Kompilasi Review Windows 11: Menarik sih tapi Jangan Upgrade Sekarang

Windows 11 akhirnya resmi dirilis Microsoft tanggal 5 Oktober 2021 lalu. Bagi Anda yang sudah menggunakan Windows 10, Microsoft menawarkan upgrade gratis ke Windows 11.

Bagi Anda yang ingin mencoba sendiri, Anda bisa langsung download Windows 11 di tautan ini.

Sebelum kita masuk ke pembahasannya, saya harus mengatakan jika saya memang tidak mencoba sendiri Windows 11 karena, jujur saja, saya masih malas (wkwkwkwk…) dan lebih ingin menunggu perkembangan nantinya. Jadi, semua hasil penilaiannya milik masing-masing media yang akan saya sebutkan nanti di artikel ini.

 

Carut Marut tentang Kebutuhan Spesifikasi Windows 11

Microsoft memang sudah menuliskan kebutuhan spesifikasi Windows 11 sebagai berikut (yang saya ambil dari laman resmi Microsoft):

  • Prosesor: CPU 64-bit dengan kecepatan 1GHz atau lebih kencang dengan 2 core atau lebih. Atau kalau Anda masih bingung, Anda bisa melihat daftar lengkapnya dari Microsoft di sini.
  • RAM: 4GB
  • Storage: 64GB
  • System Firmware: UEFI, Secure Boot capable
  • TPM: TPM 2.0.
  • Kartu Grafis: Compatible dengan DirectX 12 atau lebih dengan driver WDDM 2.0.

Spesifikasi di atas sepertinya sederhana namun nyatanya tidak semudah itu. Kawan saya, Alva Jonathan dari Jagat Review, menuliskan jika ada potensi masalah antara spesifikasi yang ditulis tadi dengan daftar CPU yang didukung.

Di spesifikasi prosesor di atas, memang kelihatannya ada banyak prosesor yang bisa menjalankan Windows 11. Tapi sayangnya, jika kita melihat daftar dari Microsoft, hanya AMD Ryzen 2000 Series ke atas dan Intel Core 8th Gen ke atas yang ada dalam daftar. Meski dengan beberapa pengecualian untuk Intel Core 7th Gen (yang sebenarnya sudah membingungkan juga).

Alva pun mencoba menggunakan i7-6700K (yang dirilis Q3 tahun 2015) yang memang tidak ada di daftar yang dirilis Intel dan ternyata memang CPU tersebut tidak mendukung Windows 11.

Image credit: Microsoft

Selain soal CPU tadi, ketidakjelasan soal TPM 2.0 juga jadi masalah. Microsoft yang menuliskan jika Windows 11 butuh TPM 2.0 tapi Microsoft juga yang menyediakan solusi untuk upgrade ke Windows 11 tanpa dukungan TPM 2.0.

Anda bisa membaca solusi soal TPM 2.0 yang bisa dicoba di artikel Jagat Review atau di artikel PC Gamer ini.

TechRadar dan Engadget juga mengutarakan soal spesifikasi hardware yang membingungkan atau terlalu terbatas.

Lebih anehnya lagi, Microsoft bahkan sempat menyebutkan jika mereka mengizinkan PC yang tidak memiliki dukungan tetap bisa di-install Windows 11 tapi tidak akan mendapatkan update di kemudian hari.

Jika Anda bingung soal spesifikasi itu tadi, jangan khawatir, saya juga bingung… Wkawkawkawk

 

UI Windows 11 yang Seksi tapi UX yang Kurang Memuaskan

Jika ada satu hal yang mendapatkan pujian, kompak dari berbagai media adalah soal tampilan baru yang disuguhkan oleh Windows 11.

Beberapa media menyebutkan jika UI Windows 11 tampil lebih rapih, mulus, dan modern. Jika dari melihat tampilannya saja, saya juga setuju jika Windows 11 memang terlihat jauh lebih modern dan mulus.

Anda bisa melihat desain UI yang disuguhkan Windows 11 di video review dari The Verge di bawah ini.

Namun demikian, sayangnya, meski tampil lebih cantik UX dari Windows 11 mendapatkan kritikan dari sisi fungsinya.

Review The Verge di atas yang mengatakan jika Anda hanya akan melihat Taskbar di layar utama. Jadi, jika menggunakan multi monitor, Anda tidak dapat melihat informasi yang ada di sudut kanan Taskbar (Notification Area) jika monitor utama sedang digunakan full-screen (seperti saat menonton atau main game). Saya pribadi yang menggunakan 2 monitor merasa akan sangat kehilangan dengan absennya Taskbar di monitor tambahan. Pasalnya, saya kerap melirik ke kanan bawah layar kedua untuk melihat jam, meski monitor utama sedang digunakan full-screen.

Selain itu, The Verge juga mengatakan jika Microsoft sepertinya terlalu memaksakan soal Microsoft Edge yang masih akan kerap muncul meski Default App untuk browser sudah diganti.

Oh well… Namanya juga usaha. Setidaknya sekarang sudah tidak ada lagi Internet Explorer… Nyahahaha

 

Performa Windows 11 yang Tidak Jauh Beda dengan Windows 10

Lalu terakhir, bagaimana soal performa? Selain tampilan, tentu saja performa jadi salah satu, jika tidak yang paling krusial, jika Microsoft ingin pengguna beralih dari Windows 10 ke Windows 11.

Jagat Review menunjukkan jika tidak ada perbedaan performa antara Windows 11 dan Windows 10. Demikian juga dengan PC Gamer yang mengungkap tidak ada perbedaan performa gaming antara Windows 11 dan Windows 10.

Performa yang setara antara Windows 10 dan Windows 11 ini sebenarnya bisa berarti positif — setidaknya Anda tak perlu khawatir PC Anda akan melambat. Namun performa yang sama juga berarti tidak ada alasan yang kuat kenapa kita harus upgrade ke Windows 11.

Apalagi, sejumlah prosesor AMD dilaporkan mengalami penurunan sebesar 15% di Windows 11.

Sebenarnya, ada 2 hal menarik dari sisi gaming yang coba ditawarkan oleh Windows 11. Fitur pertama adalah DirectStorage yang merupakan teknologi Xbox yang bisa digunakan untuk mempercepat performa gaming. Sedangkan yang kedua adalah Auto HDR yang juga teknologi dari Xbox untuk mempercantik game di game tanpa dukungan HDR di monitor HDR.

Sayangnya, fitur DirectStorage masih belum bisa dimanfaatkan karena developer game harus mengimplementasikan fitur tersebut. Sedangkan Auto HDR juga membutuhkan Anda upgrade ke monitor yang sudah mendukung teknologi HDR yang harganya masih mahal.

 

Penutup

Akhirnya, lambat laun, mau tidak mau, kita harus berganti ke Windows 11 karena memang tidak ada pilihan lainnya jika ingin terus menggunakan Windows, kecuali Anda pindah ke Linux, Chrome OS, atau MacOS.

Namun, untuk sekarang, sepertinya lebih baik jika kita bersabar menunggu update dari berbagai pihak. Setidaknya, Microsoft masih memberikan batas waktu bagi Anda yang ingin upgrade gratis ke Windows 11 sampai di tahun 2022 — meski belum ada tanggal pasti batas waktu upgrade-nya.

Review Kitaria Fables: Petualangan Sederhana di Dunia yang Imut

Ada banyak kabar baik dari industri game lokal di Indonesia tahun ini, mulai dari program pendanaan developer lokal dan regional dari Agate dan Toge Productions sampai kehadiran puluhan game Indonesia di Gamescom. Di tahun ini, juga ada sejumlah game lokal yang diluncurkan. Salah satunya adalah Kitaria Fables.

Kitaria Fables dibuat oleh developer asal Yogyakarta, Twin Hearts. Melalui Kitaria Fables, Twin Hearts berusaha untuk menggabungkan elemen RPG Adventure dengan farming simulation. Salah satu hal yang membedakan Kitaria Fables dengan game farming simulation lainnya — seperti Stardew Valley atau Story of Seasons — adalah semua karakter yang hadir dalam game tersebut merupakan binatang antropomorfik. Faktanya, Anda akan bermain sebagai kucing.

Oke, sebelum saya membahas tentang pengalaman saya memainkan Kitaria Fables, saya harus membuat sebuah pengakuan. Saya adalah pecinta kucing. Saya berusaha untuk membuat review yang cenderung objektif, tapi saya tidak mungkin menutupi bias saya sepenuhnya.

Now, without further ado… 

Grafik dan Cerita

Kesan pertama yang saya dapat ketika saya memainkan Kitaria Fables adalah imut. Dan kesan ini bertahan bahkan setelah saya memainkan game ini selama belasan jam. Grafik 3D dari Kitaria Fables terlihat unyu, begitu juga dengan custcene 2D yang hadir di game tersebut.

Di Kitaria Fables, Anda bisa mengubah skin dari Nyanza Von Whiskers — sang tokoh utama. Dan jika Anda puas dengan skin yang tersedia, Anda bisa membeli DLC untuk mendapatkan skin ekstra. Walau Anda bisa memilih skin Nyanza, Anda tidak bisa memilih binatang lain sebagai karakter utama. Sebagai pecinta kucing, saya tidak menganggap hal ini sebagai masalah. Toh, saya tetap bisa mendandani Nyanza dengan armor, headgear, dan aksesori.

Anda bisa mengubah penamilan Nyanza.

Dari segi cerita, Kitaria Fables menawarkan plot yang sederhana dan straightforward. Nyanza adalah seorang tentara yang dikirim dari ibukota ke  desa bernama Paw Village. Alasan Nyanza dikirim ke desa itu adalah karena monsters di sekitar Paw Village menjadi semakin agresif, yang membahayakan keselamatan para warga desa. Tugas utama Anda adalah melawan para monsters dan menjaga keamanan Paw Village. Tidak lama setelah kedatangan Anda di Paw Village, Anda juga akan diberitahu bahwa para monsters menjadi lebih agresif karena relic misterius. Dan Anda diminta untuk menyelidiki tentang relic tersebut.

Walau tugas utama Anda adalah untuk melindungi desa dan mencari tahu tentang relic misterius, Anda juga akan mendapatkan side quests untuk membantu para warga desa yang membutuhkan. Satu kali, Anda akan diminta oleh kepala desa untuk mengawasi cucu angkatnya yang pergi ke hutan sendirian. Di kali lain, Anda akan diminta oleh sang cucu untuk mencari blueberry karena ulang tahun sang kakek sudah dekat dan dia ingin membuat kue untuknya.

Satu hal yang saya sayangkan, progress dari misi utama di Kitaria Fables terkadang terasa sangat lambat. Ada kalanya saya hanya ingin fokus pada quest utama dan mencari tahu tentang apa yang menyebabkan monsters menjadi lebih agresif. Namun, saya tetap harus menyelesaikan quest sampingan, seperti membantu warga desa tetangga untuk menemukan resep makanan yang cocok untuk musim dingin.

Gameplay: Combat

Kitaria Fables menggabungkan elemen RPG adventure dan farming simulation. Namun, elemen RPG adventure terasa lebih kental di game ini. Sebagai perbandingan, di Stardew Valley, Anda hanya akan menemukan monsters di tempat-tempat tertentu, seperti tambang. Namun, jika Anda mau, Anda bisa fokus mengurus lahan pertanian Anda dan meminimalisir waktu yang Anda habiskan di tambang sehingga Anda tidak perlu menghadapi monster.

Namun, Anda tidak bisa menghindari monsters di Kitaria Fables. Pasalnya, begitu Anda keluar dari Paw Village atau kota lain, Anda akan langsung disambut dengan monsters. Memang, sebagian monsters tidak akan menyerang Anda jika Anda tidak menyerang terlebih dulu. Namun, sebagian yang lain agresif dan akan menyrang Anda, tidak peduli apakah Anda menyerangnya terlebih dulu atau tidak.

Anda bisa menggunakan busur jika memang lebih suka bertarung dari jarak jauh.

Kabar baiknya, Kitaria Fables menawarkan combat real-time, yang membuat pertarungan dengan monster terasa cukup menyenangkan, walau mekanisme combat di game ini cukup sederhana. Di awal game, Anda akan dipersenjatai dengan sebuah pedang. Namun, nantinya, Anda akan mendapatkan busur dan bisa menggunakan sihir. Jadi, Anda bisa menyesuaikan skills dan spells yang Anda pilih berdasarkan gaya bertarung yang Anda sukai.

Jika Anda senang dengan gaya bertarung melee, Anda bisa menggunakan pedang, yang memang memberikan damage lebih besar. Namun, jika Anda lebih suka menjaga jarak — seperti saya — Anda bisa menggunakan busur. Keunggulan lain busur adalah karena ia menawarkan crit rate yang lebih tinggi. Tentu saja, Anda juga bisa menggunakan busur dan pedang secara bergantian. Hanya saja, proses mengganti senjata terkadang terasa clunky. Jadi, biasanya, saya memilih untuk fokus menggunakan satu senjata saja. Selain itu, slots untuk skill/spell yang bisa Anda pilih terbatas. Anda hanya memiliki empat slots. Karena itu, Anda memang harus memilih skills atau spells yang sesuai dengan gaya bertarung Anda.

Ketika Anda menggunakan busur, begitu Anda cukup dekat dengan monsters, anak panah akan secara otomatis mengarah ke monsters terdekat. Masalahnya, ketika Anda menghadapi lebih dari satu monster, maka bidikan Anda akan terus berubah. Untungnya, Anda bisa menentukan target secara manual. Hanya saja, jika Anda “mengunci” satu monster sebagai target, tembakan Anda akan terus mengarah ke monster itu, bahkan ketika ada monster lain yang mendekat.

Spell es bisa membekukan musuh.

Untuk menghadapi mob, Anda bisa menggunakan skills atau spells yang memberikan Area Damage. Spell tertentu bahkan bisa memberikan efek tertentu pada musuh. Misalnya, Howling Wind bisa membuat musuh terkena stun, sementara Frost Nova atau Blizzard bisa membuat musuh menjadi beku. Fireball juga bisa mendorong musuh mundur, yang sering saya gunakan ketika musuh sudah menjadi terlalu dekat.

Tidak ada sistem level di Kitaria Fables. Jadi, jika Anda ingin meningkatkan damage atau HP dari Nyanza, satu-satunya cara yang bisa Anda lakukan adalah meng-upgrade senjata, armor, dan peralatan Anda. Anda bisa melakukan upgrade di blacksmith kota. Untuk itu, Anda harus mengumpulkan sejumlah material. Sebagian orang mengeluhkan tentang mekanisme ini.

Namun, bagi saya, mengumpulkan material yang dibutuhkan untuk meng-upgrade senjata atau armor atau membuat aksesori baru bukan hal yang sulit. Pasalnya, monsters akan kembali muncul ketika Anda kembali ke satu area setelah pergi dari area tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, hal ini memungkinkan saya untuk mengumpulkan material yang dibutuhkan dalam waktu singkat. Satu kali, saya mengumpulkan 40 Obsidians dalam satu hari dalam game. Walau tak bisa dipungkiri, melawan monster yang sama terus-menerus memang bisa membuat jenuh.

Karena tidak ada sistem level, jika ingin mendapatkan spells baru, Anda harus “membuatnya”. Cara untuk membuat spells sederhana. Anda hanya harus mengumpulkan Vengeful Souls — yang bisa didapatkan dari monster apa saja — dan menukarnya dengan elemental spheres.

Anda bisa membuat spell sendiri.

Di Kitaria, sihir terbagi ke dalam empat elemen: api, es, angin, dan tanah. Masing-masing spell akan membutuhkan elemental sphere yang berbeda-beda. Misalnya, untuk mendapatkan Fire Wall, Anda memerlukan dua fire spheres. Sementara untuk mendapatkan Blizzard — spell es paling kuat — Anda membutuhkan 5 water spheres, 2 earth spheres, dan satu moonstone, yang bisa Anda dapatkan setelah mengalahkan boss. Selain itu, Anda juga harus sudah memiliki Frost Nova untuk bisa mendapatkan Blizzard.

Untuk menggunakan spells dan skills, Anda memerlukan mana, yang digambarkan dengan 10 kotak di bagian bawah bar HP. Setiap Anda menggunakan skill atau spell, mana Anda akan berkurang sesuai dengan mana yang dibutuhkan. Tapi, mana Anda akan secara otomatis bertambah ketika Anda menyerang musuh dengan pedang atau busur. Artinya, Anda tidak perlu repot membawa item untuk memulihkan mana karena mana Anda akan secara otomatis teregenerasi. Sistem ini juga tidak memungkinkan Anda untuk melakukan spam dari skill/spell favorit Anda.

Kitaria Fables menawaran musuh yang cukup beragam. Biasanya, musuh itu akan memiliki tema yang sesuai dengan tempatnya berada. Sebagai contoh, ketika Anda berada di gua, Anda akan menemukan kelelawar dan jamur. Atau pada malam hari, Anda akan menemukan monster yang menyerupai hantu. Meskipun begitu, sesuai dengan vibe Kitaria Fables, para monster memiliki desain yang imut.

Terkadang, boss di Kitaria seolah-olah tidak menyadari keberadaan Anda.

Setiap monsters punya gaya bertarung yang berbeda-beda. Namun, menghindari serangan musuh di Kitaria cukup mudah. Karena, ketika area serangan musuh ditandai dengan warna merah. Anda cukup melakukan roll sesaat musuh menyerang. Walau, jika tidak hati-hati, Anda tetap bisa mati. Apalagi jika Anda terkena poison. Untungnya, walau Anda kalah melawan monsters sekali pun, Anda tidak akan kehilangan apapun. Anda hanya akan terbangun di rumah Anda pada keesokan harinya.

Salah satu hal yang saya keluhkan adalah saya tidak bisa mengganti suduh pandang kamera. Hal ini membuat proses eksplorasi menjadi lebih sulit. Alasannya, terkadang, saya tidak menyadari keberadaan chest atau musuh. Masalah lain yang saya temukan adalah terkadang, para monsters — khususnya boss — seolah-olah tidak menyadari keberadaan saya. Jadi, walau saya menyerang dengan sihir dan menembakkan panah dari jarak jauh, musuh yang saya hadapi tetap diam selama beberapa saat. Memang, hal ini memudahkan Anda untuk membunuh para boss, tapi apa serunya menyerang musuh yang tidak melawan?

Bercocok Tanam

Oke, setelah membahas bagian combat dengan panjang lebar, mari beralih ke bagian farming simulation dari Kitaria Fables. Mengingat developer Twin Heart lebih menitikberatkan elemen RPG Adventure, sistem bercocok tanam di Kitaria memang tidak sekompleks game farming simulation lainnya. Di Kitaria, Anda tidak perlu menyesuaikan tanaman yang Anda tanam dengan musim. Pasalnya, di game ini, tidak ada sistem empat musim. Jadi, sepanjang permainan, daftar tanaman yang bisa Anda tanam tidak berubah.

Fungsi utama lahan pertanian adalah sebagai sumber pendapatan.

Tujuan utama dari bercocok tanam di Kitaria Fables adalah untuk mendapatkan uang. Untuk melakukan upgrade senjata dan armor, Anda akan memerlukan uang yang tidak sedikit. Memang, Anda bisa menghajar monsters yang menjual hasil looting yang Anda dapatkan. Namun, menjual hasti tani bisa memberikan keuntungan yang lumayan. Selain itu, mengurus ladang juga bisa menjadi kegiatan selingan ketika Anda bosan membunuhi monsters.

Ada beragam tanaman yang bisa Anda tanam di Kitaria Fables, mulai dari gandum, wortel, kol, sampai stroberi dan anggur. Pada awalnya, hanya beberapa bibit tanaman saja yang bisa Anda beli. Namun, seiring dengan waktu, Anda akan mendapatkan jenis bibit yang beragam — setelah Anda mau melakukan quest yang diperlukan. Setelah tanaman siap dipanen, Anda bisa langsung menjualnya dengan meletakkannya di kotak di samping rumah. Selain itu, Anda juga bisa menggunakan hasil panen Anda untuk membuat makanan, yang bisa Anda jual atau Anda gunakan untuk memulihkan HP.

Bijih mineral yang ditemukan di salah satu map.

Sama seperti kebanyakan game farming sim lainnya, di Kitaria Fables, Anda bisa meng-upgrade peralatan berkebun Anda. Untuk itu, Anda perlu mendapatkan bijih mineral yang Anda perlukan: tembaga, perak, atau emas. Masalahnya, bijih mineral cukup sulit untuk ditemukan, setidaknya pada awal permainan. Bijih mineral hanya muncul di tempat-tempat tertentu secara random. Kabar baiknya, setelah Anda membuka area tertentu pada pertengahan game, menambang bijih yang Anda perlukan jadi jauh lebih mudah.

Kesimpulan

Setiap orang punya alasan yang berbeda-beda untuk bermain game. Sebagian orang ingin game yang menantang. Sebagian yang lain justru ingin game yang santai. Kitaria Fables adalah game yang cocok untuk gamers tipe ke-2. Game ini cocok untuk dimainkan jika Anda ingin bersantai tanpa harus terlalu memikirkan cara membangun karakter atau cara mendapatkan good ending. Memang, Kitaria Fables tidak sempurna. Ada beberapa bagian yang terasa membosankan atau mekanisme yang clunky, tapi secara keseluruhan, saya menikmati game ini.


Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

Pengalaman Hands-on Singkat Battlefield 2042 Open Beta: Makin Asyik dengan Bumbu Hero Shooter

Bayangkan Anda seorang pemain game FPS kompetitif dengan skill medioker. Permainan menempatkan Anda di medan pertempuran berisikan 128 orang, dengan risiko tertembak dari segala arah. Di mana sebaiknya Anda memilih titik spawn?

Oh ya, game yang dimainkan datang dari franchise Battlefield, yang berarti Anda punya opsi untuk spawn langsung di dalam kendaraan yang dikendalikan oleh rekan satu tim. Buat saya yang tidak pernah jago bermain FPS sejak zaman warnet masih dipenuhi pemain Counter-Strike, itu terdengar seperti opsi yang paling ideal.

Jadilah saya memilih sebuah helikopter yang tengah mengudara sebagai titik spawn. Namun satu detik setelah mengklik tombol “Deploy”, helikopter tersebut meledak tertembak rudal, dan saya pun langsung kembali ke menu deployment. Well, rupanya tidak ada tempat yang aman buat saya di game ini.

Medan perang penuh brutalitas

Pada tanggal 4 Oktober 2021 kemarin, saya berkesempatan menjajal versi beta dari Battlefield 2042 bersama para jurnalis dan streamer dari berbagai negara. Saya memang sama sekali tidak bisa digolongkan sebagai pemain Battlefield veteran, tapi setidaknya saya cukup familier dengan seri game ini sejak pertama memainkan Battlefield: Bad Company 2 di tahun 2010, terlepas dari tidak adanya peningkatan skill yang saya alami.

Waktu bermain yang saya habiskan selama sesi open beta memang terbilang singkat, hanya sekitar tiga jam, tapi paling tidak sudah bisa memberikan gambaran mengenai gameplay Battlefield 2042 secara umum. Selama sesi tersebut, saya menjalani sekitar tujuh match, semuanya di mode Conquest dengan map Orbital.

DICE bilang Orbital merupakan map berukuran sedang, tapi pada praktiknya map ini cukup masif untuk dibagi menjadi lima sektor yang berbeda, dan masing-masing sektor pun bisa memiliki lebih dari satu titik kontrol. Medan seluas ini esensial mengingat mode Conquest di Battlefield 2042 mendukung hingga 128 pemain, seperti yang saya bilang di awal tadi.

DICE mendesain mode Conquest agar pemain bisa merasakan tempo permainan yang bervariasi. Di map Orbital yang saya coba, kalau menginginkan tempo yang cepat dan intensif, Anda bisa memilih untuk spawn di area sekitaran Launch Platform di bagian atas. Sebaliknya, kalau ingin lebih santai, Anda bisa spawn di area sekitaran Cryogenic Plant (titik C).

Selama bermain, saya sebenarnya bisa saja menetap di satu sektor dan mengaktifkan posisi defensif, tapi tentu saya juga penasaran untuk mengeksplorasi pulau tropis ini secara keseluruhan. Sayang kenyataannya tidak sesimpel yang saya bayangkan.

Saat menjelajahi area Assembly Building (titik B), saya menemukan ada dua elevator untuk naik ke puncak bangunan tinggi tersebut. Sialnya, saat sudah sampai di atas, ternyata sudah ada sniper dari tim lawan yang menunggu. Satu tembakan ke kepala, dan saya pun lagi-lagi harus kembali ke menu deployment.

Lalu saat memutari area Launch Platform guna mengamati detail pada pesawat ulang alik (yang bisa lepas landas kalau tidak ada hambatan, dan terlihat luar biasa keren sampai-sampai saya terbelalak dan lupa mengambil screenshot), saya justru dibombardir oleh sebuah helikopter lawan yang datang entah dari mana. Seperti yang saya bilang, area di bagian atas map Orbital memang merupakan bagian yang paling memacu adrenalin, jadi memang saya yang salah kamar.

Map ini punya banyak area tinggi, dan untungnya kita bisa memanfaatkan zipline yang tersebar di beragam titik untuk naik ataupun turun. Terjun dari helikopter menggunakan parasut masih menjadi salah satu opsi, tapi sering kali saya justru jadi sasaran empuk sniper ketika memakai metode ini.

Anda bakal menghabiskan banyak waktu berlari dari satu sektor ke yang lain di map Orbital. Untungnya, pemain punya opsi untuk summon kendaraan. Namun tolong jangan ulangi kesalahan yang saya buat, yakni berdiri persis di titik deployment kendaraan yang saya tentukan sendiri, lalu mati konyol tertimpa mobil jip yang mendarat dengan parasut.

Alternatifnya, pemain juga bisa memanggil sebuah robot anjing dengan persenjataan yang lengkap — ingat, setting game ini adalah di masa depan — dan robot ini cukup membantu saya beberapa kali mengamankan diri dari serbuan lawan.

Kendaraan di Battlefield 2042 juga dapat dipilih langsung melalui menu deployment. Namun kalau tidak berpengalaman mengendalikan helikopter atau pesawat, sebaiknya biarkan pemain lain yang menjadi pilot, sebab kuota dan cooldown kendaraan adalah untuk tim, bukan perorangan.

Battlefield 2042 punya sistem cuaca yang dinamis, dan ini bakal berpengaruh langsung terhadap gameplay. Salah satu contohnya, visibilitas bakal berkurang drastis ketika sedang hujan deras. Map Orbital bahkan juga punya bencana tornado, tapi sayang selama bermain saya tidak sempat melihatnya sama sekali, dan ternyata ini disebabkan oleh peluang terjadinya yang cuma sekitar 10% kalau kata tim DICE.

Seperti biasa ketika memainkan game yang dikembangkan dengan engine Frostbite, saya selalu bingung mana objek yang bisa hancur dan mana yang tidak. Di Battlefield 2042 pun juga demikian. Tembok gudang tempat persembunyian saya dengan mudahnya rontok ditembak tank, sementara sebuah mesin yang menyerupai generator listrik justru berdiri kokoh meski saya tubruk menggunakan mobil lapis baja.

Namun satu hal yang amat saya sayangkan adalah, selama hampir tiga jam bermain, saya lebih sering berjumpa dengan bot ketimbang pemain asli. Jadi dari total 128 pemain, yang bukan AI mungkin hanya sekitar 20 orang. Semoga saja ini tidak menjadi problem saat game-nya dirilis secara resmi pada tanggal 19 November 2021 nanti.

Cara membedakan kawan bot dan pemain asli pun cukup mudah. Selain dari warna namanya, perilaku keduanya jelas berbeda. Yang paling kentara, bot sering kali menghabiskan kelewat banyak waktu menanti di-revive oleh rekannya (ada jeda 30 detik sebelum otomatis dibawa kembali ke menu deployment), sementara pemain asli lebih sering memilih untuk langsung respawn.

Battlefield dengan bumbu hero shooter

Satu perubahan drastis di Battlefield 2042 adalah hilangnya sistem class dari game-game sebelumnya. Semua playable character kini disebut sebagai Specialist, meski masing-masing tetap mempunyai peran tersendiri berkat gadget unik yang dimiliki.

Di versi open beta-nya, ada empat Specialist yang dapat dimainkan: Mackay, Boris, Casper, dan Falck. Masing-masing punya backstory-nya sendiri-sendiri, namun kalau mau disederhanakan, mereka adalah tentara bayaran yang bebas memilih untuk membela Amerika Serikat atau Rusia, dua faksi yang berseteru di Battlefield 2042.

Mackay adalah Specialist dengan peran assaulter. Gadget spesialnya adalah sebuah grapple hook yang bisa ditembakkan untuk berpindah dari satu titik ke yang lain. Kalau Anda pernah memainkan seri game Just Cause, Anda pasti familier dengan mekanisme alat ini.

Saya memang belum sempat mencoba, tapi sepertinya grapple hook ini tidak bisa dipakai untuk melukai musuh. Yang ada malah saya sendiri yang terluka (tewas lebih tepatnya) karena mencoba membidikkan grapple hook ke tiang listrik; bukan karena kesetrum, tapi karena jatuh dari ketinggian akibat tidak ada pijakan.

Boris adalah Specialist yang memegang peran sebagai engineer. Ia bisa menempatkan sebuah turret otomatis, sangat cocok untuk keperluan bertahan karena turret-nya akan menembaki musuh yang berada dalam jangkauannya secara otomatis. Sebaliknya, Casper mengemban tugas recon, dan sangat berguna untuk scouting berkat drone yang dapat dikendalikannya.

Terakhir, Falck berperan sebagai medic, dan menurut saya ia adalah yang paling kurang berguna. Gadget yang dimilikinya adalah sebuah pistol untuk menambah darah teman (healing). Masalahnya, health regen di Battlefield 2042 adalah yang tercepat dari semua game Battlefield sebelum ini. Jadi tanpa kehadiran Falck pun sebenarnya pemain sudah bisa survive sendiri.

Sebagai seseorang yang menyukai role support dan paling mengidolakan Mercy di Overwatch, jujur saya agak kecewa dengan implementasi class medic di Battlefield 2042. Lebih lanjut, semua class sekarang bisa menghidupkan pemain lain (revive), sehingga peran Falck pun jadi kian tidak relevan.

Namun kalau harus memilih, saya lebih memilih Falck versi sekarang ketimbang di versi alpha-nya, yang sangat-sangat overpowered karena bisa revive pemain lain dari kejauhan. Beruntung ini sudah di-nerf oleh DICE.

Keberadaan gadget secara langsung membuat Battlefield 2042 terasa lebih futuristis daripada pendahulu-pendahulunya, tapi tidak sampai kelewat canggih hingga menyerupai seri game Halo atau malah Star Wars: Battlefront. Gadget sepintas juga terkesan seperti special ability di game-game ber-genre hero shooter, cukup untuk menambahkan kesan modern pada franchise yang lebih sering mengusung setting peperangan historis.

Lewat Battlefield 2042, DICE pada dasarnya sudah ikut terbawa arus tren hero shooter, tapi di saat yang sama mereka tetap tidak mangkir terlalu jauh dari akar permainan seri Battlefield itu sendiri.

Selain gadget, tiap Specialist juga punya trait alias skill pasif. Buat Mackay, skill pasifnya adalah kecepatan bergerak yang lebih gesit selagi membidik (aiming down sight atau ADS). Untuk Boris, skill pasifnya adalah turret bakal bekerja lebih efektif jika diposisikan di dekatnya.

Favorit saya adalah trait milik Casper; ia punya sensor untuk mendeteksi apabila ada musuh yang berkeliaran di dekatnya. Lagi-lagi yang paling kurang berguna adalah trait milik Falck, yakni revive dengan posisi darah terisi penuh — kalau class lain yang revive, maka darah hanya terisi separuh. Namun seperti yang saya bilang, Anda cuma perlu menunggu sebentar saja sebelum health regen aktif dan darah kembali terisi penuh di Battlefield 2042.

Sniper rifle untuk jarak dekat, kenapa tidak?

Tidak seperti di game-game Battlefield sebelumnya, Anda tidak perlu memilih class tertentu agar bisa menggunakan jenis senjata tertentu. Semua senjata yang tersedia di Battlefield 2042 bisa digunakan oleh semua Specialist tanpa terkecuali.

Bayangkan betapa menyenangkannya menjadi Mackay yang menggotong sniper rifle dan berpindah dari atap gedung ke atap gedung menggunakan grapple hook-nya, atau betapa anehnya berperan sebagai recon tapi dengan bekal light machine gun (LMG) yang mencolok dan berisik.

Semua itu bebas Anda tentukan sendiri di Battlefield 2042. Bahkan untuk perlengkapan pendukung seperti anti-air missile launcher atau bazooka pun juga tidak terbatas buat Specialist tertentu, dan ini sangat berguna karena Anda bakal berhadapan dengan banyak kendaraan di game ini. Selagi bermain sebagai Falck, saya juga lebih memilih untuk membawa suplai amunisi ketimbang health pack gara-gara mekanisme health regen yang cepat tadi.

Tiap-tiap senjata pun dapat dikustomisasi lebih lanjut. Saya sempat bingung awalnya kenapa kok sniper rifle yang saya gunakan tidak mempunyai scope sama sekali. Ternyata, scope-nya bisa dilepas-pasang dengan mudah via opsi kustomisasi in-game. Cukup tekan dan tahan satu tombol (tombol T di PC), maka bagian-bagian dari senjata (muzzle, sight, grip) bisa kita gonta-ganti sesuai kebutuhan.

Jadi semisal saya sedang membawa sniper rifle dan tanpa sengaja terperangkap di medan pertempuran jarak dekat, saya tinggal ganti scope-nya jadi iron sight standar, dan bedil tersebut pun dapat langsung beradaptasi dengan kondisi saat itu. Dari sniper jarak jauh menjadi sniper jarak dekat, cuma dalam waktu dua detik saja.

Pilihan modifikasi senjata yang bisa dibawa juga dapat diubah sesuai keperluan, tapi sayang ini belum bisa dilakukan semasa open beta. Padahal, saya sudah punya rencana untuk memasangkan scope milik sniper rifle ke pistol healer milik Falck, sehingga saya bisa mengamankan diri di atap gedung selagi tetap menjalankan tugas sebagai support, menembakkan suntikan-suntikan penyembuh luka dari kejauhan.

Tanpa perlu terkejut, feel menembak di Battlefield 2042 terasa sangat memuaskan. Namun entah kenapa, indikator suara yang muncul saat berhasil mencatatkan kill terasa kurang greget. Alhasil, ketika situasi sedang kacau, saya terkadang sampai tidak sadar kalau musuh yang saya tembaki ternyata sudah tewas. Bisa jadi memang saya yang terlalu amatiran.

Tidak perlu PC kelas sultan

Jujur saya agak keder saat melihat persyaratan spesifikasi PC yang dibutuhkan untuk Battlefield 2042. Pasalnya, spesifikasi PC yang saya gunakan lebih dekat dengan persyaratan minimum ketimbang yang direkomendasikan: prosesor AMD Ryzen 5 3500X dan kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1660 Super.

Namun ternyata game bisa berjalan dengan cukup mulus. Rata-rata frame per second yang saya dapat ada di kisaran 60-an fps dengan setting grafis High di resolusi 1080p, dan cuma sesekali saja turun ke 40-an fps saat ada banyak ledakan yang terjadi secara bersamaan di sekitar. Loading pun terasa cepat meski PC saya cuma menggunakan SSD SATA.

Saya juga tidak menemukan problem seputar koneksi, dan selama bermain selama nyaris tiga jam, cuma satu kali saja saya sempat tertendang dari server, itu pun ketika match sudah betul-betul rampung dan selagi menunggu dibawa kembali menuju ke lobi. Perlu dicatat, versi game yang saya mainkan selama sesi open beta adalah versi lebih lawas dari yang akan tersedia pada peluncuran resminya bulan depan.

Battlefield 2042 juga mendukung Nvidia Reflex. Namun berhubung saya lebih sering menghabiskan waktu di Red Dead Redemption 2 ketimbang Valorant, saya tidak punya hardware yang kapabel untuk mencobanya. Sebagai game yang tidak punya single-player campaign sama sekali, Battlefield 2042 sudah pasti sangat dioptimalkan untuk skenario kompetitif.

Tentu saja saya tidak bisa berkomentar mengenai performa Battlefield 2042 di console, akan tetapi DICE menjanjikan pengalaman yang kurang lebih sama, setidaknya untuk next-gen console. Kalau butuh gambaran, spesifikasi PC yang saya gunakan bisa dibilang cukup mirip, atau bahkan lebih inferior, dibanding spesifikasi PlayStation 5 dan Xbox Series X.

Yang bedanya bakal cukup lumayan mungkin adalah di current-gen console. Di PlayStation 4 dan Xbox One, mode Conquest bahkan cuma mampu mengakomodasi total 64 orang, alias separuh dari jumlah pemain yang didukung di next-gen console dan PC.

Kabar baiknya, Battlefield 2042 mendukung dual-entitlement dan cross-play progression di semua edisi (Standard, Gold, Ultimate). Jadi bagi yang masih menunggu jatah stok PS5 dan hanya bisa memainkannya di PS4, akan lebih bijak seandainya Anda membeli Battlefield 2042 versi next-gen meski harganya lebih mahal 150 ribu rupiah ketimbang versi current-gen.

Pasalnya, versi next-gen tersebut juga mencakup versi current-gen. Jadi ketika sudah kebagian jatah stok PS5 nanti, Anda tidak perlu membeli game-nya lagi, dan semua progres permainan yang Anda catatkan pun bisa langsung ditransfer. Namun perlu dicatat, ini hanya berlaku untuk edisi digitalnya saja, bukan edisi fisik.

Kesimpulan

Battlefield 2042 berhasil mengingatkan saya pada keasyikan baku tembak di seri game ini. Perang berskala masif antara 64 mercenary melawan 64 mercenary lain terasa brutal sepanjang waktu, tapi akan lebih seru lagi seandainya semua yang terlibat adalah pemain asli, bukan bot.

Sebagai penikmat game single-player, jujur saya agak menyayangkan kenapa Battlefield 2042 tidak punya single-player campaign. Padahal, kalau saya pikir-pikir, beragam set piece atau peristiwa yang terjadi — seperti musibah tornado dan peluncuran roket luar angkasa — bakal terkesan sangat menarik jika diselipkan ke dalam skenario single-player.

Terlepas dari itu, upaya DICE untuk menghadirkan momen-momen epik seperti ini ke dalam sebuah live service game tetap patut diapresiasi. Seiring waktu, Battlefield 2042 pasti bakal kedatangan berbagai map baru, dan jujur saya penasaran momen-momen menegangkan seperti apa yang menunggu di masing-masing lokasi.

Hero baru, eh, maksud saya Specialist baru, pasti juga akan hadir ke depannya, dengan beragam gadget dan trait yang membuat permainan jadi terasa lebih variatif. Begitu pula dengan senjata-senjata baru, yang semuanya dapat dipakai tanpa terbatasi oleh class. Bisa jadi, ini bakal menjadi game Battlefield pertama yang memiliki beragam tips meta.

Oh ya, semua yang saya ceritakan ini sebenarnya baru sebagian kecil dari Battlefield 2042, sebab yang saya coba hanyalah satu mode gameplay dan satu map saja. Beberapa fitur baru, seperti misalnya mode Hazard Zone, bahkan belum EA ungkap sama sekali detailnya.

Bagi yang penasaran mencoba sendiri, Battlefield 2042 versi open beta sudah bisa dimainkan dari tanggal 6-9 Oktober 2021, dengan syarat Anda sudah melakukan pre-order. Buat yang masih ragu untuk keluar uang, Anda bisa mengikuti sesi open beta ini pada tanggal 8 Oktober, jadi Anda setidaknya masih punya waktu satu hari untuk mencicipi game ini lebih awal.

7 Game Mirip PUBG Mobile yang Patut Dicoba dan Tidak Kalah Seru

PUBG Mobile merupakan game bergenre battle royale yang sangat populer di Indonesia bahkan di dunia. Game ini pertama kali dirilis oleh Tencent pada akhir 2017 silam dengan KRAFTON sebagai developernya. Hingga kini, di tahun 2021, ada jutaan pemain aktif di dunia setiap harinya bermain PUBG Mobile.

Kesuksesan PUBG Mobile mengikuti jejak PUBG Battleground, game battle royale versi PC yang dirilis lebih dahulu. Selain itu, Kesuksesan PUBG Mobile tidak lepas dari genre battle royale yang ditawarkan. Permainan menantang yang kompetitif untuk bertahan hidup adalah gameplay andalan yang mereka sajikan. Kemudian ada fitur, grafik, dan event supports dari sang developer juga menjadikan para pemain betah untuk memainkan PUBG Mobile.

Kesuksesan dari PUBG Mobile ini membuat developer lainnya juga tertarik mengembangkan game bergenre battle royale di platform Mobile. Game-game yang sebetulnya juga mengasyikan dan menantang untuk dimainkan. Lalu game-game apa saja yang mirip PUBG Mobile?

Berikut ini adalah 7 Game Mirip PUBG Mobile di 2021:

Knives Out-No rules, just fight!

Knives Out-No rules, just fight! merupakan game battle royale yang dirilis oleh NetEase Games pada akhir tahun 2017 silam. Knives Out-No rules, just fight! Menawarkan permainan battle royale yang mirip dengan PUBG Mobile. Selanjutnya, NetEase Games juga memberikan beragam fitur menarik ke dalam game Knives Out-No rules, just fight!.

Mulai dari permainan solo, squad dengan 5 pemain, adu pertempuran kendaraan, pertempuran menggunakan sniper, permainan 50vs50, hingga team fight dihadirkan dalam Knives Out-No rules, just fight!. Hal ini membuat popularitas dari Knives Out-No rules, just fight! cenderung tinggi, terutama dari kawasan Tiongkok dan Jepang. Para pemain tidak akan bosan dengan banyaknya variasi gameplay yang ditawarkan dalam Knives Out-No rules, just fight! ini.

Selain itu, Knives Out-No rules, just fight! juga mempunyai grafik yang cenderung bagus. Ruang penyimpanan yang kecil dan juga dapat dimainkan dengan smartphone dengan RAM 1 GB saja menjadi nilai tambah tersendiri.

Special Ops FPS Survival Battleground Free-fire

Sama seperti namanya, game Special Ops FPS Survival Battleground Free-fire merupakan game gabungan beberapa fitur yang ada di dalam PUBG Mobile dan Free Fire. Game ini dirilis oleh AMGOC GAMES pada tahun 2019. Special Ops FPS Survival Battleground Free-fire menawarkan permainan battle royale yang menarik dan menantang.

Keunggulan lainnya dari Special Ops FPS Survival Battleground Free-fire adalah dapat dimainkan saat offline. Selain itu, Special Ops FPS Survival Battleground Free-fire juga ringan untuk dimainkan pengguna smartphone RAM 1 GB dengan ruang penyimpanan yang kecil.

Sausage Man

Sausage Man adalah game battle royale yang booming pada pertengahan tahun 2021 kemarin. Game yang mempunyai karater unik yakni berupa sosis ini menghadirkan pertempuran bertahan hidup yang menggemaskan. Pemain dapat memodifikasi karater sosis yang ingin mereka mainkan dengan beragam kostum dan skin yang disediakan oleh sang developer.

Meskipun begitu, Sausage Man juga mengedepankan permainan yang kompetitif namun santai. Pemain harus mempunyai kemampuan bermain battle royale yang bagus untuk dapat memenangkan pertandingan. Selain itu, Sausage Man juga merupakan game yang ringan dan ramah untuk smartphone kentang dengan RAM 1 GB.

Rules of Survival

Rules of Survival merupakan game bertemakan battle royale yang dirilis oleh NetEase Games pada akhir 2017 kemarin untuk platform PC maupun Mobile. Pada awal peluncurannya, Rules of Survival merupakan penantang terberat PUBG Mobile. Namun sayangnya kemunculannya sempat meredup pada tahun-tahun berikutnya.

Meskipun begitu, Rules of Survival patut untuk dicoba bagi pemain yang menyukai game battle royale. Rules of Survival dapat menampung hingga 120 pemain di dalam 1 pertempuran dan menjadikan permainan semakin seru lagi. Rules of Survival menawarkan pertempuran dengan gameplay dan grafik yang tinggi. Beragam perlengkapan, persenjataan, dan fitur yang menarik juga dihadirkan di dalam permainan.

Garena Free Fire

Garena Free Fire merupakan game battle royale pesaing terberat PUBG Mobile. Free Fire dirilis oleh Garena pada tahun 2017 silam. Garena Free Fire juga sangat populer di Indonesia dan mempunyai jutaan pemain aktif setiap harinya. Meskipun visualisasi grafis yang disajikan kalah dibandingkan dengan PUBG Mobile, namun Garena Free Fire dapat dimainkan dengan smartphone yang mempunyai spek di bawah rata-rata.

Garena Free Fire menawarkan permainan battle royale yang kompetitif dan menantang. Hero/karakter yang ada di dalam Garena Free Fire mempunyai kemampuan dan dapat dimanfaatkan oleh pemain untuk memenangkan permainan. Selain itu, kompetisi esports dari Garena Free Fire juga sudah terbentuk dengan hadirnya beragam turnamen nasional maupun internasional.

Call of Duty: Mobile

Call of Duty: Mobile adalah game besutan Activision bekerja sama dengan Tencent Games. Game ini merupakan game adaptasi dari versi PC-nya yakni seri Call of Duty dan dirilis pada tahun 2019 silam.

Keunggulan dari Call of Duty: Mobile adalah gameplay dan grafik tinggi yang ditawarkan. Selain itu, Call of Duty: Mobile juga menghadirkan beragam fitur yang menantang di dalam permainan. Pemain dapat bermain dalam berbagai game mode dan map yang ada, kualitas senjata dan perlengkapan tempur yang nyata, serta beragam event menarik yang dihadirkan oleh sang pengembang.

Saat ini Garena, Tencent Games, maupun Activision juga tengah mengembangkan ekosistem esports Call of Duty: Mobile. Mereka telah menggelar berbagai turnamen tingkat nasional, regional, hingga internasional.

Battle Royale Fire Prime Free: Online & Offline

Battle Royale Fire Prime Free: Online & Offline adalah game battle royale yang dirilis oleh First Anvil Games. Berbeda dengan game battle royale lainnya, Battle Royale Fire Prime Free: Online & Offline menawarkan permainan bertahan hidup yang mirip dengan PUBG Mobile namun dengan nuansa minimalis. Battle Royale Fire Prime Free: Online & Offline dapat dimainkan pada smartphone kentang dengan RAM 1 GB dan ruang penyimpanan kecil.

Battle Royale Fire Prime Free: Online & Offline memiliki kontrol dan gameplay yang mudah. Hal ini membuat para pemain yang baru mencoba permainan battle royale mudah memahaminya. Selain itu Battle Royale Fire Prime Free: Online & Offline dapat dimainkan secara online melawan pemain lainnya ataupun offline melawan komputer.


Itulah tadi 7 Game Battle Royale mirip PUBG Mobile yang patut dicoba di tahun 2021 ini. Dari ketujuh game di atas, apa saja yang pernah atau ingin Anda coba mainkan? Pada dasarnya game-game battle royale tersebut menyuguhkan 3 aspek yang berbeda 1 sama lainnya. Pertama adalah game casual dengan gameplay dan fitur yang menarik untuk dimainkan seperti Knives Out-No rules, just fight!, Sausage Man, dan Rules of Survival. Ada juga dua game yang mengandalkan permainan taktis dan kompetitif setingkat esports seperti Garena Free Fire dan Call of Duty: Mobile. Ketiga adalah game yang dapat dimainkan secara offline maupun online dengan HP dengan spek minimalis seperti Special Ops FPS Survival Battleground Free-fire dan Battle Royale Fire Prime Free: Online & Offline.

15 Game Baru yang Dirilis pada Bulan Oktober 2021

Oktober 2021 sepertinya akan menjadi bulan yang mulai padat bagi para gamer. Karena 3 bulan terakhir tahun ini memang akan dipenuhi dengan perilisan game-game baru yang telah banyak ditunggu oleh para gamer dari awal tahun atau bahkan sejak tahun kemarin.

Di bulan ini beberapa judul game besar akan dirilis dari berbagai genre dan juga platform yang tentunya dapat dijadikan pilihan para gamer yang sudah tidak sabar memainkan game-game baru. Dan berikut saya telah merangkum 15 game yang akan dirilis pada bulan Oktober 2021 ini.

FIFA 22

1 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Game sepak bola tahunan buatan EA Sport ini menjadi pembuka untuk bulan Oktober ini. Seperti biasa, seri terbaru ini membawa beberapa fitur baru salah satunya yang paling dielu-elukan adalah teknologi HyperMotion untuk konsol next-gen yang memungkinkan animasi para pemain menjadi lebih realistis dan otentik.

Alan Wake Remastered

5 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Setelah lama dirumorkan keberadaannya, akhirnya Remedy Entertainment secara resmi mengumumkan remaster dari salah satu game terbaiknya, Alan Wake. Game ini menjanjikan peningkatan visual dan juga petualangan tambahan dari semua DLC yang sebelumnya sudah dirilis pada game originalnya.

Nickelodeon All-Star Brawl

5 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Salah satu kejutan dari Nickelodeon pada tahun ini adalah keputusan mereka untuk membuat game saingan untuk Smash Bros milik Nintendo. Dan Nickelodeon tidak setengah setengah-setengah dalam game ini dengan membawa berbagai karakter ikonik milik mereka mulai karakter dari kartun SpongeBob SquarePants, TMNT, hingga Avatar.

Far Cry 6

7 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Game terbesar yang akan dirilis pada bulan ini adalah Far Cry 6. Ubisoft cukup berhasil untuk membawa seri ini dengan peningkatan dari berbagai aspek untuk game aksi open-world mereka. Seperti seri-seri sebelumnya, Far Cry 6 juga memiliki musuh karismatik Anton Castillo yang merupakan diktator jahat yang harus digulingkan.

Metroid Dread

8 Oktober 2021 – Nintendo Switch

Setelah menghilang cukup lama, seri Metroid akhirnya muncul kembali tepatnya pada Nintendo Direct E3 tahun ini. Masih mengusung gaya platformer 2D metroidvania, game ini mengajak pemain ikut dalam petualangan Samus yang harus menghadapi musuh misterius yang menjebak dirinya di dunia berbahaya yang dipenuhi alien dan robot pembunuh.

Back 4 Blood

12 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Game co-op shooter Left for Dead dicintai oleh para gamer sejak seri pertamanya dirilis pada 2008. Namun sayangnya seri ketiganya tidak kunjung dibuat oleh Valve, hingga akhirnya developer Turtle Neck Studio membuat judul baru ini. Back 4 Blood tetap mempertahankan tema kiamat zombie dan mekanisme gameplay co-op hingga 4 pemain.

Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba – The Hinokami Chronicles

13 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Serial anime Demon Slayer atau Kimetsu no Yaiba memang mencuri perhatian banyak penggemar anime lewat aksi dan juga ceritanya. Kini para gamer juga berkesempatan untuk merasakan petualangan Tanjuro dan Nezuko selama musim pertama. Para pemain juga dapat mengeluarkan jurus-jurus pamungkas dari anime-nya yang tampil menakjubkan.

Crysis Remastered Trilogy

15 Oktober 2021 – PC, PS4, Xbox One, Switch

Petualangan para pasukan nanosuit untuk melawan pasukan Korea Utara dan juga alien akhirnya kini kembali lewat remaster ketiga game-nya. Para gamer tentunya bisa kembali bernostalgia atau bahkan baru mencicipi trilogi yang sempat menjadi ‘benchmark tertinggi’ untuk PC gaming ini dengan grafis yang lebih menawan.

Resident Evil 4 VR

21 Oktober 2021 – Oculust Quest 2

Kehadiran kembali Resident Evil 4 memang menimbulkan reaksi beragam dari para fans. Ada yang sudah lelah dengan petualangan dari Leon menyelamatkan Ashley ini. Namun banyak juga yang menginginkan salah satu seri favorit pemain ini kembali. Capcom pun akhirnya memberikan sentuhan baru terhadap seri ini dengan mengusung virtual reality (VR).

The Dark Pictures Anthology: House of Ashes

22 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Bagi para pecinta game horor apalagi yang mengikuti The Dark Picture Anthology tentu tidak ingin ketinggalan instalasi ketiga dari game-nya ini. Membawa tema yang cukup berbeda, Anda akan bertualang di Irak yang menyimpan misteri baru untuk diungkap sekaligus berusaha untuk tetap selamat.

Marvel’s Guardians Of The Galaxy

26 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Usaha Square Enix untuk menghadirkan game sukses untuk Marvel memang belum berhasil lewat Marvel’s Avengers. Namun mereka mendapat kesempatan kedua untuk mengeksekusi franchise populer Marvel lainnya yaitu Guardian of The Galaxy. Berbeda dengan game sebelumnya, game ini akan menitikberatkan pada petualangan dan aksi Star-Lord saja.

Age of Empire IV

28 Oktober 2021 – PC

Para pecinta game strategi tentunya sudah menunggu sangat lama agar Relic Entertainment membuatkan sekuel untuk Age of Empires. Tahun ini kelihatannya akan menjadi tahun yang menggembirakan bagi para fans karena akhirnya Age of Empire IV akan dirilis dengan menjanjikan pertempuran besar 7 bangsa dan visualisasi grafis yang lebih modern.

Riders Republic

28 Oktober 2021 – PC, PS4, PS5, Xbox One, Xbox Series X|S

Menghidupkan kembali genre olahraga ekstrim memang usaha yang sulit, namun Ubisoft berusaha keras untuk dapat mengembalikan kejayaan genre ini dengan menggabungkannya dengan elemen MMO. Hasilnya sebuah game open-world yang penuh dengan petualangan dan aksi-aksi stunt berbahaya yang memacu adrenalin bersama para pemain lainnya.

Mario Party Superstars

29 Oktober 2021 – Nintendo Switch

Tidak selamanya gamer menginginkan sebuah game dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Bermain game di level kasual nyatanya memang lebih menyenangkan seperti yang akan para pemain Switch nikmati lewat Mario Party Superstars. Game ini akan membawa kumpulan mini-games dari koleksi Nintendo yang dapat dimainkan bersama.

NASCAR 21: Ignition

28 Oktober 2021 – PC, PS4, Xbox One

NASCAR 21:Ignition jadi salah satu harapan besar bagi para pecinta Nascar untuk mengobati kekecewaan mereka terhadap NASCAR Heat 5. Motorsport Games menjanjikan perubahan besar pada NASCAR 21: Ignition yang mencakup penggunaan Unreal Engine 4 untuk membuat grafisnya semakin realistis, physics yang juga ditingkatkan dengan mengambil dari game sim rFactor 2, dan tentunya mobil-mobil baru yang sangat dinanti.


Itu tadi daftar 15 game yang akan dirilis pada bulan Oktober 2021 ini. Cukup banyak game-game besar yang kelihatannya wajib dimainkan. Sekarang tinggal Anda memilih game mana saja yang akan dibeli dan dimainkan bulan ini.

10 Kursi Gaming Termahal di Dunia Buat Para Sultan Nih!

Seperti apakah kursi gaming termahal di dunia di tahun 2021?

Untuk para gamer, kenyamanan pasti menjadi salah satu aspek penting saat bermain game kompetitif atau sekadar menikmati game singleplayer dalam jangka waktu yang lama. Nah, salah satu perlengkapan yang memiliki dampak besar di bagian kenyamanan adalah kursi. Tidak hanya menambah kenyamanan, beberapa kursi juga dapat membantu menjaga postur tubuh Anda agar lebih baik setelah duduk berjam-jam. Apalagi di era pandemi seperti saat ini, pastinya Anda lebih sering menghabiskan waktu di rumah.

Sama hal-nya seperti keyboard, kursi juga memiliki beberapa kategori sendiri — seperti kursi lipat, kantoran, kondangan, plastik, dan tentu saja gaming. Nah, Anda mungkin familiar dengan sebagian besar kursi berembel-embel gaming yang memiliki bentuk seperti jok mobil balap.

Biasanya, kursi gaming seperti itu dibanderol mulai dari harga sejutaan. Jika menurut Anda kursi gaming seperti itu sudah biasa, kali ini kami telah merangkum beberapa kursi gaming termahal yang bisa membuat dompet Anda menangis tersedu. Saking mahalnya, ada beberapa kursi yang harganya lebih mahal dari mobil lho!

Tanpa basa-basi lebih lanjut, langsung saja kita masuk ke 10 kursi gaming sultan alias kursi gaming termahal di dunia!

1. Acer Predator Thronos

Image Credit: Acer

Kursi gaming yang sempat populer di tahun 2019 lalu ini mungkin menjadi salah satu inovasi tergila saat itu. Acer Predator Thronos merupakan kursi gaming all-in-one dengan beberapa fitur-fitur unik yang bisa membuat pengalaman gaming lebih immersive. Beberapa fitur ini meliputi posisi kursi yang dapat direntangkan ke belakang hingga 140° dengan remote, sistem force feedback yang terhubung dengan game Anda, dan tentu saja, lampu RGB.

Kursi gaming Predator Thronos ini dilengkapi dengan 3 buah monitor curved Predator Z271 U berukuran 27 inch yang diletakkan berjejer di depan mata Anda. Selain monitor, Acer menjual Predator Thronos ini sepaket dengan PC built-up beserta gaming peripherals yang semuanya bermerek Acer.

Acer Predator Thronos memiliki dua versi yang bisa Anda beli, yaitu Ultimate Gaming Experience yang dibanderol dengan harga Rp299 juta dan Rp199 juta untuk versi Premium Gaming Experience. Menariknya, Acer sempat memasukkan Predator Thronos secara resmi ke Indonesia — menjadikannya kursi gaming termahal di Indonesia.

Tidak berhenti di situ, sekitar setahun setelah Predator Thronos dirilis, Acer meluncurkan versi terbaru untuk kursi gaming sultan besutan mereka. Versi terbaru ini dinamakan Predator Thronos Air dan dibanderol lebih murah dari kakaknya. Dengan harga Rp149 juta, Acer Predator Thronos Air juga dijual sepaket dengan PC dan tiga unit monitor. Jika Anda tertarik dengan kursi gaming sultan ini, Anda bisa melihat lebih lengkapnya di website resmi Acer.

2. ErgoQuest Zero Gravity Workstation Ultimate

Sakit punggung tidak relevan di kursi ini! Zero Gravity Workstation Ultimate besutan ErgoQuest ini mungkin bisa dibilang sebagai kursi gaming ternyaman di dunia. Dibanderol mulai dari US$9,995 atau sekitar Rp143 juta, ErgoQuest menyediakan berbagai jenis busa bantalan dengan kepadatan yang berbeda seperti memory foam, polyuretahne foam, katun/poliester, dan lateks. Kulit eksterior dari kursi ini juga disediakan beberapa pilihan yang bisa membuat harganya lompat menjadi US$15,995 atau sekitar Rp228,8 juta.

Image Credit: ErgoQuest

Kursi gaming ini dilengkapi dengan 8 motor listrik yang bertugas mengatur sudut sandaran kaki, sandaran punggung, tempat duduk, serta posisi monitor. Dengan 8 motor listrik ini, Anda dapat mengubah kursi ini menjadi tempat tidur. ErgoQuest juga menyematkan tablet Android untuk mengatur semua pengaturan kursi gaming sultan ini.

Berbeda dengan Acer Predator Thronos, ErgoQuest Zero Gravity Workstation Ultimate ini tidak sepaket dengan PC dan monitornya. Jadi, Anda harus merogoh kocek lebih dalam untuk melengkapi kursi gaming all-in-one ini.

3. Imperator Works IW-J20 PRO

Image Credit: Imperator Works

Mirip kedua kursi di atas, Imperator Works IW-J20 Pro juga merupakan kursi gaming all-in-one. Uniknya, kursi gaming satu ini memiliki senjata “Gatling Gun” di sisi kanan dan kiri pemain. Di bagian bawah juga terdapat roda yang membuat kursi ini terlihat seperti tank. Sayangnya, senjata dan roda ini hanya sekadar dekorasi dan tidak dapat dioperasikan.

IW-J20 PRO merupakan line-up paling mahal dari Imperator Works dengan harga US$5,999 atau sekitar Rp85,8 juta. Imperator Works juga memiliki beberapa kursi gaming all-in-one lainnya yang tidak kalah mahal dengan harga berkisar US$2,799 hingga US$3,999. Kursi gaming dari Imperator Works ini dijual terpisah dengan monitor dan PC.

Jika Anda tertarik untuk membawa pulang kursi-kursi gaming dari Imperator Works, Anda dapat mengecek beberapa line-up kursi gaming terbaik mereka di website resmi mereka.

4. Herman Miller X Logitech G Embody

Image Credit: Logitech G

Kursi gaming hasil kolaborasi dua brand ternama ini bisa dibilang lebih ‘normal’ dari kursi-kursi yang telah disebutkan di atas. Dibanderol dengan harga US$1,595 atau sekitar Rp22,8 juta, kursi ini lebih terlihat seperti kursi kantoran pada umumnya daripada kursi gaming. Untuk menunjukkan kolaborasinya dengan Logitech G, kursi ini memiliki paduan warna hitam dan biru terang sebagai warna khas dari Logitech G.

Namun, kehebatan kursi ini terletak pada manfaatnya ke postur tubuh. Kursi ini dirancang dengan bantuan lebih dari 30 orang bergelar biomekanika, visi, terapi fisik, dan ergonomi. Dengan bantuan Logitech G, kursi gaming Embody ini disesuaikan dengan pemakaian para gamer. Jadi, tidak hanya nyaman, kursi ini juga akan membantu menjaga postur tubuh Anda meskipun telah duduk bermain game seharian.

Kursi Embody besutan Herman Miller dan Logitech G ini memiliki busa yang tebal dengan teknologi pendinginan copper-fused untuk menjaga para gamer tetap sejuk dan nyaman selama sesi gaming yang panjang. Selain itu, Herman Miller juga menyematkan beberapa fitur unggulan mereka seperti PostureFit Spinal Support untuk menjaga postur tulang belakang, BackFit Adjustment, serta sandaran tangan yang bisa diatur 4 dimensi. Lebih lengkapnya, Anda bisa melihatnya di laman resmi Herman Miller.

5. AKRacing Masters Series Pro

Image Credit:CHAIRSFX

Menduduki peringkat ke-5 adalah kursi gaming dari brand asal AS, AKRacing. Masters Series Pro merupakan line-up tertinggi dan termahal yang dimiliki oleh AKRacing. Dibanderol dengan harga mulai dari US$679 (sekitar Rp9,2 juta), kursi gaming AKRacing ini memiliki dua pilihan material — yaitu PU Leather (kulit sintetis) dan kulit asli. Jika memilih kulit asli sebagai materialnya, harganya naik menjadi US$869 (sekitar Rp12,4 juta).

Dengan harga tersebut, pembeli kursi gaming ini disuguhkan dengan sandaran tangan yang bisa diatur 4 dimensi, recline hingga 180°, serta bantalan yang diklaim lebih nyaman 30% dari kursi gaming AKRacing lainnya.

6. VertaGear Triigger 350

Image Credit: VertaGear

Mirip dengan kursi Herman Miller X Logitech G di atas, kursi gaming dari Vertagear ini memiliki bentuk seperti kursi kantoran. Bedanya, kursi ini dibanderol lebih terjangkau dengan harga US$800 atau sekitar Rp11,4 juta. Sesuai namanya, kursi gaming Vertagear Triigger 350 tersusun dengan 350 bagian yang berbeda.

Kursi gaming ini memiliki sandaran punggung serta penyangga lengan dapat diatur sesuka hati sesuai dengan postur tubuh Anda. Selain itu, jaring-jaring yang digunakan pada tempat duduk dan sandaran punggung di kursi ini diklaim tahan panas dan awet. Jika Anda ingin melihat lebih lengkap tentang kursi ini, Anda bisa melihatnya di sini.

7. Secretlab TITAN Evo 2022

Image Credit: Secretlab

Didirikan pada tahun 2014, Secretlab membangun image-nya dengan menjual kursi-kursi gaming premium dengan harga yang mahal. Bukan tanpa alasan, harga kursi gaming mahal itu diimbangi dengan kualitasnya yang jempolan. Bahkan, salah satu produk mereka bernama “Omega” pernah disebut sebagai kursi gaming terbaik di tahun 2019 oleh PC Gamer.

Tidak sampai di sana, kursi gaming teranyar mereka yang dinamakan TITAN Evo 2022 juga meraih gelar sebagai kursi gaming terbaik di tahun 2021 menurut PC Gamer dan IGN. Dibanderol dengan harga sampai Rp10 jutaan, Secretlab TITAN Evo 2022 memiliki tiga ukuran — yaitu S, R, dan XL. Selain ukuran, Secretlab juga menyediakan dua pilihan bahan untuk eksterior kursi yang dinamakan Neo Hybrid Leatherette dan Softweave fabric.

Image Credit: Secretlab

Secretlab TITAN Evo 2022 ini juga memiliki sandaran tangan yang dapat diatur 4 dimensi, bantal kepala magnetis, serta dudukan yang nyaman. Menurut PC Gamer, kursi gaming teranyar dari Secretlab ini sangat nyaman meskipun harganya yang tergolong lumayan tinggi.

8. Noblechairs Hero

Image Credit: Noblechairs

Memiliki desain yang simple dan elegan, Noblechairs Hero merupakan salah satu kursi gaming yang paling enak dipandang. Tidak hanya enak dipandang, kursi gaming ini dikembangkan dengan bantuan dari pemain esports professional. Jadi, pastinya kursi gaming dari Noblechairs ini telah disesuaikan untuk pemakaian para gamer. 

Dibanderol dengan harga sampai US$719 (sekitar Rp10,2 juta), Noblechairs Hero menyediakan beberapa pilihan material seperti fabric, kulit sintetis, dan kulit asli. Kursi gaming ini juga dibuat dengan bahan premium — seperti rangka baja yang tahan lama, bantalan busa dingin, serta sandaran tangan yang dilapis dengan kulit.

9. DXRacer Tank Series

Image Credit: DXRacer

Siapa yang tidak kenal dengan brand DXRacer? Brand asal AS ini merupakan pabrikan yang memproduksi kursi gaming pertama pada tahun 2006 silam. Menjadi yang pertama di dunia kursi gaming, ternyata harga yang ditawarkan oleh DXRacer cukup kompetitif — alias tidak semahal beberapa kompetitornya di atas.

Menempati urutan ke-9, DXRacer Tank Series dibanderol dengan harga US$629 atau sekitar Rp9 jutaan. Dengan harga itu, kursi ini menawarkan penyangga lengan 4D, frame kursi yang terbuat dari besi, tingkat kerebahan hingga 120°, dan masih banyak lagi.

Sesuai dengan namanya, Tank Series dari DXRacer lebih diperuntukkan pada orang yang berbadan besar dan tinggi. Kursi gaming dari DXRacer ini diklaim dapat menahan beban hingga 400lbs atau sekitar 180kg. Anda dapat melihat lebih lengkap tentang kursi gaming ini di sini.

10. MAXNOMIC NEEDforSEAT XL

Image Credit: MAXNOMIC

Menduduki peringkat terakhir di daftar kursi-kursi gaming termahal adalah kursi buatan brand asal Jerman, MAXNOMIC NEEDforSEAT XL. Meskipun menempati peringkat terakhir, kursi buatan MAXNOMIC ini tidak bisa dibilang ‘murah’ — karena kursi gaming ini dibanderol dengan harga EU€579 atau sekitar Rp9,6 juta.

Kursi gaming ini memiliki fitur-fitur yang mirip dengan kompetitornya di atas — seperti sandaran punggung yang bisa direbahkan, penyangga tangan 4D, dan sebagainya. Menariknya, penyangga tangan yang disematkan di kursi gaming ini memiliki slot untuk jari-jari Anda. Jadi, tidak hanya tangan, jari Anda juga dapat beristirahat dengan nyaman.

Image Credit: MAXNOMIC

Lalu, Anda juga bisa menambahkan ukiran nama custom di eksterior kursi dengan tambahan biaya EU€50 (sekitar Rp839 ribu).

Penutup

Nah, itu tadi adalah 10 kursi gaming termahal di dunia. Apakah Anda tertarik untuk memiliki salah satunya? Kalau saya sih… Kursi plastik saya masih bagus wkwkwkw…

Jika beberapa kursi gaming di atas belum cukup ‘gila’ untuk Anda, beberapa waktu lalu terdapat kursi gaming bertema anime yang dilengkapi dengan katana.


Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

10 Game PS1 Terbaik yang Masih Asyik Dimainkan di 2021

PlayStation 1 mungkin kini sudah berumur lebih dari 20 tahun, namun beberapa game legendarisnya nyatanya masih relevan hingga sekarang. Game-game ini dapat bertahan hingga sekarang karena keunikan dan juga faktor “menyenangkan” yang membuat game-nya masih tetap asik dimainkan hingga sekarang.

Saya pun telah mengumpulkan 10 game PlayStation 1 terbaik yang masih asyik dimainkan sekarang, di 2021. Perlu diingat bahwa preferensi setiap gamer pasti berbeda-beda sehingga daftar ini tidaklah mutlak namun setidaknya bisa menjadi referensi sekaligus pengingat bahwa game-game ini masih relevan untuk dimainkan.

Pepsiman

Pepsiman tentunya harus masuk ke daftar ini karena bisa dibilang menjadi salah satu pionir untuk game-game endless run yang ada sekarang.

Meskipun game ini sangat terasa sebagai materi marketing dari Pepsi, namun Pepsiman memang tetap menawarkan sebuah pengalaman aksi yang unik dan juga menantang.

3xtreme

Game olahraga ekstrim mungkin tidak terlalu digemari oleh para gamer saat ini, namun dahulu game dengan genre ini cukup populer dimainkan.

Apalagi 3xtreme menawarkan keunikannya dengan menggabungkan olahraga ekstrim seperti skateboard, skating, dan sepeda dengan balapan di trek uniknya.

Vigilante V8: 2nd Offense

Jauh sebelum era battle royale, dahulu kala genre serupa sempat muncul dan berkembang dalam bentuk vehicular combat — dengan dua seri yang paling ikonik, Twisted Metal dan Vigilante V8. Twisted Metal sendiri cukup sukses dan terus mendapatkan sekuelnya hingga beberapa generasi.

Sedangkan Vigilante V8 hanya memiliki 2 game dalam serinya. Namun keduanya tetap menyajikan sebuah aksi gameplay perang menggunakan kendaraan yang mengasyikkan hingga sekarang.

Dino Crisis

Shinji Mikami berhasil membuktikan bahwa supranatural bukanlah satu-satunya tema yang menyeramkan untuk game horor. Dino Crisis menjadi bukti bahwa dinosaurus juga dapat menjadi faktor ancaman yang menyeramkan.

Mengingat Capcom belum memiliki rencana untuk me-remake game ini, maka memainkan seri originalnya menjadi cara satu-satunya untuk merasakan pengalaman bermain game legendaris ini.

Super Shot Soccer

Beberapa hal yang membuat game-game di era PS1 sangat memorable adalah keberanian para pengembang untuk menggabungkan aspek gila dan menyenangkan ke dalam game-nya.

Salah satunya terlihat dalam game ini yang menggabungkan game sepak bola dengan jurus-jurus gila yang membuatnya terasa curang namun nyatanya malah membuat pertandingan menjadi penuh gelak tawa.

Bishi Bashi Special

Mayoritas game kompetitif di zaman sekarang terlalu berfokus kepada pencapaian dan kerap melupakan bahwa kompetisi juga bisa dibuat menyenangkan baik ketika menang maupun kalah. Bishi Bashi Special mungkin menjadi salah satu game yang dapat menyajikan keseimbangan tersebut.

Dengan grafik ala anime yang lucu dan konyol, serta permainan-permainan unik yang membuat kita selalu tertawa, game ini mampu membuat pengalaman multiplayer tanpa harus merasa pahit saat menerima kekalahan

Metal Slug X

Game co-op shooter mungkin semakin langka jumlahnya. Namun dulu game seperti Metal Slug X menyediakan petualangan tembak-tembakan yang dapat dinikmati dan bahkan diselesaikan secara bersama-sama.

Dengan gaya platformer 2 dimensi, game ini tetap menyajikan pertempuran yang menegangkan dan juga menyenangkan. Apalagi game-nya juga menghadirkan tema yang berbeda-beda pada setiap levelnya sehingga tidak terasa repetitif.

Nascar Rumble

Menggabungkan elemen dari game karting dengan mobil-mobil nascar memang terdengar absurd untuk zaman sekarang. Namun dulu Nascar Rumble sempat membuktikan bahwa hal tersebut dapat direalisasikan dengan baik.

Dan mengingat game seperti ini tidak ada lagi untuk sekarang maka memainkan game ini kembali tentunya masih memberikan pengalaman yang unik yang tidak dimiliki game-game balapan zaman sekarang

Metal Gear Solid 1

Metal Gear Solid tentu telah banyak berkembang sejak seri originalnya dirilis pada 1998. Namun proyek pertama Hideo Kojima memiliki keunikan tersendiri yang tidak hadir di seri-seri modernnya.

Mulai dari gameplay inovatif pada zamannya, sudut pandang kamera yang unik, hingga gaya sinematiknya membuat game ini masih sangat layak dimainkan kembali.

Suikoden II

Menjadi salah satu JRPG terbaik yang pernah dibuat oleh Konami memang membuat Suikoden II terus dicintai oleh para fans RPG hingga sekarang. Hampir semua aspek dalam game ini begitu melekat bagi para pemainnya.

Mulai dari visual yang unik, cerita mendalam yang dipenuhi berbagai intrik, hingga tentunya 108 karakter unik yang harus dikumpulkan, semua aspek-aspek tersebut terbungkus indah dalam Suikoden 2. Dan kami ragu bahwa Konami akan menghadirkan game seperti ini lagi di masa depan.


Image credit: games.mail

Penutup

Itu tadi adalah 10 game yang masih tetap seru dimainkan hingga saat ini. Kami sadar bahwa masih ada banyak game keren lainnya yang tidak kami masukkan ke dalam daftar ini. Namun setidaknya mayoritas judul di atas memiliki keunikan yang tidak ditemui di game-game zaman sekarang.

Karena, memang game-game tadi memang tidak mendapatkan sekuel ataupun remake dari sang publisher. Ataupun memang tema maupun gameplay yang dibawa sudah dianggap usang padahal memiliki unsur nostalgia yang membuat game-game tersebut masih menyenangkan dimainkan sekarang.

Impresi Awal FIFA22 di PS4, Menikmati Peningkatan Pengalaman Bermain dengan Segala Keterbatasan Perangkat

Akhirnya tiba juga waktunya untuk kembali menuliskan pengalaman tahunan memainkan game FIFA. Kali ini saya berkesempatan untuk mencoba lebih awal game buatan EA terbaru yaitu FIFA22. 

Sebelum memulai, saya ucapkan terimakasih untuk EA yang telah memberikan akses lebih cepat pada tim Hybrid untuk mencoba game FIFA22. Saya mulai mengunduh kurang lebih Selasa 21 September 2021. Karena keterbatasan waktu dan kecepatan internet, saya baru bisa menikmati game secara penuh kurang lebih 2 hari berikutnya. Tapi saya sudah bisa mencoba bermain sejak hari pertama kode game diberikan oleh tim EA. Alasannya kenapa, nanti akan saya jelaskan lebih lanjut. 

Oke, sebagai informasi pembuka, saya cukup intens bermain FIFA21, impresi awal dari pengalaman bermain juga sempat saya tuliskan ketika mendapatkan akses lebih awal dari game ini akhir tahun lalu. Fokus saya memang hanya memainkan FUT, meski tidak jago-jago amat tetapi pengalaman yang saya dapatkan cukup komplit. Ada kesalnya (mendapatkan pack yang bagus di akhir-akhir), ada senangnya (bisa memainkan beberapa pemain favorit dengan squad favorit) serta membayangkan beberapa hal yang saya harapkan bisa hadir di FIFA22 (salah satunya adalah peningkatan skill AI dari kiper). 

Catatan penting: Seperti yang disebutkan di atas, saya mencoba FIFA22 di perangkat PS4. FIFA22 dibuat untuk next gen console, artinya Anda akan mendapatkan pengalaman yang paling lengkap dengan memainkannya di PS5. Hypermotion Technology yang banyak dipromosikan EA untuk game ini hanya bisa didapatkan di next gen console baik PS atau Xbox. Akan ada keterbatasan yang didapatkan dengan memainkan FIFA22 di PS4, namun sayangnya saya hanya bisa membandingkan dengan melihat video review atau handson FIFA22 di PS5 karena tidak memiliki perangkat ini untuk menguji. Meski demikian, bagi pengguna PS4 jangan khawatir, Anda bisa tetap merasakan keseruan bermain FIFA22 di perangkat ini. 

Catatan kedua, karena saya tidak terlalu suka bermain Volta dan juga Career Mode maka pengalaman uji yang saya lakukan terutama akan bermain terutama di FUT dan sedikit di menu Kick Off. 

Mengunduh FIFA22

Ada beberapa hal yang ingin saya ceritakan terkait proses unduhan FIFA22. Saat pertama kali mengunduh game ini, kita akan disuguhkan pada dua batch unduhan. Yang pertama memungkinkan kita memainkan beberapa bagian dalam game sambil menunggu unduhan total game selesai. 

Di batch pertama ini kita sudah bisa memainkan menu kick off dengan beberapa tim yang masuk di Liga Champions. Jadi meski game keseluruhan belum bisa dimainkan kita sudah bisa mengintip pengalaman bermain secara singkat. 

Di bagian menu utama juga akan muncul informasi tentang sudah berapa persen unduhan utama yang dilakukan. Sayangnya, ketika mencoba mengunduh dan memainkan game untuk kedua kalinya, kipas PS4 saya berputar cukup kencang dan mengeluarkan suara yang cukup nyaring dalam waktu yang lama. Jadi setelah sempat mencoba beberapa game, saya menunggu untuk unduhan lengkap selesai dulu baru bermain secara penuh. 

Desain dan pengalaman UI 

Salah satu yang paling kentara adalah tampilan atau UI atau elemen desain yang muncul sejak game ini dinyalakan. Bagi beberapa orang, termasuk saya, terkadang mood bermain suatu game, apalagi yang menjadi game rutin tahunan seperti FIFA22, elemen desain ini disadari atau tidak memberikan pengaruh yang cukup relevan bagi keinginan untuk bermain berlama-lama. Dan bagi saya, EA telah melakukannya dengan baik. Sama seperti pertamakali menyentuh FIFA21 dan merasakan rasa kesegaran dari FIFA20, di FIFA22 pengalaman itu tetap terjaga. 

Pemberian dari sisi ukuran teks, penambahan elemen desain. Perubahan menu apa yang tampil di depan serta beberapa pengurangan atau pemindahan menu terasa cukup menyenangkan di FIFA22. Memang akan ada keterbatasan animasi di PS4. Misalnya saja di menu utama alias home kita tidak akan mendapatkan animasi pemain berjalan dari bagian kanan menuju tengah tetapi pemain diam saja di posisinya sejak awal.

Tetapi bagi Anda yang tidak perlu dimanjakan oleh berbagai animasi tambahan ini, FIFA22 di PS4 tetap nyaman digunakan. 

Beberapa pembaruan lain yang terlihat adalah tampilan data statistik saat pertandingan selesai, baik jeda babak pertama atau setelah babak kedua. Di tampilan ini kita bisa melihat secara detail tentang berbagai data permainan secara singkat dengan tampilan yang penuh pada layar. 

Lalu tentu saja bagi Anda pemain FUT akan melihat perbedaan cukup signifikan dari berbagai elemen di menu ini. Yang cukup kentara adalah saat open pack, animasi kini tampil lebih singkat, tidak ada lagi lorong menuju player reveal, langsung ke ‘panggung’ tempat pemain di-reveal. Perbedaan untuk melihat apakan ini walkout atau tidak ada di api yang muncul di belakang panggung, semakin meriah maka pack semakin baik. 

Desain pack juga mendapatkan penyegaran, kini tampil layaknya pack untuk trading card, dengan elemen-elemen pemanis jadi mirip plastik bungkus kartu. Lalu keterangan detail pack ada di bagian bawah. Tampilan pack ini menurut saya salah satu penyegaran UI yang sangat menarik. Jadi lebih tertarik untuk bermain agar bisa punya pack yang akan dibuka. 

Perubahan dari sisi UI lain yang juga cukup kentara adalah akses langsung ke menu squad di FUT. Dulu, ketika sudah masuk ke menu FUT, pemain diberi dua pilihan untuk menu akses cepat ke squad dan stadion yang tampil di kiri dan kanan bawah, bisa diakses dengan menggunakan analog kiri dan kanan. Kini hanya ada akses menu cepat ke Squad dan bisa diakses dengan menekan analog L ke bawah. 

Elemen seperti pilihan warna dan elemen desain lain yang hadir di FIFA22 juga menurut saya cukup menyegarkan. Dulu warna elemen tambah dominan agak ke ungu/pink dan kini menjadi hijau terang. Menu utama game di PS juga tampil dengan warna hijau terang. Beberapa detail elemen di dalam menu permainan juga tampil dengan warna hijau terang, Bahkan animasi loading juga tampil dengan warna ini. 

EA cukup berani memang memasukan warna terang ini tetapi jika dilihat pengalaman secara keseluruhan jadinya cukup serasi. Menurut saya desain utama dari FIFA22 yang tampil agak cenderung biru ke arah gelap, ketika di tambahan elemen hijau ini jadinya cukup menyatu. Tidak aneh dan norak malam membantu menegaskan, posisi menu yang sedang kita pilih. Misalnya ketika ada di menu home utama, maka bagian menu yang akan kita pilih, warnanya latarnya hijau terang. 

Secara singkat, kesan elemen desain yang tampil di FIFA22 bagi saya cukup menyenangkan dan bisa memberikan suasana segar, yang memang harusnya selalu didapatkan ketika memainkan game tahunan seperti FIFA22 ini.

Pengalaman bermain 

Pengalaman bermain awal FIFA22 ini sebenarnya membawa mixed feeling. Di satu sisi terasa ada peningkatan dan bahkan bisa mengubah cara bermain keseluruhan, tapi di sisi lain juga membuat tanda tanya. Pengalaman awal sebelum game penuh terunduh sesudahnya memunculkan pengalaman bermain yang berbeda. 

Saat mencoba menu kick off di awal, ketika game baru diunduh seperempat, saya mencoba beberapa match. Saya menggunakan PSG dan sempat juga menggunakan Chelsea. Pengalaman awal ini agak kurang menyenangkan bagi saya, karena gameplay terasa agak aneh, sangat berbeda dengan FIFA21. Terasa lambat dan berat. Saya tidak tahu apakah memang karena ini hanya semacam demo saja sebelum permainan diunduh semua atau yang lain, karena pengalaman yang berbeda muncul ketika sudah memainkan FUT beberapa lama, kemudian kembali memainkan menu Kick Off (pertandingan menggunakan negara). 

Seperti yang dituliskan di awal artikel, saya lebih banyak bermain FUT. Jadi sejak awal akan mencoba menggeber di menu ini untuk mengumpulkan beberapa rewards atau pack pemain. Nah kembeli ke pengalaman bermain, ternyata setelah game secara penuh diunduh dan memainkan FUT dengan squad dari pack yang saya dapatkan sebagai bonus dari bermain FIFA21 serta sedikit pengaturan rooster, pengalaman bermain yang didapatkan cukup berbeda. 

Gameplay yang di menu FUT cukup terasa familiar, tidak lambat seperti sebelumnya, bisa bermain cepat juga. Namun tentu ada beberapa feeling yang berbeda karena ada pembaruan yang disematkan EA pada FIFA22 ini. 

Beberapa hal yang cukup terasa ketika bermain antara lain adalah pergerakan bola. Terasa lebih real, baik ketika kita mengoper bola ke teman, kita bisa melihat pergerakan bola yang tidak lurus saja tetapi agak memantul mengikuti kontur lapangan. Lalu kemudian pergerakan bola mental baik saat pemain menerima bola pertama kali atau ketika terjadi benturan perebutan bola. Gerak ‘liar’ bola ini memang diharapkan mendekati real jadi akan memunculkan skema-skema baru, misalnya kemelut di depan gawang. Ada unsur tidak terduga yang akhirnya menentukan respon pemain di pertandingan. 

Untuk pergerakan pemain ketiga kita kontrol juga terasa ada peningkatan. Semakin real dan memunculkan skema-skema gerakan yang memang meniru aslinya. Termasuk juga pergerakan ketika kita bertahan dan ingin merebut bola. Saya sering kali secara gegabah bergerak untuk merebut bola dan ketika salah langkah, untuk kembali mengejar pemain lawan butuh waktu. Persis seperti permainan asli. Meski memang ini akan tergantung dari pemain yang kita gunakan (tergantung data statistik di pemain itu sendiri). 

Salah satu yang paling saya sukai dari pembaruan di FIFA22 adalah tentang kiper alias penjaga gawang. Sebagai pemain bola yang dulu bermain sebagai kiper, ada berapa skenario yang saya mengerti di kondisi asli. Dan FIFA21 menurut saya agak cukup busuk dari sisi kiper. Kadang saya merasa bahwa peran kiper di FIFA21 itu agak kurang berguna, apalagi ketika berhadapan dengan penyerang top yang punya rating dan data statistik bagus. 

Di FIFA22 saya merasa kiper cukup mendapatkan buff atau peningkatan. Kini kegunaannya cukup terasa karena cukup sulit untuk membobol gawang lawan. Antara kita harus presisi mengarahkan tendangan, butuh momen yang cukup pas untuk menendang atau mengatur tenaga atau teknik tendangan agar pas ke titik kosong. 

Meski demikian, seperti yang disebutkan Coach Fadh di akun FB-nya. Untuk saat ini, kiper agak kurang berguna untuk tendangan jarak jauh. Karena memang sering gampang kebobolan untuk tendangan tipe ini. Saya juga mengalami beberapa kali, baik kebobolan atau membobol gawang lawan dengan tentangan dari jarak jauh. Yang terasa bisa ketahan tetapi malah gol. 

Selain itu, di sisi kiper, animasi tambahan yang disebutkan EA pada awal promosi update FIFA22 benar-benar membuat semakin seru. Gerakan kiper tidak lagi membosankan itu-itu saja, terutama ketika kebobolan. Kita bisa melihat animasi yang keren dari kiper baik ketika menahan tendangan, bahkan ketika kebobolan juga kita bisa melihat animasi kiper yang berusaha menahan tendangan. Animasi ini menambah seru ketika kita melihat replay gol. 

Pengalaman bermain lainnya adalah tentang crossing, yang masih bisa membuat gol meski karena defender-nya kini terasa lebih sulit jadi memang butuh pemain dengan skill header tinggi atau penempatan umpan yang benar-benar pas. 

Untuk defender, terasa semakin solid dan sudah untuk ditembus. Animasi ketika mencoba merebut bola juga terasa lebih asik. 

Seperti seri sebelumnya, FIFA22 juga menyimpan gerakan-gerakan combo yang harus dipelajari agar saat menyerang kita bisa memberikan tidak hanya atraksi tetapi juga peluang tambahan untuk menipu lawan. Saya mencoba beberapa gerakan baru di FIFA22, beberapa diantaranya cukup mudah dikuasai tetapi yang lain sampai sekarang saya belum bisa menjalankannya. 

Skill Bridge – ini ternyata cukup mudah meski kombinasinya agak kurang terbiasa di awal. Kita harus menekan L2 dan tahan, lalu tekan R1 dua kali untuk memulai gerakan. Kombinasi ini berguna untuk variasi selain combo flick R yang biasa dilakukan penyerang di FIFA21. SKill bintang 4

Four touch turn – yang ini sampai sekarang saya belum bisa menjalankan di permainan secara mulus, namun aksesnya cukup mudah. Tahan L2 sambil menggerakan L dua kali berlawanan dengan arah pergerakan pemain. Skill bintang 4 

Scoop Turn Fake – yang ini kalau melihat animasinya cukup keren, karena sesuai namanya kita bisa melakukan gerakan menipu lawan. Cara melakukannya, gerakan tombol fake shot lalu gerakan L dengan arah berlain lari atau gerakan pemain. Skill bintang 4

Dan terakhir adalah First Time Spin. Ini juga cukup mudah karena kita hanya perlu menekan L1 + R1 secara bersamaan ketika akan menerima bola. Nanti pemain dengan skill bintang 5 akan memutar untuk menemukan posisi menyerang. 

Bisa juga lihat beberapa penjelan visual via video di bawah ini:

Satu skill tambahan yang cukup OP ketika digunakan secara tepat adalah yaitu untuk skill lari cepat atau Super Knock On. Ini berguna ketika kita ingin melewati pemain lawan dengan pemain yang larinya sangat cepat. Bola sentuhan pertama kita dorong agak jauh ke depan lalu kejar untuk dribbling atau langsung shooting. Flick dua kali R atau RS persis saat bola menyentuh pertama kali pemain. 

Beberapa hal lain yang saya temukan dan bisa memberikan pengalaman bermain yang berbeda antara lain adalah ketika kita masuk ke Squad dan melakukan pengaturan untuk gaya permainan, skala pengaturan taktik kini dari 0 – 100, jadi kita bisa mengatur nya agak detail. Kemudian ternyata tambahan animasi yang dijanjikan EA ini kita bisa menikmati juga di PS4 terutama saat pertandingan. Dan ternyata tambahan animasi ini bisa membuat mood bermain kita jadi lebih seru, jadinya ingin bermain dalam waktu lama.

Meski demikian, saya juga melihat ada beberapa tampilan animasi yang tidak muncul di PS4, terutama saat mengakses menu utama atau home. FIFA22 di PS5 tampil dengan animasi yang lebih kaya. 

Beberapa kali bermain di Squad Battle juga saya merasakan ada sedikit buff yang dilakukan karena untuk level yang agak rendah skill permainan cukup meningkat. Dan tentu saja seperti yang sudah dibahas FIFA, cara kita bermain FUT Division Rival kini berubah. Saya malah melihatnya kayak mirip permainan MOBA mobile atau battle royale mobile. Yang per-season-nya jadi cukup banyak event dan rewards.

Ada divisi yang bisa dilewati, lalu di dalam Divisi ada Rank yang juga bertingkat dan antar Rank ada Stages. Nah di FIFA22 ada juga tambahan checkpoint atau milestones. Stage bisa turun kalau kalah tetapi di checkpoint pemain tidak akan turun. Jadi untuk rewards di tingkat tertentu akan lebih aman. Pemain yang terus bermain juga tidak akan kehilangan usaha mereka. 

Untuk FUT champions, setiap main Rivals nanti akan ada poin yang didapat untuk kualifikasi. Lalu ada pula Playoff dengan sistem poin. Menang 4 poin dan kalah dapat 1 poin. Poin ini dikumpulkan untuk bisa masuk ke babak FUT Champions Final. Di sini sama juga akan pake poin untuk persyaratan. Tiap Rank baik di Playoff atau Final akan mendapatkan rewards.

Untuk lebih lengkap tentang fitur-fitur yang ada di FIFA22 bisa cek di sini

Untuk mode Volta dan karir memang karena memang minat saya tidak terlalu ke sana, maka pembahasannya tidak terlalu mendalam. Saya lebih fokus ke gameplay dan FUT. Tetapi EA sendiri merilis berbabai pembaruan untuk dua mode ini. 

Volta

Ada skill meter system baru. Alasan EA adalah untuk membuat VOLTA berbeda dengan mode FIFA lainnya. Ada beberapa langkah untuk mengisi Skill Meter yang bisa dilakukan pemain. 

Ada pula mekanik baru yang diberi istilah Signature Abilities. Kemampuan ini bisa dipilih di awal atau diubah berikutnya. Nanti ada Signature Ability Meter yang ketika full bisa diaktifkan. Ada 3 gerakan yaitu Power Strike, Pure Pace, Aggressive Tackle. 

Selain itu EA juga memberikan peningkatan fundamental seperti pantulan bola ke dinding serta yang berhubungan dengan pemain bertahan. Info tentang Volta yang secara lengkap bisa Anda baca di sini

Career mode

Jujur sebenarnya saya cukup tertarik untuk memainkan mode karir. Namun waktu yang dibutuhkan untuk memainkan FUT dan menemukan tim idaman sudah cukup menguras alokasi waktu bermain FIFA saya, jadi setiap kali seri FIFA rilis, hampir selalu tidak sempat memainkan mode karir. 

Jika Anda tertarik memainkan ini di sela-sela pertandingan bersama teman atau bahkan FUT, ada beberapa hal yang mungkin akan semakin menggoda Anda untuk bermain. Antara lain adanya pilihan untuk membuat tim sendiri di Manager Career, lalu bisa melakukan kustomisasi stadium di Career Mode FIFA22, dan ada pula tambahan fitur yang memungkinkan pemain untuk masuk ke pertandingan sebagai pemain pengganti. 

Untuk info lebih lengkap bisa dibaca di sini

Demikian kesan pertama saya dalam beberapa hari memainkan FIFA22. Tentunya tidak semua menu atau fitur bisa saya coba dalam waktu cukup singkat ini. Sebagai catatan juga, EA biasanya akan secara rutin melakukan update, termasuk juga beberapa waktu setelah game ini tersedia secara penuh untuk publik (lewat dari masa early access). Jadi bisa saja akan ada beberapa perbaikan dari pengalaman yang saya dapatkan ketika awal. 

Oh ya, satu lagi hal yang menjadi rutin EA rilis adalah soundtrack permainan seri FIFA. Sayangnya ini memang masalah selera, dan selera saya lebih menyukai lagu-lagu yang hadir di game FIFA21 dibandingkan FIFA22 untuk yang non Volta. Kurang lebih hanya 1 lagu yang cukup enak dan familiar di telinga saya di FIFA22, yaitu lagu dari Chvrches. 

Oke, impresi awal untuk game tahunan memang tidak bisa singkat, semoga beberapa informasi pengalaman di atas memberikan sedikit gambaran tentang pengalaman bermain FIFA22. Sekali lagi terima kasih EA telah memberikan kesempatan kembali untuk Hybrid mencoba game ini lebih awal. 

Untuk informasi tentang FIFA22 secara keseluruhan bisa dilihat di sini.

Review Koodo Gecko: Keyboard Mechanical 60% Wireless Murah Meriah

Melihat trend keyboard mechanical dengan layout 60% seperti Royal Kludge RK61, Geek GK61, hingga Redragon K552, sejumlah brand lokal ternyata juga ingin menunjukkan kemampuan mereka untuk menyuguhkan keyboard mechanical yang murah meriah.

Brand-brand lokal seperti Vortex, Rexus, hingga Koodo, semuanya berjuang untuk merusak harga pasaran untuk keyboard mechanical 60%. Namun, sebelum memutuskan untuk membawa pulang keyboard dengan layout 60%, mungkin Anda harus mempertimbangkan beberapa hal ini.

Dokumentasi: Hybrid

Keyboard yang hari ini akan saya reviewadalah keyboard Gecko Series dari brand Koodo. Keyboard ini menarik perhatian saya karena memiliki fitur nirkabel menggunakan Bluetooth 5.0 dengan harga Rp450 ribu. Melihat sejumlah kompetitornya (di range harga 400 ribuan) tidak memiliki fitur ini, saya pun tertarik untuk membeli keyboard ini dan telah menggunakannya selama satu minggu.

Sebelum masuk ke review keyboard Koodo Gecko, saya harus memberi tahu Anda soal pengalaman saya di dunia keyboard mechanical — karena setiap review pasti sangat subjektif tergantung pengalaman sang reviewer. Saya membeli keyboard Koodo Gecko ini sebagai keyboard mechanical pertama yang saya miliki. Namun, saya sudah pernah mencoba beberapa keyboard mechanical seperti Rexus Legionare MX9 (TKL), Redragon K552(60%), dan Logitech G413(full-sized). Jadi, saya akan memberikan review dari sudut pandang orang yang terbilang masih awam di dunia keyboard mechanical.

Build Quality

Untuk build quality Koodo Gecko sebenarnya tidak bisa dibilang bagus, malah relatif jelek jika dibandingkan dengan kompetitornya. Mulai dari kualitas casing-nya, rubber feet, hingga keycaps bawaannya, benar-benar tidak ada yang bisa dibanggakan.

Rubber feet milik Koodo Gecko

Mari mulai dari yang paling mengganggu saya, rubber feet-nya. Rubber feet milik Koodo Gecko ini tidak simetris di bagian kiri atas dan kanan bawah, membuatnya tidak stabil alias goyang-goyang saat dipakai. Hal ini sangat mengganggu saya saat main game maupun mengetik artikel seperti ini. Entah semua unit Koodo Gecko seperti ini atau memang saya lagi sial mendapat unit yang cacat pabrik.

Tulisan F1-F12 yang tidak konsisten posisinya

Bagi Anda yang memiliki sifat perfeksionis seperti saya, keycaps bawaan Koodo Gecko mungkin akan mengganggu Anda. Pasalnya, beberapa cetakan tulisan F1-F12 di bawah tombol angka ini tidak konsisten, ada yang mencong ke kanan, atas, dan bawah. Namun, font keycaps yang dipakai Koodo Gecko bisa dibilang sangat clean (tidak seperti Vortex VX5 yang style-nya gamer abis…). Secara pribadi, saya lebih suka font keycaps yang clean, seperti memberikan kesan profesional dan enak dipandang. Tentu saja, keycaps sangat mudah untuk diganti sesuai selera.

Satu lagi yang menurut saya kurang di keyboard Koodo Gecko ini adalah stabilizer-nya. Meskipun sudah pre-lube dari pabrik, kawat/wire stabilizer keyboard ini masih menghasilkan suara rattle di tombol spasi, enter, serta shift kiri dan kanan. Namun, hal ini tidak menjadi masalah, mengingat harganya yang terjangkau.

Switch dan Fitur Hotswap

Nah di sinilah salah satu kelemahan Koodo Gecko, fitur hotswap-nya yang masih 3 pin dan “Outemu Only”. Jadi, jika ingin mengganti switch, keyboard ini hanya mendukung switch Outemu. Sebenarnya bisa dipaksa untuk ganti ke Gateron atau ke switch 5 pin lain. Namun, switch pengganti harus dikikir terlebih dahulu atau bahkan dipotong kakinya untuk muat di PCB. Sebagai perbandingan, Vortex VX5 Pro dan Fantech Maxfit61 yang harganya juga 400 ribuan sudah memiliki fitur hotswap 3/5 pin.

Koodo Gecko memiliki tiga pilihan switch bawaan, yaitu Outemu Blue (Clicky), Brown (Tactile), dan Red (Linear). Karena lifespan-nya yang terkenal cukup pendek, reputasi Outemu memang tidak sebagus Gateron. Namun, feel linear yang saya dapatkan di Outemu Red milik Koodo Gecko terbilang cukup smooth — membuatnya cocok untuk Anda yang ingin mencoba keyboard mechanical dengan switch linear dengan budget terbatas.

Software

Koodo Gecko memiliki software bawaan yang memiliki berbagai fungsi. Meskipun tidak selengkap Logitech G Hub atau Razer Synapse, pengaturan RGB, individual key setting, hingga macro, semuanya ada di software Koodo. Anda juga bisa menambahkan fungsi multimedia seperti volume up dan down di key yang Anda inginkan. Untuk menyimpan pengaturan, software Koodo menyediakan tiga profile penyimpanan. Namun, software ini tidak mengizinkan mengganti kombinasi Fn setelan pabrik atau menambah kombinasi Fn baru.

Tampilan software Koodo

Meskipun fungsinya yang sudah lumayan lengkap, UI (User Interface) dari software Koodo ini kurang bagus. Pertama, sepertinya resolusi software-nya tidak dioptimisasi untuk layar 900p ke bawah — karena di monitor saya yang 900p, menu drop-down untuk memilih mode RGB sedikit terpotong. Lalu, beberapa tombol di UI-nya terlihat seperti hanya text dan bukan tombol.

Hal ini masih bisa saya maklumi, mengingat brand Koodo yang masih dianggap sebagai pendatang baru. Yah.. semoga saja di masa depan akan ditingkatkan lagi kualitas UI-nya.

Layout 60%-nya Yang Ringkas

Koodo Gecko mengusung layout 60% dengan 61 tombol, membuatnya super ringkas untuk dibawa ke mana-mana. Bagi Anda yang senang kerja di luar rumah, keyboard ini cocok untuk Anda. Untuk layout 60%-nya sendiri tidak berbeda dengan keyboard 60% lainnya seperti GK61, VX5, dan banyak lagi.

Sebelum menggunakan Koodo Gecko, saya memiliki keyboard dengan layout full-sized. Jadi, saat beralih ke layout 60%, saya harus beradaptasi atas hilangnya tombol panah, F row, serta numpad. Jika Anda sudah terbiasa dengan keyboard full-sized, mungkin hilangnya tombol-tombol ini harus Anda pertimbangkan sebelum mengganti ke keyboard ini.

Fitur Lainnya

Tombol untuk mengganti Bluetooth device

Di bagian terakhir review ini, saya akan membahas fitur tambahan di Koodo Gecko ini. Pertama, keyboard ini dilengkapi dengan fitur wireless dengan menggunakan Bluetooth 5.0. Sistem Bluetooth wireless dari keyboard ini bisa mengingat tiga device sekaligus dan dapat diganti dengan tombol Fn+Q, Fn+W, dan Fn+E. Keyboard ini juga bisa dihubungkan ke ponsel Android maupun iOS. Untuk daya tahan baterai pada mode Bluetooth, pihak Koodo mengklaim bahwa keyboard ini dapat bertahan hingga 48 jam dari full charge.

LED Tombol Tab dan Fn yang belang.

Untuk indikator mode wired/wireless, Koodo menempatkannya di lampu tombol TAB. Dan untuk indikator baterai, ada di tombol Fn. Ini membuat RGB keyboard ini kurang sedap untuk dipandang. Kelihatannya seperti ada yang belang di RGB keyboard ini. Pengaturan di software-pun tidak bisa mengganti warna lampu tombol TAB atau Fn ini.

Kedua, ada rubber feet-nya. Rubber feet ini cukup bagus, karena membuat bodi keyboard tidak licin saat digunakan. Apalagi jika menggunakan deskpad, pastinya akan lengket di posisinya. Namun, seperti yang sudah saya bilang di atas, kualitas dari rubber feet ini sangat kurang.

Kesimpulan

Pendatang baru di dunia keyboard mechanical ini memang menawarkan fitur wireless yang tidak dimiliki oleh para kompetitornya di harga 400 ribuan. Namun, dengan build quality-nya yang seperti itu, mungkin keyboard ini harus lebih dipertimbangkan untuk dibeli. Memang, soal rubber feet-nya bisa diganjal sesuatu agar tidak goyang-goyang, namun rasa kesal tidak hilang dari pikiran saya mengetahui keyboard ini ada cacat tersebut.

Terlepas dari semua itu, konklusi akhirnya adalah jika Anda memang membutuhkan fitur wireless, keyboard ini sangat layak untuk dibeli. Namun, jika Anda cenderung lebih sering memakai wired, saya sarankan untuk membeli salah satu kompetitornya saja seperti Vortex VX5 Pro atau Fantech Maxfit61. Jika Anda sudah membeli keyboard mechanical dan tidak puas dengan performanya, Anda bisa membaca artikel kami tentang beberapa hal mudah untuk mengupgrade keyboard mechanical Anda.

[Review] AMD Ryzen 7 5800H: Prosesor Mobile untuk Bermain Game di Laptop Tipis

Semenjak kemunculan arsitektur Zen, AMD menjadi pemimpin kecepatan pada pasar prosesor x86. Hal itu pun berlanjut hingga generasi ke 3 yang ada saat ini, yaitu Zen 3. AMD pun juga membawa arsitektur baru ini ke laptop-laptop gaming yang sebelumnya tidak pernah terjadi sebelum arsitektur Zen muncul. Kali ini, saya merasakan prosesor AMD Ryzen 7 5800H.

Ryzen 7 5800H yang datang ke rumah saya terbungkus pada laptop ASUS Zephyrus Duo. Terus terang, saya lebih tertarik untuk membahas prosesor yang digunakan dibandingkan dengan desain yang ada pada ASUS Zephyrus Duo. Sudah lama saya tidak bertemu dengan prosesor AMD, apalagi generasi ke 3-nya ini. Apalagi, prosesor yang satu ini sudah memiliki sebuah kartu grafis terintegrasi.

Prosesor yang memiliki nama Cezanne ini memiliki spesifikasi sebagai berikut

Ryzen 7 5800H
Arsitektur Cezanne
Core / Thread 8 / 16
TDP 45W
Clock 3.2 GHz
Turbo Boost 4.4 GHz
L3 Cache 16 MB
Kecepatan RAM DDR4 3200 MHz / LPDDR4 4266 MHz
Clock iGP / Core 2000 MHz / 8 core
Socket FP6
Pabrikasi 7nm

Prosesor AMD yang satu ini sudah menggunakan proses pabrikasi 7nm. Tentunya ini menjadi sebuah keunggulan tersendiri di mana pesaing utamanya yang masih kesulitan untuk menggunakan pabrikasi tersebut. AMD pun mengambil keunggulan ini untuk meningkatkan efisiensinya dan membuat prosesor ini lebih kencang dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Pada sisi grafis, AMD memasangkan AMD Radeon Graphics dengan 8 GPU core. Grafis terintegrasi ini lebih sering dikenal dengan nama AMD Vega 8, yang memiliki teknologi yang sama dengan yang digunakan pada seri-seri sebelumnya. Pada AMD Ryzen 7 5800H, clock dari IGP ini ditingkatkan menjadi 2 GHz. Hal ini tentu saja membuatnya menjadi lebih kencang jika dibandingkan dengan versi terdahulu.

Berikut adalah hasil CPU-Z dari AMD Ryzen 7 5800H

Arsitektur

Desain dari Zen 3 tentu saja berbeda dengan Zen 2. Selain itu, Zen 3 untuk desktop, Vermeer, juga berbeda dengan Zen 3 untuk laptop, yaitu Cezanne. Cezanne memiliki desain monolithic, yang berarti bahwa ada beberapa komponen yang terintegrasi ke dalam satu cip saja. Hal itu berarti CPU CCD (core complex design), kontroler IO, kontroler memori, dan tentunya grafis terintegrasi.

Pada Zen 2 mobile atau Renoir, sebuah CCX (core complex) akan terdiri dari 4 inti prosesorSelanjutnya, sebuah CCX pada Zen 2 hanya akan memiliki L3 cache hingga 8 MB. Jadi, pada Zen 2, sebuah prosesor yang memiliki L3 cache sebesar 16 MB akan membutuhkan 2 CCX yang aktif di sana.

Pada Zen 3, AMD mengubah lagi arsitekturnya. Sebuah CCX akan memiliki total 8 inti prosesor. AMD juga membuat 8 inti prosesor itu memiliki sebuah shared L3 sebesar 16 MB. Hal ini juga bakal meningkatkan latensi yang dibutuhkan oleh masing-masing inti prosesor tersebut. Dengan tambahan total 4MB pada L2 cache-nya, membuat Ryzen 7 5800H memiliki total cache 20 MB.

AMD juga meningkatkan kinerja instruction per clock-nya dengan cukup signifikan. Pada saat peluncurannya, AMD mengklaim bahwa mereka bisa meningkatkan performanya hingga 19%. Dan walau masih menggunakan proses pabrikasi 7nm, AMD juga berhasil meningkatkan clock-nya dibandingkan Renoir. Hal tersebut juga berlaku pada clock boost-nya.

Pada Cezanne, AMD membuat prosesornya unlocked. Hal ini berarti bahwa perangkat laptop yang memiliki prosesor ini bisa ditingkatkan lagi kinerjanya lebih tinggi. Tentunya, hal tersebut bisa dilakukan dengan meningkatkan multiplier dari prosesor tersebut.

Pada sisi grafisnya, AMD Ryzen 7 5800H masih menggunakan Radeon Vega yang sama dengan Renoir. Walaupun begitu, AMD juga meningkatkan kemampuannya pada sisi clock-nya. AMD juga meningkatkan efisiensi daya sehingga pada clock grafis yang tinggi, daya yang digunakan akan lebih rendah dari generasi sebelumnya.

AMD Ryzen seri H tentunya akan ditemukan pada laptop-laptop yang ditujukan untuk bermain game. Akan tetapi berbeda dengan seri HX, prosesor seri H seperti Ryzen 7 5800H akan dipasarkan untuk laptop-laptop dengan dimensi yang tipis. TDP-nya juga dipasang pada level di bawah seri HX sehingga kemampuannya untuk di-overclock juga lebih rendah.

ASUS ROG Zephyrus Duo GX551QM

Tidak pas rasanya jika saya tidak membahas sedikit mengenai laptop yang menggunakan AMD Ryzen 7 5800H. Perangkat yang satu ini masuk dalam kelas Republic of Gaming, yang merupakan lini gaming dari ASUS. Dengan menyandang nama tersebut, ASUS sudah memastikan bahwa laptop ini bisa dengan lancar digunakan untuk bermain game AAA. Selain itu, spesifikasinya juga bakal bisa digunakan untuk membuat konten.

Laptop ASUS RoG Zephyrus Duo GX551 memiliki dua buah layar. Layar utamanya menggunakan jenis IPS yang memiliki resolusi 1920×1080. Layar kedua diberi nama Screenpad Plus oleh ASUS dan memiliki dimensi 14,1 inci. Layar yang dapat dioperasikan dengan menyentuhnya ini memiliki resolusi yang tinggi pula, yaitu 1920 x 550 piksel. Layar ini akan terangkat dengan sendirinya saat laptop ini dibuka dan membentuk sudut 13 derajat.

Sayangnya, dengan hadirnya ScreenPad Plus, membuat keyboard yang ada harus sedikit turun ke bawah. Hal tersebut menyebabkan hilangnya bagian palm rest yang selalu ada pada setiap laptop. ASUS memang menyediakan bantalan palm rest secara terpisah, namun hal tersebut membuat pengguna harus menyediakan ruang ekstra pada mejanya agar mengetik menjadi lebih nyaman. ASUS juga menaruh touchpad pada sebelah kanan dari keyboard-nya.

Terus terang, saya cukup merasa tidak nyaman bermain dan mengetik artikel dengan menggunakan ASUS Zephyrus Duo. Hal tersebut bukan karena tombol keyboard-nya yang memang sangat responsif serta memiliki dimensi yang pas di tangan saya. Akan tetapi posisi palm rest yang membuat tangan saya sering sakit saat menguji dengan laptop gaming ini. Akan tetapi, saat mencoba melakukan editing video, hal tersebut menjadi lebih menyenangkan berkat ScreenPad Plus-nya.

Pada ASUS Zephyrus Duo, terdapat dua grafis di sana. Yang pertama adalah AMD Radeon Graphics dan yang kedua adalah NVIDIA GeForce RTX 3060. Tentu saja, pada pengujian kali ini saya tidak menggunakan discrete graphics-nya. Semua pengujian menggunakan Radeon Vega 8 sebagai grafisnya.

Pengujian

Untuk mengetahui seberapa kencang prosesor AMD Ryzen 7 5800H, tentu saja harus dilakukan beberapa pengujian. Oleh karena AMD Ryzen 7 5800H menggunakan integrated graphics, pengujian pun dilakukan pada sisi prosesor serta IGP-nya. Saya tidak melakukan pengujian pada NVIDIA GeForce RTX 3060 dengan melakukan setting grafis pada Windows 10 pada power saving.

Pengujian saya lakukan dengan membagi menjadi dua bagian, yaitu sintetis dan gaming. Berikut adalah hasil pengujian benchmark sintetis dari perhitungan pada sisi prosesornya

Selanjutnya, pengujian dilakukan untuk melihat seberapa baik kinerja dari grafis terintegrasinya. Berikut adalah hasil benchmark-nya

Berikutnya adalah pengujian pada game. Saya menggunakan beberapa game seperti Red Dead Redemption 2, Dirt, Borderlands 3, dan Rise of the Tomb Raider. Saya menggunakan resolusi 1680×1050 pada semua pengujian dan menggunakan profile yang berbeda, dari low hingga high pada Dirt. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui batas dari Radeon Vega 8 yang dimiliki oleh Ryzen 7 5800H.

Berikut adalah hasil benchmark-nya.

Verdict

Saat ini, laptop gaming tidak lagi didominasi oleh satu merek prosesor saja. AMD saat ini sudah kembali masuk ke pasar prosesor mobile untuk berbagai lini. Tahun 2021 ini, AMD kembali memasukkan prosesor seri 5000nya ke dalam beberapa laptop gaming. Salah satunya adalah ASUS ROG Zephyrus Duo.

Pada laptop ini, kinerja AMD Ryzen 7 5800H memang hampir tidak ada bedanya dengan kecepatan prosesor yang terpasang pada dekstop. Saat digunakan untuk bermain game, kinerjanya tidak perlu lagi dipertanyakan. Apalagi saat digunakan untuk melakukan rendering video, Ryzen 7 5800H sangat cocok untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Grafis terintegrasi yang ada pada prosesor ini juga memiliki kinerja yang cukup baik. Dengan daya yang rendah, tentu saja akan bisa menghemat baterai lebih baik dibandingkan dengan discrete graphics seperti GeForce RTX 3060 yang ada pada ASUS ROG Zephyrus Duo tersebut. Jika Anda menggunakan prosesor dengan grafis terintegrasi yang sama, yaitu Radeon Vega 8, tentu saja sudah bisa bermain game tanpa lag pada setting tertentu.

Prosesor Ryzen 7 5800H saat ini tersedia pada laptop dengan harga yang cukup tinggi, yaitu 15 hingga 30 jutaan. Walaupun memiliki harga yang tinggi, Ryzen 7 5800H akan menjamin pekerjaan serta game Anda menjadi lancar, apalagi ditambah dengan discrete graphics. Laptop dengan prosesor ini tentu saja bisa menjadi alternatif pilihan untuk bermain game dan membuat konten dengan cepat.

Sparks

  • Kinerja kencang dengan arsitektur yang baru
  • Kinerja IGP yang mumpuni untuk bermain game
  • Menggunakan proses pabrikasi 7 nm yang efisien
  • 8 cores dan 16 threads pada sebuah laptop
  • TDP 45 watt untuk laptop gaming

Slacks

  • Hanya hadir pada laptop dengan harga yang tinggi
  • Tanpa dukungan PCIe Gen 4
  • Tanpa dukungan Thunderbolt terbaru