Mengenal NFT, Platform Koleksi Digital yang Bisa Beri Keuntungan Besar

Belakangan, jagat media sosial sempat heboh membicarakan NFT atau Non Fungible Token. Aset investasi ini, mulai heboh dibicarakan berkat seorang pria asal Indonesia, Ghozali, yang menjadi milyarder berkat NFT.

Ghozali berhasil meraup keuntungan miliaran rupiah dari hasil menjual karyanya, berkonsep “Ghozali Everyday” yakni berupa foto-foto selfienya setiap hari. Setiap foto selfie tersebut laku terjual di salah satu marketplace NFT terbesar, OpenSea.

Lantas, apa sebenarnya NFT itu? Mengapa sosok Ghozali ini dapat meraup keuntungan sebanyak itu hanya dengan menjual foto selfie? Simak penjelasan berikut ini.

Apa Itu NFT (Non Fungible Token)?

NFT atau Non Fungible Token adalah aset digital di jaringan blockchain yang mempunyai kode identifikasi serta metadata unik atau berbeda satu sama lain. NFT juga bisa diartikan sebagai aset computerized, yang merepresentasikan beragam barang.

Sederhananya, NFT menggunakan teknologi blockchain untuk merekam transaksi digital di dalamnya. NFT sendiri berupa barang unik atau berharga, yang memiliki nilai tukar yang tidak bisa diganti.

Jenis barang unik atau berharga yang dapat dijual sebagai aset NFT sendiri beragam, mulai dari yang berwujud hingga tak berwujud. Di antaranya dapat seperti aset game, gambar, foto, lukisan, video, musik dan lainnya.

NFT menjadi platform baru untuk media koleksi digital, yang dapat jadi sarana pendukung seniman dalam memasarkan karyanya sebagai aset NFT, dengan tawaran imbalan yang besar. Imbalan besar itu berasal dari investor yang bersedia untuk membayar aset NFT tersebut.

Sama dengan instrumen investasi atau aset yang lainnya, NFT juga memiliki nilai lewat mekanisme pasar. Faktor penggerak harga NFT dipengaruhi dari tingkat permintaan dan penawaran NFT tersebut.

Karakteristik NFT (Non Fungible Token)

Adapun karakteristik utama NFT sebagai aset investasi yang menjadikannya unik dan berbeda di antara yang lainnya. Antara lain, sebagai berikut:

  • Aset Digital Unik

Aset digital yang dijadikan sebagai NFT, biasanya unik. Setiap token NFT terbukti unik, sehingga antar setiap NFT tidak ada kesamaan. Selain itu, NFT sendiri sudah terekam di dalam jaringan blockchain, yang punya kode identifikasi dan metadata unik

  • Bersifat Transparan

NFT memiliki sifat transparan, yakni karena kepemilikan, sumber hingga pergerakan NFT dapat dilacak dan dilihat secara real-time pada jaringan blockchain.

  • Tidak Dapat Dipalsukan

Setiap token NFT memungkinkan untuk diauntentikasi, sehingga tidak bisa dipalsukan atau direplikasi. Hal ini karena pada setiap token didukung oleh buku besar (ledger) digital yang tidak bisa diubah dan jaringan terdesentralisasi.

  • Mudah Beradaptasi

NFT dikatakan dapat dengan mudah beradaptasi sebab aset ini mudah berbaur dengan ekosistem digital pada dunia metaverse, yang mendukung penggunaan dan aplikasi NFT. Pemain dapat memperjualbelikan NFT, di berbagai platform marketplace yang mendukung NFT.

Video: Penjelasan tentang NFT dan Cara Menjualnya di NFT Marketplace OpenSea

Resmikan T-Hub di Bali, Tokocrypto Ingin Dorong Penetrasi dan Literasi Aset Kripto di Indonesia

Penetrasi pasar aset kripto di Indonesia kini tengah berkembang pesat menjadi salah satu pasar terbesar di Asia Tenggara. Dengan lebih dari 273 juta orang yang tersebar di negara kepulauan terpadat ini, Indonesia layak menjadi lahan subur bagi teknologi dan bisnis apa pun yang beroperasi di atasnya dengan daya tarik yang optimal.

Di sisi lain, hal ini juga didukung oleh literasi yang semakin inklusif oleh para stakeholders yang berkecimpung di dalam ekosistem. Salah satunya platform marketplace aset kripto, Tokocrypto, dengan meluncurkan inisiatif barunya, T-Hub, di Bali. Hal ini juga disebut sebagai bentuk dukungan upaya pemulihan perekonomian daerah, sekaligus diharapkan membawa multiplier effect untuk membangkitkan ekonomi nasional melalui pengembangan ekonomi digital dan akselerasi industri berbasis wisata dan hospitality.

Dipilihnya Bali, karena memiliki potensi ekonomi digital dan kreatif, serta respons atas besarnya animo dan permintaan pasar investasi aset kripto di Pulau Dewata tersebut. Belum lama ini, Tokocrypto juga mendukung realisasi dari salah satu galeri offline NFT di Bali oleh Superlative Secret Society.

T-Hub merupakan inisiatif Tokocrypto dalam menghadirkan ‘rumah’ yang terbuka bagi para antusias dan komunitas untuk berdiskusi dan mengembangkan berbagai ide guna mendorong perkembangan investasi aset kripto di Tanah Air. Bali menjadi T-Hub kedua Tokocrypto setelah sebelumnya hadir di Patal Senayan, Jakarta.

CMO Tokocrypto Nanda Ivens melihat bahwa Bali memiliki potensi pengembangan pasar kripto yang cukup besar ke depannya. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan jumlah investor aset kripto yang signifikan. Tokocrypto mencatat jumlah investor aset kripto di Pulau Dewata pada tahun 2020 sebanyak kurang lebih 900 pengguna yang berinvestasi di Tokocrypto lalu meningkat sangat pesat di tahun 2021, yaitu lebih dari 28.000 pengguna yang berinvestasi di Tokocrypto.

Melalui T-Hub, Tokocrypto bukan hanya menjadi sebuah platform, tetapi juga ekosistem yang mewadahi komunitas yang membutuhkan sarana kumpul, edukasi dan diskusi sekaligus mengembangkan berbagai ide tepat guna untuk mendorong perkembangan investasi aset kripto dan penggunaan teknologi blockchain di berbagai sektor digital di Indonesia.

“Sesuai misi kami, menjadikan crypto legitimate dan mainstream dan dengan value yang dimiliki Tokocrypto yaitu; trust, transparency, and synergy menjadi kekuatan kami untuk terus mengedukasi, mengadvokasi dan meng-empower demi perkembangan industri aset kripto dan teknologi blockchain,” tutup Nanda.

COO Tokocrypto Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan, pihaknya secara aktif berdiskusi dan berkolaborasi untuk membangun kesamaan value (trust, transparency & synergy) dengan berbagai stakeholders. Bukan hanya dengan pemerintah, tetapi juga dengan asosiasi, media dan komunitas.

T-hub, tambah Manda, merupakan wujud komitmen Tokocrypto untuk memperluas kolaborasi demi mendukung perkembangan industri aset kripto dan blockchain melalui medium diskusi-diskusi untuk penguatan regulasi dan pengawasan agar industri dan ekosistem kripto dan blockchain lebih aman dan lebih dipercaya masyarakat Indonesia.

Dukungan pemerintah

Regulasi aset kripto beserta turunannya di Indonesia masih memiliki banyak celah dan butuh lebih dielaborasi. Namun, satu yang pasti, fungsi yang bisa diamalkan oleh aset kripto saat ini hanyalah sebagai komoditas atau aset, bukan alat pembayaran. Hal ini turut dipertegas oleh Wakil Menteri Perdagangan Indonesia, Jerry Sambuaga, “[..] Bahwa alat pembayaran yang sah hanya Rupiah.”

Dalam kesempatan ini, Jerry  juga mengungkapkan pertumbuhan dan perkembangan aset kripto yang luar biasa di Indonesia. Hingga Desember 2021 lalu, terdapat sekitar 11,2 juta pengguna aktif aset kripto di bulan Desember 2021 dengan total transaksi mencapai 859 triliun rupiah dengan rata-rata 2,7 triliun transaksi per hari.

Selain itu, pihak Kementerian Perdagangan kembali menegaskan bahwa bursa untuk aset kripto sedang dalam proses finalisasi dan akan segera diresmikan dalam waktu dekat. Pendirian bursa ini dirasa penting untuk menghidupkan serta menggairahkan ekosistem aset kripto di Indonesia. Di samping lebih terintegrasi, juga untuk memberikan rasa aman bagi para shareholder.

Lebih lanjut, Jerry menyinggung bahwa Bappepti sebagai bagian dari Kementerian Perdagangan akan bertugas untuk memastikan operasional bursa sehingga semuanya bisa terintegrasi. Hal ini semata-mata untuk meminimalisir risiko terjadinya kecurangan atau kelalaian oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Jadi semua akan melihat ke bursa sebagai acuan dan instrumen utama. Ini merupakan komitmen pemerintah untuk memastikan bahwa perlindungan konsumen adalah yang utama,” tambahnya.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Bappepti, hingga saat ini, terdapat 11 penyelenggara aset kripto yang terdaftar di serta 229 aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia.

Sehari sebelum peresmian T-Hub Bali, Tokocrypto melakukan penandatanganan MoU dengan BRI Ventures, perusahaan modal ventura milik PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), menciptakan TSBA (Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator) untuk bersama-sama membangun ekosistem inkubasi berbagai startup yang didukung teknologi blockchain.

Application Information Will Show Up Here

Tokocrypto dan BRI Ventures Resmikan Program Akselerator Blockchain

Setelah peluncuran TokoLaunchpad versi 2.0 di akhir 2021 lalu, Tokocrypto kini berkolaborasi dengan BRI Ventures melalui inisiatif Sembrani Wira Akselerator mengembangkan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Program ini bertujuan untuk memberdayakan proyek startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia.

CEO Tokocrypto Pang Xue Kai menyebut kolaborasi ini sebagai pencapaian karena berhasil mendapatkan kepercayaan dari salah satu CVC di bawah naungan bank pelat merah Indonesia, BRI Ventures. Harapannya untuk program akselerator ini dapat mengembangkan ekosistem dan memberi dampak bagi industri startup dan blockchain di Indonesia.

“Kami berharap, kolaborasi ini dapat menjadi akselerator dari berbagai inisiatif Web3 dan perkembangan ekosistem metaverse. Terlebih kami memiliki dua dana ventura yang tengah berkembang yaitu Sembrani Nusantara dan Sembrani Kiqani yang berfokus pada pendanaan di sektor-sektor non-fintech,” ungkap CEO BRI Ventures Nicko Widjadja dalam pernyataan resmi.

Program akselerator dan kriteria pesertanya

Melalui TSBA, kedua perusahaan membentuk program akselerator yang menyediakan modul ekstensif khusus dirancang demi membawa proyek dan startup blockchain untuk muncul ke panggung dunia. Program ini meliputi berbagai aspek seperti pengembangan teknologi blockchain itu sendiri, nilai ekonomi atau tokenomics, pembentukan budaya tim, pendampingan untuk listing, serta fundraising.

Adapun kriteria proyek blockchain untuk program ini adalah startup yang sudah memiliki validasi dari sisi kapital atau pendanaan tahap awal. Lalu, perusahaan juga diwajibkan untuk memiliki teknologi blockchain sendiri serta rencana pengembangan secara smart contract. Lalu, perusahaan harus sudah memiliki working products atau white paper secara tokenomics. 

Markus Liman Rahardja, VP of Investment dan Business Development BRI Ventures yang turut hadir dalam acara penandatanganan MoU di Seminyak, Bali (20/1) menyoroti bahwa dua sisi aspek penggalangan dana yaitu crypto fundraising dan venture fundraising akan menjadi fokus dari partisipasi BRI Ventures.

BRI Ventures sendiri telah melakukan investasi ke lebih dari 18 startup baik fintech maupun non-fintech dan meluncurkan dua dana ventura yang diikuti oleh Grab Ventures, Celebes Capital, Mahanusa Capital, Buana Investment, Pulau Intan, dan beberapa bisnis keluarga.

Dana Ventura Sembrani Nusantara yang diluncurkan pada awal 2021 telah melakukan investasi di bidang agritech seperti Sayurbox, sektor new retail seperti Haus!, Brodo, Yummy Corp, dan sektor logistik seperti Andalin. Sedangkan, Dana Ventura Sembrani Kiqani yang baru diluncurkan awal tahun 2022 dengan fokus di sektor D2C atau consumer brands serta metaverse.

Menyediakan hub bagi para penggiat kripto

Selama tahun 2021, Tokocrypto dengan gerilya meluncurkan berbagai inisiatif untuk mengembangkan ekosistem aset kripto di Indonesia. Mulai dari meluncurkan token sendiri (TKO) di bulan April lalu, meresmikan platform marketplace NFT (TokoMall) di bulan Agustus, hingga menggandeng Bekind untuk mengembangkan berbagai CSR program melalui TokoCare.

Bersamaan dengan peluncuran TSBA, Tokocrypto resmi mengenalkan T-Hub yang berlokasi di Batubelig, Bali. Ini diharapkan bisa menjadi sarana edukasi dan berkumpulnya komunitas untuk berdiskusi dan mengembangkan berbagai ide guna mendorong perkembangan investasi kripto di Bali. Sebelumnya, Tokocrypto telah lebih dulu mengoperasikan T-hub yang berlokasi di Senayan, Jakarta.

Sebagai marketplace aset kripto yang legitimate, Tokocrypto merasa adalah sebuah keharusan untuk bisa mewadahi setiap kegiatan yang berpotensi untuk mengembangkan ekosistem aset kripto, “Karena salah satu cara agar blockchain dan aset kripto bisa mengakar dan bertumbuh dalam industri ini adalah dengan koneksi. Maka dari itu, Tokocrypto ingin menjembatani semua kebutuhan terkait pengembangan aset kripto di tengah sistem finansial tradisional yang ada,” tutup Kai.

Di luar TSBA, hingga saat ini, sudah ada berbagai startup maupun proyek yang berpartisipasi program inkubator TokoLaunchpad yang sudah berjalan. Beberapa di antaranya termasuk Play it Forward DAO, Avarik Saga dan Nanovest. Kai juga menyebutkan terdapat lebih dari 15 startup maupun proyek yang masih dalam tahap penjajakan.

Sebagai informasi, proses registrasi program akselerator TSBA akan ditutup pada 10 Februari 2022, lalu peserta yang lolos seleksi akan diumumkan pada 14 Februari 2022, sementara kick-off akselerator akan dimulai pada 21 Februari 2022.

Application Information Will Show Up Here

East Ventures and EMTEK Invest to the Real Estate Project NFT Developer

Fraction, a Hong Kong and Bangkok-based fintech startup, announced $3 million (nearly 43 billion Rupiah) pre-series A round led by East Ventures. Also participated in this round  EMTEK Group, Thakral Limited, V Ventures, and other regional investors.

This fundraising is in line with the Thailand’s ICO Portal License (subject to activation approval) from the Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC). In addition, the previous plans to offer partial ownership (fractional ownership) of some of Thailand’s iconic real estate assets in the first quarter of 2022 through an end-to-end fractional ownership platform powered by NFT and blockchain.

In the earlier seed round, Fraction was backed by several well-known ventures, both from the technology and conventional finance industries, including SINGHA Ventures, John Wylie’s Tanarra Capital, and Skystar Capital Indonesia.

Fraction was founded by Eka Nirapathpongporn, an ex-Director and Partner in  Lazard, a New York-based global financial advisory and asset management firm. And Shaun Sales, a seasoned tech entrepreneur. Fraction creates access to wealth creation by enabling partial and digital asset transactions for people to own or trade, starting with world-famous iconic real estate projects.

With Fraction’s plug-and-play platform, individuals and companies can invest, sell, and partially manage ownership from small stakes in city condominiums, beachfront inns, or artworks, also to manage personal funds, assets and investors.

“Removing barriers and providing equal access to opportunities to achieve wealth for all has become an urgent global issue. We are pleased to be a pioneer in implementing NFT and a decentralized Ethereum digital solution to partially manage ownership of multiple assets,” Nirapathpongporn said in an official statement, Monday (17/1).

He continued, “From now on, we can enable financial inclusion that allows small investors to participate in attractive  asset classes that weren’t accessible before. Fraction has great opportunities where the real estate token market estimated to be worth US$80 trillion and we are delighted to be at the forefront of this new wave of finance and blockchain technology convergence.”

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca showed his gratitude to be part of Fraction’s vision to create access to investment capital currently reserved for limited community.

“However, we are getting excited about the huge growth of this platform; making digitization and partial ownership of real-world assets an easy day-to-day activity. Real estate is the first asset class and we look forward to supporting Fraction as it evolves into multiple asset classes and jurisdictions,” said Willson.

The products

With the ICO license obtained from Thai’s authorities, companies can link offline assets such as real estate to non-fungible tokens (NFT), digitize them, and offer a small portion to interested communities. “We share ownership of this NFT, and this ownership token is offered to investors. Therefore, it is an asset-backed proprietary token,” the Co-founder and CEO, Eka Nirapathpongporn was quoted by Tech in Asia.

Fraction prints an NFT with a “real world legal link” to a property. These tokens will consist of different exchangeable tokens, or fractions, with each representing a portion of the property. Furthermore, the token will be listed through IFO with a fractional ownership equivalent to a partial ownership of the actual real estate asset. Fraction can be traded between investors.

“Now you can […] legally own part of this villa – maybe 1% of it – instead of having to pay $5 million to buy the whole thing,” he added.

In its journey, Fraction has developed an integrated platform that includes, i) Digitalization and integrated fractional asset ownership, ii) Initial Fraction offering to investors (IFO). Also, iii) Fraction token trading platform on secondary market among investors, iv) All services to accommodate end-to-end experience.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures dan EMTEK Suntik Pendanaan Startup Pengembang NFT Proyek Real Estat

Fraction, startup fintech berbasis di Hong Kong dan Bangkok, mengumumkan perolehan dana sebesar $3 juta (hampir 43 miliar Rupiah) dalam putaran pra-seri A yang dipimpin oleh East Ventures. Turut diikuti oleh EMTEK Group, Thakral Limited, V Ventures, dan jajaran investor regional lainnya.

Pengumpulan dana ini sejalan dengan penerimaan ICO Portal License Thailand (bergantung atas persetujuan aktivasi) dari Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC). Juga rencana yang telah diumumkan sebelumnya untuk menawarkan kepemilikan secara parsial (fractional ownership) dari beberapa aset real estat ikonik di Thailand pada kuartal I 2022 melalui platform fractional ownership end-to-end yang didukung oleh NFT dan blockchain.

Dalam putaran tahap awal yang digelar sebelumnya, Fraction telah didukung oleh beberapa nama terkenal, baik dari industri teknologi maupun keuangan tradisional, termasuk SINGHA Ventures, Tanarra Capital milik John Wylie, dan Skystar Capital Indonesia.

Fraction didirikan oleh Eka Nirapathpongporn eks-Direktor and Partner Lazard, firma penasihat keuangan dan manajemen aset global berbasis di New York. Dan Shaun Sales, seorang pengusaha berpengalaman di bidang teknologi. Fraction membuka akses ke penciptaan kekayaan untuk semua orang dengan memungkinkan transaksi aset secara parsial dan digital untuk dimiliki maupun diperdagangkan, dimulai dengan proyek real estat ikonik yang terkenal di dunia.

Dengan platform plug-and-play milik Fraction, setiap orang dan perusahaan kini dapat melakukan investasi, menjual, dan mengelola kepemilikan secara parsial mulai dari saham kecil di kondominium kota, penginapan tepi pantai, atau karya seni hingga mengelola dana pribadi, aset, dan investor.

“Menghilangkan hambatan dan memberikan akses yang sama ke berbagai peluang untuk mencapai kekayaan bagi semua orang telah menjadi isu global yang mendesak. Kami senang menjadi pelopor dalam menerapkan NFT dan solusi digital Ethereum terdesentralisasi untuk mengelola kepemilikan atas banyak aset secara parsial,” ujar Nirapathpongporn dalam keterangan resmi, Senin (17/1).

Dia melanjutkan, “Mulai dari sekarang, kami dapat mengaktifkan inklusi keuangan yang memungkinkan para investor kecil untuk berpartisipasi dalam kelas-kelas aset menarik yang tidak dapat diakses sebelumnya. Peluang pertumbuhan untuk Fraction sangatlah besar, di mana pasar tokenisasi real estat diperkirakan akan bernilai US$ 80 triliun dan kami senang dapat berada pada garis terdepan gelombang baru konvergensi keuangan dan teknologi blockchain.”

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan kegembiraannya karena telah menjadi bagian dari visi Fraction untuk menciptakan akses ke investasi modal yang saat ini hanya diperuntukkan untuk segelintir orang saja.

“Namun kami semakin bersemangat akan peluang pertumbuhan yang besar dari platform ini; membuat digitalisasi dan kepemilikan rasa parsial akan aset dunia nyata menjadi aktivitas sehari-hari yang mudah. Real estat adalah kelas aset pertama dan kami berharap dapat mendukung Fraction seiring dengan perkembangannya menjadi beberapa kelas aset dan yurisdiksi,” kata Willson.

Produk Fraction

Dengan lisensi ICO yang diperoleh dari otoritas Thailand, perusahaan dapat menautkan aset offline seperti real estat ke non-fungible token (NFT), mendigitalkan mereka, dan menawarkan sebagian kecil dari mereka kepada pihak yang berkepentingan. “Kami membagi kepemilikan NFT ini, dan token kepemilikan ini ditawarkan kepada investor. Oleh karena itu, ini adalah token kepemilikan yang didukung aset, ” Co-founder dan CEO Eka Nirapathpongporn seperti dikutip dari Tech in Asia.

Fraction mencetak NFT yang memiliki “tautan hukum dunia nyata” ke sebuah properti. Token ini akan terdiri dari token yang dapat dipertukarkan yang berbeda, atau fraksi, dengan masing-masing mewakili sebagian dari properti. Kemudian, token tersebut didaftar melalui IFO dengan kepemilikan pecahan yang setara dengan kepemilikan sebagian dari aset real estat yang sebenarnya. Fraction dapat diperdagangkan di antara investor.

“Sekarang Anda dapat […] secara legal memiliki bagian dari vila ini – mungkin 1% darinya – daripada harus membayar US$5 juta untuk membeli semuanya,” tambah dia.

Dalam perjalanannya, Fraction telah mengembangkan platform terpadu di dunia yang meliputi, i) Digitalisasi dan kepemilikan aset secara fraksi yang terintegrasi, ii) Penawaran fraksi perdana kepada para investor (Initian Fraction Offering/IFO). Kemudian, iii) Platform perdagangan token fraksi pada pasar sekunder di antara para investor, iv) Seluruh layanan untuk mengakomodasi pengalaman end-to-end.

Rayakan Ultah ke-35 Castlevania, Konami Luncurkan Koleksi NFT Artwork dan Musik Castlevania

Semakin hari semakin banyak perusahaan game besar yang tertarik untuk ikut meramaikan tren NFT. Ubisoft memulainya di bulan Desember 2021, lalu belum lama ini Square Enix mulai memberikan sinyal. Sekarang, giliran Konami yang ingin mencuri perhatian.

Dalam rangka merayakan ulang tahun Castlevania yang ke-35 (yang sebenarnya sudah sejak September 2021 lalu), Konami meluncurkan koleksi NFT yang berisikan artwork beserta musik paling ikonis dari seri game tersebut. Mulai dari box art Castlevania: Circle of the Moon, sampai BGM “Vampire Killer” dari Castlevania orisinal dan adegan-adegan boss fight dengan berbagai macam senjata yang dijalani oleh Simon Belmont, semuanya sedang dilelang sebagai NFT edisi terbatas di OpenSea.

Total ada 14 aset NFT Castlevania yang Konami rilis, namun demi menjaga eksklusivitasnya, masing-masing hanya akan tersedia sebanyak satu unit saja. Tidak heran kalau kemudian banyak yang berani menawar dengan harga tinggi. Sampai artikel ini ditulis, penawaran tertinggi diberikan pada box art Castlevania: Circle of the Moon, dengan nilai 1,1025 ETH, atau kurang lebih setara $3.600 (± 51,5 jutaan rupiah), namun masih ada sisa waktu sebelum pelelangannya berakhir.

Artwork Castlevania: Circle of the Moon versi Jepang yang menjadi NFT termahal sejauh ini / OpenSea

Castlevania 35th Anniversary NFT ini merupakan bagian dari Konami Memorial NFT, sebuah inisiatif untuk menciptakan karya seni NFT menggunakan adegan-adegan dalam game dari berbagai judul permainan besutan Konami dengan tujuan pelestarian. Meski Konami tidak bilang secara eksplisit, ini bisa saja diartikan bahwa Castlevania bukanlah game yang terakhir, sebab masih ada banyak franchise-franchise game populer lain milik Konami yang bisa diberi perlakuan serupa.

Dua contoh yang langsung terpikirkan di benak saya adalah Contra dan Metal Gear, yang kebetulan keduanya sama-sama bakal merayakan ulang tahun yang ke-25 di tahun 2022 ini; Contra di bulan Februari, sementara Metal Gear di bulan Juli.

Berbeda dari yang Ubisoft lakukan, inisiatif NFT dari Konami ini murni hanya merupakan bentuk karya seni. Ubisoft di sisi lain meluncurkan aset NFT yang bisa muncul di dalam salah satu game-nya, dan mereka juga sudah punya rencana untuk mengintegrasikan teknologi blockchain lebih jauh lagi ke portofolionya. Meski demikian, kita tidak perlu terkejut seandainya Konami juga akan mengambil langkah serupa ke depannya.

Sumber: Konami.

[Seri NFT] Rarity, Utility, Community: Mempelajari Tiga Pilar Terpenting NFT

NFT berharga karena unsur non-fungible-nya, sehingga tidak bisa digantikan dengan yang lain. Pasar ini masih begitu baru dan masih banyak hal yang bisa dieksplorasi lebih jauh. Perlu edukasi yang intens agar tidak salah kaprah.

Kelangkaan, utilitas, dan komunitas (rarity, utility, community) adalah pilar dasar dari setiap proyek NFT yang baik. Jika sebuah proyek tidak memiliki kombinasi ketiganya, hal ini benar-benar dapat memengaruhi keberhasilan keseluruhan proyek tersebut.

Mari bahas satu persatu mengenai tiga hal ini:

Kelangkaan (rarity)

Kelangkaan adalah inti dari sebuah proyek yang tidak boleh diabaikan ketika ingin membuat proyek yang sukses. Unsur kelangkaaan itu penting karena secara langsung terkait dengan antusiasme dan harga NFT. Hal ini membantu mendorong permintaan dan mendiversifikasi proyek dengan menawarkan berbagai tingkat sifat dan utilitas.

Kelangkaan tidak hanya penting bagi kolektor, bahkan lebih penting bagi kreator di balik proyek. Tanpa kelangkaan, proyek NFT berpotensi menjadi sangat membosankan dan besar kemungkinan sepi peminat.

“Kehadiran NFT di dalam kehidupan manusia itu penyebab utamanya karena ada kepemilikan, bisa dicatat untuk siapa. Perlu dicatat karena jumlahnya terbatas, bukan buat massal. Unsur langka akan terasa bila bukan buat massa sebab jumlahnya tidak bertambah, maka itu konsep NFT yang ideal,” papar CEO Kolektibel Pungkas Riandika.

Utilitas (utility)

Barang langka saja kurang cukup untuk menarik minat calon pembeli. Butuh fungsi (utilitas) sebagai nilai tambah sebelum membeli suatu NFT. Bisa saja suatu tidak punya fungsi, tapi segmen tersebut sangat niche karena hanya mampu menarik minat dari kolektor.

Pungkas mencontohkan proyek yang memiliki utilitas, misalnya NFT kuliner Indonesia. Para kolektornya berkesempatan mendapat akses untuk makan di restoran, jaringan franchise, atau sejenisnya. Kemudian mendapat diskon, mendapatkan welcome drink, tanpa waiting list, dan lainnya sebagai penawaran tambahan.

Atau perusahaan maskapai yang menerbitkan NFT, tapi dijual dengan harga yang mahal. Taruhlah harganya Rp15 juta. Adakah yang mau beli? Ternyata untuk para kolektornya diberikan penawaran berupa tiket pesawat pulang-pergi selama satu tahun untuk rute yang tersedia dari maskapai tersebut.

“Pun ketika dijual di secondary market, kolektornya tetap bisa untung karena value dari sebuah NFT itu bisa sangat mahal harganya. Ini menarik buat para NFT holder karena utilisasinya terkonfirmasi langsung untuk mereka.”

Komunitas (community)

Setelah dua poin di atas dilakukan, individu yang memiliki ketertarikan yang sama akan bersatu, tapi trik untuk panjang umurnya suatu komunitas itu kuncinya butuh konsistensi. Agar tidak menjadi salah satu NFT yang gagal, menciptakan komunitas yang kuat adalah kuncinya.

Ini semua mengenai: membawa nilai otentik kepada anggota, menciptakan hubungan melalui konsistensi dan usaha, dan membawa orang-orang dengan perspektif yang berlawanan untuk menyeimbangkan pandangan kreator.

“Sama halnya bagi brand. Pasti mereka ingin produknya dipakai oleh konsumen yang mencerminkan apa yang brand mau. Jadi bagi kreator itu, bagaimana dia harus mengupayakan bagaimana produknya itu dibeli duluan oleh komunitasnya sendiri agar terasa sesuai dengan market yang dia inginkan.”

Langkah tersebut diupayakan Kolektibel untuk tiap kerja sama dengan IP owner (kreator, dan sebagainya) dalam ekspansi ke pasar baru dengan meningkatkan loyalitas pengguna terhadap suatu brand. Model bisnis seperti ini, menurut Pungkas, merupakan rangkaian untuk menciptakan efek Trifecta Synergy, yang melibatkan IP, Kolektibel, dan kolektor.

Tujuan dari Trifecta Synergy tersebut adalah mendapatkan perluasan pasar dan memperkuat loyalitas merek dengan membidik transformasi dari pelanggan menjadi kolektor, menciptakan sebuah bisnis yang digerakkan oleh komunitas (community driven business).

“Dari sinergi yang kami lakukan, end game-nya adalah komunitas. Makanya dari rarity, utility, dan community itu paling enggak harus ada di tiap IP owner. Pemikirannya harus sesingkat itu ketika melihat suatu NFT,” tutupnya.


Disclosure: Rubrik “Seri NFT” ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan Kolektibel

Team Vitality Umumkan Kemitraan Jangka Panjang dengan Blockchain Tezos

Penetrasi blockhain pada industri gaming dan esport diprediksi bakal semakin meningkat tahun ini, terutama seiring bertambah populernya tren NFT dan metaverse. Berbagai indikasinya sudah kelihatan mulai sekarang. Salah satunya adalah kerja sama antara Team Vitality dan Tezos yang diumumkan baru-baru ini.

Dikatakan bahwa selama tiga tahun ke depan (hingga 2024), Team Vitality dan Tezos bakal berkolaborasi untuk mengedukasi para penggemarnya terkait manfaat-manfaat yang dapat teknologi blockchain hadirkan ke segmen gaming. Lebih lanjut, Team Vitality juga akan memanfaatkan blockchain Tezos untuk menciptakan cara-cara baru bagi komunitas penggemarnya untuk berinteraksi dengan pemain-pemain bintang favoritnya.

Team Vitality, buat yang tidak tahu, merupakan salah satu organisasi esport terbesar di Eropa, dengan deretan tim yang bertanding di delapan game yang berbeda. Di sisi lain, Tezos merupakan salah satu platform blockchain yang sedang naik daun belakangan ini — yang juga digunakan oleh Ubisoft —berkat teknologinya yang diklaim jauh lebih ramah lingkungan daripada blockchain lain seperti Ethereum maupun Bitcoin.

Kemitraan ini disebut sebagai yang terbesar di sepanjang sejarah Team Vitality. “Ini merupakan kemitraan yang sangat krusial buat Vitality, yang terasa tepat mengingat 2022 bakal jadi tahun terbesar dalam sejarah kami. Peluang yang dapat Tezos hadirkan untuk mempererat relasi kami dengan penggemar sangatlah menarik, dan kami amat bangga Tezos bisa bergabung dalam perjalanan ini,” ucap CEO Team Vitality, Nicolas Maurer.

Buat Tezos, ini menandai salah satu langkah pertamanya masuk ke industri esport. “Ini merupakan langkah yang signifikan bagi tim esport terkemuka di Eropa seiring blockchain dan industri gaming terus membangun masa depan yang berpusat pada pemain dan penggemar untuk esport. Keputusan Team Vitality untuk memilih blockchain Tezos sebagai mitra teknis adalah sinyal lain bagi vertikal gaming yang mapan dan berkembang bahwa gas fee yang rendah, forkless upgradability, dan kemudahan penggunaan adalah faktor-faktor kunci dalam mendorong gelombang adopsi teknologi blockchain yang berikutnya. Saya senang melihat Team Vitality bergabung dengan komunitas Tezos,” ujar Mason Edwards selaku Chief of Staff di Tezos Foundation.

Sumber: Team Vitality via CryptoSlate.

NFT Sebagai Gerbang Awal Ekonomi Kreator

Kata “NFT” (Non-Fungible Token) semakin terasa familiar di telinga sebagian orang Indonesia. Meski pasar belum teredukasi secara merata, antusiasme terhadap teknologi baru ini mulai terlihat, setidaknya dari semakin mudah ditemukannya artikel berbahasa Indonesia dan komunitas-komunitas lokal yang bermunculan.

Bagi kreator konten dan pengusaha konten, NFT telah menjadi topik umum pada tahun ini karena memungkinkan banyak kreator dari semua latar belakang dan genre (seniman, musisi, konten kreator yang biasa memanfaatkan platform media sosial, influencer, petinggi perusahaan, bahkan orang biasa sekalipun) datang untuk berbagi kreativitas mereka, bertemu orang baru, dan mungkin memulai karir.

Di kancah global, seniman seperti Beeple dan Trevor Jones telah menghasilkan jutaan dollar dari penjualan NFT mereka. Musisi seperti 3LAU sedang merancang model bisnis di mana penggemar (dan akhirnya pemilik NFT) dapat mengakses musik eksklusif dan tiket ke acara. Grup musik Kings of Leon menghasilkan jutaan dollar dengan menjual album baru mereka sebagai NFT.

Dengan template yang sama, kesempatan ini tidak ingin dilewatkan oleh kreator di Indonesia dalam menyambut kehadiran NFT. Dalam pantauan DailySocial.id, tidak hanya seniman yang tertarik. Ilustrator, musisi, merek fesyen, rumah produksi, influencer, hingga olahraga sudah menaruh minatnya dengan memanfaatkan platform yang ada.

Ekonomi kreator

NFT mengubah permainan secara keseluruhan, menjadikannya sebagai model bisnis yang benar-benar baru buat kreator. Pada akhirnya, mereka dapat menjual karyanya langsung ke komunitas global atau kini dikenal dengan istilah ekonomi kreator. Model bisnis baru ini memotong sebagian besar distributor (yang biasanya menerima komisi) dan memungkinkan kreator berhubungan dengan kolektor secara langsung dan mudah melalui marketplace seperti OpenSea dan Foundation.

Dapat dibayangkan, saat ini kreator mendapatkan penghasilan melalui konten mereka dengan mempublikasikannya di platform terpusat seperti YouTube, TikTok, dan Instagram. Platform mengambil bagian besar dari pendapatan iklan yang dihasilkan oleh konten mereka dan memberikan sisanya kepada pembuatnya.

Kreator sering kali menghasilkan lebih banyak uang dari kesepakatan brand daripada konten mereka yang sebenarnya. Meskipun demikian, skema tersebut membuat platform tetap hidup dan menghasilkan banyak keterlibatan pengguna.

Dengan NFT, kreator dapat memperoleh penghasilan langsung dari konten mereka. Mereka dapat mengambil momen penting dari unggahan mereka, misalnya unggahan yang paling viral, album perdana dirilis, atau momen penting dalam perjalanan pribadi yang memiliki arti bagi para basis komunitas di kreator tersebut. Tidak hanya itu, kreator dapat membuat konten itu lebih berharga dengan membatasi pasokannya. Plus, mereka dapat memperoleh dari royalti dari konten tidak hanya sekali, tetapi tanpa batas.

Tak hanya itu, kreator juga dapat memilih untuk melampirkan hadiah eksklusif bagi pembeli NFT, seperti tiket VIP ke suatu acara, diskon merchandise, atau akses ke komunitas pribadi sebagai hanya bonus tambahan.

Salah satu contoh yang dilakukan musisi rap Tory Lanez  adalah menjual tujuh lagunya sebagai NFT seharga $1. Dalam waktu kurang dari satu menit, ia menjual 1 juta NFT dan menangkap $1 juta penjualan tanpa memberikan sepeser pun kepada label rekaman atau perantara industri.

Para penggemarnya dapat membeli aset supermurah dan dapat menjualnya kembali dengan jumlah uang yang mengubah hidup. Dengan demikian, NFT diklaim menciptakan situasi win-win, ketika kreator dan penggemar menangkap value yang sama.

Sumber: Pexels

Kreator Indonesia

Faza Ibnu Ubaydillah Salman atau lebih terkenal dengan Faza Meonk, komikus dibalik karakter Si Juki, mengaku tertarik terjun ke NFT setelah diberitahu  temannya yang berprofesi sebagai seniman digital. Temannya telah mendapat penghasilan baru lewat NFT. Hype-nya semakin terasa ketika ia menyaksikan sendiri kuantitas seniman yang masuk ke NFT terus bertambah.

Faza sendiri, sebelum ikut “nyemplung” ke NFT, ia sudah mengenal dunia kripto berkat aktivitas trading yang ia lakoni.

“Jadi saya sudah ngerti kalau ada teknologi yang namanya blockchain yang dipakai untuk NFT. Saya baru nyemplung di Agustus 2021 ke komunitas dan mulai mengonsep personal project yang belum dirilis hingga saat ini,” ujar Faza saat dihubungi DailySocial.id.

Ia berpendapat, secara personal ketertarikannya terjun ke NFT karena di sana membuka kesempatan untuk berkarya secara bebas tanpa harus melihat dari sisi komersil, harus laku atau tidak. Ia pun dapat terus belajar, memperbaiki kualitas karyanya agar semakin baik. Perspektif tersebut ingin ia tularkan kepada para seniman lainnya.

Nothing to lose saja. Mungkin NFT ini jadi masa depan untuk teman-teman seniman agar bisa berkarya dari proyek pribadinya dan mengomersilkannya, sebab pada akhirnya ini jadi dorongan yang menarik.”

Di samping itu, praktik transaksi jual beli offline karya seni di galeri sebenarnya kurang lebih sama dengan NFT. NFT memiliki kode unik yang di-minting dari jaringan blockcain untuk memberikan kode unik kepada para kolektor. Hal tersebut juga dilakukan galeri yang memberikan sertifikat untuk membuktikan pembeli tersebut adalah pemilik yang sah.

“Jadi NFT itu ke depannya bukan buat seni saja. Memungkinkan lebih banyak hal. Kalau pemerintah terbuka, bisa banget dimanfaatkan lebih masif lagi ke banyak aspek kehidupan.”

Saat ini Faza menerbitkan NFT dengan memanfaatkan dua platform marketplace, di TokoMall dan Objkt. Di TokoMall, ia masuk sebagai mitra eksklusif yang digandeng Tokocrypto, sementara di Objkt ia memilih untuk memamerkan karya-karya pribadinya, sekaligus memperkenalkannya ke target penikmat seni di luar negeri.

“Rencananya saya mau perluas lagi ke OpenSea. Tujuannya ingin jangkau orang luar negeri karena secara natural orang Indonesia itu belum ada kebiasaan untuk mengoleksi karya seni. Sementara orang luar negeri itu lebih appreciate, makanya banyak seniman lokal memanfaatkan platform seperti ini.”

Sementara itu, IBL (Indonesian Basketball League), kompetisi basket terbesar di Indonesia, tertarik masuk ke NFT karena ingin selalu engage dengan para penggemar bola basket dan menarik penggemar baru dari kalangan anak muda melalui tren-tren yang menarik perhatian mereka. IBL mulai mempelajari NFT sejak Februari 2021, sampai akhirnya resmi menjadi mitra perdana Kolektibel di November 2021.

“Kita sebagai IBL selalu merujuk pada beragam inovasi yang ada di market. Kami pun merujuk pada NBA yang punya produk NFT sebagai referensi kami dan masuk melalui Kolektibel karena mereka punya approach yang sesuai dengan apa yang kami harapkan, sama seperti NBA Top Shot,” terang Brand Marketing IBL Raihanda Rafi.

Raihan menuturkan, pihaknya memaknai NFT sebagai produk yang memiliki daya tarik tersendiri karena dapat mendekatkan penggemar dengan atlet basket melalui momen-momen (foto, video durasi pendek, gif). Serta, dapat lebih dekat karena tiap NFT yang dikoleksi memiliki utilitas (kegunaan) yang bersifat eksklusif. Tentunya hal tersebut akan menjadi nilai tambah bagi atlet itu sendiri, membuat mereka jadi lebih percaya diri.

“Karena ini industri yang baru, jadi saat ini masih cenderung mempelajari bagaimana NFT itu bekerja. Tugas dari kami, bersama Kolektibel, adalah mengedukasi pasar, mengedukasi mereka bahwa NFT itu di masa depan akan menjadi status sosial yang baru. Sebab barang yang bernilai itu sekarang sudah bukan lagi barang fisik, tapi juga digital.”

Saat ini IBL berhasil menjual 700 pack NFT yang diterbitkan melalui Kolektibel. Setiap pack berisi video momen-momen terbaik dengan level rarity yang berbeda. Di Kolektibel ada tiga level rarity, yakni Common, Rare, dan Epic, masing-masingnya memberikan tingkat keunikan dan nilai pada setiap produk NFT tergantung tipe rarity yang dimiliki.

Dari data IBL, para pembeli NFT-nya adalah para penggemar setia basket, NFT enthusiast, trader, dan investor. “Kita akan terus cari collectibles yang bagus dan bisa dikoleksi, sebab para kolektor ini masih dalam fase mencari tahu dan mengumpulkan collectibles-nya belum ada yang trading di secondary market. Ini jadi menarik karena kami masih banyak aset yang bisa di-NFT-kan.”

Koleksi NFT yang sudah dibeli ini masih berfokus pada momen-momen dari pertandingan di musim 2021. Aset-aset dari pertandingan di 2017 sudah masuk daftar berikutnya yang sudah disiapkan untuk di-NFT-kan. IBL sendiri memiliki kumpulan aset dari tahun 2000-an dengan atlet-atlet legendaris yang tentunya akan menarik untuk dikoleksi para penggemar basket.

“Saya dan tim terus meningkatkan kualitas gambar dari aset lama kami. Banyak aset nostaligia yang masih perlu kami standarisasi kualitasnya agar nantinya lebih enak saat dinikmati para penggemar.”

Ada kekhawatiran

Penawaran yang paling menarik di NFT adalah bagian non-fungible, memberikan verifikasi yang tak terbantahkan soal kepemilikan terhadap sebuah aset digital yang transparan. Ketertarikan dunia ke NFT, sejalan dengan penolakannya, semakin meninggi belakangan ini.

Sama seperti pisau, yang dapat melukai orang atau malah membuat masakan jadi terasa lezat. Penggunaan NFT dapat menjadi celah kejahatan, meski teknologi blockchain diklaim sudah canggih dan mumpuni.

Faza sering menemui praktik mencuri karya seniman yang belum terjun ke NFT. Karyanya di-minting tanpa seizin pemiliknya di platform marketplace. Kejadian ini sering membuat seniman kewalahan dalam mengatasinya.

“Ini semacam dampak dari adanya sistem NFT. Saya percaya teknologi akan terus berkembang. Harapannya, ke depan ada sistem autentikasi untuk membuktikan bahwa karya yang di-minting itu benar pemilknya. Teman-teman di [sektor] IT perlu antisipasi ini.”

Kekhawatiran tersebut diharapkan juga menjadi perhatian dari para platform marketplace NFT lokal selagi industri ini masih sangat baru di Indonesia. Di samping itu, komitmen serius dari pemain platform untuk mempromosikan karya NFT perlu digalakkan kembali. Banyak seniman yang memanfaatkan platform luar negeri, karena tujuan utamanya adalah menjangkau penikmat karya seni secara lebih luas.

Mayoritas orang Indonesia itu belum terbiasa mengoleksi karya seni sebagai bentuk menghargai suatu karya dengan membeli karya itu sendiri. “Jadi kalau hanya dikasih tempat untuk berjualan, tapi tidak dipromosikan juga ya akan percuma karena habit orang Indonesia untuk menghargai suatu karya seni dengan spending itu masih rendah. Jadi lebih mudah untuk ajak orang luar negeri untuk mengoleksi karya kita.”

Sebagai catatan, blockchain Tezos yang digunakan Objkt dan Hit et Nunc (sebelum tutup) banyak dilirik oleh kreator lokal untuk mencicipi dunia NFT pada tahap awal karena lebih ramah lingkungan dan hemat biaya minting. Pula hadirnya jaringan komunitas yang sudah kuat terbangun karena anggota dapat berkomunikasi dengan erat dengan kreator.

“Kreator sekarang dituntut untuk punya kemampuan berkomunikasi yang baik dengan calon pembeli. Makanya banyak muncul pekerjaan baru, manager artist, yang bekerja dengan ruang lingkup seperti kurator, menghubungkan artist dengan kolektornya.”

Membangun komunikasi ini penting, lanjut dia, pasalnya kolektor itu perlu diyakinkan bahwa seniman atau kreator tersebut dapat terus berkarya hingga pada masa mendatang. “Bebas kalau tujuannya ada yang mau investasi, ada juga yang suka karyanya tapi ini persentasenya pasti kecil. Jadi yang paling utama itu harus komunikasi agar mereka percaya kita ini punya value, punya masa depan, yang mungkin membuat nilai jual karya akan lebih baik.”

“Value sebuah karya seni bisa mahal itu karena banyak yang percaya. Sama seperti emas yang bentuknya batu tapi banyak orang yag percaya itu bernilai. Ketika komunitas semakin besar, maka karya seniman tersebut akan semakin mahal, makanya komunitas pegang peranan penting,” tutup Faza.

Pro dan Kontra Game Play-to-Earn dan Keberadaan NFT di Game

Pada Desember 2021, Ubisoft meluncurkan Quartz, platform untuk membeli Digits — playable NFT dari Ubisoft. Dengan begitu, Ubisoft menjadi perusahaan game besar pertama yang mencoba untuk membuat NFT. Namun, keputusan Ubisoft justru disambut dengan protes oleh para gamers.

Ubisoft bukan satu-satunya perusahaan game besar yang tertarik dengan NFT. Di awal tahun 2022, President Square Enix juga mengungkap ketertarikan perusahaan dengan berbagai teknologi baru dalam dunia game, termasuk blockchain dan NFT. Sekali lagi, surat terbuka dari itu disambut dengan protes atau bahkan cemooh dari para gamers. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Konami untuk meluncurkan NFT sebagai perayaan dari ulang tahun ke-35 dari seri Castlevania.

Pertanyaannya, apa yang membuat banyak gamers begitu antipati dengan NFT? Dan kenapa perusahaan-perusahaan game tetap tertarik untuk menawarkan NFT walau banyak gamers yang protes?

Serba-Serbi NFT

Sebelum membahas tentang keuntungan dan kerugian dari NFT, mari kita membahas tentang NFT itu sendiri. NFT merupakan singkatan dari Non-Fungible Token (NFT). Secara harfiah, “non-fungible” berarti unik dan tidak bisa digantikan. Sebagai contoh, Bitcoin — atau uang kertas — adalah sesuatu yang “fungible“. Jadi, Anda bisa menukar satu Bitcoin dengan Bitcoin lain dan nilai Bitcoin yang Anda miliki tetap sama. Sama seperti jika Anda menukar uang Rp100 ribu dengan uang Rp100 ribu lainnya. Walau uang yang Anda miliki tidak lagi sama, nilai dari uang itu tidak berubah.

Lain halnya dengan NFT, yang lebih menyerupai collectible atau barang yang diproduksi dalam jumlah terbatas. Misalnya, Anda mengoleksi kartu Yu-Gi-Oh. Kartu 2002 Blue Eyes White Dragon 1st Edition PSA 10 dan 2002 LOB 1st Edition Exodia The Forbidden One PSA 10, keduanya sama-sama kartu Yu-Gi-Oh paling mahal di dunia. Meskipun begitu, keduanya tetaplah kartu yang berbeda, yang punya nilai yang berbeda pula. Contoh lainnya, walau Lamborghini Veneno dan Koenigsegg CCXR Trevita merupakan mobil yang diproduksi dalam jumlah terbatas, keduanya bukanlah mobil yang sama.

Koenigsegg CCXR Trevita. | Sumber: SindoNews

NFT adalah industri yang masih sangat muda. Banyak orang mulai tertarik dengan NFT pada tahun lalu. Meskipun begitu, menurut laporan CNBC, total nilai jual-beli NFT telah mencapai miliaran dollar sejak beberapa tahun lalu. Misalnya, pada 2017, total nilai jual-beli NFT mencapai US$6,2 miliar. Sebagai perbandingan, total penjualan digital art ketika itu hanya mencapai US$1,9 miliar. Data itu diungkap oleh NonFungible, yang melacak data penjualan NFT.

“Saya merasa, karya seni dan barang koleksi kini menjadi komoditas terbesar dari NFT. Karena, barang-barang itu memang memiliki kriteria yang sesuai,” kata Jon McCormack, Professor of Computer Science, Monash University, pada CNBC. “Produk digital bisa ditiru dengan mudah. Memiliki Certificate of Aunthencity menjadi penting, karena ia bisa menjadi bukti bahwa Anda merupakan pemilik yang sah dari sebuah barang digital.”

Dalam satu tahun terakhir, industri NFT juga tumbuh pesat. Menurut analisa dari DappRader — perusahaan yang bertujuan untuk melacak NFT dan aset terdesentralisasi lainnya — pada Q3 2021, volum penjualan NFT naik 38.000%. Meskipun begitu, sebagian ahli khawatir, popularitas NFT yang meroket dengan begitu cepat akan menciptakan gelembung layaknya Dotcom Bubble.

Sebagian ahli khawatir NFT akan menciptakan bubble baru. | Sumber: Flickr

Seiring dengan semakin populernya NFT, semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk ikut serta. Tak terkecuali perusahaan game, seperti Ubisoft dan Square Enix. Sayangnya, keputusan perusahaan game untuk membuat NFT menimbulkan reaksi yang terpolarisasi dari para gamers. Sebagian gamers mendukung keputusan perusahaan game untuk membuat NFT, sementara sebagian yang lain menentang.

Melalui artikel ini, saya mencoba untuk melihat sudut pandang dari kedua kubu; baik orang-orang yang pro pada NFT, maupun orang-orang yang menentang keberadaan NFT, khususnya di bidang game.

Pro dari NFT di Game

Dulu, jika Anda ingin memainkan sebuah game, Anda harus membelinya terlebih dulu. Jadi, dengan mengeluarkan uang dalam jumlah tertentu, seseorang akan bisa mendapatkan pengalaman bermain dari game yang dia beli. Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, muncul model bisnis baru. Salah satunya adalah free-to-play. Sesuai namanya, game free-to-play bisa dimainkan dengan gratis. Hanya saja, game free-to-play biasanya memiliki item yang bisa dibeli oleh pemain, baik item kosmetik maupun item powerup.

Dan jangan salah, model bisnis free-to-play terbukti sangat menguntungkan. Mari kita bandingkan Legend of Zelda: Breath of the Wild dengan Genshin Impact. Ketika Genshin Impact diluncurkan, banyak orang yang menganggap game buatan miHoYo itu sebagai “tiruan” dari Breath of the Wild. Sejauh ini, Breath of the Wild telah terjual sebanyak 24,13 juta unit. Di toko digital resmi Nintendo, game tersebut dihargai US$60. Jadi, total pendapatan dari game tersebut adalah US$1,45 miliar. Sebagai perbandingan, dalam waktu satu tahun, pemasukan dari Genshin Impact diperkirakan mencapai US$3,7 miliar.

Walau harus diakui, Genshin Impact juga menggunakan model bisnis gacha — yang menyerupai judi dan bisa mendorong pemainnya untuk menghabiskan jutaan atau bahkan puluhan juta rupiah. Dan model bisnis ini memang menimbulkan kontroversi sendiri, yang pernah kami bahas di sini. Terlepas dari model bisnis yang kontroversial, keberadaan game seperti Genshin Impact menunjukkan bahwa gamers tidak segan-segan untuk menghabiskan uang demi mendapatkan karakter atau item dalam game. Sayangnya, saat ini, tidak peduli berapa banyak uang yang seseorang habiskan untuk membeli item dalam game, item itu akan hilang ketika server game ditutup.

Golden Pharaoh X-Suit. | Sumber: Facebook

Sebagai contoh, jika seseorang membeli skin X-Suit Firaun Emas di PUBG Mobile — yang dihargai Rp32 jutaskin tersebut akan hilang begitu saja jika PUBG Mobile tutup. Nah, di sinilah salah satu keuntungan NFT dalam game. Jika item dalam game dibuat menjadi NFT, maka pemilik akan tetap bisa menyimpan item tersebut dalam bentuk NFT di wallet mereka walau game sudah tutup. Dalam kasus skin X-Suit Firaun Emas yang saya contohkan, pemilik skin akan tetap memiliki versi NFT dari skin tersebut meski PUBG Mobile telah tutup.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh gamers dengan adanya NFT dalam game adalah munculnya model bisnis play-to-earn. Dengan memainkan game play-to-earn, pemain bisa mendapatkan uang, bahkan tanpa harus menjadi pemain profesional. Bagaimana mekanisme game play-to-earn? Sederhananya, pemain akan mendapatkan aset digital ketika bermain game. Aset digital itu bisa ditukar dengan cryptocurrency, yang nantinya, bisa ditukar dengan mata uang tradisional. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa membaca artikel kami tentang blockchain gaming di sini.

Keuntungan NFT untuk Developer Game

Adanya NFT di game tidak hanya bisa menguntungkan pemain, tapi juga kreator game. Salah satu keuntungan untuk developer game adalah potensi sumber pemasukan baru, yaitu biaya transaksi. Jika pemain bisa memperjual-belikan NFT di sebuah game, developer bisa memungut biaya dari setiap transaksi yang pemain lakukan. Dan hal ini bisa menjadi pemasukan baru untuk sang developer.

Keuntungan lain yang bisa didapat oleh developer adalah pemain punya alasan untuk bermain game. Selama ini, biasanya, orang-orang bermain game sebagai pelepas penat. Namun, dengan adanya model bisnis play-to-earn, ada hal lain yang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game, yaitu untuk mendapatkan uang. Hal ini sempat dibahas oleh President Square Enix, Yosuke Matsuda, dalam sebuah surat terbuka.

“Baik dalam game online atau game single-player, pada awalnya, hubungan antara gamers dan kreator game adalah hubungan satu arah: kreator seperti kami menciptakan game yang akan dimainkan oleh konsumen,” kata Matsuda. “Sementara itu, blockchain game — yang baru muncul dan kini sedang tumbuh, –dibangun berdasarkan konsep token economy, yang membuka potensi untuk mendorong pertumbuhan industri game yang mandiri dan berkelanjutan.”

Yosuke Matsuda. | Sumber: VG247

Lebih lanjut Matsuda menjelaskan, salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan industri blockchain game adalah keberagaman, baik dalam cara pemain berinteraksi dengan game maupun alasan pemain bermain game. “Perkembangan token economy akan mendorong momentum dari keberagaman ini,” ujarnya. “Contohnya adalah konsep ‘play to earn‘ yang membuat orang-orang menjadi tertarik untuk bermain game.”

Axie Infinity adalah salah satu contoh game dengan model bisnis play-to-earn. Game itu sangat populer di Filipina. Menurut laporan Niko Partners, per April 2021, Axie Infinity telah diunduh sebanyak 70 ribu kali dan sebanyak 29 ribu downloads berasal dari Filipina. Sementara per Oktober 2021, jumlah pemain Axie Infinity di Filipina naik menjadi sekitar 300 ribu orang. Di bulan yang sama, total volum jual-beli di game itu telah menembus US$25 juta. Setiap harinya, total NFT yang terjual di Axie Inifity melebihi 50 ribu tokens.

Axie Infinity menjadi sangat populer di Filipina sehngga pemerintah pun memutuskan untuk mengeluarkan regulasi tentang cryptocurrency yang didapat pemain dari game tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan game play-to-earn memang bisa mendorong orang-orang untuk bermain game demi mendapatkan uang. Pada saat yang sama, model play-to-earn juga menciptakan masalah tersendiri, yang saya akan bahas dalam segmen berikut.

Argumen Kontra tentang NFT di Game

Menyertakan NFT dalam game memang memiliki keuntungan tersendiri. Namun, sebagian gamers tampaknya justru tidak suka jika perusahaan game membuat atau berencana untuk memasukkan NFT ke game mereka. Sebagai contoh, ketika Ubisoft meluncurkan platform Quartz — bersamaan dengan tiga NFT pertama mereka — reaksi gamers terpolarisasi.

Sebagian gamers, khususnya yang percaya dengan masa depan blockchain, menganggap bahwa keputusan Ubisoft akan membawa perubahan besar ke industri game. Karena, Ubisoft menjadi publisher game besar pertama yang memutuskan untuk membuat NFT. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang justru mengecam Ubisoft. Buktinya, video peluncuran Quartz — yang sekarang sudah menjadi menjadi video unlistedmendapatkan 40 ribu dislikes dan hanya 1,6 ribu likes.

Ubisoft Quartz dapat protes dari para gamers.

Salah satu hal yang membuat gamers tidak suka dengan potensi adanya NFT dalam game adalah karena keberadaan NFT membuka peluang bagi developer untuk mendorong pemain mengeluarkan uang. Seperti yang disebutkan oleh Economic Times, ketika bermain game, khususnya game AAA, pemain tidak hanya harus mengeluarkan uang, tapi juga menginvestasikan waktunya.

Tentunya, gamers ingin mendapatkan pengalaman bermain yang memuaskan. Dan pengalaman bermain itu bisa berkurang ketika developer masih mengharuskan pemain untuk membeli NFT. Masalah ini serupa dengan keberadaan microtransactions atau lootbox dalam game premium. Sebagai contoh, Star Wars Battlefront II. Game itu dijual dengan harga Rp479 ribu di Steam. Namun, game tersebut masih dipenuhi dengan lootbox dan microtransactions. Dan hal itu ini menuai kontroversi ketika Electronic Arts meluncurkan game tersebut di 2018.

Masalahnya, game NFT dengan model play-to-earn memang didesain sedemikian rupa agar gamers mau melakukan jual-beli dari aset digital yang ada. Alhasil, tujuan pemain untuk bermain tak lagi untuk bersenang-senang, tapi untuk mendapatkan uang. Pada akhirnya, hal ini bisa membuat kepuasan bermain game menjadi berkurang.

Tiga “pendiri” Fame Lady Squad. | Sumber: InputMag

Alasan lain mengapa para gamers tidak suka akan keberadaan NFT dalam game adalah karena banyaknya penipuan di ranah NFT. Jenis penipuan yang ada pun beragam, mulai dari giveaways palsu di Twitter untuk mendapatkan banyak retweets dan followers, tautan berbahaya yang disebarkan agar orang-orang mengklik tautan tersebut, sampai metode rug pull.

Secara sederhana, skema penipuan rug pull adalah ketika developer membawa lari uang investor tanpa menyelesaikan proyek yang mereka janjikan. Salah satu contoh model penipuan rug pull adalah Fame Lady Squad, yang mengklaim sebagai proyek NFT untuk pemberdayaan perempuan. Proyek itu diklaim dibuat oleh tiga perempuan, yaitu Cindy, Andrea, dan Kelda.

Ketiga perempuan itu memiliki avatar yang dibuat ke dalam NFT, yang kemudian bisa dibeli. Secara total, Fame Lady Squad berhasil mengumpulkan hampir US$1,5 juta dari investor dan komunitas sebelum mereka melarikan diri. Dan setelah diselidiki, diketahui bahwa Fame Lady Squad bahkan tidak didalangi oleh tiga perempuan, tapi oleh sekelompok pria asal Rusia, seperti yang dilaporkan oleh InputMag.

Pada awalnya, Evil Ape berjanji akan membuat fighting game, Evolved Apes. Dalam game itu, para pemain akan mengadu kera yang mereka miliki dengan satu sama lain. Pemain yang keluar sebagai pemenang akan mendapatkan Ethereum sebagai hadiah. Untuk bisa bermain, pemain harus membeli NFT dari karakter Evolved Apes, yang dijual di marketplace NFT, OpenSea.

Namun, untuk bisa membangun game Evolved Apes, Evil Ape akan memerlukan biaya. Karena itu, mereka menjual NFT dari karakter di Evolved Apes. Uang itu diklaim akan digunakan untuk biaya pengembangan dan marketing game. Namun, Evil Ape justru membawa kabur uang yang terkumpul — senilai US$2,7 juta — tanpa pernah meluncurkan game yang dijanjikan. Kabar baiknya — jika hal ini bisa disebut kabar baik — pemain yang sudah terlanjur membeli NFT masih dapat menyimpan NFT tersebut.

Evolved Apes. | Sumber: PC Gamer

Masalah penipuan terkait NFT diperburuk oleh fakta bahwa belum ada banyak regulasi yang mengatur teknologi tersebut. Faktanya, Evil APe dilaporkan ke kepolisian di Inggris, yang merupakan markas dari kru Evolved Apes. Dan pihak kepolisian menyebutkan bahwa kasus ini mungkin akan sulit untuk diprotes. Karena, orang-orang yang sudah membeli NFT memang mendapatkan NFT yang mereka inginkan. Sementara masalah janji untuk membuat game yang tidak terpenuhi, pihak kepolisian menyebutkan bahwa game itu memang tidak menjadi bagian dari apa yang pemain beli, seperti dikutip dari PC Gamer.

Dampak Buruk NFT ke Seniman dan Lingkungan

Selain gamers, kelompok yang cenderung menentang NFT adalah digital artists dan aktivis lingkungan. Bagi para digital artists, NFT memang sering disebutkan akan bisa menjadi mata pencaharian baru. Hanya saja, keberadaan NFT juga menimbulkan masalah tersendiri, yaitu membuat pencurian seni menjadi semakin marak. Memang, sebelum keberadaan NFT pun, pencurian karya digital adalah hal yang lumrah. Meskipun begitu, setelah NFT menjadi populer, tidak sedikit orang yang mencuri karya digital orang lain untuk menjadikannya sebagai NFT.

Masalah pencurian karya ini begitu marak sehingga salah satu comic artist dari DC Comics, Liam Sharp, memutuskan untuk menutup akun DevianArt miliknya. Melalui Twitter, dia menjelaskan, dia mengambil langkah drastis itu karena ada banyak karyanya yang dijadikan NFT tanpa izinnya. Seolah hal ini tidak cukup buruk, ketika dia melaporkan masalah ini ke pihak DeviantArt, laporannya justru diacuhkan, seperti yang dilaporkan oleh Futurism.

Sementara bagi aktivis lingkungan, alasan mereka menjadi antipati dengan NFT adalah karena ia memberikan dampak buruk pada lingkungan. Seperti yang disebutkan oleh Wired, marketplace besar untuk menjual NFT — seperti MakersPlace, Nifty Gateway, dan SuperRare — menggunakan Ethereum. Sama seperti Bitcoin, proses penambangan Ethereum memerlukan komputer yang bisa memproses kriptografi kompleks. Dan komputer itu biasanya membutuhkan energi besar.

Sebagai ilustasi, energi yang dihabiskan oleh penambang Bitcoin setiap tahunnya diperkirakan mencapai empat sampai lima terawatt-jam, atau sama seperti listrik yang dihabiskan oleh Hong Kong pada 2017. Sementara itu, daya listrik yang dihabiskan oleh penambang Ethereum setiap tahunnya diperkirakan sama seperti penggunaan listrik Libia. Dan semakin besar listrik yang penambang cryptocurrency habiskan, semakin banyak pula polusi yang dihasilkan.

Penutup

Teknologi baru biasanya menciptakan disrupsi di industri yang sudah ada. Namun, masyarakat cenderung enggan untuk mengadopsi teknologi baru. Sebagai contoh, sekarang, orang-orang sudah terbiasa untuk berbelanja melalui platform e-commerce. Tapi, beberapa tahun lalu, platform e-commerce sibuk untuk melakukan edukasi, meyakinkan konsumen bahwa mereka tidak akan tertipu jika mereka berbelanja secara online.

Saya rasa, hal yang sama juga berlaku untuk NFT. Mengingat betapa barunya industri NFT, tidak heran jika banyak orang yang masih sangat was-was, apalagi karena belum banyak atau bahkan belum ada regulasi yang mengatur tentang industri tersebut. Kabar baiknya, industri NFT masih terus berevolusi. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, masalah-masalah yang muncul saat ini bisa diselesaikan di masa depan.

Satu hal yang harus diingat, tidak semua teknologi baru akan diadopsi secara massal. Tidak peduli seberapa besar hype dari teknologi baru, terkadang, teknologi itu memang hanya bisa menargetkan pasar niche. Salah satu contohnya adalah teknologi mixed reality. Jadi, walau industri NFT memang tengah menarik perhatian saat ini, tidak ada jaminan bahwa industri itu akan bertahan atau menjadi mainstream di masa depan. Saya rasa, hal ini akan tergantung pada pelaku industri NFT itu sendiri.

Sumber header: Pixabay