Lewat Teknologi, Newman’s Jajakan Layanan Perawatan Rambut Pria

Didirikan pada akhir tahun 2019 lalu, Newman’s fokus menghadirkan produk healthcare perawatan kulit kepala dan rambut khusus untuk pria. Selain itu mereka juga menawarkan layanan konsultasi hingga perawatan oleh dokter.

Kepada DailySocial, Co-Founder Newman’s Anthony Suryaputra mengungkapkan, permasalahan rambut banyak ditemui pria, tidak hanya pada pria lanjut usia, tetapi juga di usia yang masih memasuki 20-an. Dalam mengembangkan bisnis ini, Anthony dibantu dua co-founder lainnya, yaitu Alfred Ali dan Elsen Wiraatmadja.

“Sejak kami luncurkan platform Newman’s, respons yang kami terima cukup antusias dari target pasar. Dalam beberapa minggu kami melihat pertumbuhan positif dalam penjualan. Di saat yang sama kami juga terus memberikan edukasi kepada pelanggan tentang brand kami dan produk yang kami tawarkan.”

Berbeda dengan produk dan layanan serupa yang kebanyakan masih dijalankan secara konvensional, Newman’s mengklaim telah menerapkan teknologi di semua aspek yang mereka tawarkan. Mulai dari pilihan pembayaran hingga pengiriman–diantar langsung dengan tim internal atau logistik pihak ketiga.

“Kami hanya mengambil komisi ketika produk sudah berhasil dibeli, atau jika terjadinya transaksi dalam platform,” kata Anthony.

Layanan bisa diakses melalui situs web. Newman’s juga memiliki mitra dokter berjumlah 15 orang di seluruh Indonesia, yang siap melayani konsultasi pengguna. Saat ini perusahaan juga sedang melakukan perekrutan lebih banyak dokter. Newman’s menargetkan bisa melayani 10-15 pelanggan melalui platform setiap harinya.

Fokus kepada perawatan kulit kepala

Produk perawatan rambut Newman's
Produk perawatan rambut Newman’s

Meskipun di situs disebutkan Newman’s memiliki tiga produk untuk pria seperti Hair Loss, Erectile Dysfunction dan Smoking Cessation; untuk saat ini Newman’s masih fokus kepada perawatan rambut saja atau Hair Loss. Untuk dua produk lainnya baru akan diluncurkan ke publik dalam waktu dekat.

“Newman’s telah hadir di seluruh Indonesia dan siap untuk menawarkan produk kepada target pelanggan yang membutuhkan layanan dengan transaksi secara online,” kata Anthony.

Masih mahalnya produk perawatan rambut di Indonesia diharapkan bisa menjadi pilihan bagi pelanggan untuk memanfaatkan produk yang dimiliki oleh Newman’s. Untuk produk yang dijual Newman’s menawarkan harga mulai dari Rp54 ribu hingga Rp500 ribu. Newman’s juga memangkas biaya konsultasi dokter yang biasanya menghabiskan biaya yang besar. Hanya melalui platform semua pertanyaan tersebut bisa dinikmati secara gratis untuk semua pelanggan.

Dalam rangka mengakselerasi bisnis, perusahaan juga baru tergabung dalam program Y Combinator sesi Winter 2020. Startup yang kini ada di daftar porotoflio EverHause tersebut juga sudah mendapatkan pre-seed senilai US$150.000 atau setara 2,1 miliar Rupiah.

Disinggung apa rencana Newman’s selanjutnya usai mendapatkan dana segar tersebut, Anthony menyebutkan dana investasi akan digunakan untuk mengakuisisi lebih banyak pelanggan, menambah jumlah tim dan menambah pilihan kategori layanan.

“Sebagai platform pertama yang menyediakan klinik untuk pria, kami memanfaatkan teknologi untuk membantu pelanggan kami mendapatkan akses dana layanan dokter hingga perawatan yang lebih baik. Tidak lagi mereka menghabiskan waktu melakukan konsultasi langsung ke dokter, kini pelanggan kami bisa menikmati akses hanya dalam ponsel mereka untuk semua perawatan hingga produk yang diantar ke rumah mereka,” kata Anthony.

Bobobox Mission to Revolutionize User Experience in Staying

The more affordable cost and comfortable offers have encouraged capsule hotel or pods to become an alternative for tourists. This concept used to be for urgent matters, but recently, there are new concepts of pods that offer tech features.

Not only through the OTA platform, but the tech-based capsule hotel also started to offer solutions with the direct-to-consumer concept. One of the players in this industry is the Bandung based smart accommodation startup, Bobobox.

Following the trend

Smartphone usage to access the service
Smartphone usage to access the service

Bobobox is a graduate from India’s Sequoia accelerator program, Surge, that facilitates users with pods and has its own app. The app can help consumers for door access, adjusting brightness, security feature, Bluetooth speaker, and air conditioner.

This concept is claimed to distinguish Bobobox with other similar services.

“The world is moving fast now. Long working hours and high mobility have become a way of life. More people travel than before. […] At the same time, solving the economically saturated hotel industry unit is not easy. Through modularity and space efficiency, Bobobox generates more revenue per square meter,” Bobobox’s CEO Indra Gunawan told DailySocial.

In order to enjoy all services, users are required to use applications available on Google Play and the App Store. In addition to providing a seamless user experience, Bobobox also wants to change the habits of users enjoying their stay.

“We are quite proud of the current uniqueness. Starting from modular and pre-fabricated [easy to assemble]. Two unique independent units, and integrated with exclusive technology (such as smart booking, payment, check in / out),” Gunawan added.

Expansion and technology implementation

Bobobox located in Semarang
Bobobox located in Semarang

Bobobox is currently available in 8 locations across Bandung, Jakarta, and Semarang. This year, they are targeting to add 8 other locations in Indonesia and to serve around 100,000 users. The company also intends to add an internal team to accelerate growth.

The company has obtained Pre Series A funding from Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, and three other investors and initial funding from several investors, including Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, and Everhaus.

“By prioritizing seamless and efficient user experience, we can run a business without spending large costs. Bobobox was established to address guests’ needs for an affordable, comfortable and comfortable sleep experience and the economic unit of the property owner,” Gunawan said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

9Lives Insurtech Startup Targeting Microinsurance by Launching “Asuransi Selfie”

Established in Indonesia since 2018 in mutual with PT Asuransi Wahana Tata (Aswata), the insurance technology (insurtech) company 9Lives strive to be relevant with microinsurance innovation. The latest one is when they launched Asuransi Selfie particularly to cover face injury. The product is expected to meet the target market, millennials especially women.

9Lives’ CEO, Keywon Kim told DailySocial that the additional product is expected to raise new users. Previously, the company has been providing Personal Accident and Travel Lite products.

“The selfie insurance is a unique product we developed for Indonesians. Particularly for face injury, there is currently no insurance cover for that. Therefore, we focus on face insurance, especially women.”

In addition to bank transfer and credit card, 9Lives also provides payment through GoPay digital wallet.

“For countries like Japan and Korea, products like this are widely used by celebrities, specifically for Indonesia we present selfie insurance products for people from various class,” Keywon said.

Not only the B2C segment, but B2B also includes in 9Lives’ target market by supporting a number of corporate clients in Greater Jakarta, Semarang, and Surabaya.

Facilitate marketing activities

Selfie Insurance options in the 9Lives app
Selfie Insurance options in the 9Lives app

In terms of marketing activities, 9Lives uses women influencer to try and help to promote their insurance product in public. The company claims the strategy is best to introduce its product to the expanding market. Although, market education is still rolling.

“Frequently asked question is whether this selfie insurance is only for beauty. For this reason, we emphasize that selfie insurance is the face protection when accidents are experienced by users,” Keywon said.

Regarding 9Lives’ plan to collaborate with beauty clinic or related parties, he kind of confirmed in the future. However, they are now focused on product knowledge and selfie insurance marketing.

The company is said to have completed the Pre Series A fundraising activity last year and this year if according to plan, will continue to raise the Series A phase.

Although starting a business in the B2B segment, 9Lives hopes that selfie insurance products can support the company’s efforts to penetrate the broader retail segment. The number of 9Lives’ registered users has now reached 50 thousand people.

“This year, our target is to increase user acquisition and to launch more massive marketing activities to the wider community related to all 9Lives insurance products,” Keywon concluded.

Application Information Will Show Up Here

Misi Bobobox Ubah Kebiasaan Pengguna Menikmati Penginapan

Biaya yang lebih terjangkau dan penawaran kenyamanan mendorong hotel kapsul atau pods menjadi alternatif pilihan bagi wisatawan. Jika dulu penginapan dengan konsep ini hanya untuk keperluan mendesak, kini mulai banyak konsep pods yang hadir menawarkan fitur yang disandingkan dengan teknologi.

Tidak hanya melalui platform OTA, hotel kapsul yang berorientasi teknologi mulai menawarkan solusinya secara langsung dengan konsep direct-to-consumer. Salah satu pemain di industri ini adalah startup smart accommodation asal Bandung, Bobobox.

Mengikuti perubahan tren

Penggunaan smartphone untuk menagkses layanan
Penggunaan smartphone untuk mengakses layanan

Bobobox adalah lulusan program akselerator Sequoia India, Surge, yang menawarkan kemudahan bagi pengguna dengan menghadirkan pods yang dilengkapi aplikasi. Aplikasi ini mampu membantu konsumen  mengendalikan akses pintu, nyala lampu yang bisa disesuaikan, fitur keamanan, bluetooth speaker, hingga pendingin ruangan.

Konsep ini yang diklaim membedakan Bobobox dengan layanan sejenis.

“Saat ini dunia bergerak dengan cepat. Jam kerja yang panjang dan dan mobilitas tinggi telah menjadi gaya hidup. Orang bepergian lebih banyak dari sebelumnya. [..] Pada saat yang sama, menyelesaikan ekonomi unit industri perhotelan yang jenuh tidaklah mudah. Melalui modularitas dan efisiensi ruang, Bobobox menghasilkan lebih banyak pendapatan per meter persegi,” kata CEO Bobobox Indra Gunawan kepada DailySocial.

Untuk bisa menikmati semua layanan, pengguna wajib menggunakan aplikasi yang bisa diunduh di Google Play dan App Store. Selain memberikan pengalaman pengguna yang seamless, Bobobox juga ingin merubah kebiasaan pengguna menikmati penginapan mereka.

“Kami cukup bangga dengan keunikan yang ada. Mulai dari modular dan pra-fabrikasi [mudah dirakit]. Dua unit mandiri yang unik, dan terintegrasi dengan teknologi eksklusif (seperti smart booking, payment, check in/out),” kata Indra.

Ekspansi dan penerapan teknologi

Lokasi Bobobox di Semarang
Lokasi Bobobox di Semarang

Saat ini Bobobox sudah hadir di 8 lokasi yang tersebar di Bandung, Jakarta, dan Semarang. Tahun ini mereka menargetkan bisa menambah 8 lokasi lainnya di Indonesia dan bisa melayani sekitar 100 ribu pengguna. Perusahaan juga berniat untuk menambah tim internal untuk mempercepat pertumbuhan.

Perusahaan telah mendapatkan pendanaan Pra Seri A dari Alpha JWC Ventures, Genesia Ventures, dan tiga investor lain dan pendanaan awal dari beberapa investor, termasuk Sequoia Capital India (Surge), Agaeti Ventures, dan Everhaus.

“Dengan mengedepankan pengalaman pengguna yang seamless dan efisien, kami bisa menjalankan bisnis tanpa menghabiskan biaya yang besar. Bobobox didirikan untuk mengatasi kebutuhan tamu akan pengalaman tidur yang terjangkau, nyaman dan nyaman serta ekonomi unit pemilik properti,” kata Indra.

Application Information Will Show Up Here

Startup Insurtech 9Lives Sasar Pasar “Microinsurance”, Perkenalkan “Asuransi Selfie”

Hadir di Indonesia sejak tahun 2018 menggandeng PT Asuransi Wahana Tata (Aswata), perusahaan asuransi teknologi (insurtech) 9Lives mencoba relevan dengan inovasi microinsurance. Yang terbaru mereka meluncurkan Asuransi Selfie yang secara khusus melindungi wajah saat terjadi kecelakaan. Produk ini diharapkan cocok dengan target pasarnya, yaitu kalangan milenial khususnya kaum perempuan.

Kepada DailySocial, CEO 9Lives Keywon Kim berharap tambahan variasi produk ini bisa menambah jumlah pengguna layanan. Sebelumnya perusahaan telah memiliki produk Personal Accident dan Travel Lite.

“Produk asuransi selfie merupakan produk unik yang kami hadirkan untuk masyarakat di Indonesia. Khusus untuk perlindungan wajah saat ini saya melihat belum ada asuransi yang menyediakan. Karena alasan itulah kami fokus kepada perlindungan kepada wajah khususnya untuk kalangan perempuan.”

Selain pembayaran melalui transfer bank dan kartu kredit, 9Lives juga menyediakan pembayaran melalui dompet digital GoPay.

“Untuk negara seperti Jepang dan Korea produk seperti ini biasanya banyak dimanfaatkan oleh kalangan selebritas, namun khusus untuk Indonesia kami hadirkan produk asuransi selfie untuk semua lapisan masyarakat,” kata Keywon.

Selain segmen B2C, 9Lives juga menyasar pangsa B2B dengan mendukung sejumlah klien korporasi di Jabodetabek, Semarang, dan Surabaya.

Lancarkan kegiatan pemasaran

Pilihan produk asuransi selfie di aplikasi 9Lives
Pilihan produk asuransi selfie di aplikasi 9Lives

Untuk kegiatan pemasaran, 9Lives memanfaatkan influencer perempuan untuk mencoba dan membantu memasarkan produk asuransi kepada publik. Perusahaan mengklaim strategi tersebut cukup ampuh memperkenalkan produk ke target pasar yang lebih luas. Meskipun demikian, edukasi produk masih terus dilakukan.

“Kebanyakan pertanyaan yang masuk adalah apakah asuransi selfie ini sifatnya hanya untuk kecantikan saja. Untuk itu kami tekankan asuransi selfie adalah perlindungan wajah saat terjadinya kecelakan yang dialami oleh pengguna,” ujar Keywon.

Disinggung apakah 9Lives berencana menggandeng klinik kecantikan atau pihak terkait lainnya, Ia mengatakan perusahaan memiliki rencana tersebut ke depannya. Walaupun begitu, fokus mereka saat ini adalah pengenalan produk dan pemasaran asuransi selfie.

Perusahaan disebut telah merampungkan kegiatan penggalangan dana Pra Seri A tahun lalu dan tahun ini, jika sesuai dengan rencana, akan melanjutkan penggalangan dana tahap Seri A.

Meskipun mengawali bisnis di segmen B2B, 9Lives berharap produk asuransi selfie bisa mendukung usaha perusahaan melakukan penetrasi ke segmen ritel yang lebih luas. Jumlah pengguna terdaftar 9Lives hingga kini mencapai sekitar 50 ribu orang.

“Target kami tahun adalah menambah jumlah pengguna dan tentunya melancarkan kegiatan pemasaran yang lebih masif kepada masyarakat luas terkait dengan semua produk asuransi 9Lives,” tutup Keywon.

Application Information Will Show Up Here

Kantongi Pendanaan Baru, Giladiskon Fokus Gandeng UKM Kuliner

Giladiskon, anak perusahaan Frontier Group, mengumumkan pendanaan terbaru yang diterima dari Mobile Only Accelerator (MOX). Dana segar ini diterima perusahaan setelah mengikuti program akselerator yang fokus ke program cross-border mobile internet. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa jumlah pendanaan yang diterima.

Giladiskon merupakan platform yang tepat bagi masyarakat untuk menemukan restoran dan retail lifestyle seperti tempat bermain anak, karaoke, salon dan sebagainya, dan voucher promo untuk games, entertainment, dan layanan keuangan ke depannya,” kata General Partner SOSV dan Managing Director MOX William Bao Bean.

Menurut CEO Giladiskon Fandy Santoso, dana tersebut nantinya akan digunakan perusahaan untuk pengembangan produk serta merangkul jutaan partner merchant UKM yang memiliki usaha kuliner ke dalam platform untuk memperkenalkan brand serta produk mereka kepada konsumen dengan tanpa biaya.

“Bagi kami proses edukasi masih menjadi salah satu tantangan yang diharapkan dapat segera diatasi dengan adaya dukungan dari SOSV MOX. Hal ini dikarenakan baik bagi user dan merchant, model kemitraan yang kami tawarkan masih terbilang baru,” kata Fandy.

Selama 9 bulan, Giladiskon telah bekerja sama dengan lebih dari 350 restoran dan mengklaim telah membantu menghasilkan revenue sebesar US$400,000 bagi para mitra.

Berbeda dengan platform sejenisnya, mitra Giladiskon tidak diharuskan membayar biaya ataupun komisi. Mereka juga yang menentukan syarat dan ketentuan dari promo yang diberikan. Sebagai gantinya, mitra memberikan promo khusus bagi member premium Giladiskon.

Fokus ke UKM

Melihat besarnya potensi untuk menjangkau lebih banyak pelaku UKM memasarkan usaha meraka, Giladiskon memiliki beberapa strategi yang akan diterapkan.

“Langkah pertama yang akan kami lakukan adalah dengan melakukan edukasi bahwa kini ada platform yang dapat dimanfaatkan oleh merchant untuk memperkenalkan brand dan produk mereka dengan budget marketing yang rendah atau bahkan bisa dibilang gratis,” kata Fandy kepada DailySocial.

Giladiskon ingin hadir sebagai platform yang tidak memberatkan merchant sehingga mereka bisa lebih fokus dalam mencari strategi yang tepat untuk menarik konsumen datang ke toko mereka melalui platform.

“Kami berharap untuk memperkuat kehadiran kami di Indonesia dengan cara memperluas kerjasama dengan lebih banyak merchat di area Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia,” tutup Fandy.

Application Information Will Show Up Here

Advance.AI Fokus Hadirkan Teknologi “Credit Scoring” di Indonesia

Advance.AI, sebuah startup fintech yang berbasis di Singapura, meluaskan pasarnya dengan membentuk tim di Indonesia. Didirikan oleh CEO Jefferson Chen, saat ini perusahaan telah memiliki 40 orang anggota tim di Indonesia. Fokus pengembangan produknya adalah platform berbasis teknologi artificial intelligence dan big data untuk membantu credit scoring dan deteksi anti penipuan. Advance.AI juga telah hadir di Tiongkok, Vietnam, India, dan Filipina.

Kepada DailySocial, Deputy Chief Operating Officer Advance.AI Indonesia Yenny Aitan mengungkapkan, saat ini perusahaan telah terdaftar di OJK melalui perusahaan afiliasinya, PT Bangun Percaya Sosial (BPS).

“Bisnis kami telah berkembang pesat di kawasan ini dalam beberapa tahun terakhir dengan satu brand, yaitu Advance.AI. [..] Solusi di dalamnya termasuk deteksi anti penipuan, pengenalan wajah, pemeriksaan identitas, dan penilaian risiko kredit dan profil.”

Advance.AI memiliki produk flagship bernama Guardian. Fungsinya berupa produk anti-fraud, credit scoring, dan eKYC yang bisa dimanfaatkan industri perbankan, fintech, ritel, dan e-commerce.

Selain pengembangan produk credit scoring, grup ini juga memiliki layanan peminjaman (lending) yang mengimplementasi teknologinya, termasuk Atome dan Kredit Pintar.

Kredit Pintar fokus mengembangkan produk peminjaman secara tunai, sedangkan Atome, yang baru saja mengangkat CEO baru di Indonesia, berfungsi seperti layanan paylater berbasis online. Keduanya menyasar kategori konsumen underbanked dan underserved. Nantinya keduanya direorganisasi di bawah payung baru, yang rencananya akan diumumkan akhir tahun ini.

Rencana Advance.AI di Indonesia

Advance.AI mencatat, saat ini masih terlalu banyak “kredit tidak terlihat”, yaitu mereka yang tidak memiliki skor kredit yang berdampak tidak memiliki akses ke kredit atau pinjaman. Hal ini bisa menyulitkan mereka untuk mengambil langkah pertama (untuk meminjam dana) atau sekadar memiliki skor kredit.

“Di Advance.AI, kami bermitra dengan bank, [layanan] fintech, ritel, dan perusahaan e-commerce di sekitar tiga bidang utama: e-KYC (pengenalan wajah dan dokumentasi OCR), layanan data (multi platform, nomor telepon, dan cek daftar hitam), dan pemodelan penilaian kredit alternatif,” kata Yenny.

Teknologi yang dimiliki Advance.AI tersebut telah diimplementasikan oleh 400 klien, di berbagai negara, per awal tahun ini. Termasuk di antaranya adalah Bank Mega dan Danamart di Indonesia. Teknologi ini disebut mampu membantu menyederhanakan proses verifikasi pelanggan yang kebanyakan menghabiskan waktu dan tenaga.

Yenny mengklaim, “Di Indonesia, kami memiliki akurasi 99% untuk solusi e-KYC kami, seperti pengenalan wajah dan OCR [pengenalan karakter optik]. Ini sebagian besar disebabkan oleh teknologi AI milik kami yang dilatih oleh sumber data lokal dan kemitraan.”

“Kami juga mempercepat proses penilaian dan analisis kredit mereka, baik dari segi waktu dan akurasi. Ke depannya kami ingin bermitra dengan lebih banyak bank [dan] perusahaan jasa keuangan di Indonesia dengan tujuan akhir untuk membantu lebih banyak orang Indonesia yang masuk dalam kategori underbanked dan undeserved bisa mendapatkan akses layanan keuangan,” tutupnya.

Menyiasati Terbatasnya Investor Lokal di Pendanaan Tahap Lanjut

Meskipun makin banyak memberikan pendanaan di tahap awal (seed), jumlah investor lokal yang berpartisipasi di pendanaan tahap lanjut masih cukup terbatas.

Di Indonesia, mereka yang terlibat di pendanaan Seri B ke atas biasanya adalah Corporate Venture Capital (CVC) atau yang didukung keluarga konglomerat ternama.

Persoalan keterbatasan “ticket size”

Tentunya banyak alasan mengapa belum banyak investor lokal bermain di tahapan lanjutan. Salah satunya masih belum besarnya ticket size atau jumlah investasi yang bisa mereka gelontorkan untuk setiap startup. Biasanya perusahaan modal ventura lokal telah memiliki nominal yang sudah ditentukan.

“Saya melihat untuk melakukan pendanaan dengan nominal yang besar, misalnya $20 juta ke atas, agak sulit untuk venture capital lokal. Pada akhirnya yang bisa membantu adalah Corporate Venture Capital (CVC) atau Private Equity,” kata CEO PrivyID Marshall Pribadi.

Hal senada diungkapkan CEO Akseleran Ivan Tambunan. Menurutnya, untuk tahapan Seri B ke atas, belum banyak venture capital lokal yang bisa memberikan nominal lebih besar.

Untuk ticket size pendanaan tahap awal rata-rata VC memberikan mulai dari $500 ribu hingga $1 juta. Jika startup mulai masuk ke tahapan lanjutan, jumlahnya bisa beragam sesuai kebutuhan dan perjanjian.

To be honest, aku selalu lihat values sih, bukan hanya besaran uang. Contoh jika ada investor asing mau invest $10 juta lalu ada investor lokal mau investasi $3 juta ditambah akses ke pemerintahan, akses ke media, akses ke grupnya dia yang merupakan potential client/partner bisnis kita. Kita akan ambil yang mana?,” kata CEO Telunjuk Hanindia Narendrata (Drata).

Nilai tambah, termasuk dalam bentuk jaringan dan akses, menjadi faktor penting di luar nominal uang yang ditawarkan.

Venture capital lokal maupun asing bisa dipertimbangkan selama relevan dengan strategi dan visi-misi perusahaan. Perusahaan lokal akan dapat memberikan value add yang kuat dalam business development, organization building, dan business network untuk menguasai pangsa nasional. Jika menargetkan go international ataupun regional, perusahaan asing tentunya dapat memberikan value add tersendiri,” kata Principal Investment Alpha JWC Ventures Melina Subastian.

Menentukan pilihan

Pada akhirnya, ketika berbicara soal penggalangan dana, semua kembali lagi ke visi dan misi startup. Pendiri startup dan jajaran manajemen bisa menentukan pilihan sesuai dengan roadmap yang bakal diterapkan selanjutnya.

Jika startup lebih banyak terlibat dengan jaringan perusahaan lokal dan pemerintahan, ada baiknya untuk memilih investor lokal dan meminimalisir keterlibatan investor asing. Sebaliknya, jika berupaya melakukan ekspansi global, mulailah mencari tahu dan membuka jaringan lebih luas dengan investor asing.

“Mungkin yang harus diperhatikan ketika startup memilih investor asing untuk pendanaan adalah apakah pada akhirnya investor akan menempatkan talenta asing, seperti engineer dan posisi lainnya, ke dalam tim startup. Hal tersebut yang perlu diperhatikan jika startup melakukan penggalangan dana memanfaatkan investor asing,” kata CEO Nodeflux Meidy Fitranto.

Meidy menambahkan, ke depannya persaingan secara global tidak hanya terkait segmentasi pasar dan peluang bisnis, namun juga bagamana inovasi masing-masing negara bisa menjadi yang terdepan. Akan lebih ideal jika produk lokal diciptakan talenta lokal pula.

Menurut Drata, secara umum belum banyak investor lokal yang memiliki pengalaman di dunia digital ini. D sisi lain, investor di Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa sudah memiliki pengalaman lebih baik.

“Saya percaya dan tren sudah membuktikan, makin ke sini jumlah investor lokal tahap lanjutan makin banyak. Sejarah membuktikan, dulu investor lokal tahap awal saja jarang sekali jumlahnya, sekarang sudah menjamur. Jadi para investor lokal juga butuh success stories sebelum memutuskan ‘nyemplung’ lebih jauh.”

Startup yang berencana menggalang dana tahapan lanjutan sebaiknya mengenali profil VC/CVC yang dibidik, dalam bentuk tesis, portofolio, tim, dan value added yang bisa diberikan.

Pastikan mereka adalah mitra yang tepat dan dapat bekerja sama dalam membangun bisnis ke depannya.

“Melihat hal ini, kami [Alpha JWC] berusaha untuk menjadi venture capital berbasis Indonesia yang dapat memberikan pendanaan tahap lanjut hingga $10 juta, sekaligus untuk dapat membantu pembangunan startup di Indonesia yang telah mencapai tahap lanjut,” kata Melina.

Kotoko to Accommodate Independent Retail Brands with Offline Store

Founded in Singapore in 2019, Kotoko is a startup engaged in retail and technology that provides online and offline ecosystems for independent / Direct-to-Consumer brands in Indonesia to market their products to more consumers. The company received seed funding from Antler.

Kotoko’s Co-Founder & COO Kanta Nandana who was a former Country Manager at Luno Indonesia told DailySocial that the business idea was based on Cynthia Krisanti, the Co-Founder & CEO’s personal experience who had difficulty finding offline stores in strategic locations at affordable prices.

“This issue also happened to other friends with online businesses in Fashion & Accessories. The current solution available is to rent an offline store with a high cost and inflexible rental periods.”

For this reason, Kotoko provides a solution for independent brands in Indonesia to have offline stores in strategic locations in Indonesia at affordable prices and flexible rental terms through Kotoko multi-brand stores.

Kotoko is to rent a place in strategic commercial areas, such as shopping centers, malls, and shophouses, divide this place into several smaller areas, then rent it back to several brands, so they can share the place with other famous brands to market their products.

“The monetization strategy is to charge a monthly membership fee and a sales commission discount for brands interested to join,” Nandana said.

First brand store in Plaza Indonesia

Kotoko brand store
Kotoko brand store

Supported by the experience of its founders in finance, retail, and technology, Kotoko has several services that brand partners can use to improve their business, including Kotoko Multi-Brand stores, Kotoko Chapter, Kotoko Block, and Kotoko e-commerce sites.

“Kotoko’s e-commerce website can be used by consumers as long as they are inside the Kotoko offline shop to check product information, price, size, and material information using the Scan & Shop feature on mobile phones,” Nandana added.

They can also access Kotoko.shop via mobile to buy products and complete payments online (mobile payment). Products will be sent directly to the customer’s address.

“Kotoko has currently embraced Indonesian independent brands in the category of Fashion & Accessories and Food & Beverage. In the future, Kotoko targets other categories such as Health & Beauty, Household Goods and Furniture, “Nanta said.

Kotoko Scan & Shop feature
Kotoko Scan & Shop feature

In specific, the solution provided by the company for independent brands is claimed to increase revenue through marketing collaboration, promotion, and partnership programs. Kotoko also seeks to increase distribution and marketing channels for brand products incorporated through retailer partners.

Currently, Kotoko has curated around 60 well-known independent brands with a cumulative number of 1 million followers on Instagram. The company has opened the first multi-brand store in Plaza Indonesia and is currently preparing to expand to the first-tier cities outside Jabodetabek, such as Bandung, Surabaya, Makassar, and Bali.

“We have a fundraising target this year which we plan to use on expanding business and increasing the number of brands to join,” Nandana said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kotoko Jembatani Kebutuhan “Brand” Ritel Independen untuk Miliki Toko Offline

Didirikan di Singapura tahun 2019 lalu, Kotoko adalah startup di bidang ritel dan teknologi yang menyediakan ekosistem online dan offline bagi brand-brand independent / Direct-to-Consumer di Indonesia untuk memasarkan produk-produk mereka ke lebih banyak konsumen. Perusahaan mendapatkan dana awal dari Antler.

Kepada DailySocial, Co-Founder & COO Kotoko Kanta Nandana, yang sebelumnya pernah menjadi Country Manager Luno Indonesia, mengungkapkan, ide bisnis Kotoko berdasarkan pengalaman pribadi Co-Founder & CEO Cynthia Krisanti yang kesulitan untuk mendapatkan toko offline di lokasi strategis dengan harga terjangkau.

“Masalah ini ternyata juga ditemukan oleh teman-teman kami lainnya yang memiliki bisnis online di bidang Fashion & Accessories. Solusi yang tersedia saat ini untuk memiliki toko offline masih sangat mahal dengan jangka waktu sewa yang tidak fleksibel.”

Dengan alasan itu, Kotoko menyediakan solusi bagi brand independen di Indonesia untuk memiliki toko offline di lokasi strategis di Indonesia dengan harga yang terjangkau dan jangka waktu sewa yang fleksibel melalui Kotoko multi-brand store.

Kotoko akan menyewa tempat di area komersial strategis, seperti pusat perbelanjaan, mall, dan ruko, membagi tempat ini ke beberapa area yang lebih kecil, kemudian menyewakannya kembali ke beberapa brand, sehingga mereka bisa sharing tempat dengan brand ternama lainnya untuk memasarkan produk mereka.

“Strategi monetisasi yang kami terapkan adalah mengenakan biaya membership per bulan dan potongan komisi penjualan bagi brand yang ingin bergabung,” kata Kanta.

Brand store pertama di Plaza Indonesia

Brand store Kotoko
Brand store Kotoko

Didukung pengalaman para pendirinya di bidang finansial, ritel, dan teknologi, Kotoko memiliki beberapa layanan yang bisa dimanfaatkan mitra brand untuk meningkatkan bisnis mereka, termasuk Kotoko Multi-Brand store, Kotoko Chapter, Kotoko Block, dan situs e-commerce Kotoko.

E-commerce website Kotoko ini dapat digunakan oleh konsumen selama mereka berada di dalam toko offline Kotoko untuk mengecek detail informasi produk, harga, ukuran, dan material dengan menggunakan fitur Scan & Shop di ponsel,” kata Kanta.

Mereka juga dapat mengakses Kotoko.shop melalui ponsel untuk membeli produk dan menyelesaikan pembayaran secara online (mobile payment). Produk akan dikirim langsung ke alamat konsumen.

“Saat ini Kotoko telah merangkul brand independen di Indonesia di kategori Fashion & Accessories dan Food & Beverage. Ke depannya Kotoko menargetkan kategori lainnya seperti Health & Beauty, Household Goods dan Furniture,” kata Nanta.

Fitur Scan & Shop Kotoko
Fitur Scan & Shop Kotoko

Secara khusus solusi yang diberikan perusahaan untuk brand independen diklaim bisa meningkatkan pendapatan melalui program marketing collaborationpromotion dan partnership. Kotoko juga berupaya untuk menambah channel distribusi dan pemasaran untuk produk-produk brand yang tergabung melalui partner retailer.

Saat ini Kotoko telah memiliki sekitar 60 brand independen ternama dengan jumlah kumulatif 1 juta pengikut di Instagram. Perusahaan telah membuka multi-brand store pertama di Plaza Indonesia dan saat ini mempersiapkan ekspansi ke kota-kota besar di luar Jabodetabek, seperti Bandung, Surabaya, Makassar, dan Bali.

“Kami memiliki target fundraising di tahun ini yang rencanananya akan kami gunakan untuk melakukan ekspansi bisnis dan menambah jumlah brand yang bergabung,” ungkap Nanta.