Apple Resmi Akuisisi Aplikasi Penebak Judul Lagu, Shazam

Salah satu fitur unggulan Google Pixel 2 adalah Now Playing, yang memanfaatkan kecerdasan Google Assistant untuk mengenali lagu yang sedang diputar di sekitarnya secara otomatis. Fitur ini memang terkesan sepele, tapi mengingat aktivasinya sama sekali tidak membutuhkan koneksi internet dan input dari pengguna, semuanya terdengar jadi sangat menarik.

Entah terinspirasi oleh Google atau tidak, Apple sepertinya sedang berupaya untuk menghadirkan fitur serupa di iPhone. Indikasinya bisa dilihat dari akuisisi mereka atas Shazam baru-baru ini. Shazam, bagi yang tidak tahu, merupakan salah satu aplikasi penebak judul lagu pertama yang pernah ada.

Kabar ini pertama dilaporkan oleh TechCrunch, tapi telah dikonfirmasi langsung oleh perwakilan Apple. Mereka menilai bahwa Shazam bakal menjadi pendamping yang ideal untuk layanan Apple Music, dan mereka sudah siap untuk mengeksekusi sejumlah rencana menarik untuk meleburkan keduanya.

Nilai akuisisinya sendiri tidak disebutkan, tapi Recode melaporkan bahwa nilainya berada di kisaran $400 juta. Angka ini jauh di bawah valuasi Shazam di angka $1 miliar saat terakhir menerima pendanaan dari investor.

Akuisisi ini bisa menjadi jalan bagi Apple untuk menghadirkan fitur macam Now Playing milik Pixel 2 di iPhone / Google
Akuisisi ini bisa menjadi jalan bagi Apple untuk menghadirkan fitur macam Now Playing milik Pixel 2 di iPhone / Google

Shazam sendiri sudah sejak lama menjalin hubungan yang baik dengan Apple. Aplikasi mobile-nya menjalani debut bersama peluncuran App Store untuk iOS pertama kalinya di pertengahan tahun 2008, dan semenjak iOS 8 yang dirilis di tahun 2014, Shazam sudah terintegrasi dengan Siri.

Dengan mengakuisisi Shazam, bisa jadi tujuan Apple adalah memperdalam integrasinya dengan Siri itu tadi, dan pada akhirnya menghadirkan fitur macam Now Playing milik Pixel 2 di iPhone. Di sisi lain, Shazam juga punya teknologi visual image recognition dan platform AR-nya sendiri, dan saya kira Apple tak akan menyia-nyiakan kedua aset tersebut.

Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana nasib Shazam versi Android? Apakah bakal dihapus? Bisa jadi, tapi menurut saya Apple bakal membiarkannya. Alasannya? Apple Music juga tersedia di Android, dan Shazam merupakan salah satu ‘penggerak’ traffic terbesar menuju ke layanan streaming tersebut.

Sumber: CNBC.

Genjot Kinerja Bixby, Samsung Akuisisi Startup AI Bernama Fluenty

Bersamaan dengan Galaxy S8 yang dirilis pada awal tahun ini, Samsung turut memperkenalkan asisten virtual bernama Bixby. Bixby pada dasarnya merupakan pengganti S Voice yang ada pada smartphone sebelum-sebelumnya, sekaligus yang bisa dikatakan sebagai produk gagal.

Samsung punya visi besar untuk Bixby, salah satunya adalah mengintegrasikannya ke lini perangkat smart home. Perjalanan mereka tentu saja masih cukup panjang, apalagi mengingat masih banyak yang berpendapat bahwa Bixby belum sesempurna Google Assistant atau Siri. Namun perlu kita ingat, Google Assistant maupun Siri juga payah di awal-awal debutnya.

Bixby sendiri dibangun di atas sejumlah teknologi yang bukan berasal dari Samsung, melainkan dari akuisisi sejumlah startup. Salah satunya adalah Viv, yang didirikan oleh Dag Kittlaus, yang tidak lain merupakan sosok di balik lahirnya Siri, sebelum akhirnya dipinang oleh Apple.

Fluenty / Fluenty
Fluenty / Fluenty

Samsung tentunya belum mau berhenti. Baru-baru ini, mereka mengakuisisi startup asal Korea Selatan bernama Fluenty. Fluenty yang didirikan oleh beberapa eks-developer Naver dan Daum ini memiliki spesialisasi di bidang percakapan berbasis artificial intelligence (AI).

Teknologi yang mereka kembangkan pada dasarnya memungkinkan AI untuk berkomunikasi secara lebih natural. Mereka memiliki API untuk sejumlah aplikasi pesan instan seperti KakaoTalk, Line, Telegram dan Facebook Messenger, di mana AI dapat menganalisa percakapan dan menyuguhkan rekomendasi balasan yang ideal.

Kemampuan untuk berinteraksi secara lebih alami ini memang merupakan salah satu hal yang dibutuhkan Bixby untuk bisa bersaing, terutama dengan Google Assistant. Entah akuisisi ini bersifat acqui-hire atau tidak, kemungkinan besar tujuannya adalah untuk menyempurnakan kinerja Bixby.

Sumber: ZDNet.

IGN Akuisisi Pedagang Game Bermisi Mulia, Humble Bundle

Humble Bundle dan IGN adalah dua nama yang semestinya sudah tidak asing lagi di telinga para gamer. Yang pertama sudah beberapa tahun menyediakan bundel game menarik dalam harga yang amat sangat terjangkau, sedangkan yang kedua sudah membahas perkembangan video game sejak tahun 1996. Kini keduanya bertemu dan bergabung menjadi satu.

Yup, IGN belum lama ini telah mengakuisisi Humble Bundle. Nilai akuisisinya tidak disebutkan, tapi tim Humble Bundle memastikan bahwa mereka bakal tetap beroperasi secara mandiri, hanya saja dengan bantuan plus sumber daya ekstra dari IGN.

Bergabungnya Humble Bundle dengan sebuah korporasi sekelas IGN sepintas memang memicu rasa kekhawatiran para penggemarnya. Hal ini dikarenakan Humble Bundle sejak awal sudah menjalankan misi yang sangat mulia, yakni menyisihkan beberapa persen dari pendapatannya sebagai dana amal bagi yang membutuhkan.

Pada kenyataannya, selama tujuh tahun Humble Bundle berkiprah, mereka sudah mendermakan total $106 juta. Kendati demikian, cofounder Humble Bundle beserta petinggi IGN menegaskan bahwa IGN tidak tertarik untuk mengubah model bisnis Humble Bundle, berdasarkan penjelasan mereka kepada Gamasutra.

Pendiri Humble Bundle satunya, Jeffrey Rosen, menambahkan melalui sebuah blog post bahwa ada peluang mereka bisa menghasilkan uang lebih banyak lagi untuk disumbangkan. Mereka mengaku memilih IGN karena kesamaan passion dan bagaimana IGN bisa benar-benar memahami visi Humble Bundle.

Dari pihak IGN sendiri, mereka juga memastikan kalau tim editorialnya tidak akan memberikan porsi pemberitaan yang berlebih untuk Humble Bundle. Paling tidak dalam waktu dekat ini, baik konsumen Humble Bundle maupun IGN tak perlu khawatir ada perubahan besar dari keduanya.

Sumber: Gamasutra dan Polygon.

Kioson Resmi Akuisisi Perusahaan Agregator E-Voucher Narindo

Kioson merealisasikan rencana yang diutarakan pada masa penawaran saham perdana, dengan mengakuisisi PT Narindo Solusi Komunikasi (Narindo), perusahaan agregator e-voucher dan layanan digital, senilai Rp35,53 miliar atau setara dengan 78,95% perolehan dana segar yang didapat Kioson dari IPO sebesar Rp45 miliar.

Penandatanganan perjanjian akuisisi ini menandakan bahwa 99% saham Narindo telah resmi dimiliki Kioson. Diyakini hubungan keduanya akan saling melengkapi kekuatan masing-masing.

[Baca juga: Mengapa Kioson dan M Cash Lebih Memilih “Go Public”?]

Narindo akan memperkuat bottom line perseroan yang saat ini masih mencatat rugi. Per April 2017, Per April 2017, penjualan bersih yang diperoleh Kioson sebesar Rp25,96 miliar. Akan tetapi besaran penjualan, belum sepadan dengan beban perusahaan yang masih membengkak Rp32 miliar. Menghasilkan kerugian sebesar Rp4,45 miliar.

Kioson sendiri menargetkan pertumbuhan pendapatan menjadi Rp500 miliar sampai akhir tahun ini dengan pertumbuhan 1.900% dibandingkan tahun sebelumnya. Sekitar 80%-90% dari target pendapatan tersebut akan ditopang oleh kinerja Narindo.

“Akuisisi ini berperan strategis untuk memperkuat infrastruktur kami di daerah melalui aset yang sudah dimiliki Narindo. […] Kami harapkan dapat mengamankan bottom line Kioson,” terang Direktur Utama Kiosnon dalam keterangan resmi.

Kehadiran Narindo juga akan membantu Kioson dengan menambah pasokan layanan produk digital yang lebih beragam, selain penyediaan e-voucher pulsa.

“Kami akan mendorong diversifikasi layanan yang kami sediakan melalui platform digital di Kioson. Semakin variatif layanan yang tersedia, semakin mudah pula masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya,” tambah CEO Narindo Bernard Martian.

Hingga April 2017, Kioson telah menjaring lebih dari 19.000 mitra UKM serta telah melayani lebih dari 2 juta pelanggan yang tersebar di kota lapis kedua. Fitur dan layanan Kioson antara lain loket pembayaran (telepon, listrik, TV kabel, PDAM asuransi, e-commerce, dll), penjualan pulsa, paket data, penjualan produk e-commerce, penjualan produk asuransi dan jasa layanan keuangan.

Kioson juga berkolaborasi dengan perusahaan terkemuka di bidang telekomunikasi, perbankan, keuangan, asuransi dan e-commerce sebagai channel penjualan langsung.

Go-Jek Dikabarkan Terus Lanjutkan Strategi Akuisisi

Pasca akuisisi terhadap startup manajemen dan analisis event Loket, Go-Jek dikabarkan masih terus mencari startup yang bisa “diambil alih”. Berdasarkan informasi dari tiga sumber yang berbeda, disebutkan perusahaan yang dinakhodai Nadiem Makarim ini masih mencari sekitar 4-5 perusahaan lagi yang bakal diakuisisi dalam usaha menguasai sektor on-demand.

Dalam perjalanannya selama dua tahun terakhir, setidaknya Go-Jek telah mengakuisisi 4 startup teknologi dari India (kemudian menjadi basis Go-Jek Engineering India), 1 startup pembayaran (menjadi basis layanan e-money Go-Pay), dan 1 startup event (Loket).

Akuisisi membantu mengakselerasi adopsi Go-Jek terhadap penguasaan teknologi dan kepemilikan pasar. Salah satu yang paling strategis adalah akuisisi terhadap pemilik lisensi e-money yang terbukti memang tidak mudah mendapatkannya.

Tak cuma layanan transportasi

Go-Jek kini tidak bisa dilihat hanya sebagai layanan transportasi. Bisnis Go-Jek kini sudah menggurita ke layanan pengantaran makanan (Go-Food), layanan pembelian tiket kegiatan hiburan (Go-Tix), layanan pembelian barang kebutuhan sehari-hari (Go-Shop dan Go-Mart), layanan pembersihan rumah (Go-Clean), layanan kecantikan dan kesehatan (Go-Glam dan Go-Massage), dan lain-lain.

Jika melihat sejarah akuisisi yang dilakukan Go-Jek, setelah Loket yang memperkuat pengalaman penggunaan Go-Tix, bisa jadi langkah selanjutnya adalah akuisisi terhadap startup yang memperkuat Go-Clean, Go-Mart, atau Go-Med sekalipun. Yang terakhir sudah dipegang perusahaan afiliasi, karena Go-Jek tercatat sebagai investor HaloDoc.

Meskipun demikian, tak tertutup peluang Go-Jek mengakuisisi vertikal lain, bahkan macam perusahaan pengembang game sekalipun, karena salah satu yang ingin dilakukan adalah adopsi penggunaan Go-Pay di berbagai layanan.

Khusus untuk Go-Food, Go-Jek sedang tahap implementasi Go-Resto yang menyederhanakan proses pemesanan makanan. Nantinya setiap mitra restoran memiliki akun Go-Pay, sehingga pembayaran dari konsumen (melalui Go-Pay) bisa langsung masuk ke rekening restoran. Mitra pengemudi tak perlu repot “menalangi” pesanan yang masuk dan benar-benar hanya menjadi sarana logistik yang mengantarkan makanan dari restoran/warung ke konsumen.

Bermimpi IPO

Masuknya dana segar dari sejumlah perusahaan, yang rumornya kencang sudah masuk sebagai investor adalah Tencent dan JD.com, mendorong Go-Jek untuk terus mempercantik valuasi dan cashflow. Go-Jek bisa dibilang kini memiliki cadangan dana yang cukup untuk melakukan scale di dua arah, menambah jangkauan kota sekaligus meningkatkan kualitas diversifikasi layanannya.

IPO menjadi jalan yang dianggap logis karena akuisisi untuk perusahaan sebesar Go-Jek yang bermain di pasar on-demand tidak mudah. Belum lagi sentimen nasionalisme karena dua pesaing Go-Jek berasal dari negara asing. Apa jadinya jika Go-Jek nanti diakuisisi Softbank, Didi, atau bahkan Alibaba?

Meski demikian, seandainya jadi melakukan IPO pun, rencana tersebut tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Disebutkan secepat-cepatnya langkah itu baru terlaksana di tahun 2020 mendatang.

Dua  rencana  go public yang akan diadakan startup teknologi lokal di BEI akhir tahun ini akan menjadi test case bagaimana penerimaan publik terhadap perusahaan teknologi yang selama dikenal mengutamakan pertumbuhan ketimbang cashflow dan revenue.

Application Information Will Show Up Here

Kabar Penjualan Fusion Payments kepada Grab, GO-JEK dan Traveloka

Layanan pembayaran digital asal Australia Fusion Payments dikabarkan sedang dalam proses negosisasi penjualan dengan tiga startup terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara yaitu GO-JEK, Traveloka dan Grab dengan nilai penjualan sebesar $20 juta (atau senilai 266 miliar Rupiah). Kepada e27 pihak GO-JEK mengatakan bahwa berita tersebut tidak benar adanya.

“GO-JEK tidak pernah melakukan komunikasi dan tidak memiliki interaksi dengan layanan pembayaran digital.”

Layanan pembayaran digital Fusion Payments menyediakan pembayaran internet, tv berbayar dan pre-paid mobile dengan menggunakan kartu kredit dan kartu debit. Di Indonesia Fusion Payments dikenal dengan nama BerUang. Selain itu Fusion Payments juga telah digunakan oleh beberapa operator telekomunikasi di Indonesia, di antaranya adalah Indosat Ooredoo dan XL Axiata.

Teknologi tepat untuk pengembangan pembayaran digital

Teknologi yang dihadirkan oleh Fusion Payments yang sepenuhnya menggunakan smartphone  untuk pembayaran, menjadi platform yang tepat untuk GO-JEK mengembangkan layanan GO-PAY dan Grab dengan GrabPay.

Dari pihak Fusion Payments sendiri yang sejak 5 tahun beroperasi di Indonesia, menargetkan pasar Indonesia untuk mengembangkan bisnis, dan rumornya Fusion Payments berniat untuk menjual perusahaan karena kesulitan untuk mendapatkan pendanaan dan tidak mampu menghadapi persaingan yang cukup sengit dengan GO-PAY produk milik GO-JEK yang semakin meningkat pertumbuhannya, begitu juga dengan Grab yang saat ini makin agresif melancarkan layanan pembayaran digital usai mengakuisisi Kudo.

Kudo disebutkan menjadi kendaraan legal untuk memperkuat penetrasi GrabPay di Indonesia. Sebagai sebuah layanan dompet digital, syarat kepemilikan lisensi e-money dari Bank Indonesia tentu menjadi dasar yang wajib diperjuangkan.

Masuknya Traveloka sebagai salah satu “calon pembeli” dari Fusion Payments menjadi kejutan tersendiri, di mana selama ini Traveloka dikenal lebih banyak melancarkan kegiatan pemasaran yang cukup masif.

Sebelumnya Expedia mengumumkan investasinya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dengan mengambil saham minoritas di Traveloka senilai $350 juta (lebih dari 4,6 triliun Rupiah) untuk menyainginya. Selain dari Expedia, dalam setahun terakhir Traveloka secara total sudah mendapatkan dana $500 juta (lebih dari 6,6 triliun Rupiah) dari East Ventures, Hillhouse Capital Group, JD.com, and Sequoia Capital.

Go-Jek Akuisisi Layanan Manajemen dan Analisis Event Loket

Layanan manajemen dan analisis event Loket mengumumkan pihaknya telah diakuisisi Go-Jek dalam jumlah yang tidak disebutkan. Pasca akuisisi, Pendiri dan CEO Loket Edy Sulistyo memastikan perusahaan akan tetap independen dan berjalan seperti biasa. Ini adalah exit kedua Edy dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya di tahun 2013 menjual platform Eevent ke EnvisionPoint.

Akuisisi ini akan memudahkan sinergi antara platform ticketing Go-Jek, Go-Tix, dan layanan manajemen dan analisis yang dikelola Loket. Go-Jek akan menyediakan skema layanan pembayaran melalui Go-Tix dan Loket akan meningkatkan kualitas pengalaman menikmati event secara keseluruhan.

Layanan yang ditawarkan Loket untuk sebuah kegiatan bisa dibilang end-to-end. Loket menyediakan solusi sistem ticketing white label, monitoring akses crew, teknologi gelang RFID, audience profilingsecure ticket, dan secure gate.

CEO Go-Jek Nadiem Makarim dalam pernyataannya menyebutkan, “Kami melihat Loket sebagai perusahaan yang terus berinovasi dan mengutilisasi teknologi untuk memenuhi kebutuhan event dan hiburan. Kolaborasi ini akan mampu menyediakan berbagai macam layanan yang dapat membantu promotor menyelesaikan masalah event, misalnya distribusi tiket, manajemen audience, dan provisi hiburan inovatif. ”

“Pembelian tiket, atmosfer lokasi event, dan bertransaksi di lokasi event seharusnya lebih mudah dan nyaman,” lanjutnya.

Go-Tix sendiri saat ini menawarkan lebih dari 250 kegiatan dan kemitraan dengan 2 jaringan bioskop, CGV dan Cinemaxx.

Edy memastikan akuisisi ini akan memperkuat posisi Loket sebagai pemain terbesar di industri event dan hiburan. Disebutkan Loket hingga saat ini telah mengelola lebih dari 500 event besar dan membagikan lebih dari 1 juta gelang RFID.

Loket tahun lalu memperoleh pendanaan Seri A dari Sovereign’s Capital dan East Ventures.

Raksasa Coworking Space WeWork Masuki Pasar Indonesia dengan Akuisisi Spacemob

Perusahaan terbesar di dunia untuk sektor coworking space, WeWork, membuka jalan memasuki pasar Indonesia dengan mengakuisisi Spacemob, sebuah startup coworking space yang berbasis di Singapura. Spacemob, yang didirikan Turochas ‘T’ Fuad, segera membuka coworking space-nya di Jakarta. Tim Spacemob, yang terdiri atas 20 orang, diserap menjadi WeWork Asia Tenggara dan Fuad menjadi Managing Director-nya. Tidak disebutkan berapa nilai akuisisi ini, tapi disebutkan WeWork bakal menginvestasikan $500 juta (lebih dari 6,6 triliun Rupiah) untuk mengembangkan pasar di Asia Tenggara dan Korea Selatan.

Spacemob menunjukkan keunikannya sebagai perusahaan coworking space karena tidak hanya menjual layanan tempat, mereka juga mengembangkan sistem terkomputerisasi untuk memberikan kemudahan bagi tenant-nya. Perusahaan memiliki teknis lengkap, dari full stack developerfront end engineerdesigner, hingga product manager.

Khusus untuk Fuad, akuisisi ini adalah exit-nya yang kedua dalam 4 tahun terakhir. Di tahun 2013, startup travelnya, Travelmob, diakuisisi oleh HomeAway, yang masih merupakan bagian raksasa travel Expedia.

WeWork saat ini disebutkan bervaluasi $20 miliar (lebih dari 260 triliun Rupiah). Awalnya mereka fokus ke pasar Amerika Serikat dan kini sudah merambah ke Eropa dan Tiongkok. Asia secara natural adalah pasar menarik berikutnya yang dibidik.

Kepada DailySocial, dalam wawancara terdahulu, Fuad mengatakan bahwa Spacemob didirikan berdasarkan pemahamannya tentang kemitraan pengelola hotel dan pemilik properti saat mengelola Travelmob. Dari sana ia melihat peluang untuk membawa model seperti ini ke industri coworking. Spacemob lahir dengan premis bahwa ruang adalah “hal terpenting kedua”. Yang utama adalah dukungan dan ekosistem yang disediakan untuk anggota.

Spacemob sudah memperoleh pendanaan awal senilai 74 miliar Rupiah pada akhir tahun 2016 untuk mengembangkan pasar, termasuk Indonesia, dari sejumlah investor. Salah satu investornya adalah Alpha JWC.

Di Indonesia sendiri, pasar coworking space masih baru mulai dan belum menjadi segmen yang profitable. Kebanyakan coworking space saat ini masih dalam tahapan membangun ekosistem.

Di awal Agustus ini, Grup Salim dan NUS Enterprise membawa coworking space Block71 ke Jakarta. Block71 sebelumnya hadir di Singapura dan San Fransisco.

Meski kebanyakan konsumen coworking space adalah startup dan freelancer, mereka mulai membidik korporasi sebagai konsumen potensial.

“Tujuan kami adalah membantu perusahaan-perusahaan ini pindah ke ruangan baru dalam hitungan minggu atau hari, tidak perlu berinvestasi dalam jumlah besar dan waktu yang lama untuk mengisi kantor. Kami tidak berada di sini sekedar untuk menjual ruangan. Kami di sini untuk membangun komunitas inklusif startup, freelancer, dan perusahaan berukuran menengah dan besar,” ujar Head of Marketing Spacemob Daren Goh dalam wawancara terdahulu.

JD.com is Rumoured to Acquire Tokopedia

Chinese e-commerce giant JD.com is rumored to have acquired majority stake in Tokopedia, according to our trusted sources. This news, if true, will put an end to speculation about the possibility of any Chinese e-commerce company investing in one of the largest local marketplace services in Indonesia. It will ensure Tokopedia’s position as Southeast Asia’s unicorn, following Go-Jek and Traveloka’s earlier announcement. For JD.com, the acquisition of Tokopedia is an important ammunition in competition against its closest competitor, Alibaba.

In the last 3 months, rumors about who invested in Tokopedia became a hot topic in the industry. In early May, it was JD.com who was in talk, but then at the end of July there was a shocking news if Alibaba was interested in injecting funds up to $500 million (over 6.6 trillion Rupiah) for the company founded by William Tanuwijaya and Leontinus Alpha Edison in 2009. Alibaba previously has acquired Lazada, a leading player in the Indonesia’s e-commerce market.

It would be logical if finally JD.com dare to offer hard-to-reject acquisition preposition. In order to compete with Alibaba, JD.com needs support from large market, Indonesia in this case, and Tokopedia is indeed the most ideal player. It would be a big loss for JD.com if its closest competitor controls the # 1 and # 2 players in Indonesia’s e-commerce scene, the third largest market in Asia, after China and India.

Uniquely, Tokopedia’s business that focuses on the marketplace sector is much closer to Alibaba than JD.com.

We still have not received confirmation about this and will update once there is certainty from related parties.

Tokopedia’s last publicly announced funding was in 2014 when it received $100 million funds from Softbank Japan and Sequoia Capital. Meanwhile, JD.com has already operated its own Jakarta-based JD.id since the end of 2015.

Application Information Will Show Up Here

Akuisisi Migme oleh Solaris Power Cells Masih Tunggu Pemenuhan Kewajiban

Di akhir Apri lalu, Solaris Power Cells (selanjutnya disebut Solaris), sebuah perusahaan media digital yang berbasis di Amerika Serikat, telah mengumumkan rencana akuisisi terhadap Migme Ltd, perusahaan media digital yang sempat populer di Indonesia. Akuisisi ini diharapkan selesai di bulan Juni, namun berdasarkan Form 8K Solaris ke SEC, per akhir Juni kemarin proses akuisisi ini belum sepenuhnya ditutup.

Menurut laporan tersebut, penutupan transaksi harus memenuhi butir-butir kesepakatan ini:

1. Migme obtaining shareholder approval in accordance with all applicable requirements of the Australian Securities Exchange, which is Australia’s primary securities exchange for public companies, and on which Migme is listed.
2. Migme and PGI [Project Goth Inc] raising at least One Million Five Hundred Thousand Dollars in exchange for convertible loans (the “Convertible Loans”) on terms acceptable to Migme and the Company, from investors (the “Convertible Loan Financiers”) who will be required to convert all such Convertible Loans into a pro rata amount of the Acquisition Shares.
3. All inter-company debt owed to Migme by its subsidiaries are to be converted into additional shares in those subsidiaries.
4. The Company must be current in its SEC reporting obligations.
5. Additional customary closing conditions.

Migme disebutkan setidaknya belum memenuhi poin (2) dan (4). Meskipun demikian disebutkan dalam laporan tersebut disebutkan Solaris dan Migme berkomitmen dalam transaksi penjualan ini, termasuk memenuhi persyaratan yang diajukan.

Migme menjual bisnisnya ke Solaris setelah mengalami kesulitan pembiayaan, meskipun mengklaim memiliki lebih dari 30 juta pengguna aktif bulanan di platformnya. Kepada Tech in Asia, CEO Migme Steven Goh menyalahkan iklim investasi di Australia yang tidak lagi ramah ke industri teknologi dan kembali ke sektor pertambangan sebagai biang kesulitan ini.

Berdasarkan rilis persnya, disebutkan Solaris mengakuisisi semua properti digital Migme (dan hak IP-nya), termasuk Project Goth Inc yang membawahi layanan dating LoveByte, komunitas manajemen artis alivenotdead, layanan berita sosial Hipwee, dan layanan e-commerce Shopdeca dan Sold.

Goh berharap proposal penjualan layanan ini ke perusahaan Amerika Serikat akan membantu Migme mendapatkan valuasi yang lebih adil dari perusahaan yang benar-benar mengerti teknologi. Tidak disebutkan apakah Goh bakal tetap mempertahankan posisinya sebagai CEO pasca akuisisi.

Solaris sebelumnya mengakuisisi platform publikasi konten digital PixelMags dan berharap rencananya terhadap Migme bakal mendukung kesuksesan perusahaan di masa mendatang.

Application Information Will Show Up Here