Tahun Depan, PUBG: Battlegrounds Jadi Game Free-to-Play

Sebagian besar orang mungkin mengenal PUBG sebagai game free-to-play (F2P). Mereka tidak salah, kalau yang dimaksud adalah PUBG Mobile. Lain cerita untuk PUBG: Battlegrounds yang tersedia di PC, PlayStation dan Xbox, sebab versi ini dari awal dan hingga sekarang masih merupakan game premium.

Semua itu bakal berubah mulai tahun depan. Lewat acara The Game Awards 2021, PUBG Studios mengumumkan bahwa PUBG: Battlegrounds bakal bertransisi menjadi game F2P mulai 12 Januari 2022. Versi F2P-nya ini bakal tersedia di PC via Steam, PS5, PS4, Xbox Series X/S, dan Xbox One.

Pasca transisinya menjadi game F2P, PUBG: Battlegrounds bakal menawarkan upgrade akun bersifat opsional yang diberi nama Battlegrounds Plus. Upgrade ini wajib dimiliki apabila pemain ingin berpartisipasi dalam Ranked Mode maupun Custom Match. Kabar baiknya, Battlegrounds Plus hanya perlu dibeli satu kali seharga $13, dan para pembelinya juga bakal mendapat bonus sejumlah in-game item.

Bagaimana nasib mereka yang sudah membeli PUBG: Battlegrounds dari jauh-jauh hari? Well, mereka secara otomatis bakal mendapatkan PUBG – Special Commemorative Pack yang mencakup sejumlah item kosmetik, plus upgrade Battleground Plus itu tadi. Jadi tidak perlu menyesal seandainya Anda baru membeli game-nya kemarin.

PUBG Studios memang tidak menyebutkan alasan mereka mengubah karya pertamanya ini menjadi game F2P. Namun kalau kita amati, sebagian besar game di kategori battle royale memang banyak yang berstatus F2P, mulai dari Fortnite, Apex Legends, sampai Call of Duty: Warzone. Jadi wajar kalau PUBG sekarang ingin ikut menyesuaikan.l

Perubahan PUBG: Battlegrounds menjadi game F2P secara langsung bakal mendatangkan banyak pemain baru, dan itu berarti peluang adanya cheater pun semakin besar. Tim PUBG Studios sadar betul akan hal itu, dan mereka sudah punya rencana besar untuk mengantisipasinya.

Yang paling utama adalah dengan menyempurnakan solusi anti-cheat rancangan mereka sendiri, Zakynthos. Mulai tahun depan, Zakynthos bakal menerima sejumlah fungsionalitas baru, di antaranya analisis otomatis berbasis machine learning, serta monitoring selama 24 jam untuk Ranked match di kalangan upper rank.

Zakynthos juga bakal menerapkan algoritma hardware ban baru yang lebih efektif dan mampu mencegah celah-celah yang sebelumnya masih bisa dibobol. Singkat cerita, tim PUBG Studios bakal lebih serius lagi memerangi cheater pasca transisi ini.

Sumber: PUBG Studios.

25 Trailer Game Baru yang Diputar di Ajang The Game Awards 2021

Sesuai namanya, The Game Awards merupakan sebuah ajang penghargaan untuk mengapresiasi karya-karya terbaik di industri video game. Namun tidak sedikit juga yang menantikan event ini hanya untuk menonton trailer game-game terbaru yang bakal hadir ke depannya.

Dari pihak developer dan publisher, mereka sendiri juga tidak mau melewatkan kesempatan untuk mempertontonkan kreasi terbarunya ke hadapan jutaan orang; entah yang sudah siap untuk dirilis dalam waktu dekat, atau yang masih sneak peek dan belum punya cuplikan gameplay sama sekali.

Di artikel ini, saya telah merangkum 25 trailer game baru yang diputar di ajang The Game Awards 2021. Beberapa di antaranya adalah trailer baru untuk game yang sudah pernah diumumkan sebelumnya, namun ada juga beberapa judul yang baru diungkap untuk pertama kalinya.

Suicide Squad: Kill the Justice League

Setelah sekian lama, kita akhirnya bisa melihat cuplikan gameplay dari karya terbaru Rocksteady Studios ini, lengkap dengan aksi dari empat playable character-nya, yakni Deadshot, Captain Boomerang, King Shark, dan tentu saja, Harley Quinn. Suicide Squad: Kill the Justice Leage kabarnya akan dirilis di tahun 2022 (belum ada jadwal yang spesifik) di PC, PS5, dan Xbox Series X/S.

Wonder Woman

Kejutan lain dari WB Games adalah Wonder Woman, sebuah game open-world karya Monolith Productions, developer di balik Middle-earth: Shadow of Mordor dan Middle-earth: Shadow of War. Detail mengenai game ini masih minim, akan tetapi WB Games memastikan bahwa fitur Nemesis System dari kedua game Middle-earth itu bakal kembali muncul di sini.

Star Wars Eclipse

Saat ini sedang dalam tahap pengembangan awal, Star Wars Eclipse merupakan sebuah game action adventure dengan beberapa playable character dan narasi yang diambil dari era High Republic. Star Wars Eclipse digarap oleh Quantic Dream, studio yang mengerjakan Detroit: Become Human.

Star Trek: Resurgence

Oleh pengembangnya, Star Trek: Resurgence dideskripsikan sebagai sebuah narrative game interaktif yang mengangkat cerita pasca peristiwa yang terjadi pada Star Trek: The Next Generation. Game ini dikerjakan oleh Dramatic Labs, studio baru yang dibentuk oleh eks veteran Telltale Games yang sudah sangat berpengalaman dengan genre ini.

Slitterhead

Pada akhir tahun lalu, kreator Silent Hill, Keiichiro Toyama memutuskan untuk hengkang dari Sony dan mendirikan studionya sendiri yang diberi nama Bokeh Game Studio. Setahun berlalu, kita sudah bisa melihat cuplikan singkat IP baru yang tengah dikerjakannya, Slitterhead. Tetap saja horor dan menyeramkan.

Nightingale

Nightingale merupakan sebuah game survival dengan fitur shared world dan setting fantasi di era Victorian. Dikembangkan oleh Inflexion Games (eks karyawan BioWare), Nightingale dijadwalkan hadir dengan status early access tahun depan.

Senua’s Saga: Hellblade II

Sekuel game yang memenangkan banyak penghargaan bergengsi ini akhirnya punya trailer gameplay. Ya, video di atas bukanlah adegan sinematik, melainkan diambil langsung dari gameplay-nya. Kualitas grafik game ini benar-benar tidak main-main.

Warhammer 40.000: Space Marine 2

Setelah satu dekade berlalu, sekuel Warhammer 40.000: Space Marine akhirnya datang juga. Guna semakin memikat para penggemarnya, trailer-nya tidak lupa menampilkan Titus, kapten dari pasukan Ultramarine sekaligus lakon utama dari game pertamanya.

A Plague Tale: Requiem

Sekuel dari A Plague Tale: Innocence, A Plague Tale: Requiem melanjutkan petualangan Amicia dan Hugo dalam sebuah dunia yang kacau balu dan penuh elemen supranatural. Game karya Asobo Studio ini bakal tersedia tahun depan di PC, PS5, Xbox Series X/S, dan Nintendo Switch.

Saints Row

Tidak ada GTA 6 di The Game Awards 2021, tapi setidaknya kita disuguhi cuplikan gameplay dari remake Saints Row. Developer-nya, Deep Silver, juga berbaik hati dan menyingkap jadwal rilisnya: 23 Agustus 2022. Semoga saja tidak tertunda.

Alan Wake 2

Belum lama setelah Alan Wake Remastered dirilis, penggemarnya kembali dibuat tersenyum dengan pengumuman Alan Wake 2. Kendati demikian, mereka harus punya kesabaran ekstra mengingat Remedy baru akan merilis game ini di tahun 2023.

Forspoken

Sebelumnya dikenal dengan nama Project Athia, Forspoken adalah sebuah RPG open-world garapan Luminous Productions, studio yang bertanggung jawab atas pengembangan Final Fantasy XV. Game dengan setting dunia yang epik ini dijadwalkan meluncur pada 24 Mei 2022 di PC dan PS5 (maaf Xbox).

Babylon’s Fall

Babylon’s Fall adalah karya terbaru kreator Bayonetta, tentu saja dengan aksi pertarungan pedangnya yang ikonis. Game ini menawarkan fitur co-op hingga empat orang, dan Anda bisa mulai memainkannya mulai 3 Maret 2022 di PC, PS5, dan PS4 (lagi-lagi Xbox tidak kebagian sama sekali).

Final Fantasy VII Remake Intergrade versi PC

Kejutan terakhir dari Square Enix di akhir 2021 adalah Final Fantasy VII Remake untuk PC, lebih tepatnya versi Intergrade yang sebelumnya dirilis untuk PS5 dan membawa sejumlah penyempurnaan dari sisi grafis, lengkap beserta konten campaign ekstra. Tanpa harus menunggu lama, gamer PC bakal bisa memainkan game ini mulai 16 Desember 2021 melalui Epic Games Store.

Sonic Frontiers

Dengan kemampuannya berpindah dari titik A ke B dengan begitu cepat, sungguh aneh rasanya melihat Sonic tidak pernah membintangi sebuah game open-world dengan dunia yang amat luas. Well, imajinasi liar itu bakal terwujud pada akhir 2022 mendatang lewat Sonic Frontiers. Game ini akan tersedia di PC, PS5, PS4, Xbox Series X/S, Xbox One, dan Nintendo Switch.

Homeworld 3

Game ketiga dari franchise Homeworld ini siap meluncur pada kuartal keempat 2022. Sebuah penantian yang sangat panjang mengingat Homeworld 2 dirilis pada tahun 2003. Kabar baiknya, orang-orang yang mengerjakan game pertama dan keduanya dua dekade silam masih ikut berpartisipasi dalam pengembangan Homeworld 3.

Dune: Spice Wars

2022 bakal jadi tahun yang menarik buat penggemar game strategi bertema sci-fi. Selain Homeworld 3 tadi, juga bakal ada Dune: Spice Wars yang bakal menyelipkan banyak elemen genre 4X. Anda lebih suka novel Dune daripada filmnya? Well, game ini lebih banyak mengadaptasikan dari bukunya ketimbang filmnya.

The Lord of the Rings: Gollum – The Untold Story

Meski sampai sekarang masih belum punya jadwal rilis, setidaknya spin-off Lord of the Rings ini sudah punya subjudul yang jelas. Embel-embel “The Untold Story” secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa kisah yang diceritakan adalah kisah orisinal yang belum pernah diangkat sebelumnya. Tentunya bakal sangat menarik menavigasikan Gollum/Smeagol dengan dua kepribadiannya yang bertolak belakang, apalagi jika game-nya membebaskan kita melewati tantangan dengan dua cara yang berbeda.

CrossfireX

Setelah dinanti cukup lama, single-player campaign dari CrossfireX yang digarap oleh Remedy Entertainment akhirnya punya jadwal rilis yang spesifik: 10 Februari 2022, eksklusif di Xbox Series X/S dan Xbox One. Campaign ini merupakan game yang terpisah dari mode multiplayer free-to-play yang dikerjakan oleh Smilegate Entertainment, bahkan engine yang digunakan pun berbeda.

Evil West

Koboi dengan kekuatan supranatural yang siap membasmi berbagai macam monster dan vampir, kira-kira begitulah premis sederhana dari Evil West. Combat yang brutal merupakan kekuatan utama game ini, dan developer-nya sendiri juga sudah sangat berpengalaman soal itu usai mengerjakan tiga game Shadow Warrior.

GTFO

Dua tahun setelah dirilis sebagai game early access, co-op survival horror FPS ini akhirnya sudah rampung dikerjakan dan resmi diluncurkan versi finalnya. Pengembangnya menjanjikan banyak penyempurnaan, termasuk halnya sistem matchmaking yang lebih baik. Namun seandainya Anda ingin bermain sendirian, Anda juga bisa memilih untuk ditemani bot.

Arc Raiders

Arc Raiders merupakan sebuah co-op third-person PvE shooter karya Embark Studios, studio game baru arahan mantan bos besar EA, Patrick Söderlund. Game ini bakal memprioritaskan kerja sama antar pemain di samping sedikit elemen survival, dengan setting dunia post-apocalyptic di masa depan. Arc Raiders kabarnya akan dirilis sebagai game free-to-play di PC, PS5, dan Xbox Series X/S.

Steelrising

Steelrising adalah third-person action RPG garapan Spiders, studio di balik RPG sukses lain yang berjudul GreedFall. Game ini mengambil setting yang tidak umum: era Revolusi Perancis, tapi dengan dunia yang dipenuhi robot-robot steampunk. Lakon utamanya pun juga merupakan salah satu robot tersebut.

Rumbleverse

Dikembangkan oleh Iron Galaxy, Rumbleverse merupakan sebuah “brawler royale” dengan berbagai karakter yang jenaka. Tidak ada senjata dalam game F2P ini, yang ada cuma adu otot antar 40 pemain dengan berbagai teknik gulat profesional seperti suplex maupun piledriver.

Tchia

Open-world adventure dengan atmosfer dan musik yang amat chill. Kalau melihat trailer-nya, sepertinya bakal ada banyak sekali yang bisa dilakukan dalam game ini. Anda bahkan bisa bermain ukulele secara manual jika mau. Selain di PS5 dan PS4, Tchia juga akan dirilis di PC pada musim semi 2022.

4 Game NFT dan Metaverse Lokal yang Layak Dipantau Perkembangannya

Game NFT dan metaverse terus menjadi topik perbincangan hangat sehari-hari. Bukan cuma di kancah internasional, melainkan juga di kancah domestik, apalagi jika melihat semakin banyaknya platform NFT dan metaverse lokal yang bermunculan.

Elemen jual-beli di dalam game memang bukanlah hal baru, akan tetapi kehadiran NFT dan blockchain membuat hal itu jadi semakin menarik lagi, terutama berkat terobosan-terobosan seperti decentralization dan smart contract, belum lagi peluang interoperabilitas metaverse yang dimungkinkan.

Melihat popularitas tren tersebut, wajar kalau hampir setiap hari selalu ada platform NFT dan metaverse baru yang memperkenalkan diri, tidak terkecuali yang berasal dari Indonesia. Berikut adalah 4 game NFT dan metaverse lokal yang layak dipantau perkembangannya.

Arkipelago

Arkipelago merupakan sebuah metaverse yang terinspirasi oleh warisan budaya tanah air. Melihat roadmap-nya, visi yang ditawarkan benar-benar terkesan sangat ambisius, yang mencakup 10.000 aset NFT 3D yang dinamai Genesis, DAO (Decentralized Autonomous Organization), token $ARKI, dan interoperabilitas dengan metaverse lain (The Sandbox).

Memiliki aset Genesis berarti kita juga punya hak kepemilikan atas DAO, dan itu berarti kita juga bisa ikut menyumbang suara terkait pengembangan metaverse Arkipelago ke depannya. Community-driven metaverse, itulah kata kunci yang ingin disorot oleh para penggagas proyek Arkipelago ini.

Di sisi lain, token $ARKI nantinya bakal menawarkan banyak utilitas, salah satunya untuk menambang bahan mentah, yang kemudian bisa diracik menjadi aset NFT yang kompatibel. Tentu saja, $ARKI juga bakal menjadi mata uang utama untuk berbagai transaksi dan kegiatan yang bisa dilakukan di metaverse Arkipelago.

Soulcops

Secara sederhana, Soulcops merupakan sebuah permainan trading card digital dengan aset NFT yang menjadi kartu-kartunya. Namun pengembangnya sudah punya rencana jangka panjang yang lebih besar yang turut mencakup merchandise, komik, film dan animasi, hingga akhirnya membentuk sebuah ekosistem metaverse yang matang.

Secara total, sudah ada 3.000 kartu digital NFT Soulcops yang dirilis dan dijual melalui OpenSea, sementara mobile game-nya sendiri dijadwalkan meluncur pada tahun 2022. Dari sisi narasi, Soulcops mengambil kisah tentang perseteruan antara polisi baik dan polisi jahat di masa depan. Cukup unik karena seperti yang kita tahu, karakter polisi memang sering terkesan underrated.

Reality Chain

Oleh pengembangnya, Reality Chain dideskripsikan sebagai social metaverse as a service. Siapapun yang ingin mempunyai metaverse-nya sendiri bisa membangunnya di blockchain apapun dengan bantuan Reality Chain. Kalau mau dianalogikan secara sederhana, Reality Chain ini mirip seperti game engine, tapi yang fungsinya untuk membangun metaverse.

Satu hal yang unik dari Reality Chain adalah, yang ditawarkan justru pengalaman yang non-immersive, sebab pengembangnya percaya bahwa metaverse semestinya tidak menggantikan interaksi sosial kita, dan justru menjadi pelengkap dari kehidupan sosial. Dengan kata lain, pengalaman yang ditawarkan lebih ke arah kasual, namun tetap memberi kesempatan para pemainnya untuk memperjual-belikan aset NFT.

Semua metaverse yang dibangun dengan Reality Chain dapat diakses langsung melalui browser demi memberikan aksesibilitas ekstra. Kita bahkan bisa masuk ke dalam sebuah metaverse secara anonim dan tanpa login sama sekali.

Meta Forest Society

Banyak orang mengaitkan NFT dengan investasi dan menjadikannya sebagai ajang mencari untung. Pola pikir seperti itu memang tidak salah, tapi bagaimana seandainya jika kita juga bisa berkontribusi terhadap kesejahteraan sosial melalui NFT? Itulah premis yang ditawarkan oleh Meta Forest Society.

Jadi ketimbang sebatas menjual aset NFT begitu saja, Meta Forest Society (MFS) bakal menyumbangkan 20% dari total penjualan NFT-nya kepada PERTAHARA (Perempuan Tani Harapan Rakyat) demi mengoptimalkan pemberdayaan tenaga kerja wanita di bidang agrikultur. Koleksi NFT-nya sendiri terdiri dari 3.636 karakter elf yang diambil dari mitologi Norse.

Bukan cuma itu, pemilik NFT MFS nantinya juga bisa menukarkan aset yang dimilikinya dengan Hara Token (HART), yang kemudian bisa dipakai untuk membeli dan menyumbangkan bibit jahe dalam media tanam polybag, atau untuk membeli summon book.

Apa itu summon book? Di sinilah letak gamification yang MFS tawarkan. Dengan menggabungkan summon book dan karakter elf yang dimiliki, kita bisa menciptakan Forest Creature NFT sekaligus mendonasikan 10 polybag berisi bibit jahe. NFT dan gamification, dengan kontribusi sosial sebagai bumbu penyedapnya. Menarik.

God of War Versi PC Janjikan Visual yang Lebih Wah, Lengkap dengan Dukungan Nvidia DLSS dan AMD FSR

Salah satu ikon kebanggaan PlayStation, Kratos, bakal resmi menjejakkan kakinya di PC tahun depan. Ya, seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, God of War bakal bisa dimainkan melalui Steam maupun Epic Games Store mulai 14 Januari 2022, nyaris empat tahun setelah game-nya pertama kali dirilis untuk PS4.

Versi PC-nya datang membawa sejumlah penyempurnaan, khususnya dari sisi visual. Pada versi aslinya, God of War memang sudah bisa menyajikan grafik kelas AAA yang memukau, namun ini bakal lebih dipercantik lagi di versi PC-nya berkat resolusi bayangan yang lebih tajam, penyempurnaan efek screen space reflection, ground truth ambient occlusion (GTAO) dan screen space directional occlusion (SSDO).

Tanpa harus terkejut, God of War di PC juga bisa berjalan tanpa batasan frame rate selama hardware kita sanggup. Kabar baiknya, Santa Monica Studio turut menyertakan dukungan fitur upscaling Nvidia DLSS sekaligus AMD FSR. Integrasi FSR ini merupakan kabar baik bagi pemain yang membutuhkan dorongan performa ekstra, tapi tidak punya kartu grafis seri Nvidia RTX.

God of War versi PC juga mendukung Nvidia Reflex, yang berarti latensi sistem dapat ditekan selama Anda menggunakan kartu grafis yang kompatibel (seri RTX atau GTX 900 ke atas) demi menyajikan gameplay yang responsif. Ini krusial untuk momen-momen pertarungan yang memerlukan reaksi cepat dari para pemain, seperti misalnya dalam sesi boss fight melawan Sigrun the Valkyrie Queen.

Tentu saja, yang menjadi pertanyaan terpenting adalah apakah PC Anda sanggup menjalankannya. Berikut rincian spesifikasi PC minimum yang dibutuhkan, langsung dari Sony:

Minimum (720p 30 fps)

  • Graphics settings: Low
  • GPU: Nvidia GTX 960 (4 GB) atau AMD R9 290X (4 GB)
  • CPU: Intel Core i5-2500K (4-core 3,3 GHz) atau AMD Ryzen 3 1200 (4-core 3,1 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB HDD

Recommended (1080p 30 fps)

  • Graphics settings: Original
  • GPU: Nvidia GTX 1060 (6 GB) atau AMD RX 570 (4 GB)
  • CPU: Intel Core i5-6600K (4-core 3,5 GHz) atau AMD Ryzen 5 2400G (4-core 3,6 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB SSD

High (1080p 60 fps)

  • Graphics settings: Original
  • GPU: Nvidia GTX 1070 (8 GB) atau AMD RX 5600XT (6 GB)
  • CPU: Intel Core i7-4770K (4-core 3,5 GHz) atau AMD Ryzen 7 2700 (8-core 3,2 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Performance (1440p 60 fps)

  • Graphics settings: High
  • GPU: Nvidia RTX 2070 (8 GB) atau AMD RX 5700XT (8 GB)
  • CPU: Intel Core i7-7700K (4-core 4,2 GHz) atau AMD Ryzen 7 3700X (8-core 3,6 GHz)
  • RAM: 16 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Ultra (4K 60 fps)

  • Graphics settings: Ultra
  • GPU: Nvidia RTX 3080 (10 GB) atau AMD RX 6800XT (16 GB)
  • CPU: Intel Core i9-9900K (8-core 3,6 GHz) atau AMD Ryzen 9 3950X (16-core 3,5 GHz)
  • RAM: 16 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Spesifikasi yang dibutuhkan tergolong standar untuk ukuran game AAA modern dan bisa dibilang cukup fleksibel. Semoga saja performanya bisa langsung mulus seperti Days Gone, dan bukan seperti Horizon Zero Dawn yang membutuhkan beberapa patch sebelum akhirnya bisa berjalan tanpa problem.

Sumber: Steam via PC Gamer.

Razer Luncurkan Kipas Pendingin untuk Smartphone, Ada Versi iPhone (MagSafe) dan Universal

Agar suatu perangkat gaming bisa konsisten kinerjanya, dibutuhkan sistem pendingin yang efektif, tidak terkecuali untuk smartphone. Problemnya, ponsel tidak punya cukup ruang untuk mengemas kipas yang bisa membantu membuang panas yang dihasilkan. Solusinya, kita butuh bantuan aksesori eksternal.

Kipas pendingin untuk smartphone sepintas mungkin terdengar konyol, tapi kategori produk ini sebenarnya sudah eksis sejak lama, dan sekarang Razer pun juga tidak ingin ketinggalan. Dijuluki Razer Phone Cooler Chroma, ini merupakan solusi pendingin yang dirancang untuk menemani smartphone selama sesi gaming berlangsung secara intensif.

Untuk menjalankan tugasnya, perangkat ini mengandalkan sistem pendingin termoelektrik, heat sink aluminium, dan kipas dengan tujuh bilah yang mampu berputar dalam kecepatan maksimum 6.400 RPM. Selagi bekerja, suara yang dihasilkan oleh kipasnya diklaim tidak akan lebih dari 30 dB. Tentu saja, sebuah aksesori gaming tidak akan lengkap tanpa adanya sistem pencahayaan RGB yang bisa diprogram.

Meski dirancang untuk perangkat mobile, aksesori ini tidak bisa dibilang portabel. Pasalnya, ia tidak memiliki modul baterai, dan harus selalu dicolokkan ke sumber listrik via kabel USB-C.

Mungkin Razer memang sengaja menargetkan produk ini untuk konsumen yang terbiasa bermain sambil ponselnya di-charge. Seperti yang kita tahu, skenario seperti ini sering kali berujung pada panas berlebih di bodi ponsel, terutama ketika harus menjalankan game-game yang berat macam Genshin Impact, dan itulah problem yang hendak diatasi oleh kipas pendingin smartphone besutan Razer ini.

Razer Phone Cooler Chroma hadir dalam dua versi; satu yang bisa menempel secara magnetis ke punggung seri iPhone 12 ataupun 13 (MagSafe), satu lagi yang dilengkapi penjepit universal untuk ponsel Android maupun iPhone yang tidak mendukung MagSafe. Keduanya sama-sama dijual seharga $60, atau kurang lebih sekitar 860 ribu rupiah.

Bukan, ini bukan aksesori smartphone teraneh yang pernah Razer buat, sebab mereka juga punya sarung jempol untuk gaming. Namun kembali lagi, kecil kemungkinan produsen menciptakan produk jika tidak ada pasarnya.

Sumber: The Verge.

Scuf Reflex Adalah Controller PS5 dengan Kustomisasi yang Sangat Lengkap

Setahun lebih setelah PlayStation 5 eksis, produsen controller kenamaan asal AS, Scuf, akhirnya meluncurkan lini produk yang dikhususkan untuk konsol next-gen tersebut. Lini baru ini Scuf namai Reflex, dan total ada tiga model controller yang berbeda yang ditawarkan.

Model yang pertama sekaligus yang paling basic adalah Scuf Reflex. Dibandingkan controller DualSense bawaan PS5, Reflex menawarkan kelebihan dalam bentuk empat tombol ekstra di bagian belakang yang dapat diprogram sesuai kebutuhan. Perangkat dapat menyimpan hingga tiga profil konfigurasi tombol untuk game yang berbeda-beda, dan pengguna dapat berpindah dari satu profil ke lainnya hanya dengan menekan sebuah tombol.

Kustomisasi turut menjadi nilai jual ekstra dari controller seharga $200 ini. Selain pelat depan yang bisa diganti-ganti, stik analognya juga dapat dilepas dan ditukar dengan yang lain yang berbeda bentuk. Panjang, pendek, cembung, cekung; sesuaikan sendiri saja dengan selera dan kebutuhan masing-masing.

Model yang berikutnya, yakni Reflex Pro, dibanderol mulai $230 dan mengunggulkan grip spesial untuk menambah kenyamanan di samping fitur-fitur yang sudah disebutkan tadi. Kedua controller ini sama-sama dibekali fitur adaptive trigger dan haptic feedback seperti yang ditawarkan oleh controller DualSense.

Terakhir, ada Reflex FPS yang secara spesifik dirancang untuk permainan first-person shooter. Model ini tidak memiliki vibration motor, dan trigger-nya justru dibuat supaya bisa aktif secara instan dalam setiap klik. Kalau Reflex dan Reflex Pro bertujuan untuk meningkatkan sensasi immersive, Reflex FPS justru mengorbankan aspek tersebut demi memaksimalkan skill bermain penggunanya. Lucunya, Reflex FPS justru dihargai paling mahal — $260 — meski fitur yang ditawarkannya sebenarnya lebih sedikit.

Selain PS5, ketiga model Scuf Reflex ini tentu juga kompatibel dengan PC Windows, macOS, maupun perangkat Android dan iOS. Untuk koneksinya sendiri, pengguna bebas memilih antara Bluetooth dan kabel USB-C.

Dari sisi harga, ketiganya jelas masuk kategori premium. Sebagai perbandingan, harga resmi DualSense di AS adalah $70. Sementara di kubu Xbox, Elite Wireless Controller Series 2 yang juga mengunggulkan aspek kustomisasi yang lengkap, dijual seharga $180.

Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaan trio Scuf Reflex ini di Indonesia secara resmi. Semoga saja distributor Corsair di Indonesia, DTG, berminat untuk membawanya ke sini. Sekadar mengingatkan, Scuf memang sudah menjadi bagian dari Corsair sejak akhir 2019.

Sumber: Kotaku.

Ubisoft Luncurkan Quartz, Platform NFT untuk Deretan Game-nya, Dimulai dari Ghost Recon Breakpoint

Suka atau tidak, tren game NFT tidak akan ke mana-mana. Malahan, sekarang sudah ada salah satu nama terbesar di industri video game yang resmi terjun ke segmen baru ini: Ubisoft. Perusahaan asal Perancis itu baru saja memperkenalkan Quartz, sebuah platform yang dirancang agar para pemainnya bisa mendapatkan aset NFT bernama Digit.

Melalui siaran pers, Ubisoft menjelaskan bahwa Digit merupakan in-game item unik yang hanya akan dirilis dalam beberapa edisi dengan jumlah terbatas. Digit bersifat kosmetik dan tidak akan berpengaruh sedikit pun ke gameplay, bisa berupa skin kepala, senjata, atau bahkan kendaraan. Setiap Digit bakal dilengkapi nomor serinya masing-masing yang bisa dilihat oleh pemain lain di dalam game.

Sebagai aset NFT, setiap Digit pastinya datang membawa sertifikat kepemilikan yang tersimpan di blockchain. Tentu saja, Digit juga bisa dijual ke pemain lain jika mau, dan blockchain akan selalu mencatat nama setiap pemain yang sempat memiliki aset tersebut.

Untuk sekarang, Quartz masih berstatus beta, dan Digit baru tersedia buat game Tom Clancy’s Ghost Recon Breakpoint di PC. Untuk bisa mendapatkan Digit, pemain harus mencapai setidaknya XP Level 5 dan berusia 18 tahun ke atas. Ini berarti Digit tidak bisa dimiliki sembarang orang yang bukan pemain.

Kalau ingin mendapatkan atau membeli Digit, Anda harus memainkan game-nya dulu selama beberapa waktu. Hal ini sengaja dilakukan demi menghindari mereka yang hanya mengejar nilai investasi Digit semata. Setiap pemain juga hanya bisa memiliki satu unit Digit dari suatu edisi, dan ini tentu bakal berkontribusi langsung ke nilai kelangkaan tiap aset Digit.

Quartz sebagai langkah awal membangun metaverse

Quartz merupakan hasil riset dan pengembangan Ubisoft selama empat tahun. Satu aspek penting yang tidak lupa mereka perhatikan adalah terkait efisiensi energi. Itulah mengapa mereka memilih menggunakan blockchain Tezos ketimbang Ethereum. Sebagai informasi, Tezos mengandalkan mekanisme Proof-of-Stake yang memerlukan lebih sedikit energi untuk beroperasi ketimbang mekanisme Proof-of-Work yang digunakan Ethereum maupun Bitcoin.

Didier Genevois, Blockchain Technical Director Ubisoft, menjelaskan bahwa satu transaksi di Tezos mengonsumsi energi yang kurang lebih sama besarnya seperti streaming video selama 30 detik. Ini kontras dengan Bitcoin, yang satu transaksinya diestimasikan mengonsumsi energi yang sama besarnya seperti streaming video nonstop selama setahun penuh. Dengan kata lain, konsumsi energi Tezos sekitar satu juta kali lebih rendah ketimbang Bitcoin.

Quartz kabarnya bakal resmi beroperasi mulai 9 Desember 2021, tapi berhubung statusnya masih beta, yang memiliki akses baru pemain-pemain di beberapa negara saja, dan sayangnya Indonesia masih belum termasuk. Ke depannya, ekspansi Quartz bakal ditentukan juga oleh regulasi masing-masing negara demi menghindari problem seputar legalitas.

Tanpa harus terkejut, Quartz juga dikaitkan dengan topik metaverse. “Ubisoft Quartz adalah batu fondasi pertama untuk visi ambisius kami dalam mengembangkan metaverse yang sesungguhnya,” ucap Nicolas Pouard selaku Vice President of Strategic Innovation Lab di Ubisoft dalam siaran pers.

Namun pernyataan yang lebih menarik lagi datang dari Blockhain Product Director Ubisoft, Baptiste Chardon. Menurutnya, inisiatif seperti ini ke depannya bisa membuka peluang-peluang baru, salah satunya interoperabilitas antar game.

Bayangkan saja satu skin kepala bisa kita pakai di Ghost Recon Breakpoint, Riders Republic, atau bahkan game Assassin’s Creed yang berikutnya. Di titik itu, konsep metaverse tentu dapat semakin terbentuk dengan matang.

Baptiste juga bilang bahwa ini baru awal dari rencana besar mereka. “Ini bukanlah proyek sekali jalan. Ini merupakan bagian dari strategi global Ubisoft untuk mencoba dan menguji hal baru,” terangnya.

Sumber: 1, 2, 3.

Bukan Cuma Live Stream, Ajang The Game Awards 2021 Juga Akan Dikemas dalam Sebuah Metaverse

Untuk kali yang kedua, ajang The Game Awards tahun ini harus kembali digelar secara virtual. Namun ketimbang sebatas menyajikan live stream biasa, Geoff Keighley selaku sang penggagas acara sudah menyiapkan rencana yang cukup ambisius dalam bentuk sebuah metaverse.

jadi selain menonton acaranya pada tanggal 9 Desember, mulai pukul 07.00 WIB, kita juga bisa terjun ke dalam metaverse yang diciptakan secara khusus buat The Game Awards. Metaverse ini hidup di dalam Axial Tilt, semacam dunia interaktif yang dibangun di atas platform bernama Core.

Interaktif adalah kata kuncinya. Mereka yang mempunyai perangkat Windows 10 dapat mengunduh Core langsung dari situs resminya atau via Epic Games Store, dan dari situ mereka bisa mengakses Axial Tilt untuk langsung dibawa menuju ke metaverse hub milik The Game Awards.

Acara akan dibuka dengan sesi karpet merah, dan ditutup dengan sesi afterparty bersama seorang DJ tamu spesial. Selama acara berlangsung, pengunjung metaverse The Game Awards dapat memprediksi secara live para pemenang di berbagai kategori untuk mendapatkan hadiah in-game dalam ekosistem Core. Sebelum, selagi, dan sesudah acara, pengunjung juga dibebaskan bermain-main dengan koleksi mini game yang tersedia di Axial Tilt.

“Saya selalu mencari cara baru yang menarik untuk membawa The Game Awards ke audiens baru,” terang Geoff seperti dikutip VentureBeat. “Munculnya platform metaverse anyar seperti Core, dan pengalaman sosial yang dihadirkannya pada live event, menciptakan peluang luar biasa untuk memberi penggemar cara baru yang interaktif untuk menikmati pertunjukan. Dan mengingat ini adalah pertunjukan tentang hiburan interaktif, jadinya sangat cocok,” imbuhnya.

Kepada IGN, Geoff mengakui bahwa yang disuguhkan tahun ini belum sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai metaverse, dan ini juga baru versi pertama dari visi yang ingin ia realisasikan ke depannya. Dengan kata lain, ke depannya The Game Awards bakal menyajikan lebih banyak program, mulai dari yang sesimpel sesi talk show bersama kalangan developer, sampai yang lebih ambisius seperti mencoba langsung versi demo dari game yang trailer-nya ditampilkan di acara.

Sumber: VentureBeat.

5 Game Paling Overhyped dan 5 yang Paling Underrated di Tahun 2021

2021 tidak bisa dibilang sebagai tahun terbaik buat industri video game, apalagi mengingat pandemi masih menjadi hambatan terbesar bagi kalangan developer. Terlepas dari beberapa judul game yang cukup fenomenal, sebagian besar game yang dirilis tahun ini boleh dibilang tidak seistimewa di tahun-tahun sebelumnya.

Belum lagi ditambah beberapa judul game yang terkesan overhyped, yang ternyata kurang bisa memenuhi ekspektasi tinggi yang konsumen tetapkan setelah melihat pamor game tersebut, seperti Cyberpunk 2077 di tahun 2020. Di sisi lain, tentu saja ada game yang bernasib sebaliknya, yang sebenarnya sangat pantas direkomendasikan namun kurang terekspos ke publik, alias underrated.

Di artikel ini, saya telah merangkum 5 game yang paling overhyped sekaligus 5 yang paling underrated yang dirilis di tahun 2021. Tentu saja, berhubung ini merupakan topik yang amat subjektif, Anda bebas punya pendapat yang berbeda.

Game paling overhyped di tahun 2021

Outriders

Ibarat hasil kawin silang antara Gears of War dan Destiny, Outriders mampu menyuguhkan formula looter shooter dengan bumbu RPG secara cukup solid. Feel menembaknya memang tidak sememuaskan Bulletstorm (game lain bikinan developer yang sama), tapi setidaknya itu bisa ditutupi oleh berbagai build karakter yang bisa kita kreasikan di Outriders.

Kekurangan utama Outriders ada dua. Yang pertama adalah konten endgame-nya yang terbilang minimal sekaligus terasa repetitif. Kedua dan yang mungkin lebih krusial adalah tidak adanya mode offline. Layaknya Borderlands, Outriders memang akan lebih asyik jika dimainkan bersama teman. Namun terkadang saya juga ingin memainkannya sendirian, dan ini rupanya hanya bisa dilakukan selagi online. Masalahnya, Outriders kerap dilanda problem teknis dari sisi server, dan ketika itu terjadi, saya bahkan tidak bisa memainkannya sama sekali walaupun sendirian.

Biomutant

Dengan setting open-world yang indah dan karakter yang jauh dari kata konvensional, Biomutant tentu menawarkan premis yang menarik, apalagi setelah melihat sistem combat-nya yang menggabungkan persenjataan modern dengan aksi kungfu.

Namun sebagai sebuah RPG, Biomutant kurang begitu mampu bersaing karena terkesan terlalu formulaik, belum lagi ditambah deretan quest-nya yang terasa begitu generik sekaligus repetitif. Quest yang variatif dan memikat merupakan salah satu kekuatan utama RPG single-player, dan Biomutant justru terkesan seperti MMORPG terkait hal ini, yang sering kali hanya menjadikan quest sebagai alasan untuk grinding.

New World

Ada banyak sekali yang bisa Anda lakukan di New World, tapi entah kenapa, berenang bukanlah salah satunya, begitu juga dengan berkuda. Bosan membasmi monster atau beradu otot melawan pemain lain? Anda bisa menghabiskan waktu berjam-jam memasak atau crafting di game ini. Memasak bahkan merupakan salah satu cara tercepat untuk levelling di New World.

Namun banyak bukan berarti semuanya menarik untuk dilakukan, dan aspek PvE merupakan salah satu kelemahan utama New World, demikian pula variasi quest yang tersedia. Untuk game yang sudah dinanti-nantikan sejak tahun 2016, New World semestinya bisa memberikan lebih dari sekadar visual yang apik dan elemen PvP yang seru.

Battlefield 2042

Setelah hampir tiga tahun tidak ada game Battlefield baru, wajar apabila banyak yang menaruh harapan besar pada Battlefield 2042. Sayang sekali ekspektasi tinggi itu tidak bisa dipenuhi akibat berbagai kendala teknis, dan tidak sedikit pula yang menyayangkan absennya single-player campaign pada game tersebut.

Saya pribadi cukup menikmati Battlefield 2042 selama open beta, tapi tentu sesi singkat tersebut tidak bisa dijadikan acuan karena tidak merepresentasikan pengalaman bermain secara menyeluruh. Semoga saja ke depannya kondisi game ini bisa membaik.

Grand Theft Auto: The Trilogy – The Definitive Edition

Dirilis 20 tahun setelah Grand Theft Auto III pertama kali meluncur di PS2, GTA Trilogy Definitive Edition bisa dibilang adalah salah satu yang paling besar hype-nya tahun ini meskipun hanya merupakan sebuah remaster. Namun kenyataannya jauh lebih pahit dari yang dibayangkan, sebab game ini dirilis dalam keadaan seperti belum rampung digarap.

Kabar baiknya, game ini masih bisa diselamatkan seiring berjalannya waktu mengingat sebagian besar problemnya cuma perkara teknis. Kalau secara konten, kualitas trilogi game legendaris ini tentu sudah tidak perlu diragukan lagi.

Game paling underrated di tahun 2021

It Takes Two

Fakta bahwa game ini harus dimainkan oleh dua orang setiap saat membuatnya jadi agak underrated. Namun kalau Anda tidak keberatan dengan persyaratan tersebut, Anda bakal hanyut dalam sebuah pengalaman bermain yang tidak akan pernah terlupakan.

It Takes Two menuntut kedua pemain untuk terus bekerja sama secara kreatif. Selagi ceritanya berjalan, berbagai mekanisme gameplay-nya juga akan berganti dan ikut menyesuaikan. It Takes Two bukan sekadar game paling inventif, melainkan juga salah satu game terbaik tahun ini.

The Ascent

Apa yang terjadi ketika Anda mengawinkan setting dunia cyberpunk dengan genre action RPG ala Diablo? The Ascent jawabannya. Game garapan studio kecil asal Swedia ini berhasil membuktikan bahwa Night City bukanlah satu-satunya lokasi dengan setting cyberpunk yang menarik untuk dieksplorasi. Meski disajikan dalam sudut pandang isometrik, The Ascent dapat dengan mudah membawa saya masuk ke dalam dunianya.

Kalau disuruh menyebut kekurangan terbesar game ini, saya akan bilang kontennya terlalu sedikit. Namun itu bukan berarti kontennya tidak banyak, melainkan lebih ke saya yang tidak bisa berhenti memainkannya. Setelah memainkan The Ascent, saya pun langsung teringat dengan Dredd, film dengan setting cyberpunk yang menurut saya juga termasuk underrated.

Eastward

Secara umum, ada dua alasan mengapa suatu game mengadopsi grafik bergaya pixel art. Yang pertama adalah karena keterbatasan dari sisi teknis, sedangkan yang kedua adalah karena itu memang arahan desain yang dituju oleh kreatornya. Eastward merupakan game yang masuk di kategori kedua tersebut.

Grafik di game ini benar-benar memukau, dengan pilihan palet warna yang terinspirasi karya-karya Studio Ghibli, dan berbagai efek lighting modern yang membuatnya kelihatan semakin hidup. Gameplay-nya memang tergolong simpel untuk ukuran sebuah RPG, tapi setidaknya itu bisa ditutupi oleh musik chiptune yang orisinal dan begitu membekas di telinga.

Knockout City

Dodgeball dengan sejumput bumbu kreativitas, Knockout City bisa menjadi opsi alternatif yang menyegarkan di tengah banyaknya game kompetitif ber-genre shooter. Dalam Knockout City, orang lain yang bermain bersama Anda bukan sebatas rekan satu tim, melainkan juga bisa menjadi senjata di saat-saat darurat.

Permainan pun jadi terasa semakin menyenangkan setelah mempelajari sejumlah trick shot yang tersedia, dan semua aksi yang Anda lakukan di dalam game ini bisa terasa semakin mantap berkat efek suara yang distingtif. Untuk sekarang, konten di Knockout City memang terbilang minim, namun sebagai sebuah live service game, isu tersebut tentu dapat diatasi seiring berjalannya waktu.

Ruined King: A League of Legends Story

RPG dengan sistem combat turn-based memang bukan untuk semua orang, namun Ruined King cukup berpotensi menjadi mainstream berkat dukungan popularitas League of Legends yang mengitarinya. Meski begitu, Anda tidak perlu menjadi penggemar salah satu MOBA terpopuler itu terlebih dulu untuk bisa menikmati game ini.

Seperti yang sudah bisa ditebak, kekuatan utama game ini terletak pada sistem combat-nya. Awalnya mungkin terkesan agak kompleks, namun kepuasan yang didapat setelah menguasainya betul-betul tidak tertandingi. Art style yang khas juga menjadi daya tarik lain dari game ini, kurang lebih sama kasusnya seperti serial animasi Arcane.

ViewSonic Luncurkan Monitor Gaming Portabel untuk Pengguna PC, Konsol, dan Mobile Sekaligus

Pasar gaming modern terdiri dari setidaknya tiga platform utama: PC, konsol, dan mobile. Masing-masing boleh memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri, akan tetapi yang pasti ketiganya sama-sama memprioritaskan tren refresh rate tinggi.

Monitor gaming dengan refresh rate yang tinggi memang bukanlah hal baru, akan tetapi belum banyak yang bisa memenuhi kebutuhan tiga platform gaming itu tadi secara bersamaan. Salah satu yang terbaru adalah ViewSonic VX1755, sebuah monitor portabel yang secara spesifik dirancang untuk memberikan pengalaman gaming yang baik, tidak peduli jenis perangkat apa yang konsumen gunakan.

Berbekal panel IPS 17,2 inci dengan resolusi 1920 x 1080 dan refresh rate 144 Hz, VX1755 menjanjikan pengalaman bermain yang mulus, apalagi ditambah dukungan waktu respon 4 milidetik dan teknologi AMD FreeSync Premium untuk mengeliminasi problem-problem seperti screen tearing maupun stuttering.

ViewSonic turut mengintegrasikan sepasang speaker, sehingga bisa menggantikan speaker bawaan ponsel seandainya dirasa kurang bertenaga. Bagi yang ingin menggunakan headphone pada ponsel yang tidak dibekali jack audio 3,5 mm, mereka bisa memanfaatkan colokan milik monitor ini.

Bicara soal colokan, VX1755 dibekali port Mini HDMI dan sepasang port USB-C. Kedua port USB-nya itu sama-sama mendukung distribusi daya dua arah: laptop yang terhubung bisa menyuplai daya ke monitor, atau monitornya yang mengisi ulang laptop dengan dibantu power bank USB-C atau dicolokkan langsung ke stopkontak.

Semua itu dikemas dalam rangka yang ringkas, dengan tebal cuma 17 mm dan bobot sekitar 1 kg. Di bagian belakangnya, terdapat kickstand terintegrasi yang dapat diatur tingkat kemiringannya, serta yang mendukung orientasi landscape maupun portrait. Selain untuk gaming, VX1755 tentu juga dapat dijadikan layar kedua untuk laptop atau tablet sehingga dapat membantu menunjang produktivitas, dan pada akhirnya tetap relevan di luar jam bermain.

Di Amerika Serikat, ViewSonic VX1755 saat ini telah dipasarkan dengan harga resmi $299, atau kurang lebih sekitar 4,3 jutaan rupiah. Sejauh ini belum ada informasi apakah produknya juga akan tersedia di pasar tanah air.

Sumber: Business Wire.