Bank Neo Commerce: Babak Dua Transformasi Merekatkan “User Stickiness” 18 Juta Nasabah

Di tahun pertamanya beroperasi sebagai bank digital, PT Bank Neo Commerce Tbk (IDX: BBYB) telah mencatatkan milestone yang signifikan. Hingga semester I 2022, aplikasi BNC telah diunduh sebanyak 26 juta kali, nasabahnya menembus 18,5 juta dengan Monthly Active User (MAU) sekitar 3 juta.

Pencapaian ini tak lepas–salah satunya–dari strategi gamification di dalam aplikasi untuk memberikan daya tarik dan engagement lebih terhadap konsep ber-digital banking di Indonesia.

Jika tahun lalu Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan bicara top of mind, kali ini ia mengungkap sejumlah poin penting terkait upaya memperkuat fundamental bisnis, pengembangan fitur dan produk secara seamless, dan strateginya meningkatkan user stickiness.

Ceritakan kilas balik transformasi BNC dalam dua tahun terakhir?

Jawab: Pertama kali bergabung pada Maret 2020, saya dihadapkan pada tantangan combo. Covid-19 datang ke Indonesia. Memang pandemi mendorong akselerasi digital. Namun, di awal pandemi, banyak orang menarik dana dari bank kecil karena ingin mencari aman saat krisis terjadi. Sementara, saat itu Bank Yudha Bhakti (BYB) masih bank BUKU I. Kami sempat keliyengan karena likuiditas terbatas.

Namun, tanpa itu, sebetulnya tantangan saya sudah cukup berat. Founder Akulaku William Li meminta saya untuk mentransformasikan Bank Yudha Bhakti (BYB) menjadi bank digital terbesar di Asia dalam tiga tahun. Saat baru berpikir strateginya, datang lagi tantangan kedua, yakni OJK terbitkan aturan terkait modal inti minimum.

Apa yang kami lakukan dalam dua tahun terakhir? Kami fokus pada rencana, kami eksekusi dan deliver. Bagi saya, ideas is important, but what much more important is the execution. Saya turun ke lapangan, terlibat dalam detail, dan make sure eksekusi terjadi. Bagi neobanker (karyawan BNC), they haven’t seen what I see. Sebagai leader, saya harus bawa mereka menuju visi kami.

BYB sebelumnya adalah bank pensiunan. Transformasi kami bukan sekadar lompat, tapi quantum leap. Banyak step, tapi harus cepat. Jadi, mindset penting untuk deliver ke pasar. Perlu juga satu hal yang mengikat agar visi bisa berjalan, yakni culture. Kami ubah culture dari sebelumnnya gaya kerja BYB yang birokratif dan manual. Kami tanamkan nilai-nilai pada Neo Culture.

Selain itu, bagaimana mencari talent tepat di posisi tepat. Terkadang saya menemukan talent bagus, tapi belum ada posisinya. Kami masukkan, buat posisinya, karena ini untuk masa depan.

BNC mencatat milestone signifikan dalam dua tahun. Bagi bank, apakah pencapaian ini terlalu cepat?

J: Tergantung, apakah bank sudah mempersiapkan diri atau belum? Umpamanya begini, ada dua orang bertani di tempat yang jarang turun hujan. Keduanya sama-sama berdoa meminta hujan. Bedanya, petani A menyiapkan tanah, petani B tidak. Di saat hujan turun, siapa yang lebih siap? Nah, kami tidak hanya berharap, kami mempersiapkan diri sejak 2020. Pertumbuhan cepat akan berbahaya apabila tidak dibarengi dengan persiapan selanjutnya.

Tahun lalu, saya pimpin leaders meeting. Saya sampaikan saat itu, “we’ve been blessed with more than 14 million users. Sepertinya mindset kita harus balik ke titik zero. Don’t celebrate victory too early. It’s not there yet!“. Di 2022, we need something new. What are we gonna do? Saya dorong untuk switch ke mindset awal, seolah-olah kami belum punya pengguna. Work hard lagi, jadi tidak terlena. 18 juta pengguna BNC saat ini menjadi fuel kami.

Saya pikir 75% dari visi-misi kami sudah tereksekusi. Tidak terelakkan pasti ada evaluasi, tapi kami perbaiki terus. Nah, 25% ini mencakup apa saja? Saya sempat mendapat pertanyaan dari analis di perusahaan sekuritas terkemuka. Kapan BNC bisa untung? Saya tanya balik, apakah bank bertransformasi [hanya] mengejar profitabilitas?

Misi suci kami adalah menjangkau unbanked dan underserved. That’s why we become digital. Terbukti selama puluhan tahun di sektor bricks and mortar, bank yang mengandalkan kantor cabang tidak berhasil menjangkau unbanked dan underserved. Statistik berbicara. Indonesia negara kepulauan sehingga menggunakan gaya konvensional tidak efektif. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah smendorong pengembangan infrastruktur teknologi.

Kami bukan simply menjadi bank profitable saja. Kalau hanya kejar itu, kami tidak perlu bertransformasi. Lihat laporan keuangan di 2020, kami sudah profit. Mengejar profitabilitas tentu, tapi itu bukan nomor satu.

Apa hipotesis utama BNC mengadopsi model gamified banking?

J: Kami lakukan analisis, sebanyak 86% dari total pengguna kami adalah kaum milenial. Apa yang menarik bagi mereka? Mereka suka something fun, not boring. Dari sini, kami coba coba masuk dengan model gamification. Kalau kami jelaskan produk deposito dengan bunga 8%, respons mereka mungkin sebatas tertarik saja. Tapi ya sudah berhenti sampai di situ.

Kami pakai gamification untuk memperkenalkan produk-produk kami. Kami arahkan mereka menjajal fitur dengan melakukan sejumlah task. Misalnya, undang teman dapat koin. Jadi, lebih fun tanpa harus menggurui mereka. Alhasil, produk kami mulai dikenal, jumlah pengguna kami tumbuh, layanan deposito maupun saving naik. Kami juga create Neo World dan Neo Business di mana pengguna BNC bisa saling berinteraksi dan mempromosikan bisnis mereka. Kami coba connecting people.

Mengenai benchmark, kami terinspirasi dengan model gamification [bank] di Tiongkok. Banyak pengalaman atau user experience yang kami adopsi dan kemas sesuai dengan kultur Indonesia. Misal, Neo Angpau yang dikemas agar cocok dengan nuansa Lebaran.

Apa strategi Anda selanjutnya dengan milestone ini?

J: Seiring dengan bertumbuhnya pasar, bank digital atau bank yang punya digital arm dan digital channel akan menjadi pilihan. Kami memilih fokus pada milestone karena kami harus memberikan sesuatu yang fundamental, kembali pada basis pengguna kami.

Sejauh ini kami sudah meluncurkan produk Neo Loan, Neo Emas, dan Remittance. Untuk menghadirkan layanan remitansi, bank harus menjadi bank devisa. Kami pikir bagaimana close gap mengingat persyaratan menjadi bank devisa butuh waktu paling tidak 1,5 tahun-2 tahun. Kami pun bekerja sama dengan DigiAsia.

Kemudian, kami sedang menyiapkan fitur cash withdrawal tanpa kartu atau cardless. Kalau pakai kartu, kurang pas dengan spirit digitalisasi. Pengguna bisa tarik tunai di convenience store, seperti Indomaret atau Alfamart, dan ATM. Kami coba menyederhanakan caranya sehingga pengguna bisa tarik uang di mana dan kapan saja. Sekarang masih tahap pengembangan dan menunggu approval.

Kami akan terus menciptakan seamless experience. BNC termasuk bank digital yang sudah sepenuhnya e-KYC dan menggunakan biometric. Pembukaan rekening kami tidak pakai video call. Kami juga akan perluas kolaborasi menjadi open ecosystem. Mungkin ada bank digital yang hanya fokus pada ekosistem yang dimiliki grup. Kami terbuka dengan ekosistem lain. Kami percaya bahwa kunci digitalisasi untuk maju adalah kolaborasi, bukan berkompetisi.

Bagaimana Anda meningkatkan user stickiness pengguna dan MAU?

J: Kami memetakan user kami ke dalam empat kluster antara lain (1) kluster pengguna yang hobi mengumpulkan koin referral, (2) kluster pengguna produk tabungan dan deposito, (3) kluster pengguna transaksional, suka top up dan lakukan pembayaran, (4) kluster pengguna lending, dan (5) kluster investasi.

Demi meningkatkan user stickiness, kami meyakini kluster 3, 4, dan 5 akan menjadi motor penggerak BNC. Untuk kluster 3, kami sedang menyiapkan fitur QRIS yang akan meluncur sebentar lagi. Kluster ini akan menaikkan utilisasi pengguna sehingga semakin engage dengan aplikasi BNC. Pada kluster 4, kami akan menambah opsi investasi lain, seperti reksa dana, yang ditarget meluncur pada kuartal III 2022.

Saat ini, Neo Loan baru untuk segmen retail. Namun, kami berencana masuk ke UMKM juga. Di luar Neo Loan, kami sebetulnya sudah masuk ke UMKM lewat skema channeling dan approach langsung. Ini alasan kami menampilkan Neo Business untuk menghubungkan pengguna dengan pelaku usaha. Ekosistem kami masih clean, kami punya data untuk approach user yang tepat.

Sebetulnya teknologi kami sudah siap, tapi harus tunggu approval OJK untuk beberapa produk. Dengan strategi ini, kami targetkan jumlah pengguna BNC dapat mencapai 28-30 juta tahun ini.

Ada rencana penambahan modal tahun ini?

J: Saya harus luruskan terkait pemberitaan di media yang menyebut kami mencari investor baru. Lebih tepatnya, banyak investor approach yang tertarik dengan performance kami, baik investor dalam maupun luar negeri. Namun, ini masih undisclosed.

Begini, Indonesia merupakan pangsa pasar menarik dengan pertumbuhan digital paling pesat di Asia Tenggara. Ketika pandemi, tanpa sadar [perilaku] kita menjadi lebih digital. Ini yang membuat investor tertarik. Makanya jangan kaget apabila ada yang beli bank atau berinvestasi di bank.

Saya percaya dengan fundamental. Berinvestasi untuk jangka panjang apabila percaya dengan fundamental bisnis. Ini yang saya tawarkan ke investor. Kami showcase kinerja kami. Per Desember 2021, kami sudah salurkan kredit Rp4 triliun dan Net Interest Margin (NIM) mencapai 5,15%. Di semester I 2022, penyaluran pinjaman naik menjadi Rp7 triliun dan NIM mencapai 10,16%.

Memang kinerja kuartal I kurang bagus. Kami rugi Rp416 miliar. Biar adil saja, rugi kami turun 54% menjadi Rp194 miliar di kuartal II. Pendapatan kami naik, expense turun. Namun, kami harap bisa profitable dari month by month.

Akulaku sebagai controlling shareholder betul-betul work hand-in-hand dengan kami agar BNC menjadi bank terdepan di Indonesia dan diperhitungkan di Asia. Belum lama ini Akulaku juga menjadi unicorn dan ini membuka jalan kami lebih lebar.

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.

Cengkram Akulaku Membawa Bank Yudha Bhakti Menuju Bank Digital

Bank Yudha Bhakti (BBYB) sudah ada di depan mata untuk bertransformasi menjadi bank digital. Perubahan identitas menjadi Bank Neo Commerce adalah salah satu strateginya.

Kepada DailySocial, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan mengatakan, dalam transformasi ini perseroan mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital. Tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi dan ditransformasi menjadi spot menarik untuk menarik nasabah merasakan pengalaman perbankan digital seperti apa dan bagaimana.

Dalam mempersiapkan keseluruhan itu, dia menuturkan internal menyiapkan tim profesional yang solid dan terbuka untuk merekrut lebih banyak talenta baru di berbagai keahlian di bidang teknologi. Dibantu juga lewat kerja sama dengan dua perusahaan teknologi tersohor asal Tiongkok, yakni Huawei dan Sunline.

“Kami percaya dengan kerja sama ini, BBYB dapat lebih berinovasi dalam menciptakan produk-produk digital terutama dengan penyediaan infrastruktur serta integrasi sistem yang lengkap. Sehingga ke depannya dapat memberikan dukungan yang baik bagi perkembangan digital BBYB, serta dapat menjamin pertumbuhan di masa mendatang,” kata Tjandra.

Dia mengaku, proses transformasi ini bukan perkara mudah apalagi buat bank yang sudah berusia 30 tahun dan melayani segmen pensiunan TNI. Meski digitalisasi sebenarnya adalah hal yang positif, tapi dalam perubahan selalu menjadi tantangan tersendiri.

“Kami menyikapi dengan pikiran terbuka dan dengan suatu perencanaan yang matang. Gap demografi, golongan, dan generasi adalah yang terpenting yang harus dijembatani. Oleh karenanya kami terus mengadakan sosialisasi, komunikasi, dan evaluasi secara berkesinambungan.”

Sedari awal, sambungnya, visi awal perseroan adalah menjadi bank ritel yang solid, tumbuh, dan berkembang secara berkelanjutan. Adapun misinya adalah mengkreasi suatu nilai yang optimal bagi pemegang saham dan stakeholder pada umumnya.

“Visi dan misi ini masih sejalan dengan rencana BBYB menjadi bank digital, yaitu pengembangan teknologi yang berkesinambungan dan berkelanjutan dalam meningkatkan produk-produk ritel yang ada serta meningkatkan acquisition user yang lebih luas.”

Butuh permodalan kuat

Bermain di bisnis digital, tentunya membutuhkan kapital yang tidak sedikit. Akulaku memainkan peran di dalam tubuh perseroan untuk menginjeksinya agar visi dan misi terwujud.

BBYB sudah naik kelas menjadi bank BUKU II (modal inti Rp1 triliun-Rp5 triliun) setelah melakukan rights issue atau Penarawan Umum Terbatas III (PUT) dengan raihan dana sebesar Rp150 miliar pada Juli 2020. Penambahan modal ini melenggangkan rencana ekspansi bisnis yang berkaitan dengan teknologi digital.

Per Juni kemarin modal inti BBYB masih berada di angka Rp936,43 miliar. Secara berangsur-angsur modal inti BBYB terus menanjak naik dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp702,75 miliar.

Setiap pergelaran rights issue dilakukan, selalu diikuti oleh Akulaku sebagai pembeli siaga untuk meningkatkan kepemilikan sahamnya. Akulaku pertama kali menggenggam saham BBYB pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% yang dibeli dari pemegang saham pengendali pada saat itu PT Gozco Capital.

Adapun per Juli 2020, struktur kepemilikan saham di BBYB terdiri atas PT Akulaku Silvrr Indonesia (24,98%), PT Gozco Capital (20,13%), PT Asabri (Persero) (18,62%), Yellow Brick Enterprise Ltd (11,10%), dan publik (25,17%).

Mengutip dari keterbukaan informasi BEI, perseroan kembali menggelar rights issue PUT IV pada September mendatang. Perseroan akan menjual 5 miliar saham baru seharga Rp100 per lembarnya, dana segar yang ditargetkan dari putaran ini sebesar Rp500 miliar.

Tjandra menyebut Akulaku akan kembali masuk sebagai pembeli siaga di sini dan segera menjadi pemegang saham mayoritas. “Rencananya begitu. Memang mereka sangat serius sekali bekerja sama dengan kami membangun BNC (Bank Neo Commerce) untuk jadi The Best Digital Bank in Indonesia. We may not be the 1st Digital Bank in Indonesia, but we are aiming to be the best.”

Pengaruh Akulaku dan pengembangan produk berikutnya

Gelombang bank digital tidak hanya disasar oleh BBYB saja, tapi juga perbankan lainnya dalam waktu yang bersamaan. Tjandra mengaku, perseroan memiliki proposisi yang berbeda dibandingkan yang lainnya, terutama didukung oleh kehadiran salah satu pemegang saham utamanya yakni Akulaku yang bergabung ke dalam ekosistemnya.

Perseroan bersama Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar, selama ini hanya fokus pada pensiunan dan pegawai saja, akan merambah pada pembiayaan mikro dan ritel. Oleh karenanya, saat ini perseroan sedang dalam persiapan untuk mengoptimalkan pengembangan teknologi dan digitalisasi Loan Origination System dan Online Financing terkait proses pemberian persetujuan dan penyaluran kredit.

“BBYB juga sedang mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API, maka itu menjadi salah satu competitive advantages kami. Dan tentu, ke depannya proses transaksi dan identifikasi konsumer kami akan jauh lebih seamless dan transaction cost bagi para konsumer akan sangat minim.”

Tak lupa, aplikasi mobile banking juga tengah dipersiapkan. Menurut Tjandra, kehadiran aplikasi ini nantinya akan membuka pintu lebar-lebar sinergi lebih jauh antara perseroan dengan pemegang sahamnya tersebut.

“Di mana system cross selling antar platform ataupun aplikasi yang dimiliki masing-masing juga akan lebih terintegrasi. Hal tersebut sekaligus menjadi pintu masuk untuk kerja sama BBYB dengan perusahaan-perusahaan sejenis lainnya, sehingga ekosistem kami akan semakin luas.”

Agenda lainnya bersama Akulaku adalah sedang berlangsungnya uji coba sistem untuk produk-produk keuangan BBYB yang nantinya bisa diakses melalui platform Akulaku dalam waktu dekat.

Baik aplikasi maupun open banking API ini rencananya akan dirilis pada kuartal keempat tahun ini. “Tentunya akan ada beberapa fase dalam implementasinya, tapi diharapkan semuanya akan rampung pada kuartal I tahun depan,” tandasnya.

Adapun saat ini, berdasarkan kinerja perseroan per Juli 2020, disebutkan BBYB memiliki produk kredit, antara lain kredit komersial, konsumer, dan UKM. Tidak seluruh kredit konsumer disalurkan ke Akulaku, melainkan dalam bentuk channeling melalui PT Akulaku Finance Indonesia. Kredit channeling ini memperkuat kinerja kredit BBYB. Per Juli mencapai Rp53,67 miliar dengan NPL 0,47%.

Welcoming the Digital Bank in Indonesia

Banking, the oldest financial industry in the world, is now demanded to transform towards digital, both in service to consumers and in its operations. While on the external side they are also required to work closely with fintech startups so as not to be increasingly eroded by technological trends.

Many recognize, by utilizing digital technology can provide efficiency, because it does not merely rely on the quantity of physical and non-physical assets. So most of the solutions offered are disruptive, disrupting old habits.

Banks cannot rely on cooperation with third parties forever so that business does not erode. They are demanded to be more efficient by fully adopting digital, finally a newer banking model is known as digital bank (or virtual bank).

According to IBM, digital banks are different from other forms of digital banking because they are only online, do not have branch offices in a country. Consumer expectations from here are savings on bank facilities and staff which ultimately translates into higher interest rates for savings and lower interest rates for loans.

The most noticed difference is the emotional connection when visiting the branch office to interact, rent a safe, ask for bankers’ advice and so on.

Digital bank in Indonesia: Awaiting for legal umbrella

Indonesia is yet to have a legal umbrella related to the digital bank. The discourse has been spoken yet the formal framework is yet to be drafted. Currently, the most active digital banks are still under the name of conventional banks, such as BTPN Jenius (2016) and DBS Digibank (2017).

jenius 2019

Legal regulation regarding digital bank is accommodated by POJK Number 12 of 2018. As stated, the definition of digital banking services is a service developed by optimizing the utilization of customer data in order to serve customers faster, easier and in accordance with demands; and to be run independently by the customer, by taking into account the security aspects.

OJK also mentioned that providers are limited to banks that were at least categorized as commercial banks (BUKU) II or core capital ownership between IDR1 trillion to IDR5 trillion. Regulations regarding virtual banks or banks without physical presence have not been accommodated in the POJK.

dbsbank

The limitation aims for the regulator wants to ensure that all fundamentals carried out are in the guidelines of banking regulations. Entering the BUKU II category can influence the scope of business activities of the bank itself, the most influential is that they can start the payment system and e-banking activities without having to be limited if they are still in BUKU I category.

In terms of the services provided, either Jenius or Digibank have not really targeted the unbanked. The map of its distribution is strategically not directly mass but slowly entering big cities. For example, Jenius by the end of 2019, opened booths in Malang, Medan, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, and of course Jakarta in its pilot project.

However, this is no longer an issue because Jenius is now facilitated with video call KYC, therefore, one can create an account without having to visit the booth. It’s an innovative feature, but it does not enough.

There must be an impact on unbanked society. It’s different from the current situation, fintech lending or payment expansion intends to make fast customer acquisition because there’s business “pie” where the banking industry has yet to cover.

Although the legal umbrella is yet to be drafted, based on the issued regulation, the digital bank map is getting crowded. Marked by the entrance of conglomerates, big-name investors, and startups are acquiring small banks since last year.

Salim Group took Bank Ina Perdana, Jerry Ng (senior banker) and Patrick Walujo (Northstar Group) towards Artos Bank, BCA to Bank Royal and Rabobank (to be merged into one of BCA’s subsidiaries), Akulaku to Bank Yudha Bhakti.

All actions above are yet to come to its peak, except Akulaku and Bank Yudha Bhakti. However, the preparations have begun. BCA, for example, has targeted Bank Royal to start a pilot project in the second half of this year and is ready to add Rp3 trillion capital to boost up its movements.

Meanwhile, Bank Artos has been occupied by BTPN’s former employees, effective as per November 15, 2019. They are Jerry Ng (President Commissioner), Anika Faisal (Board of Commissioners), Kharim Indra Gupta Siregar (President Director), Arief Harris Tandjung (Deputy Directors Main) and Peterjan van Nieuwenhuizen (Directors). This succession marks great hope to repeat the success of Jenius under the same leadership.

The close relationship between Patrick Walujo and Gojek has started a rumor of Bank Artos to become GoBank (Gojek’s banking). He said the rumor was not true. In a panel discussion forum, he mentioned there was a discussion to make use of the Gojek ecosystem with the employment of Bank Artos with expertise in banking.

However, it turned out the concept of Bank Artos did not exclusively involved as Gojek bank. Although, banks are specifically directed to become digital banks. “Because we see a demand that market alone cannot fulfill, in terms of the digital bank,” Patrick said while being a speaker at a conference in late January 2020.

Before investing in Bank Artos, Patrick had previously invested in BTPN in 2008, through TPG Nusantara, a joint venture with Trans Pacific Group. He bought 71% of  BTPN’s shares for $195 million (around Rp1.8 trillion then). The shares were released gradually until 2015, they secured Rp5.3 trillion by releasing 17.5% shares.

“I invite Jerry Ng to join and work on BTPN’s business. The bank entered the mass market, those small traders in traditional markets whose markets are large and well-developed, until the state-owned banks entered,” Patrick added.

When Bank Royal, Bank Artos, and Bank Yudha Bhakti have started, they’re expected to offer more variant products and facilitate the unbanked population.

According to the latest report of e-Conomy SEA 2019 by Google, Temasek and Bain & Company, there is 51% Indonesian population in the unbanked class, 26% underbanked, and 23% banked.

“There are lots of business players in need of funding, yet have difficulty in getting a loan from the bank due to collateral issues. The demand is quite potential for digital bank services,” Walujo said.

Hong Kong might be the best example, with eight digital banks actively run since the license has been issued in 2019. ZA Bank offers interest for a time deposit at a maximum of 6.8% for three months tenor for savings of 100 thousand Hong Kong dollar (around Rp176 million).

Unlike conventional banks, such as HSBC and Standard Chartered, which offers 2%-3% interest for high amount savings.

Managing Director VC Asset Management, Louis Tse Ming-Kwong said this is an effort of new players to increase brand awareness and acquire the customer base.

“the interest war is not limited to virtual banks, but encouraged conventional banks to respond in order to maintain market share,” he said.

Different cities, different growth

Regarding virtual banks, Indonesia is yet to create a legal umbrella. The requirement to create a digital bank can only available with a banking license. It’s unlike the two neighbor countries, Singapore and Malaysia.

Singapore issued five licenses for non-banking digital banks, two of those with full license and three for wholesale bank licenses. The announcement will be made in June 2020 and the five selected companies are expected to start their business immediately in mid-2021.

Requirements given by the Central Bank of Singapore are also different for each license. For a full license must meet the capital of 1.5 billion Singapore dollars and must be controlled by local people. They are allowed to provide a variety of financial services as well as to save savings from retail customers.

Meanwhile, wholesale banks allow those who want to serve SMEs and other non-retail segments. With minimum capital of 100 million Singapore dollars. Submissions are open to local and foreign companies.

There are 21 candidates competing for the license, both in the form of consortium and individuals. The interesting part, most of the submissions came from technology companies from China because the Central Bank of Singapore has opened this opportunity for non-banking.

lisensi singapura

The entrance of new players in the Merlion Country is not highlighting on the “new kid”, it’s rather the kind of service to offer. As the Professor of Information Systems at Nanyang Business School Boh Wai Fong said, new players are expected to be able to serve low-income people or new companies that cannot meet traditional bank credit requirements.

There are 38% of adults in Singapore who are underbanked, even though the country has been mature in terms of the financial industry, according to the 2019 e-Conomy report compiled by Google, Temasek, and Bain & Company.

In a helicopter view, the high interest of foreign technology players in Singapore indicates further penetration to the Southeast Asian market. Although this license will only be valid in Singapore, the business model is considered very feasible to be replicated in the region.

As important, Singapore does not have a digital bank at all. The country has been dominated by large banks such as DBS, UOB, and OCBC. The three, according to Boh, are already “too good for too long” and monopolize the market.

Malaysia also conducted the same contest by issuing five digital bank licenses. Submission is open to non-banks, bank is capable whether they want to separate the digital banks through joint ventures.

The neighbor country issued a draft exposure on the License Framework for Digital Banks as a way to promote the development of digital banks in line with directions taken by regulators in Singapore and Hong Kong. Both have issued similar work license frameworks in the past two years.

The Central Bank of Malaysia said the draft will be finalized in the first half of this year. At the same time, the application for a new license can be made for interested candidates.

Meanwhile, the Philippines has granted four digital bank licenses to CIMB Bank and ING Bank, Tonik and Rizal Commercial Banking Corporation (RCBC). Except for RCBC, digital banks are run by regional banks. Thailand has already formed a digital bank named Timo which was established in 2016.

bankdigital


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Selamat Datang Bank Digital

Perbankan, industri finansial tertua di dunia, kini dituntut untuk bertransformasi menuju digital, baik dalam layanan kepada konsumen maupun pada operasionalnya. Sembari di sisi eksternal mereka juga dituntut untuk bekerja sama dengan startup fintech agar tidak semakin tergerus dengan tren teknologi.

Banyak yang mengakui, dengan memanfaatkan teknologi digital dapat memberikan efisiensi, karena tidak melulu mengandalkan kuantitas aset fisik maupun non-fisik. Makanya sebagian besar solusi yang ditawarkan bersifat disruptif, mengganggu kebiasaan lama.

Bank tidak bisa selamanya mengandalkan kerja sama dengan pihak ketiga saja agar bisnis tidak terkikis. Mereka dituntut untuk semakin efisien dengan sepenuhnya mengadopsi digital, akhirnya muncul model perbankan yang lebih baru  dikenal dengan bank digital (atau bank virtual).

Menurut IBM, bank digital berbeda dengan bentuk perbankan digital lain karena mereka hanya berbentuk online, tidak memiliki kantor cabang dalam suatu negara. Ekspektasi konsumen dari sini adalah penghematan fasilitas dan staf bank yang akhirnya diterjemahkan sebagai suku bunga yang lebih tinggi untuk tabungan dan suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman.

Perbedaan yang paling mereka rasa adalah hubungan emosional saat mendatangi kantor cabang untuk berinteraksi, menyewa brankas, meminta saran bankir atau sebagainya.

Bank digital di Indonesia: Masih menunggu payung hukum

Indonesia belum memiliki payung hukum terkait bank digital. Wacana pembuatan sudah ada, tapi kerangka kerja formal yang sayangnya belum ada. Saat ini, bank digital yang beroperasi masih di bawah bendera bank konvensional, yakni BTPN Jenius (2016) dan DBS Digibank (2017).

Payung mengenai bank digital baru diakomodasi oleh POJK Nomor 12 Tahun 2018. Dijelaskan, definisi layanan perbankan digital adalah layanan yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data nasabah dalam rangka melayani nasabah secara lebih cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan; serta dapat dilakukan secara mandiri sepenuhnya oleh nasabah, dengan memperhatikan aspek pengamanan.

OJK juga menyebut bahwa penyedia ini hanya bisa dilakukan oleh bank yang minimal masuk kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) II atau kepemilikan modal inti antara Rp1 triliun sampai Rp5 triliun. Peraturan mengenai bank virtual atau bank tanpa kehadiran fisik belum diakomodasi dalam POJK tersebut.

Limitasi ini dimaksudkan bahwa regulator ingin memastikan seluruh fundamental yang dilakukan berada dalam rambu-rambu aturan perbankan. Masuk BUKU II berpengaruh pada lingkup kegiatan usaha bank itu sendiri, yang paling berpengaruh adalah mereka dapat memulai kegiatan sistem pembayaran dan e-banking tanpa harus dibatasi apabila masih di BUKU I.

Dari segi layanan yang ditawarkan, Jenius maupun Digibank belum ada yang benar-benar menyasar kalangan unbanked. Peta persebarannya secara strategis tidak langsung massal melainkan perlahan-lahan masuk ke kota-kota besar. Misalnya, Jenius per akhir 2019, buka booth di Malang, Medan, Makassar, Palembang, Yogyakarta, Bali, dan tentu saja Jakarta pada pilot project-nya.

Meski demikian, ini tidak lagi menjadi isu karena pembukaan rekening di Jenius sudah difasilitasi dengan layanan video call KYC, sehingga tanpa harus datang ke booth pun bisa menjadi nasabah. Fitur yang cukup inovatif, tapi tidak bisa berhenti di situ.

Harus ada dampak yang diberikan untuk nasabah unkanked. Beda ceritanya dengan kondisi saat ini, ekspansi startup fintech lending atau payment yang terlihat lebih cepat dalam menggaet target nasabahnya karena ada “kue bisnis” yang belum dijamah oleh perbankan.

Meski payung hukum belum ada, dengan berbekal aturan yang sudah diterbitkan, kini peta bank digital mulai ramai. Ditandai masuknya para konglomerasi, investor kelas kakap, hingga startup ramai-ramai akuisisi bank kecil sejak tahun lalu.

Salim Group sudah mencaplok Bank Ina Perdana, Jerry Ng (bankir senior) dan Patrick Walujo (Northstar Group) ke Bank Artos, BCA ke Bank Royal dan Rabobank (akan dilebur ke salah satu anak usaha BCA), Akulaku ke Bank Yudha Bhakti.

Seluruh aksi di atas belum menunjukkan taringnya, kecuali Akulaku dan Bank Yudha Bhakti. Namun persiapannya sudah mulai terasa. BCA misalnya sudah menargetkan Bank Royal mulai pilot project pada paruh kedua tahun ini dan siap menambah modal hingga Rp3 triliun agar geraknya semakin lincah.

Sementara, Bank Artos telah ditempati oleh orang-orang eks BTPN, efektif per 15 November 2019. Mereka adalah Jerry Ng (Komisaris Utama), Anika Faisal (Dewan Komisaris), Kharim Indra Gupta Siregar (Direktur Utama), Arief Harris Tandjung (Wakil Direksi Utama) dan Peterjan van Nieuwenhuizen (Direksi). Suksesi ini menandai bahwa ada harapan besar untuk mengulang kesuksesan Jenius di bawah pimpinan yang sama.

Hubungan yang erat antara Patrick Walujo dengan Gojek santer dirumorkan Bank Artos akan menjadi GoBank (perbankan milik Gojek). Ia menegaskan bahwa rumor tersebut tidak benar. Menurut pengakuannya, dalam suatu forum diskusi panel, memang sempat ada obrolan untuk pemanfaatan ekosistem Gojek dan pendayagunaan tim Bank Artos yang berpengalaman di perbankan.

Namun, pada akhirnya diputuskan bahwa konsep Bank Artos tidak masuk secara eksklusif menjadi bank Gojek. Meski, perbankan memang secara spesifik bakal diarahkan menjadi bank digital. “Karena kami melihat ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar yaitu dari sisi bank digital itu,” kata Patrick saat menjadi pembicara di suatu acara konferensi, akhir Januari 2020.

Sebelum berinvestasi ke Bank Artos, Patrick punya pengalaman berinvestasi di BTPN pada 2008, melalui TPG Nusantara, perusahaan patungan dengan Trans Pacific Group. Ia membeli 71% saham BTPN sebesar $195 juta (sekitar Rp1,8 triliun pada saat itu). Saham dilepas secara bertahap hingga 2015, nominal yang didapat adalah Rp5,3 triliun dengan melepas 17,5% saham.

“Saya mengajak Jerry Ng untuk bergabung dan membenahi bisnis BTPN. Bank tersebut masuk ke mass market yakni para pedagang kecil di pasar tradisional yang pasarnya besar dan berkembang dengan baik, sampai-sampai bank BUMN ikut masuk,” lanjut Patrick.

Apabila Bank Royal Bank Artos, dan Bank Yudha Bhakti mulai beroperasi, diharapkan ada penawaran produk yang lebih variatif dan mudah dipakai oleh masyarakat unbanked.

Menurut laporan termutakhir e-Conomy SEA 2019 yang disusun Google, Temasek dan Bain & Company, ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; underbanked 26%; dan banked 23%.

“Ada banyak pelaku usaha yang membutuhkan pendanaan, namun kesulitan meminjam dana ke bank di antaranya karena tidak memiliki jaminan untuk diagunkan. Kebutuhan ini bisa jadi potensi layanan bagi bank digital,” sambung Patrick.

Hong Kong bisa menjadi contoh terbaik, lantaran di negara ini sudah ada delapan bank digital yang beroperasi sejak lisensi diberikan sejak tahun 2019. ZA Bank menawarkan bunga deposito maksimal 6,8% selama tiga bulan untuk simpanan hingga 100 ribu dolar Hong Kong (setara Rp176 juta).

Dibandingkan penawaran dari bank konvensional seperti HSBC dan Standard Chartered, bunga deposito yang ditawarkan antara 2%-3% untuk simpanan dengan nominal tinggi.

Strategi awal ini, menurut Managing Director VC Asset Management Louis Tse Ming-Kwong, merupakan upaya pemain baru unntuk meningkatkan brand awareness, sekaligus mendapatkan basis konsumen.

“Perang tarif mungkin tidak hanya terbatas pada bank virtual, tetapi mendorong bank konvensional untuk merespons mempertahankan pangsa pasar mereka,” ujarnya.

Beda negara, beda perkembangan

Bicara bank virtual, Indonesia memang belum punya payung hukumnya. Persyaratan untuk membuat bank digital baru bisa dilakukan apabila izin dasarnya adalah perbankan. Beda halnya dengan dua negara tetangganya, yakni Singapura dan Malaysia.

Singapura membuka lima lisensi sebagai bank digital untuk non perbankan, dengan rincian dua izin untuk lisensi penuh dan tiga lisensi bank wholesale. Pengumuman akan dilakukan pada Juni 2020 dan kelima perusahaan terpilih diharapkan dapat segera memulai bisnisnya pada pertengahan 2021.

Persyaratan yang diberikan Bank Sentral Singapura pun berbeda untuk masing-masing lisensi. Untuk lisensi penuh harus memenuhi modal senilai 1,5 miliar dolar Singapura dan harus dikendalikan oleh orang lokal. Mereka diizinkan untuk menyediakan berbagai layanan keuangan serta menyimpan tabungan nasabah ritel.

Sedangkan, bank wholesale memungkinkan mereka yang ingin melayani UKM dan segmen non ritel lainnya. Modal minimum 100 juta dolar Singapura. Pengajuan terbuka untuk perusahaan lokal dan asing.

Ada 21 calon kandidat yang bersaing untuk mengantongi izin tersebut, baik berbentuk konsorsium maupun individu. Menariknya, kebanyakan pengajuan berasal dari perusahaan teknologi asal Tiongkok karena memang Bank Sentral Singapura membuka kesempatan ini untuk non perbankan.

Masuknya pemain baru di Negeri Singa ini bukan menitikberatkan pada “anak baru”, melainkan layanan seperti apa yang bakal mereka tawarkan. Menurut Profesor Sistem Informasi di Nanyang Business School Boh Wai Fong, pemain baru diharapkan bisa melayani orang-orang berpenghasilan rendah atau perusahaan baru yang tidak dapat memenuhi persyaratan kredit bank tradisional.

Ada 38% orang dewasa di Singapura yang masuk kategori underbanked, meski negara tersebut sudah masuk dalam tahap dewasa untuk industri keuangannya, menurut laporan e-Conomy 2019 yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company.

Secara helicopter view, tingginya minat para pemain teknologi asing ke Singapura menandakan bahwa disinilah gerbang masuknya ke pasar Asia Tenggara lebih jauh. Meski lisensi ini hanya akan berlaku di Singapura, tapi model bisnisnya dianggap sangat layak untuk direplikasi di regional.

Perlu dicatat, Singapura belum memiliki bank digital sama sekali. Selama ini negara tersebut didominasi oleh bank besar seperti DBS, UOB dan OCBC. Ketiganya, menurut Boh, sudah “too good for too long” dan memonopoli pasar.

Malaysia juga melakukan kontes yang sama dengan Singapura, membuka lima lisensi bank digital. Pengajuan terbuka untuk non perbankan, perbankan itu sendiri apabila ingin memisahkan bank digitalnya dengan membentuk perusahaan patungan.

Negeri Jiran ini mengeluarkan draf paparan tentang Kerangka Lisensi untuk Bank Digital sebagai cara mempromosikan pengembangan bank digital sejalan dengan arahan yang diambil regulator Singapura dan Hong Kong. Keduanya telah menerbitkan kerangka lisensi kerja yang serupa dalam dua tahun terakhir.

Bank Sentral Malaysia menyatakan pihaknya akan menyelesaikan draf tersebut pada paruh pertama tahun ini. Bersamaan dengan itu, pengajuan lisensi baru bisa dilakukan untuk calon kandidat yang berminat.

Sementara itu, Filipina telah memberikan empat lisensi bank digital untuk Bank CIMB dan ING Bank, Tonik dan Rizal Commercial Banking Corporation (RCBC). Kecuali RCBC, bank digital dijalankan oleh bank regional. Thailand pun juga sudah memiliki bank digital bernama Timo yang dirilis pada 2016.

Akulaku to Acquire 20% of Bank Yudha Bhakti Shares

Akulaku fintech lending startup is to make gradual acquisition over 20.11% of Bank Yudha Bhakti (BBYB) shares.  The company just increase the stock to 13.06% from 8.95%.

Quoted from Bisnis.com, Andriyana Muchyana as Bank Yudha Bhakti’s Corporate Secretary said, Akulaku enters through the purchase of PT Gozco Capital which previously held 41.04% of Bank Yudha Bhakti shares.

“There are agreements through secondary market and right issue,” she added.

Based on Indonesian Stock Exchange, Gozco Capital sold 320.43 million with Rp338 per share in 30 April 2019. After the corporate action, Gozco Capital stock in Bank Yudha Bhakti has risen to 28.24%.

Furthermore, Akulaku will continue to scale up the stock by going steady for Limited Public Offering II (LPO) at the end of this month.

The company updated stock to 499.6 million worth Rp100 per shares. The action is worth Rp168.86 billion. Akulaku is to collect it all to make 20.11% total shares. Other shareholders that didn’t claimed to HMETD will be dilluted by 8.11%.

Per 30 April 2019, shareholders structure for Bank consists of Gozco Capital (28.24%), Asabri (21.91%), Asuransi Jiwa Adisarana Wanartha (5.45%), and public for less than 5%, at 31.34%.

Akulaku has claimed its commitment to add up to the core capital up to Rp500 billion this year, through some right issue in gradual by Bank Yudha Bhakti.

After the LPO II, the company will ask for fresh stock through LPO III in the Annual General Meeting of Shareholders (RUPSLB). Akulaku has a big potential to enter as a steady buyer for its ambition.

Along with the fresh fund, the company is confident to take it to the next level with Rp 1 trillion to Rp5 trillion core capital. From the company’s publication in March 2019, they have Rp502.91 billion.

Akulaku, based on Startup Report 2018, has over $500 million (more than 7 trillion Rupiah) after the Series D funding from Alibaba in early this year. Akulaku is said to launch peer-to-peer lending product called Asetku.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Akulaku Segera Miliki 20% Saham Bank Yudha Bhakti

Startup fintech lending Akulaku bakal menguasai 20,11% saham Bank Yudha Bhakti (BBYB) secara bertahap. Perusahaan baru saja meningkatkan porsi sahamnya menjadi 13,06% dari sebelumnya 8,95%.

Dikutip dari Bisnis.com, Corporate Secretary Bank Yudha Bhakti Andriyana Muchyana menjelaskan, Akulaku masuk melalui pembelian saham PT Gozco Capital yang semula menguasai 41,04% saham Bank Yudha Bhakti.

“Ada perjanjian yang dibeli melalui secondary market dan melalui rights issue,” terangnya.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Gozco Capital melepas 320,43 juta saham dengan harga Rp338 per lembar di 30 April 2019. Setelah aksi korporasi, kepemilikan saham Gozco Capital di Bank Yudha Bhakti menjadi 28,24%.

Selanjutnya, Akulaku akan terus meningkatkan kepemilikan sahamnya dengan menjadi pembeli siaga untuk Penawaran Umum Terbatas II (PUT II) yang segera digelar perseroan pada akhir bulan ini.

Perseroan menerbitkan saham baru sebanyak 499,6 juta dengan harga Rp100 per lembar. Total nilai yang diperoleh perseroan dari aksi ini adalah Rp168,86 miliar. Akulaku akan menyerap seluruh saham baru ini, sehingga nantinya kepemilikan saham menjadi 20,11%. Pemegang saham lain yang tidak mengambil jatah sesuai HMETD akan terdilusi 8,11%.

Per 30 April 2019, struktur kepemilikan saham di Bank terdiri dari Gozco Capital (28,24%), Asabri (21,91%), Asuransi Jiwa Adisarana Wanartha (5,45%), selebihnya dimiliki publik dengan kepemilikan kurang dari 5% sebanyak 31,34%.

Akulaku sendiri sejak awal berkomitmen untuk menambah modal inti bank hingga Rp500 miliar pada tahun ini, secara bertahap lewat sejumlah aksi rights issue yang digelar Bank Yudha Bhakti.

Setelah PUT II kelar, dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) perseroan akan meminta izin untuk menerbitkan saham baru melalui PUT III. Kemungkinan besar, Akulaku akan masuk kembali sebagai pembeli siaga demi merealisasikan ambisinya tersebut.

Sejalan dengan penambahan modal segar ini, perseroan optimis dapat naik kelas menjadi bank BUKU II dengan modal inti Rp1 triliun hingga Rp5 triliun. Dari publikasi perseroan di Maret 2019, perseroan memiliki modal inti Rp502,91 miliar.

Akulaku menurut Startup Report 2018 memiliki valuasi lebih dari $500 juta (lebih dari 7 triliun Rupiah) setelah kabar pendanaan Seri D dari Alibaba awal tahun ini. Akulaku sendiri baru saja meluncurkan produk peer-to-peer lending terafiliasi dengan nama Asetku.

Application Information Will Show Up Here