Nintendo Jepang Konfirmasi Penghentian Produksi Wii U

Di momentum penyingkapan Switch, Nintendo menekankan, console hybrid mereka itu tidak akan menggantikan keberadaan platform game terdahulu. Namun kenyataannya sedikit berbeda. Di awal November, Eurogamer memperoleh laporan dari sejumlah sumber yang menyatakan bahwa Nintendo berencana untuk mengakhiri produksi home console mereka, Wii U.

Tak lama, juru bicara Nintendo segera menyangkalnya sembari bilang mereka tidak berniat mengubah agenda produksi Wii U dan menegaskan bahwa kabar tersebut keliru. Sayang sekali info itu ternyata benar adanya. Di situs Nintendo, muncul tulisan 近日生産終了予定 (kinjitsu seisan shuuryou yotei) pada dua versi console yang dipasarkan di Jepang. Artinya adalah: produksi dijadwalkan untuk berhenti.

Nintendo Wii U Japan

Lalu pada tanggal 10 November kemarin, Nintendo America mengeluarkan pernyataan resmi via Kotaku: “Kami mengonfirmasikan, terhitung mulai hari ini, semua produk Wii U yang dibuat untuk pasar Amerika Utara di tahun 2016 telah didistribusikan ke para partner retail. Jika Anda berencana membeli produk ini, kami menyarankan untuk segera menghubungi outlet retail Wii U buat menanyakan ketersediaannya.”

Dua model Wii U tersebut merupakan versi Premium Set dengan memori 32GB berwarna putih dan variasi berwarna hitam berbundel Amiibo. Nintendo boleh dibilang cukup sering melakukan pengumuman penghentian varian-varian hardware mereka, misalnya sejumlah variasi warna console handheld 3DS XL serta Wii U tipe 8GB di tahun 2015. Perlu diketahui, penyetopan produksi hanya berlaku di Jepang, dan belum ada informasi apa dampak dari keputusan tersebut di wilayah lain.

Wii U ialah sistem gaming pertama yang dirilis di era console generasi kedelapan, dibuat sebagai penerus Wii. Perangkat ini juga merupakan platform game Nintendo pertama yang didukung grafis berkualitas high-definition, dibundel bersama controller Wii U GamePad – mengombinasikan touchscreen, serta rangkaian tombol fisik dan arah. Keunikan tersebut, dipadu fitur backward compatibility dan harga ekonomisnya membuat Wii U memperoleh sambutan hangat dari publik serta pers.

Tapi tak seperti Wii, adopsi Wii U berjalan sangat lambat. Penjualannya boleh dibilang lesu di awal pelepasan console karena game-game pengiring pelucuran Wii U kurang menarik, ditambah lagi lemahnya dukungan developer serta publisher third-party. Terhitung di tanggal 30 September 2016, Nintendo telah mengapalkan kurang lebih 13,36 juga unit Wii U, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Nintendo Wii yang mencapai 101,63 juta di seluruh dunia.

Female Gamers Wanted: NXA Ladies Announce Open Recruitment

Professional Indonesian female gaming team NXA Ladies has opened recruitment to reinforce its League of Legends, Dota 2 and Overwatch game divisions.

Aiming to give opportunities to many female gamers regardless of their background, NXA Ladies did not set an age limit for candidates, demanding only that they currently live in Greater Jakarta or in the Bandung area.

The online enrollment form asks about the prospective member’s role in a particular game, the time spent playing, tournaments participated in, achievements, gaming gear, motivation for joining the team and why the team should choose them.

Following the online enrollment, said NXA Ladies manager Fram Pramono, candidates would go through an audition and probation, playing alongside senior team members. “Those who pass the tests will receive facilities similar to professional gamers, such as a monthly salary, a gaming laptop and related gear,” said Fram, adding that candidates should also be able to allocate their time to train and prepare for gaming tournaments in Indonesia and abroad.

Established in 2011, NXA Ladies was founded and is led by renowned Indonesian gamer Monica “Nix1a” Carolina, who started her gaming career in 2008. Currently consisting of 15 members, the group has won various titles from gaming competitions, such as Dota 2 ICE Ladies Bandung and League of Legends Teemo Cup Bandung.

Those interested in joining can visit these pages: League of Legend, Dota 2 and Overwatch.


Disclosure: The original article is in Indonesian and syndicated in English by The Jakarta Post

Antusiasme Reviewer Terhadap Call of Duty: Infinite Warfare Tak Setinggi Harapan Activision

Minggu lalu, persaingan antara game Call of Duty baru dengan dua permainan shooter andalan EA akhirnya dimulai. Sayang sekali perilisan Infinite Warfare diwarnai masalah. Mereka yang membeli game di Windows Store tak bisa bermain bersama gamer di Steam, memicu penurunan tajam angka pemain. Padahal, penjualan Infinite Warfare sendiri jauh lebih sedikit dari Black Ops 3.

Terlepas dari bundel eksklusif versi remaster Modern Warfare, ada kemungkinan gamer merasa lelah pada formula game yang begitu-begitu saja meski kali ini Infinity Ward mengangkat tema sci-fi di judul terbarunya. Rata-rata para reviewer tampaknya mempunyai opini serupa, menunjukkan kurangnya rasa antusias dalam ulasan-ulasan mereka.

Gamesbeat adalah salah satu media yang memberikan penilaian tinggi, 93. Reviewer Dean Takahashi mengapresiasi kombinasi gameplay tradisional Call of Duty di latar belakang baru sehingga fans tidak merasa bosan. Menurutnya, hal ini ialah efek positif dari kegagalan Call of Duty: Ghosts, memaksa Infinity Ward mengambil langkah beresiko untuk mengubah penyajian game. Ceritanya lebih baik, dan ada banyak momen-momen mengesankan.

Infinite Warfare mendapatkan skor empat dari lima bintang dari GamesRadar. Leon Hurley berpendapat, kesan Call of Duty tidak bisa dihilangkan dari game, tapi jalan cerita Infinite Warfare terasa lebih berbobot dari permainan sebelumnya, lalu setting dunia sci-fi-nya masuk akal. GamesRadar turut memuji struktur misi permainan yang terbuka, dan berkat adegan-adegan pertempuran dengan pesawat Jackal, gameplay jadi lebih bervariasi.

Bagi Destructoid, Infinite Warfare masih lebih baik dari Ghosts. Kehadiran mode zombie di sana memperkaya konten, kemudian multiplayer-nya tidak mengecewakan meski momentumnya telah disusul oleh Titanfall. Namun jika mengharapkan sesuatu yang baru atau pengalaman campaign yang lebih lama, Destructoid menyarankan Anda buat berpaling dari Infinite Warfare. Tentu saja, kehadiran versi remaster Modern Warfare menambah nilai jualnya.

Giant Bomb sangat menyukai campaign Infinite Warfare, menyebutnya sebagai mode singleplayer Call of Duty terbaik berisi pertempuran yang sangat keren. Sayangnya, sisa konten permainan tidak memuaskan, dan kekurangan itu tidak bisa ditutupi oleh kehadiran Modern Warfare. Giant Bomb mempertanyakan praktek bundel remaster Modern Warfare bersama Infinite Warfare, dan berharap Activision berkenan menjualnya secara terpisah. Mereka hanya menyodorkan nilai 6.

PC Gamer  merupakan salah satu media yang memberikan nilai paling rendah: 48 dari 100. Infinite Warfare tampil cantik, namun game ini minim improvisasi dan populasi multiplayer-nya di platform PC terus menurun. Konten bonus seperti mode zombie serta remaster Modern Warfare malah lebih baik dari ‘atraksi utama’, tapi penawaran itu tetap tidak menarik saat Activision mematok harga US$ 70. Reviewer Tyler Wilde bilang, ia jauh lebih menikmati Titanfall 2.

Di situs agregat review OpenCritic, Call of Duty: Infinite Warfare hanya berhasil mendapatkan skor sementara 76.

LeEco Super Bike Ialah Sepeda Pintar yang Didukung Rentetan Fitur Canggih dan Sinar Laser

Dikenal konsumen awam sebagai produsen smartphone, LeEco tak berhenti memperluas bisnisnya ke berbagai ranah, memiliki anak perusahaan di industri musik, produksi film, olahraga, virtual reality sampai transportasi. Khususnya di segmen kendaraan, perhatian sang perusahaan Tiongkok itu juga tak cuma difokuskan pada konsep mobil elektrik dan driverless  saja.

Familierkah Anda dengan LeEco Super Bike? Ia adalah sepeda pintar yang LeEco yakini dapat merombak penyajian alat transportasi dua roda tersebut. Hingga kini, produsen memang masih malu-malu menyingkap seluruh kemampuannya, namun dari laporan media-media ternama seperti Techcrunch dan The Verge, Super Bike menyimpan banyak sekali gadget sehingga memang layak disebut ‘sepeda super’.

Untuk rancangannya sendiri, Super Bike bukanlah sepeda berpenampilan eksotis dengan roda spokelesswheel. LeEco masih tetap percaya pada desain tradisional, meski mereka tak lupa mengintegrasikan kesan futuristis. Jika dilihat dari samping, bagian frame melengkung di sana terlihat seperti emblem Starfleet di Star Trek. Di area setang, Anda bisa menemukan rangkaian tombol dan layar sentuh empat-inci untuk mengakses segala fitur dan informasi.

LeEco Super Bike 1

Struktur Super Bike terbuat dari logam aluminium, lalu ada sepasang lampu LED di depan, di samping, lampu LED merah (rem) di belakang, dan marker laser. Ada tiga tombol di batang frame atas: untuk menyalakan kamera dan lampu. Bantalan kursinya sendiri dilapis kulit, kemudian LeEco memanfaatkan gearset Shimano Deore 30-speed. Menariknya, Super Bike bukanlah sepeda elektrik.

Marker laser merupakan salah satu fitur keselamatan Super Bike, segera aktif begitu lampu dinyalakan. Sepeda akan menembakkan sinar laser secara paralel sebagai tanda jarak aman dari objek atau kendaraan lain di sekitar Anda.

LeEco membenamkan fungsi perangkat pintar di dalam Super Bike, membekalinya dengan sistem operasi BikeOS berbasis Android – ditenagai prosesor 1,3GHz dan RAM 4GB. Sepeda bisa tersambung ke jaringan seluler, juga dibekali GPS dan navigasi suara, serta ada kemampuan memonitor perjalanan dan fisik pengendara (ada sensor detak jantung di bawah setang). Selain itu, terdapat fitur music player dan Anda bisa mudah mengetahui di mana posisi sepeda berada via app.

LeEco sudah mulai memasarkan Super Bike di China. Varian dasarnya ditawarkan di harga sekitar US$ 800. Di awal tahun, Will Park selaku head of marketing LeEco sempat mengungkap niatan mereka pada Digital Trends untuk menghadirkan Super Bike di Amerika pada akhir 2016.

Vixole Ialah Sepatu Sneaker Pintar Dengan LED Customizable Pertama di Dunia

Jika uang bukan masalah, maka keterbatasan jumlah merupakan alasan yang membatasi para pecinta sepatu untuk memiliki Nike Mags. Terinspirasi dari film Back to the Future, Mags bisa mengikat talinya sendiri, cuma tersedia sebanyak 89 pasang saja. Fitur itu Nike coba hadirkan ke lebih banyak konsumen lewat HyperAdapt, tapi ia belum bisa disebut sebagai ‘sepatu pintar’.

Alternatifnya, Anda dapat berpaling dari brand Nike dan melirik sepatu kreasi sekumpulan desainer dan teknisi asal New York ini. Mereka memperkenalkan Vixole, sepatu E-sneaker pertama di dunia dengan layar LED customizable. Lewat fitur ini, sang produsen menawarkan pengguna keleluasaan buat membubuhkan ribuan pola pencahayaan dan animasi di permukaan sepatu cukup lewat tap di layar smartphone.

Sekilas, Vixole tampil layaknya sneaker normal namun desainnya lebih ‘bersih’ karena tim perancangnya tidak memanfaatkan tali. Pendekatan ini sepertinya sengaja diambil agar pola, animasi dan gambar yang muncul di sana lebih menonjol. Desainer membekali Vixole dengan layar LED fleksibel dan menanamkan tidak kurang dari delapan buah sensor. Selanjutnya, mereka menghidangkan tiga pilihan model, yaitu Vixole Basic, Plus dan OLED.

Vixole 1

Vixole Basic menyimpan display LED monokromatik fleksibel di area tumit. Via aplikasi mobile, Anda bisa membuat sketsa atau memilih gambar-gambar yang sudah tersedia, menentukan pola serta menambahkan efek visual. Sneaker ini tahan air dan dibekali teknologi wireless charging – Anda tinggal meletakkannya di atas papan charger dan baterainya akan kembali terisi penuh dalam dua jam.

Vixole Plus-lah yang betul-betul mengusung titel pintar. Selain memiliki kapabilitas Basic, Plus mampu melacak aktivitas serta gerakan Anda secara real-time layaknya fitness tracker. Canggihnya lagi, developer turut membenamkan sensor suara sehingga desain/pola dapat merespons musik, menyediakan fitur notifikasi lewat getaran, dan tak lupa menyematkan NFC sehingga pengguna bisa saling bertukar info cukup dengan menyentuhkan sepatu mereka.

Vixole

Vixole OLED sendiri adalah varian paling high-end. Ia memiliki segala kemampuan Plus, namun gambar dan animasi monokromatiknya digantikan oleh output full-color beresolusi tinggi, secara teori bisa menampilkan video. Kendalanya, bahan pembuatannya sangat mahal dan produsen hanya menciptakan 300 pasang saja sebagai edisi terbatas.

Tiga model Vixole tersedia dalam pilihan warna hitam, beige dan putih, bisa Anda pesan di situs Indie Gogo. Di sana, Vixole Basic dijual seharga mulai dari US$ 150; Vixole Plus dibanderol US$ 225, dan Vixole OLED ditawarkan di harga US$ 300. Jika kampanye crowdfunding sukses, produk rencananya akan didistribusikan mulai bulan Juni 2017.

Apa Itu Google Daydream dan Apa yang Membuatnya Istimewa?

Kabar mengenai rencana Google menggarap perangkat VR yang ‘lebih serius’ dari Cardboard sudah terdengar sejak awal 2016, dan di acara Google I/O 2016, mereka resmi menyingkapnya. Upaya tersebut dilakukan Google dengan fokus pada dua aspek: penyediaan platform virtual reality serta menyiapkan hardware, berupa headset serta segala faktor pendukungnya.

Lewat Daydream, Google tampak bersungguh-sungguh ingin mematangkan dan menetapkan standar baru penyajian VR secara portable via perangkat bergerak. Daydream mengacu pada platform, dibangun di atas sistem operasi Android, memanfaatkan Material Design, terdiri dari software serta daftar spesifikasi hardware untuk memenuhi kriteria ‘Daydream-Ready’.

Perangkat Daydream View sendiri lebih menyerupai Samsung Gear VR ketimbang Cardboard, namun bedanya, ia tidak eksklusif mendukung headphone dari produsen tertentu saja. Pencipta hardware lain dapat berpartisipasi dalam program ini. Pengoperasiannya juga serupa Gear VR: user tinggal membuka tutup di depan, memasukkan handset Android-nya dan mengaktifkan mode VR.

Dalam konferensi pers di bulan Oktober, Clay Bavor selaku perwakilan dari tim pengembang menyampaikan bahwa faktor kenyamanan Daydream View merupakan perhatian utama mereka. Developer memanfaatkan bahan kain lembut dan memangkas bobotnya agar 30 persen lebih ringan dibanding ‘produk rival’. Pemakaian kain juga mencegah smartphone kesayangan Anda baret akibat keluar-masuk headset.

Google memang belum mengungkap info lebih rinci mengenai komponen View, tapi yang jelas ia turut dibekali tombol sentuh kapasitif serta chip NFC buat menyederhanakan proses pairing.

Google Daydream View 1

Keunikan utama Daydream View sendiri terletak pada kehadiran controller motion wireless di tiap bundelnya. Periferal ini memberikan Anda keleluasaan berinteraksi dengan dunia virtual lewat klik pada tombol atau gerakan – bisa dipakai untuk navigasi menu, bermain game sampai ‘jalan-jalan’ di Google Street View. Sensor on-board di View mampu melacak orientasi controller (membaca enam arah gerakan) dan dapat memperkirakan posisi tangan Anda. Saat tidak digunakan, controller bisa disimpan di dalam headset.

Sudah ada cukup banyak app yang dikonfirmasi mendukung Daydream, di antaranya ada CNN VR, Mekorama VR, Hunters Gate, The Turning Forest, The Guardian VR, Fantastic Beasts, Hulu VR, YouTube VR, permainan Daydream: Danger Goat, Wonderglade, Gunjack 2: End of Shift, Need for Speed: No Limits VR, dan Home Run Derby; serta ada pula versi virtual reality dari kreasi Google sendiri: Google Play, Street View, Play Movies dan Google Photos.

Google Daydream View 2

Baru smartphone Google Pixel dan Pixel XL yang dikonfirmasi siap menunjang Daydream. Agar kompatibel, handset setidaknya harus ditenagai chip Qualcomm Snapdragon 820 dengan RAM minimal 4GB, berjalan di Android 7.0 Nougat dan punya layar AMOLED.

Daydream View sudah mulai dipasarkan di tanggal 10 November, dijual di harga yang cukup kompetitif, hanya US$ 80. Sayangnya, produk baru tersedia di kawasan Amerika, Kanada, Inggris, Jerman dan Australia.

Via Digital Trends. Sumber: Google.

Spud Ialah Proyektor Dengan Penyajian ala Monitor

Sudah lama proyektor difungsikan sebagai perangkat display portable. Terutama untuk produk-produk baru, pengoperasiannya terbilang ringkas dan unit berukuran kecil bisa menghasilkan layar yang luas. Namun meski cukup praktis, proyektor membutuhkan kondisi khusus agar output tampil maksimal, lalu pasokan listrik juga turut memengaruhi performanya.

Arovia, tim inventor asal Texas, menawarkan solusi tidak biasa terhadap kekurangan tersebut. Mereka memperkenalkan Spud (kependekan dari spontaneous pop-up display), perpaduan antara proyektor dengan penyajian ala monitor, dapat dilipat layaknya payung. Buat menyempurnakan aspek fleksibilitas penggunaannya, developer melengkapi Spud segi konektivitas yang luas sehingga device bisa tersambung ke smartphone, tablet, sampai laptop.

Lalu seperti apa sebetulnya penampilan Spud? Dalam keadaan tertutup, Spud mempunyai ukuran sebesar kotak makan siang (17×5,5x19cm) dengan bobot kurang dari satu kilogram. Jika ingin memakainya, Anda tinggal membuka dan melebarkan bagian display, lalu menyambungkan unit proyektor di belakang. Arovia menjelaskan, ada banyak skenario Spud dapat dimanfaatkan, dari mulai buat presentasi di kantor, saat Anda browsing resep makanan sembari memasak di dapur, atau sewaktu piknik dan berkemah.

Spud1

Spud menyuguhkan layar seluas 24-inci, berukuran 53x28x36-sentimeter ketika dibentangkan. Dihitung secara kasar, display-nya 23 kali lebih lebar dari smartphone 5-inci dan empat kali monitor laptop. Perangkat ini mengusung teknologi Digital Light Processing (DLP) terbaru demi memastikan gambar tampil tajam dan cerah di segala situasi, dapat terkoneksi via kabel HDMI ataupun secara wireless.

Rahasia dari keunikan Spud tak hanya ada pada proyektor, namun juga tersembunyi di material layar. Developer memilih bahan dengan cermat dan meramunya sedemikian rupa agar layar tidak berkerut akibat dilipat. Lalu cover hitam penutup struktur berfungsi untuk memblokir cahaya dari luar buat memaksimalkan kecerahan dan kontras output. Spud turut dibekali desain optik khusus agar bisa menghasilkan gambar tajam di jarak dekat.

Spud2

Pernak-pernik kendali dan konektivitas dapat ditemukan di unit proyektor, di mana Anda bisa mengubah tingkat kecerahan dari 350- sampai 785-nit. Spud menyimpan baterai internal, dengan durasi pemakaian antara 4 hingga 10 jam tergantung setting brightness. Di sana juga sudah ada speaker build-in.

Selama masa pengumpulan dana masih berlangsung di situs crowdfunding  Kickstarter, Spud bisa Anda pesan di harga mulai dari US$ 390. Proses distribusi rencananya akan mulai dilakukan di bulan Juni 2017.

Masalah Teknis Paksa GoPro Tarik Semua Unit Drone Karma

Karma ialah drone videography pertama dari pakarnya action cam. Meski baru diluncurkan, keinginan GoPro untuk menggarap produk ini sudah terdengar sejak 2014 saat mereka diketahui berdiskusi dengan DJI, dan selanjutnya 3DR. Kedua upaya negosiasi itu gagal. Akhirnya GoPro memutuskan buat menggarap drone mereka sendiri, memulai pengembangannya di pertengahan 2015.

Pelepasan drone konsumen tersebut boleh dibilang cukup sukses. GoPro Karma terjual sebanyak kurang lebih 2.500 unit. Namun secara mendadak, sang produsen mengumumkan rencana untuk menarik semua produk yang telah dipasarkan, alasannya adalah mereka telah menemukan masalah pada tenaga, menyebabkan drone mati ketika dioperasikan. Setelah GoPro membenahinya, mereka baru akan menjualnya kembali.

Dari penjelasan GoPro, problem tersebut mereka temukan di sejumlah kasus, di mana Karma tiba-tiba kehilangan tenaga sewaktu terbang. Bersama Consumer Product Safety Commission Amerika Serikat dan FAA, GoPro saat ini masih melangsungkan investigasi. Dan jika Anda merupakan salah seorang pemilik Karma, GoPro telah menyediakan instruksi untuk memperoleh refund (via Best Buy maupun GoPro.com).

Beberapa hal penting lain turut GoPro jabarkan di bagian FAQ. Bahkan jika Karma milik Anda bekerja normal, produsen tetap meminta konsumen untuk berhenti menggunakan dan mengembalikannya. Penarikan sebetulnya hanya berlaku buat unit drone, tapi jika Anda membeli paket bundel bersama action cam Hero5 dan Karma Grip, semuanya harus dipulangkan dengan lengkap agar bisa mendapatkan refund secara penuh. Selain itu Anda juga dipersilakan mengembalikan seluruh aksesori Karma yang sudah dibeli.

GoPro Karma 1

Sayangnya, GoPro menekankan bahwa konsumen tidak dapat menukarkan Karma yang cacat dengan unit baru sewaktu tersedia nanti, mereka hanya bisa mendapatkan pengembalian berupa uang. Hal ini mengindikasikan belum yakinnya GoPro kapan tepatnya Karma akan dirilis kembali. Kabar gembiranya, sejauh ini belum ada laporan kerusakan properti ataupun korban luka akibat Karma.

Via Wall Street Journal, juru bicara Consumer Product Safety Commission menyampaikan bahwa mereka tidak mengatur kebijakan mengenai pengembalian uang, namun memang CPSC-lah yang memerintahkan GoPro buat menarik semua unit Karma. Federal Aviation Administration sendiri selaku otoritas penerbangan sipil AS belum memberikan komentar. Di negara itu, pemilik drone wajib mendaftarkan perangkatnya ke FAA.

Dijual seharga US$ 800, Karma adalah upaya GoPro melebarkan sayapnya ke ranah aerial videography. Drone ini dilengkapi berbagai fitur unik dan controller berlayar sentuh.

Sumber: GoPro.

This Wristband is so Smart It Can Track Your Emotions

Adopting medical electrocardiography (ECG) technique and slated for release next year, Sence is said to be capable of reading heart rate every 4 milliseconds. It will transform the raw heart rate into data to monitor the wearer’s emotional condition, such as stress, anxiety level, happiness and vitality, and then refer to a database consisting of tens of thousands people’s medical records to detect 64 types of emotion.

The product aims to help users become more aware of their life rhythm so they can change daily routines and create a better mood.

Aside from knowing their own emotions, users will also be able to track the emotional level of people around them using the device’s mobile app. To enable this feature, they will need to have those people registered in their network.

Sence is the first product of Planexta, which is led by CEO Eugeny Nayshtetik. Its shape is similar to a fitness tracking device, with a monitor-less main module bound by a rugged rubber strap. The device’s battery is said to last up to 48 hours after charging through a USB port. The expected price for the product is US$299.


Disclosure: The original article is in Indonesian and syndicated in English by The Jakarta Post

Xiaomi Luncurkan Mainan Robot, Headset Bluetooth dan Mouse Portable Baru

Sejak menapakkan kakinya pertama kali di Indonesia, Xiaomi berusaha menunjukkan bahwa mereka berbeda dari mayoritas produsen handset. Xiaomi lebih fokus pada komunitas dan tidak ragu memasarkan aksesori serta pernak-pernik pelengkap perangkat bergerak. Di Indonesia, tidak sulit bagi kita untuk menemukan action cam, smartband sampai power bank dengan brand Mi.

Melengkapi jajaran produk mereka, Xiaomi belum lama ini memperkenalkan sejumlah device unik baru: mainan robot ala Lego bernama Toy Block, headphone Bluetooth Mi Sports dan periferal PC Mi Portable Mouse.

Toy Block

Toy Block adalah titik temu antara aspek modular mainan Lego dengan kerennya desain robot Gundam. Ia dibekali konektivitas ke perangkat bergerak, sepertinya disiapkan sebagai medium belajar coding untuk anak-anak dan dewasa. Bundel Toy Block berisi komponen-komponen seperti roda, roga gigi dan rantai, memungkinkan Anda merakit robot yang bisa bergerak.

Salah satu aspek paling menarik dari Toy Block adalah kehadiran chip ARM Cortex-M3 dan sensor gyroscope. Berkatnya, sang robot ini bisa menjaga tubuhnya tetap berdiri, lalu strukturnya didesain supaya sanggup menopang bobot hingga tiga kilogram. Tentu saja Toy Block ditemani oleh aplikasi khusus. Dengannya, Anda dapat mengendalikan serta mengkonfigurasi gerakan robot.

Mainan ini rencananya akan dijual seharga ¥ 500 atau setara US$ 73, tersedia mulai tanggal 11 November di Tiongkok.

Mi Sports

Produksi headphone memang bukanlah hal baru bagi Xiaomi, namun Mi Sports merupakan headset Bluetooth pertama mereka. Xiaomi tetap berkiblat pada rancangan in-ear tradisional, menambahkan strukutur loop demi menjaganya agar tidak mudah jatuh. Mi Sports telah memperoleh sertifikasi PPX4, yang berarti tahan air dan keringat, dengan berat hanya 17,8-gram. Mirip Plantronics BackBeat Go, bagian in-ear kiri dan kanan tersambung oleh kabel.

Xiaomi Mi Sports

Headset terkoneksi ke smartphone via Bluetooth 4.1, proses pairing-nya diklaim hanya berlangsung tiga detik saja, dan user dapat menyambungkan Mi Sports ke dua perangkat sekaligus. Di dalam, ia ditenagai baterai 110mAh, menyajikan talk time selama tujuh jam dan standby 280 jam.

Produk dijajakan seharga ¥ 150 atau kira-kira US$ 22, baru bisa dibeli di China tanggal 11 November nanti.

Mi Portable Mouse

Seperti Mi Notebook yang menyerupai MacBook Air, rancangan Mi Portable Mouse juga tampaknya ‘terinspirasi’ dari Apple Magic Mouse 2, dapat Anda lihat dari tubuh melengkungnya. Bedanya, mouse Bluetooth ini mempunyai bagian tombol membundar dengan dimensi 110,2×57,2×23,6mm dan berat 77,5-gram. Aspek spesial dari Mi Portable Mouse adalah fitur dual-mode, di mana user bisa menyambungkannya ke dua PC berbeda.

Xiaomi Mi Portable Mouse

Mi Portable Mouse dapat bekerja secara wireless hingga jarak maksimal 10 meter dari PC, dan dijanjikan menyuguhkan keakuratan 95 persen berkat sistem ‘high-speed laser positioning‘. Periferal ini membutuhkan dua baterai AA sebagai sumber tenaganya, kompatibel ke sistem operasi Windows 7, 8 dan 10.

Harganya sangat murah, cuma ¥ 100 (kurang lebih US$ 15), lagi-lagi baru akan tersedia di Tiongkok pada tanggal 11 November.

Via BGR, Mashable, Mi.com, dan MIUI.com.