OJK Batalkan Tanda Terdaftar untuk DANAdidik, EmpatKali, dan 4 Pemain Fintech Lending Lainnya

Menurut data statistik terbaru yang diterbitkan OJK pada 17 Juni 2021, saat ini ada 125 perusahaan fintech lending yang berstatus “terdaftar”. Sebanyak 65 di antaranya sudah mendapatkan status berizin, dengan 5 di antaranya menyajikan usaha pinjaman berjenis syariah. Dibandingkan statistik sebelumnya, ada penambahan 8 pemain yang mendapatkan status berizin dari otoritas.

Selain itu OJK turut mengumumkan bahwa terdapat 6 pembatalan tanda terbukti terdaftar fintech lending. PT Mikro Kapital Indonesia (Mikro Kapital), PT Pasar Dana Teknologi (DANAdidik), PT Teknologi Finansial Asia (PiNBee), dan PT Artha Simo Indonesia (Cankul) dibatalkan karena belum menyampaikan pemenuhan persyaratan perizinan sehingga penyelenggara tidak memenuhi ketentuan Pasal 10 POJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Serta pembatalan tanda terdaftar PT Empat Kali Indonesia (EmpatKali) dan PT Indo Fintek Digital (ModalUsaha.id) dikarenakan ketidakmampuan penyelenggara meneruskan kegiatan operasional.

Menurut Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan, para pemain di atas memang memiliki kinerja yang kurang memuaskan. “Pengembalian tanda daftar tersebut juga tidak dilakukan secara tiba-tiba, melainkan melalui proses yang OJK juga turut melakukan analisis dan penilaian,” ujarnya seperti dikutip Kontan.

Seperti diketahui, sebelumnya regulasi pemain fintech lending memang sebatas harus terdaftar di OJK. Seiring dengan perkembangannya, para platform terdaftar harus meningkatkan statusnya menjadi berizin dengan memenuhi beberapa syarat. Peralihan status itu diberikan tenggat waktu hingga satu untuk semua pemain.

Menurut Bambang apa yang disyaratkan POJK terkait aturan berizin fintech lending dinilai memberatkan. Terbukti dengan banyaknya pemain yang berhasil lolos. Beberapa aspek memang dinilai untuk kelayakan, meliputi model bisnis, sistem elektronik, skoring kredit, kepatuhan, dan aspek mekanisme perlindungan konsumen.

Kami mencoba menghubungi founder dari salah satu startup yang disebutkan di atas, namun mereka masih enggan memberikan respons terkait hal tersebut. Dari pantauan kami beberapa situs juga masih bisa diakses normal setelah pengumuman tersebut. Hanya DANAdidik menginformasikan di situsnya bahwa saat ini operasional mereka terbatas dan sementara tidak dapat menyalurkan pembiayaan baru.

DANAdidik sendiri adalah salah satu fintech lending yang fokus di sektor pendidikan. Untuk bisnisnya, mereka didukung sejumlah pemodal ventura di pendanaan tahap awal, termasuk oleh Garden Impact Investments dan GK-Plug and Play. Tahun 2018 The Vanderes Foundation juga bergabung menjadi lender institusi mereka untuk meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia. Sejak ini mereka telah menyalurkan 781 pinjaman senilai 9,4 miliar Rupiah.

Sementara pemain lainnya EmpatKali merupakan fintech lokal yang diakuisisi Afterpay asal Australia. Konsep layanannya memberikan pembiayaan paylater dengan empat kali cicilan. Kemungkinan konsep ini kurang diterima di kultur Indonesia. Model pembayaran empat kali cicilan efektif di Australia karena sebagian besar di sana gaji diberikan per minggu, sementara di Indonesia per bulan.

Sebelumnya juga diketahui, bahwa OJK sedang menggodok beleid baru untuk menggantikan POJK 77/2016. Akan ada sejumlah penyesuaian, mulai peningkatan persyaratan ekuitas hingga fit & proper test.  Dengan dominasi [ditinjau dari jumlah dana disalurkan] hanya beberapa pemain saja, berbagai pihak menilai bahwa ini menjadi salah satu langkah untuk mendorong konsolidasi antarpemain.

Fintech lending yang menjadi pemimpin pasar saat ini gencar membuka skema lender institusi. Tidak hanya melibatkan perusahaan lokal, mereka juga mendapat dukungan institusi finansial global dengan nilai ratusan miliar hingga triliunan Rupiah. Untuk tahun ini, hingga Juni 2021 sudah ada 4 pemain yang mendapatkan fasilitas debt funding, meliputi:

Perusahaan Institusi Pendukung Nilai Investasi (Debt Funding)
Kredivo Rp1,4 triliun Victory Park Capital
Amartha Rp808 miliar Lendable, Norfund
Alami Rp283 miliar AC Ventures, Golden Gate Ventures, Quona Capital [sebagian berbentuk ekuitas]
Pintek Rp298 miliar Accial Capital

Gambar Header: Depositphotos.com

BRI Ventures to Manage New Venture Fund “Sembrani Nusantara”

BRI Ventures launches a new managed fund named “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. The fund acts as a new vehicle for BRI Ventures to invest in early stage startups and the non-fintech segments, such as education, agro-maritime, retail, transportation, and health.

As a non-CVC fund, Sembrani Nusantara’s concept is similar to the Centauri Fund managed by the MDI Ventures and KB Financial Group in South Korea, despite some fundamental differences.

The name Sembrani Nusantara is to represent a symbol of the future startup philosophy. Sembrani, Batara Wisnu’s horse in the wayang story, is a representation of a unicorn with local wisdom.

In today’s event (6/24), BRI Ventures is said to raise IDR300 billion. BRI, as a General Partner, also plants money into the fund and has received some commitments from institutional investors as Limited Partners.

In terms of managing venture funds, BRI Ventures has obtained OJK approval after submitting it last year. The venture fund is an investment contract scheme between PMV and the custodian bank, made by OJK for the venture capital industry willing to enter the equity participation.

To date, most of local PMVs play in profit-sharing financing, which is not much different from the ones performed by financial companies.

BRI Ventures‘ CEO, Nicko Widjaja explained, Sembrani Nusantara is inspired by the will to prepare a broader investment climate, however, in compliance with rules under OJK’s surveillance radar.

“BRI Ventures intends to build an ecosystem which lately controlled by foreign PMVs and we are yet to prepare. Now is the time for us to start, which is likely to change the ecosystem in ASEAN,” he said.

The issue of high taxation, which behind many local PMVs to run away and flee to neighboring countries, can actually be overcome with some adjustments. He said BRI Ventures reduced management costs and other costs.

“Instead of waiting for the rules to change, why don’t we change the mindset. We have talked to the [BRI] group, we changed the carry profit and management fees, [because] we are aware that we cannot instantly ask the government to change. With Sembrani Nusantara, we are trying to redefine the VC industry in Indonesia. We adjust [two things] to make the industry more competitive. It’s like an early startup with a subsidy.”

Of the total Rp300 billion managed funds, BRI Ventures is to invest in 10-15 non-fintech early-stage startups for the deployment period between the next two to three years.

Widjaja said Sembrani will continue to review its progress, considering this is BRI Ventures’ first time to create funds and managed external funds. Until recently, BRI Ventures always invested in startups as a single LP.

“The challenge in managing venture funds is we have to communicate more for there are various investors and most importantly to perform education which very lacks these days.”

First mover

Sembrani Nusantara is to bring fresh air for the local startup ecosystem which continues to be dominated by foreign investors. The license from OJK can be considered as the first movers because they agree to comply with domestic rules.

For the record, many venture capital players, even with an office in Indonesia, are having legality in Singapore due to tax-friendly. The provision of paid-up capital limits is considered not in accordance with the pattern of VC players which mostly run in tech startups and raise funds from external investors.

In addition, the large income tax (PPh) is still a challenge for local investors to compete with foreign investors. According to PMK No.48 of 2018 regarding the Tax Treatment of Equity Participation of Venture Capital Companies in Micro, Small and Medium Enterprises is considered not friendly to accommodate the capital gain tax rules.

The capital gains tax for PMV reaches 25% of the increase in equity value, while for individual investors 30%. This large number has made foreign investors prefer to channel their capital through PMA, rather than collaboration with local PMVs. Meanwhile, the capital gains tax in Singapore is only 5%.

Most of the local PMVs investing in digital startups and have been registered with the OJK are part of the bank’s subsidiary, such as Central Capital Ventures (CCV), BRI Ventures, and Mandiri Capital Indonesia. The majority of them focus on investing fintech startups to support their parent business in accordance with the regulator’s mandate.

According to OJK’s data as of March 2020, there are 61 PMVs obtained permits, consisting of 57 conventional PMVs and four of which were Sharia-based. As of April 2020, the performance of most PMVs came from profit-sharing financing of 77%, 19% equity participation, and 4.1% convertible bonds. This number changed from last year’s position. Profit-sharing financing portion reaches 99%.

“We are encouraging BRI to become a digital [investing digital startup] PMV. In addition, Sembrani Nusantara is well received by investors, therefore, it can support the PMV industry which is very limited [for investing shares in startups,” the Head of OJK’s 2B IKNB Supervision Department Bambang W. Budiawan explained on the same occasion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures Kelola Dana Ventura Baru “Sembrani Nusantara”

BRI Ventures meluncurkan kelolaan baru bernama “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. Fund tersebut menjadi kendaraan baru bagi BRI Ventures untuk mendanai startup early stage yang bermain di segmen non fintech, seperti pendidikan, agro-maritim, ritel, transportasi, dan kesehatan.

Sebagai dana non CVC, konsep Sembrani Nusantara mirip dengan dana kelolaan Centauri Fund yang diinisiasi MDI Ventures dan KB Financial Group Korea Selatan, meski memiliki beberapa perbedaan mendasar.

Nama Sembrani Nusantara dipilih sebagai simbol filosofi startup di masa mendatang. Sembrani, kuda tunggangan Batara Wisnu di cerita pewayangan, merupakan representasi sebuah unicorn dengan kearifan lokal.

Pada peluncuran hari ini (24/6), BRI Ventures menargetkan dapat menghimpun dana sebesar Rp300 miliar. BRI, sebagai General Partner, turut menaruh dana ke dalam fund tersebut dan telah mendapat sejumlah komitmen dari investor institusi sebagai Limited Partner.

Dalam mengelola dana ventura, BRI Ventures telah mendapat restu OJK setelah pengajuan dimulai dari akhir tahun lalu. Dana ventura merupakan skema kontrak investasi antara PMV itu sendiri dengan bank kustodian, yang dibuat OJK agar industri perusahaan modal ventura lebih berani untuk masuk ke penyertaan saham.

Selama ini PMV lokal mayoritas bermain di pembiayaan bagi hasil yang notabenenya tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan perusahaan pembiayaan.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menjelaskan, latar belakang peluncuran Sembrani Nusantara adalah keinginan untuk menyiapkan iklim investasi yang lebih luas, namun dengan aturan main yang tetap berada dalam radar pengawasan OJK.

“BRI Ventures ingin membangun ekosistem yang selama ini dikuasai PMV asing dan kita kemarin tidak siap. Sekarang saatnya kita mulai yang kemungkinan juga bisa mengubah ekosisem di ASEAN,” ujarnya.

Isu perpajakan yang tinggi, yang selama ini menjadi dalih banyak kebanyakan PMV lokal untuk menghindar dan lari ke negara tetangga, sebenarnya dapat diatasi dengan sejumlah penyesuaian. Dia menerangkan, BRI Ventures menurunkan biaya management dan biaya lainnya.

“Daripada nunggu aturan berubah kenapa kita tidak ubah cara pikir. Kita sudah bicara dengan grup [BRI], kita ubah carry profit dan management fee, [karena] kita sadar enggak bisa minta plek-plek minta pemerintah ubah. Dengan Sembrani Nusantara, kami mencoba meredefinisikan industri VC di Indonesia. [Dua hal itu] Kami sesuaikan untuk membuat industri semakin kompetitif. Mirip seperti startup yang di masal awal memberikan subsidi.”

Dari total dana kelolaan Rp300 miliar, BRI Ventures akan berinvestasi tahap awal untuk 10-15 startup yang bergerak di sektor non fintech untuk masa deployment antara dua sampai tiga tahun mendatang.

Nicko mengatakan, ke depannya Sembrani akan terus ditinjau progress-nya, mengingat ini adalah pertama kalinya BRI Ventures membuat fund dan mengelola dana eksternal. Selama ini, setiap berinvestasi ke startup, BRI Ventures selalu menjadi single LP.

“Tantangannya dalam mengelola dana ventura, kami jadi lebih banyak berkomunikasi karena ada beragam investor dan terpenting melakukan edukasi yang selama ini kurang.”

First mover

Kehadiran Sembrani Nusantara menjadi angin segar untuk ekosistem startup lokal yang terus didominasi pendanaan dari luar negeri. Posisi mereka yang sudah terdaftar di OJK bisa dianggap sebagai first mover karena mereka sepakat untuk tunduk pada aturan di dalam negeri.

Sebagai catatan, banyak pemain modal ventura, meski kantornya ada di Indonesia, tetapi legalitas mereka ada di Singapura karena di sana lebih ramah pajak. Ketentuan batas modal disetor dianggap kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi dan menggalang dana dari investor eksternal.

Di samping itu, pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang besar masih menjadi tantangan untuk investor lokal untuk berkompetisi dengan pemodal asing. Menurut PMK PMK No.48 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura pada Perusahaan Mikro, Kecil, dan Menengah dianggap belum ramah mengakomodir aturan pajak capital gain.

Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Besarnya angka ini membuat investor asing selama ini lebih memilih untuk menyalurkan modalnya melalui PMA, ketimbang kolaborasi dengan PMV lokal. Sementara, pajak capital gain di Singapura hanya 5%.

Adapun mayoritas PMV lokal yang mendanai startup digital dan sudah terdaftar di OJK adalah bagian dari anak usaha bank, yakni Central Capital Ventura (CCV), BRI Ventures, dan Mandiri Capital Indonesia. Ketiganya mayoritas fokus mendanai startup fintech untuk mendukung bisnis induk usahanya sesuai dengan mandate dari regulator.

Menurut data OJK per Maret 2020, tercatat ada 61 PMV yang telah mengantongi izin, terdiri dari 57 PMV konvensional dan empat diantaranya berbentuk Syariah. Per April 2020, kinerja dari mayoritas PMV tersebut berasal dari pembiayaan bagi hasil sebesar 77%, penyertaan saham 19%, dan obligasi konversi 4,1%. Angka ini terjadi perubahan dibandingkan posisi tahun lalu. Porsi pembiayaan bagi hasil mencapai 99%.

“Kami mendorong BRI menjadi PMV yang [membiayai startup] digital. Selain itu, Sembrani Nusantara dapat diterima oleh investor dengan baik, sehingga dapat mendukung industri PMV yang masih sangat limited [untuk penyertaan saham ke startup,” tutup Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan yang hadir di kesempatan tersebut.

Membaca Peluang Traveloka Sebagai Perusahaan Fintech

Dikenal sebagai unicorn di vertikal online travel, Traveloka kini sudah melanglang buana di tujuh negara. Fokus layanannya tidak hanya akomodasi dan transportasi. Bisnis perusahaan kini sudah merambah ke gaya hidup dan finansial.

Sektor yang disebut terakhir bisa dikatakan sebagai payung utama melancarkan seluruh aktivitas transaksi di Traveloka. Traveloka kini menyediakan lebih dari 40 metode pembayaran, baik online maupun offline, termasuk produk jasa keuangan paylater dan produk asuransi.

Kebutuhan melancong, menurut berbagai riset, sudah menjadi bagian hidup kalangan muda. Faktor pendukungnya sangat beragam, termasuk membaiknya infrastruktur jalan dan jaringan internet, dorongan pemerintah daerah dan pusat untuk meningkatkan potensi ekonomi dari pariwisata, dan armada transportasi dan akomodasi yang beragam.

Dengan kata lain, memadukan pariwisata dengan ticket size yang besar dan kebutuhan finansial menjadi kunci yang tepat untuk menyediakan layanan “beli dulu bayar kemudian” ini.

Sejak diresmikan pada Juni 2018 hingga sekarang Traveloka tidak mengungkap pencapaian Traveloka PayLater, baik dari angka penyaluran, nasabah, dan kredit macetnya.

Meskipun demikian, kita bisa mendapat gambaran dari PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas) selaku mitra perdana yang mereka gandeng. Danamas sendiri berada di bawah naungan Grup Sinar Mas dan menjadi startup p2p lending pertama yang mengantongi izin penuh dari OJK sejak 2017.

Dalam wawancara sebelumnya bersama DailySocial, Presiden Direktur Danamas Dani Lihardja mengungkapkan pada tahun pertama, total penyaluran Danamas menembus angka Rp1,4 triliun secara kumulatif. Kontribusi terbesarnya datang dari Traveloka sebesar Rp1 triliun dan sisanya adalah penyaluran komersil ke pedagang pulsa.

Namun, saat ini kontribusi PayLater semakin tergerus di Danamas. Bahkan ia menyebut sudah semakin minim, meski tidak disebutkan angka persisnya. Kondisi ini terjadi karena banyak faktor. Pertama, target pengguna Traveloka PayLater kebanyakan adalah sektor pekerja non formal, tidak sejalan dengan visi misi yang diusung perusahaan yang ingin menyasar segmen informal dan produktif. Alhasil, Danamas tidak bisa perluas nasabah untuk kebutuhan pinjaman yang lebih bersifat produktif.

“Pemakai Traveloka PayLater adalah nasabah yang sudah educated dan di sini tidak jalan unsur informalnya karena kebanyakan mereka adalah white collar. Jadinya ini beda dengan visi misi kita yang mau menaikkan yang unserved jadi served,” ujarnya.

Kedua, mitra sumber dana untuk Traveloka PayLater terus bertambah. Selain Danamas, sekarang ada Caturnusa, BRI, dan BNI. Kendati demikian, Dani tidak akan menyetop kesepakatan kerja samanya dengan Traveloka. “Dari awal memang kita tidak eksklusif, kita bersedia karena ekosistemnya sama dengan kita. Peminjam tidak terima uang, kalau ekosistemnya beda, ya kita tidak mau.”

Proposisi menarik

Sebagai suatu brand, Traveloka PayLater punya eksistensi yang cukup kuat. Pun diversifikasi produk dan fungsi penggunaan dana yang luas, menarik banyak pihak untuk berbondong-bondong buat kerja sama.

Secara fungsi, limit pinjaman Traveloka PayLater kini bisa digunakan untuk membayar seluruh transaksi di dalam aplikasi, juga di gerai offline berkat realisasi kerja sama dengan BRI dalam bentuk kartu fisik. Seluruh kontrol transaksi lewat kartu akan terekam di aplikasi, pun saat membayar tagihan sudah disediakan fiturnya.

Cobranding kartu PayLater antara Traveloka bersama BRI / DailySocial
Cobranding kartu PayLater antara Traveloka bersama BRI / DailySocial

Sebelumnya, pada Oktober 2019, sempat ada wacana bahwa BRI menjajaki potensi untuk berinvestasi ke Traveloka. Hingga berita itu diturunkan, belum ada keputusan yang diumumkan ke publik.

Setelah BRI, bank BUMN lainnya berturut-turut kepincut buat kerja sama dengan Traveloka, khususnya menyasar Traveloka PayLater. Ada BNI sebagai sumber dana baru dan Bank Mandiri untuk co-brand kartu kredit tanpa dibubuhi embel-embel brand PayLater.

Fasilitas yang ditawarkan buat pengguna adalah kesempatan mengumpulkan lebih banyak poin loyalitas dari transaksi di Traveloka, diskon harian, dan penawaran lainnya dari merchant Bank Mandiri. Ini adalah co-brand pertama Traveloka dengan bank untuk merilis kartu kredit.

Traveloka PayLater berpeluang menjadi unicorn

Presiden Traveloka Group Henry Hendrawan, dalam wawancara dengan Reuters pada akhir 2019, menegaskan, “Layanan keuangan secara keseluruhan dimulai dari hampir nol awal tahun lalu dan kami berharap bahwa itu akan menjadi bisnis $1 miliar dengan mudah pada tahun depan.”

DailySocial mencoba mengelaborasi lebih jauh mengenai pernyataan Hendrawan, namun perwakilan Traveloka menolak menjawabnya.

Pernyataan Hendrawan mengindikasikan optimisme yang tinggi di bisnis fintech-nya, bahkan ada kabar berhembus perusahaan menggalang pendanaan khusus untuk lini ini saja. Bukan tidak mungkin, dengan proposisinya yang unik bisa membuat bisnis fintech Traveloka (baca: Caturnusa) ini menyandang status unicorn, menyusul induknya.

Co-Founder dan CEO Traveloka Ferry Unardi / Traveloka
Co-Founder dan CEO Traveloka Ferry Unardi / Traveloka

Lihat bagaimana Ovo kini sudah menjadi unicorn ke-5, bahkan tidak menutup kemungkinan Traveloka bisa menyusulnya.

Mengutip dari Fintech Report 2019, Traveloka menempati posisi keempat sebagai pemain paylater yang paling banyak digunakan responden. Posisi teratas dan secara berurutan ditempati oleh Ovo, Gojek, Shopee. Bila melihat secara awareness, Traveloka menempati posisi ketiga, posisi teratas ditempati oleh Ovo dan Gojek.

Menurut penelusuran DailySocial, di laman syarat dan ketentuan, dijelaskan peminjam dari Traveloka PayLater adalah PT Caturnusa Sejahtera Finance dan Danamas.

Caturnusa adalah rebrand dari perusahaan pembiayaan yang sebelumnya bernama PT Malacca Trust Finance. Mereka dimiliki oleh PT Batavia Prosperindo Finance Tbk sebelum dijual ke PT Hermes Global Ventures PTE, LTD pada September 2018.

Batavia menjual sahamnya sebanyak 25 ribu lembar dijual ke Hermes Global dengan nominal Rp1 juta per lembar saham. Nilai transaksinya mencapai Rp27,75 miliar. Pihak Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indoneesia (APPI) Suwandi Wiratno mengonfirmasi bahwa Hermes Global adalah sister company dari Traveloka.

“Traveloka sudah buka multifinance, namanya Caturnusa, dulu dia beli dari Malacca Trust. Secara tertulisnya PT Hermes Global Ventures, PTE LTD., sister company Traveloka,” ujarnya seperti dikutip dari Bisnis.com, (28/1/2019).

Dengan nama barunya, Caturnusa beroperasi di lokasi area yang sama dengan kantor pusat Traveloka.

Menjadi perusahaan pembiayaan

Caturnusa, dengan dasar bisnisnya sebagai perusahaan pembiayaan, memudahkan gerak Traveloka dalam mencari sumber dana karena harus berasal dari institusi. Bila menggunakan izin sebagai perusahaan lending, ada keterbatasan dalam mencari sumber pinjaman, yakni berasal dari peminjam individu.

Tidak ada informasi yang bisa didapat dari mana saja sumber dana yang dikumpulkan oleh Caturnusa. Itu tidak menyalahi aturan karena tidak ada kewajiban untuk mempublikasikannya, kecuali ia adalah perusahaan terbuka.

Ranah bisnis Caturnusa sebagai pemberi pinjaman untuk produk Traveloka juga tidak menyalahi aturan. Dalam POJK 35 Tahun 2018, OJK menjelaskan perusahaan pembiayaan diberi keleluasaan untuk menambah variasi produk pembiayaan yakni multiguna.

Multiguna adalah jenis pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.

Di dalam pembiayaan ini, OJK mewajibkan bahwa wajib dilakukan dengan cara sewa pembiayaan, pembelian dengan pembayaran secara angsuran, fasilitas dana, dan/atau pembiayaan lain setelah terlebih dahulu disetujui OJK.

Selain multiguna, pada umumnya perusahaan pembiayaan juga punya ranah produk lainnya yakni modal kerja, investasi, dan kegiatan pembiayaan lain berdasarkan persetujuan OJK.

Sumber dana yang bisa dimanfaatkan perusahaan pembiayaan, tidak hanya dari bank saja. Ada opsi lain yang bisa dimanfaatkan, seperti channeling, joint financing, mengeluarkan surat hutang dari MTN (medium term notes), obligasi, sindikasi on/offshore, hingga IPO.

Karena Traveloka PayLater sudah punya model bisnis, Caturnusa tidak perlu repot mencari model bisnis yang biasa perusahaan pembiayaan konvensional lakukan. Semuanya proses bisnis dilakukan secara online. Lain ceritanya, bila ada perubahan strategi bisnis untuk diversifikasi produk.

Bermain di ranah online seharusnya bukan ladang baru buat perusahaan pembiayaan. Akulaku bisa menjadi contoh terdekat dalam menggambarkan potensi perusahaan pembiayaan yang membawa pendekatan digital di dalam proses bisnisnya.

Perusahaan ini mengantongi tiga lisensi, yaitu p2p lending (Asetku), e-commerce (Akulaku Silvrr dan Akugrosir), dan pembiayaan (Akulaku Finance). Bahkan, Akulaku juga telah menjadi salah satu pemegang saham di Bank Yudha Bhakti.

Di sini terlihat, Akulaku melakukan diversifikasi akses pendanaannya untuk disalurkan kembali melalui rangkaian produk pinjamannya. Tidak hanya pinjaman berbasis konsumer, Akulaku mengungkapkan kini menerima pinjaman untuk cicilan mobil dan modal kerja yang lebih bersifat produktif.

Secara industri, OJK melihat pemain petahana sudah mulai mengimplementasikan secara perlahan. Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan melihat dari 57 perusahaan yang terdaftar, mulai menandakan progres positif yang mulai mengarah ke digital. Mengingat, transformasi digital butuh biaya dan standar minimum.

“Bertahap [perkembangannya]. Kalau modal besar ya tidak masalah, kalau yang pas-pasan akan bertahap karena ini perlu biaya dan [memenuhi] standar minimum,” terang Bambang kepada DailySocial.

Menurutnya, antara fintech lending dan pembiayaan punya perbedaan segmen konsumen, meskipun ada beberapa produk yang saling beririsan. Memiliki perusahaan pembiayaan bukan hal mudah karena ada banyak persyaratan yang harus dipatuhi, termasuk harus mampu menjaga gearing ratio, yakni rasio antara jumlah pinjaman dibandingkan modal sendiri. Perusahaan juga harus punya modal besar dengan ekuitas minimal Rp100 miliar.

Application Information Will Show Up Here