Kiat CTO Memilih dan Merencanakan Server untuk Layanannya

Teknologi bagi startup digital bisa dianalogikan sebagai fondasi pada sebuah bangunan. Fondasi berperan besar dalam membuat bangunan terebut berdiri kokoh. Demikian pula teknologi (tentu bentuknya beragam) dalam menumbuhkan bisnis startup. Sebut saja bagi startup yang memberikan pelayanan melalui sebuah website atau aplikasi, maka sistem server di baliknya – selain aplikasinya itu sendiri – harus memiliki kekuatan yang mumpuni dalam memberikan dukungan.

Hal ini juga berlaku untuk layanan yang memiliki intensitas penggunaan yang tinggi, seperti Tiket.com sebagai salah satu pemimpin bisnis Online Travel Agency (OTA) di Indonesia. Dalam sebuah kesempatan wawancara, Co-Founder dan CTO Tiket.com Natali Ardianto memberikan beberapa tips terkait dengan perencanaan sistem server dan tindakan yang perlu dilakukan dalam disaster recovery. Layanan online Tiket.com sangat bergantung dengan keandalan server dalam menyuguhkan performa kepada pelanggan.

Pertimbangan startup dalam memilih server untuk layanannya

Menurut Natali, berdasarkan pengalamannya dalam mengelola teknologi sejenis, prioritas utama dalam memilih layanan hosting atau server adalah besaran pipa bandwidth. Kemudian pertimbangan yang kedua adalah kemudahan dalam scaling server. Dan yang ketiga baru tentang spesifikasi server. Pipa bandwidth menjadi unsur terpenting, karena bandwidth akan berujung pada kecepatan akses oleh pengguna.

Mengapa bukan kemampuan scaling server dulu? Natali mengatakan jika pun sistem dapat melakukan scaling dengan sangat cepat, namun jika pipa bandwidth yang disediakan kecil pengguna tidak dapat melakukan scaling trafik secara cepat. Dan Natali mengatakan bahwa tidak mudah dan murah untuk melakukan scaling network.

Scaling server sangat tergantung pada kemampuan hosting dalam mengelola skalabilitas sistemnya, entah itu virtualisasi atau SOP (Standard Operating Procedure) yang sangat bagus ketika ada demand server yang tiba-tiba banyak. Sedangkan spesifikasi server sangat mudah diputuskan, karena spesifikasi saat ini cukup homogen, tidak terlalu banyak variannya. Prosesor Intel, memory DDR4, harddisk drive SSD. Simple.”

Lalu ketika berbicara tentang startup umumnya dimulai dari kapabilitas sistem yang kecil, namun di tengah proses kadang lonjakan terjadi begitu saja dengan sangat tinggi. Kadang sistem tidak siap untuk menghadapi, akibatnya sistem mengalami down. Kemungkinan paling buruk justru membuat pengguna kecewa, sehingga traksi justru tidak meningkat tajam.

Sebagai langkah antisipasi, menurut Natali, sebuah startup teknologi memang perlu melakukan perencanaan sejak awal, tidak bisa hanya menganggap penggunaan teknologi cloud akan otomatis scaling dengan sendirinya. Ia menceritakan ketika Tiket.com masih di usia yang sangat dini beroperasi.

“Ketika usia Tiket.com baru live selama 6 bulan, kami sempat mengalami spike yang tinggi ketika ada penjualan konser Big Bang, di mana 6.000 tiket konser terjual dalam 10 menit. Ketika itu webserver yang aktif hanya tiga, namun dikarenakan sudah direncanakan sejak awal, dalam waktu kurang dari 5 menit, saya bisa menambah 10 webserver secara instan hanya dengan menggunakan iPad.”

Nyatanya perencanaan ini juga akan menjadi salah satu faktor penentu dalam pemilihan stack teknologi yang akan digunakan dari layanan tertentu. Contohnya pengalaman tersebut kini membawa Tiket.com mampu melakukan skalabilitas sistem dengan baik. Bahkan dikatakan Natali ketika ada 40.000 concurrent user yang mengunjungi situs, seperti ketika penjualan tiket kereta lebaran, tidak terjadi isu dalam sistem karena sudah memanfaatkan teknologi auto-scaling dari provider yang saat ini digunakan Tiket.com.

Perdebatan “klise” yang masih sering terjadi, antara memilih layanan lokal atau internasional

“Jujur untuk saat ini saya memilih provider internasional. Di awal pengembangan Tiket.com, saya pernah meletakkan server di Jakarta. Ketika terjadi DDoS Attack yang massive sebesar 1,1 Gbps selama satu bulan, hosting provider lokal kesulitan untuk mengantisipasi load bandwidth yang besar ini, bahkan akses internasional mereka menjadi mampet karena serangan tersebut. Alhasil ujung-ujungnya situs Tiket.com yang diblokir, agar attacker berhenti.”

Setelah dipindahkan ke provider internasional, permasalahan bandwidth tersebut terselesaikan. Bahkan sempat terjadi serangan DDoS sebesar 3,3 Gbps di tahun 2015, namun dapat ditangani tanpa service disruption di layanan Tiket.com.

“Sebagai gambaran, saat ini saya memiliki server di Jakarta, dengan bandwidth dedicated rasio 1:1 2 Mbps, biayanya Rp 4 juta tiap bulannya. Di Singapura, server saya diberi bandwidth 100 Mbps gratis. Jika di-upgrade menjadi 1 Gbps, cukup menambah biaya kurang lebih Rp 260 ribu tiap bulannya. Bedanya jauh sekali bukan.”

Dan yang lebih ironis bagi Natali, hop count dari Jakarta-Singapura bisa lebih sedikit ketimbang Jakarta-Jakarta. Terjadi mismanage yang cukup kritis di routing network Indonesia saat ini.

Konsep high availability dan scalability sebagai strategi meningkatkan keandalan sistem

Hal ini terkait dengan strategi sebuah sistem online yang sudah mapan dan memiliki traksi pengguna yang tinggi untuk meminimalkan terjadinya down-time atau kegagalan sistem lainya. Perencanaan yang dilakukan oleh CTO Tiket.com ialah menggunakan konsep high availability dan scalability. High availability berarti selalu tersedia setiap saat. Caranya dengan memiliki jumlah lebih dari sepasang untuk masing-masing sistem. Load balancer sepasang, web server sepasang, database sepasang, cache system sepasang dan seterusnya.

Ketika salah satu server mati, masih ada server lainnya yang mengambil alih load server. Bahkan jika perlu, lokasi data center pun dipisah, sehingga jika terjadi disaster, entah itu power outtage, hardware malfunction atau bahkan bom nuklir, masih ada sistem lain di lokasi berbeda.

“Saya bahkan pernah diceritakan oleh teman provider hosting internasional, bahwa jarak antar dua data center dia sekian kilometer. Alasannya? Agar jika ada pesawat menghantam data center yang pertama, maka ledakannya tidak akan mengganggu data center yang kedua.”

Scalability sendiri harus dilakukan oleh kita sendiri sebagai pengguna. Ketika mendesain sebuah sistem, harus bisa distributed, dikarenakan dari server bisa berbeda-beda. Namun walau pun berbeda-beda lokasi, namun datanya sama persis satu dengan yang lainnya. Scalability ini yang paling rumit dan kompleks, umumnya kita belajar berdasarkan pengalaman.

Untuk melakukan duplikasi sistem tersebut kadang terkendala dengan perhitungan investasi dalam bisnis. Seringkali mendengar cerita, bahwa tim teknologi kadang kesulitan meyakinkan kepada CEO (terutama yang memiliki latar belakang non-teknis) untuk mau membayar lebih pada kebutuhan tersebut. Nyatanya ketika tidak terjadi kegagalan sistem, penambahan jumlah server atau pengutusan staf khusus untuk mengelola backup terlihat seperti buang-buang energi dan sumber daya. Tidak terjadi di semua bisnis, namun tak sedikit yang menghadapi.

“Jujur saja, saya juga dulu pernah melaluinya juga, selama dua tahun servernya hanya satu. Waktu itu jumlah server baru ditambahkan ketika saya laporkan ke investor tentang kondisi saya.”

Solusi yang bisa dilakukan berdasarkan pengalaman Natali menghadapi situasi yang sama adalah dengan meminta rekan yang lebih dipandang dan dikenal pula oleh CEO untuk membantu mengingatkan risiko yang sedang dihadapi. Mungkin juga diberikan artikel-artikel terkait mengenai sistem yang down karena tidak scaling.

Cita-cita memiliki data center sendiri untuk startup

CTO Tiket.com mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak berencana membangun data center sendiri. Ia cukup puas memanfaatkan teknologi cloud computing. Harga lebih murah, pengelolaan mudah, karena hanya mengurus software di masing-masing server, tidak perlu terlalu pusing dengan urusan networking, redundancy network dan lain sebagainya. Dengan pertumbuhan teknologi yang sangat pesat, sistem menjadi semakin kompleks. Jangan sampai kita turut disibukkan dengan hardware yang failing, memory yang corrupt, harddisk yang rusak.

Bayangkan jika kita memiliki server sendiri, dan storage disk-nya rusak, kita harus sudah punya stock untuk mengganti hardware yang lama. Belum lagi kalau kita hendak meng-upgrade server.

“Saya dulu pernah memiliki server fisik sendiri, dan ketika saya hendak meng-upgrade jumlah prosesor saya, ternyata heat sink server tersebut bentuknya khusus dan hanya tersedia di Singapura. Alhasil saya memesan heat sink tersebut ke Singapura, bermasalah di bea cukai karena dianggap barang mewah, dan baru sampai di tangan saya dua bulan kemudian. Bayangkan, hanya untuk upgrade prosesor butuh dua bulan.”

Natali pun turut menegaskan bahwa teknologi cloud itu bukan hanya virtualisasi saja.

“Saya sendiri memanfaatkan teknologi baremetal cloud. Artinya, server saya fisik, tanpa virtualisasi. Namun yang cloud adalah network-nya, dan juga pricing-nya yang diukur per jam maupun per bulan. Bahkan ketika saya matikan server tahun lalu, dan saya memesan server baru, dengan spesifikasi yang lebih tinggi, saya bisa mendapatkan harga yang sama. Kenapa bisa demikian? Karena adanya Moore’s Law. Kemampuan prosesor naik 2 kali lipat tiap 2 tahun.”

Application Information Will Show Up Here

Karena di Awan Pun Juga Ada Petir

Cukup ramai beberapa waktu terakhir bertebaran di media sosial sebuah tulisan blog pribadi tentang kekecewaan seorang Founder startup asal Yogyakarta yang disebabkan kegagalan penyedia layanan cloud server kepercayaannya sehingga menyebabkan data bisnis (di server website dan server email) hilang begitu saja. Hal ini sontak membuat banyak pihak menjadi was-was, dari tadinya merasa aman dan nyaman meletakkan produk dan layanan mereka pada brand cloud server ternama, kini mulai dihantui dengan isu yang sama. Penting bagi kita untuk mencoba mengulang kembali bagaimana sebenarnya konsep cloud computing tersebut bekerja.

Cloud computing atau komputasi awan mulai hype sejak awal era millenium. Kehadirannya diawali oleh pesatnya penggunaan VPN (Virtual Private Network) di kalangan pengguna internet – jika jaringan saja bisa dibuat jalur pribadi dengan kepemilikan yang lebih simpel dan murah, bagaimana dengan server – Amazon menjadi pemain kunci di awal kehadiran layanan komputasi awan. Popularitas layanan tersebut kian menjanjikan kala brand besar seperti Microsoft, Google hingga IBM turut meramaikan pasar dengan berbagai variasi layanan dan jaminan kenyamanan pengguna. Produk komputasi awan pun mulai mengerucut untuk sampai ke konsumen, dari berbentuk SaaS (Software as a Services), IaaS (Infrastructure as a Services), dan PaaS (Platform as a Services).

Tujuan konsep komputasi awan semakin jelas, yakni ingin membuat pengembang software memfokuskan pada produk, bukan pada pengelolaan infrastruktur, dalam hal ini server. Sistem server menjadi peran dominan seiring meningkatnya ketergantungan bisnis dengan dunia online. Penumbuhan traksi yang cepat dan dinamika produk menjadi pertimbangan kunci. Alhasil layanan komputasi awan laris-manis di pasaran. Faktanya pun demikian. Layanan komputasi awan benar-benar menyederhanakan proses manajemen dan pemeliharaan infrastruktur server. Menariknya layanan tersebut juga memberikan fleksibilitas dan skalabilitas dalam penggunaan, pun demikian dengan sistem pembayaran. “Pay as you use”.

Komputasi awan tetap disokong server fisik

Jargon Service Level Agreement (SLA) menjadi salah satu yang paling kencang ditawarkan dalam pemasaran layanan komputasi awan. Persentase 99,99% SLA sering disodorkan untuk meyakinkan kepada pengguna agar meletakkan sistem aplikasinya ke layanan tersebut. Diketahui namun sering tak diindahkan bahwa ketika berbicara tentang komputasi awan sebenarnya tetap berbicara tentang server fisik, hanya saja letaknya jarang kita ketahui. Konsep virtualisasi menjadi salah satu yang berperan besar dalam peradaban komputasi awan. Sistem mirroring atau duplikasi server juga.

Perbedaan antara menyediakan server on-premise (mengelola data center secara mandiri) dengan mengandalkan layanan komputasi awan adalah terletak pada jangkauan pengelolaan dan pemeliharaan. Sedangkan persamaannya, keduanya sama-sama mengandalkan pada “kredibilitas” komputer server. Ketika kita mengelola server secara on-premise maka penjagaan sepenuhnya ada di tangan kita, plus pengelolaan. Bedanya ketika berlangganan dengan layanan komputasi awan, kita mempercayakan penjagaan tersebut kepada pihak lain.

Jadi dapat ditarik benang merahnya. Ini hanya masalah letak server dan penjagaan. Bentuknya tetap sebuah komputer server, bukan sebuah kekuatan super yang melayang di atmosfer. Artinya 0,01% di luar SLA bisa jadi mengabarkan kepada kita bahwa komputer server terbakar atau meledak.

Kegiatan membosankan bernama mem-backup

Menyadari komputasi awan tetaplah sebuah bentukan fisik dari komputer server, kekhawatiran tampaknya kembali perlu ditanamkan. Pertanyaan seperti “Bagaimana jika tiba-tiba SSD (Solid State Drive) pada server mengalami corrupt?”, “Bagaimana jika terjadi kerusakan pada CPU di server?”, dan sebagainya penting untuk menjadi pertimbangan, setidaknya untuk membakar kemalasan untuk melakukan sebuah kegiatan membosankan bernama “mem-backup” data. Sayangnya sampai saat ini belum ada brand yang benar-benar bisa memberikan 100% SLA yang mencakup keseluruhan layanan cloud server yang dijajakan.

Jika sekelas Digital Ocean yang banyak dielukan saja tidak bisa mengembalikan data Fitinline yang lenyap di servernya, maka tugas backup menjadi agenda yang seharusnya krusial. Bisa jadi bisnis online yang sudah besar butuh mengalokasikan tim khusus yang bertugas untuk melakukan backup data. Ini layaknya sebuah asuransi. Jika tidak terjadi kecelakaan, maka hanya terkesan sebagai sebuah kegiatan yang menghamburkan sumber daya. Namun jika kembali mengingat bahwa sebuah benda fisik bisa kapan saja terdampak risiko buruk, maka hal tersebut harusnya dapat disiapkan secara lebih matang.

Apa yang diharapkan dari sebuah layanan komputasi awan?

Selain memangkas tuntas kerumitan pengelolaan sumber daya server, pemanfaatan komputasi awan sering dikaitkan dengan kebutuhan yang berjenjang, terlebih untuk startup. Umumnya startup dimulai dengan sistem berkapasitas minim sehingga tidak memerlukan sumber daya yang besar. Seiring dengan bertumbuhnya pengguna suatu layanan, kadang startup perlu melakukan peningkatan (upgrade) sistem server secara cepat, mengimbangi lonjakan yang dihadapi. Komputasi awan memfasilitasi kebutuhan tersebut dengan baik, karena salah satu visi yang ingin didorong adalah skalabilitas yang mudah.

Kecepatan akses juga menjadi pertimbangan tatkala seseorang mempercayakan meletakkan sistem yang dibangun pada sebuah layanan komputasi awan. Umumnya penyedia layanan komputasi awan menawarkan kenyamanan pemilihan data center sesuai dengan target penggunaan, tujuannya agar akses lebih cepat. Saat ini yang dijajakan untuk sebuah layanan – misalnya website – bukan sekedar sistem hosting, namun mengarah ke VPS (Virtual Private Server) atau VM (Virtual Machine). Yang disewakan bukan sebuah ruang kosong dengan kapasitas tertentu, melainkan satu kesatuan sistem server.

Salah satu hal krusial lainnya adalah terkait dengan jaminan akan data-data yang diunggah ke server tersebut. Perlu dipahami betul ketentuan SLA dan batasan tanggung jawab penyedia layanan komputasi awan sebelum memilih, sehingga dari sisi penggunaan kita dapat memastikan tindakan yang perlu dilakukan untuk disaster recovery ketika terjadi kegagalan di sisi penyedia.

Teknologi kini menjadi kunci bisnis digital yang berkembang dan akan terus menjadi ketergantungan. Kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan juga menjadi hal yang krusial, karena di awan juga ada petir yang kapanpun bisa menyambar.

Isu Perpajakan Google Indonesia Berbuntut Panjang

Alphabet Inc sebagai induk perusahaan Google ditaksir melakukan penunggakan pajak dalam operasionalnya di Indonesia per tahun 2015 hingga mencapai Rp 5,2 triliun. Sementara Google Indonesia resmi berbentuk PT sejak tahun 2011. Pemerintah pun tak main-main untuk mendalami kasus ini, gertakan pun dilontarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pihaknya akan memperkarakan isu ini di forum internasional. Namun di balik diskusi seputar pelanggaran pajak yang saat ini masih hot, terpercik opini bahwa yang dilakukan Google tersebut merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan keuntungan.

Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik (terletak di Singapura). Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak perlu membayar pajak seperti yang diduga pihak pemerintah Indonesia.

“Argumen Google adalah mereka hanya melakukan tax planning. Namun perencanaan pajak secara agresif yang menyebabkan negara tempat mereka mendapatkan penghasilan itu tidak mendapatkan apa pun adalah ilegal,” kata Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Ditjen Pajak Muhammad Haniv.

Saat ini kasus Google tengah ditangani oleh Kemenkeu dan Kemenkominfo. Kemenkeu lebih banyak melakukan manuver untuk menambah bukti-bukti pelanggaran perpajakan, sedangkan Kemenkominfo terus menekan kepada Google dan pemain OTT (Over The Top) multinasional lain untuk segera merealisasikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. Isu perpajakan yang melibatkan pemilik uang di luar negeri dewasa ini terus mencuat di permukaan, seiring dengan kebijakan Tax Amnesty yang dicetuskan pemerintah. Tak sedikit yang “ketar-ketir” dengan kebijakan ini, namun banyak yang merasa diuntungkan.

Strategi perusahaan dalam meminimalkan pembayaran pajak

Meja hijau dan urusan perpajakan tampaknya tak pernah membuat Google merasa kapok. Di Inggris, pada tahun 2011 silam Google terindikasi menunggak pembayaran pajak hingga Rp 7,7 triliun. Namun dalam pelaporan perpajakan Google berhasil meloloskan pembayaran. Kesengajaan tersebut akhirnya terbongkar, bahwa pihak Google mengalihkan perputaran transaksi ke Bermuda (negara bebas pajak). Skema sama yang turut dilakukan (mungkin tidak hanya oleh Google) dengan operasinya di Indonesia dan meletakkan perputaran transaksi bisnisnya di Singapura.

Secara naluriah pun akal sehat mudah memahami, bagaimana bisnis berambisi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun membayarkan pajak sekecil-kecilnya. Akan tetapi isunya sekarang adalah soal transparansi dan bagaimana negara konsumen besar seperti Indonesia yang dimanfaatkan begitu saja tanpa adanya imbal balik pemasukan pajak yang sesuai. Secara kasat mata begitu terlihat market-share Google sebagai layanan OTT begitu mendominasi di Indonesia. Bahkan berhasil membudaya sebagai “mbah” yang biasa ditanya ketika orang memerlukan sesuatu, “coba cari di mbah Google”.

Selain Inggris, ada juga Italia, Perancis, Tiongkok, Spanyol dan India yang sempat mempermasalahkan isu pajak kepada Google. Keyakinan pemerintah:

“Dengan menolak diperiksa, ada indikasi pidana, sudah pasti, mutlak. Dan mereka juga menolak ditetapkan sebagai BUT. Kami akan segera melakukan investigasi.”

Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah mampu memberikan ancaman kepada Google? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menekan pemerintah untuk tegas, bahkan meminta tidak segan untuk menutup jika terbukti menyeleweng.

Objek pajak untuk produk atau layanan berbasis OTT

Aktivitas bisnis Google memang tampak transparan, dilakukan secara elektronik dan memerlukan skema khusus dalam perhitungan rugi-laba. Menurut Menkeu Sri Mulyani aktivitas elektronik tersebut adalah objek pajak, sehingga wajib membayar pajak di Indonesia dan memberlakukan kesetaraan pajak. Turut diakui bahwa masih ada “masalah pajak” berkaitan dengan transaksi elektronik, namun hal tersebut juga dialami oleh banyak negara.

“Kami telah sampaikan kepada Google untuk juga memperlakukan tax (pajak) yang setara di Indonesia. Transaksi yang masuk ke revenue (pendapatan) Google yang berasal dari Indonesia dan ads (iklan) yang ditujukan, targeted untuk Indonesia bagaimana agar Google juga membayar pajak. Dipersilakan Google menempatkan permanent establishment (bentuk usaha tetap) di Indonesia,” kata Plt. Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza.

Tak mudah memang untuk menelusuri bentuk transaksi elektronik. Studi kasusnya seperti ini, katakanlah ada sebuah perusahaan penyedia layanan streaming. Kepada pelanggannya di Indonesia ia menetapkan transaksi langsung dengan rekening yang dimiliki perusahaan di negara lain. Maka secara de-jure perpajakan pun menjadi kewajiban perusahaan di negara lain tersebut, kendati konsumen membeli dari Indonesia. BUT adalah isu utamanya. Ketika sebuah perusahaan seperti Google belum menjadi BUT, maka PPN tidak menjadi kewajiban untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Bagaimana ke depannya, baik langkah Google dalam menyelesaikan masalah ataupun langkah pemerintah untuk bisa bertindak tegas, kita masih harus menunggu. Harapannya kasus ini menjadi pelajaran untuk semua pemain OTT multinasional di Indonesia. Tak hanya dimanfaatkan sebagai ladang keuntungan saja, namun Indonesia turut mendapatkan untung dari potensi konsumen yang diberikan, 100 juta pengguna internet aktif yang masih terus bertumbuh.

Acara Puncak CompFest 8 Segera Digelar

Setelah berlangsung sejak Mei 2016 lalu, pagelaran CompFest 8 segera menuju acara puncaknya. Acara puncak tersebut akan diselenggarakan pada 24 – 25 September 2016 mendatang di Balairung Universitas Indonesia. Tahun ini rangkaian acara CompFest 8 hadir membawa tema “Step Up Indonesia’s IT Potentials for the Challengers of Tomorrow”.

Di acara puncak tersebut, CompFest akan menyajikan beragam keseruan, mulai dari playground, seminar hingga sesi hiburan yang dapat dinikmati secara gratis. Dengan konsep gamifikasi, Playgroud di CompFest akan menghadirkan 50 exhibitor dari startup dan perusahaan teknologi ternama di Indonesia. Beberapa hadiah seru turut disiapkan untuk para pengunjung yang beruntung.

Salah satu sesi utama yang akan diadakan pada puncak CompFest 8 adalah akan dipamerkannya karya hasil finalis kompetisi dan akademi CompFest 8 di hadapan para pengunjung. Pengunjung dapat melihat dan menjajal langsung karya-karya dari peserta inovatif tersebut. Sesi seminar bertajuk teknologi akan turut meramaikan kemeriahan acara puncak.

Disclosure: DailySocial adalah media partner CompFest 8.

Facebook Masih Mendominasi Penggunaan Media Sosial di Kuartal Ketiga 2016

Hasil survei seputar perilaku netizen di Indonesia dalam menggunakan media sosial kembali diluncurkan oleh Jakpat. Bertajuk “Indonesia Social Media Trend Q3 2016“, laporan ini mengamati pola perilaku penikmat media sosial dalam kuartal ketiga tahun ini. Secara umum penggunaan media sosial di Indonesia masih didominasi oleh Facebook dan Instagram. Kendati persentasenya menurun tipis dibandingkan kuartal pertama 2016, namun masih mendominasi jauh dari lawan mainnya.

Persentase penggunaan media sosial dalam Q1 dan Q3 2016 / Jakpat
Persentase penggunaan media sosial dalam Q1 dan Q3 2016 / Jakpat

Selain memang paling tinggi angka penggunanya, Facebook dan Instagram ternyata juga mendominasi dalam penggunaan di berbagai kepentingan bersosial secara online. Selain untuk berkomunikasi bersama teman, Facebook juga menguasai persentase dalam penggunaan sebagai penghubung dengan kolega bisnis dan juga keluarga. Menjadi hal yang cukup menarik, ketika dari sisi pemasaran Path lebih digadang-gadang sebagai media yang lebih privat.

Facebook menjadi media populer untuk terhubung dengan rekan kerja / Jakpat
Facebook menjadi media populer untuk terhubung dengan rekan kerja / Jakpat

Berbicara seputar Facebook, dari responden tercatat bahwa yang paling banyak dipasang di ponselnya adalah aplikasi FB Messenger, persentasenya melebihi (tipis) dari Facebook App. Penggunanya pun sangat fantastis, responden mengatakan bahwa rata-rata mereka pasti membuka Facebook setiap hari, kebanyakan 2-3 kali sehari (22,9 persen), namun tak sedikit juga (19,7 persen) membuka lebih dari 10 kali sehari.

FB Messenger menjadi aplikasi paling popluer di ponsel pengguna / Jakpat
FB Messenger menjadi aplikasi paling popluer di ponsel pengguna / Jakpat

Pun demikian dengan penggunaan Instagram, dari total responden survei 78 persen di antaranya mengaku selalu membuka kanal media sosial gambar tersebut setiap hari. Turut terpetakan juga berbagai aktivitas popluer yang sering dilakukan menggunakan Instagram. Persentase tertinggi (53,3 persen) orang-orang menggunakan Instagram untuk mengeksplorasi konten yang lucu dan unik, selanjutnya disusul penggunaan untuk mencari tahu suatu hal (50,3 persen), digunakan untuk mengeksplorasi produk online shop (47,8 persen) dan untuk mencari tahu aktivitas teman (74,2 persen).

Pemanfaatan Instagram oleh pengguna di Indonesia / Jakpat
Pemanfaatan Instagram oleh pengguna di Indonesia / Jakpat

Kendati tidak sebesar Facebook atau Insagram, pengguna Path juga masih memiliki ekosistem aktif di Indonesia. Dari riset Jakpat tersebut, pengguna mengaku kebanyakan memanfaatkan Path untuk mem-posting mereka sedang mendengarkan lagu apa, menonton film apa dan makan apa. Masih sama peruntukan umumnya dengan visi dari Path, untuk membagikan hal-hal yang bersifat pribadi. Snapchat juga masih memiliki komunitas pengguna. Umumnya digunakan untuk mem-posting konten pribadi dan melihat-lihat akun populer yang mengunggah kontennya.

Pemanfaatan Path oleh pengguna di Indonesia / Jakpat
Pemanfaatan Path oleh pengguna di Indonesia / Jakpat

Persentase pengguna Twitter persis di urutan ketiga setelah Facebook dan Instagram. Namun ditemukan hasil riset untuk kuartal ketiga ini antusias pengakses Twitter tak sekencang sebelumnya. Digunakan untuk memburu informasi, Twitter kini lebih jarang dibuka secara rutin setiap harinya.

Permasalahan Perpajakan Google di Indonesia

Sejak beberapa waktu lalu PT Google Indonesia menjadi perbincangan hangat terkait dengan penolakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak). Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Muhammad Hanif selaku Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Khusus, dalam konferensi pers di kantor Ditjen Pajak hari Kamis (15/9) lalu.

Kendati demikian, menurut Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana, pihaknya mengklaim selalu kooperatif dalam urusan perpajakan. Sebagai sebuah PT yang telah berdiri di Indonesia sejak tahun 2011, Goole Indonesia mengaku telah taat menunaikan pembayaran pajak sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia. Lalu sebenarnya apa permasalahan yang membuat Ditjen Pajak ingin melakukan pemeriksaan terhadap Google?

Google dinilai belum berbentuk usaha tetap

Menurut Hanif, status PT Google Indonesia saat ini bukan merupakan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Status BUT dibutuhkan oleh perusahaan multi-nasional seperti Google untuk bisa menggali penghasilan di Indonesia. Sementara itu Google dinilai oleh Ditjen Pajak telah menerima penghasilan dari dalam negeri, terutama dari jasa periklanan online yang ditawarkan.

Ketika sebuah perusahaan seperti Google telah berstatus BUT, maka setiap transaksi yang masuk ke dalamnya (dalam hal ini jual beli jasa) akan dikenakan pemotongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ditjen Pajak yakin Google saat ini belum BUT, sehingga perusahaan atau rekanan yang bertransaksi dengannya tidak wajib melakukan pembayaran PPN.

Kami sempat panjang lebar membahas soal BUT ini, yang intinya:

bentuk usaha tetap merujuk pada tempat dan fasilitas usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

[Baca juga: Penjelasan Kewajiban Pendirian Bentuk Usaha Tetap bagi Perusahaan Teknologi Asing]

Selain PPN, perusahaan yang belum berbentuk BUT juga tidak berkewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh). Karena syarat untuk memungkin PPh oleh sebuah perusahaan multi-nasional adalah berbentuk BUT. Menurut Ditjen Pajak penghasilan yang didapat Google di Indonesia sudah sangat besar, sehingga perlu adanya sebuah penelusuran.

Status kantor Google Indonesia sebagai kantor perwakilan

Google Indonesia saat ini sudah berstatus sebagai sebuah PT dan memiliki kantor di Indonesia. Namun menurut Ditjen Pajak, seperti disampaikan oleh keterangan pers Hanif, kantor tersebut saat ini hanya menjadi sebuah representasi atau kantor perwakilan, belum menjadi sebuah BUT. Kantor perwakilan umumnya hanya menjadi perantara menyetorkan sebagian kecil dari nilai transaksi keseluruhan. Dalam hal ini Hanif menilai yang disetor baru fee saja, nilainya cuma beberapa persen dari revenue.

Upaya untuk penelusuran terhadap Google ini tampaknya juga menjadi sebuah ambisi kuat pemerintah. Dukungan salah satunya dilontarkan oleh Komisi XI DPR RI, dalam hal ini disampaikan oleh Mukhammad Misbakhun. Pihaknya menuntut Ditjen Pajak untuk bertindak tegas, bahkan meminta otoritas perpajakan di Indonesia melakukan tindakan yang lebih tegas jika pihak Google tidak kooperatif terhadap pemeriksaan.

Penolakan Google untuk pemeriksaan kini memaksa Ditjen Pajak untuk meningkatkan ke tahap investigasi.

Bukan terjadi di Indonesia saja

Permasalahan yang dilatar belakangi pajak oleh otoritas pemerintahan terhadap Google bukan baru pertama kali ini terjadi. Sebelumnya pada bulan Mei lalu kantor Google di Paris juga diperkarakan karena pajak. Penyidik pajak setempat menggerebek kantor perwakilan yang terletak di seputaran aera Gare Saint-Lazare.

Dari pihak Google Indonesia pun belum menyatakan apa yang akan dilakukan untuk menghadapi permasalahan ini. Pun demikian tanggapan terkait tuduhan pelanggaran yang dilontarkan kepadanya. Kami masih mencoba terus berkomunikasi dengan pihak Google Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini tentang langkah-langkah yang akan ditempuh Google untuk menyelesaikan masalah ini.

Bagaimana Founder Menyikapi Keragaman dalam Kultur Startup

Sebuah lembaga riset independen Lawless Research baru saja merilis sebuah laporan berjudul “Tech Startups: Diversity & Inclusion”. Melibatkan sekurangnya 700 founder startup sebagai responden, laporan ini banyak mengemukakan fakta unik seputar pendekatan kepemimpinan. Salah satu yang cukup disorot adalah kultur keragaman dalam sebuah habit kepemimpinan. Rata-rata para founder setuju bahwa keragaman penting ditumbuhkan dalam lingkungan tim.

Keragaman yang dimaksud di sini adalah keragaman dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya keragaman gender, keahlian, latar belakang hingga passion. Dalam ekonomi global yang kompetitif ini diyakini bahwa keragaman tersebut menjadi elemen kunci untuk menghasilkan berbagai macam terobosan baru. Riset ini akan turut mengemukakan bahwa keragaman yang semakin tinggi akan mengantarkan bisnis pada pendapatan yang lebih tinggi, termasuk pencapaian pangsa pasar yang lebih besar, dan yang paling penting retensi karyawan akan menjadi lebih baik.

Hasil penelitian terkait dengan kultur keragaman di startup / Lawless Research
Hasil penelitian terkait dengan kultur keragaman di startup / Lawless Research

Pertanyaan selanjutnya tentu mengerucut pada tujuan yang diharapkan dari keragaman tersebut. Dan masih tentang keyakinan mayoritas para founder yang menjadi responden dalam survei. Pada dasarnya sebagian besar meyakini bahwa keragaman di sebuah tim bisnis akan cenderung memberikan dampak positif ke dalam alur usaha. Namun secara lebih spesifik yang banyak diyakini dan diharapkan dari sebuah keragaman dalam tubuh bisnis adalah munculnya ide kreatif dan inovasi berkat pemikiran dan sudut pandang yang beragam. Millennials dihadapkan pada sebuah era disruption. Penemuan atau pendekatan baru banyak diupayakan untuk menggantikan model tradisional yang sudah berjalan mapan. Dan untuk mewujudkannya inovasi menjadi proses kunci di dalamnya.

Temuan menarik yang ada dalam riset justru hal yang kaitannya dengan peningkatan nilai finansial memiliki persentase yang cukup kecil. Sedangkan strategi penyelesaian masalah menjadi salah satu prioritas yang ingin dicapai. Ini turut mengindikasikan bagaimana pola pikir pemimpin di lanskap startup dalam mengalihkan prioritas. Bisa disimpulkan secara sederhana, kesempurnaan produk atau layanan menjadi fokus di ranking teratas.

Apa yang diharapkan dari sebuah keragaman dalam kultur startup / Lawless Research
Apa yang diharapkan dari sebuah keragaman dalam kultur startup / Lawless Research

Membahas tentang sumber daya manusia (SDM), laporan tersebut turut menyinggung tentang bagaimana seorang founder menghadapi “unconscious bias”, sebuah bias yang disebabkan karena seorang individu yang secara implisit banyak membawa dampak merugikan kepada anggota tim. Sebanyak 92 persen dari para responden mengaku akrab dengan keadaan itu, namun hanya 43 persen yang mengaku mengupayakan untuk mereduksi bias tersebut. Cara paling umum yang ditempuh untuk mengurangi bias adalah melakukan diskusi informal mengenai topik tersebut dan melakukan audit dalam kriteria dan proses perekrutan, termasuk beberapa melakukan training terpadu.

Upaya-upaya yang digalakkan untuk menelurkan keragaman kultur startup / Lawless Research
Upaya-upaya yang digalakkan untuk menelurkan keragaman kultur startup / Lawless Research

Beberapa founder juga melakukan tindakan strategis dari dini untuk membentuk sebuah keragaman di dalam kultur kerja startup masing-masing. Umumnya ada tiga hal yang ditekankan untuk meningkatkan keragaman tersebut, yakni melalui proses seleksi, proses pelatihan dan penawaran benefit bagi si pekerja. Startup yang memiliki keragaman lebih pada tim teknis lebih banyak membakukan policy proses perekrutan, termasuk wawancara.

Untuk membentuk keanekaragaman (terutama dari sisi kepemimpinan), umumnya diadakan pelatihan khusus pengembangan profesi dan juga program mentoring yang memfokuskan pada penanaman prinsip-prinsip kepemimpinan.

Peluncuran Crop Enhancement di Indonesia dan Tantangan Klasik Startup Agritech

Meski tak seramai sektor fintech atau e-commerce, startup di bidang agritech (agro-technology) secara perlahan terus memperkuat eksistensinya di lanskap startup global. Baru-baru ini startup bentukan salah seorang profesor Teknik Kimia University of California bernama Crop Enhancement banyak disorot pasca pendapatan pendanaan Seri B sebesar $ 8,5 juta.

Agritech yang didirikan David Soane ini berencana akan meluncurkan produknya di Indonesia, Tiongkok, Malaysia dan Taiwan. Dengan pengalamannya sebagai seorang serial entrepreneur dan akademisi, produk Crop Enhancement diyakini akan berdampak pada sektor agro di wilayah tersebut.

Crop Enhancement akan menghadirkan sebuah solusi bagi dunia pertanian dalam mengurangi infeksi hama atau penyakit tanaman dan mengurangi penggunaan pestisida dengan menghadirkan produk kimia yang lebih bersahabat. Tak hanya itu, dalam penyemaian, produk tersebut dikemas dengan pendekatan berbasis teknologi. Penerapan teknologi lebih kepada penggantian alat semprot tradisional dengan sistem yang lebih otomatis. Pendekatan ini dinilai akan banyak memberikan efisiensi dalam penyebaran zat pelindung tersebut.

Tantangan startup agritech mengubah kultur pertanian

Investasi di bidang startup agro / TechCrunch
Investasi di bidang teknologi agro / TechCrunch

Bisnis pertanian menjadi salah satu yang masih kurang ter-disrupt dalam hype startup saat ini, terutama yang bersentuhan langsung dengan sistem produksi yang ada di dalamnya. Tantangannya cukup unik. Contohnya saat melihat dalam cakupan pertanian di Indonesia, proses tradisional masih menjadi panutan. Tantangannya juga pada sulitnya mengubah kultur tersebut.

Sederhananya ketika harus menggantikan dari membajak sawah dengan kerbau menuju traktor saja membutuhkan proses yang cukup lama, maka terbayang jelas bagaimana jika sistem komputasi (misalnya berbasis Internet of Things) diimplementasikan. Edukasi kepada pengguna menjadi hal rumit yang harus dihadapi secara rumit.

Beberapa startup memilih menjangkau kepada sistem yang lebih sederhana, misalnya bagaimana menjembatani antara petani dengan calon pembeli melalui portal online, atau menyajikan kanal penghubung antara petani dengan investor. Beberapa startup, termasuk di Indonesia, memang sudah mencoba masuk ke sistem produksi, namun alat yang mereka kembangkan umumnya masih digunakan oleh kalangan terbatas saja. Bahkan banyak yang baru tahap pengujian.

Sektor pertanian, kendati di beberapa negara seperti Indonesia masih terbilang kurang “mewah”, diyakini ke depan akan semakin besar. Simpelnya makanan adalah kebutuhan pokok, dan semua orang membutuhkan komoditas tersebut. Sesederhana itu potensi yang akan menumbuhkan agtech. Cepat atau lambat solusi modern untuk bisnis pertanian akan kian dicari, atau bahkan digemari. Itu hanya masalah waktu, dan mungkin membutuhkan panutan untuk berlari.

Berkomitmen Menjadi Pusat Digital Nasional, Telkom Siap Lakukan Akuisisi

Disampaikan oleh Direktur Utama PT Telkom Alex J. Sinaga dalam sebuah acara di Jakarta, bahwa kini pihaknya tengah melirik perusahaan digital yang prospektif di wilayah Asia Pasifik untuk memperkuat sepak terjang perusahaan di dalam bisnis digital, khususnya online. Pengembangan bisnis dari sisi layanan juga diperlukan untuk mengimbangi perluasan infrastruktur yang terus digalakkan oleh BUMN telekomunikasi nasional ini.

Alex pun turut mengutarakan visinya untuk membangun kemajuan melalui digitalisasi ekosistem di berbagai sektor bisnis. Salah satu fokus penguatan digitalisasi ini adalah untuk digital tourism, sebuah pendekatan digital menyeluruh yang merangkul bidang pariwisata, bidang transportasi (digital transportation), bidang perbankan (digital payment) dan bidang maritim & logistik (digital seaport).

Sektor pariwisata adalah salah satu yang dinilai dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global, begitu seperti diutarakan oleh Alex. Untuk mendukung tercapainya cita-cita terebut, berbagai layanan perlu diintegrasikan, misalnya layanan big data analytic, digital marketing dan penyediaan solusi berbasis TIK lainnya yang sesuai dengan value chain dari masing-masing industri. Untuk itu peranan dari bermacam ahli (dalam hal perusahaan yang memiliki produk terkait) dibutuhkan.

Tak hanya itu, untuk sistem yang bersinggungan langsung dengan konsumen, seperti e-commerce atau e-ticketing pun turut menjadi sasaran. Untuk mewujudkan semua itu, menjadikan Telkom sebagai pusat digital nasional, maka penambahan armada kekuatan diperlukan. Perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik yang kompeten akan menjadi sasaran. Namun Alex pun menegaskan, jika nantinya dilakukan akuisisi maka akan tetap memperhatikan berbagai unsur, termasuk regulasi.

Aplikasi Percakapan Audio Pundit Resmi Meluncur, Segera Hadir di Pasar Asia

Aplikasi obrolan komunitas berbasis audio Pundit resmi meluncurkan ke publik bersamaan dengan debutnya di Startup Battlefield TechCrunch Disrupt San Francisco setelah sebelumnya baru dirilis dalam versi beta. Selain mendemokan karyanya, Co-founder Pundit Billy Shaw Susanto turut memaparkan bahwa dalam waktu dekat Pundit akan segera meluncur untuk pengguna di kawasan Asia. Selain itu, versi Android juga akan segera diluncurkan. Seperti diketahui saat ini Pundit baru tersedia untuk platform iOS saja.

Pundit memungkinkan pengguna untuk memulai percakapan singkat dengan rekaman suara, dikenal dengan “Pundit Talks” pada topik favorit yang mereka ikuti. Setiap orang hanya berhak mengirimkan suaranya dalam 30 detik waktu perekaman suara. Untuk menambah keseruan dalam penggunaan, beberapa efek suara seperti robot, kartun tupai hingga monster turut ditambahkan, layaknya sebuah filter suara.

“Saya menyebutnya sebagai ADD-Generation, generasi ini tidak menikmati podcast sebanyak,… katakanlah seperti mereka bermain di Snapchat,” ujar Billy selaku CEO Pundit.

Dalam keyakinan tim Pundit, di era social and mobile-first seperti saat ini, media interaktif seperti musik, foto dan video telah berevolusi. Dan sekarang Pundit ingin membawa percakapan berbasis suara di tingkatan yang lebih menyenangkan, yakni membuatnya menjadi interaktif dan ringan untuk dibawakan.

Perbandingan pengguna Instagram, Snapchat dengan layanan Podcast / US Market
Perbandingan pengguna Instagram, Snapchat dengan layanan Podcast / US Market

Make voice fun again

Di aplikasi Pundit, pengguna dapat mendengarkan talkshow singkat sesuai dengan topik favoritnya, atau dikenal dengan “Pundit Talks”. Setiap followers topik dapat menanggapi celotehan tersebut, dengan merekam suara dengan durasi 30 detik. Durasi pendek ini sengaja diciptakan agar orang-orang yang ingin berpartisipasi dapat fokus menyampaikan konteks pembicaraan dan memberikan rasa nyaman bagi para pendengar.

Modelnya pun dapat sahut-menyahut, sehingga ketika didengarkan secara berurutan akan lebih membangun suasana obrolan virtual yang interaktif. Di setiap perekaman Pundit juga dapat menambahkan beragam fitur. Selain filter suara tadi, pengguna juga dapat menambahkan iringan musik latar belakang untuk melengkapi nada suara menyesuaikan emosi si pengguna. Ada juga fitur Pundit Voicebox untuk percakapan yang bersifat pribadi, dan pesan-pesan akan otomatis kedaluwarsa setelah 24 jam.

Menargetkan kreator dan brand mengembangkan konten audio

Selain untuk interaksi berbasis komunitas, Pundit juga menargetkan pengguna komersial kepada brand untuk berbincang tentang produknya melalui percakapan audio interaktif. Diyakini juga bahwa akan muncul kreator Punditer (ala YouTouber) yang berkarya melalui media percakapan audio. Hal ini turut yang akan dipicu untuk menumbuhkan geliat interaksi dalam aplikasi Pundit.

Menargetkan interaksi antara insan kreatif dan brand untuk mengaktifkan interaksi pengguna / Pundit

Pendiri asal Indonesia dan inkubasi di Disney Accelerator

Pundit didirikan oleh tiga Co-Founder lulusan New York University, yakni Chris Aston, Jason Ji, dan Billy Shaw Susanto. Salah satu Co-Founder yang juga CEO Pundit Billy Susanto adalah pelajar Indonesia yang merantau ke negeri Paman Sam tersebut. Pundit lahir dan dibesarkan dalam Disney Accelerator yang didukung Techstars.

[Baca juga: Layanan Tanya Jawab Berbasis Audio Pundit Melenggang ke Program Disney Accelerator]

Berada dalam lingkungan inkubasi Disney turut membuat Pundit merangkul beberapa brand besar seperti ABC dan Hollywood Record untuk versi beta-nya. Sehingga dalam aplikasinya sempat menampilkan sesi Ask-Me-Anything (AMA) seperti Comic Con New York, ABC Family. Prestasi ini turut menghadirkan lebih dari 40.000 pengguna dalam sesi Pundit tersebut.

Snack-able audio akan terus bersinar. Banyak perusahaan yang berinvestasi pada sumber daya berbasis mobile audio (smart/wireless earbuds, AirPods dan sebagainya), Pundit melihat masa depan yang cerah tidak hanya untuk konsumsi pendek berbentuk konten audio, tetapi juga kreasi di dalamnya,” pungkas Co-Founder dan COO Pundit Chris Aston.