Nvidia Image Scaling Diperbarui, Kini Open-Source dan Cross-Platform seperti AMD FSR

Bicara soal teknologi upscaling untuk menambah frame rate (fps), kalangan gamer saat ini pada dasarnya punya dua opsi utama: Deep Learning Super Sampling (DLSS) besutan Nvidia dan FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD.

Untuk mendapatkan kualitas gambar terbaik, DLSS adalah pilihan yang paling tepat, tapi fitur ini hanya bisa dinikmati jika menggunakan seri kartu grafis RTX, serta belum kompatibel dengan semua game. FSR di sisi lain bisa dinikmati di lebih banyak kartu grafis (baik buatan AMD maupun Nvidia), akan tetapi juga masih bergantung pada dukungan dari masing-masing game.

Alternatifnya, ada opsi ketiga yang tidak kalah menarik, yakni Nvidia Image Scaling. Fitur ini sebenarnya sudah ada sejak 2019, akan tetapi Nvidia baru saja memperbaruinya guna meningkatkan performa sekaligus kualitas gambar yang dihasilkan. Namun bagian yang paling istimewa adalah, Nvidia memutuskan untuk menjadikannya open-source sekaligus cross-platform (sama seperti FSR).

Berhubung open-source, developer kini dapat langsung mengintegrasikan fitur ini langsung ke dalam game bikinannya, dan itu berarti pengguna kartu grafis AMD (dan Intel) pun bisa ikut menikmati fiturnya. Untuk konsumen Nvidia, mereka malah tidak perlu menunggu sama sekali, sebab fitur ini dapat langsung diaktifkan di tingkat driver (yang berarti berlaku untuk semua game) via Nvidia Control Panel.

Kualitas gambar yang dihasilkan memang tidak akan sebagus DLSS yang mengandalkan AI (bahkan dalam setelan Performance Mode), akan tetapi Nvidia mengklaim ada peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan algoritma versi sebelumnya. Secara umum, kualitas yang dihasilkan Nvidia Image Scaling nyaris identik dengan FSR, demikian pula peningkatan frame rate yang didapat.

Sekali lagi, Nvidia Image Scaling sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggantikan DLSS, melainkan sebagai alternatif bagi yang tidak memiliki kartu grafis RTX maupun pada game yang belum mendukung DLSS.

Bagi gamer yang memiliki spesifikasi PC pas-pasan, fitur seperti Nvidia Image Scaling dan FSR tentu akan sangat membantu meningkatkan pengalaman bermain. Pasalnya, naik dari 30-an fps menjadi 40-an fps saja sudah akan sangat terasa efeknya, dan itu bisa didapat secara cuma-cuma tanpa terlalu mengorbankan kualitas gambar lebih jauh lagi.

Tahun depan, konsumen malah bakal kedatangan satu opsi tambahan lagi, yakni XeSS yang dikembangkan oleh Intel, yang kabarnya juga akan dibuat cross-platform.

Sumber: PC Gamer.

[Tekno] Browser Brave Hadirkan Crypto Wallet Terintegrasi, Lebih Aman daripada yang Berbentuk Extension

Brave, browser yang dikenal akan prioritasnya terhadap aspek privasi, mengumumkan ketersediaan integrasi fitur cryptocurrency wallet. Dinamai Brave Wallet, ia agak berbeda dari crypto wallet pada umumnya, sebab ia dapat digunakan tanpa perlu mengandalkan browser extension sama sekali.

Menurut tim pengembang Brave, integrasi bersifat native ini bakal berpengaruh langsung pada aspek keamanan, sebab pengguna jadi bisa dijauhkan dari phishing scam yang menyamar sebagai extension palsu. Di samping itu, resource CPU dan memori yang dikonsumsi juga tidak sebesar wallet yang berbentuk extension, sehingga performa perangkat tidak akan terdampak.

Brave Wallet merupakan sebuah self-custody wallet, dan itu berarti pengguna bisa menghubungkannya ke wallet lain yang sudah mereka pakai sebelumnya, macam MetaMask misalnya, atau ke hardware wallet seperti besutan Trezor maupun Ledger.

Brave Wallet dapat dipakai untuk menyimpan dan bertransaksi menggunakan hampir semua aset crypto (tergantung jenis blockchain yang digunakan). Yang didukung sejauh ini baru Ethereum dan blockchain lain yang berbasis Ethereum, akan tetapi Brave sudah berencana untuk menambah dukungan terhadap lebih banyak jenis blockchain ke depannya, seperti Solana misalnya.

Selain mata uang crypto, Brave Wallet juga bisa difungsikan untuk menyimpan dan bertukar aset NFT, serta dihubungkan ke berbagai Web3 dapp (decentralized app). Sebagai pemanis, pengguna Brave Wallet juga dapat memantau fluktuasi pasar crypto secara real-time via data dari CoinGecko.

Brave Wallet saat ini sudah tersedia di versi terbaru browser Brave (versi 1.32). Fitur ini dapat digunakan sepenuhnya secara cuma-cuma, akan tetapi pengguna tetap perlu membayar gas fee setiap melakukan transaksi. Tarif gas fee-nya sendiri dipastikan setara dengan yang diberlakukan oleh sebagian besar crypto wallet lain.

Untuk sekarang Brave Wallet baru tersedia di Brave versi desktop, akan tetapi tim pengembangnya berharap bisa segera menghadirkan integrasi fitur ini ke Brave versi Android dan iOS dalam waktu dekat.

Dengan adanya integrasi Brave Wallet, browser Brave sekarang punya satu daya tarik ekstra untuk memikat lebih banyak konsumen di luar 42 juta pengguna loyalnya. Selain dapat diandalkan oleh tipe konsumen yang sangat peduli terhadap privasinya masing-masing, Brave kini juga bisa menjadi pertimbangan bagi yang getol menggeluti dunia crypto.

Sumber: The Verge dan Brave.

Logitech Luncurkan G303 Shroud Edition, Digarap Langsung Bersama Sang Streamer

Logitech punya mouse gaming wireless baru, yakni G303 Shroud Edition. Sesuai namanya, mouse ini merupakan hasil kolaborasi langsung Logitech bersama salah satu streamer terpopuler sejagat, Michael “shroud” Grzesiek.

Ini bukan pertama kalinya Logitech bekerja sama dengan sang streamer yang juga mantan pro player CS:GO tersebut. Namun kolaborasinya kali ini lebih spesial karena G303 (yang pertama dirilis di tahun 2015 dan sudah di-discontinue sejak lama) merupakan salah satu mouse favorit shroud yang digunakannya selama bertahun-tahun.

Secara umum, bentuk G303 Shroud Edition tidak jauh berbeda dari G303 orisinal, akan tetapi ada beberapa bagian yang telah diubah. Yang paling kentara tentu saja adalah hilangnya kabel di bagian depan, akan tetapi kita juga bisa melihat perbedaan letak dan wujud kedua tombol sampingnya. Di dalam, posisi switch-nya pun juga ikut dipindah.

Berbeda dari versi aslinya, kita sama sekali tidak akan menemukan pencahayaan RGB di sini. Satu-satunya sumber cahaya yang kelihatan hanyalah lampu kecil di atas scroll wheel sebagai indikator baterai. Di atas kertas, ukuran G303 Shroud Edition sedikit lebih besar ketimbang versi aslinya, akan tetapi bobotnya jauh lebih ringan di angka 75 gram.

Masih seputar fisiknya, kita juga bisa melihat panel samping yang berwarna agak transparan, tidak ketinggalan pula garis-garis penanda yang menunjukkan di mana biasanya shroud meletakkan jari-jarinya. Di bagian belakang mouse, ada laci kecil untuk menyimpan dongle USB.

Dari sisi teknis, G303 Shroud Edition menggunakan sensor HERO dengan sensitivitas 100-25.000 DPI dan kecepatan tracking maksimum 400 IPS. Supaya pergerakannya kian mulus, Logitech tak lupa menyematkan mouse feet berukuran jumbo yang terbuat dari bahan PTFE murni. Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim mampu bertahan hingga 145 jam pemakaian. Charging-nya sendiri sudah mengandalkan USB-C.

Di Amerika Serikat, Logitech G303 Shroud Edition saat ini telah dipasarkan seharga $130. Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaannya secara resmi di pasar tanah air.

Sumber: Ars Technica dan Business Wire.

[Tekno] Microsoft Kian Persulit Pengguna Windows 11 untuk Memakai Browser Selain Edge

Sejak transisinya ke Chromium, Microsoft Edge telah berubah dari browser yang dibenci menjadi salah satu alternatif terbaik Chrome. Ia juga tersedia secara default di sebagian besar perangkat Windows 10 dan Windows 11, dan itu tentu merupakan nilai plus tersendiri.

Terlepas dari semua itu, entah kenapa Microsoft merasa masih perlu memaksa konsumen untuk menggunakan Edge. Di Windows 11 misalnya, cara untuk menetapkan browser lain sebagai default jauh lebih ribet daripada di Windows 10, kecuali Anda ingat untuk mencentang opsi “Always use this app” saat pertama kali menjalankan browser baru yang Anda instal.

Belum puas sampai di situ saja, Microsoft kini juga memblokir tool EdgeDeflector di Windows 11. Sesuai namanya, tool ini dirancang agar pengguna bisa dengan bebas menggunakan browser pilihannya masing-masing di Windows 10 atau 11, tanpa harus mengutak-atik sejumlah opsi pengaturan demi mencegah Edge mengambil alih peran sebagai default browser.

Tampilan pesan error saat menggunakan EdgeDeflector di Windows 11 / Daniel Aleksandresen

Microsoft tidak menjelaskan secara gamblang alasannya memblokir EdgeDeflector. Namun bisa jadi ini disebabkan oleh keputusan tim pengembang Firefox dan Brave untuk menyalin fungsionalitas yang ditawarkan oleh EdgeDeflector dan mengintegrasikannya langsung ke masing-masing browser.

Firefox, terlepas dari penurunan pamornya dalam beberapa tahun terakhir, masih punya sekitar 200 juta pengguna setia, dan itu mungkin dilihat sebagai ancaman oleh Microsoft. Dengan diblokirnya EdgeDeflector, tim pengembang Firefox pun tidak bisa menerapkan teknik yang serupa untuk mencegah Edge mengambil alih status default browser.

Lewat sebuah posting blog, Daniel Aleksandresen selaku pencipta EdgeDeflector mengatakan bahwa ia tidak akan mencoba untuk memperbarui tool bikinannya sebelum Microsoft mengubah sikapnya. Menurutnya bukannya tidak ada cara lain untuk mengakali ‘kelicikan’ Microsoft ini, akan tetapi cara-cara lain itu berpotensi menciptakan problem baru bagi pengguna, dan itu jelas jauh dari kata ideal.

Mungkin ini bisa jadi alasan ekstra untuk menunda upgrade ke Windows 11, khususnya bagi pengguna yang sangat bergantung dengan browser selain Edge.

Sumber: The Verge.

Developer Kini Punya Opsi Terjangkau untuk Menguji Aplikasi di Windows Versi ARM

Gambar di atas adalah ECS LIVA Mini Box QC710 Desktop, sebuah mini PC seharga $219 dengan spesifikasi semenjana. Persisnya, perangkat tersebut mengemas prosesor Qualcomm Snapdragon 7c (bukan generasi yang kedua) , RAM 4 GB, dan penyimpanan internal sebesar 64 GB.

Untuk kelengkapan port-nya, ia dibekali satu port USB-C, satu USB-A 2.0, satu USB-A 3.2 Gen 1, HDMI, dan slot kartu microSD. Seperti yang saya bilang, spesifikasinya biasa-biasa saja. Lalu kenapa kabar mengenai ketersediaannya harus dibesar-besarkan?

Alasannya sederhana saja; dengan banderol serendah itu, perangkat ini bisa jadi alternatif yang sangat menarik untuk kalangan developer yang perlu menguji aplikasi bikinannya di Windows versi ARM. Jauh lebih menarik daripada harus membeli Surface Pro X, yang dijual paling murah seharga $900.

Ini penting mengingat kompatibilitas aplikasi merupakan kekurangan terbesar dari Windows di ekosistem perangkat ARM. Kalau Anda membaca ulasan-ulasan Surface Pro X (yang menggunakan prosesor berarsitektur ARM) yang beredar di internet, hampir semuanya mengeluhkan perkara beberapa aplikasi yang tidak bisa dijalankan sama sekali (karena cuma kompatibel dengan arsitektur x86).

Dengan adanya perangkat seperti LIVA Mini Box ini, developer jadi punya opsi terjangkau untuk mengetes aplikasinya, dan ini diharapkan bisa membantu mengatasi isu kompatibilitas yang melanda Windows versi ARM, sehingga pada akhirnya perangkat macam Surface Pro X tadi pun bisa punya daya tarik lebih.

Surface Pro X / Microsoft

Sejauh ini jumlah laptop atau tablet Windows berbasis ARM yang ada di pasaran memang belum banyak, dan bisa jadi isu kompatibilitas tadi merupakan salah satu penyebabnya. Di kubu lain, Apple malah terkesan sudah gas pol dengan ARM, terbukti dari peluncuran MacBook Pro generasi terbaru belum lama ini.

Transisi dari x86 ke ARM memang bukan pekerjaan mudah, dan ekosistem macOS pun hingga kini bisa dikatakan masih belum 100% siap. Semoga saja dengan adanya perangkat seperti LIVA Mini Box ini, jumlah aplikasi yang kompatibel dengan Windows versi ARM bisa bertambah banyak, dan produsen perangkat pun makin tertarik untuk ikut meramaikan segmen ini.

Sumber: Windows Central.

MOBA dengan Karakter-Karakter Disney dan Pixar? Inilah Disney Melee Mania

Demam MOBA terus menjalar tanpa menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Setelah Pokémon Unite, kini giliran franchise lain yang bahkan lebih besar lagi yang ikut diadaptasikan ke kategori MOBA, yaitu Disney.

Adalah Disney Melee Mania, judul MOBA baru yang bakal mempertarungkan deretan karakter ikonis dari berbagai franchise milik Disney dan Pixar. Saat pertama mendengar judulnya, jujur saya langsung berpikir ini merupakan fighting game ala Super Smash Bros. Namun ternyata saya salah, dan jika melihat cuplikan singkat gameplay-nya di bawah, game ini memang sarat elemen-elemen MOBA.

Sepintas gameplay-nya terkesan cukup simpel, dengan format 3v3 dan durasi pertandingan sekitar lima menit saja. Di awal peluncurannya, bakal ada 12 karakter yang bisa dimainkan, masing-masing dengan skill unik dan elemen kosmetiknya sendiri-sendiri. Ke depannya, pengembangnya berjanji akan menambahkan lebih banyak karakter secara reguler.

Berdasarkan video teaser dan sejumlah screenshot-nya, berikut adalah karakter-karakter yang sudah terkonfirmasi:

  • Mickey Mouse (dengan kostum Sorcerer’s Apprentice)
  • Wreck-It Ralph
  • Moana
  • Elsa (Frozen)
  • Buzz Lightyear (Toy Story)
  • Jasmine (Aladdin)
  • Frozone (The Incredibles)
  • Timon (The Lion King)
  • Maleficent (Sleeping Beauty)
  • Bing Bong (Inside Out)

Disney Melee Mania rencananya akan dirilis pada bulan Desember 2021 secara eksklusif di Apple Arcade. Sebagai bagian dari katalog layanan gaming subscription milik Apple tersebut, Disney Melee Mania semestinya tidak akan menerapkan skema pay-to-win, sebab dari awal Apple Arcade memang selalu memprioritaskan pengalaman bebas in-app purchase dan bebas iklan.

Disney Melee Mania dikembangkan oleh studio asal Singapura, Mighty Bear Games. Ini bukan game pertamanya untuk Apple Arcade. Tahun lalu, mereka sempat merilis game berjudul Butter Royale di platform tersebut.

Sumber: Apple dan The Verge.

Roblox Kini Lewati Activision Sebagai Perusahaan Game dengan Valuasi Tertinggi

Tidak dapat dipungkiri bahwa Activision-Blizzard merupakan salah satu perusahaan video game terbesar yang ada di Amerika Serikat. Dengan line-up game populer mulai dari seri Call of Duty, Overwatch, hingga World of Warcraft, Duo perusahaan ini bertahan cukup lama menjadi perusahaan video game dengan valuasi tertinggi di Amerika Serikat.

Namun siapa yang menyangka bahwa kedigdayaan Activision-Blizzard tersebut harus hilang pada 2021 ini. Dilansir oleh GamingonPhone, dominasi pasar Activision-Blizzard kini direbut oleh Roblox Corporation yang tidak lain adalah perusahaan yang berada di belakang Roblox.

Cukup mengejutkan bahwa perusahaan video game yang hanya memiliki satu buah game dapat mengalahkan perusahaan besar dengan berbagai judul kelas atasnya yang populer.  Namun Roblox Corporation melaporkan bahwa mereka mengalami kenaikan harga saham sebesar 42% setelah mereka mengumumkan laporan pendapatan kuartal ketiga 2021-nya.

Lonjakan tersebut membuat Roblox Corporation kini bernilai lebih dari $62 miliar atau sekitar Rp880 triliun. Angka menakjubkan tersebut akhirnya mengalahkan Activision yang bernilai $52 miliar atau sekitar Rp738 triliun.

sumber: Blizzard

Activision sendiri memang tengah mengalami penurunan tajam karena mereka mengumumkan penundaan dua game yaitu Diablo IV dan Overwatch 2. Ditambah, permasalahan internal antara Activision-Blizzard dengan para karyawannya juga masih terus berlangsung hingga sekarang. Sedangkan Roblox merupakan pemain baru dalam pasar saham yang baru go public pada Maret 2021 lalu.

Dalam pernyataannya CEO Roblox, David Baszucki mengatakan bahwa mereka dengan senang hati mengumumkan bahwa perusahaannya berhasil meraup pendapatan hingga $130 juta atau Rp1,8 triliun hanya dalam tiga bulan ke belakang. David juga mengatakan bahwa mereka menargetkan pendapatan total $500 juta atau Rp7,1 triliun pada akhir tahun 2021 nanti.

Ke depannya, David menyebut bahwa Roblox Corporation akan terus berinvestasi pada teknologi inovatif untuk memungkinkan komunitas developer kami melakukan yang terbaik, yaitu membangun dan berkreasi. Roblox juga mengatakan bahwa mereka juga memberikan perhatian terhadap Metaverse“.

Bahkan David mengatakan bahwa mereka telah memprediksi apa yang disebut metaverse tersebut sejak 17 tahun lalu. Yaitu, bagaimana membuat orang atau para pemain untuk dapat berkumpul bersama. Dan selama 16 tahun Roblox dikembangkan untuk mengakomodasi hal tersebut mulai dari pemain hingga para pengembang game yang berasal dari komunitas.

TECNO Spark 7 Limited Special Box Dibanderol Rp1.199.000, Tawarkan Baterai 6.000 mAh

Pada awal bulan September lalu, TECNO Mobile meluncurkan perangkat entry-level yang mengunggulkan fitur Near-Field-Communication atau NFC. Ia adalah TECNO Spark 7 NFC dan dibanderol dengan harga Rp1.349.000.

NFC memang menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam beberapa hal. Mulai dari mengecek dan mengisi saldo uang elektronik atau kartu e-toll, mengirim dan menerima data, dan sebagainya.

Kali ini, TECNO Mobile menghadirkan varian baru dari Spark 7 NFC yang tanpa dibekali fitur NFC yakni TECNO Spark 7 special limited box. Sebagai ganti dari NFC, TECNO membenamkan baterai dengan kapasitas 1.000 mAh lebih besar menjadi 6.000 mAh.

Dengan kapasitas baterai yang besar di segmen entry level, TECNO Spark 7 ingin memberikan totalitas bagi generasi muda dengan kebutuhan konsumsi teknologi yang tinggi. Objektif tersebut merupakan cerminan dari semangat seri Spark dalam membantu para generasi muda untuk bisa menggapai mimpinya #SparkYourDream.

Dengan kapasitas baterai terbesar di kelasnya, ditambah fitur fotografi yg mendukung kebutuhan lifestyle & content creation namun dengan harga yang terjangkau, kami percaya produk sangat bernilai dan efisien bagi para generasi muda,” ujar Anson Xia, Country Manager TECNO Mobile Indonesia.

Selain perbedaan kapasitas baterai dan absennya fitur NFC, spesifikasi lainnya terbilang identik. Ia mengusung layar 6,55 inci HD+, serta dual rear AI Camera 2.0 dengan kamera utama 16MP dan kamera depan 8MP yang dapat mendeteksi objek, kontur, tekstur, cahaya, dan warna dengan presisi.

Selain itu, TECNO Spark 7 menjalankan sistem operasi Android 11 edisi Go yang menawarkan pengalaman penggunaan ringan. Aplikasi untuk Android Go dibuat khusus agar menggunakan lebih sedikit ruang penyimpanan, hemat data, dan konsumsi baterai.

Mengenai performa, dapur pacunya mengandalkan chipset MediaTek Helio A25 dengan CPU octa-core (4×1.8 GHz Cortex-A53 dan 4×1.5 GHz Cortex-A53), serta GPU PowerVR GE8320. Didukung RAM 2GB dan penyimpanan internal 32GB.

Dalam menghadirkan perangkat ini, TECNO kolaborasi dengan JD.ID dan bisa didapat dengan harga Rp1.199.000 atau Rp150.000 lebih murah dari versi NFC. Tersedia tiga pilihan warna, meliputi magnet black, morpheus blue, dan spruce green.

Sebagai mitra penjualan eksklusif TECNO Spark 7, Chief Marketing Officer JD.ID Leo Haryono mengungkapkan kesamaan antara visi dan misi yang dianut oleh JD.ID dengan TECNO Mobile, terutama terhadap para generasi muda di Indonesia.

Kami percaya generasi muda Indonesia memiliki identitas dan passion yang beragam, untuk itu mereka perlu didukung oleh smartphone yang juga mengerti keberagaman kebutuhan tersebut. Lewat JD.ID, kami berharap TECNO Spark 7 bisa dengan mudah dijangkau oleh para generasi muda di Indonesia,” kata Leo.

Selain merilis TECNO Spark 7, pada kesempatan yang sama TECNO Mobile juga merilis produk AIoT kategori audio, yang terdiri dari earphone TECNO P1 yang menawarkan bass yang kuat (Rp31.900), TECNO J2 (Rp49.000) yang menawarkan dual sound driver, dan TECNO R2 (Rp99.000) dengan desain metalik yang stylish. Saat ini, ketiga produk TECNO AIoT tersebut bisa didapatkan di platform e-commerce Lazada dan Shopee.

8 Detail Teknis Steam Deck yang Perlu Anda Ketahui

$400 untuk sebuah konsol genggam yang jauh lebih perkasa ketimbang Nintendo Switch merupakan premis yang sangat menggiurkan, belum lagi fakta bahwa konsol tersebut juga bisa berfungsi layaknya PC tradisional ketika dibutuhkan. Tidak heran kalau kemudian Steam Deck terus menjadi buah bibir meski peluncurannya harus ditunda dua bulan.

Sambil menunggu, Valve rupanya ingin berbagi lebih banyak mengenai konsol genggamnya tersebut. Lewat sebuah live stream yang ditujukan untuk kalangan developer, Valve menyingkap banyak detail baru terkait Steam Deck, khususnya dari sudut pandang teknis. Berikut rangkuman poin-poin yang paling menarik dari presentasi Valve.

1. Aerith SoC

Penggemar Final Fantasy VII mungkin bakal tersenyum mendengar ini: chip bikinan AMD yang mengotaki Steam Deck dinamai Aerith. Sebagai pengingat, chip ini merupakan sebuah APU yang menggabungkan 4-core dan 8-thread CPU Zen 2 dengan 8 compute unit (CU) RDNA 2.

CPU-nya mampu berjalan di kecepatan 2,4-3,5 GHz, sementara GPU-nya di 1-1,6 GHz. Sepintas terkesan pelan, dan chip-nya pun tidak dibekali teknologi turbo boost sama sekali. Menurut Valve, rancangan seperti ini disengaja guna memastikan performa Steam Deck bisa konsisten di segala skenario.

“Performa game Anda dalam sepuluh detik pertama kemungkinan besar bakal sama dengan performanya dua jam dari sekarang, atau seterusnya jika perangkat dicolok ke listrik,” terang Yazan Aldehayyat selaku Hardware Engineer Valve.

2. TDP 15 W

Aerith secara spesifik dirancang untuk beroperasi seefisien mungkin, dengan rentang thermal design power (TDP) sebesar 4-15 W. Namun sekali lagi, supaya kinerjanya bisa konsisten, baik dalam posisi handheld atau docked, Valve tidak membatasi seberapa besar daya yang bisa dikonsumsi oleh Aerith.

Kendati demikian, Valve tetap menerapkan sejumlah optimasi, semisal fitur global frame rate limiter (30 fps atau 60 fps) untuk game apapun sehingga masing-masing pengguna bebas menentukan apakah mereka lebih mementingkan performa atau daya tahan baterai.

Tidak kalah menarik adalah bagaimana Steam Deck dirancang agar membatasi kecepatan charging, kecepatan download, atau bandwith SSD-nya ketika suhu perangkat terdeteksi cukup tinggi. Tujuannya supaya kinerja optimal GPU-nya tetap bisa dipertahankan dalam kondisi yang kurang ideal, seperti ketika sedang bermain di bawah terik matahari misalnya.

3. RAM 16 GB

Aerith ditandemkan dengan RAM LPDDR5 berkapasitas 16 GB dan VRAM 1 GB. Valve menjelaskan bahwa mayoritas game modern sebenarnya tidak membutuhkan memori lebih dari 8 GB atau 12 GB, dan angka 16 GB ini murni Valve maksudkan untuk keperluan future-proofing.

Kok VRAM-nya kecil sekali? Ya, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa memorinya bersifat unified. Ini berarti GPU-nya bisa memanfaatkan kapasitas ekstra (hingga 8 GB) seandainya VRAM 1 GB tersebut terbukti kurang. Secara total, Steam Deck punya bandwith memori sebesar 88 GB/detik.

4. Performa mengalahi mini PC seharga $670

Pada laman dokumentasi untuk developer, Valve membandingkan Steam Deck dengan mini PC seharga $670 yang mengemas prosesor Ryzen 7 3750H, GPU Radeon RX Vega 10, dan RAM DDR4 16 GB. Menurut Valve, CPU-nya memang sedikit lebih perkasa ketimbang milik Steam Deck, akan tetapi GPU-nya lebih lemah dan bandwith memorinya lebih kecil, sehingga secara keseluruhan Steam Deck masih lebih superior.

5. eMMC vs SSD NVMe

Seperti yang kita tahu, Steam Deck hadir dalam tiga varian storage: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, tipe storage yang digunakan adalah eMMC, sementara dua varian sisanya menggunakan SSD NVMe. Sudah bukan rahasia kalau NVMe punya kinerja yang lebih gegas dibanding eMMC. Namun yang jadi pertanyaan adalah, seberapa jauh selisihnya?

Di atas kertas, selisihnya rupanya tidak terlalu jauh kalau berdasarkan penjelasan Valve. Untuk loading game, varian 64 GB dengan eMMC cuma sekitar 12% lebih lambat dari varian 512 GB dengan NVMe, sedangkan untuk booting awal, selisihnya berkisar 25%. Waktu loading yang paling lama adalah jika game disimpan di kartu microSD, yakni sekitar 18% lebih lambat.

6. FSR untuk semua game

Secara teknis, port USB-C milik Steam Deck bisa mengakomodasi hingga dua monitor 4K 60 Hz sekaligus. Tentu saja itu konteksnya bukan bermain, sebab Steam Deck jelas bakal sangat kewalahan menjalankan game di resolusi setinggi itu.

Kabar baiknya, Steam Deck sepenuhnya kompatibel dengan teknologi upscaling FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD, yang tentunya bisa membantu meningkatkan performa ketika dipaksa menjalankan game di atas resolusi bawaannya (1200 x 800).

Memang tidak semua game, melainkan hanya judul-judul yang sejauh ini sudah mendukung FSR itu sendiri. Kendati demikian, Valve sudah punya rencana untuk merilis update sehingga Steam Deck bisa mendukung FSR di level sistem operasi, sehingga FSR dapat diaplikasikan ke game apapun.

7. Steam Remote Play

Berbekal Wi-Fi AC (Wi-Fi 5), Steam Deck diyakini mampu memberikan pengalaman Remote Play yang optimal — game dijalankan di PC, lalu di-stream oleh Steam Deck via Wi-Fi. Kenapa harus streaming kalau perangkatnya sanggup menjalankan game secara mandiri? Well, Valve bilang baterai Steam Deck bisa bertahan lebih lama saat dipakai streaming daripada saat menjalankan game-nya sendiri.

8. Quick suspend/resume

Sebagai sebuah konsol genggam, sudah sewajarnya apabila Steam Deck mendukung fitur quick suspend/resume. Tekan tombol power, maka perangkat masuk ke sleep mode. Tekan kembali, maka pengguna bisa langsung melanjutkan sesi bermain terakhirnya. Tidak dinyala-matikan seperti PC atau laptop.

Agar fitur ini bisa bekerja, Valve harus mengubah cara kerja sistem cloud save yang Steam tawarkan. Kalau sekarang sinkronisasinya cuma berlangsung ketika pengguna keluar dari game, nantinya sinkronisasi bakal berlangsung di background ketika fitur suspend tadi aktif.

Teorinya, ini berarti pengguna dapat berpindah dari Steam Deck ke PC secara cepat, ataupun sebaliknya. Tinggal pause game-nya, maka progresnya bisa langsung dilanjutkan di perangkat yang lain. Praktis dan sangat membantu.

Sumber: The Verge.

Gucci Rilis Xbox Series X Senilai US$10 Ribu, Twitch Kini Tersedia di Nintendo Switch

Ada beberapa berita menarik di dunia game pada minggu lalu. Salah satunya, Gucci merilis versi khusus dari Xbox Series X. Gucci melakukan hal tersebut sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Xbox yang ke-20. Selain itu, para pemilik Nintendo Switch akhirnya bisa mengunduh aplikasi Twitch di konsol mereka. Dan Ubisoft mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan Rainbow Six Extraction pada Januari 2022. Sementara Tencent dikabarkan akan membeli 90% saham dari Wake Up Interactive, perusahaan induk Soleil, kreator dari Ninjala.

Gucci dan Microsoft Kerja Sama untuk Rilis Xbox Series X Khusus, Bernilai US$10 Ribu

Untuk merayakan ulang tahun Xbox yang ke-20, Gucci berkolaborasi dengan Microsoft untuk meluncurkan versi khusus dari Xbox Series X. Versi khusus tersebut akan diluncurkan dalam jumlah terbatas, yaitu 100 unit. Xbox Series X hasil kerja sama Gucci dan Microsoft akan dibanderol dengan harga US$10 ribu. Selain konsol Xbox Series X, Anda juga akan mendapatkan dua controllers nirkabel, tas khusus, dan Xbox Game Pass Ultimate, menurut laporan Engadget.

Satu hal yang membuat Xbox Series X ini unik dari konsol lainnya adalah motif dari ikon Gucci yang terpatri ke bodi dari konsol itu. Ikon dari Gucci melambangkan nama dari pendiri brand tersebut: Guccio Gucci. Namun, kali ini, Gucci menyebutkan, ikon yang tersemat pada Xbox Series X versi khusus juga bisa diartikan sebagai “Good Game”.

Tencent Dikabarkan Bakal Beli Saham Perusahaan Induk dari Developer Ninjala

Tencent dikabarkan akan mengakuisisi 90% saham dari Wake Up Interactive, perusahaan induk dari studio Soleil. Hal ini dilaporkan oleh Bloomberg, yang mendapatkan informasi ini dari orang-orang yang mengetahui detail rencana Tencent, tapi tak mau disebutkan namanya.

Soleil merupakan developer dari Ninjala, game yang diluncurkan secara eksklusif untuk Nintendo Switch. Selain Ninjala, studio berumur 13 tahun itu juga telah meluncurkan beberapa game lain, seperti Travis Strikes Again: No More Heroes, Naruto to Boruto: Shinobi Striker, dan Devil’s Third. Dikutip dari GamesIndustry, Tencent membayar lebih dari CNY5 miliar (sekitar Rp11 triliun) untuk mendapatkan 90% saham dari Wake Up.

Aplikasi Twitch Kini Bisa Diunduh di Nintendo Switch

Minggu lalu, Nintendo mengumumkan bahwa aplikasi Twitch kini sudah tersedia untuk Switch dan bisa diunduh secara gratis melalui eShop. Untuk masuk ke akun Twitch di Switch, Anda bisa menggunakan QR code atau tautan khusus. Melalui aplikasi itu, Anda bisa menonton dan mencari channel favorit Anda. Hanya saja, Anda tidak bisa ikut memberikan komentar atau melakukan siaran melalui Switch. Menurut laporan VentureBeat, Twitch menjadi aplikasi hiburan terbaru yang hadir untuk Switch. Sebelum ini, konsol Nintendo itu telah mendapatkan aplikasi YouTube dan Hulu.

Ubisoft Bakal Luncurkan Rainbow Six Extraction Pada Januari 2021

Ubisoft baru saja mengumumkan tanggal peluncuran untuk game shooter baru mereka, Rainbow Six Extraction. Pada awalnya, game itu akan dirilis pada September 2021. Namun, Ubisoft memutuskan untuk menunda peluncurannya ke 20 Januari 2021. Extraction adalah game co-op PvE, menurut laporan VentureBeat. Di game itu, para pemain akan bisa memainkan karakter-karakter yang pernah tampil dalam game-game Rainbow Six lain. Musuh para pemain dalam game itu adalah pasukan alien yang hendak  menginvasi Bumi.

Rainbow Six Extraction bakal dirilis pada Januari 2022.

App Annie: Total Spending Aplikasi Metaverse di 2022 Capai US$3 Miliar

App Annie meluncurkan laporan 2022 Mobile Forecast pada minggu lalu. Dalam laporan tersebut, App Annie memperkirakan, total belanja dari aplikasi-aplikasi metaverse akan mencapai lebih dari US$3 miliar pada tahun depan. Menurut App Annie, aplikasi yang masuk dalam kategori metaverse adalah aplikasi yang menawarkan avatar life simulator dan creative sandbox. Dua contoh game yang masuk dalam kategori itu antara lain Minecraft dan Roblox.

“Secara umum, aplikasi Metaverse adalah aplikasi yang menawarkan lingkungan yang immersive. Di sana, Anda akan bisa menciptakan dunia Anda sendiri dan berinteraksi dengan teman-teman Anda,” ungkap App Annie, seperti dikutip dari GamesIndustry. Fortnite menjadi contoh lain dari aplikasi metaverse menurut App Annie.