Menekankan Kembali Pentingnya Validasi Ide Buat Startup

Punya ide cemerlang saja bukanlah bekal yang cukup untuk membawa suatu perusahaan startup bisa “lepas landas” dan berkembang. Perlu validasi yang terus menerus, tidak bisa sekali saja saat baru mau merintisnya.

Berangkat dari validasi ide, akan terbentuk cara eksekusi yang tepat sehingga menimbulkan efek “snowball” seperti misalnya dilirik oleh investor, mendapat pengakuan dari para pengguna dan semakin banyak dikenal oleh masyarakat.

Untuk menekankan pentingnya konsep ini, #SelasaStartup menghadirkan CEO & Co-Founder Nodeflux Meidy Fitranto. Meidy banyak berbagi mengenai pengalamannya bagaimana bisa memvalidasi idenya sehingga terbentuklah Nodeflux, startup intelligent video analysis dengan AI.

Tidak validasi ide, penyebab startup gagal

Meidy menjelaskan punya produk bagus, tim dan uang saja yang cukup tidak menjamin suatu startup bisa sukses. Kunci pertama terletak di kemauan founder untuk menekan ego sendiri yang mengasumsikan produk ini canggih dan pasti akan dibeli masyarakat.

Kenyataan sebenarnya, bahwa tidak ada yang peduli dengan produk dikira canggih dan belum ada di pasar manapun. Ini pasti terjadi ketika asumsi berlebihan tanpa disertai validasi ide.

“Saat Nodeflux dirintis, kita juga bermain dengan asumsi yang ternyata tidak fit dengan pasar. Padahal waktu itu kita berpikir produk ini sangat canggih. Akhirnya market fit bolak balik sampai pivot, lalu ketemu celah yang kita pilih ini bisa dioptimalkan dan jadi landasan Nodeflux untuk maju ke depannya,” kata Meidy.

Untuk validasi ide, ada tiga pertanyaan dasar yang harus bisa dijawab oleh founder. Yakni: (1) apakah ada orang yang mau pakai produk kita?; (2) berapa banyak dari mereka yang mau bayar?; (3) dan seberapa banyak orang di luar sana mau beli produk?.

Dalam membuktikan validasi, satu hal yang wajib dilakukan founder adalah pergi ke luar, bertemu orang untuk melihat seberapa terkonfirmasinya ide dengan kebutuhan pasar. Kalau ingin mendapatkan hasil yang instan, bisa menyebarkan kuisioner dengan random sampling bahkan tidak harus mengeluarkan biaya sepeser pun.

Metode lainnya adalah bertemu langsung dengan perwakilan yang memiliki suara cukup penting dan mewakili industri untuk mendapatkan masukan lebih dalam.

Lakukan validasi secara berulang

Meidy juga menekankan bahwa validasi ini bukan berarti harus dilakukan sebelum bertemu investor, ada juga yang kasusnya baru bisa terjadi setelah mendapat kucuran dana. Kejadian tersebut terjadi di Nodeflux, sebab untuk validasi ide ini disadari butuh uang dan tidak bisa dilakukan dengan cara yang instan dan gratis.

Validasi ide juga tidak bisa dilakukan sekali saja, melainkan harus terus menerus. Meidy menjelaskan bahwa ini terjadi karena validasi ide ini bergerak dinamis, menyesuaikan dengan posisi suatu startup.

Bisa jadi pertama kali dilakukan, dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran besar dari industrinya. Seiring waktu berjalan dia meyakini akan berkembang karena ide kita terhadap sesuatu akan menjadi value, yang mana akan terus bergerak sehingga butuh validasi terus menerus.

Pola validasi ide ini dimulai dari membangun MVP, peluncuran produk, memperbaiki semua kekurangan, dan selalu mengulangi ketiga hal ini.

Prototyping kita dimulai tahun 2015, lalu mulai bangun kantor di tahun berikutnya. Di situ kita dapat funding, rekrut talenta, dan eksekusi produk. Setahun berikutnya baru yakin untuk hadir ke pasar.”

Eksekusi terpenting, ide ada di nomor kesekian

Konsep ini sebenarnya juga dianut oleh para investor, bahwa mereka cenderung untuk berinvestasi ke founder bukan ke produk mereka, seberapa canggih teknologi yang dipakai. Mentalitas founder mampu untuk adaptif terhadap berbagai kemungkinan di luar lingkungan yang bisa memengaruhi bisnis.

Kemampuan adaptif inilah yang lebih penting dari sekadar ide yang bisa ditemukan oleh siapapun tapi belum tentu bisa sukses saat eksekusi.

“Sebaik apapun ide yang dibahasakan dengan baik ke orang, enggak akan segampang itu kalau mau dicontek dari ide saja sebab harus memahami semua seluk beluknya, jadinya tidak mudah.”

Agar eksekusi berjalan mulus, butuh produk bagus yang hanya bisa dihasilkan oleh talenta yang berkualitas. Oleh karenanya, isu rekrut talenta di tahap awal bisa jadi halangan. Meidy mengaku tidak mudah mendapatkan talenta kualitas bagus saat awal Nodeflux dirintis.

Mengingat konsep Nodeflux yang cukup hi-tech, akhirnya diputuskan untuk mengambil pendekatan dengan gimmick marketing “magical particle” yang disematkan dalam situs disertai kalimat marketing dengan susunan eye-catching. Hasilnya cukup banyak aplikasi yang masuk dari anak-anak lulusan S2.

“Kita baru bisa validasi ide setelah dapat funding. Dari situ elemen yang paling susah adalah rekrut orang. Untuk meyakinkan orang gabung itu susah banget, kebanyakan mereka itu mikirnya lebih baik gabung ke startup yang sudah besar. Padahal produk yang bagus itu harus dihasilkan dari orang-orang yang kualitasnya bagus,” pungkasnya.

Lima Hal Penting Membangun Budaya Kerja dan Mendidik Talenta di Startup

Menyongsong kemajuan era digital, Indonesia dihadapkan pada minimnya talenta-talenta berkualitas. Padahal talenta merupakan aset terpenting dalam membangun ekosistem digital di Tanah Air. Persaingan pun terjadi antar startup dalam memperebutkan talenta berbakat.

Di sisi lain, startup juga dituntut tetap eksploratif dalam mengadapi perkembangan teknologi dan pasar yang terus berubah. Diperlukan budaya kerja yang tepat agar startup dapat menjadi tempat berkarya yang nyaman bagi setiap karyawannya.

Di ajang idEA Works, Founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya berbagi pengalaman dan pandangan menarik tentang bagaimana membangun budaya kerja di startup dan mendidik orang untuk menjadi talenta yang potensial dan berkualitas di bidangnya.

Mari simak pengalaman inspiratifnya di sesi bertajuk “Gen of Good Talent” berikut ini:

Menjaga integritas perusahaan

Sebagai perusahaan media di bidang teknologi, Rama menegaskan pentingnya integritas kepada para pembacanya. Integritas menjadi penting untuk dapat menyajikan berita berkualitas dan terpercaya.

Perusahaan harus selalu berhati-hati dalam mempekerjakan talenta baru, tidak semata-mata hanya mengisi kekosongan sebuah posisi.

“As a media, integrity itu sangat penting. Apalagi [menyambut] industri 4.0, talenta menjadi aset penting. Makanya, kami tidak mau terburu-buru hire orang untuk menjaga integritas para pembaca kami,” tuturnya.

Media sosial sebagai personal branding

Diakuinya, dunia digital telah berkembang menjadi suaka baru bagi sejumlah orang. Setidaknya, sebagian dari kita memiliki lebih dari dua akun media sosial untuk bisa berinteraksi dengan banyak orang.

Yang mungkin kita tidak tahu, sejumlah perusahaan kini telah memberlakukan rekam jejak digital sebagai salah satu persyaratannya. Hal ini untuk melihat bagaimana attitude seseorang. Namun, Rama punya pandangan berbeda.

Ia menekankan bahwa media sosial sebetulnya dapat dimanfaatkan sebagai personal branding seseorang sebagai ruang kebebasan dan wadah untuk mengekspresikan diri.

“Saya percaya dengan rekam jejak digital, tapi kita tidak seperti itu. Masalah negatif dan positif itu subjektif. Jika menurut saya negatif, belum tentu buat orang lain. Soal [attitude] sebetulnya mau tak mau dilihat saat probation. Kalau tidak perform, kita cut,” paparnya.

Inisiatif dan transparan

Rama juga menyinggung tentang bagaimana kultur kerja dapat membangun kualitas talenta lebih baik. Diungkapkannya, ada sejumlah hal yang perlu ditanamkan kepada para karyawannya, seperti nilai  inisiatif dan transparansi.

“Inisiatif yang dimaksud, kalau yakin ada pekerjaan bisa dilakukan, ambil andil di dalamnya. Terlebih kamu yakin dengan metodemu dalam menyelesaikan pekerjaan,” ujar Rama.

Demikian juga transparansi dan kejujuran yang dijunjung tinggi perusahaan. Artinya, apabila merasa tidak bisa menyelesaikan pekerjaan, karyawan tidak dipaksa untuk melakukannya.”Kalau bisa katakan iya. Kalau tidak, ini akan memakan waktu dan tenaga. Lebih baik dilakukan orang yang tepat,” katanya.

Memiliki risk tolerance

Nilai lain yang dibangun dalam kultur kerjanya, lanjut Rama, adalah memberikan kesempatan kepadan siapapun di perusahaan untuk mencoba sesuatu dan bereksperimen. Karena bukan tidak mungkin, eksperimen ini dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk perusahaan.

“Ini salah satunya yang membedakan startup dengan perusahaan korporat. Kalau punya ide, silakan dieksekusi. Tapi kami kasih deadline untuk merealisasikannya. Engineer kami pernah coba buat aplikasi, kami biarkan. Memang hasilnya tidak sesuai, tetapi dia belajar dari situ,” jelasnya.

Tetap dinamis, tapi tidak terlalu cepat

Startup disebut harus dinamis mengikuti perkembangan pasar. Tak heran jika startup terbiasa bereksperimen untuk mendapat sebuah solusi yang disruptif. Kultur ini yang sangat berbeda dengan perusahaan konvensional.

Rama menekankan pentingnya untuk bekerja lebih cepat dibanding perusahaan konvensional untuk menghemat waktu dan biaya. “Tetapi juga jangan terlalu cepat, itu tidak baik. Bagaimanapun butuh uji coba [solusi] sebelum launch ke pasar.”

Memahami Urgensi Penggalangan Dana

Di artikel sebelumnya, DailySocial memberikan tips melakukan penggalangan dana untuk startup pemula. Penggalangan dana adalah hal yang krusial dalam proses pengembangan bisnis startup, meskipun bukan menjadi satu-satunya cara agar bisnis terus berjalan.

Salah satu cara konvensional yang bisa digunakan adalah memanfaatkan profit perusahaan untuk menutup biaya operasional dan biaya lain yang diperlukan. Hal ini tidak mudah, mengingat biasanya fokus startup adalah mengembangkan produk dan bisnis. Namun demikian kebanyakan startup memutuskan untuk melakukan penggalangan dana dengan tujuan yang beragam.

Satu hal yang pasti, fundraising bisa membantu startup bergerak lebih cepat, apapun model bisnis atau segmen yang disasar startup tersebut.

CEO Sribulancer Ryan Gondokusumo berpendapat:

“Akan menjadi sulit bagi startup untuk tidak melakukan penggalangan dana karena adanya kebutuhan capital itu sendiri untuk mempercepat pertumbuhan startup. Untuk itu pastikan fokus awal startup terlebih dahulu sejak awal, apakah mengejar growth atau sustainability.”

Fokus ke tujuan awal

Meskipun saat ini makin sulit menarik perhatian venture capital (VC) untuk berinvestasi di startup baru, hal ini tidak menyurutkan kegiatan penggalangan dana oleh berbagai startup.

Banyak startup yang mendapatkan pendanaan dengan jumlah yang besar. Meskipun demikian, perolehan funding bukan berarti otomatis startup tersebut akan mampu bertahan lama. Padahal aspek ini menjadi kunci utama agar startup bisa terus menjalankan bisnis.

Sangat penting bahwa founder tidak membiarkan proses penggalangan dana mengalihkan perhatian perusahaan menemukan product market fit yang diperlukan untuk menciptakan bisnis yang nyata.

“Menurut saya sebenarnya pada akhirnya orang membangun startup agar bisa menghasilkan uang. Jadi pasti memang harusnya profit dan sustain untuk bisnis yang baik. Pada akhirnya ada dua pilihan: apakah startup ingin bergerak secara organik atau kemudian mulai fokus kepada pertumbuhan bisnis dengan memanfaatkan fundraising,” kata CEO Sirclo Brian Marshal.

Brian menambahkan, agar bisa terus eksis dan relevan ke pengguna, stakeholder, dan investor, proses penggalangan dana memang sebaiknya dilakukan. Meskipun tidak terlalu sering, paling tidak bisa menjadi benchmark untuk startup itu sendiri.

Selain VC, Ryan melihat penggalangan dana dengan melakukan pendekatan kepada perusahaan bisa menjadi alternatif yang ideal. Selain mendapatkan modal, startup juga bisa menjalin kerja sama strategis dengan perusahaan itu sendiri.

“Pada akhirnya startup dibangun agar bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Jika tidak menguntungkan tentunya akan menjadi percuma. Untuk itu fundraising perlu dilakukan, menyesuaikan dengan prioritas dan target dari startup yang ingin dicapai,” ujar Ryan.

Profit dan skalabilitas

Mulai banyak startup yang kembali fokus memperoleh pendapatan demi menjalankan bisnis, terutama yang menyasar segmen bisnis atau B2B. Sifat B2B yang tergolong lebih rasional dibandingkan B2C atau C2C (yang biasanya lebih emosional), menjadikan segmen B2B makin banyak dilirik startup, seperti misalnya Sirclo, Ralali, Akseleran, atau Telunjuk untuk menjalankan bisnis.

“Kami memilih untuk tidak melakukan fundraising saat ini dan hanya fokus memanfaatkan profit dari perusahaan. Meskipun tidak terlalu besar namun paling tidak kami tidak tergantung dengan investasi dan ekuitas yang kerap diminta oleh venture capital,” kata CEO Telunjuk Hanindia Narendrata.

Penggalangan dana terakhir yang didapatkan Telunjuk adalah pada pertengahan tahun 2015 lalu. Telunjuk memperoleh pendanaan Seri A dari Venturra (sebelumnya Lippo Digital Ventures).

Untuk meraih profit, ada beberapa langkah yang wajib dilalui. Salah satunya adalah mengelola dan menekan biaya pengeluaran perusahaan. Perusahaan juga harus bisa mendapatkan repeat order dan memperoleh klien baru secara rutin.

Hal tersebut yang juga dilakukan Sribulancer, Mereka mencoba menggunakan funding dengan cara yang paling tepat dan menekan pengeluaran yang tidak diperlukan setelah tahu siapa target pasar yang ingin dicapai.

“Untuk startup yang menyasar bisnis B2B seperti Akseleran tentunya lebih menguntungkan karena kita berhubungan dengan pasar yang sudah mature. Namun tidak bisa dipungkiri penggalangan dana tetap kita butuhkan meskipun waktunya tidak harus terlalu sering,” kata Ivan.

Saham dan kontrol pendiri

Banyak alasan mengapa startup memutuskan untuk melakukan penggalangan dana, mulai dari mengakuisisi pengguna, melancarkan kegiatan pemasaran, hingga menambah jumlah tim.

Sabagai “imbalan” terhadap penggalangan dana, investor mendapatkan saham perusahaan. Menurut Hanindia, pembagian saham yang ideal tergantung dari kebutuhan masing-masing startup itu sendiri. Jumlah dan persentase saham bisa dinegosiasikan antara VC dan pendiri startup.

“Tergantung seberapa besar ekspektasi founder terhadap calon investor. Tergantung juga bagaimana ekspektasi investor terhadap founder. Apapun yang diinginkan founder dan investor, pastikan disepakati bersama secara tertulis dalam akta perusahaan.”

Hal senada disampaikan CEO Akseleran Ivan Tambunan. Ivan menambahkan, valuasi startup juga menjadi faktor pertimbangan.

“Kalau menurut saya, biasanya angel investor sampai 15%, kemudian tahapan seed dan Seri A investor masing-masing [mendapat] sekitar 20%-25%. Semakin advance pendanaan, dilusi biasanya juga makin besar.”

Setelah jumlah saham ditentukan antara founder dan VC, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah memastikan startup memiliki kontrol usai penggalangan dana dilakukan. Yang Ryan lakukan di Sribulancer adalah membuat cap table dan simulasi. Jika ada investor baru yang ingin masuk dengan memberikan sekitar X%, maka startup bisa mendapatkan sisanya–apakah kurang dari 51%.

“Jika pada akhirnya jumlah tersebut kurang dari 51% yang kemudian sisanya didapatkan oleh startup, bisa jadi startup sudah tidak lagi mendapatkan kontrol pada startup mereka,” kata Ryan.

Sementara menurut Ivan, ada dua cara yang bisa dilakukan agar startup masih bisa memiliki kontrol usai penggalangan dana dilakukan. Cara pertama adalah memastikan founders memegang tidak kurang dari 50,1% saham. Cara lainnya, dalam shareholders agreement diatur bahwa manajemen (direksi) diisi oleh orang-orang yang didominasi oleh founders sekalipun saham founders tidak sampai 50,1%.

Founders perlu berdiskusi dengan lawyer yang biasa memegang transaksi fundraising startup atau Mergers dan Acquisitions (M&A), agar tidak salah langkah dan mendapat perlindungan yang tepat,” kata Ivan.

Mendalami Kunci Eskalasi Bisnis untuk Startup B2B

Merintis startup itu bukan hal mudah, entah itu segmennya menyasar langsung ke konsumen, korporasi, atau pemerintah. Berangkat dari ide, membuat prototipe sampai akhirnya sampai product market fit, berinovasi terus menerus, semuanya butuh strategi sebagai kuncinya.

Dalam edisi #SelasaStartup di minggu keempat Maret 2019, dihadirkan CEO Sleekr Suwandi Soh. Sleekr adalah platform SaaS yang menawarkan solusi HR dan akuntansi berbasis cloud. Suwandi dengan pengalamannya merintis Sleekr dari awal, banyak menceritakan bagaimana Sleekr mengeskalasi bisnis, perencanaan, sampai tantangannya.

(1) Pahami siklus hidup adopsi startup

Suwandi menjelaskan startup itu adalah tahap sementara, founder masih mencari format bisnis yang tepat sebelum nantinya menjadi perusahaan besar. Oleh karenanya, tahapan startup itu terbagi jadi tiga jenis, yakni startup tahap awal. Pada tahap awal ini, startup didesain untuk mencari product market fit.

Di tahap berikutnya, startup tahap akhir didesain untuk mencari model bisnis yang bisa diulang-ulang dan bisa eskalasi. Terakhir di tahap menuju perusahaan besar yang dirancang untuk mengeksekusi di bawah kondisi kepastian tinggi.

“Ketika sudah menuju perusahaan besar, artinya ketika mau eksekusi sudah ada kepastian tinggi. Beda dengan startup tahap awal yang ketidakpastiannya itu sudah tinggi, belum tentu besok masih beroperasi. Ketika sudah sampai di tahap akhir, biasanya sudah punya kepastian bisnis, jadi enggak mungkin langsung tutup,” kata Suwandi.

(2) Mencari konsumen yang tepat

Konsep ini sebenarnya tidak hanya berlaku untuk startup b2b saja, tapi juga untuk segmen lainnya. Pada dasarnya jenis konsumen itu ada lima jenis. Pertama adalah innovators, mereka adalah golongan yang suka dengan hal baru dan berani ambil risiko. Hanya saja secara persentase golongan ini kecil sekali sebesar 2,5%.

Kedua, early adopters ini golongan orang yang mau memakai suatu produk karena dianggap keren, aman, dan efisien. Mereka ini bukan pasar yang tepat karena cepat datang dan cepat pergi sehingga tidak menjamin akan terus memakai produk tertentu. Porsinya sebesar 13,5%.

Tahap berikutnya yang cukup krusial adalah jurang antara early adopters dan early majority. Jurang ini harus bisa dilalui startup agar tetap hidup. Ketika sudah berhasil, maka akan mendapat konsumen di tahap early majority dengan persentase konsumennya 34%. Konsumen pada tahap ini adalah mereka yang rela membayar produk karena sudah percaya dengan reputasi perusahaan.

Keempat adalah late majority, konsumen ini adalah perusahaan konvensional yang umumnya sudah termasuk konsumen setiap dari produk tertentu sehingga susah berpaling. Persentasenya mencapai 34%. Tahap terakhir adalah laggards dengan persentase 16%.

“Kalau early majority itu mereka sudah benar-benar pelajari dan sudah pakai. Sementara late majority itu adalah konsumen setia produk A, akan pakai produk lain kalau kompetitor sudah pakai duluan.”

(3) Hindari premature scaling

Dia melanjutkan penyebab utama startup itu gulung tikar adalah premature scaling. Ini adalah kondisi di mana scaling tim, strategi akuisisi pelanggan, yang berlebihan membangun produk tanpa terlebih dahulu untuk menyesuaikan dengan pasar.

Scaling itu tidak bisa dipastikan kalau hanya punya produk bagus dan tim engineer yang bagus saja. Ada banyak aspek penentunya. Ketika terlalu banyak rekrut orang, maka banyak masalah akan timbul. Untuk itu founder harus pelajari betul-betul soal industri yang dia geluti karena faktor premature scaling ini di tiap industri berbeda-beda.

Dalam bisnis selain mengacu pada pertumbuhan persentasenya, juga perlu buat pengukuran revenue dan churn. Pastikan tim engineer dan produk memiliki objektif yang sama. Untuk itu pada tahap awal pastikan visi misi perusahaan apa dari situ buat produk yang bisa dieskalasi manfaatnya.

“Sleekr percaya dari hipotesa kita, kalau mau memberdayakan bisnis dan profesional tetap tumbuh itu butuh bermitra dengan pihak ketiga. Kita tidak bisa kerjakan semuanya sendiri karena misinya Sleekr itu sebagai platform,” pungkas Suwandi.

Berikut Enam Poin Agar Startup Terhindar dari Potensi “Fraud”

Di tahun 2015 lalu, Silicon Valley dihebohkan dengan pemberitaan The Wall Street Journal yang menyebutkan startup teknologi kesehatan Theranos, yang didirikan oleh rising star Elizabeth Holmes, melakukan penipuan (fraud).

Theranos mencoba men-disrupt laboratorium pengecekan darah konvensional melalui mesin pengambilan dan pengecekan darah berbasis teknologi dengan harga terjangkau.

Holmes, yang drop out dari Universitas Stanford ini, pernah membawa perusahaan bervaluasi hingga $9 miliar atau senilai Gojek saat ini. Di tahun 2018, setelah mengakui “kecurangannya”, Theranos, yang berasal dari kata therapy dan diagnosis, akhirnya menutup layanan.

Dari kasus Theranos bisa disimpulkan enam poin kunci yang bisa dipelajari startup untuk terhindar dari kasus penipuan.

Pastikan teknologi berfungsi

Menjadi rahasia umum di dunia startup, ketika membicarakan teknologi, banyak pendiri dan tim engineer yang merahasiakan cara kerja teknologi yang diciptakan. Keputusan tersebut sah-sah saja, asal Anda sebagai pendiri startup mengetahui dengan benar cara kerja dan fungsinya.

Ciptakan teknologi yang masuk akal, mengacu kepada riset, konsultasi, dan melakukan pembicaraan dengan pakar terkait.

Lakukan validasi

Kesalahan lain yang terjadi adalah proses validasi produk yang gagal dilakukan. Mesin “Edison”, yang seharusnya bertugas mengecek darah pasien dalam waktu yang singkat dan harga terjangkau, faktanya tidak bisa diaplikasikan secara sempurna.

Jika hal ini terjadi kepada startup Anda, coba ciptakan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan. Pastikan validasi dilakukan, sebelum produk diluncurkan.

Orang hebat bukan jaminan sukses

Langka yang dilakukan Theranos untuk membuktikan ke regulator, stakeholder, pengguna, dan media adalah menempatkan tokoh high profile dari kalangan pemerintahan, teknologi, dan politik.

Dari permukaan, startup tersebut terkesan memiliki integritas tinggi dan bisa dipercaya, namun produk yang gagal divalidasi membuat semuanya percuma.

Transparansi

Transparansi juga menjadi kunci sukses sebuah startup. Tidak hanya di hadapan investor, namun juga pegawai, investor, regulator, dan media.

Banyak pegawai yang tidak mengetahui dengan jelas fungsi mesin yang dimiliki perusahaan yang ternyata gagal beroperasi. Theranos juga gagal menyampaikan informasi yang akurat ke regulator terkait — di industri kesehatan yang ketat, kegagalan seperti ini bersifat fatal.

Akui kegagalan dan pivot

Jika pada akhirnya startup Anda stuck dan tidak bisa mengandalkan teknologi sebelumnya, cobalah untuk mengakui kegagalan tersebut dan jangan menjanjikan harapan palsu. Jika dimungkinkan, cobalah pivot. Lepaskan mimpi lama teknologi sebelumnya dan ciptakan teknologi baru yang bisa berfungsi dengan baik.

Ciptakan value

Banyak startup yang menyebutkan tujuan mereka mendirikan startup adalah memberikan value untuk orang banyak. Pertahankan visi dan misi tersebut untuk kesuksesan dalam jangka panjang. Hindari hanya memikirkan peluang, kesempatan, dan potensi mendapatkan uang dalam jumlah yang besar, namun gagal menciptakan value yang bermanfaat.

Hal tersebut terjadi pada Theranos. Mereka berhasil mengantongi pendanaan dalam jumlah yang sangat masif, namun gagal memenuhi target pasar dan misi perusahaan untuk mengubah dunia kesehatan menjadi lebih baik.

Menemukan Investor yang Tepat Saat Menggalang Dana

Alpha JWC Ventures, perusahaan modal ventura yang fokus pada startup di Indonesia, dalam sebuah event bertajuk “Fundraising, It Ain’t Rocket Science” mengundang Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya, Co-Founder & CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata, dan AVP Corporate Finance Tokopedia Randall Aluwi untuk berbagi tentang poin-poin penggalangan dana bagi startup, khususnya startup pemula.

Tidak hanya soal angka

Penggalangan dana adalah suatu hal yang mendasar bagi perusahaan untuk mengembangkan produk dan bisnis secara keseluruhan. Banyak strategi yang digalakkan startup demi mendapatkan investasi yang tepat.

Menggalang dana tidak hanya berbicara tentang angka, tetapi juga pertimbangan lain, seperti reputasi investor. Hal ini tidak kalah penting dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, sebuah startup tidak bisa gegabah dalam mengambil keputusan.

“Semua yang mengharuskan Anda untuk segera menandatangani kesepakatan belum tentu berujung baik. Saat seseorang melakukan investasi terhadap aset, hal itu akan berlangsung selamanya. Anda tidak akan memutuskan sesuatu yang berdampak jangka panjang dalam waktu singkat,” ujar Reynold Wijaya.

Jalan sudah ada, tinggal cara meyakinkannya

Randall Aluwi mengungkapkan bahwa penggalangan dana saat ini relatif lebih mudah jika dibandingkan tahun-tahun awal Tokopedia berdiri.

Fundraising pada tahun 2009 sangat berbeda dengan tahun 2014 ke atas. Pada saat itu belum ada VC dan tantangannya kami harus mendapatkan kepercayaan dan kenyamanan dari para investor, sementara industri digital belum semarak saat ini. Sekarang, jalannya sudah ada, tinggal bagaimana cara meyakinkannya,” ungkapnya.

Mengenai waktu yang tepat untuk penggalangan dana, ia menyebutkan tidak ada waktu yang tidak tepat. Penggalangan dana bisa dilakukan kapan saja.

“Penggalangan dana itu tidak sulit, yang sulit adalah menemukan investor yang tepat, dengan nilai investasi yang sesuai,” ungkap Reynold.

Siap dengan tiga hal fundamental

Persaingan ketat di era digital mengharuskan para pemain industri untuk lebih giat dalam usaha menggalang dana dan menyusun strategi yang tepat untuk bisa membangun bisnis yang berkelanjutan.

Menurut Reynold, dalam menggalang dana tidak perlu takut gagal mendapat investasi. Selama ada tiga hal fundamental: pasar yang baik, tim yang solid, dan didukung dengan data yang valid; investor akan berminat untuk menanamkan modal.

“VC tidak pernah takut kehilangan uang, tetapi mereka takut melewatkan kesepakatan yang bagus,” ujarnya.

Lima Pertanyaan Investor saat Pitching

Banyak hal yang perlu disiapkan saat startup mulai melakukan penggalangan dana. Salah satu tahap awal yang harus dipersiapkan adalah proses pitching dengan venture capital.

Ada beberapa hal penting yang wajib diperhatikan saat pitching, mulai dari model bisnis, traksi hingga yang paling penting berapa nilai pendanaan yang dibutuhkan oleh startup.

Berikut ini adalah lima poin yang menjadi perhatian investor, seperti yang diungkapkan secara eksklusif oleh Venturra Discovery.

Produk dan model bisnis startup

Mencari solusi terbaik untuk masyarakat umum merupakan salah satu produk atau layanan yang banyak dicari investor.Hal ini akan mempengaruhi masa depan dan teknologi yang ingin dikembangkan oleh startup. Untuk itu pastikan produk tersebut relevan dan model bisnis yang dimiliki masuk akal dan bisa diterima dengan baik oleh target pasar.

Contoh model bisnis yang sesuai dan memiliki potensi untuk kemudian mulai dimonetisasi adalah subscription, komisi per transaksi, harga markup, pay per lead, atau advertising.

Traksi

Agar investor mengetahui dengan jelas potensi dari startup, traksi wajib dimiliki dengan melakukan tes dan uji coba produk. Dari proses tersebut akan terlihat hasil dalam bentuk angka yang kemudian bisa dijadikan acuan untuk startup. Investor ingin mengetahui apakah ada kebutuhan yang jelas untuk solusi yang ditawarkan oleh startup, hal tersebut hanya dapat dibuktikan oleh pelanggan. Pelajari feedback tersebut, untuk bisa melacak metrik yang relevan, dan pastikan Anda mengetahui arti setiap metrik dan dampaknya terhadap bisnis.

Venturra menyarankan untuk selalu terbuka dan transparan dengan angka-angka yang berhasil dikumpulkan. Salah satu contoh umum adalah ketika Anda menghitung data secara kumulatif, sebutkan dengan jelas hasilnya. Misalnya, saat menjelaskan grafik non-kumulatif dan grafik kumulatif.

Unit ekonomi

Dalam hal ini investor ingin mengetahui berapa besar pengeluaran dari startup (semua biaya variabel untuk satu unit produk) untuk mendapatkan laba dari unit yang terjual. Unit ekonomi merupakan salah satu poin penting yang ingin diketahui dengan jelas oleh investor.

Biaya variabel meliputi: COGS (berapa biaya untuk produk satu produk), Pemasaran (berapa biayanya untuk memasarkan satu produk), SDM (berapa banyak tenaga yang dibutuhkan untuk menjual satu produk), biaya server (berapa biaya server untuk mengoperasikan satu unit produk).

Hal lain yang juga wajib untuk diperhatikan oleh startup saat pitching adalah Periode Pembayaran Kembali (CAC). Melanjutkan informasi unit ekonomi sebelumnya, proses selanjutnya akan mengarah ke berapa banyak pembelian (sebagian besar untuk penjualan produk) atau waktu (berlaku untuk bisnis SaaS) yang diperlukan startup untuk mengganti CAC atau Biaya Akuisisi Pelanggan.

Roadmap dan rencana ekspansi startup

Salah satu pertanyaan penting yang kerap disampaikan oleh investor saat pitching adalah apa saja roadmap atau rencana jangka panjang dari startup. Semakin baik startup mengalami peningkatan, semakin besar potensi, rencana, dan target yang ingin dicapai.

Untuk itu pastikan Anda telah mempersiapkan roadmap, produk, dan inovasi yang dibutuhkan target pasar hingga rencana untuk ekspansi. Tidak hanya ekspansi secara lokal namun juga, jika memungkinkan, rencana startup untuk memperluas bisnis hingga ke mancanegara. Hal ini akan mempengaruhi hal-hal terkait seperti negara mana yang paling ideal untuk disambangi hingga pelokalan seperti apa yang relevan di setiap negara.

Nilai investasi dan valuasi

Berapa nilai investasi yang dibutuhkan startup menjadi fokus utama dari investor. Untuk itu pastikan dengan baik nilai tersebut sudah mencakupi rencana dan target yang ingin dicapai. Dalam hal ini Venturra melihat, nilai investasi yang paling relevan untuk startup di tahap awal (early stage) adalah berkisar $500,000 – $3,000,000.

Hindari untuk meminta investasi dalam jumlah yang terlalu besar atau mengikuti nilai investasi yang telah diperoleh oleh startup lain. Jika Anda melakukan cara tersebut, Anda akan terlihat sebagai pendiri startup tidak profesional dan tidak mengetahui cara menjalankan bisnis dengan baik.

Venturra menyarankan untuk meluangkan waktu merencanakan tentang apa yang akan didapatkan startup dari uang yang dihasilkan dan apa yang ingin dicapai dari pengeluaran tersebut. Konsisten dengan rencana pengeluaran, karena harus sesuai dalam proyeksi yang akan disampaikan ke investor.

Menentukan nilai valuasi startup tergantung nilai startup itu sendiri. Pastikan untuk mengetahui berapa nilai startup Anda. Hindari untuk mematok nilai terlalu tinggi dari penilaian yang nantinya hanya akan mematikan investor, namun jangan juga mematok terlalu rendah karena akan melemahkan nilai  startup itu sendiri. Untuk itu temukan nilai yang seimbang dan menguntungkan.

Mendalami Peran “Brand” sebagai Kreator Konten

Makin meningkatnya transaksi online menandakan bahwa media digital adalah channel iklan yang perlu diseriusi meski brand menjual produk secara offline. Strateginya tidak bisa disamakan ketika beriklan di televisi atau media cetak sebab channel digital tersebut memiliki karakteristik pengguna yang berbeda.

Hanya saja, membuat konten itu bukan perkara yang mudah. Ketersediaan data di dunia maya akan berguna sebagai bekal untuk membuat konten. Mendalami soal ini, edisi #SelasaStartup kali ini menghadirkan CEO The F People Rachel Octavia. Rachel banyak bercerita bagaimana tantangan dan peluang brand sebagai kreator konten di media digital.

Berikut rangkumannya:

1. Konsumsi informasi saat ini

Sebelum era digital dimulai, komunikasi antara brand dengan konsumen tergolong statis karena informasi hanya bisa didapat sangat terbatas. Konsumen umumnya hanya didikte iklan televisi, radio, dan koran.

Beda halnya dengan sekarang, informasi begitu mudahnya didapat. Menurut Rachel, kondisi ini pada akhirnya membuat brand harus pintar dalam menata konten bagaimana bisa menangkap dan engage dengan konsumen yang sesuai dengan target brand.

“Dalam tipe komunikasi saat ini brand harus membuat konten yang menyampaikan kejujuran, punya tujuan, dan otentik,” kata dia.

Sebagai tambahan, menurut dari statistik Google, secara rerata kini orang melakukan delapan hal lewat internet, membuka delapan aplikasi dalam seharinya, dan menghabiskan waktu paling tidak delapan detik saat melihat konten.

2. Sesuaikan konten dengan platform digital

Berangkat dari fakta di atas, brand punya pekerjaan rumah bagaimana ketatnya seleksi informasi yang ingin diterima oleh konsumen. Untuk itu, brand perlu tahu distribusi channel apa saja yang tepat untuk menyasar konsumen yang ingin dituju agar tidak salah kirim target.

Rachel menggambarkan Facebook seperti majalah, di mana konsumen mencerna konten dengan minim interaksi hanya memencet tombol like. Di sini konsumen cenderung kurang menyukai engage dengan video atau konten bermerek.

Sementara Twitter dianggap seperti koran yang juga memiliki minim interaksi. Instagram, di sisi lain, dianggap seperti tempat bermain, konsumen dapat memberi tanda “like“, komentar, berbagi ke pengguna lain, dan “follow” akun yang mereka suka.

“Line lebih ke arah konten yang ringan, menyenangkan, karena banyak dipakai anak milenial. Sementara YouTube seperti TV digital yang minim interaksi dan situs itu seperti one time stop outlet, jadi akan bergantung pada pengalaman konsumen apakah loading-nya lama atau tidak dan sebagainya.”

3. Pelajari karakteristik konsumen

Berkaitan dengan poin sebelumnya, Rachel menjelaskan konsumen digital saat ini cenderung mudah bosan karena akses terhadap informasi kini begitu mudah. Oleh karena itu, mereka sekarang sangat selektif dalam mendapatkan info, umumnya mencari sesuatu yang memikat mata.

Ketika ada konten yang menarik, konsumen akan lebih reaktif dengan secara otomatis langsung meninggalkan jejak memencet tombok “like” dan berkomentar. Komentar ini merupakan tanda butuh pengakuan di dunia maya, entah ingin terlihat pintar atau sekadar berbagi info yang menandakan dia ingin dikenali orang.

Di tambah, saat bertransaksi online konsumen digital itu ada tiga ciri khas. Yakni mereka mudah penasaran, namun di saat yang bersamaan juga sering menuntut dan tidak sabar.

4. Menyesuaikan konten

Ketika tiga poin sudah dikuasai, maka saatnya brand memosisikan diri sebagai kreator konten. Konten itu harus sesuai dengan kepribadian suatu brand, harus terasa nyata dan tidak dibuat-buat, dan juga ringan.

Brand harus memperhatikan bagian pembuka karena delapan detik pertama itu sangat penting dan berhubungan dengan target konsumen. Konsumen digital tidak akan mengacuhkan konten apabila tidak relevan dengan mereka.

“Brand juga harus membuat konten yang kekinian, berhubungan dengan isu yang terjadi sekarang. Yang terpenting, bahasa yang dipakai harus tepat sesuai dengan target konsumen.”

Dari segi visual, gambar yang dipakai harus eye catching, pemilihan warna dan jenis huruf yang tepat, dan trendi. Ditambah lagi, penggunaan caption entah qoute, candaan, dan emoji yang menarik apabila ingin meningkatkan engagement di media sosial.

Tak lupa, setelah konten dipublikasi, brand harus rajin melakukan evaluasi. Pertama dimulai dari tahap awareness-nya, bagaimana impresi, reach, awareness, dan view. Berikutnya masuk ke tahap evaluasi, lihat bagaimana berapa banyak yang mengklik, view, memberi komentar, engagement, like, love, dan Retweet.

Terakhir, di tahap purchasing, berapa banyak yang akhirnya membeli produk dari suatu brand setelah beriklan. Keseluruhan tahap evaluasi ini bisa menggunakan tools yang disediakan Google Analytics, Google Keyword Planner, Google Trend, YouTube Analytics, Instagram Analytics, Facebook Analytics, Twitter Analytics, dan Keyhole.io

Cara Tepat Merekrut Pegawai yang Sesuai dengan Kultur Perusahaan

Bagi startup yang sedang bertumbuh, proses perekrutan pegawai baru dalam jumlah tertentu menjadi kegiatan yang wajib dilakukan. Meskipun demikian, di lapangan, ketika perekrutan sudah dilakukan, bakal muncul dinamika antara pegawai baru dan pegawai lama. Seorang pegawai yang tidak cocok dengan dinamika startup akan mudah mengundurkan diri, walaupun baru saja masuk ke dalam perusahaan.

Penting bagi startup memikirkan dengan benar proses perekrutan. Idealnya dari awal, CEO atau jajaran C-Level lain yang terlibat, bisa melakukan kurasi dengan baik saat proses wawancara dilakukan.

“Di Akseleran dulunya saya sebagai CEO masih terlibat untuk semua proses perekrutan pegawai baru. Dari awal sudah bisa terlihat apakah orang ini bisa beradaptasi dengan baik atau tidak dengan perusahaan, jika terlihat kurang bisa beradaptasi biasanya tidak kami lanjutkan proses perekrutan,” ungkap CEO Akseleran Ivan Tambunan menceritakan pengalamannya.

Media sosial sebagai “citra perusahaan”

Saat ini media sosial menjadi salah satu platform ideal untuk mempromosikan perusahaan. Mulai dari suasana kantor, job description hingga perkembangan perusahaan, semua bisa diteliti calon pegawai yang tertarik untuk melamar pekerjaan di perusahaan. Citra perusahaan yang dikenalkan di media sosial bisa membantu perusahaan merekrut pegawai yang sesuai

Setelah pegawai yang tepat direkrut, lakukan proses adaptasi dengan baik. Hindari adanya konflik antara pegawai lama dan baru yang menimbulkan pengelompokan antar pegawai. Menurut CEO Telunjuk Hanindia Narendrata, hal tersebut bisa mempengaruhi kecepatan jalannya perusahaan.

“Di Telunjuk sendiri kami sempat mengalami kendala antar pegawai sehingga kolaborasi di perusahaan terganggu. Hal tersebut terjadi karena saya sebagai CEO kurang terlibat dalam proses adaptasi pegawai baru dan lama,” kata Hanindia.

Ia melanjutkan, menjadi penting bagi startup untuk melakukan proses yang benar saat pegawai baru masuk ke perusahaan. Mulai dari menjelaskan dengan benar kultur perusahaan, memperkenalkan ke semua tim hingga membiasakan antar pegawai melakukan kolaborasi. Dengan demikian konflik atau pengelompokan di antara pegawai bisa diminimalisir.

“Dalam hal ini menjadi tugas kita sebagai CEO dan jajaran C-Level lainnya untuk bisa menciptakan lingkungan kerja yang positif, sarat dengan kolaborasi antar pegawai,” katanya.

Penambahan secara bertahap

Salah satu kunci agar proses perekrutan pegawai bisa berjalan dengan baik adalah melakukan secara bertahap. Jangan samakan kemampuan yang dimiliki dengan perusahaan teknologi besar yang melakukan proses perekrutan secara besar-besaran dan berkelanjutan. Dengan demikian proses adaptasi antara pegawai baru dan lama bisa berjalan lebih baik.

“Di Akseleran sendiri kami biasa melakukan perekrutan secara bertahap, misalnya satu bulan lima pegawai, disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing tim. Dengan demikian pegawai baru bisa lebih mudah melakukan adaptasi. Intinya adalah rekrut pegawai yang memang sesuai dengan kriteria perusahaan itu sendiri,” kata Ivan.

Hal lain yang mulai menjadi norma bagi startup adalah menciptakan peraturan yang fleksibel. Mulai dari fleksibilitas bekerja secara remote, jam masuk kerja yang fleksibel, hingga dress code yang informal. Suasana “work hard play hard” bisa tercipta tanpa meninggalkan semangat kerja dan kinerja pegawai.

Ketika jumlah pegawai makin bertambah, tempatkan satu orang supervisor atau manajemen untuk memonitor dan mengawasi kerja masing-masing tim. Dapatkan informasi terkini tentang kinerja pegawai langsung dari masing-masing supervisornya.

“Intinya adalah prioritaskan proses perekrutan pegawai dengan benar. Kalau bisa semua tim hingga jajaran manajemen terlibat saat proses ini. Karena pada akhirnya proses perekrutan di awal, mempengaruhi jalannya perusahaan di masa mendatang,” kata Hanindia.

Cara Tepat Melancarkan Bisnis yang Sasar Segmen B2B

Dibanding platform B2C, khusus e-commerce, platform B2B cenderung tidak terlalu populer di kalangan masyarakat. Padahal jika sudah memahaminya, banyak pihak bisa mendapat keuntungan karena fokus ke segmen B2B.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, COO Ralali Alexander Lukman menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan consumer behavior hingga framework yang ideal saat melancarkan bisnis yang menyasar segmen korporasi ini.

“Sebagai startup yang secara khusus menyasar segmen B2B, kami ingin memastikan bahwa platform dan teknologi yang kami hadirkan bisa memudahkan bisnis yang baru saja dimulai dan memenuhi kebutuhan bisnis,” kata Alexander.

Know your customer dan fleksibilitas untuk pelanggan

Salah satu kunci penting untuk melancarkan bisnis segmen B2B adalah mengetahui dengan tepat siapa pelanggan Anda, apa kebutuhan mereka, dan informasi penting lainnya. Dengan demikian Anda sebagai platform bisa memberikan layanan secara tepat dan tentunya dibutuhkan pelanggan.

Ketika kebutuhan dan tipe pelanggan sudah diketahui, hal lain yang juga wajib diperhatikan adalah bagaimana penawaran dan produk yang Anda tawarkan bisa menjadi sebuah transaksi. Alexander menyebutkan prosesnya dengan lead generation.

“Untuk pembeli segmen B2C atau C2C biasanya terpancing dengan penawaran hingga promosi secara cepat atau sifatnya biasa disebut dengan impulsive. Berbeda dengan B2B yang biasanya hanya ingin membeli barang saat membutuhkan dan biasanya dalam jumlah yang besar,” kata Alexander.

Selain itu pelanggan bisnis B2B biasanya lebih mengedepankan kepercayaan dan kualitas dari produk yang ditawarkan marketplace B2B seperti Ralali. Jika sudah dirugikan, kecil kemungkinan pelanggan tersebut kembali lagi memanfaatkan platform.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah cara pembelian, pengiriman, hingga pilihan pembayaran. Meskipun tidak terlalu berbeda dengan B2C dan C2C, namun B2B biasanya lebih fleksibel dan menawarkan berbagai pilihan ke pelanggan, mulai dari skala medium hingga besar.

“Salah satunya adalah pilihan pembiayaan pembayaran. Dalam hal ini Ralali menawarkan pilihan tersebut kepada bisnis terutama mereka yang membutuhkan barang dalam jumlah yang besar,” kata Alexander.

Kerangka layanan bisnis B2B

Di akhir sesi presentasi, Alexander juga menyampaikan framework atau kerangka layanan yang sebaiknya diterapkan platform saat menyediakan layanan ke segmen B2B, termasuk Solution, Access, Value, hingga Education. Jika semua framework tersebut bisa dihadirkan oleh platform, besar kemungkinan pelanggan menjadi setia dan terus kembali membeli produk yang ditawarkan.

“Kita menyebutnya “SAVE”. Kerangka ini membantu kami sebagai startup yang menyasar segmen B2B untuk mengembangkan bisnis sekaligus memberikan layanan yang terbaik untuk pelanggan,” tutup Alexander.