Jabra Luncurkan Generasi Penerus dari Duo Earphone Nirkabel Sekaligus Fitness Tracker-nya

September 2014, Jabra resmi menjalani debutnya di ranah fitness tracker dengan Jabra Sport Pulse, kemudian disusul oleh Jabra Sport Coach di tahun berikutnya. Kini perusahaan asal Denmark tersebut sudah siap memperkenalkan penerus dari kedua earphone nirkabel istimewanya tersebut.

Keduanya masih mengusung nama yang sama, tapi dengan imbuhan Special Edition yang mengindikasikan penambahan sejumlah fitur baru. Desainnya telah disempurnakan agar bisa terasa lebih nyaman di telinga pengguna, terutama dengan pilihan eartip besutan Comply yang sudah terbukti kualitasnya.

Keduanya juga masih terasa ringkas dengan bobot hanya 16 gram, serta masih mengusung ketahanan air dengan sertifikasi IP55. Malahan, Jabra kini semakin percaya diri dengan ketangguhan duo Special Edition ini, dimana mereka menawarkan garansi total selama tiga tahun apabila terjadi kerusakan yang diakibatkan oleh keringat.

Akan tetapi perubahan yang paling utama terletak pada kemampuan tracking masing-masing earphone. Selain heart-rate monitor, Sport Pulse Special Edition kini dibekali kemampuan memonitor VO2 max (kadar oksigen yang dikonsumsi selama latihan) secara konstan dan otomatis.

Jabra Sport Coach Special Edition / Jabra
Jabra Sport Coach Special Edition / Jabra

Untuk Sport Coach Special Edition, sensor TrackFit-nya juga telah diperbarui sehingga dapat menghitung aksi repetitif, ideal untuk menemani sesi latihan berat atau sekadar beberapa set push-up. Aplikasi pendamping Jabra Sport Life kemudian akan memberi tahu kapan saat yang tepat untuk mulai berlatih lagi di sela-sela istirahat.

Kedua earphone turut dilengkapi fitur coaching berbasis audio guna memotivasi sekaligus mengarahkan pengguna pada sesi latihan yang efektif dan efisien. Baterainya diperkirakan bisa bertahan selama 5 jam pemakaian.

Jabra Sport Pulse Special Edition dibanderol seharga $160, sedangkan Sport Coach Special Edition seharga $120. Keduanya akan dipasarkan mulai kuartal ketiga tahun ini.

Sumber: PR Newswire.

Sound Bar Yamaha YAS-106 Tawarkan Keseimbangan Antara Kualitas dan Harga

Kecuali budget Anda tak terbatas, mencari sound bar yang tepat bukanlah pekerjaan mudah. Yang murah biasanya tidak dibekali cukup konektivitas serta kurang oke perihal kualitas suara, sedangkan yang berkesan di dua aspek tersebut umumnya dihargai selangit.

Namun penawaran terbaru Yamaha yang satu ini paling tidak bisa menghadirkan keseimbangan pada aspek harga dan kualitas. Yamaha YAS-106 merupakan suksesor dari lini bawah sound bar besutan pabrikan asal Jepang tersebut. Kendati demikian, fitur yang ditawarkan cukup menggiurkan, apalagi jika dibandingkan dengan pendahulunya.

Utamanya adalah input HDMI ARC yang bisa digunakan untuk meneruskan HD audio dan video 4K melalui satu kabel tunggal, entah itu dengan game console ataupun Blu-ray player. Di saat yang sama, jika TV Anda mendukung konektivitas HDMI ARC, satu kabel tersebut juga siap meneruskan audio dari TV ke sound bar.

Yamaha YAS-106 juga bisa di-mount ke tembok / Yamaha
Yamaha YAS-106 juga bisa di-mount ke tembok / Yamaha

Konektivitas Bluetooth juga tidak dilupakan begitu saja sehingga pengguna bisa meneruskan musik dari ponselnya ke sound bar secara nirkabel. Satu-satunya fitur yang tidak tersedia pada YAS-106 adalah dukungan terhadap MusicCast, yang tidak lain merupakan sistem multi-room besutan Yahama sendiri.

Akan tetapi setidaknya kekurangan tersebut masih bisa ditutupi oleh kualitas suara yang mumpuni. YAS-106 diperkaya sepasang subwoofer yang menghadap ke bawah serta sepasang bass reflex port untuk menghasilkan dentuman bass yang cukup menggelegar. Ini cukup langka mengingat sound bar kelas entry biasanya memerlukan subwoofer terpisah untuk bisa melakukannya.

$200 adalah banderol harga yang dipatok Yamaha untuk YAS-106. Harganya sangat menarik untuk sebuah sound bar dengan dukungan audio surround 5.1 atau 7.1 dan konektivitas yang cukup lengkap. Pengguna pun bebas menempatkannya di kabinet TV atau di-mount ke tembok.

Sumber: Digital Trends dan Yamaha.

V-MODA Merger dengan Dedengkot Drum Machine Asal Jepang, Roland

Apa jadinya ketika salah satu pabrikan headphone terpopuler merger dengan produsen instrumen musik elektronik legendaris? Keduanya punya peluang merevolusi industri musik, dan inilah yang tengah dikejar oleh V-MODA dan Roland.

Ya, tepat tanggal 8 Agustus kemarin, produsen headphone premium tersebut secara resmi mengumumkan bahwa mereka akan merger dengan Roland. Roland yang dikenal akan produk-produk seperti drum machine, keyboard dan synthesizer tersebut membeli 70 persen total saham V-MODA.

Kedua perusahaan masih akan beroperasi secara mandiri, dan Val Kolton selaku pendiri V-MODA juga masih akan menjabat sebagai CEO. Kendati demikian, keduanya punya visi besar dalam memadukan spesialisasi masing-masing untuk merevolusi industri musik.

Ketertarikan Roland pada V-MODA sendiri berawal ketika timnya menjajal headphone Crossfade M100, yang ternyata dinilai paling pas untuk mereproduksi suara drum machine bikinan mereka. Setelahnya, kedua pihak saling bertemu dan berdiskusi mengenai perkembangan industri musik dan inovasi apa yang bisa mereka suguhkan dengan berkolaborasi.

Menurut laporan Billboard, V-MODA dan Roland sudah mulai mengerjakan sejumlah produk bersama, mulai dari speaker Bluetooth, headphone sampai perangkat pemutar musik lainnya. Pun demikian, kedua pihak juga berjanji untuk mengungkap inovasinya di bidang produksi musik pada tanggal 9 September mendatang.

Bagi kita para konsumen, merger ini terdengar menarik mengingat kedua perusahaan benar-benar punya pengalaman panjang di bidangnya masing-masing. Kolaborasi mereka sudah bisa dipastikan bakal melahirkan produk-produk yang punya daya tarik tersendiri.

Sumber: Billboard dan V-MODA.

Sony Glass Sound Speaker Menyamar Sebagai Lentera yang Anggun

Bosan dengan desain speaker Bluetooth yang begitu-begitu saja? Sony punya satu yang amat menarik. Dijuluki Glass Sound Speaker, ia merupakan perpaduan antara sebuah lampu meja dan speaker. Dari kejauhan, cahaya yang dipancarkan bohlam LED-nya tampak seperti lentera.

LED tersebut dikemas dalam kaca berbentuk silinder yang terlihat sangat elegan. Tapi jangan salah, bagian kacanya ini bukan sekadar dekorasi semata, melainkan juga berdampak pada kualitas suara dengan adanya tiga pilar yang bertugas membuat kaca bergetar sehingga suara terdengar lebih realistis.

Tepat di bagian bawah lampu LED-nya merupakan sebuah woofer 2 inci yang bertanggung jawab atas produksi suara di frekuensi mid-range. Di ujung paling atas, tertanam passive radiator transparan yang dipercayai sebagai penghasil dentuman bass yang mantap.

Di bawah bohlam LED-nya bernaung sebuah woofer 2 inci / Sony
Di bawah bohlam LED-nya bernaung sebuah woofer 2 inci / Sony

Penampilannya secara keseluruhan memang tidak terlihat seperti speaker sama sekali, apalagi mengingat semua tombol pengoperasiannya disembunyikan di permukaan bawah. Pengguna juga bisa menyambungkan dua speaker menjadi konfigurasi stereo.

Glass Sound Speaker mengandalkan konektivitas Bluetooth LDAC yang diyakini mampu meneruskan data tiga kali lipat lebih banyak ketimbang teknologi Bluetooth standar demi menyuguhkan kualitas suara yang lebih baik. Baterainya bisa bertahan selama 4 jam, tapi pengguna juga bisa memakainya dengan dicolokkan ke stop kontak, plus tersedia jack 3,5 mm untuk perangkat sumber audio yang tidak dilengkapi Bluetooth.

Sony Glass Sound Speaker sejatinya lebih cocok diperlakukan sebagai dekorasi ruangan ketimbang speaker, terutama setelah melihat banderol harganya yang mencapai $800. Namun kalau faktor estetika merupakan prioritas, sepertinya sulit menemukan speaker Bluetooth lain yang seanggun ini.

Sumber: TheNextWeb dan Sony.

Sennheiser PC 373D Manjakan Gamer dengan Surround Sound dan Mikrofon Noise Cancelling

Dalam sebuah permainan tim, komunikasi merupakan salah satu faktor yang perlu diprioritaskan. Itulah mengapa tidak sedikit gamer yang sangat pilih-pilih soal gaming headset, terutama mereka yang kerap terlibat dalam turnamen esport profesional.

Sesi gaming casual saja sebenarnya juga memerlukan komunikasi, khususnya dalam game macam Overwatch yang banyak mengandalkan kerja sama tim. Kalau Anda tengah mengincar gaming headset anyar, Sennheiser punya salah satu kandidatnya.

Spesialis audio asal Jerman tersebut baru saja mengumumkan Sennheiser PC 373D, sebuah gaming headset kelas flagship yang menyimpan sejumlah fitur menarik. Utamanya adalah teknologi Dolby Surround Sound 7.1 dan mikrofon noise cancelling.

PC 373D datang bersama sebuah Surround Doungle sehingga pengguna bisa berganti mode antara surround dan stereo dengan menekan satu tombol saja. Terkait noise cancelling, Sennheiser telah menerapkan algoritma khusus untuk memastikan suara pengguna terdengar jelas tanpa diganggu background noise.

Kombinasi warna hitam dan merah sudah sangat melekat dengan aura gaming / Sennheiser
Kombinasi warna hitam dan merah sudah sangat melekat dengan aura gaming / Sennheiser

Desainnya bersifat open-backed, yang berarti suara yang dihasilkan akan sedikit bocor dan dapat terdengar orang lain di satu ruangan yang sama. Pun begitu, desain open-backed ini juga berarti telinga pengguna bisa tetap adem meski telah menjalani sesi gaming yang cukup lama. Mendukung hal tersebut adalah bantalan ear pad besar berbahan velvet yang lembut dan empuk.

PC 373D turut menyimpan fitur ekstra yang tak kalah menarik, seperti misalnya software pendamping yang menawarkan empat mode equalizer: Off alias netral, Music, Esport dan Game. Di samping itu, mic-nya bisa dilipat ke atas dan input suara pun akan otomatis di-mute.

Sennheiser PC 373D akan dipasarkan seharga $260. Pilihan warnanya cuma satu, yakni hitam dengan aksen merah yang merupakan kombinasi umum di ranah gaming gear.

Sumber: The Verge dan Sennheiser.

BeatBringer Adalah Speaker Bluetooth Perkasa yang Menyamar Sebagai Tas Ransel

Konsep musik di mana saja sudah terwujud sejak lama berkat kontribusi headphone dan earphone, sedangkan konsep musik di mana saja untuk sejumlah orang direalisasikan oleh speaker Bluetooth. Yang belum? Musik di mana saja untuk semua orang.

Pada dasarnya kita membutuhkan speaker berukuran besar untuk bisa menghasilkan dentuman bass yang dahsyat dan terasa menggelegar di dada banyak orang sekaligus. Tapi lalu bagaimana caranya supaya speaker tersebut bisa tetap terasa portable? Sematkan sepasang strap dan perlakukan ia sebagai tas ransel.

Itulah jawaban dari sebuah startup asal Denmark yang mengembangkan BeatBringer, alias “The Speaker Backpack”. Yup, jangan tertipu dengan wujudnya, ia sebenarnya merupakan speaker yang perkasa yang menyamar sebagai sebuah tas ransel.

BeatBringer mengusung sepasang woofer berukuran besar, sepasang dome tweeter dan port Bass Reflex / BeatBringer
BeatBringer mengusung sepasang woofer berukuran besar, sepasang dome tweeter dan port Bass Reflex / BeatBringer

Ukuran BeatBringer jauh dari kata ringkas; bobotnya saja mencapai angka 5,8 kg. Namun hal itu tidak terlalu menjadi masalah mengingat ia bisa dikenakan seperti sebuah tas ransel, dengan bagian belakang berlapis padding supaya punggung pengguna tidak pegal-pegal terbentur komponen speaker yang keras.

Anda tidak bisa menyimpan barang dalam BeatBringer karena ia telah dihuni oleh deretan komponen audio kelas berat. Utamanya adalah sepasang woofer 6 inci yang bertanggung jawab atas sensasi dentuman bass di dada, didukung oleh sepasang port Bass Reflex. Untuk frekuensi tinggi, BeatBringer memercayakannya pada sepasang dome tweeter berukuran 25 mm.

Daya disuplai oleh power amplifier yang terdiri dari 2 x 75 W + 2 x 25 W class D amplifier. Dipadukan semuanya, BeatBringer sanggup menghasilkan output suara dengan volume di atas 110 dB. Semua ini dikemas dalam case ABS polymer yang kokoh, tahan banting dan tahan air.

Panel belakang atas BeatBringer saat sedang dibuka / BeatBringer
Panel belakang atas BeatBringer saat sedang dibuka / BeatBringer

Di satu sisi, BeatBringer masih merupakan speaker Bluetooth. Ia juga dilengkapi NFC untuk memudahkan proses pairing, serta jack 3,5 mm standar jika diperlukan. Panel belakang atasnya bisa dibuka untuk mengakses mode konektivitas, kenop volume, indikator baterai sampai port USB yang bisa dijadikan power bank dadakan untuk ponsel.

Baterainya sendiri bisa bertahan selama sekitar 15 jam pemakaian. Komponen ini disembunyikan di panel belakang bawah, serta mengandalkan koneksi XLR untuk memastikan suplai daya berlangsung stabil dan tidak terpengaruh getaran, terutama ketika dipakai pengguna sambil berlari atau berjoget.

BeatBringer sederhananya tidak lain dari speaker Bluetooth berukuran bongsor yang mudah sekali dibawa-bawa. Kalau Anda tertarik dengan idenya, ia bisa dipesan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga $595.

Sumber: BeatBringer.

Toko Retail Perdana Sonos di New York Seperti Ikea tapi untuk Perangkat Audio

Warga kota New York patut berbahagia. Pasalnya, mulai tanggal 19 Juli besok, mereka bisa berkunjung ke toko retail perdana Sonos yang bertempat di 101 Greene Street. Bagi yang tidak tahu, Sonos merupakan pabrikan perangkat audio yang memelopori sistem multi-room.

Sonos mengambil pendekatan yang unik dalam merancang toko retail pertamanya. Ketimbang memajang deretan produknya di atas meja begitu saja, Sonos ingin konsumen bisa menikmati pengalaman mendengarkan musik seperti di rumah sendiri.

Untuk itu, di dalam toko tersebut berdiri lima ruang kecil dan sepasang lounge dengan gaya desain yang berbeda. Konsep ini bertujuan supaya konsumen bisa bersantai di tiap-tiap ruangan selagi menjajal kebolehan speaker besutan Sonos

Terdapat lima ruangan dan dua lounge dengan gaya desain yang berbeda sehingga konsumen bisa mencoba speaker dalam beragam skenario / Sonos
Terdapat lima ruangan dan dua lounge dengan gaya desain yang berbeda sehingga konsumen bisa mencoba speaker dalam beragam skenario / Sonos

Toko retail Sonos ini sejatinya mengingatkan saya dengan Ikea, dimana konsumen bisa langsung mendapat gambaran terkait penataan furniture di ruangan yang berbeda. Di sini, konsumen bisa mencoba memanjakan telinganya selagi berada di ruang belajar, ruang tamu , dapur atau sekadar duduk-duduk di lounge.

Di tiap ruangannya, terdapat sebuah tablet untuk menavigasikan speaker Sonos. Pun demikian, Sonos ingin memastikan bahwa kesan pertama konsumen mencoba tidak terganggu oleh karyawan yang terlalu cerewet. Lebih lanjut, mereka juga bisa mencoba memutar koleksi musiknya di ponsel dengan membuka aplikasi pendamping Sonos.

Sonos mengklaim setiap sentimeter dari toko retail-nya telah dirancang seoptimal mungkin perihal akustik. Masing-masing ruangan dengan gaya desain yang berbeda tadi didesain kedap suara, bahkan langit-langit toko pun dibentuk sedemikian rupa untuk meningkatkan kualitas akustik secara keseluruhan.

Terdapat sebuah tablet untuk menavigasikan speaker, tapi konsumen juga bisa mengakses lewat aplikasi Sonos di ponselnya / Sonos
Terdapat sebuah tablet untuk menavigasikan speaker, tapi konsumen juga bisa mengakses lewat aplikasi Sonos di ponselnya / Sonos

Di ujung dalam, tampak pemandangan istimewa. Sonos menyebutnya sebagai “Wall of Sound”, dimana tembok disusun dari 297 speaker bekas dan foam akustik. Bagian ini sengaja dibuat supaya terlihat dari jendela luar, dengan harapan bisa menarik perhatian konsumen untuk masuk dan menjajal produk-produk Sonos.

Secara keseluruhan, upaya Sonos ini membuktikan bahwa toko retail masih relevan di era serba online sekarang ini. Membeli barang via online memang jauh lebih praktis, tapi tetap tidak ada yang bisa lebih meyakinkan ketimbang pengalaman mencoba langsung sebuah produk dalam skenario harian.

Sumber: TheNextWeb dan Sonos.

Nativ Disc Sulap Koleksi CD Musik Menjadi Format Lossless dengan Informasi yang Merinci

April kemarin, kita sudah melihat debut sebuah startup asal Hong Kong dalam menyajikan pemutar audio Hi-Res rumahan bernama Nativ Vita. Misi yang hendak mereka capai sebenarnya cukup ambisius, terbukti dari dua perangkat pelengkap yaitu DAC-amplifier dan power supply khusus untuk menyuplai daya listrik yang ‘bersih’.

Kini startup yang beroperasi di bawah nama Nativ Sound tersebut kembali membuktikan komitmennya lewat perangkat baru yang juga dirancang untuk melengkapi Vita. Dijuluki Nativ Disc, perangkat ini pada dasarnya merupakan sebuah CD ripper yang siap mengonversi musik dari CD menjadi format lossless.

Desainnya sengaja dibuat senada dengan Vita, mengingat pengguna bisa menyambungkan Disc langsung ke Vita lewat USB. Proses konversi dipastikan berjalan semudah dan sesederhana mungkin, hanya melibatkan pengguna untuk menyelipkan koleksi CD musik yang mereka miliki ke dalam Disc satu demi satu.

Pengguna bisa memilih format yang diinginkan, apakah FLAC, WAV atau MP3, untuk disimpan ke dalam unit hard disk milik Nativ Disc sebelum akhirnya dioper ke Vita. Selama proses ripping berlangsung, Disc memastikan kopi file dibuat seidentik mungkin dengan sumber CD-nya.

Tidak kalah menarik adalah bagaimana Nativ telah bekerja sama dengan Gracenote. Kemitraan ini memungkinkan Nativ Disc untuk mengenali CD musik yang hendak di-rip, lalu menyajikan informasi album beserta cover art-nya secara otomatis. Tak hanya itu, Gracenote juga akan meracik playlist berdasarkan aktivitas dari deretan CD yang telah di-rip.

Bagi mereka yang telah menjadi backer dari Nativ Vita, Nativ Disc bisa dibilang sebagai perangkat pendukung yang wajib dibeli. Alasannya simpel saja: mereka yang tertarik dengan Nativ Vita pastinya merupakan audiophile, dan seorang audiophile kemungkinan besar memiliki koleksi CD musik yang cukup banyak – yang perlahan dimakan usia di era serba streaming ini.

Sennheiser PXC 550 Wireless Andalkan Noise Cancelling Adaptif dan Baterai Super-Awet

Dahulu hanya ada tiga atribut yang wajib dipertimbangkan dari sebuah headphone: desain, kenyamanan dan kualitas suara. Namun di era headphone Bluetooth, kriterianya bertambah satu, yakni daya tahan baterai. Itulah yang ingin disajikan Sennheiser lewat headphone nirkabel terbarunya, PXC 550 Wireless.

Pertama-tama, mari menilik aspek desain dan kenyamanannya. Dalam merancang PXC 550, Sennheiser mengaku telah melakukan survey terhadap ratusan telinga konsumen guna menghasilkan bentuk earcup dan headband yang stylish sekaligus nyaman dikenakan dalam durasi cukup lama.

Tepat di sisi salah satu earcup-nya, tertanam panel sentuh yang bisa dimanfaatkan untuk mengontrol volume maupun jalannya musik; pengguna hanya perlu mengusap menggunakan jarinya ke atas, bawah, kiri atau kanan guna menavigasikan headphone bertipe over-ear ini.

Earcup milik Sennheiser PXC 550 Wireless bisa ditekuk menjadi lebih ringkas agar mudah dibawa-bawa / Sennheiser
Earcup milik Sennheiser PXC 550 Wireless bisa ditekuk menjadi lebih ringkas agar mudah dibawa-bawa / Sennheiser

Sennheiser juga menyadari bahwa noise cancelling merupakan fitur yang perlahan menjadi standar dalam beberapa tahun terakhir. Untuk itu, mereka menerapkan teknologi noise cancelling adaptif, dimana peredaman suara akan semakin intensif ketika suara di sekitar pengguna semakin berisik.

Hebatnya, meski fitur noise cancelling ini sedang diaktifkan, PXC 550 diyakini sanggup menyala hingga 30 jam nonstop. Dibandingkan dengan Bose QuietComfort 35 yang baru dirilis bulan lalu, headphone tersebut ‘hanya’ bisa beroperasi selama 20 jam saja.

Soal kualitas suara, PXC 550 mengandalkan sepasang driver dengan respon frekuensi 17 – 23.000 Hz, didukung oleh konektivitas Bluetooth 4.2 yang irit daya serta NFC untuk memudahkan proses pairing. Tidak kalah menarik adalah fitur automatic pause, dimana musik akan otomatis dihentikan ketika pengguna melepas headphone dari telinganya.

Dilihat sebagai satu paket, Sennheiser PXC 550 Wireless ditujukan untuk pengguna yang kerap berpergian, terutama berkat fitur noise cancelling adaptif dan baterainya yang awet. Kalau Anda termasuk salah satunya, siapkan dana sebesar $400 untuk meminangnya mulai pertengahan bulan Juli ini.

Sumber: Digital Trends dan Sennheiser.

Bang & Olufsen Luncurkan Earphone Nirkabel Perdananya, Beoplay H5

Kalau Anda mengikuti perkembangan perangkat audio, besar kemungkinan Anda mengenal nama Bang & Olufsen lewat deretan speaker dan headphone premiumnya. Kini pabrikan asal Denmark tersebut kembali membuktikan bahwa elegansi dan nuansa premium sudah ‘mendarah daging’ lewat earphone nirkabel perdananya, Beoplay H5.

Dalam merancang Beoplay H5, B&O ingin memastikan bahwa desainnya tak cuma manis di mata, tetapi juga nyaman dikenakan setiap saat dengan bobot tak lebih dari 18 gram. Wujudnya sedikit berbeda dari earphone nirkabel lain yang umumnya mengadopsi model neckbud, dimana ada unit berisikan baterai dan chip Bluetooth di tengah-tengah kabel yang menempel pada leher belakang pengguna.

Beoplay H5 memiliki desain yang elegan sekaligus fungsional / Bang & Olufsen
Beoplay H5 memiliki desain yang elegan sekaligus fungsional / Bang & Olufsen

Dalam kasus Beoplay H5, baterainya tertanam di masing-masing earpiece – menyuguhkan total daya tahan baterai selama lima jam – demikian pula dengan chip Bluetooth 4.2. Alhasil kedua earpiece-nya hanya disambungkan oleh sebuah kabel braided dengan desain dan bahan yang mirip seperti tali sepatu sneaker. Rancangan seperti ini jelas lebih nyaman ketimbang kabel berbahan karet yang terkadang bisa ‘menyangkut’ di kulit.

Keunggulan Beoplay H5 dari segi desain masih belum berhenti, earphone nirkabel ini juga tahan cipratan air dan debu. Saat sedang tidak digunakan, sisi samping kedua earpiece-nya yang berlapis magnet bisa saling menempel, membentuk sebuah kalung dan secara otomatis masuk dalam posisi standby untuk menghemat baterai.

Beoplay H5 saat menempel pada USB charging cube / Bang & Olufsen
Beoplay H5 saat menempel pada USB charging cube / Bang & Olufsen

Bagaimana dengan kualitas suaranya? Kebesaran nama B&O di dunia audio sudah semestinya menjamin kinerja Beoplay H5, apalagi mengingat masing-masing earpiece-nya ditenagai oleh driver 6,4 mm dengan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz. Saat baterainya habis, pengguna tinggal menempelkan Beoplay H5 ke sebuah USB charging cube yang akan mengisinya hingga penuh selama sekitar dua jam.

Bang & Olufsen saat ini telah memasarkan Beoplay H5 seharga €249, atau sekitar Rp Rp 3,65 juta, cukup mahal untuk ukuran sebuah earphone nirkabel. Terdapat dua pilihan warna, yakni hitam dan pink.

Sumber: The Verge dan Bang & Olufsen.