Produk Digital Bisa Jadi Pendukung Ekonomi Syariah di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah memiliki master plan ekonomi syariah 2019-2024. Di dalamnya terdapat gambaran, tantangan, peluang, dan hal lain pendukung pertumbuhan perekonomian syariah. Yang menarik, ekonomi digital dan produk syariah digital masuk dalam kategori yang berpeluang merangsang pertumbuhan.

Pada 2019 silam, Cambridge Institute of Islamic Finance dalam laporan bertajuk Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019 menempatkan Indonesia di posisi teratas dalam hal kepemimpinan dan potensinya dalam perbankan dan keuangan islam global. Mengalahkan dominasi Malaysia sejak tahun 2011.

Di laporan State of Global Islamic Economy Report 2019/2020, Indonesia berada di posisi 5 (skor 49) dari total 73 negara. Penilaian laporan ini dihitung dari sejumlah sektor pendukung ekonomi syariah, seperti keuangan syariah, makanan halal, wisata ramah muslim, fesyen, media dan rekreasi, hingga farmasi dan kosmetik.

Keseriusan pemerintah Indonesia juga ditandai dengan adanya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) dan program-program yang dijalankannya. Lembaga ini ditugasi untuk menjadi katalisator dalam upaya mempercepat, memperluas dan mengembangkan ekonomi syariah.

Posisi digital di ekonomi syariah

Dalam dokumen master plan ekonomi syariah yang dikeluarkan pemerintah industri digital diposisikan sebagai sesuatu yang bisa memberikan dampak positif. E-commerce misalnya, bisa dinilai menjadi satu hal yang mengakselerasi pertumbuhan UKM syariah, baik itu untuk produk halal, wisata halal, fesyen muslim, dan semacamnya.

Termasuk juga produk keuangan syariah, dalam hal ini produk/layanan teknologi finansial. Baik itu produk pinjaman, pembiayaan, atau lainnya.

Fintech syariah di Indonesia menyimpan potensi sendiri di Indonesia. Tentu tidak hanya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, tetapi sistem atau nilai-nilai yang ditawarkan cukup banyak diminati masyarakat Indonesia.

Berkaca pada produk finansial syariah yang lebih dulu hadir produk syariah bisa diposisikan sebagai pilihan lain dari produk-produk yang ada. Masyarakat bisa dengan bebas menimbang, memperhatikan, dan memilih produk yang dirasa cocok dan sesuai. Produk perbankan misalnya, tidak sedikit yang memilih produk perbankan syariah karena akad, perhitungan, dan sistem yang ada di dalamnya.

Industri fintech dalam lima tahun ke belakang memang terus mengalami pertumbuhan. Selain ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mulai akrab dengan layanannya pertumbuhan ini juga ditandai dengan berbagai macam bentuk produk dan layanan yang hadir. Kini tak hanya soal pinjaman dan investasi, tetapi juga merambah sistem pembayaran, e-money, POS system, dan lainnya.

Di Indonesia sendiri sudah Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI). Berdiri sejak tahun 2017 asosiasi ini terdiri dari kalangan startup, institusi, akademisi, dan pakar yang memiliki tujuan mendorong pertumbuhan teknologi keuangan syariah.

Di samping itu produk digital lainnya juga mulai muncul dan semakin siap menggarap peluang. Sebut saja industri travel umroh digital, industri makanan halal, layanan pembayaran, hingga produk gaya hidup. Tercatat beberapa nama yang mulai menghadirkan layanan produk atau layanan syariah antara lain Qazwa, Waqara, Investree, LinkAja, Akulaku, Alami, Duha Syariah, Bsalam, Syarfi, GoHalalGo, Umra, Hijup, PergiUmroh, Hijabenka, dan lainnya.

Langkah pemerintah

Ada tiga langkah quick wins yang disusun pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital, khususnya dalam sumbangsihnya dalam ekonomi digital. Yang pertama adalah mengembangkan online marketplace dan sistem pembayaran halal. Dalam hal ini berupaya untuk mengembangkan marketplace yang secara spesifik menjual produk baik itu barang maupun jasa halal, lengkap dengan transaksi menggunakan sistem pembayaran halal.

Yang kedua, menyediakan panduan usaha digital dan panduan kepatuhan syariah yang da[at diakases oleh publik. Sehingga masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan informasi sebuah produk sekaligus mendorong pengusaha yang ingin mengembangkan produk atau jasa yang mengikuti nilai-nilai syariah.

Yang terakhir adalah meningkatkan literasi digital terkait dengan industri halal  dan halal value chain bagi pelaku ekonomi syariah melalui beberapa kegiatan.

Jika dilihat dari segi peluang bisnis Ini bisa jadi waktu yang tepat bagi startup atau perusahaan teknologi untuk masuk ke pasar syariah dan mengisi peluang yang sudah mulai bermunculan. Industri yang semakin matang, masyarakat mulai terbiasa dengan produk keuangan digital, dan dukungan komunitas atau asosiasi bisa jadi kendaraan untuk bersama-sama mengembangkan industri.

Cerita Penyedia Pinjaman Dana Pendidikan di Indonesia

Ada banyak permasalahan di Indonesia terkait dengan pendidikan. Tidak hanya soal kurikulum dan belajar yang efektif, tetapi juga akses terhadap pendidikan itu sendiri. Modal atau biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan ilmu dari kursus atau jenjang pendidikan tinggi tidaklah murah. Bagi sebagaian orang cukup memberatkan. Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa program dan insentif untuk membantu akses ini, salah satunya KIP-Kuliah.

Alternatif lain yang bisa jadi pilihan adalah platform pinjaman dana pendidikan. Konsepnya seperti layanan peminjaman dana untuk modal, bedanya dana yang dipinjamkan harus diperuntukan untuk pendidikan. Tentu dengan kesepakatan dan tanggung jawab berbeda di setiap platform peminjaman. Beberapa startup yang memiliki produk atau layanan peminjaman untuk dana pendidikan antara lain Pintek, KoinPintar dari KoinWorks, dan DanaDidik.

Co-founder & Direktur Utama Pintek Tommy Yuwono menjelaskan, di Indonesia 1 dari 4 anak lulusan sekolah atas tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, karena biaya pendidikan mahal.

“Bisa dikatakan biaya pendidikan di Indonesia dibandingkan pendapatan per kapita 150% dari GDP, sedangkan di Amerika biaya pendidikan dibandingkan pendapatan perkapita hanya 51% dari GDP,” cerita Tommy.

Co-Founder & CEO KoinWorks Benedicto Haryono menyampaikan hal senada. Mengingat jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia yang cukup tinggi dan terbatasnya pemberian beasiswa setiap tahun, layanan peminjaman dana pendidikan bisa jadi solusi tidak terjangkaunya biaya pendidikan tinggi di Indonesia.

“Selain itu, Pemerintah juga [seharusnya] memberikan dukungan penuh agar program pinjaman pendidikan di Indonesia dapat benar-benar terlaksana. Apalagi saat ini fokus pembangunan pemerintah berada di perbaikan kualitas SDM untuk menuju “Indonesia Maju”, yang mana perbaikan kualitas SDM dapat ditempuh lewat kualitas pendidikan yang bagus,” lanjut Benedicto.

Pendidikan yang dijangkau platform pinjaman pendidikan tidak hanya terbatas pada pendidikan formal seperti perguruan tinggi atau sekolah vokasi, tetapi juga kursus di berbagai macam bidang, seperti pemrograman, data science, bisnis, hingga kursus bahasa.

Lazimnya pinjaman, untuk dana pendidikan ini juga dikenai angsuran bulanan atau yang disepakati, demikian juga besarannya. Di luar sana juga ada mekanisme ISA (Income Share Agreement), sebuah mekanisme yang memungkinkan pembayaran pinjaman dilakukan dengan memberlakukan potong gaji setelah bekerja. Besaran dan hal lainnya tergantung kesepakatan yang berlaku.

Kasus fintech ilegal dan tantangan yang dihadapi

Industri teknologi finansial di Indonesia sempat diterpa kabar tak baik berkat ulah sejumlah perusahaan fintech tak berizin yang masif masuk ke Indonesia. Sentimen negatif ini pun sedikit banyak memberikan pengaruh ini terhadap industri keseluruhan, termasuk niche pinjaman pendidikan.

Benedicto menceritakan, maraknya fintech ilegal memberikan dampak kepada brand KoinWorks sebagai salah satu perusahaan fintech. Namun menurutnya seiring berjalannya waktu dan industri yang terus tumbuh pemahaman masyarakat terkait layanan fintech semakin membaik. Terbukti dari jumlah pengguna KoinWorks di tahun 2019 yang meningkat 178% dibandingkan periode sebelumnya.

Sementara itu CEO DanaDidik Dipo Satria menilai maraknya kasus fintech ilegal bepengaruh pada stigma masyarakat terhadap industri fintech di Indonesia. Untuk melawan stigma negatif itu, Danadidik melakukan serangkaian sosialisasi di depan mahasiswa dan kampus.

“Fintech student loan seperti DanaDidik yang telah terdaftar dan diawasi OJK padahal sebenarnya dapat menjadi jawaban bagi mahasiswa yang ingin kuliah mandiri tetapi terhalang biaya kuliah yang mahal. Stigma kampus dan mahasiswa soal pinjol (pinjaman online) karena pinjaman ilegal membuat calon peminjam menjadi khawatir,” ujar Dipo.

Ia juga menambahkan bahwa pinjaman dana pendidikan merupakan niche baru yang belum banyak masyarakat tahu, sehingga memperkenalkan produk dan industri kepada khalayak ramai menjadi bagian penting dalam perjalanan DanaDidik.

Kepercayaan masyarakat terhadap industri teknologi finansial di Indonesia juga menjadi perhatian khusus Tommy. Menurutnya semua pemilik layanan peminjaman legal, AFPI, dan juga OJK tengah berusaha bersama-sama memerangi kasus fintech ilegal dengan bersama-sama mengedukasi masyarakat luas. Itu menjadi salah satu tantangan utama yang harus diperangi bersama.

“Selain itu, adanya persepsi negatif mengenai ‘pinjaman’. Padahal, tidak semua pinjaman itu bersifat negatif. Sebagai contoh layanan pinjaman yang Pintek berikan yaitu pinjaman untuk investasi. Kami mempermudah masyarakat untuk investasi melalui pendidikan, yang nantinya akan sangat berguna untuk dirinya sendiri dalam mencari pekerjaan, dapat membantu pemenuhan kebutuhan keluarganya, juga berkontribusi pada perekonomian negara. Jadi, tidak semua pinjaman itu bersifat negatif,” ujar Tommy.

Introducing “Equity Crowdfunding” Platform in Indonesia

The concept of offering stock through crowdfunding or known as equity crowdfunding (ECF) began to emerge in Indonesia. Some new platforms are adopting the concept. There are three startups officially acquired license form OJK per December 2019, namely Santara, Bizhare, and CrowdDana.

Simply put, the ECF platform presents to help business or projects to raise a fund with the crowdfunding mechanism. Then, those who participated (investors) will receive shares with adjusted percentage.

It’s similar to an investment, the ones who “plant” their money into a business or project will eventually receive the outcome. Obviously, with various amounts based on different risks.

The FSA has already issued regulations regarding the ECF as stated in POJK Number 37 of 2018 concerning Crowdfunding Services through Information Technology-Based Stock Offering. It regulates platforms, investors, and the amount of money raised from crowdfunding.

Further details on the ECF platform in Indonesia

Of the three services which officially obtained OJK license (per December 2019), two of them come with the same concept, namely Santara and Bizhare. Both are creating opportunities for SMEs to offer their shares through platforms and raise funds. Looking for a different market, CrowdDana allows offering shares/investments in property assets to be more affordable.

Santara‘s CEO, Avesena Reza claims that they currently have the largest distribution of funds, investor base, and publishers. However, he did not reveal the exact number. In fact, Santara’s optimism is visible through their plans in 2020.

Starting from building portfolio management, strengthening risk management, network distribution, and adding technology into the execution plans to-do-list.

“We’ve made various improvements in terms of technology, such as user experience, easy access, integration with Dukcapil, collaboration with other technology players. We also plan to implement blockchain technology later this year, as a back-office recording mechanism for all digital assets,” Reza explained.

A similar statement comes from Bizhare‘s Founder & CEO, Heinrich Vincent. He said they already had 35 thousand investors from 34 provinces throughout Indonesia by 2020. The distributed fund has reached Rp27 billion, with total dividends to investors reaching Rp1.5 billion per January 2020.

“Our plan in 2020 is to help more SMEs in Indonesia gain more benefits and rapid expansion, by improving our analysis system while conducting education and utilizing digital technology to assist them. In addition, we will also launch a secondary market feature for investors, to be able to sell their shares, as well as other surprises that we will inform soon,” Vincent added.

Meanwhile, CrowdDana announced two boarding projects successfully funded earlier this year. The value reached Rp14.6 billion and it is likely to increase by now. In their latest interview with DailySocial, they mentioned there will be a new vertical, namely the food and service business.

“From the public and franchise business owners’ responses, the demand is huge. On the investor side, investing in a restaurant or service business is also easier to understand, compared to property. From the publisher [franchise owner] side, they are to expand the business but have no access to financial funding,” CrowdDana’s Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer, Stevanus Iskandar Halim said.

The possibility for the ECF industry is getting wide open since some companies have entered the processing stage for a license. One of which is Likuid, an ECF platform that offers stock offering services for creative projects.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Appreciated regulations and education on progress

The regulation issued by FSA is very appreciated by Reza and Vincent. Both agreed on the current beleid is enough to protect the industry, either for investors, platforms, or businesses. However, it still requires coordination to keep the regulation relevant to the current situation in the field.

“To date, the equity crowdfunding regulation in Indonesia is enough to keep all parties fulfilled, from the Providers, Issuers, or Investors. Although there are still some things to improve, especially in terms of adjustment to players on field,” Vincent said.

Meanwhile, Reza said, “In terms of principle, the issuance of POJK 37 is a quite a good step to legitimize that the ECF platform activities are licensed by the regulator or the FSA, not a bulging investment. The regulation that is yet to have its complexity related to the implementation of the ECF is a potential that should be optimized for the organizing platform to innovate / breakthrough in existing business processes.”

Currently, the challenge has been on public education and business owners. In terms of the public, there is an urgency to socialize there are other investment options besides gold, mutual funds, or shares on the stock exchange called equity crowdfunding. Including understanding the existing regulations and risks.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Perluas Layanan, CariParkir Jalin Kerja Sama dengan Secure Parking

Salah satu produk Astra Digital Internasional, CariParkir, mengumumkan kerja sama dengan Secure Parking, salah satu operator parkir terbesar di Indonesia. Penandatanganan kemitraan ini langsung dilakukan oleh Managing Director PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking) Rustam Rachmat dan Presiden Direktur PT Astra Digital Internasional Djap Tet Fa.

“CariParkir memudahkankan layanan untuk parkir di lokasi yang dikelola Secure Parking. Masyarakat nantinya dapat berlangganan parkir di aplikasi,” terang Djap Tet Fa.

CariParkir pertama kali dirilis pada 9 Maret 2018 silam. Sesuai dengan namanya, aplikasi tersebut menawarkan sistem yang memudahkan pencarian lokasi parkir, baik untuk roda dua mupun roda empat. Tidak hanya itu, mereka juga menyediakan berbagai macam fitur lainnya yang mendukung ekosistem perparkiran.

Salah satunya adalah fitur berlangganan yang dinamakan Mobipass. Melalui sistem berlangganan pengguna memiliki privilege untuk parkir di lokasi yang bekerja sama dengan CariParkir, seperti lokasi yang dikelola oleh Secure Parking. Untuk saat ini Mobipass baru dapat digunakan oleh strategic partner dari CariParkir, nantinya Mobipass akan dibuka untuk umum.

Di Indonesia sendiri layanan digital yang menyediakan booking tempat parkir belum banyak. Peluang untuk menjadi yang teratas masih terbuka lebar. Selain CariParkir di industri ini juga ada Parkee, Smark dan Parkirin yang hadir dengan segala jenis fitur dan inovasinya.

Terus memperluas kerja sama

Kerja sama dengan Secure Parking ini bukan yang pertama bagi CariParkir. Sebelumnya mereka juga menjalin kerja sama dengan PT Angkasa Pura II untuk menyediakan layanan digital di Bandara Soekarno-Hatta, Banten.

Brand & Communications CariParkir Almira Mandasari juga menambahkan, mereka sudah bekerja sama dengan raturan mitra parkir yang tersebar di area Jabodetabek, Surabaya, Makassar dan Bali. Lokasinya terletak di sekitar stasiun, pintu tol, terminal, pusat perbelanjaan dan gedung perkantoran.

“Kerja sama mitra tersebut tidak hanya ada untuk Astra Group sendiri tapi juga mitra strategis PT Angkasa Pura II dan Secure Parking. Kami juga membantu memberdayakan parkiran rumahan yang basisnya UMKM dengan tujuan agar melek akan teknologi digital,” imbuh Almira.

Saat ini CariParkir juga tengah mengembangkan layanan on-demand CariServis, sebuah layanan yang bisa melayani servis motor di lokasi parkir. Beberapa penyempurnaan juga masuk dalam agenda, muaranya pada layanan dan kualitas pengguna lebih baik.

Selanjutnya, di tahun ini CariParkir juga akan fokus pada perluasan layanan ke beberapa kota besar lainnya. Ekspansi ini menjadi cukup penting untuk menunjang pertumbuhan bisnis CariParkir dan menyajikan solusi parkir yang mudah ke lebih banyak konsumen.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Platform “Equity Crowdfunding” di Indonesia

Konsep penawaran saham melalui urun dana atau dikenal equity crowdfunding (selanjutnya disebut ECF) mulai bermunculan di Indonesia. Beberapa platform mulai mengadopsi konsep ini. Per Desember 2019 ada tiga startup  yang resmi mengantongi izin OJK yakni Santara, Bizhare dan CrowdDana.

Secara sederhana, platform ECF hadir untuk membantu bisnis atau proyek untuk mendapatkan dana dengan mekanisme patungan. Kemudian mereka yang ikut berpartisipasi (investor) akan mendapat kepemilikan saham dengan persentase yang disesuaikan.

Sama halnya dengan investasi, nantinya mereka yang “menanamkan” dananya ke sebuah bisnis atau proyek juga akan menerima hasilnya. Tentu dengan besaran hasil dan risiko yang berbeda-beda.

OJK sudah mengeluarkan regulasi mengenai ECF yang tertuang dalam POJK Nomor 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan ini mengatur platform, investor, hingga besaran uang yang boleh dikumpulkan dari penawaran saham yang dilakukan.

Lebih jauh soal platform ECF di Indonesia

Dari tiga layanan yang sudah resmi mengantongi izin OJK (per Desember 2019), dua di antaranya memiliki konsep yang sama, yakni Santara dan Bizhare. Keduanya membuka peluang bagi UKM untuk menawarkan sahamnya melalui platform dan menghimpun dana. Mencari pasar yang berbeda, CrowdDana memungkinkan penawaran saham/investasi di aset properti supaya lebih terjangkau.

CEO Santara Avesena Reza mengklaim bahwa mereka saat ini memiliki penyaluran dana, basis investor dan penerbit terbesar. Hanya saja ia tidak menjelaskan berapa jumlah pasti dari ketiganya. Kendati demikian optimisme Santara juga terlihat dari rencana yang ingin mereka lakukan di 2020 ini.

Mulai dari penguatan manajemen portofolio, penguatan manajemen risiko, persebaran jaringan kerja, hingga pengautan teknlogi masuk dalam daftar rencana yang akan dieksekusi.

“Kami melakukan berbagai macam peningkatan dari sisi teknlogi, seperti dari user experience, kemudahan akses, integrasi dengan Dukcapil, jolaborasi dengan pelaku teknologi lain. Penggunaan blockchain juga kami rencanakan diimplementasikan akhir tahun ini, sebagai mekanisme pencatatan back office untuk semua digital aset,” terang Reza.

Hal senada juga disampaikan Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent. Ia menceritakan bahwa sampai 2020 ini mereka sudah memiliki 35 ribu investor yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dana yang disalurkan pun menyentuh angka Rp27 miliar dengan total dividen yang dibagikan ke investor mencapai Rp1,5 miliar per Januari 2020.

“Rencana untuk tahun 2020 ini tentunya kami ingin membantu lebih banyak UKM di Indonesia untuk bisa merasakan manfaat dan ekpansi lebih pesat, dengan meningkatkan sistem analisis kami, sambil melakukan edukasi serta pendampingan kepada mereka dengan memanfaatkan teknologi digital. Selain itu, kami juga akan meluncurkan fitur secondary market untuk para investor, untuk bisa menjual sahamnya, serta kejutan lainnya yang akan kami infokan beberapa waktu ke depan,” terang Vincent.

Sementara itu, di awal tahun ini CrowdDana mengumumkan bahwa sudah ada dua proyek pembangunan indekos yang berhasil didanai. Nilainya mencapai Rp14,6 miliar dan kemungkinan saat ini sudah lebih. Di wawancara terakhir dengan DailySocial, mereka menyebutkan bahwa tahun ini akan masuk ke vertikal baru, yakni bisnis makanan dan jasa.

“Dari respons masyarakat dan pemilik bisnis franchise, permintaannya sangat besar. Dari sisi pemodal [masyarakat], berinvestasi di bisnis restoran atau jasa juga lebih mudah dimengerti, dibanding properti. Dari sisi penerbit [pemilik franchise], mereka ingin melakukan ekspansi bisnis tapi tidak memiliki akses ke pendanaan finansial,” terang Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer CrowdDana Stevanus Iskandar Halim.

Kemungkinan industri ECF kian ramai terbuka lebar mengingat saat ini sudah ada beberapa yang masuk dalam tahap pengurusan izin. Salah satu di antaranya adalah Likuid, sebuah platform ECF yang menawarkan layanan penawaran saham untuk proyek kreatif.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Regulasi yang diapresiasi dan edukasi yang masih terus berjalan

Regulasi yang dikeluarkan OJK diapresiasi Reza dan Vincent. Keduanya sepakat bahwa beleid yang ada saat ini sudah cukup untuk melindungi industri, baik untuk investor, platform maupun bisnis. Kendati demikian kordinasi masih tetap dilakukan untuk menjaga relevansi regulasi dengan kondisi di lapangan.

“Saat ini regulasi equity crowdfunding di Indonesia sebenarnya sudah cukup menjaga kebutuhan berbagai pihak, mulai dari sisi Penyelenggara, Penerbit atau Pemodal. Walaupun memang masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, terutama dari sisi kesesuaian dengan kebutuhan para pelakunya di lapangan,” ujar Vincent.

Sedangkan Reza mengatakan, “Pada prinsipnya dengan dikeluarkannya POJK 37 tersebut merupakan langkah yang cukup bagus untuk melegitimasi bahwa aktifitas yang dilakukan platform ECF sudah seizin regulator atau OJK, bukan investasi bodong. Belum kompleksnya aturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan ECF ini merupakan potensi yang bisa dioptimalkan bagi pihak platform penyelenggara untuk melakukan inovasi/terobosan dalam bisnis proses yang ada.”

Sejauh ini yang menjadi tantangan ECF ada pada edukasi masyarakat dan pemilik usaha. Di sisi masyarakat ada urgensi untuk menyosialisasikan ada opsi lain investasi selain emas, reksa dana, atau saham di bursa saham bernama equity crowdfunding. Termasuk pemahaman regulasi dan risiko yang ada.

iPrice Secures New Funding, Optimistic to Win Southeast Asia

The e-commerce aggregator platform iPrice Group announced new funding worth $10 million or equivalent to Rp141 billion. The series b round led by ACA Investment. Daiwa PI Partners and some previous investors also participated, such as LINE Ventures, and Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund.

Using the fresh money, iPrice aims to be the leading online shopping platform companion in the region and e-commerce enabler for the super app. iPrice’s optimism can’t be separated from its achievement in 2019. They claimed a total of 5 million transactions and over 20 million visits per month.

“The e-commerce industry in Southeast Asia is at the stage we’ve seen very potential. iPrice group is to play an important role, especially with the comprehensive market share. This is the main entrance to the online shopping,” ACA Investment Pte Ltd’s Chief Investment Officer, Tomohiro Fujita said.

In Indonesia, there are existing services that provide price comparison features for e-commerce besides iPrice, including Telunjuk, PricePrice, Pricebook, and PriceArea.

With the predicted growth potential of e-commerce still growing, the presence of a price comparison service with complementary features is considered on-demand by the user. Especially the Indonesian people, including those who are sensitive to prices.

To go beyond the previous achievement

iPrice is currently trying to surpass what they have achieved so far. Not only as a search and price comparison product, but also as a service that provides a list of popular products, reviews from professionals, in-depth information about trading. In addition, iPrice also curates the best offers and deals every day.

“Within the last year, the challenge was quite severe for iPrice to become the price aggregate leader in Southeast Asia. Strengthening our partnership with big merchants and super apps help us to reach our position now and we will continue to be optimistic in order to continue being an e-commerce enabler in Southeast Asia in helping online shoppers and super apps get the best prices on their products,” a spokesman for iPrice Group told DailySocial.

iPrice said that they are currently focusing on increasing markets in countries that do not use English as their primary language. One way to do this in Indonesia is by strengthening partnerships, such as with Home Credit and Line Indonesia. They also tried to create more targeted products that match market needs.

What iPrice has done is claimed as an effort to provide the best experience for buyers.

“To pursue our next journey, we must be positioned where the consumers are. We have to involve users directly on our platform. Continuing our strong presence at Google because it remains an important first step for many buyers and enables partners in all regions such as media platforms, social media applications, all the super apps that appear to provide e-commerce content for their audience,” Co-Founder and CEO iPrice Group, David Chmelar said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Amankan Pendanaan, iPrice Group Optimis Jadi yang Terbaik di Asia Tenggara

Platform agregator e-commerce iPrice Group mengumumkan penerimaan pendanaan terbaru senilai $10 juta atau setara dengan Rp141 miliar. Putaran Seri B ini dipimpin ACA Investment. Turut serta Daiwa PI Partners dan sejumlah investor terdahulu, seperti LINE Ventures dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund.

Dengan dana segar ini iPrice menargetkan menjadi platform pendamping belanja online terbaik di regional dan e-commerce enabler untuk super app. Optimisme iPrice tidak terlepas dari apa yang telah mereka capai pada 2019 kemarin. Mereka mengklaim total 5 juta transaksi dan lebih dari 20 juta kunjungan per bulan.

“Industri e-commerce di Asia Tenggara berada pada tahap yang baru muncul dan kami melihat potensi yang sangat besar. iPrice Group akan memainkan peran penting, terutama dengan cakupan pasar yang komprehensif. Ini adalah gerbang utama menuju belanja online,” jelas Chief Investment Officer ACA Investment Pte Ltd Tomohiro Fujita.

Di Indonesia, selain iPrice, sudah banyak layanan yang menyediakan fitur pembanding harga untuk e-commerce, termasuk Telunjuk, PricePrice, Pricebook, dan PriceArea.

Dengan potensi pertumbuhan e-commerce yang diprediksi masih terus tumbuh, kehadiran layanan pembanding harga dengan fitur-fitur pelengkap di dalamnya dianggap masih dibutuhkan pengguna. Terlebih masyarakat Indonesia termasuk yang sensitif dengan harga.

Berusaha melampaui pencapaian sebelumnya

iPrice saat ini sedang berusaha melampaui apa yang sudah mereka capai sejauh ini. Tidak hanya sebagai layanan pencarian dan pembanding harga produk, tetapi juga sebagai layanan yang memberikan daftar produk populer, review dari para profesional, informasi mendalam mengenai menjual. Selain itu iPrice juga mengurasi penawaran terbaik dan juga deals setiap harinya.

“Untuk satu tahun kemarin tantangan cukup berat dihadapi iPrice untuk bisa menjadi pimpinan price aggregate di Asia Tenggara. Memperkuat kemitraan kami dengan big merchant dan super app membantu kami ke posisi kami sekarang dan kami akan terus optimis untuk bisa terus menjadi e-commerce enabler di Asia Tenggara untuk membantu online shopper and super app mendapatkan harga terbaik di produknya,” terang juru bicara iPrice Group kepada DailySocial.

Pihak iPrice menceritakan pihaknya saat ini fokus meningkatkan pasar di negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Di Indonesia salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memperkuat kemitraan, seperti dengan Home Credit dan Line Indonesia. Mereka juga berusaha menciptakan lebih banyak targeted product yang menyesuaikan kebutuhan pasar.

Apa yang dilakukan iPrice diklaim sebagai usaha untuk memberikan pengalaman terbaik bagi pembeli.

“Untuk mengejar perjalanan kami selanjutnya, kami harus berada di tempat konsumen berada. Kami harus melibatkan pengguna secara langsung di platform kami. Melanjutkan kehadiran kuat kami di Google karena itu tetap menjadi titik awal yang penting bagi banyak pembeli dan memungkinkan mitra di seluruh wilayah seperti platform media, aplikasi media sosial, semua super app yang muncul untuk menyediakan konten e-commerce untuk audiens mereka,” terang Co-Founder dan CEO iPrice Group David Chmelar.

Target TADA Bantu Bisnis dengan “Customer Retention Platform”

TADA saat ini memasuki tahun ke-4 beroperasi sebagai perusahaan teknologi. Banyak hal telah dilalui, mulai dari perubahan nama hingga pendanaan Seri B yang dipimpin oleh Finch Capital. Di tahun 2020 ini TADA mencoba terus meningkatkan kualitas layanannya untuk membantu lebih banyak merchant dan bisnis, terutama dalam hal menjaga kesetiaan pengguna.

TADA saat ini mengusung konsep customer retention platform. Solusi mereka lebih kepada bagaimana merchant atau bisnis bisa mendapatkan lebih banyak pengguna dan menjaganya melalui serangkaian strategi.

Saat ini lebih dari 400 brand sudah bergabung dengan TADA. Strategi marketing yang diterapkan pun beragam, mulai dari digital membership, subscription, referral, dan digital rewards platform. Mereka juga sudah dipercaya merchant yang beroperasi di Malaysia dan Filipina.

Founder & Managing Director TADA Antonius Taufan menjelaskan, loyalitas pelanggan merupakan tujuan dari setiap perusahaan. Loyalitas ini bisa berdampak baik pada revenue. Sayangnya untuk mendapat loyalitas pengguna bukan perkara yang instan. Salah satu cara untuk mendapatkan loyalitas pelanggan adalah dengan memperkuat engagement.

“Melalui membership program tersebut, Anda bisa mencoba untuk berfokus pada customer experience atau pengalaman pelanggan. Setiap pengalaman positif yang dirasakan oleh konsumen akan berpengaruh terhdap kepuasan yang mereka rasakan. Ketika muncul kepuasan maka konsumen akan terus melakukan pembelian ulang,” terang Antonius.

TADA sebagai customer retention platform menawarkan pengelolaan dan strategi tersebut. TADA saat ini berbasis close loop, artinya setiap brand memiliki poin dan kartunya masing-masing, sehingga memberikan engagement secara ekslusif antara brand dan pelanggan.

Tetapi dari segi redemption rewards mereka mendukung open dan close loop rewards. Dengan ratusan merhant di dalamnya TADA cukup optimis ekosistem yang mereka bentuk merupakan value yang bisa jadi pertimbangan brand dalam mencari solusi menjaga loyalitas pengguna.

“Tantangan sebagai CRP di Indonesia dan sebesar apa potensi yang ingin digali  Mengedukasi client benefit dari retention bahwa melakukan retensi pelanggan lebih murah daripada akuisisi. Itulah mengapa kami mengadakan customer retention expert class yang diadakan dua bulan sekali,” imbuh Antonius.

Rencana di 2020

Melanjutkan perjalanannya, TADA masih berusaha membantu merchant dan bisnis untuk mengelola retensi pengguna. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah program berlangganan, seperti paket langganan yang diterapkan di aplikasi Gojek dan Grab.

“Kami ingin membantu brand untuk mempunyai program serupa (paket berlangganan). Demikian juga dengan referral di mana Tokopedia dan Gojek mempunyai hal serupa seperti Tokopedia Buy Me dan Gojek Referral Code. Di sini TADA membantu para brand untuk mempunyai program serupa dengan suite customer retention platform yang dimiliki,” terang Antonius.

Antonius menambahkan, tujuan akhir program retensi pelanggan ini adalah meningkatkan profit dengan menghadirkan program yang berfokus pada peningkatan frekuensi dan transaksi per pelanggan. Hal ini sesuai dengan misi TADA untuk menjadi salah satu platform B2B berbasis teknologi karya anak bangsa yang diakui di mancanegara.

Application Information Will Show Up Here

Snapask Kenalkan Aplikasi Belajar Online Berbasis Tutor

Snapask, startup teknologi pendidikan asal Hong Kong mulai menggarap pasar Asia, termasuk Indonesia. Beberapa pelokalan konten mulai disiapkan. Gerak ekspansi mereka dimulai berkat suntikan dana segar senilai Rp700 miliar pada tahun 2020 ini. Di dalamnya termasuk pendanaan terbaru sebesar Rp487 miliar yang didapat dari Asia Partners (Singapura) dan Intervest (Korea Selatan).

Solusi yang ditawarkan Snapask adalah berupa aplikasi belajar one-on-one dengan tutor secara online. Pengguna bisa menanyakan masalah tugas atau hal lain yang ingin dipelajari. Gamifikasi yang ada di dalam sistem juga dinilai menjadi hal yang membuat pengguna betah, terlebih bagi mereka yang berada di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

CMO Snapask Katherine Cheung kepada DailySocial menjelaskan, pengguna bisa mengabil foto pekerjaan rumah atau persoalan mereka, kemudian mengunggahnya melalui aplikasi. Selanjutnya Snapask akan menghubungkan mereka dengan tutor sesuai kebutuhan. Klaim waktu yang dibutuhkan untuk mencari tutor ini ada di angka 15 detik. Fitur Q&A dan Mini Class (sesi 30 menit dengan pertanyaan unlimited) adalah yang jadi unggulan.

“Kami melihat potensi besar di pasar Indonesia. Sebagian besar negara seperti Indonesia, sumber daya pendidikan sangat terpusat di kota-kota besar seperti Jakarta. Snapask ingin menjembatani kesenjangan antara pusat kota dan daerah pedesaan, untuk membuat sumber daya pendidikan terbaik tersedia untuk semua siswa,” imbuh Khaterine.

Teknologi pendidikan di Indonesia yang kian mendapat tempat di masyarakat

Di Indonesia ada banyak jenis startup teknologi pendidikan. Ada yang menyasar mereka yang sedang mengenyam pendidikan formal seperti Zenius, Ruangguru dan HarukaEdu. Ada juga yang menargetkan mereka yang ingin menambah keterampilan seperti Dicoding, Kode.id, Skill Academy, Vokraf, dan masih banyak lagi.

Gaung mengenai teknologi pendidikan semakin kencang semenjak Presiden Joko Widodo menunjuk founder Gojek Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, juga founder Ruangguru Belva Devara sebagai Staf Khusus Presiden. Keduanya diharapkan bisa memberikan dampak positif, terutama pada pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia.

Menghadapi kondisi ini Snapask terbilang cukup percaya diri. Sekarang mereka sudah memiliki tim yang ada di Jakarta untuk pelokalan konten, termasuk juga untuk rekrutmen tutor melalui serangkaian seleksi.

“Selalu kualitas layanan yang paling dihargai oleh Snapask. Kami memiliki aturan seleksi yang paling ketat untuk tutor kami, untuk memastikan semua tutor memenuhi syarat untuk mengajarkan pertanyaan yang diajukan siswa. Itu adalah sesuatu yang tidak dapat Anda temukan di platform lain, dan kami sangat bangga untuk terus memberikan janji bimbingan terbaik kami kepada pengguna kami,” jelas Khaterine.

Tak hanya Indonesia, Snapask juga menjajaki pasar Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang dan Korea Selatan; sejak lima tahun kiprahnya sebagai perusahaan teknologi pendidikan. Terbaru, dengan pendanaan yang didapat Vietnam akan menjadi pasar selanjutnya. Mereka juga akan mendirikan kantor pusat regional Asia Tenggara di Singapura.

Sementara untuk pasar Indonesia Snapask mengaku masih akan fokus pada memperkaya konten lokal yang berkualitas. Harapannya dengan banyaknya konten yang berkualitas mereka bisa mengajak pelajar dan masyarakat Indonesia untuk menggunakan Snapask sebagai bagian dalam kegiatan belajar mereka.

Application Information Will Show Up Here

Perkaya Fitur, OY! Indonesia Luncurkan Layanan Remitansi

OY! Indonesia adalah salah satu perusahaan fintech yang terus mencoba memperkaya fitur demi memuaskan pelanggannya. Bermula sejak tahun 2016 degan konsep aplikasi chat, kini mereka menjelma sebagai aplikasi keuangan yang memiliki fokus untuk memudahkan kehidupan finansial secara menyeluruh.

OY! Indonesia mengklaim diri sebagai wallet aggregator, sebuah layanan yang memungkinkan pengguna untuk menghubungkan berbagai macam kartu debit yang dimiliki untuk bisa langsung bertransaksi atau melakukan transfer. Sederhananya mereka berusaha menjadi sebuah aplikasi mobile banking yang menghubungkan banyak akun perbankan di satu kanal.

Kini startup yang digawangi Jesayas Ferdinandus, Jan Kristanto dan Hilfi Alkaff baru saja merilis fitur baru, yakni remitansi. Memungkinkan pengguna mengirim dan menerima uang dari luar negeri.

“Mulai tahun ini, fitur transfer uang dalam aplikasi OY! Indonesia tidak hanya antar-bank di dalam negeri namun juga ke luar negeri, dan pastinya dengan biaya transfer yang paling terjangkau. Beberapa negara yang dapat menjadi penerima adalah Singapura, Malaysia, Thailand, India, Korea Selatan dan China,” jelas Head of Marketing Sarah Azzahra Rilyad.

Remitansi mulai banyak diinisiasi perusahaan fintech dalam negeri

Di Indonesia sendiri layanan remitansi ini sudah diterapkan oleh beberapa perusahaan fintech, di antaranya adalah Transfez, per akhir Januari 2020 layanan remitansi mereka sudah bisa menjangkau 37 negara, baik Asia dan Eropa. Uang yang dikirim pun sudah mencapai Rp220 miliar.

Ada juga TrueMoney, yang pada pertengahan 2019 sudah mulai merencanakan fitur remitansi untuk pengiriman ke Malaysia, Singaura, Filipina, Nigeria, dan Pantai Gading. RemitPro, Top Remit juga tak mau ketinggalan. Layanan terbaru dari Digiasia Bios ini bermitra dengan Western Union.

Selain perusahaan fintech dalam negeri penyedia layanan remitansi dari luar negeri juga sudah mulai memasuki pasar Indonesia. Di 2018 silam, Wallex Asia resmi masuk ke Indonesia pasca mendapatkan investasi yang dipimpin oleh Beenxt dan diikuti oleh Central Capital Ventura dan Indonusa Dwitama.

Kendati bukan menjadi yang pertama OY! Indonesia merasa peluang mereka masih cukup besar untuk tumbuh. Selain karena potensi transfer uang dari dan ke luar negeri masih cukup tinggi OY! Indonesia juga cukup yakin bahwa fitur remitansi mereka lebih sederhana dan mudah digunakan.

Saat ini perusahaan juga sudah mendapatkan izin dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara transfer dana. Seperti diketahui, beberapa layanan finansial berbasis pembayaran dan pinjaman diregulasi ketat oleh otoritas, sehingga konsumen pun harus selalu memastikan layanan yang digunakan sudah berizin.

Kehadiran fitur remitansi di aplikasi finansial merupakan bentuk dari inovasi lanjutan teknologi finansial di Indonesia. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir inovasi di sektor finansial terus diupayakan berbagai pihak. E-money sekarang sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat, dan yang dibutuhkan sekarang adalah fungsionalitas yang lebih tinggi dari sebuah layanan teknologi finansial.

Remitansi dan ambisi OY! Indonesia jadi aplikasi finansial paling lengkap

Di luar remitansi, mereka juga memiliki fitur untuk transfer antar bank dan top up tanpa dikenakan biaya. Selain itu mereka juga memiliki fitur personal finance management, sebuah fitur yang memugkinkan pengguna melakukan pelacakan pengeluaran dan pemasukan yang dapat dikategorikan sesuai dengan peruntukannya.

Per awa tahun 2020 ini mereka mengklaim sudah memiliki 500 ribu basis pengguna. Pertumbuhan ini juga bakal digenjot seiring dengan banyaknya fitur dan juga promosi yang dilakukan.

“[Tahun ini kami berharap] Semakin luas dalam melakukan penetrasi pasar, mengembangkan basis pengguna untuk transfer dari dan ke luar negeri sekaligus menambah negara-negara yang dapat menerima layanan International Remittance. Selain itu, kami juga terus mengembangkan kemitraan dengan produk-produk finansial untuk menambah pelayanan referral produk finansial dalam aplikasi OY!,” pungkas Sarah.

Application Information Will Show Up Here