. Dalam situsnya, Eko menjelaskan, selama kita memahami fungsi dari unsur-unsur gamifikasi — seperti sistem poin, badge, atau leaderboard — maka hal-hal itu bisa diaplikasikan dalam media/format lain selain aplikasi. Lalu, sebenarnya, apa fungsi dari sistem poin, badge, dan leaderboard?

Pada dasarnya, sistem poin dalam game berfungsi sebagai cara untuk memberikan feedback langsung pada pemain, untuk menunjukkan bahwa setiap aksi akan memiliki konsekuensi. Kenapa ini penting? “Ketika kita bisa melihat dampak dari aksi atau pilihan kita dalam waktu singkat atau bahkan secara instan, kita umumnya lebih serius,” tulis Eko. Misalnya, dalam game, jika Anda berhasil melakukan sesuatu — membalap pemain lain di balapan sebagai contoh — Anda akan langsung mendapatkan poin. Sayangnya, hal ini tidak Anda temukan dalam dunia nyata. Jika Anda belajar dengan rajin, Anda tidak dapat melihat status INT Anda naik. Karena itulah digunakan sistem poin/nilai di dunia pendidikan.

Sementara itu, leaderboard berfungsi untuk mengasah sifat kompetitif manusia. Ketika Anda memiliki pembanding, Anda biasanya akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Contohnya, ketika saya SD, saya selalu didorong untuk mendapatkan peringkat pertama di kelas. Namun, hal ini merupakan pisau bermata dua. Bagi sebagian orang, memiliki pesaing akan mendorong mereka untuk menjadi lebih baik. Tapi, bagi sebagian orang lainnya, hal ini justru bisa menjadi pematah semangat.

Dalam tulisannya, Eko juga memberikan contoh bagaimana gamifikasi bisa diterapkan untuk mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Salah satunya adalah dengan memasang stiker pada restoran, pedagang kaki lima, atau angkutan umum bahwa harga naik dua kali lipat bagi orang-orang yang tidak menggunakan masker.

Dalam game, Anda tidak melulu mendapatkan reward ketika sukses melakukan sesuatu. Ketika Anda gagal, Anda juga akan mendapatkan hukuman. Misalnya, gagal menghindari serangan musuh akan membuat HP Anda berkurang. Dengan menaikkan harga untuk orang-orang yang tidak menggunakan masker, maka mereka akan langsung dapat merasakan dampak dari keputusan mereka.

Sebaliknya, masyarakat juga bisa didorong untuk lebih patuh pada protokol kesehatan dengan pemberian hadiah atau reward. Contoh yang Eko berikan adalah pemberian voucher bagi orang-orang yang mau melakukan rapid test mandiri.

Naratif serta random check juga bisa digunakan untuk mendorong masyarakat untuk melakukan karantina mandiri. Pemerintah Kabupaten Sragen pernah melakukan ini pada April 2020 lalu. Mereka menyebarkan naratif bahwa orang-orang yang tidak melakukan karantina mandiri akan diberi hukuman berupa isolasi di rumah yang dianggap angker. Jika pemerintah melakukan random check secara rutin, hal ini akan membuat masyarakat percaya bahwa mereka akan mendapatkan hukuman jika mereka tidak mematuhi protokol kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat akan memiliki kesadaran diri yang lebih tinggi untuk disiplin.

 

Penutup

Beberapa tahun lalu, ketika saya masih menjadi jurnalis teknologi, perusahaan vendor smartphone berlomba-lomba untuk menyediakan fitur dua kamera belakang, bahkan pada smartphone kelas entry-level sekalipun. Dan memang, smartphone harga Rp1 jutaan pun bisa punya dua kamera belakang. Hanya saja, performanya tentu tidak sebaik smartphone flagship dengan harga belasan juta.

Saya rasa, gamifikasi juga seperti itu. Perusahaan bisa saja sekadar “menempelkan” fitur-fitur gamifikasi, seperti sistem poin atau leaderboard, pada aplikasinya. Namun, apakah fitur itu hanya menjadi gimmick atau memang punya fungsi tersendiri, hal itu tergantung pada seberapa serius menggarap gamifikasi pada aplikasi atau perusahaan mereka.

Balapan Perdana GT World Challenge Asia Esports Bakal Diadakan di Sirkuit Monza

Balapan pertama dari GT World Challenge Asia Esports akan diadakan di sirkuit Monza, Italia, pada hari ini, Selasa, 6 Oktober 2020. Kompetisi tersebut akan menggunakan platform Assetto Corsa Competizione. Kali ini, ada dua balapan yang diadakan. Masing-masing balapan akan berlangsung selama satu jam.

Balapan pertama akan mempertemukan sim racer profesional dengan pembalap amatir yang telah lolos babak kualifikasi. Salah satu sim racer profesional yang akan bertanding hari ini adalah Joseph De Jesus IV. Setelah mendominasi balapan Charity Cup yang diadakan pada 29 Agustus 2020 lalu, dia mendapatkan kontrak dengan Tarmac eMotorsports. Karena itu, tidak heran jika dalam balapan kali ini, dia masuk dalam kategori sim racer profesional. Dua peserta lain yang masuk ke dalam kategori profesional antara lain Andrew Laurenson dan Yat Lam Law.

GT World Challenge Asia Esports
Beberapa bulan belakangan kompetisi sim racing memang tengah marak.

Dalam balapan kali ini, Zheng Yinsim racer Mercedes-AMG yang berhasil memenangkan Charity Cup — juga akan ikut berlaga. Dua peserta lain yang akan bertanding kali ini adalah Li Kin Lonsim racer Mercedes-AMG lain yang juga berhasil naik podium pada Charity Cup — dan perwakilan Ferrari, Yuki Shirakawa. Balapan ini juga diikuti oleh para sim racer amatir yang telah lolos babak kualifikasi terbuka, menurut Auto Mobil Sports.

Sementara itu, balapan kedua dari GT World Challenge Asia Esports akan mengadu para pembalap sebenarnya dengan para pembalap amatir. Salah satu pembalap yang akan turun kali ini adalah Evan Chen dari Porsche. Balapan ini juga akan diikuti oleh sejumlah pembalap amatir asal Asia, seperti Leona Chin dan Tengku Djan Ley.

GT World Challenge Asia Esports terdiri dari 5 balapan. Berikut jadwal dari empat balapan lainnya:

  • Balapan ke-2: 27 Oktober 2020, di Laguna Seca, Amerika Serikat
  • Balapan ke-3: 10 November 2020 di Silverstone, Inggris
  • Balapan ke-4: 24 November 2020 di Spa-Francorchamps, Belgia
  • Balapan ke-5, 8 Desember 2020 di Suzuka, Jepang

Beberapa bulan belakangan, kompetisi esports memang semakin populer. Tidak heran, pandemi COVID-19 memaksa banyak pertandingan olahraga dibatalkan. Hal ini mendorong para penyelenggara untuk mengadakan turnamen esports sebagai pengganti. Sim racing merupakan salah satu ekosistem yang tumbuh pesat selama pandemi.

Dalam Setahun, Pemasukan Call of Duty: Mobile Capai Rp7,1 Miliar

Satu tahun setelah diluncurkan, Call of Duty: Mobile berhasil mendapatkan pemasukan sekitar US$480 juta (sekitar Rp7,1 miliar), menurut data dari Sensor Tower. Amerika Serikat menjadi negara dengan kontribusi terbesar dalam pemasukan Call of Duty: Mobile. Diperkirakan, dalam satu tahun, gamer Amerika Serikat menghabiskan sekitar US$215 juta (sekitar Rp3,2 miliar) untuk game ini. Negara dengan kontribusi terbesar kedua adalah Jepang, diikuti oleh Jerman.

Dalam periode 1 Oktober 2019 sampai 30 September 2020, Call of Duty: Mobile menjadi mobile game shooter dengan pemasukan terbesar ketiga di Amerika Serikat. Posisi pertama diduduki oleh PUBG Mobile dari Tencent, yang berhasil mendapatkan pemasukan US$274 juta (sekitar Rp4 miliar) dalam satu tahun. Sementara posisi kedua ditempati oleh Fortnite, yang dapat mengumpulkan US$239 juta (sekitar Rp3,5 miliar) selama satu tahun terakhir. Free Fire dari Garena ada di posisi keempat dengan pemasukan US$148 juta (sekitar Rp2,2 miliar).

pemasukan call of duty mobile
Game-game shooter dengan pemasukan terbesar dalam satu tahun di Amerika Serikat. | Sumber: Sensor Tower

Dari segi waktu, Call of Duty: Mobile mendapatkan pemasukan paling besar pada Q2 2020. Memang, saat itu adalah puncak ketika negara-negara di dunia memperketat peraturan terkait lockdown dan karantina akibat pandemi COVID-19. Sepanjang pandemi, semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk bermain game. Tak hanya itu, para gamer juga semakin sering menghabiskan uangnya untuk game. Buktinya, total belanja para gamer Amerika Serikat mengalami kenaikan. Sementara industri game Tiongkok juga tumbuh.

Salah satu alasan mengapa Call of Duty: Mobile bisa sukses adalah berkat kerja sama yang baik antara Activision dan Tencent. Dalam waktu satu minggu setelah diluncurkan, Call of Duty: Mobile telah diunduh sebanyak 100 juta kali. Dalam satu bulan, total download dari game ini naik menjadi 148 juta dan pada bulan kedua setelah peluncuran, angka download mencapai 172 juta kali.

Dari segi total download, kontribusi terbesar juga datang dari Amerika Serikat. Call of Duty: Mobile telah diunduh sebanyak hampir 50 juta kali di negara tersebut. Sementara itu, Brasil memberikan kontribusi terbesar kedua, diikuti oleh India di posisi tiga.

Keputusan Guild Esports untuk IPO Dipertanyakan, Kenapa?

Guild Esports melakukan penawaran saham perdana (IPO) di London Stock Exchange pada Jumat, 2 Oktober 2020. Beberapa hari sebelumnya, mereka mendapatkan investasi sebesar GBP20 juta (sekitar Rp383 miliar). Dengan begitu, Guild Esports memiliki valuasi sekitar GBP40 juta (sekitar Rp766 miliar). Guild Esports menjadi organisasi esports Inggris pertama yang melakukan IPO. Namun, keputusan mereka untuk melakukan IPO dipertanyakan oleh komunitas esports.

Salah satu alasannya adalah karena Guild Esports masih sangat muda jika dibandingkan dengan organisasi esports besar lain. Organisasi esports ini didirikan pada 2019 dengan nama The Lord Esports. Memang, mereka dengan cepat mendapatkan sejumlah investasi, seperti dari Blue Star Capital, Dynasty Esports dari Singapura, Googly Esports dari India, dan The Drops Esports dari Kanada.

Pada Juni 2020, mereka bahkan mendapatkan investasi sebesar GBP5 juta (sekitar Rp96,8 miliar). Bersamaan dengan penerimaan invsetasi itu, mereka juga mengubah nama menjadi Guild Esports. Nama Guild Esports langsung dikenal banyak orang. Tak hanya karena investasi yang mereka dapatkan, tapi juga karena mantan pesepak bola David Beckham menjadi salah satu investor mereka.

david beckham esports
David Beckham kini juga jajaki esports.

Meskipun begitu, Guild Esports tetaplah organisasi esports baru yang tidak memiliki rekam jejak yang jelas di dunia esports. Mereka tidak pernah memenangkan kejuaraan besar. Tak hanya itu, jumlah fans mereka juga tidak banyak. Kemungkinan besar, mereka juga belum punya model bisnis yang jelas, seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer.

Guild Esports bahkan tidak punya slot untuk berlaga di turnamen franchise besar, seperti League of Legends European Championship, Overwatch League, atau Call of Duty League. Sebagai perbandingan, Astralis Group, yang melakukan IPO pada Desember 2019, memiliki salah satu tim Counter-Strike: Global Offensive terbaik di dunia sepanjang sejarah. Tak hanya itu, mereka juga memiliki tim yang berlaga di LEC.

Guild Esports mendadak tenar hanya karena Beckham menjadi salah satu investornya. Padahal, masih belum diketahui peran Beckham dalam mengembangkan organisasi esports ini. Selain itu, kemungkinan besar, Beckham juga akan fokus pada bisnisnya yang lain, seperti Major League Soccer (MLS), Inter Miami CF, dan tim MLS baru.

Kabar baiknya, Guild Esports juga mempekerjakan Carleton Curtis sebagai Executive Director. Sebelum ini, Curtis bekerja di Activision Blizzard sejak 2017. Dia bertanggung jawab untuk membuat strategi dan visi global dari Overwatch League, Call of Duty League, dan Major League Gaming. Hal ini membuktikan bahwa Curtis punya pengalaman di dunia esports. Hanya saja, proyek yang Curtis kerjakan biasanya tidak memiliki model bisnis yang berkelanjutan.