Google Stadia Kini Kompatibel dengan Lebih Banyak Smartphone

Salah satu keluhan terbesar terhadap Google Stadia adalah minimnya smartphone yang kompatibel. Padahal, kalau melihat daftarnya, masih banyak smartphone yang tidak tercantum yang semestinya punya performa lebih superior. Contoh yang paling gampang: Samsung Galaxy S8 kompatibel, tapi kenapa Huawei P30 yang jelas lebih perkasa malah tidak tercantum?

Pada kenyataannya, Google baru saja menambahkan deretan smartphone OnePlus ke daftar perangkat yang kompatibel, dan perangkat setua OnePlus 5 rupanya ikut tercantum. Ponsel tersebut cuma ditenagai chipset Snapdragon 835, dan itu berarti flagship keluaran 2020 macam OPPO Find X2 semestinya sudah lebih dari cukup untuk melangsungkan sesi streaming game via Stadia.

Kabar baiknya, Stadia kini mempersilakan para pelanggan untuk menggunakan perangkat Android apa saja di luar daftar smartphone yang didukung secara resmi itu tadi. Namun perlu dicatat, Google bilang fitur ini masih bersifat eksperimental, dan mereka tidak menjamin kelancarannya di setiap smartphone.

Syaratnya cuma satu: perangkat bisa menjalankan aplikasi Stadia. Setelahnya, cukup aktifkan opsinya melalui menu pengaturan (Settings → Experiments → Play on this device), maka permainan dapat langsung dinikmati di perangkat tersebut meskipun ia tak tercantum dalam daftar perangkat yang kompatibel.

Stadia touch controls

Selain menyediakan dukungan terhadap lebih banyak perangkat, Stadia juga memperkenalkan fitur kontrol sentuh. Jadi ketimbang menggunakan controller fisik, permainan bisa dijalani dengan menavigasikan tombol-tombol virtual yang muncul pada layar. Lagi-lagi fitur ini juga masih dikategorikan eksperimental, dan Google berjanji untuk terus menyempurnakannya seiring waktu.

Pembaruan terakhir yang Google hadirkan adalah opsi pengaturan resolusi untuk tiap-tiap perangkat. Sebelumnya, pengguna hanya bisa menetapkan satu pilihan resolusi saja buat semua perangkat yang digunakan. Sekarang, pengguna bisa menetapkan resolusi yang berbeda saat hendak bermain di smartphone, laptop, atau TV via Chromecast Ultra.

Perlahan tapi pasti, Stadia terus menunjukkan penyempurnaan demi penyempurnaan. Perkembangan industri cloud gaming memang jauh dari kata mulus; platform pesaing seperti GeForce Now juga punya masalahnya sendiri, meski Nvidia perlahan juga sudah mulai membenahinya. Sekarang kita tinggal berharap Google bisa segera membawanya ke Indonesia, sehingga saya tidak bingung internet cepat saya buat apa 🙂

Sumber: Stadia via Android Police.

Death Stranding Versi PC Tidak Berat Meski Grafiknya Bagus

Death Stranding semestinya sudah bisa dimainkan di PC sejak 2 Juni kemarin. Namun seperti semua game yang harus ditunda tahun ini, tanggal rilisnya terpaksa diundur menjadi 14 Juli 2020, meski Anda sudah bisa melakukan pre-order via Steam atau Epic Games Store mulai sekarang jika mau.

Menjelang peluncurannya, Kojima Productions tidak lupa menjabarkan spesifikasi PC yang dibutuhkan untuk menjalankan Death Stranding. Berikut rinciannya:

Minimum (720p / 30 fps)

  • OS: Windows 10
  • CPU: Intel Core i5-3470 atau AMD Ryzen 3 1200
  • RAM: 8 GB
  • GPU: Nvidia GeForce GTX 1050 3 GB atau AMD Radeon RX 560 4 GB
  • HDD: 80 GB
  • DirectX 12

Recommended (1080p / 30 fps)

  • OS: Windows 10
  • CPU: Intel Core i5-4460 atau AMD Ryzen 5 1400
  • RAM: 8 GB
  • GPU: Nvidia GeForce GTX 1050 Ti 4 GB atau AMD Radeon RX 570 4 GB
  • HDD: 80 GB
  • DirectX 12

Recommended (1080p / 60 fps)

  • OS: Windows 10
  • CPU: Intel Core i7-3770 atau AMD Ryzen 5 1600
  • RAM: 8 GB
  • GPU: Nvidia GeForce GTX 1060 6 GB atau AMD Radeon RX 590
  • HDD: 80 GB
  • DirectX 12

Death Stranding

Singkat cerita, untuk game dengan kualitas grafik sebagus Death Stranding, spesifikasi PC yang dituntut tergolong ramah – kecuali Anda mengincar resolusi 1440p dan frame rate di atas 60 fps. Namun ini semestinya tidak terlalu mengejutkan mengingat ia pada dasarnya merupakan game PS4 yang di-port ke PC.

Di sisi lain, ini juga menunjukkan betapa bagusnya game engine Decima rancangan Guerrilla Games yang dipakai di Death Stranding (grafiknya bagus, tapi game tidak berat). Horizon Zero Dawn versi PC nantinya semestinya juga bakal menganjurkan spesifikasi minimum yang kurang lebih sama mengingat engine yang dipakai sama persis.

Dalam kesempatan yang sama, Kojima Productions juga memamerkan sejumlah screenshot yang menunjukkan konten-konten berbau Half-Life yang akan tersedia di Death Stranding versi PC. Dugaan saya, konten Half-Life ini sepertinya bakal dijadikan fokus pada salah satu sidequest yang tersedia.

Sumber: GamesRadar.

Sony Resmi Perkenalkan PlayStation 5 Beserta Lusinan Game-nya

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Lewat sebuah live stream, Sony resmi menyingkap wujud PlayStation 5 secara utuh setelah sebelumnya lebih dulu mengungkap spesifikasi beserta controller-nya.

Kalau Xbox Series X kelihatan seperti sebuah gaming PC, PS5 sebenarnya juga demikian, tapi yang biasanya berasal dari brand Alienware. Ya, desainnya langsung mengingatkan saya pada PC besutan divisi gaming Dell tersebut, dan meskipun gambar-gambar promonya menunjukkan PS5 dalam posisi vertikal, ia sebenarnya juga bisa diposisikan secara horizontal.

Satu hal yang sangat mengejutkan (dan sangat cerdas menurut saya) adalah adanya dua varian PS5: satu dengan Blu-ray disc drive, satu lagi tanpa optical disc drive sama sekali dengan label “Digital Edition”. Spesifikasi dan performa keduanya dipastikan identik, tapi tentu saja varian Digital Edition tidak bisa merangkap fungsi sebagai Blu-ray player. Buat yang penasaran dengan performanya, demonstrasi Unreal Engine 5 (yang dijalankan di PS5) belum lama ini semestinya bisa memberikan gambaran.

PlayStation 5 Digital Edition ini merupakan langkah yang sangat cerdas, sebab saya yakin ada banyak konsumen di luar sana yang benar-benar sudah malas berkutat dengan media penyimpanan fisik (saya salah satunya). Harga jualnya juga sudah pasti lebih terjangkau daripada varian standar yang dilengkapi Blu-ray drive.

Namun perlu diingat juga, keuntungan lain membeli versi fisik suatu game adalah, game-nya itu bisa kita jual saat kita sudah bosan atau sudah menamatkannya. Di Indonesia, pasar game PS4 bekas (secondhand) tergolong cukup besar, dan saya yakin kasusnya bakal sama untuk PS5 nanti.

Sony PlayStation 5

PS5 versi standar yang dilengkapi Blu-ray drive mungkin punya banderol lebih mahal daripada PS5 Digital Edition – sayangnya Sony belum merincikan harga masing-masing varian – akan tetapi konsumennya punya opsi untuk menjual koleksi game fisiknya jika mau.

Selain console PS5 itu sendiri, Sony juga mengungkap sejumlah aksesori yang bakal mendampinginya. Mulai dari charging dock untuk controller DualSense, wireless headset dengan dukungan 3D audio, media remote dengan dukungan perintah suara, sampai sepasang webcam 1080p, semuanya akan dipasarkan bersama PS5 memasuki musim liburan nanti.

9 game eksklusif dari PlayStation Studios

Masih ingat dengan PlayStation Studios? Nama baru dari Sony Interactive Entertainment Worldwide Studios itu telah menyiapkan 9 judul eksklusif untuk dinikmati di PS5. Yang pertama adalah Horizon Forbidden West, sekuel Horizon Zero Dawn yang memukau dari sisi grafik, cerita maupun gameplay.

Dalam Forbidden West, pemain akan kembali menjalankan Aloy, kali ini di lokasi-lokasi baru yang lebih bervariasi. Petualangan yang lebih besar menanti para penggemar action RPG garapan Guerilla Games ini.

Selanjutnya, ada Marvel’s Spider-Man: Miles Morales, sekuel dari Marvel’s Spider-Man karya Insomniac Games. Buat yang pernah menonton Spider-Man: Into the Spider-Verse, nama Miles Morales semestinya terdengar tidak asing. Ya, tokoh utama film animasi dari tahun 2018 itu bakal menjadi protagonis utama di game ini.

Selain Spider-Man, suguhan lain Insomniac Games buat PS5 adalah Ratchet & Clank: Rift Apart. Anda tak harus menjadi penggemar seri Ratchet & Clank untuk bisa mengapresiasi game terbarunya ini; Insomniac berhasil memanfaatkan narasi game yang bertema petualangan lintas dimensi untuk memaksimalkan kapabilitas hardware PS5, terutama SSD super-cepatnya yang memungkinkan sang lakon untuk berpindah dari satu dunia ke yang lain tanpa diinterupsi loading screen sekali pun.

Berikutnya, ada Demon’s Souls yang merupakan remake dari game berjudul sama karya FromSoftware. Grafik yang ditawarkan versi remake-nya ini terlihat istimewa, dan reputasi pengembangnya (Bluepoint Games) yang jadi taruhan. Yup, mereka adalah studio yang sama yang mengerjakan remake Shadow of the Colossus buat PS4 dua tahun lalu.

PlayStation baru tanpa Gran Turismo baru terkesan tidak afdal, dan untuk itulah Gran Turismo 7 eksis. Selain grafik yang makin memukau, Gran Turismo 7 juga akan kembali menghadirkan mode GT Simulation yang legendaris, pengalaman menyetir yang lebih realistis berkat haptic feedback pada controller DualSense, serta dukungan 3D audio untuk menunjukkan posisi mobil-mobil kompetitor.

Game selanjutnya pasti terdengar tidak asing bagi penggemar seri LittleBigPlanet. Sackboy A Big Adventure siap mengajak pemain bertualang bersama maskot imut LittleBigPlanet tersebut. Petualangannya juga tak perlu dijalani sendirian; game ini turut mendukung co-op multiplayer hingga empat pemain sekaligus.

Berikutnya, ada Returnal yang merupakan third-person shooter tapi dengan elemen roguelike. Jadi setiap kali karakter utamanya mati, permainan bukannya berakhir, melainkan justru membawa kita ke dunia baru yang berubah total. Returnal dikerjakan oleh Housemarque, studio asal Finlandia yang portofolionya mencakup gamegame seperti Resogun maupun Nex Machina.

Twisted Metal dengan nuansa konyol ala Rocket League, itulah kesan yang saya dapat setelah menonton trailer Destruction AllStars. Jujur saya sudah lupa kapan terakhir memainkan permainan vehicle-based combat seperti ini.

Terakhir, ada Astro’s Playroom yang akan tersedia secara cuma-cuma (pre-loaded) di PS5. Game ini melanjutkan petualangan sang robot lucu bernama Astro yang sebelumnya hanya bisa dinikmati lewat medium VR.

Game-game lain dari developer pihak ketiga

Di luar PlayStation Studios, sederet developer dan publisher lain turut memamerkan sejumlah karyanya buat PS5, termasuk komunitas developer indie. Kita mulai dari yang paling ajaib, yakni Grand Theft Auto V. Ajaib karena game garapan Rockstar ini seakan tidak mau mati dimakan usia.

GTA V pertama dirilis untuk PS3 di tahun 2013, sebelum akhirnya dirilis ulang di PS4 dengan peningkatan kualitas visual. Tahun depan, GTA V (plus GTA Online) akan dirilis kembali untuk kali kedua di PS5, dan lagi-lagi dengan janji kualitas visual yang lebih baik, beserta sejumlah penyempurnaan teknis lainnya. Tebakan saya: GTA V bakal berjalan di resolusi 4K 60 fps pada PS5.

Lanjut ke Godfall, game terbitan Gearbox ini bakal menjalani debutnya di PS5 sekaligus PC. Permainan menyuguhkan latar medieval yang apik, dan bakal mengawinkan combat ala Dark Souls dengan elemen looting equipment legendaris ala seri Borderlands. Trailer terbarunya di atas akhirnya menunjukkan model gameplay-nya, setelah sebelumnya cuma hadir dalam wujud trailer sinematik.

Resident Evil Village alias Resident Evil 8 bakal melanjutkan kembali perspektif first-person yang diperkenalkan game sebelumnya. Capcom menjanjikan porsi yang lebih besar pada elemen eksplorasi dan combat, dan jalan ceritanya sendiri melanjutkan peristiwa yang terjadi pada Resident Evil 7.

Sci-fi tapi dengan bumbu mistis, kira-kira seperti itu gambaran yang saya dapat setelah menonton trailer Pragmata di atas. Sejauh ini tidak banyak yang diketahui tentang game bikinan Capcom ini, sebab jadwal perilisannya sendiri masih jauh (2022).

Jujur saya paling excited dengan yang satu ini. Deathloop digarap oleh Arkane Studios, developer di balik seri Dishonored. Kalau melihat trailer-nya, Deathloop akan kembali menerapkan formula stealth yang serupa, lengkap dengan sejumlah skill yang sangat menarik dan menggugah hasrat bermain. Yang sedikit berbeda, selain setting dan persenjataannya, adalah tempo permainan yang sepertinya lebih cepat pada Deathloop.

Shinji Mikami kembali memeriahkan kategori game horor dengan Ghostwire: Tokyo. Protagonisnya merupakan seorang pemuda dengan beragam kemampuan telekinesis dan sihir, dan tugasnya adalah menyelamatkan Tokyo dari kepunahan sekaligus menguak misteri di balik hilangnya 99% dari populasi kota tersebut.

Kalau Oddworld: New ‘n’ Tasty yang dirilis di tahun 2014 merupakan remake dari Oddworld: Abe’s Oddysee, maka Oddworld: Soulstorm ini bisa dilihat sebagai remake dari sekuelnya, Oddworld: Abe’s Exoddus. Namun ketimbang sebatas merombak visual dan gameplay, Soulstorm juga bakal menghadirkan sejumlah elemen yang benar-benar baru.

Judul indie yang paling menarik kalau menurut saya, Kena: Bridge of Spirits dikerjakan oleh Ember Lab, studio yang sebelumnya menekuni bidang animasi dan perfilman. Permainan mengisahkan perjalanan seorang pemuda yang mencoba menguak misteri di balik peristiwa mengenaskan yang menimpa desanya.

Visualnya terlihat begitu menarik, dan developer-nya juga menjanjikan narasi yang mendalam. Combat yang disajikan juga cukup memikat, terutama berkat sejumlah skill yang sanggup memanipulasi kondisi lingkungan di sekitar sang protagonis.

Gameplay lengkapnya belum diungkap, namun teaser di atas sudah bisa menggambarkan grafik menawan yang NBA 2K21 tawarkan. 2K sepertinya sengaja menampilkan adegan-adegan penuh bayangan, sebab seperti yang kita tahu, dukungan ray tracing bakal menjadi salah satu fitur unggulan PS5 di samping waktu loading yang luar biasa cepat.

Digarap oleh pengembang Octodad: Dadliest Catch, Bugsnax mengisahkan petualangan seorang jurnalis ke Snaktooth Island untuk bertemu dan mewawancara langsung makhluk jenaka bernama Bugsnax, yang dideskripsikan sebagai separuh serangga (bug), separuh jajanan (snack). Meski sepintas terlihat penuh kekonyolan, Bugsnax disebut juga bakal menjadi panggung demonstrasi yang pas buat kapabilitas controller DualSense.

Action RPG dengan dunia semi-open world dan elemen survival, deskripsi itu saja sebenarnya sudah membuat Little Devil Inside sangat menarik perhatian, apalagi ditambah dengan grafik poligonal yang apik. Trailer-nya bisa dibilang penuh intrik: sesekali menampilkan setting fantasi dengan beragam monster ala The Witcher, tapi beberapa saat juga menunjukkan suasana kehidupan urban.

Goodbye Volcano High terdengar sangat cocok dijadikan judul sebuah serial TV, dan ternyata developer game ini juga ingin memberikan pengalaman yang serupa seperti kegiatan binge watching drama romansa. Bedanya, berhubung pemain bakal dihadapkan dengan banyak pilihan di sepanjang permainan, narasinya otomatis bakal bercabang dan pada akhirnya menuntut lebih dari satu playthrough untuk mendalami cerita lengkapnya.

Hitman 3 bakal menjadi penutup dari trilogi World of Assassination dan kembali menempatkan pemain sebagai Agent 47, dan kontrak yang dijalaninya dalam game ini disebut sebagai yang terpenting di sepanjang kariernya. Permainan sekali lagi bakal membebaskan kita dalam memilih solusi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan misi, dan itu membuka potensi agar game bisa kita tamatkan lebih dari satu kali (dengan cara penyelesaian misi yang berbeda tentu saja).

Project Athia, judulnya terkesan seperti belum final (dan memang kenyataannya demikian), namun teaser singkatnya di atas berhasil menarik perhatian saya, terutama berkat sejumlah cuplikan gameplay yang turut dihidangkan – biasanya kalau game masih dalam tahap pengembangan, kita hanya akan diberi trailer sinematiknya saja.

Fakta menarik lain seputar game ini adalah, ia dikerjakan oleh Luminous Productions, studio baru yang Square Enix dirikan di tahun 2018, dengan sejumlah personil yang berasal dari tim pengembang Final Fantasy XV.

Apa jadinya kalau Shadow of Colossus mengambil tema sci-fi dengan setting antariksa dan gaya visual cel-shaded? Kemungkinan hasil jadinya mirip game berjudul Solar Ash ini. Solar Ash merupakan game kedua Heart Machine, kreator game indie yang cukup populer dari tahun 2016, yaitu Hyper Light Drifter.

Temanya petualangan lintas planet, tapi ketimbang menyajikan potret galaksi yang penuh warna, Jett: The Far Shore lebih memilih menampilkan suasana kelam di suatu planet mirip Bumi. Trailer-nya penuh dengan misteri, dan itulah yang harus pemain pecahkan dalam permainan bergaya sinematik ini.

Persembahan terbaru Annapurna Interactive berjudul Stray ini menempatkan pemain sebagai seekor kucing yang tersesat di sebuah kota di masa depan. Tujuannya tidak lebih dari sebatas pulang dan berjumpa kembali dengan keluarganya, meski itu tentu bukanlah hal yang mudah, apalagi mengingat kotanya mirip Kowloon Walled City versi cyberpunk.

Pertama diumumkan di akhir 2018, The Pathless mengisahkan petualangan seorang pemanah bersama burung elang peliharaannya di dunia yang penuh keajaiban. Awalnya game ini ditujukan buat PS4, namun sekarang developer Giant Squid mengumumkan bahwa The Pathless juga akan hadir di PS5, dan bakal memaksimalkan kapabilitas hardware-nya, terutama controller DualSense demi semakin menumbuhkan kesan immersive.

Sumber: PlayStation Blog 1, 2.

Selama Pandemi, Jumlah Pemain PC Naik Lebih Pesat dari Mobile Game

Pada 2020, Newzoo memperkirakan bahwa pemasukan industri game akan mencapai US$159,3 miliar. Dari total pendapatan di industri game, mobile game memberikan kontribusi paling besar, sebesar 48 persen, yaitu sekitar US$77,2 miliar. Sementara game PC hanya menyumbang US$36,9 miliar atau sekitar 23 persen dari total pendapatan industri game. Di tengah pandemi, industri game justru berkembang pesat. Menariknya, menurut laporan Unity Technology, pertumbuhan pemain harian (DAU) game PC justru lebih pesat daripada pemain harian mobile game.

Unity melacak data pada tahun 2019 dan 2020, dari awal tahun sampai pertengahan Mei. Selama periode tersebut, Unity melihat pertumbuhan DAU yang lebih tinggi pada kategori game HD, yang mencakup game untuk PC, Mac OS, dan platform desktop lainnya. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, pertumbuhan DAU game HD mencapai 46 persen. Memang, jumlah DAU mobile game juga naik, walau tidak sebesar DAU game PC. Pertumbuhan DAU mobile game pada 2020 hanya mencapai 17 persen jika dibandingkan dengan pada 2019.

Pertumbuhan pemain PC harian. | Sumber: GamesIndustry
Pertumbuhan pemain PC harian. | Sumber: GamesIndustry

Untuk membuat laporan ini, Unity mengumpulkan data game-game PC, Mac OS, Android, dan iOS yang dibuat menggunakan Unity engine. Mereka juga melacak data mobile game berdasarkan platform monetisasi yang digunakan. Mereka juga menggunakan data interaksi pengguna dari DeltaDNA, menurut laporan GamesIndustry.

Meskipun pertumbuhan jumlah DAU game PC lebih pesat daripada mobile game, kategori mobile game mengalami pertumbuhan pesat dalam hal lain. Unity menyebutkan, jumlah aplikasi yang diunduh oleh mobile gamer pada 2020 naik 84 persen dari tahun sebelumnya. Tak hanya itu, pemasukan mobile game dari in-app purchase (IAP) juga naik sampai 24 persen pada periode Maret-Mei 2020. Menariknya, pada Maret dan April 2020, pemasukan IAP mobile game bahkan lebih besar daripada masa liburan pada Desember 2019, yang biasanya menjadi periode puncak pemasukan mobile game. Memang, pada Maret 2020, banyak negara yang mulai menyarankan warganya untuk tetap di rumah dalam rangka meminimalisir penularan virus corona.

Tak hanya pada pembelian dalam game, pandemi juga memberikan dampak positif pada mobile advertising. Pada periode Maret-Mei 2020, impresi iklan di mobile game naik 57 persen dan pemasukan dari iklan naik sampai 59 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara conversion rate untuk pemasangan aplikasi naik 23 persen pada tahun ini dari 2019.

Sumber header: Business Insider

Bungie Sudah Siapkan Expansion Pack Destiny 2 Sampai Dua Tahun ke Depan

Bungie meluncurkan Destiny pertama kali di tahun 2014. Lalu di tahun 2017, Destiny 2 datang menyusul. 2020 adalah tahun ketiga bagi Destiny 2, dan bersamanya muncul pertanyaan: “Apakah Bungie bakal segera merilis Destiny 3?”

Pertanyaan tersebut cukup wajar mengingat kita juga akan berjumpa dengan console generasi baru tahun ini. Destiny 3 sebagai salah satu game andalan PlayStation 5 dan Xbox Series X merupakan premis yang terdengar menjanjikan. Namun Bungie rupanya tidak sependapat.

Ketimbang merilis Destiny 3 dan melupakan Destiny 2 sepenuhnya, Bungie lebih memilih untu mengembangkan Destiny 2 lebih lanjut. Komitmen mereka tidak main-main, tiga expansion pack bahkan sudah mereka jadwalkan untuk dirilis setiap tahunnya sampai 2022: “Beyond Light” (September 2020), “The Witch Queen” (2021), dan “Lightfall” (2022).

Destiny 2 expansion packs

Singkat cerita, Bungie tidak ingin mengulangi kesalahan sebelumnya, di mana mereka menghidangkan konten baru lewat Destiny 2, tapi di saat yang sama memaksa pemain mengabaikan seluruh progresnya selama memainkan Destiny orisinal. Meski begitu, Bungie mengaku ada tantangan lain yang harus mereka hadapi dengan mengambil rute baru ini.

Tantangan yang dimaksud adalah menumpuknya konten, yang sebagian mungkin sudah tidak lagi relevan saat suatu expansion baru telah dirilis. Untuk mengatasinya, Bungie sudah menyiapkan solusi dalam bentuk Destiny Content Vault (DCV). DCV bakal menjadi sejenis wadah sirkulasi bagi konten-konten lama yang sudah jarang dimainkan.

Lewat DCV, Bungie juga berencana menghadirkan konten-konten dari Destiny pertama yang sangat populer pada masanya (yang tentu saja sudah dioptimalkan untuk Destiny 2). Menurut Bungie, sirkulasi konten ini penting demi menjaga agar Destiny 2 tidak kelewat kompleks dan tidak dibanjiri bug, tapi di saat yang sama masih bisa menyuguhkan konten-konten baru.

Beyond Light bakal menghadirkan lokasi baru bernama Europa / Bungie
Beyond Light bakal menghadirkan lokasi baru bernama Europa / Bungie

Lalu bagaimana Bungie akan mengantisipasi kedatangan PS5 dan Xbox Series X? Well, Bungie memastikan Destiny 2 bakal tersedia di kedua console tersebut, dan performanya akan dioptimalkan supaya bisa berjalan di resolusi 4K 60 fps.

Namun yang lebih penting lagi, pemain Destiny 2 di PS4 dan Xbox One tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk bisa memainkannya di PS5 dan Xbox Series X. Sederhananya, Bungie bakal menyediakan upgrade secara gratis, dan ini termasuk semua konten ekstra yang pernah pemain beli.

Lebih lanjut, fitur cross-play juga sudah Bungie rencanakan, yang berarti nantinya para pemain PS4 dan PS5 bisa saling bertemu, demikian pula para pemain Xbox One dan Xbox Series X.

Sumber: Destructoid.

2024, Pasar Konsol di Tiongkok Bakal Bernilai Rp30 Triliun

Selama berpuluh-puluh tahun, pemerintah Tiongkok melarang penjualan konsol di negaranya. Karena itu, industri game yang tumbuh pesat adalah industri mobile game dan PC. Namun, pada 2014, pemerintah Tiongkok mulai mengizinkan penjualan konsol resmi. Pada 2019, total jumlah pemilik konsol di Tiongkok mencapai 11 juta orang. Niko Partners memperkirakan, angka itu akan naik menjadi 19,15 juta orang pada 2024.

Sementara total nilai penjualan konsol dan game-nya diperkirakan akan mencapai US$2,15 miliar (sekitar Rp30 triliun) pada 2024, naik dari US$997 juta (sekitar Rp14 triliun) pada 2019. Angka ini mencakup pasar legal dan juga gray market, yaitu konsol yang ditujukan untuk kawasan lain tapi dijual di Tiongkok secara ilegal.

Total penjualan konsol juga diperkirakan naik. Pada 2024, total penjualan konsol legal di Tiongkok diperkirakan akan mencapai 975 ribu unit, naik lebih dari dua kali lipat dari 460 ribu unit pada 2019. Sementara penjualan konsol di gray market justru diperkirakan akan turun, dari 1,18 juta unit pada 2018 menjadi 1,02 juta unit pada 2024.

pasar konsol Tiongkok
Pasar konsol di Tiongkok. | Sumber: VentureBeat

Salah satu alasan mengapa pertumbuhan pasar konsol di Tiongkok tak terlalu pesat adalah karena ketatnya peraturan pemerintah. Selain itu, investasi di industri game konsol lokal juga tidak banyak. Sony sempat meluncurkan China Project Hero untuk mendanai developer game asal Tiongkok. Sayangnya, program itu tak terlalu sukses. Untungnya, Tencent dan NetEase kini mulai tertarik untuk memasuki pasar game konsol.

“Agar bisnis game dan layanan untuk konsol tumbuh, diperlukan jumlah pengguna konsol yang cukup besar,” kata President Niko Partners, Lisa Cosmas Hanson pada GamesBeat. “Kunci ada pada harga konsol dan juga fitur serta game yang tersedia di masing-masing konsol. Misalnya, popularitas Switch di Tiongkok mendorong game-game kasual seperti Ring Fit Adventure serta Animal Crossing. Sementara peraturan ketat dari pemerintah diperkirakan justru akan menghambat pertumbuhan pasar konsol legal.”

Gray market konsol di Tiongkok tumbuh karena peraturan pemerintah yang ketat membatasi game-game konsol yang dijual secara legal. Sampai 2024, gray market diperkirakan masih akan menjadi sumber pemasukan utama dari pasar konsol. Pasalnya, gamer di Tiongkok juga ingin memainkan game-game yang tidak dijual secara legal di negaranya.

Gray market memungkinkan gamer untuk memainkan game yang belum mendapatkan izin dari pemerintah atau bahkan konsol yang belum dirilis,” ujar Hanson. “Nintendo Switch dari gray market lebih populer daripada versi legal karena konsol dari gray market bisa mengakses server di luar Tiongkok dan mengunduh game-game yang belum mendapatkan izin pemerintah. Sementara pemilik Nintendo Switch legal tidak bisa melakukan itu. Ada banyak game AAA untuk konsol lama yang tidak dirilis di Tiongkok tapi tersedia di gray market.”

Saat ini, PlayStation 4 menjadi pemimpin di pasar konsol Tiongkok. Namun, diperkirakan, Nintendo Switch akan mengalahkan konsol buatan Sony tersebut. Faktanya, ke depan, Nintendo Switch diperkirakan akan terus mendorong pertumbuhan pasar konsol di Tiongkok. Faktor lain yang mendorong pertumbuhan pasar konsol di Tiongkok adalah peluncuran konsol next-gen. PlayStation 5 dan Xbox Series X diperkirakan akan dirilis di Tiongkok pada 2021.

Sumber header: Gamestation

Need for Speed: Heat Jadi Game Pertama EA yang Mendukung Cross-Platform Multiplayer

EA baru-baru ini resmi membawa kembali koleksi game-nya ke Steam. Bukan cuma judul singleplayer saja, tapi juga mencakup judul multiplayer macam Plants vs. Zombies: Battle for Neighborville maupun Need for Speed: Heat, yang berarti userbase masing-masing game kini otomatis bertambah besar.

Meski begitu, penambahan userbase-nya hanyalah untuk platform PC saja. Kecuali suatu game mendukung fitur cross-platform multiplayer, maka gamer console tidak akan mendapat faedah apa-apa. Beruntung EA sudah memikirkan soal itu. Need for Speed: Heat baru saja menerima update terakhirnya, dan salah satu pembaruannya meliputi dukungan cross-platform multiplayer.

Sesuai namanya, fitur ini memungkinkan para pemain untuk bermain bersama-sama tanpa harus terhalang perbedaan platform. Pemain PC bisa bertemu pemain PS4 dan Xbox One, demikian pula sebaliknya. Semuanya cukup dengan mengaktifkan satu opsi cross-play pada menu Find Players pasca update, dan sesi balapan di Palm City pun otomatis bakal bertambah meriah.

Fitur ini sifatnya opt-in. Pemain boleh mengabaikannya andai keberatan ditantang balapan oleh pemain lain di luar platform perangkat yang digunakannya.

Perlu dicatat juga bahwa ini merupakan update terakhir buat Need for Speed: Heat, sebab pengembangnya – yang sudah berpindah tangan dari Ghost Games ke Criterion Games Februari lalu – bakal lanjut mengerjakan seri Need for Speed berikutnya. Penggemar game balapan semestinya tidak asing dengan nama Criterion, yang mengukir reputasinya lewat seri Burnout, serta beberapa kali juga dipercaya mengerjakan Need for Speed.

Sumber: PC Gamer dan EA.

Di Tengah Pandemi Corona, Microsoft Punya Strategi Khusus untuk Rilis Xbox Series X

Microsoft dan Sony akan meluncurkan konsol baru mereka pada 2020. Hal ini berarti, mereka harus siap menghadapi masalah yang mungkin muncul akibat pandemi virus corona. Head of Xbox, Microsoft, Phil Spencer, mengaku bahwa Microsoft telah menyiapkan strategi khusus untuk mengatasi masalah tersebut.

“Pada awalnya, ketika kami mulai bekerja dari rumah, muncul kekhawatiran akan masalah suplai dan tentang bagaimana kami akan menguji hardware kami,” kata Spencer pada BBC ketika ditanya bagaimana pandemi virus corona memengaruhi rencana Microsoft dalam meluncurkan Xbox Series X. Namun, dia mengungkap, Microsoft berhasil mengatasi masalah itu. “Kita menyiapkan alat penguji di rumah dan kami semua menggunakan alat tersebut, jadi kami bisa memastikan bahwa tidak ada masalah pada konsol baru kami.”

Spencer juga sadar, pandemi akan menyebabkan perubahan besar pada perekonomian. “Kami melihat banyak orang dipecat. Dan hal ini menyulitkan kami,” kata Spencer. “Gaming adalah hobi dan bukannya kebutuhan utama. Bisnis kami tidak melibatkan makanan atau tempat tinggal. Jadi, ketika kami meluncurkan konsol baru, kami ingin benar-benar memahami keadaan masyarakat. Bagaimana agar kami bisa membuat konsol kami memiliki harga yang terjangkau?”

Xbox series x corona
Microsoft masih akan merilis Xbox Series X pada 2020. | Sumber: Business Insider

Salah satu strategi Microsoft untuk memudahkan masyarakat membeli Xbox Series X adalah menyediakan program berlangganan Xbox All Access. Program tersebut memungkinkan seseorang untuk membeli konsol baru Microsoft dengan mencicil setiap bulan. “Jika Anda tidak ingin membeli konsol baru sekarang dan memilih untuk tetap menggunakan konsol yang Anda miliki sekarang, kami tetap akan memberikan dukungan pada konsol tersebut,” ujar Spencer. “Dan melalui teknologi seperti smart delivery, Anda bisa membeli game untuk konsol lama dan memainkannya di konsol baru. Dengan ini, pelanggan kami bisa memilih opsi terbaik bagi mereka.”

Spencer mengaku optimistis industri gaming akan bertahan di tengah resesi. Dia memberikan contoh resesi yang terjadi di Amerika Serikat pada 2008-2009. Industri gaming dapat melalui resesi tersebut dengan baik. Pasalnya, ketika seseorang membeli konsol dan game, mereka akan memainkannya hingga ratusan jam. “Harga memang penting, tapi strategi kami akan fokus pada para pemain dan bukannya pada konsol,” ujarnya.

Selama ini, total penjualan menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan sebuah konsol. Namun, Spencer mengungkap, belakangan, perusahaan mulai menggunakan tolok ukur yang berbeda. Kini, perusahaan pembuat konsol lebih tertarik untuk meningkatkan tingkat interaksi pemain dan tidak melulu fokus pada jumlah penjualan konsol. “Jika masyarakat tidak mau membeli Xbox baru pada tahun ini, hal itu bukan masalah. Strategi kami tidak fokus pada berapa banyak Xbox yang kami jual sepanjang tahun 2020. Kami fokus untuk memberikan layanan via Xbox Game Pass,” kata Spencer.

Memang, salah satu fitur yang Microsoft sediakan di Xbox Series X adalah backward compatibility. Dengan begitu, pemain bisa langsung memainkan ribuan game yang diluncurkan untuk Xbox generasi sebelumnya di Xbox Series X.

Sumber header: MSpoweruser

The Outer Worlds Tunjukkan Bahwa Tidak Semua Game Harus Di-port ke Nintendo Switch

Dilihat dari sisi teknis, Nintendo Switch memang lebih inferior ketimbang Xbox One maupun PlayStation 4. Namun popularitas dan keunikannya (bisa dimainkan secara handheld atau terhubung ke TV seperti console biasa) pada akhirnya memicu perhatian khusus dari kalangan developer.

Satu demi satu game AAA mulai di-port ke Switch. Dari The Witcher 3, Overwatch sampai Crysis, semuanya ada di Switch terlepas dari performanya yang sebenarnya tidak jauh lebih superior ketimbang smartphone. Berhubung performa Switch terbilang lemah, developer sering kali harus mengoptimalkan game-nya, dan tidak jarang hasil akhirnya adalah kualitas grafik yang cukup buruk pada versi Switch-nya.

Kalau perlu bukti, silakan baca laporan mendetail tim Digital Foundry terkait performa Overwatch di Nintendo Switch. Entah dalam posisi docked atau tidak, performa Overwatch di console handheld itu terbilang buruk. Grafiknya terlihat kabur dan kehilangan banyak detail, dan di saat yang sama, frame rate-nya juga mentok di 30 fps.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah semua game harus di-port ke Switch? Kalau melihat salah satu game blockbuster terbaru yang berhasil di-port ke Switch, yakni The Outer Worlds, saya rasa jawabannya tidak.

Tampilan The Outer Worlds di Nintendo Switch / Digital Foundry
Tampilan The Outer Worlds di Nintendo Switch / Digital Foundry

Analisis yang dilakukan Digital Foundry menunjukkan bahwa game yang digarap menggunakan Unreal Engine 4 itu berjalan jauh dari kata optimal di Switch. Resolusinya rendah, tekstur terlihat sama sekali tidak tajam, detail grafik sangat minim, dan yang paling parah, permainan terkadang akan terhenti karena aset-aset grafiknya belum selesai dimuat (ibarat menonton YouTube dengan koneksi internet yang lambat).

Saya pribadi sudah menamatkan The Outer Worlds sebanyak dua kali di PC, dan jujur kualitas visual memang bukan aspek terpenting dalam game ini. Yang juara sebenarnya adalah narasi sekaligus cerita di balik masing-masing karakternya, jadi sebenarnya saya tidak terlalu masalah seandainya harus memainkan game ini dengan kualitas grafik yang rendah di Switch dan terkunci di 30 fps, apalagi mengingat permainan RPG seperti ini (atau The Witcher 3) memang cocok dibawa santai.

Namun kalau harus melihat game terhenti demi memuat aset grafik dari waktu ke waktu, mungkin saya akan berhenti bermain dalam tempo dua jam pertama. Lebih parah lagi, waktu loading saat berpindah map-nya juga luar biasa lama (bisa sampai 30 detik sendiri), padahal di game ini kita akan banyak berpindah dari satu planet ke yang lainnya.

Nintendo boleh berbangga banyak developer yang berminat menghadirkan game-nya di Switch. Namun kalau versi porting-nya sejelek ini, saya sebagai konsumen mungkin akan memilih untuk melewatkannya daripada memaksa membeli dan berujung frustrasi.

Via: TweakTown.

Developer SimCity Pernah Punya Divisi Khusus untuk Mengembangkan Game Simulasi Profesional

Tidak selamanya video game diciptakan murni untuk membuang waktu pemain dan membiarkannya bersenang-senang. Beberapa game, khususnya yang masuk kategori simulasi macam SimCity, rupanya juga kerap dipakai untuk belajar satu atau dua hal kalau berdasarkan pengakuan walikota Surabaya, Tri Rismaharini.

Terlepas dari itu, SimCity tetap merupakan game yang punya tujuan untuk menghibur ketimbang jadi referensi yang akurat. Kreator aslinya, Will Wright, pernah menyampaikan dalam sebuah wawancara bahwa SimCity ibarat karikatur dari sistem tata kota, bukan gambaran realistisnya.

Namun tahukah Anda kalau Maxis (developer SimCity) pernah punya divisi khusus untuk mengembangkan game simulasi profesional? Divisi itu bernama Maxis Business Simulations, dan ceritanya bermula dari popularitas game perdana Maxis, yakni SimCity.

Dirilis di tahun 1989, SimCity berhasil mengubah pandangan publik terhadap game simulasi. Popularitasnya memicu demand atas game simulasi yang lebih profesional, yang bisa memberikan gambaran yang lebih realistis. Bukan cuma terkait tata kota saja, tapi juga bidang-bidang lain seperti industri migas maupun medis.

Sekitar tiga tahun pasca SimCity, tepatnya di bulan Juli 1992, Maxis secara diam-diam mengakuisisi sebuah perusahaan bernama Delta Logic dan mengubahnya menjadi Maxis Business Simulations (MBS). Tujuan utama didirikannya MBS adalah untuk memenuhi permintaan-permintaan absurd dari berbagai perusahaan yang meminta Maxis untuk membuatkan game simulasi buat mereka.

Tampilan SimRefinery langsung mengingatkan saya pada SimFarm / Internet Archive
Tampilan SimRefinery langsung mengingatkan saya pada SimFarm / Internet Archive

Klien pertama MBS adalah Chevron. Salah satu perusahaan migas terbesar di dunia itu mengontrak Maxis untuk membuatkan game seperti SimCity, tapi yang mengajarkan seputar cara kilang minyak beroperasi. Beberapa bulan setelahnya, prototipe game berjudul SimRefinery resmi MBS serahkan ke Chevron agar bisa dipakai dalam pelatihan karyawan-karyawannya.

“Prototipe”, kuncinya ada di kata tersebut, dan SimRefinery tidak pernah dimaksudkan untuk konsumsi publik. Namun itu tidak mencegah seorang mantan pegawai Chevron untuk mengunggah isi disket SimRefinery ke Internet Archive dan mempersilakan kita bermain-main dengannya secara langsung setelah laporan mendetail tentang Maxis Business Simulations dipublikasikan.

SimRefinery punya tampilan yang sangat mirip seperti SimFarm. Beberapa aset grafiknya bahkan diambil langsung dari SimFarm dan hanya diubah sedikit warnanya, akan tetapi gameplay-nya jauh lebih kompleks dan luar biasa sulit untuk dipahami kecuali Anda punya pengalaman belajar di bidang teknik kimia.

Selain SimRefinery, MBS masih punya banyak lagi game simulasi profesional seperti SimHealth, TeleSim, SimNavy, dan lain sebagainya yang sempat mereka garap di sepanjang kiprahnya hingga tahun 1998. Kalau Anda punya waktu luang, silakan baca kisah super lengkapnya di Obscuritory.

Sumber: Ars Technica.