Tesla Resmikan Stasiun Supercharger V3 Pertama di Kota Las Vegas

Infrastruktur memegang peranan yang sangat krusial dalam perkembangan mobil elektrik. Lihat saja Tesla, kalau bukan karena jaringan Supercharger (nama stasiun pengisian ulang untuk mobil-mobilnya) yang tersebar luas, mustahil Tesla dapat merebut titel produsen mobil listrik nomor satu.

Selain memperluas distribusinya, Tesla juga tidak lupa menyempurnakan teknologi yang diusung Supercharger. Bulan Maret lalu, Tesla memperkenalkan Supercharger V3, generasi baru teknologi charging mobil listrik yang diklaim mampu mentransfer energi dengan lebih cepat (250 kW dibanding V2 yang hanya 150 kW) sekaligus lebih efisien.

Supercharger V3 juga bukan lagi sebatas wacana ataupun proof-of-concept. Tesla baru saja membuka stasiun Supercharger V3 yang pertama di kota Las Vegas, persis di sebelah kasino legendaris Caesars Palace. Total ada 24 unit charger yang terdapat di area tersebut.

Tesla pun tak lupa menerapkan prinsip “clean, renewable energy” yang selama ini mereka jadikan acuan. Di samping deretan panel surya yang menjadi atap dari stasiun pengisian ulang ini, Tesla juga menggunakan sejumlah unit Powerpack untuk menyimpan energi surplus dan memanfaatkannya di saat dibutuhkan.

Lalu berapa rata-rata waktu yang dibutuhkan konsumen Tesla ketika mampir ke stasiun tersebut? Tesla mengklaim bahwa dalam waktu 15 menit, Supercharger V3 sanggup menyuplai daya yang cukup untuk menempuh jarak 290 km. Ini berarti dengan berbekal 24 unit charger, stasiun Supercharger V3 ini mampu melayani hingga 1.500 konsumen Tesla per harinya.

Menariknya, seperti yang bisa Anda lihat, hampir tidak ada perbedaan fisik antara unit Supercharger V3 dengan versi sebelumnya. Yang berbeda justru adalah kabelnya, di mana V3 mengandalkan kabel berteknologi liquid cooling, yang tak hanya mampu memindahkan energi dengan lebih cepat, tapi juga berujung pada fisik kabel yang lebih tipis dan lebih fleksibel, meski colokannya tetap saja sama persis.

Supercharger V3 sebenarnya sudah diwacanakan oleh Elon Musk beserta anak buahnya sejak tiga tahun lalu. Peningkatan efisiensi yang ditawarkan teknologi charging generasi baru ini juga yang pada akhirnya memungkinkan Tesla untuk memaksimalkan ekosistem clean energy yang menjadi tulang punggung bisnis mereka.

Sumber: Electrek.

Lotus Evija Adalah Mobil Elektrik dengan Performa dan Kecepatan Charging Luar Biasa

Tidak semua orang mengenal nama Lotus di dunia otomotif, tapi mereka yang tahu pasti sudah tidak ragu dengan reputasi pabrikan asal Inggris itu di dunia balap. Itulah mengapa ketika beredar kabar mengenai rencana Lotus untuk membuat mobil elektrik, banyak yang tak sabar menanti pembuktian keganasan performanya.

Hari itu sudah semakin dekat. Lotus baru saja menyingkap mobil elektrik perdananya secara resmi. Dijuluki Evija, ia duduk di kategori electric hypercar, sekelas dengan Pininfarina Battista yang diperkenalkan Maret lalu.

Lotus Evija

Dari segi penampilan, Evija pun tidak kalah eksotis, utamanya berkat sederet lekukan dan lubang udara di tubuhnya, yang menurut Lotus banyak terinspirasi oleh mobil-mobil balap Le Mans. Penggunaan sasis monoque berbahan serat karbon juga menjadikan Evija sebagai hypercar elektrik paling ringan, dengan bobot yang berkisar di angka 1.680 kilogram.

Namun seperti yang bisa kita harapkan dari Lotus, performa merupakan nilai jual utama Evija. Empat motor elektrik dipercaya menjadi penggerak keempat rodanya, dengan output sebesar 1.972 tenaga kuda dan torsi 1.700 Nm. 0 – 100 km/jam dengan mudah dilahapnya dalam waktu kurang dari tiga detik.

Lotus Evija

Lotus juga mengklaim Evija mampu mencapai kecepatan 300 km/jam dalam waktu kurang dari 9 detik, yang menurut Lotus merupakan sebuah prestasi di antara mobil-mobil lain di kelas ini. Top speed-nya sendiri disebut bisa mencapai angka 320 km/jam.

Meski kemampuan mengebut Evija tergolong luar biasa, Lotus rupanya tidak melupakan faktor efisiensi. Baterai 70 kWh yang tertanam di balik punggung Evija – sengaja diposisikan seperti ini guna mempertahankan ciri khas mobil-mobil Lotus yang mesinnya berada di tengah – mampu menyuplai energi yang cukup untuk menempuh jarak hingga sejauh 400 kilometer.

Lotus Evija

Bukan hanya itu, Lotus bahkan telah merancang agar baterai ini bisa di-charge dengan output sebesar 800 kW, sehingga proses pengisian ulangnya cuma memerlukan waktu 9 menit saja dari kosong hingga penuh. Namun yang perlu diingat, sejauh ini teknologi charging mobil elektrik secepat itu masih belum tersedia secara publik.

Menggunakan unit charger tercepat yang sudah ada sekarang (350 kW), Lotus mengklaim Evija hanya membutuhkan waktu 12 menit untuk mengisi 80% kapasitas baterainya, atau 18 menit untuk pengisian hingga penuh. Ya, definisi cepat bagi Lotus rupanya tidak berhenti sampai di kemampuan mobil dalam mengebut saja, tapi juga meliputi kecepatan charging-nya.

Lotus Evija

Masuk ke kabinnya, kita bisa melihat perkawinan antara gaya modern dan gaya balap, yang keduanya sama-sama menjurus ke prinsip minimalisme. Panel instrumen di balik setir merupakan satu-satunya layar yang bisa kita jumpai dari kabin Evija, dan setirnya sendiri juga semakin menguatkan aura balapnya secara menyeluruh.

Kendati demikian, Evija juga dirancang untuk tetap cocok digunakan sehari-hari. Ini bisa kita lihat dari sebuah kenop berwarna pada setirnya, yang memberikan pengemudi akses ke lima mode berkendara dengan karakter performa yang berbeda-beda: Range, City, Tour, Sport, dan Track.

Lotus Evija

Dari perspektif digital, Lotus memastikan Evija bakal terus terhubung ke jaringan cloud berkat modem terintegrasinya. Ini berarti Evija bakal menerima sejumlah pembaruan dan perbaikan melalui software update layaknya mobil-mobil Tesla; dan pemilik mobil juga dapat mengakses sejumlah pengaturan, seperti misalnya menyalakan sistem pendingin sebelum masuk ke mobil, melalui aplikasi pendamping Evija di smartphone.

Kapan mobil ini siap mengaspal? Belum tahu, namun yang pasti tahap produksi Lotus Evija bakal dimulai tahun depan. Lotus berencana memproduksi hanya 130 unit Evija, dan tiap unitnya dihargai mulai £1,7 juta, atau kurang lebih setara 29,5 miliar rupiah.

Sumber: Electrek dan Lotus.

Lidar Bikinan Luminar Berpotensi Mempercepat Pengembangan Mobil Kemudi Otomatis

Saat membicarakan tentang mobil kemudi otomatis, sudah pasti ada bahasan mengenai suatu komponen yang amat esensial bernama lidar. Lidar merupakan singkatan dari “Light Detection and Ranging”, atau umum juga diibaratkan sebagai radar berbasis laser. Peran lidar begitu penting karena pada dasarnya komponen inilah yang menjadi mata untuk mobil kemudi otomatis.

Lidar bukanlah barang yang murah. Model paling top dari produsen lidar ternama seperti Velodyne misalnya, disebut bisa mencapai harga $75.000 per unitnya. Kalau harga satu dari seabrek komponennya saja begitu mahal, bagaimana dengan harga mobilnya sendiri?

Namun tentu saja Velodyne bukan satu-satunya perusahaan yang mampu mengembangkan lidar. Pada kenyataannya, TechCrunch melaporkan ada lusinan perusahaan baru yang berfokus di bidang pengembangan lidar. Dari sekian banyak startup dan perusahaan, ada satu yang cukup mencuri perhatian, yakni Luminar.

Startup asal Silicon Valley ini baru saja mengumumkan bahwa mereka telah memulai pengembangan Iris, lidar generasi baru yang diproyeksikan bisa merambah mobil produksi untuk konsumen. Iris punya banyak kelebihan, salah satunya perihal dimensi.

Unit uji coba lidar milik Luminar sekarang (kiri) berdampingan dengan Iris / Luminar
Unit uji coba lidar milik Luminar sekarang (kiri) berdampingan dengan Iris / Luminar

Dibandingkan unit uji coba yang selama ini dikerjakan oleh Luminar, ukuran Iris cuma sekitar sepertiganya. Kalau Anda pernah melihat foto mobil kemudi otomatis yang tengah diuji coba, yang di atapnya terdapat semacam sensor berukuran besar, itulah wujud lidar yang kita kenal sekarang.

Iris tidak demikian. Kalau Anda lihat gambar di awal artikel, dua kotak kecil berwarna putih yang terletak sekitar 30 cm di bawah lampu depan itu adalah Iris. Ukuran merupakan salah satu faktor penting, sebab ruang kosong yang terdapat di mobil jelas sangat terbatas, dan pabrikan mobil tentunya tak ingin menjual mobil dengan bagian atap yang begitu jelek kepada konsumen.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah ongkos. Luminar Iris kabarnya akan dihargai kurang dari $1.000 per unit, menjadikannya salah satu solusi paling terjangkau untuk pabrikan yang tertarik memproduksi mobil kemudi otomatis. Ongkos produksi yang murah tentu akan berujung pada harga jual yang lebih murah pula.

Faktor penting yang ketiga adalah software. Luminar berencana mengembangkan software-nya sendiri guna melengkapi Iris, dan ini krusial untuk memaksimalkan kinerja hardware-nya dalam menjalankan tugas-tugas seperti object detection, gaze direction, maupun kalibrasi otomatis.

Kita tahu bahwa mobil kemudi otomatis harus bisa mendeteksi beragam objek di sekitarnya, dan di sinilah salah satu fungsi utama dari lidar. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Luminar berharap bisa memasok Iris ke pabrikan-pabrikan mobil yang tertarik paling cepat mulai tahun 2022.

Sumber: TechCrunch.

Charge Mustang Adalah Mobil Elektrik dalam Balutan Wajah American Muscle Klasik dan Otentik

Di dunia otomotif, perkawinan antara elemen klasik dan modern selalu membuahkan karismanya tersendiri. Buktinya sudah ada beberapa, mulai dari Renovo Coupe, Jaguar E-type Zero, sampai VW Type 20 Concept, yang semuanya merupakan mobil elektrik dalam balutan wajah klasik yang otentik.

Kalau masih perlu bukti lain, coba kita lirik karya sebuah perusahaan Inggris bernama Charge Automotive berikut ini. Mereka membeli rangka bodi Ford Mustang tahun 1967 yang resmi dan berlisensi, lalu menjejalinya dengan segudang teknologi canggih. Hasilnya lagi-lagi adalah mobil elektrik bertampang klasik otentik.

Charge Mustang

Hilang sudah mesin haus bensinnya yang berukuran bongsor, digantikan sepenuhnya oleh motor elektrik bertenaga 350 kW. Performanya pun tidak kalah dari sang American Muscle legendaris, dengan kecepatan maksimum 240 km/jam dan akselerasi 0-100 km/jam di bawah hitungan 4 detik.

Mesin listrik itu menerima suplai energi dari baterai berkapasitas 64 kWh, yang diyakini mampu membawa mobil menempuh jarak sejauh 320 km dalam sekali pengisian. Angka efisiensi itu jelas bukan yang terbaik di segmen mobil elektrik, tapi setidaknya masih jauh lebih baik ketimbang versi asli Mustang yang terkenal super-boros.

Charge Mustang

Sentuhan modern yang diberikan Charge Automotive tidak berhenti sampai di bawah kap mesinnya saja, tapi juga berlanjut hingga ke bagian interior. Di sini Charge telah menyematkan layar sentuh besar sebagai pusat kendali sistem infotainment-nya, macam yang diterapkan selama ini oleh Tesla.

Lewat layar dashboard ini pula pengemudi dapat mengutak-atik karakteristik berkendara Charge Mustang. Contoh paling gampangnya adalah mengaktifkan Burnout Mode, yang tentunya bakal membuat mobil ini semakin mirip dengan versi aslinya. Bukan cuma itu, bahkan panel instrumennya juga sudah diganti dengan versi digital.

Charge Mustang jelas bukan untuk semua orang. Kaum purist yang begitu mencintai Mustang lawas beserta legacy-nya sudah pasti menolak eksistensi Mustang jadi-jadian seperti ini. Belum lagi sifat mobil ini yang memang tergolong cukup eksklusif: Charge hanya akan memproduksinya sebanyak 499 unit, dan banderol harganya dipatok mulai £300.000.

Sumber: Engadget.

Toyota Uji Sistem Panel Surya yang Dapat Menambah Jarak Tempuh Mobil Elektrik Hingga 56 Km per Hari

Meski memegang status sebagai salah satu pabrikan otomotif terbesar sejagat, Toyota sampai detik ini masih belum memiliki mobil bermesin listrik murni yang siap dijual ke konsumen. Namun hal itu bukan berarti mereka tidak pernah sama sekali bereksperimen dengan listrik sebagai bahan bakar mobil.

Pada kenyataannya, generasi pertama Toyota Prius yang diluncurkan di tahun 1997 merupakan mobil hybrid pertama yang diproduksi secara massal. Toyota boleh ketinggalan di segmen all-electric, tapi itu tidak mencegah mereka menjajal inovasi demi inovasi menjelang kehadiran mobil elektrik perdananya, yang diwacanakan bakal hadir tahun depan.

Solar-powered Toyota Prius PHV

Salah satu inovasi yang dimaksud adalah panel surya terintegrasi sebagai bala bantuan mobil elektrik dalam menghemat energi. Bekerja sama dengan NEDO dan Sharp, Toyota berniat memulai pengujian unit Toyota Prius PHV yang telah dimodifikasi dan dipasangi panel surya pada bagian kap mesin sampai ke atap dan kaca belakangnya.

Saya bilang “bala bantuan” karena panel surya ini hanya sanggup menghasilkan energi listrik yang cukup untuk menambah jarak tempuh mobil sekitar 56 kilometer per harinya. Kendati demikian, ini merupakan pencapaian yang cukup signifikan dibandingkan tiga tahun lalu, di mana panel surya opsional milik Prius Prime kala itu hanya bisa menambah jarak tempuh elektriknya sejauh 3,5 km saja.

Solar-powered Toyota Prius PHV

Ini jelas masih jauh dari impian di mana sebuah mobil elektrik hanya perlu mengandalkan suplai energi dari matahari saja. Toyota pun tidak sendirian dalam mengejar impian tersebut. Belum lama ini, sebuah startup bernama Lightyear menyingkap mobil ‘bertenaga matahari’ yang siap diproduksi secara massal dan dipasarkan ke konsumen pada 2021.

Sama seperti mobil pengujian Toyota ini, mobil bernama Lightyear One itu juga mengemas panel surya di bagian kap mesin, atap dan kaca belakangnya. Bedanya, unit Prius yang bakal diuji di sini merupakan mobil hybrid dengan baterai berkapasitas kecil, sedangkan Lightyear One sepenuhnya mengandalkan kombinasi motor elektrik dan baterai.

Toyota sendiri belum berani berbicara terkait implementasi sistem panel surya baru ini. Pengujian ini baru sebatas untuk mengukur seberapa efektif teknologinya dalam menambah jarak tempuh dan efisiensi energi dari sebuah mobil listrik (atau hybrid).

Sumber: Electrek.

Lupakan Rivalitas, BMW dan Daimler Bekerja Sama Kembangkan Teknologi Kemudi Otomatis

BMW dan Mercedes-Benz, dua brand Jerman ini merupakan salah satu dari pasangan rival terbesar di industri otomotif. Namun ketika membicarakan soal masa depan industri, keduanya memutuskan untuk melupakan sejenak persaingan di antaranya, dan justru memilih untuk berkolaborasi.

Ranah yang hendak mereka garap bersama adalah seputar teknologi kemudi otomatis. Wacana ini sebenarnya sudah BMW dan Daimler (induk perusahaan Mercedes-Benz) umumkan sejak bulan Februari lalu, akan tetapi kontrak kerja samanya baru saja diselesaikan, dan ini bersifat jangka panjang.

Kerja sama antara BMW dan Daimler ini bakal berfokus pada pengembangan teknologi driver assistance, kemudi otomatis di jalan tol, serta parkir otomatis, dengan merujuk pada standar SAE Level 4 (Level 5 adalah yang paling tinggi). Setelah semua ini tercapai, kolaborasinya masih akan berlanjut sampai ke teknologi kemudi otomatis di area urban dan perkotaan.

Selain memang lebih kompleks, teknologi kemudi otomatis di area urban juga sangat bergantung pada dukungan infrastruktur. Regulasi masing-masing daerah juga memegang peran yang tak kalah penting, itulah mengapa kolaborasi jangka panjang merupakan hal yang krusial dalam perwujudan ekosistem otomotif masa depan.

BMW Urban Traffic Light Recognition / BMW
BMW Urban Traffic Light Recognition / BMW

Sinergi antara mobil dan infrastruktur ini sebenarnya sudah mulai ditanam benih-benihnya oleh masing-masing pabrikan. Dalam kasus BMW, salah satu contohnya adalah sistem cruise control yang dapat mendeteksi lampu lalu lintas. Teknologi semacam ini tentu saja bakal semakin efektif jika ditunjang oleh infrastruktur yang tepat.

Juga menarik untuk disoroti adalah sifat kerja sama ini yang non-eksklusif. Artinya, hasil kolaborasi BMW dan Daimler di ranah teknologi kemudi otomatis ini juga bakal bisa dimanfaatkan oleh pabrikan-pabrikan otomotif lain dengan mengandalkan sistem lisensi. Kedua perusahaan sebenarnya bisa saja merahasiakan hasil kerja samanya, tapi rupanya mereka memilih untuk bersaing secara sehat dengan pemain lainnya.

Faktor lain yang mempengaruhi sifat non-eksklusif itu adalah hasil studi BMW dan Daimler bersama sejumlah pabrikan lain seperti Audi dan Volkswagen, di mana mereka mencoba menetapkan semacam standar keselamatan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi kemudi otomatis.

Masalah keselamatan ini merupakan topik yang sangat penting, apalagi mengingat sebagian besar publik masih menganggap teknologi kemudi otomatis belum siap untuk diaplikasikan secara luas. Dengan adanya standar yang jelas, setidaknya pabrikan tidak jadi saling berlomba mengembangkan sistem yang kelewat canggih, tapi ternyata belum siap untuk konsumsi publik.

Problem yang terakhir ini sejatinya sudah beberapa kali ditunjukkan oleh Tesla melalui sistem Autopilot-nya. BMW, Daimler, serta pabrikan-pabrikan lainnya pada dasarnya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dan menumbuhkan image yang buruk di hadapan publik.

Terlepas dari itu, BMW dan Daimler menargetkan teknologi kemudi otomatis hasil racikannya bersama dapat dinikmati oleh konsumen paling cepat mulai tahun 2024. Sekali lagi tentu saja ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kesiapan infrastruktur dan regulasi setempat.

Sumber: Electrek.

VW Type 20 Concept Adalah VW Kombi Lawas yang Sudah Dimodifikasi Menjadi Mobil Elektrik

Lupakan sejenak VW I.D. Buzz, reinkarnasi modern VW Kombi yang dijadwalkan mengaspal di tahun 2022. VW punya bahan baru untuk dipamerkan, yakni VW Type 20 Concept, yang tidak lain merupakan VW Kombi lawas yang sudah dimodifikasi secara ekstrem hingga menjadi sebuah mobil elektrik.

Konsep ini dibuat dalam rangka merayakan pembukaan VW Innovation and Engineering Center California, sebuah fasilitas riset dan pengembangan terbesar VW di luar Jerman. Melalui konsep ini, VW sejatinya ingin publik bisa mengeksplorasi terobosan-terobosan teknologi apa saja yang sedang dikerjakan oleh tim di pusat R&D barunya.

VW Type 20 Concept

Seperti yang saya bilang, Type 20 Concept murni mengandalkan energi listrik. Ini berarti mesin bensin aslinya sudah dicabut, digantikan sepenuhnya oleh sebuah motor elektrik dengan output daya setara 120 tenaga kuda dan torsi sebesar 235 Nm, dan yang menerima suplai energi dari baterai berkapasitas 10 kWh.

Dapur pacu yang diubah total juga diikuti oleh perombakan di bagian suspensi. Type 20 Concept mengandalkan suspensi pneumatik hasil kolaborasi VW bersama Porsche, sehingga tinggi kendaraan dapat diatur melalui software.

VW Type 20 Concept

Juga menarik adalah penempatan kamera wide-angle pada Type 20 Concept, lengkap beserta teknologi pengenal wajah. Ini berarti Type 20 Concept dapat mengenali pengemudinya, lalu membukakan kunci pintunya saat sang pengemudi mendekati dirinya.

Di samping facial recognition, Type 20 Concept turut mengandalkan teknologi voice recognition melalui sejumlah mikrofon yang ditempatkan di tiga lokasi: di luar, di dekat pengemudi dan di kabin belakang. Dipadukan dengan AI assistant, sistem ini dapat mengenali sederet instruksi yang disampaikan menggunakan bahasa sehari-hari.

VW bilang bahwa kapabilitas natural language processing yang dimiliki Type 20 Concept lebih canggih ketimbang yang VW gunakan pada mobil-mobilnya sekarang. Sebagai contoh, sistem ini dapat merespon terhadap pertanyaan seperti “Are you ready to go?

VW Type 20 Concept

Daya tarik lain Type 20 Concept datang dari komponen-komponen dengan aksen warna oranye: velg, spion, lingkar kemudi, serta kaki jok belakangnya. Bentuknya yang mirip jaring laba-laba ini merupakan hasil eksperimen VW terhadap metode generative design, di mana VW hanya perlu menetapkan sejumlah paramater terkait wujud yang diinginkan, lalu membiarkan komputer mendesain sesuai dengan itu.

Hasil akhirnya memang kelihatan agak aneh, akan tetapi sesuai dengan tema modern yang diangkat. Elemen modern lain yang disematkan adalah display hologram di bagian panel instrumen yang dapat dilihat tanpa memerlukan kacamata khusus.

VW Type 20 Concept

Tentu saja VW tidak akan memproduksi Type 20 Concept secara massal. Kendati demikian, ini bukan berarti mereka tak bisa mengaplikasikan sejumlah teknologi yang diusung Type 20 Concept pada mobil-mobil produksinya, dan beberapa memang semestinya sudah mulai diterapkan oleh VW.

Sumber: CNET.

BMW Demonstrasikan Fitur Cruise Control Dalam Kota untuk Mendeteksi Lampu Lalu Lintas

Dewasa ini, saya kira sebagian besar pemilik mobil sudah cukup mengenal fungsi fitur cruise control. Yang paling umum adalah ketika berada di jalan tol, di mana pengemudi dapat mengaktifkan cruise control supaya mobil tetap melaju dalam kecepatan konstan, tanpa perlu menginjak pedal gas sama sekali.

Cruise control sejatinya dapat dilihat sebagai cikal bakal sistem kemudi otomatis. Namun berhubung regulasi terkait mobil kemudi otomatis masih belum menentu, pabrikan seperti BMW memilih untuk menyempurnakan fitur cruise control, yang setidaknya dapat diimplementasikan dalam waktu yang lebih cepat.

Bagi BMW, mereka rupanya telah memikirkan bagaimana caranya supaya pengemudi juga bisa menikmati faedah cruise control di luar jalan tol, alias dalam konteks perkotaan. Buah pemikiran mereka adalah Urban Traffic Light Recognition, yang sederhananya merupakan fitur cruise control versi dalam kota.

Urban Traffic Light Recognition

Dilihat dari namanya, tampak bahwa fungsi utama fitur ini adalah untuk mendeteksi lampu lalu lintas di jalanan dalam kota. Lalu ketika mobil mulai mendekati persimpangan dan radar mendeteksi lampunya menyala merah, mobil pun akan mengerem dengan sendirinya tanpa menunggu input dari pengemudi.

Selagi aktif, panel instrumen digital bakal menampilkan icon lampu lalu lintas, sehingga pengemudi tak perlu bingung mengapa mobilnya berhenti dengan sendirinya. Kekurangannya, fitur ini harus diaktifkan kembali secara manual apabila mobil yang dikemudikan berada di posisi paling depan di persimpangan, namun tidak demikian jikalau ada mobil lain di depannya.

Untuk sekarang, Urban Traffic Light Recognition yang masih dalam tahap pengembangan awal hanya bisa bekerja apabila mobil melaju dalam kecepatan di bawah 80 kilometer. BMW berencana merilis fitur ini lewat update over-the-air (OTA) – macam Tesla – untuk mobil-mobilnya yang mengemas sistem radar generasi terbaru.

Sumber: CNET.

Bukan Sembarang Mobil Listrik, Lightyear One Siap Menciptakan Energi Sendiri via Panel Surya Terintegrasi

2015 lalu, sekumpulan mahasiswa asal Eindhoven University of Technology memamerkan prototipe mobil listrik yang sangat istimewa. Namanya Stella Lux, dan yang membuatnya spesial adalah kemampuannya menciptakan energi listrik sendiri dengan berbekal panel surya.

Lebih istimewa lagi, tim mahasiswa yang sama pada akhirnya memutuskan untuk mendirikan startup bernama Lightyear setahun setelahnya, dengan misi memasarkan mobil listrik bertenaga matahari yang dapat dikendarai secara legal di jalanan. Dan mimpi mereka rupanya semakin mendekati kenyataan.

Lightyear One

Mereka baru saja menyingkap Lightyear One, sebuah sedan bermesin listrik ala Tesla Model S, tapi yang memiliki panel surya seluas 5 m² yang membentang dari kap mesin sampai ke penutup bagasi belakang. Panel suryanya pun bukan sembarangan, melainkan yang bisa menghasilkan 20% lebih banyak energi, serta yang sel-sel di dalamnya tetap dapat bekerja ‘memanen matahari’ meski sebagian porsi panelnya tertutup oleh bayangan.

Jadi usai diserap, energi mataharinya bakal langsung dikonversi menjadi energi listrik untuk dipasok ke baterai mobil. Menurut Lightyear, kecepatannya menghasilkan energi dan mengisi ulang baterai sendiri berkisar di angka 12 km per jam. Ini berarti jika mobil Anda diamkan di bawah terik matahari selama delapan jam, maka baterainya punya daya yang cukup untuk membawa mobil menempuh jarak sekitar 96 km.

Lightyear One

Memang kedengarannya tidak terlalu banyak, tapi tetap saja sangat signfikan jika dibandingkan dengan teknologi panel surya pada umumnya. Dan lagi ini bukan satu-satunya metode charging yang disediakan; Lightyear One masih bisa diisi ulang seperti mobil listrik pada umumnya.

Lalu ketika baterainya penuh, ia diestimasikan sanggup menempuh jarak sekitar 725 km. Sayangnya Lightyear belum mau merincikan kapasitas baterai yang diusung One. Mereka hanya bilang ukuran baterainya “relatif kecil”, dan mobil ini juga bukan untuk kebut-kebutan; jumlah motor listriknya memang ada empat (satu di setiap roda), akan tetapi output dayanya tidak disebutkan, sedangkan akselerasi 0 – 100 km/jam membutuhkan waktu sekitar 10 detik.

Lightyear One

Kompromi soal performa jelas merupakan rahasia di balik efisiensi maksimal Lightyear One. Namun ternyata itu baru satu alasan, sebab masih ada alasan lain seputar aerodinamika. Ya, Lightyear sengaja merancang mobil ini seaerodinamis mungkin, dan menggunakan material-material seringan mungkin, sehingga daya dorongan yang dibutuhkan tidak kelewat besar, yang pada akhirnya bisa membantu menghemat energi.

Kalau proses produksinya sama sekali tidak terhambat, unit-unit perdana Lightyear One bakal dikirimkan ke konsumen mulai awal tahun 2021. Lightyear sendiri saat ini sudah menerima pemesanan dari konsumen, dan banderol harganya dipatok mulai 149.000 euro – sama sekali bukan harga yang murah.

Sumber: Electrek.

Nissan Sulap Baterai Milik Mobil Elektrik Generasi Awal Menjadi Portable Battery Pack

Kita semua tahu baterai ada umurnya, entah itu baterai sekali pakai ataupun baterai rechargeable. Itulah mengapa kita perlu mengganti baterai ponsel setidaknya setiap berapa tahun sekali, dan prinsip yang sama sebenarnya juga berlaku untuk mobil elektrik, meski tentu saja ada perbedaan dari segi waktu maupun aspek lain sejenisnya.

Yang mungkin menjadi pertanyaan, apa yang terjadi ketika baterai mobil elektrik sudah mencapai ‘masa pensiunnya’? Diganti dengan yang baru tentu saja, tapi lalu baterai yang lama dibagaimanakan? Bagi Nissan, baterai-baterai lawas itu harus diberi kesempatan kedua.

Nissan Energy ROAM

Dari pemikiran itu terlahir proyek bernama Nissan Energy ROAM. ROAM pada dasarnya merupakan sebuah portable battery pack yang mengemas sel-sel lithium-ion hasil daur ulang baterai-baterai milik Nissan Leaf generasi pertama yang sudah berumur itu tadi. Inilah yang dimaksud dengan kesempatan kedua.

ROAM sendiri bisa diaplikasikan ke banyak hal. Contoh terbaru yang sedang didemonstrasikan Nissan adalah sebuah prototipe truk es krim bermesin listrik, dan yang mengandalkan ROAM sebagai pemasok energi untuk lemari pendingin maupun beragam perangkat lain di dalam truk tersebut.

Nissan EV ice cream truck

Konsep ini sekaligus bisa menjadi solusi atas kendala regulasi terkait truk es krim. Di beberapa negara, truk es krim dilarang beroperasi lagi karena dicap sebagai sumber polusi. Ini dikarenakan semua perangkat di dalam truk es krim menerima suplai energi dari mesin bensin atau diesel.

Ketika semua itu disulap menjadi energi listrik, maka masalah polusi pun langsung terselesaikan, dan di saat yang sama Nissan tetap bisa memaksimalkan peran baterai-baterai bekas via pengaplikasian Energy ROAM itu tadi.

Nissan Energy ROAM

Secara teknis, truk es krim Nissan e-NV200 ini mengemas baterai 40 kWh untuk menenagai motor elektriknya, di samping sepasang unit ROAM yang mengemas total kapasitas 1,4 kWh. Dalam sekali charge, truk es krim ini bisa menempuh jarak sekitar 200 km. Sebagai bonus, ada panel surya di bagian atap untuk membantu mempercepat proses pengisian ulang baterainya.

Apakah semua upaya ini hanya sebatas untuk membuktikan dan menjawab pertanyaan seputar baterai lawas itu tadi? Ya, tapi di saat yang sama Nissan juga bakal menjadikannya sebagai lahan bisnis baru; mereka berencana memasarkan Energy ROAM secara luas, meski banderol harganya masih belum juga dirincikan.

Sumber: Nissan via SlashGear.