5 Alasan Fresh Graduate Harus Pilih Bekerja di Startup

Umumnya setelah wisuda, banyak mahasiswa yang mengalami masa dilema untuk memilih pekerjaan. Banyak perusahaan dari berbagai skala bersaing menarik perhatian Anda. Ada perusahaan bonafide di hadapan Anda menawarkan pekerjaan dengan posisi entry level dengan gaji yang menjanjikan.

Di sisi lain, ada perusahaan startup juga berusaha menarik perhatian Anda dengan menawarkan berbagai kesempatan kerja sebagai langkah pengembangan kemampuan diri. Anda sebenarnya sudah tahu seperti apa perusahaan startup tersebut, sudah menjadi konsumennya, percaya dengan misi mereka, dan menyukai cara pendekatannya. Meskipun demikian, Anda tidak begitu yakin dengan risikonya bila bekerja di sana.

Akibat dari berbagai pertimbangan tersebut, akhirnya Anda lebih condong memilih perusahaan besar dengan gaji dan tunjangan yang baik. Bisa jadi ini adalah pilihan cerdas. Atau malah menjadi kesalahan besar?

Lewat artikel ini, Kerrin Sheldon, seorang penulis, fotografer, filmmaker, dan content manager Wanderfly, akan mencoba membujuk Anda mengapa perlu bekerja dan mengambil risiko untuk bekerja di startup. Berikut rangkumannya:

Luasnya kesempatan kerja

Pada awalnya, mungkin Anda akan berusaha untuk meyakinkan diri dengan gelar pendidikan yang dimiliki pantas untuk digaji sekian juta Rupiah. Bekerja di startup, mungkin gaji Anda bakal jauh di bawah standar yang Anda buat. Namun, perlu diperhatikan perusahaan startup menawarkan insentif berbentuk lain untuk karyawannya, tidak berbentuk uang, tapi keterampilan dan peluang kerja yang lebih besar.

Menurut Sheldon, saat dirinya pertama kali memilih Wanderfly sebagai penulis, dia harus menargetkan namanya bisa tercantum dalam publikasi lokal. Setahun kemudian, Sheldon memiliki kolom tulisan sendiri di Huffington Post, dimuat di National Geographic, menulis untuk 150 artikel di blog Wanderfly. Bahkan, pernah masuk ke majalah bisnis ternama Fast Company.

Dari berbagai kesempatan itu, membuat dirinya yakin ada peluang lebih luas yang bakal diberikan, bila ia meneruskan karirnya sebagai penulis di Wanderfly. Selain itu, bekerja di startup dapat memberikan Anda mengasah kemampuan melakukan hal lain. Bandingkan bila bekerja di perusahaan besar, pastinya Anda tidak akan bisa mengembangkan kemampuan diri karena bentrok dengan divisi lainnya, entah itu menulis, men-design, atau mengisi tabel presentasi.

Beberapa minggu setelah Sheldon baru bergabung di Wanderfly, ia sudah bertanggung jawab untuk isi konten artikel, mulai dari menulis, mengedit, dan kebutuhan blogging. Kemudian, bergabung dengan divisi manajemen konten. Kesempatan kerja seperti itu, menurutnya, dapat mengasah dirinya untuk lebih bertanggung jawab, fleksibel, dan produktif.

Akan belajar dari inovator sejati

Orang yang memulai bisnisnya sendiri dari nol biasanya memiliki mental dan profesionalisme yang berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah mencoba membuat sesuatu. Entrepreneur sejati biasanya didefinisikan ketika dia dihadapi masalah dan inovasinya untuk menyelesaikannya. Mereka melakukan pendekatan yang berbeda saat mencari solusi, merasa tertantang, bahkan rela menghabiskan waktunya untuk bekerja.

Orang-orang seperti itu yang perlu Anda dekati untuk berguru kepadanya. Co-Founder Wanderfly terus menantang Sheldon ketika dia sedang menghadapi masalah karena mereka selalu melihatnya dari perspektif lain daripada dirinya. Kemudian, mereka akan memberi Sheldon apresiasi bila berhasil memecahkannya. Sebab, inovasi lebih penting daripada kreatifitas. Itu adalah aksi dan reaksi, memecahkan masalah dalam cara baru yang mencerahkan.

Setiap kesuksesan yang diraih oleh perusahaan startup biasanya karena hadirnya inovator yang sejati. Bila Anda menemukan sosok yang tepat, Anda akan belajar banyak darinya.

Pekerjaan Anda akan diakui

Jika Anda bekerja di perusahaan besar, kemungkinan besar seluruh kerja keras Anda akan diabaikan oleh bos besar atau tidak masuk sebagai Key Performance Indicator (KPI). Namun di startup, seluruh pekerjaan Anda pasti akan diketahui meski gagal sekalipun.

Dari hal ini dua alasan yang bisa ditarik. Pertama, segala tindakan Anda akan lebih mudah terlihat oleh tim, entah kerja Anda lamban atau cepat. Dari situ, tim akan menjadikan Anda sebagai alasan mengapa mereka harus bekerja lebih keras dari seharusnya. Kedua, karena kegagalan jadi lebih mudah terdeteksi, artinya Anda harus memastikan untuk mengeleminasi kesalahan yang akan mengecewakan rekan kerja.

Suasana kerja akan lebih menyenangkan

Misalnya, Anda bisa bekerja dengan style santai mengenakan jeans, memakai celana pendek, dan sandal. Komunitas startup adalah kelompok dengan tingkat keakraban yang erat. Banyak orang di sekitar Anda datang menawarkan solusi inovatif untuk masalah umum yang sudah terlalu pelik, atau membuat alat baru yang berguna membantu hidup jadi lebih ringkas. Anda perlu ketahui bahwa semangat entrepreneur itu sifatnya menular. Jika Anda tidak bisa merasakannnya atau menangkapnya, diri Anda akan otomatis menghindarinya.

Belajar hidup hemat

Bujet startup umumnya tidak banyak, artinya Anda harus hidup hemat. Entah startup tempat Anda bekerja didirikan oleh taipan atau anak orang kaya, mau tak mau perusahaan startup harus menekan segala biaya. Tidak ada pemborosan dari segala sisi.

Anak magang divisi bisnis pun akan belajar design dan coding blog, penulis akan mencuci piring kotor, dan memaksa meja berkapasitas delapan orang untuk diisi oleh sembilan orang. Seluruh penghematan ekstra ini, lambat laun akan mempengaruhi gaya hidup Anda. Sebab, Anda akan menemukan cara baru menjaga bisnis tetap berjalan tanpa harus membakar uang perusahaan.

Akan ditanamkan nilai kerja keras, kepemilikan, dan kemandirian

Tidak ada hal yang lebih menyenangkan saat bekerja di startup adalah kesadaran untuk bekerja keras, berpikir kreatif, dan keuletan yang penuh menjadi sangat bernilai. Saat Anda membuat sesuatu dengan kemampuan sendiri, Anda akan merasakan bahwa itu adalah milik Anda.

Beda halnya, dengan orang-orang yang tidak membuatnya sepenuh hati atau sekadar mengerjakan tugas dari atasannya. Mereka akan sulit memahami rasa kepemilikan personal. Ada rasa kebanggaan yang timbul saat Anda menyebarluaskan berita mengenai produk startup yang dibentuk oleh tim mulai dari nol, sehingga muncul rasa kepemilikan secara personal untuk menjaga dan mengembangkannya.

Investree: Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Bisnis “P2P Lending” Mulai Meningkat

Konsep bisnis peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia terbilang masih sangat baru, apalagi sampai saat ini belum ada regulasi yang menjadi payung hukumnya. Berbeda kondisinya di Amerika Serikat, konsep bisnis ini sudah dikenal sejak 2009 silam. Kendati demikian, dari hasil pantauan kinerja yang dijabarkan oleh Investree, penyedia layanan P2P lending marketplace, tercatat jumlah penyaluran pinjaman sudah mencapai angka 22,2 miliar Rupiah per 28 September 2016.

Lebih dalam dijabarkan, dari total penyaluran sekitar 16,1 miliar Rupiah diantaranya adalah pinjaman lunas terbayarkan. Dari portofolio penyaluran, didominasi oleh industri kreatif sekitar 38%, outsource 25,3%, katering 20%, dan sisanya industri lainnya. Adapun untuk gagal bayar (default) 0% dan rata-rata tingkat pengembalian sebesar 19,1%.

Adrian A Gunadi, Co-Founder dan Chairman Investree, menjelaskan dari pencapaian tersebut menjadi indikasi bahwa respons masyarakat terhadap model bisnis P2P sangat membantu mereka untuk mendapatkan pinjaman. Sebab, banyak pengusaha yang sebenarnya bankable namun belum tersentuh oleh perbankan karena bisnisnya yang tidak memiliki fixed asset untuk dijadikan jaminan (collateral).

Saat awal Investree berdiri, lanjutnya, untuk mendapatkan pendana (lender) butuh waktu berhari-hari. Kini hanya dalam hitungan menit, peminjam (borrower) sudah bisa mendapatkan dana pinjaman. Selain itu, untuk meningkatkan kepercayaan konsumen, Investree mengadopsi azas transparansi. Artinya, seluruh transaksi akan terlihat dan bisa dipantau secara real time.

“Dengan transparansi, seluruh lender dan borrower dapat memantau secara real time dan online. Ini bisa meningkatkan kepercayaan, meski saat ini belum ada payung hukum untuk bisnis P2P belum ada,” ujarnya, Rabu (28/9).

Untuk meningkatkan kepercayaan lender, Investree juga menerapkan proses analisis credit scoring untuk mitigasi bisnis borrower dalam mencegah terjadinya default. Ada banyak variabel pengukuran yang dilakukan, salah satunya scoring lewat media sosial. Setelah itu, Investree akan menetapkan berapa besar bunga yang diberikan untuk borrower sesuai dengan grade-nya.

Adapun besaran bunga di kisaran 1,2%-2,5%. Sementara, imbal hasil (return) yang ditawarkan untuk lender sekitar 14%-20% per tahunnya. “Selain itu, kami juga memiliki skema pinjaman bisnis lewat invoice financing untuk produk business loan. Meski borrower adalah perusahaan skala kecil, apabila sudah memiliki invoice dari perusahaan skala besar mereka bisa mendapat pinjaman dari kami. Skema ini juga menjadi salah satu cara mitigasi kami.”

Menurut Adrian, kinerja yang sudah dicapai Investree terhitung cukup memuaskan. Pasalnya, perusahaan baru resmi beroperasi pada Mei 2016. Untuk itu, pihaknya optimis memasang target lebih tinggi, sampai Juni 2017 jumlah penyaluran pinjaman diharapkan dapat menembus angka 100 miliar Rupiah.

Untuk bisa menembus target, pihaknya memerlukan jumlah borrower hingga 3x lipatnya dari total sekarang. Sebab secara rerata per lender biasanya meminjamkan uangnya sebesar 10 juta Rupiah. Agar angka lender terus bertambah, pihaknya akan gencar melakukan edukasi ke berbagai komunitas di industri dan banyak menggaet perusahaan skala besar.

Investree juga mengadakan program reward berbentuk komisi untuk lender atau borrower aktif yang aktif mengajak teman, saudara, atau koleganya bergabung sebagai anggota.

Andalkan Pelokalan, Layanan E-Commerce Fesyen Zilingo Siap Beroperasi di Indonesia

Zilingo, layanan e-commerce fesyen Asia Tenggara, mengumumkan Indonesia sebagai negara ekspansi berikutnya yang akan dimasuki setelah Thailand dan Singapura. Meski demikian, pihak Zilingo belum bersedia memberi konfirmasi kapan tepatnya bisnisnya resmi berdiri di Indonesia.

Dijelaskan CSO Zilingo Peerapol Vayakornvichit (Chain) kepada DailySocial lewat surel, pihaknya menyadari iklim persaingan bisnis di ranah e-commerce fesyen sudah cukup sengit di Indonesia. Namun pihaknya yakin dengan strategi pendekatan yang tepat, bisnis akan lebih dapat bertahan.

Menurutnya, Zilingo akan menggunakan pendekatan bisnis dengan cara pelokalan (localization). Artinya, semua sumber Stock Keeping Unit (SKU) Zilingo di Indonesia harus memiliki keunggulan khas negara untuk menarik konsumen lokal. Pendekatan situs juga bakal dikonfigurasi sesuai dengan perilaku berinternet orang Indonesia, apakah itu dari warna tampilan situs atau jenis merchandising.

Chain melanjutkan, ada tiga hal yang menjadi kekuatan utama Zilingo untuk menarik perhatian calon penggunanya. Pertama, adanya mesin rekomendasi dan pencarian virtual dari teknologi Artificial Intelligence (AI). Lewat teknologi ini, memungkinkan konsumen untuk mengambil foto dari sesuatu yang mereka sukai dan menemukan pakaian yang mirip sesuai dengan warna, pola, dan gaya.

Kedua, cross border, artinya konsumen Indonesia dapat mengakses produk dari Thailand dan Singapura saat nantinya bisnis Zilingo sudah beroperasi penuh. Terakhir, fokus ke peritel fesyen UKM. Menurutnya, Zilingo fokus ingin membantu meningkatkan omzet bisnis dari skala tersebut yang terbilang memiliki proses bisnis yang cukup panjang.

“Label independen dari fesyen lokal yang telah terdaftar di Zilingo akan menjadi kompetitor bagi merek fesyen lain yang sudah terkenal di skala internasional,” ujarnya.

Zilingo mengklaim dalam kurun waktu kurang dari setahun sudah menggandeng lebih dari 2.000 mitra peritel yang menjual pakaian, aksesoris, tas, sepatu, dan produk gaya hidup lainnya. Dari sisi pengguna, jumlahnya sudah mencapai setengah juta aktif dan pertumbuhan bisnis diklaim mencapai 30% per bulannya.

Sekadar informasi, Zilingo didirikan sejak tahun lalu oleh Ankiti Bose dan Dhruv Kapoor. Awalnya, mereka berdua berlibur di Bangkok dan melihat potensi industri fesyen di Asia Tenggara sangat luas. Keduanya pun rela pindah domisili untuk menyeriusi bisnis ini.

Zilingo memiliki fokus utama yakni ingin memperbaiki struktur bisnis ritel fesyen UKM yang rata-rata memiliki rantai distribusi yang cukup panjang, tidak terorganisir dengan baik, tidak agregat, dan offline. Padahal, pihaknya menghitung potensi di sektor tersebut bisa mencapai $20 miliar.

Fokus Zilingo disebutkan ingin membuat platform yang terbaik agar bisa membantu ritel fesyen meningkatkan pendapatan mereka dan membantu konsumen agar bisa mendapatkan barang yang terbaik untuk mereka.

Zilingo sudah memperoleh dua kali putaran pendanaan. Yang terakhir adalah pendanaan Seri A senilai $8 juta (lebih dari 100 miliar Rupiah) yang dikucurkan Sequioa India, Venturra Capital, Susquehanna International Group, dan sejumlah investor lainnya. Sebelumnya tahun lalu mereka telah mendapatkan pendanaan awal sebesar $2 juta (sekitar 25 miliar Rupiah). Masuknya Venturra Capital adalah salah satu faktor kenapa mereka yakin berekspansi ke Indonesia.

Pemain e-commerce fesyen di Tanah Air jumlahnya sudah tidak bisa dihitung dengan jari, apalagi yang bersinggungan dengan konsep bisnis Zilingo. Sebut saja Berrybenka, Sale Stock, Shopee dan beberapa lainnya. Masuknya Zilingo membuat pasar e-commerce fesyen akan semakin panas. Strategi bisnis bakar uang akan terus terjadi ke depannya demi menarik transaksi. Toh sampai saat ini belum terlihat siapa pemenang yang berhasil menjadi pemain dominan di sektor ini.

McKinsey: Pemanfaatan Industri Digital di Indonesia Masih Rendah, Tahun 2025 Bisa Sentuh Angka $150 Miliar

Dari paparan forum yang diadakan oleh McKinsey & Company dalam acara bertajuk “Indonesia in a digital world” mengungkapkan fakta yang menarik dari hasil riset yang berjudul “Unlocking Indonesia’s digital opportunity” mengenai pemanfaatan industri digital di Indonesia saat ini masih terendah dibandingkan 19 negara lainnya yang disoroti McKinsey.

Dari hasil risetnya, McKinsey melihat belanja investasi IT di Indonesia masih sangat rendah untuk 10 sektor utama dibandingkan 19 negara lainnya yang masuk ke dalam daftar riset. Sektor minyak dan gas (migas), manufaktur, sumber daya alam, yang merupakan 50% kontributor utama dalam GDP, masih sangat terbelakang untuk adopsi ke digital.

Sementara untuk sektor industri keuangan dan ritel terbilang cukup baik untuk tingkat spending IT-nya. Perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan swasta untuk fokus menaikkan nilai investasi IT mulai dari hulu hingga hilir demi peningkatan kualitas infrastruktur, tingkat penetrasi internet masyarakat, dan produktivitas kerja.

McKinsey juga menerangkan pemanfaatan digital bisa juga dilakukan lewat kolaborasi antara perusahaan startup dengan incumbent. Menurut McKinsey, kehadiran perusahaan startup yang rata-rata sudah mengadopsi penuh industri digital dalam model bisnisnya dapat menjadi bahan ajar yang penting, agar perusahaan existing tetap bisa bersaing dan tidak menjadi startup sebagai inovasi yang disruptive.

Perlu diketahui, rendahnya pemanfaatan industri digital juga terlihat dari harga data internet di Indonesia terhitung murah namun kualitasnya masih buruk.

Ditambah lagi, dari sisi pengguna digital di Indonesia masih sangat rendah dan belum merata. Dari total populasi, hanya sekitar 30%-40% yang sudah bisa mengakses internet. Dibandingkan dengan Malaysia sudah mencapai 2x lipat dan Singapura sekitar 3x lipatnya.

Terakhir, masih rendahnya pemanfaatan big data yang dimiliki perusahaan. Secara rerata, dari total data yang dimiliki hanya memakai 1%-nya saja dipakai untuk pengambilan keputusan bisnis.

Padahal, industri digital pada masa mendatang dapat menjadi kunci utama meningkatkan pertumbuhan tenaga kerja dan faktor produktivitas. Diperkirakan dampaknya bisa menyentuh sebesar $150 miliar pada 2025 dengan estimasi pertumbuhan GDP sebesar 10%.

Korelasi kuat antara digital dengan produktivitas tenaga kerja

McKinsey juga mengungkapkan ada korelasi yang kuat antara digital dengan produktivitas tenaga kerja. McKinsey melihat selama beberapa tahun terakhir, tingkat partisipasi tenaga kerja stabil sekitar 70% dan tingkat pengangguran menurun 5,5%. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja lewat pemanfaatan teknologi digital.

Misalnya, melakukan pencarian talenta lewat platform digital. Dari situ, tingkat keakuratan pencarian talenta akan lebih ringkas, tidak memakan waktu, dan sesuai dengan yang dicari perusahaan. Dari pemanfaatan TI, ada potensi terbukanya lapangan pekerjaan baru sebanyak 3,7 juta di 2025. Dengan pemanfaatan digital dalam bisnis perusahaan secara menyeluruh bisa meningkatkan produktivitas kinerja antara 15%-20%.

“Dampak ekonomi yang dihasilkan dari $150 miliar per tahun di 2025 adalah hadiah terlalu besar bila diabaikan. Dengan menerapkan strategi digital secara holistik akan memungkinkan perusahaan Indonesia menjadi pemenang di era digital dan mengangkat pertumbuhan ekonomi di tingkat berikutnya,” ujar Khoon Tee Nan, Partner McKinsey, Selasa (27/9).

Masih rendahnya ketiga faktor di atas membuat Indonesia saat ini masih berada di posisi nomor dua terbawah dibandingkan 18 negara lain yang disoroti McKinsey.

Adapun negara yang masuk ke dalam daftar riset beberapa ada di ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina. Yang lain adalah Brazil, Tiongkok, India, dan Rusia. Sementara negara maju yang masuk dalam studi ini adalah Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat.

Kendati demikian, untuk menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut, ada lima solusi yang ditawarkan McKinsey. Yakni, mendefinisikan pengalaman konsumen, menggabungkan model bisnis online dan offline, menggunaan big data untuk keputusan bisnis, menyempurnakan perlindungan dari serangan siber, dan membangun DNA digital.

Digital mengubah persaingan bisnis

Dalam sesi diskusi panel yang dihadirkan McKinsey, dihadirkan narasumber dari berbagai industri, Edward Ying (Direktur Planning & Transformation), Andreas Diantoro (CEO Microsoft Indonesia), Jan van der Eijk (Ex-CTO Shell), John Riady (Executive Director Lippo Group), dan Catherine H Sutjahyo (CEO Alfacart).

Andreas mengatakan saat ini bisnis yang terbilang “seksi” adalah digital transformation. Menurutnya beberapa orang mengatakan mereka paham digital karena sudah mengakses media sosial. Namun, di sisi lain, orang-orang yang sudah paham tentang digital, memanfaatkannya untuk mempelajari karakteristik konsumen. Bahkan, ada yang menggunakan digital untuk mengubah gaya hidup sesorang.

“Jadi, persaingan saat ini sangat bergantung sejauh mana memanfaatkan big data dalam membuat produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.”

Catherine menambahkan, saat berbicara mengenai digital perlu diingat bahwa perlu dibuat sesuai dengan taste orang Indonesia, agar lebih tepat sasaran. Maka dari itu, dalam model bisnis Alfacart menggabungkan konsep offline dan online. Pembeli dapat mengambil barang pesanannya di toko offline Alfamart.

Program Inkubasi Trailblazers, Dorong Mahasiswa Jadi Wirausahawan Berbasis Teknologi

KIBAR, tech startup ecosystem builder, berkolaborasi dengan London School of Public Relations (LSPR) mengembangkan program inkubasi bisnis teknologi digital bernama Trailblazers bertujuan untuk mengembangkan potensi mahasiswa dan mahasiswi LSPR untuk menciptakan startup yang mampu memberikan kontribusi dan perubahan baik untuk Indonesia.

Dalam program ini, ada beberapa tahapan yang akan dilalui oleh peserta. Pertama mulai dari Ignition, yaitu seminar untuk menanamkan pola pikir entrepreneurship dengan target 200 peserta setiap batch-nya. Peserta Ignition yang layak dapat melanjutkan ke tahap Workshop untuk diberikan pembekalan keahlian yang mereka butuhkan dalam membuat sebuah startup digital.

Setelah itu, peserta yang lolos akan lanjut ke tahap kedua yaitu Hackathon. Dalam tahap ini peserta diharapkan dapat menghasilkan prototype produk dari ide solusi aplikasi. Di tahap ini, founder akan ditemukan dengan calon founder lainnya dari tiga bidang berbeda yaitu bisnis, teknologi, dan desain.

Tahap selanjutnya Bootcamp, yang merupakan sesi mentoring mendalam untuk menyapkan strategi peluncuran produk. Terakhir, 10 tim terpilih akan diinkubasi selama kurang lebih tiga bulan untuk dibina dan dibukakan akses ke berbagai pihak untuk memajukan startup mereka.

“LSPR sedang mempersiapkan para mahasiswa dan lulusan untuk siap menjadi entrepreneur. Mereka belajar ilmu komunikasi di mana ilmu ini sangat dibutuhkan oleh semua entrepreneur. Jadi seharusnya lulusan LSPR bisa menjadi wiraswasta yang terampil dan komunikatif dalam hal memasarkan, mempromosikan, dan mem-PR0kan dan bisa bersaing di kancah internasional,” terang Prita Kemal Gani, Direktur dan Founder LSPR Jakarta.

Dalam peresmiannya, ada tiga sesi diskusi membahas tentang startup, diisi oleh berbagai narasumber dari startup ternama. Pada sesi pertama, membahas How to Start a Startup dengan narasumber Alamanda Shantika, VP Product Go-Jek. Alamanda berbagai pengalaman mulai dari asal mula Go-Jek berdiri, bagaimana visinya, hingga latar belakang orang-orang di Go-Jek tidak harus berlatar pendidikan programmer.

Menurutnya, pada awal Go-Jek berdiri di 2010 masih berupa call center untuk memanggil ojek. Awalnya butuh waktu 30 menit untuk mendapatkan pengemudi, kemudian pada 2014 setelah diluncurkan aplikasinya proses mendapat pengemudi jadi lebih singkat.

“Startup itu muncul dari masalah yang sudah ada, lalu selesaikan. Go-Jek itu muncul karena ada misi social impact ingin menghidupi keluarga Indonesia lewat pekerjaan jadi ojek, jadinya masalah lebih mengerucut dan solusi yang bisa dihadirkan lebih tepat sasaran,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan, dalam jajaran direksi dalam Go-Jek tidak harus melulu dilatarbelakangi oleh orang-orang dari lulusan programmer saja. Ada dari lulusan marketing, teknis, keuangan, dan lainnya. “Yang terpenting, kami memiliki satu visi yang sama.”

Kemudian, pada sesi kedua membahas Outside the Comfort Zone. Pembicaranya adalah Hanifa Ambadar (CEO Female Daily), Yuka Harlanda (CEO Brodo), dan dimoderatori oleh Tommy Herdiansyah (Founder Code Margonda). Di sesi ini, Hani menerangkan comfort zone dalam setiap stage berbeda-beda tergantung startup itu sendiri. Menurutnya, dari hasil riset, sekitar 70%-80% gagalnya startup terjadi karena faktor internal.

Baginya, untuk keluar dari zona nyaman butuh target yang ingin dicapai. Untuk Female Daily, sambungnya, ia ingin posisinya bisa menyamakan dengan media ternama untuk perempuan seperti Femina Grup. “Perlu visualisasi mimpi, kami ingin sebesar Femina Grup, memiliki media print terbesar untuk perempuan dan ada gedung sendiri.”

Senada, menurut Yuka, cara paling mudah untuk bisa keluar dari comfort zone yakni dengan melihat kompetitor, mulai dari pencapaian bisnis mereka dan strategi-strateginya. “Dari total populasi laki-laki di Indonesia, sekitar 100 juta laki-laki butuh sepatu. Itu target penjualan kami yang ingin dicapai.”

Sesi terakhir membahas Don’t Just Start a Business, Solve a Problem yang oleh Leonika Sari (CEO Redblood), Dennis Adhiswara (CEO Layaria), dan Dhini Hidayati (Co-Founder Gandeng Tangan). Kesimpulan dari diskusi ini, seluruh pembicara sepakat bahwa dasar utama mendirikan startup perlu didasari oleh masalah yang terjadi di lingkungan sekitar dan sesuai dengan minat dan kemampuan.

Leonika menerangkan permasalahan yang mendasari pendirian Redblood adalah minimnya stock ketersediaan darah di rumah sakit. Dalam setahun dibutuhkan 5 juta kantong darah, tetapi hanya tersedia setengahnya saja. Setelah diriset, rupanya banyak pendonor yang berminat untuk mendonorkan darahnya, tetapi banyak permasalahan yang mereka hadapi, misalnya, tidak adanya waktu untuk ke kantor PMI karena lokasinya yang terlalu jauh. Malah persentase keberhasilan pendonor tidak selalu 100%. Lebih dari 50% dari total peserta banyak yang ditolak karena ketidaktahuannya tentang persyaratan menjadi pendonor, seperti kurang tidur, sedang mengkonsumsi obat, dan lain-lain.

“Dari aplikasi Redblood, ada event donor terdekat sesuai dengan lokasi pendonor berada. Selain itu, karena kita berbentuk lifestyle ada reward berbentuk poin yang bisa didapat pendonor bila berhasil mendonorkan darahnya.”

Dennis menambahkan, meski sudah mengerucutkan masalah, persentase kegagalan di startup sangat tinggi. Namun, semakin banyak kegagalan, semakin kaya dengan pengalaman agar tidak mengulanginya kembali.

“Kegagalan itu justru jadi romantika dari proses pendirian startup. Jadilah orang yang ada di proses sejarah itu,” pungkasnya.

5 Langkah Ucapkan Selamat Tinggal ke Founder Startup Tanpa Saling Membenci

Salah satu kesalahan awal yang umum dilakukan oleh founder startup adalah tidak membuat dokumen kesepakatan dengan co-founder. Langkah ini bertujuan agar adanya jaminan segala rahasia dapur di perusahaan Anda tidak tersebar ke orang-orang yang tidak seharusnya tahu. Hadirnya co-founder  berarti Anda menjamin adanya konflik ketidaksepakatan dengan dia.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh ahli, ditemukan sekitar 63% perusahaan startup gagal berdiri karena ada konflik antar founder. Saat Anda menempatkan dua sampai tiga orang co-founder yang sama-sama ambisius, berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda, dan berada di tekanan yang sama, biasanya mereka cenderung sering berkonflik satu sama lain.

Pasangan yang sudah menikah pun, menurut hasil riset, sering cekcok hingga 321 kali dalam setahun. Untuk meminimalisir hal ini, Anda perlu membuat surat kesepakatan yang berisi syarat kerja, pembagian ekuitas, kepemilikan properti intelektual, dan lainnya.

Tanpa surat kesepakatan, semua pengalaman negatif akan menimbulkan amarah dan memicu pertempuran di meja hijau. Padahal hal itu paling dihindari oleh startup karena memakan waktu dan biaya.

Kendati demikian, banyak startup yang tetap bisa berdiri tanpa adanya surat kesepakatan. Akan tetapi perlu diingat konflik berpotensi dapat terjadi kapan saja dan bisa memperburuk kondisi perusahaan.

Artikel ini akan membahas beberapa langkah penting untuk mengucapkan selamat tinggal ke founder tanpa saling membenci. Berikut rangkumannya:

Mengenali saham apakah masih bernilai

Akan sangat melelahkan setelah Anda sudah menuangkan seluruh pikiran dan tenaga mewujudkan mimpi menjadi realita, kemudian harus menghadapi perpecahan bisnis dengan mundurnya founder. Jika founder mengambil langkah untuk mundur dan melihat gambaran dari seluruh bisnis yang telah ia lakukan, kemungkinan dia akan menyadari apakah saham mereka di perusahaan masih bernilai atau tidak. Hal ini tentunya akan membuat tekanan jadi makin tinggi dan upaya fokus penyelesaian merembet ke hal lain, misalnya properti intelektual.

Buat negosiasi seperti membuat perjanjian kerja

Strategi ini cukup berguna bagi founder, sekalian mengingatkan kepada mereka bahwa sebelumnya juga pernah melakukan kesepakatan kerja dengan klien. Perpisahan bisa lakukan lewat proses negosiasi berdasarkan kesepakatan. Mulailah dengan menyusun perjanjian founder dalam bentuk sederhana dan sesuai dengan kondisi.

Tidak harus sempurna, tapi paling tidak harus mengacu pada win win solution antara kedua belah pihak. Siapa yang tahu, dari upaya ini Anda bisa menemukan solusi untuk menjawab permasalahan, mendapatkan strategi baru untuk meneruskan bisnis, sekaligus cara menghindari perpisahan lainnya yang kemungkinan bakal terjadi ke depannya.

Buat proses pembagian saham sesederhana mungkin

Banyak pendiri yang menyarankan proses pembagian saham dibuat dalam bentuk jadwal yang detil dan terdefinisi dengan baik. Skenario seperti ini terlalu sulit dan tidak ada seorangpun founder yang ingin berlama-lama berada di tempat lama karena bisa mempengaruhi bisnis perusahaan jadi lebih lamban.

Meskipun tidak ada standarisasi cara pembagian saham yang berlaku, penting untuk mengenali usaha yang telah dilakukan oleh masing-masing pendiri, uang yang sudah mereka investasikan, waktu yang sudah dibuang, agar penilaian saat pembagian saham jadi lebih adil. Anda juga perlu ketahui, ketika founder bekerja di sebuah startup, artinya apapun yang mereka hasilkan menjadi milik perusahaan.

Perlakukan uang tunai sebagai pinjaman

Jika kedua founder menyinggung soal uang tunai yang sudah mereka habiskan, akan sangat rumit prosesnya. Uang tunai memiliki nilai, beda halnya dengan kepemilikan saham. Untuk itu, cara termudah dan teradil saat berurusan dengan hal ini adalah membuat daftar siapa yang berkontribusi dan dibelanjakan untuk apa. Perlakukan uang tunai dari kocek founder sebagai pinjaman kepada perusahaan.

Founder yang ditinggali oleh partnernya dapat menyelesaikan pembayaran atas pinjamannya tersebut dan membayar berapa uang yang harus dibayarkan setelah adanya kesepakatan dengan founder.

Berjabat tangan sebagai teman

Jauh sebelum Anda mulai membuat startup, kemungkinan besar hubungan Anda dengan founder adalah kawan atau setidaknya rekan kerja yang saling menghormati satu sama lain. Bagaimana cara Anda bisa mengatasi putusnya hubungan bisnis dengan founder, tentunya akan mempengaruhi hubungan jangka panjang dan reputasi Anda di industri.

Anda tidak bisa menghindari dari rumor tak sedar yang bakal beredar di industri. Kemungkinan besar angel investor akan menghubungi dan bertanya-tanya ke founder sebelumnya.

Idealnya, perpisahan yang baik dan adil itu bakal tercipta saat seluruh pendiri dapat saling berjabat tangan dan pergi sebagai teman, paling tidak sebagai rekan bisnis yang dihormati.

Payment Gateway Asal Singapura Xfers Siap Ramaikan Pasar Fintech Indonesia

Bisnis e-commerce memiliki berbagai unsur pendukung yang menopang kemajuannya, mulai dari logistik hingga alat pembayarannya. Bisa dikatakan e-commerce menjadi salah satu pemicu banyak bermunculannya pemain bisnis baru. Terlebih solusi pembayaran online adalah ranah yang menarik untuk digali potensinya di tanah air. Tak terkecuali bagi Xfers, perusahaan payment gateway asal Singapura yang bisa digunakan untuk siapapun yang memiliki tabungan di bank untuk menerima pembayaran.

Perlu diketahui, rencana Xfers memasuki Indonesia sudah direncanakan pada awal tahun ini. Pasca perolehan pendanaan awal (seed funding) yang didapat Xfers sebesar $2,5 juta. Adapun investornya dipimpin oleh Eduardo Saverin (Co-Founder Facebook). Golden Gate Ventures, 500 Startups, GMP Venture Partners, Partech Ventures, BWB Ventures dan Convergence Ventures merupakan investor yang turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan awal ini.

Co-Founder Xfers Samson Leo menjelaskan payment gateway bisa menunggangi perkembangan tren e-commerce, sebab setiap e-commerce memerlukan sistem online payment. Di Indonesia menurut Leo pembayaran dengan cara bank transfer masih menjadi pilihan utama konsumen Indonesia yang berbelanja online. Ini membuat penjual harus memeriksa mutasi rekening bank secara manual dengan berkala.

Dengan aplikasi ini, merchant atau penjual individu bisa mengumpulkan pembayaran online dari siapapun lewat sebuah link. Bahkan bila ada pembayaran yang masuk merchant akan mendapat notifikasi. Fitur ini dinamakan Payment Link.

Ada dua sasaran konsumen yang dibidik oleh Xfers. Pertama, merchant yang menggantungkan diri ke bank sebagai sarana pembayarannya, termasuk perusahaan remitansi dan crowdfunding. Kedua, merchant ritel online yang bisnisnya masih berkonsep peer-to-peer (P2P), sekitar 80% dari mereka menggunakan transaksi lewat media sosial.

Ia melanjutkan, Indonesia memiliki tantangan resiko fraud yang tinggi. Banyak pembeli yang sudah memesan barang secara online dan sudah membayar, namun bisa saja tidak mendapatkan barang sesuai dengan apa yang ia pesan. Misalnya barang tersebut adalah imitasi atau palsu.

“Kami sadar bahwa kami bukan satu-satunya yang menawarkan solusi untuk online payments. Sudah banyak perusahaan yang berusaha untuk menguasai ranah online payments dan masing-masing perusahaan punya fokusnya sendiri. Kendati demikian, kami ingin membantu mengubah ekosistem payment gateway di Indonesia menjadi lebih baik,” ujarnya kepada DailySocial.

Ingin buat pertumbuhan bisnis Indonesia lebih tinggi dari Singapura

Leo melanjutkan, perkembangan bisnis Xfers di Singapura sudah mencapai peningkatan yang eksponensial. Pada awalnya, Xfers baru dapat memproses $80 ribu Dolar Singapura di Mei 2015, kini sudah mencapai $4,5 juta Dolar Singapura pada April 2016. Artinya, pihaknya sudah melihat kenaikan transaksi per bulan sebesar 50x lipat semenjak Mei 2015.

“Kami ingin mencapai growth level yang sama di Indonesia, terutama karena populasi Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa dibandingkan dengan Singapura hanya 5,5 juta.”

Untuk itu, pihaknya kini gencar menggaet penjual online, perusahaan fintech, event organizers dari korporasi, kampus dan freelancers. Strateginya dengan bekerja sama dengan rekanan lokal untuk mengeksplorasi cara-cara untuk membuat standar pelayanan di Jakarta dapat sebaik di Singapura. Saat ini, Xfers sudah bekerja sama dengan Bank Mandiri, BCA dan BNI.

Menurut Leo, dia juga menyadari pentingnya lokalisasi. Budaya orang Indonesia berbeda dari daerah ke daerah. Maka dari itu, hal ini akan sangat mempengaruhi cara perusahaan untuk menarik konsumen, tidaklah sama. Setelah Indonesia, lanjut Leo, ada beberapa negara lainnya di Asia Tenggara yang bakal disinggahi Xfers.

“Kami masih fokus di Indonesia karena masyarakat Indonesia sudah mulai mendukung e-commerce dan meninggalkan uang tunai sebagai metode pembayarannya. Tidak menutup kemungkinan kalau kami juga akan explore negara lain di ASEAN yang juga masih banyak menggunakan bank transfer sebagai metode pembayarannya,” pungkasnya.

Beberapa pemain payment gateway di Indonesia sudah lebih dahulu terjun ke bisnis ini, ada dua pemain besar yang sudah cukup terkenal gaungnya seperti Veritrans dan Doku. Selain itu ada ESPAY, Fasapay, iPaymu, dan NICEpay.

Aplikasi Majalah Digital Higo Permudah Penerbit Temukan Pembacanya

Perlu disadari, geliat teknologi digital yang pesat turut membuat beberapa majalah cetak terus berguguran karena kalah cepat dalam menyajikan berita terkini. Kini penerbit tidak bisa hanya mengandalkan penjualan majalah berbentuk fisik saja, tapi harus bertransformasi ke digital. Higo hadir dengan semangat ingin membantu nadi penerbit majalah agar mampu bertransformasi menyesuaikan dinamika pasar.

Secara resmi Higo diluncurkan pada Juli 2016 dan kini tersedia dalam bentuk aplikasi untuk Android dan iOS. Saat ini Higo sudah bekerja sama dengan 50 majalah baik dari lokal maupun luar negeri. Beberapa di antaranya Nylon, Property Inside, Truck Magz, Franchise, C&R dan beberapa lainnya.

Glennarta Hioe selaku CEO dan Founder Higo, mengatakan Higo memberikan pengalaman membaca yang unik dengan keunggulan konsep tiles. Setiap artikel dapat dikunjungi dengan satu sentuhan. Selain itu, majalah yang dihadirkan sudah beresolusi tinggi dan memiliki personal algoritma untuk mengetahui minat pembaca sehingga dapat menampilkan majalah sesuai selera.

Glennarta juga berharap Higo dilirik oleh penerbit sebagai alternatif penjualan majalah untuk menekan ongkos cetak yang semakin hari makin tinggi harganya.

“Sedangkan dari sisi pembaca, kami berharap Higo bisa membantu mereka yang ingin membaca majalah kapanpun dan di manapun,” ujarnya kepada DailySocial.

Pembeda Higo dengan pemain majalah digital lainnya adalah pihaknya menyediakan data analitik yang bisa menjadi bahan riset majalah dalam membuat artikel-artikel sesuai minat pembaca. Hal itu bertujuan agar informasi yang disampaikan dalam majalah tetap up-to-date dan bisa berkompetisi dengan media informasi lainnya.

“Tantangannya bagi majalah itu mereka sulit berkompetisi karena informasinya sudah usang. Dengan adanya data analitik ini, penulis majalah bisa memantau artikel mana yang disukai pembaca, bagaimana tren pembaca dalam memilik topik bacaan, agar artikel di majalah bisa tetap relevan.”

Sediakan layanan HigoSpot

Tak sampai di situ, Higo juga menerapkan strategi bisnis yang terbilang cukup baru di dunia majalah digital yakni membuat layanan HigoSpot. Layanan ini merupakan kerja sama antara Higo dengan merchant seperti cafe, restoran, salon, hotel dan lounge.

Konsep bisnisnya, merchant membeli beberapa majalah dengan harga bundling. Kemudian, majalah bisa diakses secara gratis oleh pelanggan yang berada di tempat tersebut dan memberikan referensi ke teman-temannya. Otomatis, dengan konsep bisnis seperti ini bisa menekan cost merchant dalam memberikan service dan mengurangi rak majalah.

“Sehingga, merchant tidak perlu pusing untuk penyimpanan majalah yang telah lama karena semuanya sudah masuk ke dalam database Higo. Kami ingin mengubah rak majalah tradisional ke digital.”

Dengan solusi tersebut, dapat meningkatkan jumlah pendapatan maupun pembaca bagi penerbit. Saat ini HigoSpot sudah tersebar di 150 titik merchant di wilayah Jakarta.

Higo menargetkan sampai akhir tahun ini dapat menggandeng majalah-majalah terbitan dari penerbit MRA Media Group dan Trinaya Media. Rencananya, Higo ingin mengembangkan fitur e-wallet agar memudahkan pengguna saat berbelanja majalah di aplikasi.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Dimo Sosialisasi Pembayaran dengan Kode QR

Memasarkan financial technology (fintech) di Tanah Air memerlukan kolaborasi dengan pihak perbankan untuk pemasarannya agar semakin dikenal masyarakat Indonesia. Untuk itu pada tahun pertama ini PT Dimo Pay Indonesia (Dimo) berdiri, fokus menambah mitra perbankan dan merchant.

Brata Rafly, CEO Dimo, mengatakan kolaborasi merupakan kunci utama yang perlu dilakukan oleh seluruh fintech yang bergerak di e-money agar semakin familiar di telinga orang Indonesia. Apalagi untuk penyedia jasa pembayaran kode QR terkesan sangat ‘techie.’

Menurutnya, dari total 120 perbankan di Indonesia, sekitar 50 bank di antaranya sudah memiliki produk e-money sendiri. Dari jumlah tersebut, yang sudah memantapkan diri untuk menggabungkan teknologi mobile banking-nya dengan Dimo adalah BNI, Bank Mega, Maybank, dan Bank DBS.

“Fokus tahun pertama, kami ingin menambah jumlah mitra bank dan merchant. Lalu di 2017 baru menggenjot dari segi transaksinya. Kami juga menargetkan jumlah merchant di 2017 bisa bertambah jadi 20 ribu sampai 30 ribu merchant. Semakin banyaknya jumlah mitra bank tentu akan sangat membantu masyarakat untuk proses edukasi dan sosialisasinya,” ujarnya di sela-sela acara Mobile Marketing Association (MMA), Kamis (22/8).

Sementara itu, dari segmen merchant yang ingin diakuisisi perusahaan adalah jenis usaha di bidang fast moving consumer goods (FMCG). Ada tujuan yang hendak disasar oleh Dimo dari strategi tersebut, yaitu ingin membiasakan orang-orang untuk menggunakan transaksi cashless. Sebab boleh dibilang, saat ini kebanyakan merchant e-money dipergunakan untuk membeli pulsa, telepon, listrik, dan air.

Selain itu, Dimo juga ingin mengarahkan orang yang unbankable bisa menggunakan transaksi cashless sebagai alat pembayaran sehari-harinya. “Selama ini tidak semua orang bisa menggunakan transaksi cashless karena mereka belum menjadi nasabah bank.”

Saat ini, teknologi Dimo sudah bisa diterapkan dalam beberapa aplikasi e-money yang dimiliki beberapa perusahaan, seperti Uangku, Simobi, Dompetku, T-money, dan Pay Access. Dari segi merchant, beberapa di antaranya adalah Coffee Bean, Lazada, Chatime, Pepper Lunch, Bakerzin, Fish Market, dan lainnya.

Dimo sebagai marketing tool

Selain memfokuskan diri sebagai solusi pembayaran dengan kode QR, Dimo juga memiliki potensi bisnis lainnya yang bisa dikembangkan. Yakni, menjadi alat marketing untuk berbagai perusahaan lewat salah satu produk Dimo yaitu QR Store. Produk itu merupakan sebuah konsep penjualan dengan kumpulan gambar produk dua dimensi yang dilengkapi dengan kode QR dan label harga.

Transaksi dapat dilakukan cukup dengan memindai kode QR menggunakan aplikasi mobile banking dilengkapi dengan teknologi Pay by QR. Menurutnya, keuntungan yang dirasakan perusahaan bila memakai produk ini bisa membuat statistik penjualan jadi lebih terukur, meski menjual produk tradisional.

“Dimo bisa menjadi partner perusahaan untuk penjualan secara online-to-offline (O2O). Sasarannya lebih untuk orang-orang yang sedang berada di luar rumah, hanya membawa handphone, dan ingin membeli kebutuhan sehari-hari yang sifatnya urgent,” pungkas Brata.

Application Information Will Show Up Here

Iklan Mobile Sebagai Jalur Pelengkap Media Beriklan Masa Kini

Pesatnya perkembangan dunia digital turut membuat perubahan tren gaya hidup, tak terkecuali gaya beriklan yang dilakukan oleh berbagai perusahaan untuk mendapatkan konsumennya. Untuk region Asia Pasifik, tiap tahunnya pertumbuhan belanja iklan mobile terus merangkak naik. Namun porsinya diperkirakan belum mendominasi iklan konvensional.

Menurut Rohid Dadwal, Managing Director of Mobile Marketing Association, kebanyakan perusahaan masih menerapkan pemasaran lewat mobile sebagai jalur trial untuk mempelajari pasar dan testing keefektivitasannya. Sehingga, cenderung masih lebih mengandalkan pemasaran iklan lewat jalur konvensional, seperti televisi, radio, billboard, media cetak, dan media online.

Hal ini terlihat dari besaran porsi antar keduanya masih berbanding jauh. Dia memperkirakan, saat ini secara persentase masih berada di kisaran 7%-10%. Menurutnya, iklan mobile ke depannya bakal menjadi bahan pelengkap dari jalur iklan konvensional.

“Perlu diketahui, iklan mobile itu bukan kompetitor bagi iklan konvensional. Justru menjadi pelengkap yang sudah ada. Ada tambahan channel marketing yang tingkat efektivitasnya bisa terukur dengan tepat,” ujarnya di sela-sela acara Mobile Marketing Association Forum, Kamis (22/9).

Dia mengungkapkan, pihaknya belum mengetahui secara detil berapa besaran bujet iklan mobile yang diterapkan di Indonesia. Menurutnya, porsinya masih sangat kecil. Untuk itu, lewat acara ini dia berharap bisa memajukan channel marketing yang baru ini.

Mobile is everything. Sedangkan perusahaan butuh strategi marketing, dan strategi itu adalah mobile. Sebab, mobile bisa terintegrasi dengan berbagai hal, seperti media sosial.”

Facebook sebagai platform iklan mobile

Secara terpisah, di sela-sela sesi diskusi panel. Sri Widowati, Country Director Facebook Indonesia, menerangkan Facebook dapat menjadi salah satu media beriklan yang bisa menjangkau target konsumen secara spesifik, sehingga lebih tepat sasaran. Terlebih, tersedianya kostumisasi bahasa yang bisa disesuaikan dengan target konsumen.

Namun, dia tidak bisa memungkiri fakta bahwa beriklan di televisi memang dinilai lebih tepat untuk meningkatkan awareness konsumen. Terlebih, dengan jumlah populasi 250 juta orang Indonesia bakal lebih cepat bila memasarkan iklan di televisi.

“Iklan di televisi memang lebih banyak menyasar target konsumen, namun karena banyaknya itu jadi tidak bisa menjangkau target secara spesifik.”

Facebook memiliki data dan bisa membaca kebiasaan penggunanya. Dengan demikian, pengiklan bisa mengetahui dengan jelas siapa target konsumennya. Bujet investasi yang akan dikucurkan pun akan jauh lebih efisien.

“Facebook bisa meningkatkan jangkauan iklan. Dengan menggabungkan iklan televisi dengan Facebook, maka jangkauan akan lebih dalam dan investasi akan lebih bagus.”

BlackBerry Messenger mulai bertransformasi

Tak hanya media sosial Facebook yang bisa dipilih pengiklan untuk iklan mobile, BlackBerry Messenger (BBM) pun juga mulai bertransformasi memberikan layanan iklan mobile. Krishnadeep Baruah, Vice President Sales BlackBerry Messenger (BBM) APAC, mengatakan sejumlah perubahan yang lebih friendly dalam ekosistem BBM mulai dari fitur banner, native ads, push messages, dan tombol buy now.

Berbagai pengiklan dari berbagai sektor pun bisa memilih BBM sebagai alternatif, misalnya perusahaan game, marketplace, berita online, dan video. Dia membeberkan data pengguna BBM dari smartphone yang terdaftar di Indonesia mencapai 110 juta orang. Sementara dari segi pengunjung BBM Shop sebesar 172 juta orang, pengiklan BBM per harinya menyentuh angka 1,5 miliar, BBM channel yang sudah tersebar mencapai 670 ribu channel, dan jumlah pesan yang terkirim di BBM per harinya mencapai 16,7 miliar pesan.

“Perubahan aplikasi messaging bakal melesat ke depannya. Di BBM kami memulai transformasi mulai dari perubahan konten, menambahkan fitur stiker, subscription, top picks, games, music, dan voucher. Tujuan akhirnya ingin menjadikan BBM sebagai jalur alternatif iklan mobile, sebab kami memiliki database pengguna BBM yang lengkap sesuai perilaku mereka,” pungkas Baruah.