She and the Light Bearer dan My Lovely Daughter Resmi Dirilis untuk Switch

Semakin banyak saja produk karya anak bangsa yang dirilis di console Nintendo Switch. Maklum, dengan total penjualan hardware mencapai lebih dari 34 juta unit, serta jumlah game yang belum terlalu ramai, platform ini memungkinkan game indie untuk mendapatkan visibilitas tinggi. Apalagi Switch itu sendiri memang merupaka console/handheld yang keren dan asyik untuk dimainkan.

Kali ini, Toge Productions menerbitkan dua game andalan mereka ke Switch dalam waktu yang hampir berdekatan. Pertama yaitu My Lovely Daughter, game bertema alchemist simulator yang dikembangkan oleh perusahaan asal Tangerang, Gamechanger Studio. Kedua yaitu She and the Light Bearer, game bergenre point-and-click adventure karya Mojiken Studio, yang dikenal suka membuat karya dengan nilai artistik tinggi.

My Lovely Daughter sudah dirilis pada tanggal 23 Mei 2019 lalu, dan bisa Anda dapatkan melalui Nintendo eShop dengan harga US$14,99 (sekitar Rp213.000). Game ini menceritakan tentang seorang pria bernama Faust yang kehilangan ingatan, yang tiba-tiba terbangun dan menemukan bahwa anak gadisnya telah meninggal dunia. Sebagai Faust, Anda harus melakukan berbagai eksperimen alkimia untuk berusaha menghidupkan sang anak tercinta. Menghidupkan orang mati adalah ilmu terlarang dalam alkimia, jadi bisa ditebak bahwa cerita ini tidak akan berisi pelangi dan bunga-bunga saja.

Sementara She and the Light Bearer dibanderol dengan harga sedikit lebih murah, US$9,99 (sekitar Rp142.000). Game kedua ini dirilis pada tanggal 6 Juni 2019 lalu, dan menceritakan perjalanan seekor kunang-kunang kecil dalam mencari sosok yang disebut The Mother. Keunikan game terletak pada desain visual dan dialognya yang dirancang agar menyerupai buku-buku dongeng.

Selain merilis kedua game tersebut, Toge Productions juga baru saja meluncurkan demo untuk game baru mereka yang berjudul When the Past Was Around. Game ini juga merupakan hasil karya Mojiken Studio, jadi sudah barang tentu akan memiliki estetika menarik juga. When the Past Was Around menceritakan kisah seorang gadis dan monster di dunia misterius yang terdiri dari ruangan-ruangan berisi memori berbagai masa. Anda dapat mengunduh demonya secara gratis untuk PC Windows dan MacOS di situs itch.io.

Sumber: Toge Productions

Baldur’s Gate 3, cRPG Legendaris: Buah Hati Baru Larian Studios

Buat yang fanatik dengan Dungeons and Dragons (D&D) ataupun gamer PC sejati yang sekarang sudah jadi om-om, Anda seharusnya tahu seri game Baldur’s Gate.

Jika kita berbicara soal Baldur’s Gate, tak ada salahnya juga kita belajar sedikit soal sejarah RPG dan turunannya (termasuk MOBA). Baldur’s Gate (1998) adalah salah satu game yang mendapatkan lisensi resmi D&D karena memang menggunakan lore yang diangkat dari tabletop (board) game legendaris yang menjadi nenek moyang RPG.

D&D bisa dibilang sebagai cikal bakal lahirnya segala jenis game yang memiliki character role/class (macam Warrior, Mage, Rogue, dan varian-varian lainnya) dan formula rock-paper-scissors. Sedangkan Baldur’s Gate adalah salah satu game yang memopulerkan sistem dan formula itu ke kalangan yang lebih luas (di luar penggemar board game).

Baldur’s Gate dan Baldur’s Gate 2 (dengan BioWare sebagai developernya) adalah dua dari RPG klasik (cRPG) yang menjadi pakem bagaimana seharusnya merumuskan cerita (lore, plot, ketokohan, karakteristik, dkk.) dan gameplay dari sebuah game; bersama dengan game-game legendaris lainnya seperti seri Icewind Dale dan Planescape: Torment.

Baldur's Gate Enhanced Edition. Sumber: Steam
Baldur’s Gate Enhanced Edition. Sumber: Steam

Kenapa saya bercerita sedikit soal itu tadi? Karena saya ingin menekankan betapa penting dan istimewanya seri Baldur’s Gate sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan game sampai hari ini.

Menariknya, Baldur’s Gate 3 menjadi proyek garapan dari Larian Studios. Buat yang tidak tahu, Larian Studios adalah yang menggarap seri Divinity, termasuk Divinity: Original Sin (D:OS) dan Divinity: Original Sin 2 (D:OS2). Buat yang lebih senang bermain game picisan, Anda mungkin tak pernah mendengar nama developer ini. Namun mereka berhasil menciptakan sebuah mahakarya lewat 2 game terakhir mereka tadi. Karena itu, Larian Studios memiliki sentimen positif dari mereka-mereka yang cukup idealis dalam menilai sebuah game.

Kombinasi antara Baldur’s Gate 3 dan Larian Studios inilah yang membuat gempar para fanatik RPG sejati saat mendengar pengumumannya.

Menurut cerita CEO Larian Studio, Swen Vincke, kepada PC Gamer, ada cerita menarik di balik mendaratnya proyek Baldur’s Gate 3 ini ke pangkuan mereka. Awalnya, saat Vincke mendekati Wizards of the Coast (pemegang lisensi D&D), Larian Studios dianggap masih ‘bau kencur’ (kala itu Larian masih sedang dalam tahap pengembangan D:OS). Namun demikian justru Wizards yang menghubungi Larian saat mereka sedang menggarap D:OS2.

“Waktu D:OS2, kami harus menyerahkan desain untuk Baldur’s Gate, yang terasa sangat menyebalkan karena kami juga hendak merilis D:OS2,” Vincke bercerita. “Jadi kami duduk di hotel selama akhir pekan, sebulan sebelum rilis (D:OS2), saya bersama beberapa penulis dan designer, untuk membuat dokumen desain awal. Desain awal tadi memang tak terlalu bagus namun punya ide-ide inti dan mereka (Wizards) menyukainya.”

Larian pun membuat versi lainnya, Wizards jatuh hati, dan itulah yang menjadi fondasi dari Baldur’s Gate 3. Sayangnya, Larian belum mau mengungkap lebih banyak soal fondasi tadi. Meski memang ada beberapa hal yang mungkin bisa jadi clue dari obrolan Vincke bersama PC Gamer.

“Ada banyak orang di Larian yang bermain D&D dan ada banyak sesi game yang berjalan terus menerus, jadi hal itu memudahkan kami karena kami punya lore police internal. Saya malah yang biasanya mencoba keluar dari pakem namun mereka menegur saya untuk kembali ke ‘kiblat’. Biasanya hal itu memang cukup karena koreksi internal kami justru lebih kaku ketimbang Wizards. Mereka sangat fleksibel dengan tujuan membuat petualangan jadi lebih menyenangkan. Kami (Larian dan Wizards) punya keselarasan dalam berpikir dan implementasinya, namun punya kami berbentuk video game.” Jelas Vincke.

D:OS2 juga sudah punya mode Game Master dan Co-Op yang mengijinkan Anda bermain tabletop RPG di PC. Karena itu, Baldur’s Gate juga akan memberikan para pemainnya perlengkapan yang serupa untuk dimainkan.

Meski memang Vincke tidak mau memberikan konfirmasinya untuk Baldur’s Gate 3, ia mengaku tertarik untuk meninjau kembali sistem origin di Original Sin 2 yang menyuguhkan karakter premade dengan latar belakang, quests, dan talents yang unik.

“Saya kira latar belakang cerita yang berbeda-beda (di D:OS2) adalah sebuah terobosan untuk genre RPG. Ekspektasi untuk origin stories tadi juga sebenarnya lebih tinggi dari apa yang bisa kita implementasikan di game-nya namun saya kira kami berhasil membuatnya relevan dan saling terkait, namun ada banyak hal lainnya yang bisa dilakukan lagi soal fitur tersebut. Saya sungguh tertarik untuk eksplorasi lebih jauh soal ini.”

Divinity: Original Sin 2. Credits: Larian Studios
Divinity: Original Sin 2. Credits: Larian Studios

Baldur’s Gate 3 juga akan mengizinkan Anda bertualang bersama kawan (multiplayer) namun Larian belum mau bercerita tentang bagaimana implementasi sistem multiplayer-nya nanti.

Akhirnya, saya pribadi, yang memang maniak cRPG dan selalu mendamba game-game dengan cerita mendalam serta gameplay yang kompleks, sungguh tak sabar menanti reinkarnasi seri game legendaris yang jadi buah hati baru antara Larian Studios dan Wizards of the Coast.

Microsoft akan Bawa Lebih Banyak Game ke Steam

Kabar baik datang dari raksasa teknologi dunia, Microsoft. Mereka mengumumkan bahwa Microsoft akan membawa lebih banyak game-game Xbox Game Studios ke Steam.

Keputusan tersebut merupakan bagian dari strategi layanan langganan Xbox Game Pass untuk PC yang diumumkan tanggal 30 Mei 2019.

Mengutip dari PC Gamer; Phill Spencer, Kepala divisi Xbox dari Microsoft, mengatakan, “tujuan kami adalah membuat game-game PC dari Xbox Game Studios tersedia di berbagai toko (digital), termasuk Microsoft Store on Windows milik kami, saat perilisannya. Kami percaya bahwa Anda harusnya punya pilihan di mana Anda ingin membeli game PC.”

Xbox Game Pass untuk PC. Sumber: Microsoft
Xbox Game Pass untuk PC. Sumber: Microsoft

Sebelumnya, sebagian besar dari game mereka memang eksklusif di Microsoft Store yang berarti berbentuk Universal Windows App (UWA). Format UWA sendiri memang punya banyak kekurangan karena tak mendukung moddingoverlays, dan berbagai ekstensi semacam ReShade. Padahal, hal-hal itulah yang sebenarnya membuat PC gaming superior dibandingkan platform gaming lainnya.

Sejumlah game rilisan Microsoft seperti Halo Wars sudah dirilis di Steam. Seri Master Chief Collection juga akan dirilis di Steam tahun ini, yang dimulai dari Halo Reach.

Pada saat pengumumannya, Age of Empires 1-3 Definitive Editions dan Gears 5 akan masuk gelombang pertama yang akan dirilis di Steam. Sayangnya, belum ada kejelasan untuk gamegame yang memang eksklusif untuk Microsoft Store seperti Sea of Thieves ataupun seri Forza Horizon.

Namun demikian, mungkin kita boleh sedikit optimis karena Microsoft juga menambahkan pernyataan berikut ini:

“Memungkinkan para gamers untuk bermain bersama cross-platform dan cross-network di PC Windows 10 dan console adalah hal yang krusial. Membangun komunitas antar pemain, terlepas dari toko ataupun platform yang mereka gunakan (console ataupun PC), juga sama pentingnya karena hal tersebut dapat menyatukan para gamer, memungkinkan game-game nya mendapatkan pasar terbesar, dan membangun kebersamaan sebagai potensi yang sesungguhnya dari kegiatan bermain.”

Steam akan menjadi tujuan pertama sebelum Microsoft membawa game-game mereka ke toko-toko lainnya. “Kami tahu jutaan PC gamers memercayai Steam sebagai tempat untuk mendapatkan game mereka dan kami mendengar masukan bahwa para gamer PC ingin punya opsi. Kami juga tahu bahwa ada toko-toko lain di PC dan kami berupaya untuk memberikan lebih banyak pilihan bagi para gamer untuk menemukan game-game Xbox Game Studios di lebih banyak toko.”

Jadi, apakah nanti kita juga dapat melihat ada game Microsoft di GOG?

State of Decay 2 yang masih belum tersedia untuk Steam. Sumber: Microsoft
State of Decay 2 yang masih belum tersedia di Steam. Sumber: Microsoft

Selain Microsoft akan merilis game-game mereka di Steam, Microsoft Store juga akan memberikan dukungan ke game-game Win32. Hal ini berarti jika para publisher ataupun developer ingin menaruh game mereka di Microsoft Store, mereka tak lagi harus me-repackage game mereka jadi berbentuk UWA.

Akhirnya, Microsoft Store sendiri mungkin memang tidak populer di kalangan gamer PC. Namun Windows adalah sistem operasi terbaik untuk gaming dan DirectX juga sudah sangat berjasa besar dalam perkembangan sejarah gaming sampai hari ini (setidaknya menurut pendapat saya). Jadi, sudah sewajarnya juga jika berbagai komponen lain dari Microsoft turut memberikan dukungan yang terbaik buat para loyalis PC Master Race.

Meriahkan Ramadan, Hago Collect Cards Gelar Sayembara Berhadiah Rp10 Miliar

Siapa tak kenal Hago? Aplikasi platform sosial sekaligus game ini sempat viral di tahun 2018, dan hingga kini memiliki hingga 36 juta pengguna di seluruh dunia. Desain tampilannya yang imut serta jenis game di dalamnya yang kocak serta memiliki muatan lokal membuat aplikasi ini menarik, apalagi untuk gamer jenis Time Filler yang butuh hiburan ringan untuk mengisi waktu kosong.

Di bulan Mei ini, di tengah hangatnya suasana bulan suci Ramadan, Hago kembali meluncurkan permainan baru dengan judul Collect Cards. Serunya, game ini juga memberikan kesempatan bagi para pemainnya untuk memenangkan hadiah uang tunai senilai Rp10 miliar. Caranya adalah dengan memainkan Collect Cards di periode 24 – 31 Mei 2019 dan mengoleksi 5 kartu dengan tema Ramadan. Tak hanya berwujud uang tunai, hadiah juga tersedia dalam bentuk voucer dari Hago dan Miniso.

Hago - Screenshot
Hago sempat menduduki peringkat 1 Top Grossing di Google Play kategori Social

“Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pengguna Indonesia untuk menikmati dan mendapatkan hiburan dalam bermain game sekaligus mendapatkan kesempatan untuk memenangkan hadiah uang tunai dengan total Rp10 miliar. Kami ingin menginformasikan ke jutaan pengguna di Indonesia dan mengundang mereka untuk ikut bergabung memainkan game ini. Kami percaya bahwa game ini akan memberikan pengalaman luar biasa dan menjadi tambahan game favorit sepanjang masa bagi para pengguna kami di platform Hago,” demikian papar Valen Fan, Country Manager Hago Indonesia, dalam siaran pers.

Untuk mengoleksi kartu-kartu bertema Ramadan itu, pengguna dapat meningkatkan kesempatan mendapat kartu dua kali lipat dengan dua cara. Pertama yaitu bertemu dengan pengguna lain. Dengan memindai kode QR Hago yang dimiliki pengguna lain maka kita bisa mendapatkan kartu Bulan Sabit. Cara kedua adalah dengan fitur “Ask for Cards”, yaitu mengundang teman untuk bergabung ke Hago melalui tautan khusus. Dari sini pengguna bisa mendapat kartu teman dan menggandakan kesempatan untuk memperoleh kartu Ramadan.

Hago Collect Cards - Screenshot
Event Ramadan Hago Collect Cards

Selain dua cara khusus di atas, banyak cara untuk memperoleh kartu secara umum. Misalnya dengan berbagi tautan download ke media sosial, memainkan berbagai game lain yang ada di Hago, bergabung ke Chat Room Event, hingga menggunakan bonus check-in harian. Pengguna yang mendapatkan kartu baru, namun tidak berhasil memperolah salah satu dari 5 kartu bertema khusus, akan mendapat fitur luck wish spesial.

Pihak Hago bekerja sama dengan salah satu musisi asal Indonesia yaitu Brisia Jodie untuk turut memeriahkan event ini sebagai ambassador. Miniso juga turut berpartisipasi lewat kerja sama dengan Hago untuk memberikan beragam hadiah menarik. Bila Anda pengguna Hago, jangan lewatkan event berhadiah ini, dan pantau terus media sosial Hago Indonesia untuk informasi-informasi terbaru.

Call of Duty: Modern Warfare Akan Kembali di 2019, Siap Sajikan ‘Momen-Momen Emosional’

Didirikannya Infinity Ward di tahun 2002 merupakan potongan sejarah penting di ranah gaming, karena dari dari sana-lah fenomena Call of Duty dimulai. Beberapa judul pertama di franchise ini dianggap gamer veteran sebagai permainan terbaik di eranya, namun bagi banyak orang, seri Modern Warfare merupakan yang paling ikonis karena membawa pemain ke medan tempur masa kini.

Sebagai pionir, perjalanan Infinity Ward tidak selalu mulus. Studio ini cukup terpukul ketikaco-founder-nya, Vince Zampella dan Jason West, berseteru dengan pihak Activision. Kemudian, dua game terbaru mereka, Ghosts dan Infinite Warfare juga tidak memperoleh respons sepositif permainan-permainan terdahulu. Di tahun ini, Infinity Ward berniat untuk mencoba peruntungannya kembalI sembari menerapkan satu twist unik.

Anda mungkin sempat mendengar dari sejumlah rumor yang beredar, bahwa Activision berencana untuk meluncurkan sekuel dari Modern Warfare dalam waktu dekat. Kabar ini kembali diperkuat oleh laporan YouTuber LongSensation lewat Twitter-nya. Ia bilang, ‘Call of Duty 2019’ mengusung judul resmi ‘Call of Duty: Modern Warfare’ – tak berbeda dari permainan pertama di seri itu yang dirilis di tahun 2007.

Laporan senada juga digaungkan oleh Jason Schreier dari Kotaku berdasarkan pengakuan dari banyak sumber. Schreier menyampaikan, Activision sebetulnya sudah mulai memamerkan konten game ini kepada sejumlah awak pers dan influencer, tetapi Kotaku bukan salah satunya dan tidak terikat embargo/NDA. Dari keterangannya, ada cukup besar peluang Call of Duty: Modern Warfare bukanlah sekuel yang kita harapkan.

Proyek Call of Duty: Modern Warfare 2019 dirancang sebagai ‘soft rebootgame pertama, digarap oleh tim Infinity Ward dan dijadwalkan untuk meluncur di musim gugur tahun ini. Hal paling menarik di sini ialah, permainan tak hanya mencoba menghidangkan aksi tembak-menembak seru, tetapi juga momen-momen penuh emosi dan pilihan moral yang sulit. Kabarnya konsep tersebut terpinspirasi dari level kontroversial bertajuk No Russian di Modern Warfare 2.

Misi No Russian menempatkan pemain sebagai agen CIA yang menyamar jadi anggota kelompok teroris Rusia. Kata-kata ‘no Russian’ diucapkan oleh sang tokoh antagonis, maksudnya adalah agar mereka tidak berkoordinasi dalam bahasa Rusia. Di sana, pemain diberi pilihan untuk menembak kerumunan warga sipil tak berdosa (walaupun kita bisa tidak melakukannya, dan hal ini tak mengubah narasi).

Setelah Modern Warfare tersedia di tahun 2019, Call of Duty: Black Ops ‘5’ akan jadi fokus Activision berikutnya. Permainan tersebut kabarnya akan kembali menghidangkan mode campaign single-player.

The Last of Us 2, Death Stranding dan Ghost of Tsushima Tetap Akan Meluncur di PlayStation 4

Terlepas dari absennya Sony di perhelatan E3 2019, mereka tak bisa melarikan diri dari sorotan publik, terutama setelah perusahaan menyingkap info lebih detail terkait komposisi hardware console next-gen. Di bulan ini, muncul rentetan berita mengenai Sony, dari mulai kemitraan bersama Microsoft, komparasi performa antara PS5 dan PS4 Pro, hingga ke mana produsen akan mengarahkan pengembangan layanan PlayStation Now.

Satu lagi pertanyaan terbesar yang muncul di masa-masa peralihan ini adalah, apakah game-game andalan yang dahulu dipamerkan di E3 – misalnya The Last of Us: Part 2, Death Stranding dan Ghost of Tsushima – akan tiba di PlayStation 4 atau mereka akhirnya disiapkan sebagai launch title ‘PS5’? Gamer dapat bernafas lega sesudah tahu bahwa console generasi selanjutnya dari Sony dibekali fitur backward compatibility, karena dengan begini ada kesempatan bagi pemiliki PS4 untuk menikmati judul-judul anyar itu.

Dan ada kabar gembira lagi buat Anda yang menanti judul-judul di atas. Dari sebuah bocoran yang berisi strategi perusahaan, Sony Interactive Entertainment kembali menegaskan krusialnya peran PlayStation 4. Console current-gen tersebut akan tetap jadi ‘medium penyajian konten penting’ dan ‘platform penghasil pemasukan’ dalam kurun waktu tiga tahun ke depan. Perusahaan juga bilang akan terus meluncurkan permainan-permainan eksklusif di sana.

Bersamaan dengan pernyataan itu, Sony menampilkan box art dari The Last of Us: Part 2, Death Stranding, serta Ghost of Tsushima. Hal ini mengindikasikan bagaimana ketiga permainan eksklusif tersebut tetap akan dilepas di platform current-gen, diperkirakan akan tiba dalam waktu tiga tahun atau lebih cepat. Di acara gathering minggu lalu, lead of PR SIE Singapore Ian Purnomo mendengungkan pendapat senada, bahwa judul-judul ini tetap dijadwalkan untuk mendarat di PS4.

Ketiga game tentu saja juga bisa dimainkan di PlayStation ‘5’. Melihat susunan hardware console anyar itu, game boleh jadi akan berjalan dengan tingkat visual yang lebih baik dan didukung fitur-fitur grafis baru. Di salah satu slide presentasi, Sony menyampaikan, “Kami akan memanfaatkan kapabilitas backward compatibility untuk membantu proses transisi ke next-gen secara lebih cepat dan mulus.”

Di masa peralihan nanti, PlayStation 4 akan berperan sebagai pintu gerbang bagi gamer sebelum mereka merangkul platform next-gen. Banyak orang dan pakar percaya, tahun ini penjualan PS4 berpotensi menebus seratus juta unit. Sony sempat mengungkapkan bahwa dari 96,8 juta unit yang telah terjual, 90 persen pemilik console current-gen sempat mengakses PlayStation Network dalam kurun waktu 12 bulan ke belakang.

Sumber: GamesRadar+.

WSJ: Streamer Terkemuka Dibayar Rp700 Juta Per Jam untuk Promosi Game

Influencer di dunia marketing telah menjadi kekuatan yang diakui, serta terbukti dapat menghasilkan tingkat konversi yang tinggi. Hal ini juga berlaku dalam industri video game. Sudah bukan rahasia bahwa banyak penerbit ternama yang gemar membayar influencer terkenal untuk memainkan game baru mereka lewat platform streaming Twitch, contohnya EA ketika merilis Apex Legends beberapa waktu lalu. Di zaman sekarang, popularitas suatu game di Twitch bahkan dapat menjadi indikator kuat akan kesuksesannya di pasaran.

Yang jadi pertanyaan bagi kita adalah seberapa efektif kekuatan influencer itu, dan berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk menggunakan influencer marketing? Wall Street Journal (WSJ) mengungkapnya dalam artikel yang diterbitkan pada tanggal 18 Mei 2019 kemarin. Menurut laporan WSJ tersebut, streamer terkenal di Twitch bisa mendapatkan kontrak untuk memainkan game dengan nilai hingga US$50.000 per jam, atau sekitar Rp724,1 juta per jamnya. Luar biasa!

WSJ menyebutkan bahwa beberapa penerbit yang sudah sering menggunakan jasa influencer ternama antara lain Activision Blizzard, Take-Two, Ubisoft, serta tentu saja Electronic Arts. Menariknya, angka US$50.000 itu bukan angka terbesar di dunia streaming. Menurut sumber-sumber yang dikontak oleh Kotaku, tawaran streaming itu bisa mencapai US$60.000, bahkan lebih. Untuk kontrak jangka panjang, nilainya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan dolar.

Ninja (Tyler Blevins) adalah salah satu streamer yang dikabarkan pernah menerima kontrak tujuh digit tersebut. Menurut laporan Reuters, Ninja menerima bayaran sebesar US$1.000.000 dari EA untuk mempromosikan Apex Legends di Twitch dan Twitter. EA juga mengontrak beberapa streamer lain, contohnya Shroud (Michael Grzesiek). Strategi ini terbilang sukses, karena Apex Legends sempat menjadi game paling populer di Twitch untuk waktu yang cukup lama. Nilai saham EA pun meningkat hingga sekitar 10% karenanya.

Game Anda menduduki peringkat atas di Twitch sekarang punya nilai yang besar,” kata Adam Lieb, CEO perusahaan marketing Gamesight, dilansir dari Kotaku. Menurutnya, dengan biaya yang sama, pemasangan iklan di Twitch atau IGN tidak akan menghasilkan dampak yang sama besarnya. Akan tetapi penentuan nilai kontrak streamer ini cukup rumit karena tidak semua streamer dapat memberi hasil yang sama.

Sebagai contoh, ketika audiens seorang streamer sudah sangat besar, bisa jadi banyak dari audiens itu terdiri dari pemirsa muda. Artinya kemungkinan mereka berinteraksi dengan konten game yang disiarkan lebih kecil. Kita tidak bisa mematok perhitungan harga sederhana, misalnya US$1 untuk 1 viewer per 1 jam.

Efektivitas influencer salah satunya datang dari kedekatan personal antara influencer dengan audiens mereka. Ketika audiens modern melihat iklan konvensional, mereka cenderung kurang percaya karena mereka tahu iklan sudah dirancang oleh perusahaan untuk menunjukkan keunggulan produk. Tapi ketika melihat influencer, mereka menemukan sosok yang lebih terpercaya, apa adanya, dan dapat menjadi rujukan rekomendasi yang lebih baik. Influencer yang terikat kontrak pasti memiliki aturan-aturan tertentu (misalnya tidak boleh berkata kasar ketika streaming), tapi mereka masih dipandang sebagai sosok yang jujur ketimbang iklan konvensional.

Dengan semakin membesarnya pasar industri streaming, para selebritas internet telah menjadi sarana pemasaran yang efektif dan relatif murah. Nanti mungkin akan tiba waktunya di mana kita tak lagi bisa membedakan mana konten video yang jujur dan mana yang sebenarnya iklan. Tugas para streamer dan influencer adalah menjaga integritas mereka agar mereka tetap objektif terhadap produk yang mereka iklankan, dan tidak berubah menjadi perpanjangan mulut korporasi saja.

Sumber: Kotaku, Wall Street Journal

Call of Duty Black Ops ‘5’ Akan Hadirkan Kembali Mode Single-Player?

Ada kalanya mode single-player menjadi jati diri dari permainan action dan shooter. Di bagian inilah, developer mencoba membenamkan berbagai teknologi gaming mutakhir, dari mulai grafis dan fisik yang diintegrasikan pada elemen gameplay, puzzle, hingga pengembangan AI pada NPC. Tapi hal ini berubah sejak  battle royale menyerbu dan publisher mulai menjalankan strategi ‘game as a service‘.

Efek dari demam battle royale bisa kita rasakan di mana-mana, termasuk di franchise raksasa seperti Battlefield dan Call of Duty. Kedua nama ini ‘terpaksa’ menyediakan mode last man standing berskala besar demi memenuhi minat pemain, namun Call of Duty melangkah lebih jauh dengan mengorbankan campaign buat memasukkan battle royale. Black Ops 4 merupakan permainan pertama di seri itu yang tidak disertai porsi single-player.

Namun sepertinya, Activision tak berniat membuat single-player absen terlalu lama. Berdasarkan laporan sejumlah narasumber pada Kotaku, sang publisher menugaskan salah satu tim developer-nya untuk mengembalikan mode campaign di Call of Duty, walaupun boleh jadi bukan pada judul yang dirilis di tahun ini. Belum diketahui akan seperti apa Call of Duty ‘2019’, tapi menurut rumor, game tersebut diramu sebagai penerus Modern Warfare.

Para informan mengabarkan bahwa untuk tahun 2020 nanti, Activision menunjuk tim Treyarch buat mengembangkan Call of Duty Black Ops ‘5’. Seperti sebelumnya, proses tersebut dibantu oleh dua studio lain di bawah Activision, yaitu Raven Software dan Sledgehammer Games. Kabarnya, game tersebut akan membawa pemain ke era Perang Dingin. Dan karena jadwal rilis yang diperkirakan mendekati pelepasan console next-gen, kemungkinan ia disiapkan sebagai permainan cross generation.

Jika laporan ini akurat, maka Activision hanya memberikan waktu dua tahun bagi Treyarch untuk menggarap game barunya (Call of Duty 2019 bukan dibuat oleh studio ini). Beberapa orang di Treyarch mengakui bahwa mereka kurang senang terhadap keputusan itu, karena Black Ops 4 saja menuntut begitu banyak waktu lembur; namun ada pula staf yang merasa gembira karena tim sudah mempunyai rencana pengembangan yang solid.

Terlepas dari respons gamer dan media yang cukup positif terhadap Black Ops 4, game shooter blockbuster ini belum dapat membantu Activision mencapai target pemasukan mereka di 2018. Narasumber bilang, publisher tengah mempertimbangkan buat mengusung model bisnis free-to-play (yang dulu begitu dibenci) untuk diintegrasikan dalam Modern Warfare baru. Beberapa orang di Activision kurang setuju dengan pendekatan ini.

Pertanyaan saya pribadi adalah, apakah ‘Modern Warfare 4’ juga menjagokan battle royale dan hadir tanpa single-player?

Aturan Game Tiongkok Semakin Ketat, Tampilan Darah dan Kata “Bunuh” Dilarang

Baru-baru ini aturan game di Tiongkok sedang jadi perbincangan hangat setelah Tencent mengumumkan penutupan PUBG Mobile di negara tersebut. Menariknya adalah tidak hanya menutup, tapi Tencent menggantinya dengan game baru yang memiliki gameplay serta tampilan visual, namun tanpa unsur-unsur kekerasan. Tampilan darah sama sekali dihilangkan, dan adegan kematian pemain pun diganti dengan karakter yang melambaikan tangan lalu menghilang.

Rupanya, tidak hanya PUBG Mobile yang terkena sensor seperti itu, melainkan semua game yang beredar di Tiongkok mulai sekarang. Dikabarkan oleh Gamasutra, pemerintah Tiongkok ternyata sekarang menerapkan aturan bahwa segala macam wujud darah tidak boleh ada di video game. Dulu pengembang game masih bisa mengakali kekerasan ini dengan menggunakan “cairan berwarna” sebagai pengganti darah, namun kini cara itu pun dilarang. Tidak hanya darah secara eksplisit, tapi segala hal yang bisa diartikan sebagai darah sama sekali tidak diperbolehkan.

Satu lagi aturan tambahan yang baru diterapkan adalah dilarangnya penggunaan kata “bunuh” di dalam game. Ini termasuk seluruh teks yang ada, mulai dari dialog, deskripsi barang, narator, hingga judul game itu sendiri. Bayangkan betapa besar imbasnya. Berbagai game MOBA yang biasanya menggunakan kata-kata seperti “double kill, triple kill” kini harus mengalami perombakan. Begitu juga dengan game yang memiliki judul semacam Killing Floor, atau Danganronpa V3: Killing Harmony.

Aturan ini juga mengikat game yang sudah mendapat lisensi untuk terbit di Tiongkok. Bila ternyata suatu game melanggarnya, bisa jadi lisensi itu ditarik kembali hingga developer melakukan perubahan. Sebelumnya pemerintah Tiongkok juga telah menerapkan aturan anti kekerasan yang melarang adanya tampilan mayat, tengkorak atau tulang-belulang, organ dalam manusia, pemotongan bagian tubuh, dan sebagainya. Namun aturan kali ini semakin mempersempit ruang kreatif para developer di sana.

Mortal Kombat 11 - Screenshot
Mortal Kombat 11 dilarang beredar di Tiongkok karena alasan kekerasan | Sumber: Sony

Meski memang sangat ketat, Tiongkok adalah pasar gamer yang sangat besar, jadi bagi banyak developer aturan ini adalah harga yang tidak terlalu mahal untuk dibayar. Gamasutra memberi saran pada para developer untuk siap menciptakan game yang “China-ready”, antara lain dengan langkah-langkah berikut:

  • Menciptakan animasi alternatif untuk kematian. Karakter yang melambai lalu menghilang di Game for Peace adalah salah satu contoh, tapi selain itu masih ada cara lainnya. Misalnya membuat karakter berubah menjadi asap seperti di Clash of Clans.
  • Menggunakan efek pertarungan ala komik. Di berbagai komik terutama komik Amerika, adegan pertarungan disertai dengan efek-efek balon suara untuk dramatisasi. Cara ini bisa juga diterapkan di video game.
  • Menggunakan efek visual lain untuk mengganti darah. Bukannya memunculkan cipratan cairan dari bekas luka, developer bisa menggantinya dengan asap putih ketika ada tokoh tertembak atau tersabet senjata tajam.
  • Memberi opsi untuk menyala-matikan kekerasan. Fitur “toggle violence” sudah cukup lumrah ada bahkan sejak sebelum aturan ini diterapkan. Membuat setiap game memiliki fitur ini adalah langkah yang bijak.
  • Mencari inspirasi dari game ramah anak. Banyak game yang dirancang agar bisa dimainkan oleh semua umur. Game semacam ini masih memunculkan kekerasan, namun dengan cara yang tidak eksplisit sehingga bisa dimainkan anak-anak. Developer bisa meniru cara-cara animasi kekerasan tersebut dalam game mereka.

Contoh developer yang terbuka terhadap adaptasi aturan Tiongkok adalah Yodo1Games, developer di balik game populer Hand of Fate. Di akhir tahun 2017 lalu mereka merilis video yang menunjukkan perubahan-perubahan dalam rangka menyiapkan game tersebut untuk pasar Tiongkok. Anda dapat melihatnya di bawah, dan mungkin bila Anda developer, mencari inspirasi darinya.

Sumber: Gamasutra via Niche Gamer

Katsuhiro Harada Masih Ingin Merilis Tekken x Street Fighter, Namun Kondisinya Sulit

Masih ingat dengan Street Fighter x Tekken, fighting game campur-campur yang terbit di tahun 2012 lalu? Ketika pertama kali diumumkan, sebetulnya game tersebut adalah proyek saudara yang seharusnya dirilis bersama dengan satu game lain yaitu Tekken x Street Fighter. Bila Street Fighter x Tekken diproduksi oleh Capcom dan memiliki gameplay menyerupai seri Street Fighter, Tekken x Street Fighter diproduksi oleh Bandai Namco dan memiliki gameplay serupa seri Tekken.

Sayangnya meski Street Fighter x Tekken sudah dirilis, saudaranya hingga kini masih belum dirilis juga. Kabar terakhir, Katsuhiro Harada mengatakan bahwa proyek Tekken x Street Fighter dihentikan sementara dalam kondisi 30% selesai. “Kemunculan Akuma di Tekken 7 terjadi berkat pengalaman dan pengetahuan yang kami dapatkan ketika mengerjakan Tekken x Street Fighter,” kata Harada di sebuah tayangan live stream di akhir 2018 kemarin.

Street Fighter x Tekken - Screenshot
Street Fighter x Tekken | Sumber: Sony

Lalu apakah Tekken x Street Fighter benar-benar sudah mati? Rupanya tidak. Dalam wawancara dengan Video Game Chronicle baru-baru ini, Harada menyatakan bahwa ia masih ingin merilis Tekken x Street Fighter, tapi ia ragu-ragu menentukan apakah game itu harus diselesaikan.

“Ya, secara emosional saya ingin melakukannya,” kata Harada, “Saya masih ingin merilis game tersebut. Akan tetapi, walaupun saya ingin melanjutkan proyeknya, banyak hal telah berubah sejak tahun 2012. Jadi saya butuh mendapatkan persetujuan dan saya perlu bicara dengan Capcom lagi juga—bisa saja sekarang mereka menolak.”

Tekken x Street Fighter - Ryu 1
Protitipe Ryu di Tekken x Street Fighter | Sumber: EventHubs
Tekken x Street Fighter - Ryu 2
Prototipe Ryu di Tekken x Street Fighter | Sumber: EventHubs

Ada alasan kuat mengapa merilis Tekken x Street Fighter di masa sekarang bukanlah keputusan yang baik dari segi bisnis. Sebetulnya di suatu titik Harada sudah ingin melanjutkan proyeknya, tapi kemudian Capcom merilis Street Fighter V pada tahun 2016. Begitu juga pada waktu berdekatan Bandai Namco pun merilis Tekken 7. Bila kemudian Harada merilis Tekken x Street Fighter, game itu akan bersaing melawan dua judul di atas, dan dapat membuat komunitas penggemar terpecah.

“Jadi saya putuskan untuk menunda perilisan (Tekken x Street Fighter) selama satu atau dua tahun. Setelahnya, Tekken 7 kini sangat berhasil sebagai sebuah service game. Biasanya umur sebuah fighting game sangat singkat—mungkin satu atau dua tahun lalu Anda membuat sekuel. Tapi Tekken 7 sangat sukses sebagai sebuah service game dengan DLC di dalamnya. Itu menjadikan jauh lebih sulit untuk merilis game lain, sementara Tekken 7 masih sangat sukses,” papar Harada.

Proyek kolaborasi antara Bandai Namco dan Capcom memang menarik, apalagi bila kita penggemar Tekken dan Street Fighter sekaligus. Rasanya seru sekali melihat karakter yang tadinya 2D kini tampil di pertarungan 3D, begitu pula sebaliknya. Mungkin nanti ketika hype Tekken 7 sudah mulai menurun, Harada bisa menemukan momentum untuk merilis Tekken x Street Fighter. Saya tak sabar menunggu saat itu tiba.

Sumber: Video Game Chronicle