Online Travel Platforms Remain Optimistic, Offering Staycation as Priority

Tourism is one of the many industries affected by the pandemic. In the first period, they struggled to serve the refund of its users. Currently, they are preparing to face a new wave of shifting habits starting with domestic tourists.

In the States, based on “Travel Sentiment Study Wave 11” data compiled by Longwoods International and Miles Partnership, 45% of respondents decided to derail their entire travel plans. The rest (55%) decide to make adjustments, including reducing travel plans, changing destinations that can be reached by car, or changing international travel plans to domestic areas.

Changes in travel plan patterns also occur in various countries. One that can be adopted is to re-empower local tourism.

Two local OTA players share their preparations for the new life order. They are ready to welcome users who have been at home for a long time with all the strategies and services that have been adjusted.

Pegipegi’s Corporate Communications Manager. Busyra Oryza explained, in order to recover, it’ll take the travel industry a long time. Nevertheless, it is optimistic that tourism will rise.

“To date, we find that the staycation trend is getting popular. In order to accommodate it easier for customers who want to release fatigue after undergoing quarantine for months, we present a flash sale program with hotel discounts up to 50% during not this July,” Busyra explained.

While Ticket also began to introduce several services to keep loyal users.

The first is the Tiket Clean containing Ticket’s commitment with partners to work together in the standardization of health and hygiene protocols issued by officials, such as WHO.

Tickets also extend the validity period of Tix Points. Those points that should expire between April-June will be extended to December 2020.

“Prioritizing assistance, rescheduling, and refund from customers. We consider this to be an asset investment in the future by prioritizing services to customers,” Ticket team said.

What has changed during the pandemic

Pandemic does not only affect Indonesia. All over the world is chaotic due to the prohibition of many economic activities. In China, there have been changes in the pattern of the travel agent industry.

Chinese local media reported that around 10,000 travel agencies decided to close their businesses at the end of March. The estimated decline in revenue from the tourism industry is estimated at $ 420 billion.

In Indonesia, the pandemic is making a run for the Airy business. Finally, one of the players in the budget hotel sector decided to close the service.

The McKinsey report titled “Hitting the road again: How Chinese travelers are thinking about their first trip after COVID-19” with 1600 respondents highlighting various things about travel after the pandemic.

One of the highlights in the report is domestic travel which is 55% of respondents interested. The pattern of travelers in the United States and China tends to be the same. Most choose to stay on vacation with caution.

Tiket and Pegipegi agree that the staycation trend is predicted to increase. The need for holidays and a pandemic situation that is yet to cease soon make people look for solutions. One answer is a vacation closer to home.

Nevertheless, the travel industry has certainly no longer the same. Some things have changed. One thing for sure is the health protocol. Ticket joins Antis to provide sanitizing kit equipment for those who use the Tiket Clean  service.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform “Online Travel” Mencoba Tetap Optimis, Bidik “Staycation” Sebagai Prioritas

Pariwisata adalah satu dari banyak industri yang terdampak pandemi cukup hebat. Di periode pertama mereka susah payah melayani refund para penggunanya. Kini mereka tengah bersiap untuk menghadapi gelombang kebiasaan baru yang tampaknya akan dimulai dengan turis domestik.

Di Amerika Serikat, berdasarkan data “Travel Stentiment Study Wave 11” yang disusun Longwoods International dan Miles Partnership, sebanyak 45% responden memutuskan menggagalkan seluruh rencana perjalanan mereka. Sisanya (55%) memutuskan melakukan penyesuaian, termasuk mengurangi rencana perjalanan, mengubah destinasi yang bisa ditempuh dengan mobil, atau mengubah rencana perjalanan internasional ke wilayah domestik.

Perubahan pola rencana perjalanan juga terjadi di berbagai negara. Salah satu yang bisa diadopsi adalah memberdayakan kembali pariwisata lokal.

Dua pemain OTA lokal berbagi persiapan mereka menghadapi tatanan kehidupan baru. Mereka bersiap menyambut pengguna yang sudah lama berada di rumah dengan segenap strategi dan layanan yang sudah disesuaikan.

Corporate Communications Manager Pegipegi Busyra Oryza menjelaskan, untuk pulih seperti sedia kala industri travel membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kendati demikian pihaknya optimis pariwisata akan bangkit.

“Saat ini kami melihat tren staycation kembali meningkat.  Untuk semakin memudahkan pelanggan yang ingin melepas penat setelah menjalani karantina berbulan-bulan, kami menghadirkan program flash sale dengan diskon hotel s/d 50% selama bukan Juli ini,” terang Busyra.

Sementara Tiket juga mulai memperkenalkan beberapa layanan untuk menjaga pengguna setia.

Yang pertama adalah Tiket Clean yang berisi komitmen Tiket dan partner untuk bekerja sama dalam pemenuhan standarisasi protokol kesehatan dan kebersihan yang dikeluarkan badan resmi seperti WHO.

Tiket juga memperpanjang masa berlaku Tix Point. Mereka yang masa berlaku seharusnya hangus di antara bulan April-Juni akan diperpanjang hingga Desember 2020.

“Memprioritaskan layanan permintaan bantuan, lonjakan reschedule dan refund dari customer. Hal tersebut kami anggap sebagai investasi aset di kemudian hari dengan mengedepankan layanan kepada pelanggan,” terang pihak Tiket.

Yang berubah di masa pandemi

Pandemi tak hanya berdampak di Indonesia. Hampir seluruh dunia dibuat kalang-kabut karena banyak kegiatan ekonomi berhenti. Di Tiongkok, perubahan pola industri travel agent sudah terlihat.

Media lokal Tiongkok melaporkan kurang lebih ada 10.000 agensi travel yang memutuskan untuk menutup bisnisnya akhir Maret kemarin. Estimasi penurunan pemasukan dari industri pariwisata diperkirakan mencapai $420 miliar.

Di Indonesia sendiri pandemi membuat pontang-panting bisnis Airy. Akhirnya salah satu pemain di sektor hotel budget itu memutuskan untuk menutup layanan.

Laporan McKinsey bertajuk “Hitting the road again: How Chinese travelers are thinking about their first trip after COVID-19” dengan 1600 responden menyoroti berbagai hal mengenai perjalanan setelah pandemi.

Salah satu sorotan yang ada di laporan tersebut adalah perjalanan domestik yang diminati 55% responden. Pola para traveler di Amerika Serikat dan Tiongkok ini cenderung sama. Kebanyakan memiih tetap berlibur dengan waspada.

Tiket dan Pegipegi sepakat tren staycation diprediksi akan meningkat. Kebutuhan akan liburan dan situasi pandemi yang tak kunjung reda membuat masyarakat mencari solusi. Salah satu jawabannya adalah liburan yang tak jauh dari rumah.

Kendati demikian, industri travel sudah dipastikan tak lagi sama. Ada beberapa hal yang berubah. Satu yang pasti adalah protokol kesehatan. Tiket menggandeng Antis untuk memberikan perlengkapan sanitizing kit untuk mereka yang menggunakan layanan Tiket Clean.

Dampak Oyo Terhadap Ekosistem Hotel Bujet Tanah Air

Tahun 2019 merupakan salah satu momen kejayaan operator hotel bujet di Indonesia. Perusahaan seperti Oyo, Reddoorz, Airy, dan ZenRooms memberikan opsi tambahan bagi para pelancong ketika harga tiket pesawat mengalami kenaikan siginfikan. Dari nama-nama tersebut, Oyo bersinar paling terang.

Di tangan pemuda India bernama Ritesh Agarwal, Oyo melejit sebagai salah satu startup dengan pertumbuhan paling cepat hingga akhirnya mereka menjelma sebagai unicorn. Sejak berdiri pada 2013, Oyo sudah beroperasi di banyak negara mulai dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, hingga Amerika Latin. Mereka pun sukses mendapat dukungan investasi dari Softbank dalam putaran pendanaan terakhir yang bernominal $1,5 miliar.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar yang paling diperhitungkan Oyo. Oyo menggelontorkan dana untuk pasar tanah air senilai $300 juta atau setara Rp4,2 triliun tahun lalu. Oyo Indonesia berhasil meraih 5 juta pelanggan sepanjang tahun dan menggandeng 27.000 kamar dan 1.000 hotel. Sebuah pencapaian yang begitu besar untuk perusahaan yang belum terlalu lama bermukim di Indonesia.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh saat bertandang ke Indonesia pada September lalu.

Kesuksesan kilat Oyo bukan tanpa alasan. Kecepatan mereka mengakuisisi properti baru tak lepas dari skema minimum guarantee (MG) yang mereka tawarkan. Skema ini memungkinkan pemilik properti mendapat jaminan bayaran dengan nominal tetap yang diukur dari potensi properti mereka terlepas dari berapa tingkat okupansinya. Sara (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mitra yang mengaku memutuskan bermitra dengan Oyo karena skema ini. Sara mendapat jaminan Rp36 juta per bulan dari Oyo untuk hotel bujetnya. Ketertarikan serupa dialami mayoritas mitra mereka di seluruh dunia.

Pandemi mengubah cerita manis tersebut. Anjloknya tingkat okupansi dan beban operasional yang tak berkurang memaksa mereka mengambil langkah drastis, yakni mengganti skema MG itu dengan skema bagi hasil. Ritesh sudah mengakui perubahan skema ini. Begitu pula dengan Oyo Indonesia yang diwakili oleh Country Head, Emerging Business, Eko Bramantyo.

“Yang kita sampaikan sederhana kepada para mitra terhormat bahwa kita tidak bisa lagi pakai model MG tapi dengan bagi hasil atau revenue share. Ini terjadi karena kita enggak tahu okupansinya akan berapa dan kedua kita enggak tahu harganya akan bagaimana karena pergerakan harga ini luar biasa signifikan dan beragam. Kita tidak bisa lakukan model bisnis seperti sebelum corona,” terang Eko dalam sebuah sesi tanya jawab dengan media pekan lalu.

Dampak terhadap ekosistem perhotelan bujet

Kesuksesan Oyo sebagai hotel bujet juga mengundang keresahan pelaku bisnis hotel bujet. Harga kamar Oyo yang begitu murah dianggap menjadi masalah baru, bahkan oleh para mitranya sendiri. Albert, seorang pemilik properti di Jawa Timur yang sempat bermitra selama setahun dengan Oyo, mengeluhkan bagaimana murahnya tarif yang diterapkan Oyo sebagai bentuk predatory pricing. Ketika harga hotel bujet berada di kisaran Rp200.000-Rp300.000, Oyo bisa menekan harga hingga setengahnya saja memanfaatkan kekuatan modal dengan menggaet hotel bujet lain, homestay, guesthouse, hingga kamar indekos yang dijual secara harian dengan tarif per malam bisa di bawah Rp100.000.

“Bisa dibilang mereka menurunkan standar industri. Dengan harga hotel turun terus, gaji pegawai harus turun, service charge harus ditiadakan, dari safety juga dikurangi. Ini bukan persaingan yang sehat lagi. Dan yang mereka lakukan dengan bilang dynamic pricing itu omong kosong karena mereka itu predatory pricing,” tegas Albert.

Sara pun berpendapat serupa. Setelah kurang lebih satu tahun bermitra, ia mengaku murahnya harga kamar yang ditawarkan Oyo menyebabkan kemungkinan terburuk dari tamu yakni pelajar yang belum cukup umur, hingga anak-anak mudah yang sekadar ingin mabuk-mabukan. “Saking murahnya harga dasar yang mereka kasih, pernah kejadian kasus tamu kemalingan di kamar yang ternyata setelah diselidiki buntut aksi prostitusi online,” ujar Sara.

Protes sekaligus harapan diletakkan pemilik properti ke platform digital pemesanan akomodasi hotel, misalnya Traveloka dan Pegipegi. Mereka menilai, sebagai kanal penjualan kamar hotel, platform punya daya tawar untuk mencegah penetapan harga yang terlalu murah dengan mempertimbangkan banyaknya laporan ketidakpuasan konsumen.

Kepada DailySocial, Traveloka mengaku selalu memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi mitra penyedia akomodasi yang tergabung ke dalam platform dan menjalin komunikasi dengan mitra untuk menjaga pengalaman menginap tamu. Sementara Pegipegi menjelaskan pihaknya menyayangkan penetapan tarif menginap yang terlalu murah. Namun mereka mengaku hal itu menjadi domain operator properti. “Dari sisi yang kami lakukan, kami tidak meng-highlight properti tersebut di aplikasi kami,” tegas Corporation Communications Manager Pegipegi, Busyra Oryza.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui, keluhan para pemilik hotel bujet terhadap cara main operator virtual ini sudah terdengar cukup lama. Persaingan tidak sehat tersebut menurut Maulana berasal dari beberapa faktor. Pertama adalah ketidakcermatan pemilik properti sendiri yang kerap terlena oleh jaminan pendapatan yang ditawarkan operator virtual, meskipun pada akhirnya ia juga mewajarkan ketertarikan para pemilik untuk bermitra. Sementara di satu sisi, operator punya hak menetapkan harga semurah itu karena mereka sudah diberikan kewenangan untuk mengelola segala hal termasuk soal penetapan harga.

Namun Maulana menunjuk lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah sebagai penyebab utama rendahnya tarif hotel bujet setahun belakangan. Yang paling kentara, menurutnya, adalah maraknya penggunaan akomodasi bulanan seperti indekos sebagai penginapan harian. Ketika operator virtual merambah kamar indekos, persaingan bisnis menurutnya makin tak wajar. Ia menuding pemerintah pusat dan daerah tidak tegas menertibkan kondisi tersebut.

“Kami dari PHRI melihat pemerintah pengawasannya masih kurang karena harusnya pemerintah sebagai pemilik peraturan bisa lebih tegas. Perbedaan pungutan harga itu terjadi karena ada perbedaan pungutan pajak dan perizinan. Pemerintah jadi kunci, khususnya pemerintah daerah,” sambung Maulana.

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri (KBLI) Bidang Pariwisata 2015 indekos memang tidak masuk ke dalam klasifikasi penyediaan akomodasi jangka pendek. Dasar peraturan ini yang dipegang teguh PHRI mengkritik keras operator virtual seperti Oyo maupun pemerintah sebagai regulator. “Kalau enggak dibenahi, pengusaha akan berantakan, yang rugi juga nanti para karyawannya. Nanti tidak ada hotel bujet, tapi adanya malah kos-kosan,” imbuh Maulana.

Kurang silaturahmi

Eko Bramantyo menanggapi kecaman PHRI itu dengan cukup santai. Eko sendiri mengaku sudah datang langsung ke acara musyawarah nasional PHRI yang terakhir digelar Februari lalu. Ia menilai ribut-ribut mengenai metode bisnis mereka terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Itu sebabnya mereka berniat memperbaiki komunikasinya dengan asosiasi industri serta pemerintah.

“Yang menyebabkan keributan-keributan itu sebetulnya satu, silaturahminya belum terjalin dengan baik. Kalau terjalin dengan baik, yang diuntungkan negara ini karena pada akhirnya akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan koridor sinergi bisnis yang akahirnya mensejahterakan lingkungannya,” tukas Eko.

Oyo Indonesia mengakui komunikasi dan sinergi mereka dengan regulator dan pelaku industri masih belum ideal dan mulus untuk saat ini. Eko menjadikan hal itu sebagai indikator kinerja perusahaannya bisa lebih baik. Oyo tentu mendambakan hubungan baik tersebut karena mereka dikenal agresif dalam melakukan ekspansi bisnisnya.

Namun, sementara ini, Oyo dipastikan tidak akan jor-joran seperti sebelumnya. Eko menyebut pihaknya kehilangan tingkat okupansi hingga 60% selama pandemi berlangsung. Eko juga mengklaim saat ini tak memikirkan market share karena semua sumber daya difokuskan untuk bertahan hingga setahun ke depan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengubah skema MG menjadi skema bagi hasil.

Semenjak pandemi melanda Indonesia, bisnis perhotelan adalah salah satu sektor yang terdampak paling keras. PHRI menyebut sudah lebih dari 2.000 hotel berhenti beroperasi hingga awal Mei. Angka ini diprediksi masih bisa terus bertambah walaupun pemerintah sudah melonggarkan pembatasan mobilitas penduduk di banyak daerah.

Dalam kasus Oyo, Albert sebagai pemilik hotel kelas bujet menilai Covid-19 hanya memperjelas kondisi persaingan yang tidak sehat. Banyaknya hotel yang tutup bahkan ketika pandemi baru melanda Indonesia menurutnya adalah pertanda bahwa selama ini hotel sudah berdarah-darah untuk sekadar beroperasi. “Itu artinya hotel tidak punya dana untuk daily basis operation,” Albert mengakhiri.

Oyo Indonesia tentu membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tarif murah itu merupakan value proposition mereka yang diperoleh dari mekanisme dynamic pricing berdasarkan teknologi yang mereka pakai. Kalaupun ada harga kamar yang tampak begitu murah, mereka berdalih itu terjadi dalam rangka promo dengan periode waktu tertentu saja.

Application Information Will Show Up Here

Imbas COVID-19 Terhadap Layanan OTA dan Industri Pariwisata

Penyebaran virus Corona (COVID-19) yang bermula di Tiongkok adalah kabar buruk untuk industri pariwisata dan industri penunjangnya. Dampak buruk ini menyebabkan pelaku industri mengencangkan ikat pinggang sambil menunggu kabar baik penanganan wabah ini.

Merebaknya COVID-19 di Wuhan, Tiongkok, pada akhir Januari lalu sudah dipastikan mengganggu industri pariwisata global, termasuk di Indonesia. Layanan penerbangan dan pemesanan hotel adalah dua pos yang paling terpukul akibat penyakit tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Desember 2019, wisatawan mancanegara secara berurutan paling banyak berasal dari Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Tiongkok sendiri menyumbang sekitar 2 juta turis sepanjang tahun lalu atau peringkat kedua dengan 12,8 persen total wisman. Sementara Malaysia, Singapura, dan wisman dari negara Asia Tenggara lainnya berjumlah 6,1 juta.

Laporan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memperjelas lebih detail pelemahan pariwisata di sejumlah daerah. PHRI menyebut Bali mengalami penurunan yang cukup drastis. Di beberapa titik wisata favorit warga Tiongkok seperti Nusa Dua, Tuban, dan Legian okupansinya anjlok 60-80 persen. Kedatangan penumpang internasional di Bandara Ngurah Rai tercatat stagnan di bawah 15.000 hingga di bawah 14.000 sejak akhir Januari hingga pertengahan Februari. Jumlah pesawat internasional ke Bali pun sempat terpuruk hingga 80-an saja. Padahal sepanjang Januari jumlahnya masih konstan di atas 100-an penerbangan.

Secara keseluruhan tingkat okupansi hotel di Bali hanya sekitar 30-40 persen. Hal yang sama terjadi di Manado yang didominasi wisman Tiongkok. PHRI menyebut okupansi hotel di sana turun 30-40 persen menjadi 30 persen saja.

Imbas terhadap OTA

Online travel agency (OTA) otomatis kena imbas dari situasi ini. Pegipegi melalui keterangan tertulisnya menitikberatkan penurunan pemesanan perjalanan domestik. Hal itu terjadi terutama ketika pemerintah mengumumkan kasus COVID-19 pertama pada Senin (2/3) lalu.

“Saat ini dapat kami lihat bahwa permintaan pemesanan perjalanan untuk destinasi domestik mengalami penurunan mengingat informasi kasus Corona di Indonesia baru saja diumumkan awal minggu ini,” ujar Corporate Communications Manager Pegipegi Busyra Oryza kepada Dailysocial.

Kontribusi OTA dalam ekonomi pariwisata Tanah Air tak bisa dianggap remeh. Databoks Katadata menunjukkan transaksi tiket online berada di angka US$8,6 miliar atau Rp125 triliun pada 2018. Angka itu diprediksi tumbuh hingga US$25 miliar atau Rp355 triliun pada 2025. Nominal ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara.

Sektor pariwisata menyumbang 5,25% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2018 yang sebesar Rp14.837 triliun. Ini artinya dari sekitar Rp779 triliun yang disumbangkan sektor pariwisata, sekitar 16 persen di antaranya berasal dari transaksi online.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet yakin pelaku OTA di Indonesia pasti terpukul akibat COVID-19. Akan tetapi Yusuf melihat mereka bukan tanpa harapan dalam situasi genting seperti sekarang.

Yusuf berpendapat layanan OTA dapat menambal situasi yang ada dengan layanan sampingan mereka dan mengencangkan promosi untuk pasar domestik. Layanan OTA ternama, seperti Traveloka dan Tiket.com, sudah memiliki sejumlah layanan yang tak terkait dengan pemesanan penginapan maupun tiket pesawat seperti pemesanan makanan atau pemesanan tiket pusat rekreasi.

“Menurut saya mereka bisa memanfaatkan potensi wisatawan domestik tapi yang sifatnya lebih lokal. seperti wisata kuliner,” ucap Yusuf.

Bhima Yudhistira, ekonom Indef, mengatakan pukulan wabah terhadap OTA, terutama yang sudah beroperasi hingga ke mancanegara seperti Traveloka cukup besar. Hampir senada dengan pernyataan Yusuf, menurut Bhima harapan terletak pada kantong wisata domestik yang tinggal beberapa bulan lagi menyambut musim Lebaran.

“Setidaknya ini bisa menjaga situasi agar tak terlalu turun. Apalagi beberapa bulan lagi Lebaran jadi pasti akan ada kenaikan. Walau ada virus Corona, wisatawan domestik akan menyemaptkan pulang, jadi menurut saya masih akan cukup kuat [di domestik],” sambung Bhima.

Perwakilan Traveloka, yang dihubungi secara terpisah, mengaku prihatin atas situasi yang terjadi. Namun mereka menolak menjelaskan sejauh apa dampak yang mereka terima akibat kasus COVID-19. “Saat ini fokus kami adalah mengutamakan keamanan dan kenyamanan pengguna dalam merencanakan perjalanannya,” ujar Head of Marketing, Transport, Traveloka Andhini Putri.

Respons Pegipegi tak jauh berbeda. Mereka masih sibuk mengakomodasi kebutuhan para pelancong yang menggunakan jasa mereka, termasuk dalam pembatalan reservasi. “Saat ini, bagi pelanggan yang ingin membatalkan pemesanan mereka, dapat dilakukan dengan mudah melalui aplikasi Pegipegi dengan menggunakan fitur Online Refund,” imbuh Busyra.

Insentif pemerintah

Kontribusi pariwisata memang masih belum sebesar sektor manufaktur atau perdagangan, namun subsektor yang dinaunginya dan pertumbuhannya yang selalu positif cukup menjadi alasan bagi pemerintah untuk menelurkan sejumlah insentif.

Beberapa insentif itu misalnya dana Rp72 miliar untuk influencer (kemudian ditangguhkan); Rp860 miliar berupa diskon tiket peerbangan sebesar 50% untuk 10 destinasi wisata unggulan seperti Danau Toba, Yogyakarta, Bali, hingga Labuan Bajo; dan beberapa insentif lainnya. Nominal-nominal itu adalah insentif tambahan khusus untuk sektor yang berkenaan dengan pariwisata dengan total nominal Rp298,5 miliar. Sebelumnya pemerintah sudah memastikan mengguyur Rp10,3 triliun untuk berbagai sektor sebagai antisipasi pelambatan ekonomi.

Yusuf menilai sejumlah insentif itu patut diapresiasi meski ada beberapa hal yang masih harus dikritisi. Ia menganggap pemerintah belum terlalu rinci terkait penerapan insentif itu. Contohnya adalah diskon tiket penerbangan yang belum jelas berlaku untuk destinasi wisata unggulan saja atau untuk seluruh Indonesia.

Poin ini juga yang menjadi kritik PHRI. Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani menilai tidak terlalu fokus pada lima destinasi super prioritas, tapi juga ke daerah-daerah yang memiliki bisnis pariwisata mapan.

“Relaksasi pajak insentif jangan hanya ditujukan ke 5 Destinasi Prioritas dan destinasi yang memiliki wisman dari China saja, namun juga ditujukan ke
destinasi yang memiliki international direct flight dari negara negara lain yang kunjungan wisman juga menurun seperti Singapura, Vietnam, Korea Selatan dan
Malaysia,” tukas Hariyadi dalam paparannya.

Hingga tulisan ini dibuat sudah tercatat enam orang yang dinyatakan positif mengidap virus COVID-19 tanpa korban jiwa. Total di seluruh dunia, virus ini menyebabkan nyaris 99 ribu kasus, dengan korban jiwa sebanyak 3.390, dan korban yang pulih sekitar 56 ribu. Tiongkok, Korea Selatan, Italia, dan Iran merupakan empat negara yang saat ini paling menderita akibat wabah ini.

Tidak Terafiliasi dengan Traveloka, Pegipegi Fokuskan Kegiatan Pemasaran

Pasca diakuisisi oleh Jet Tech Innovation Ventures Pte Ltd (Jet Tech) bulan Maret 2018 lalu, platform OTA Pegipegi kembali hadir dengan beragam penawaran dan target capaian. Meskipun Jet Tech terafiliasi dengan Traveloka, namun secara bisnis semua dijalankan independen tanpa adanya hubungan langsung dengan Traveloka. Sebelumnya sempat dikabarkan, Traveloka yang melakukan akuisisi kepada Pegipegi.

“Bisa kami pastikan semua bisnis dari Pegipegi tidak ada kaitannya dengan Traveloka. Hubungan dengan Traveloka hanya terjadi dengan Jet Tech sebagai pihak yang mengambil alih Pegipegi,” kata Head of Business Development & Strategic Partnership Pegipegi Ryan Kartawidjaja.

Masih fokus kepada penjualan tiket pesawat udara, kereta api dan hotel; Pegipegi ingin melancarkan kegiatan pemasaran yang lebih masif tahun ini dengan memberikan promosi untuk pengguna, khususnya di bulan Ramadan.

Saat ini Pegipegi mulai berupaya menambah jumlah pelanggan sekaligus memperbanyak kerja sama dengan mitra yang relevan. Pegipegi juga telah menjalin kemitraan dengan Kredivo, dengan memberikan pilihan pembayaran PayLater.

“Di periode Ramadan kali ini kami menggandeng banyak partner dari hotel, bank, dan lembaga nirlaba untuk bergabung bersama menyukseskan mudik agar membawa banyak keberkahan bagi seluruh masyarakat Indonesia.”

Menambah fitur

Untuk memberikan kemudahan kepada pengguna, Pegipegi meluncurkan beberapa fitur baru di aplikasi. Pertama ada Online Check-In, memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk menghindari keterlambatan saat check-in di bandara. Kemudian ada Travel Insurance, memberikan perlindungan untuk keterlambatan hingga kecelakaan diri. Jika pelanggan pada akhirnya perlu membatalkan perjalanan ada fitur Online Refund. Dan yang terakhir adalah PayLater dari Kredivo sehingga dapat mencicil biaya akomodasi hingga 12 bulan.

“Setelah fitur terbaru tersebut, kami juga akan terus menghadirkan fitur-fitur baru dan menarik lainnya yang diharapkan bisa memudahkan pengguna mengakses aplikasi Pegipegi,” kata Corporate Communications Manager Pegipegi Busyra Oryza.

Saat ini penggunaan aplikasi masih mendominasi dengan jumlah pengunduh 4 juta kali di Android dan iOS. Tahun 2019 ini diharapkan Pegipegi bisa mencapai target pengguna baru hingga tiga kali lipat. Untuk produk favorit pengguna Pegipegi yakni pembelian tiket pesawat terbang dan hotel masih memberikan kontribusi yang besar hingga lebih dari 90%.

Disinggung apakah Pegipegi akan meluncurkan produk experience atau aktivitas yang banyak dimiliki oleh platform OTA serupa di Indonesia, Ryan enggan untuk menyebutkan lebih lanjut.

“Dalam waktu dekat kami juga akan merilis produk terbaru yang diharapkan bisa melengkapi produk travel yang terdapat di Pegipegi. Sementara untuk fundraising kami belum memiliki rencana untuk melakukan kegiatan tersebut saat ini,” tutup Ryan.

Application Information Will Show Up Here

Traveloka is Testing New Restaurant Directory “Traveloka Eats”

Traveloka is trying out the “Traveloka Eats” feature to provide users with the whole experience while traveling. The new feature is currently available in Android version of Traveloka app.

Traveloka Eats is a restaurant directory service with voucher packages available in each destination. It also provides reviews, photos, along with the menu from each restaurant.

This feature completes the entertainment and utility products in Traveloka. Previously, ticket booking is available for cinema, beauty & spa, bill payment, also top-up balance & data.

Users can also make a reservation through phone numbers provided in the app, as it hasn’t fully covered in the system. However, Traveloka provides thematic content to boost its transactions.

“The product is indeed our commitment to complete the travel journey of Traveloka customers. In this product, we offer deals and food directory. It is soon to be officially launched,” Busyra Oryza, Traveloka’s PR Manager, said to DailySocial (4/12).

Based on our observation, Traveloka Eats is currently available only for Android users in Jakarta with the limited choice of restaurants.

The interface of Traveloka Eats gives the similar ambiance with Zomato, Qraved, or Pergi Kuliner, exclude the voucher packages.

In addition, Traveloka was previously launched bus ticket booking feature that completing its services for all types of transportations.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Uji Coba Fitur Direktori Restoran “Traveloka Eats”

Traveloka tengah melakukan uji coba fitur “Traveloka Eats” sebagai strategi untuk melengkapi kebutuhan pengguna saat melancong. Saat ini fitur tersebut baru hadir di aplikasi Traveloka versi Android.

Traveloka Eats adalah layanan direktori restoran yang dikemas dengan voucher penawaran menu yang tersedia dalam tiap destinasi. Disediakan pula fitur ulasan dari setiap restoran, foto suasana restoran, beserta menu makannya.

Fitur tersebut melengkapi produk entertainment & utilities yang sudah tersedia di Traveloka. Sebelumnya sudah ada layanan pemesanan tiket bioskop, beauty & spa, bills & top up, dan top up & data packages.

Melalui Traveloka Eats pengguna juga dapat melakukan booking restoran. Kendati demikian, saat ini Traveloka baru menyediakan nomor telepon yang bisa dihubungi, belum sepenuhnya tersistem online. Traveloka menghadirkan konten tematik untuk dorong transaksinya.

“Jadi memang ini produk baru sebagai komitmen kami untuk melengkapi travel journey customer Traveloka. Yang kami tawarkan di produk ini adalah pilihan deals dan food directory. Dalam waktu dekat akan di-launching,” ucap PR Manager Traveloka Busyra Oryza kepada DailySocial, Kamis (12/4).

Berdasarkan pemantauan DailySocial, Traveloka Eats baru tersedia untuk pengguna yang berada di lokasi Jakarta dan jumlah restoran yang terdaftar pun masih terbatas. Perusahaan menggunakan API dari TripAdvisor untuk perlengkap konten, dan Google Maps untuk permudah direktori.

Ketika membuka Traveloka Eats, nuansanya seperti membuka aplikasi direktori restoran Zomato, Qraved, ataupun Pergi Kuliner hanya saja tidak dikemas dengan voucher penawaran.

Selain menghadirkan Traveloka Eats, sebelumnya Traveloka meluncurkan layanan pemesanan tiket bus, semakin melengkapi layanannya sebagai pemesan tiket untuk berbagai moda transportasi.

Application Information Will Show Up Here

Penerapan Big Data oleh Startup Travel Indonesia

Personalisasi data banyak digunakan di banyak bisnis sekarang ini. Salah satu bisnis yang memanfaatkan data untuk improvisasi dan meningkatkan kepuasan penggunanya adalah bisnis travel. Di Indonesia, Pegipegi dan Traveloka sudah melakukan hal tersebut. Keduanya memanfaatkan data untuk menghadirkan beberapa penawaran menarik dan juga membaca kebutuhan para penggunanya.

Untuk segmen travel data diperlukan untuk melacak kebiasaan dan kebutuhan pengguna. Dengan demikian penyedia jasa travel bisa dengan mudah menawarkan sesuatu yang berkaitan, dekat, dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pengguna. Dari segi bisnis di dalamnya (hotel, tiket, dan wisata) ini juga bisa menguntungkan. Karena mereka dapat menyasar langsung pelanggan dengan kriteria yang sama.

Kami mencoba mendapatkan informasi dari beberapa penyedia layanan travel di Indonesia seperti Traveloka dan Pegipegi terkait penggunaan data ini.

“Kami percaya big data adalah kunci untuk memahami apa yang dibutuhkan pelanggan kami. Dengan menganalisis big data, kami dapat mengetahui pola, trend, preferensi dan kebiasaan pelanggan sehingga kami dapat memberikan produk dan layanan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” terang Communications Executive Traveloka Busyra Oryza.

Hal yang senada juga diungkapkan pihak Pegipegi. Public Relations & Media Office Pegipegi Devi Agustina bahkan mengandaikan data sebagai sebuah harta karun. Data tersebut dijadikan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan untuk mengembangkan bisnis yang ada.

“Setiap data yang ada di Pegipegi bagi kami seperti sebuah harta karun. Data ini dapat menjadi referensi bagi manajemen dalam menyusun strategi pemasaran, membuat program promosi dengan partner, serta untuk memprediksi trend dan kebutuhan customer Pegipegi,” terang Devi.

Upaya mengoptimalkan big data

Meski dinilai banyak manfaatnya penerapan big data tidaklah muda, setidaknya butuh investasi dan teknologi yang mumpuni untuk membangun teknologi yang mumpuni. Di Traveloka misalnya, diceritakan Busyra, penerapan big data merupakan sebuah tantangan sehingga pihaknya perlu membangun sebuah tim yang solid baik untuk data engineering maupun software engineering. Orang-orang di dalamnya pun disebutkan orang-orang berprestasi seperti lulusan mahasiswa  unggulan yang berprestasi, alumni perusahaan Silicon Valley, dan beberapa ahli di berbagai bidang disiplin ilmu.

Tak jauh beda, Pegipegi pun dikisahkan telah mengembangkan sebuah sistem terintegrasi yang mampu meng-handle data-data yang ada untuk selanjutnya diolah untuk mendapatkan wawasan yang bisa digunakan sebagai pertimbangan sebelum mengambil keputusan.

Apa yang dilakukan keduanya pun juga dilakukan oleh beberapa perusahaan level internasional yang berada di segmen travel. Disebutkan dalam sebuah artikel, AirBnb juga menerapkan big data yang dikombinasikan dengan sebuah algoritma yang mampu mencocokkan preferensi host dan tamu sehingga bisa mendapatkan hasil yang memuaskan bagi kedua belah pihak.

Hasil pemanfaatan data

Dari informasi yang didapat DailySocial, Traveloka dan Pegipegi sudah beberapa kali mengeluarkan fitur atau layanan yang berdasarkan data-data yang dimiliki. Fitur tersebut beragam. Untuk Traveloka, buah analisis data dihadirkan melalui fitur Notifikasi Harga yang saat ini bisa ditemukan di aplikasi Android dan iOS mereka. Fitur ini menyuguhkan hasil olahan ribuan data harga tiket pesawat setiap harinya untuk dihadirkan ke pelanggan.

Berkat kemudahan yang ditawarkan, saat ini fitur Notifikasi Harga merupakan salah satu fitur yang paling banyak digunakan pelanggan Traveloka.

Untuk Pegipegi, hasil dari analisis data membuahkan fitur personal newsletter yang disesuaikan dengan kebiasaan dan karakteristik pelanggan. Selain itu ada juga notifikasi promo dan penawaran paket wisata yang didasari data-data kebiasaan pelanggan-pelanggan mereka dalam bertransaksi.

Memasuki era digital data-data digital seolah menjadi bahan bakar baru bagi bisnis, terlebih bisnis digital. Apa yang dilakukan Traveloka dan Pegipegi sangat mungkin juga diterapkan oleh perusahaan online travel lainnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Gandeng AiryRooms, Traveloka Sediakan Pencarian Budget Hotel

Ada yang baru dari aplikasi perusahaan teknologi penyedia layanan booking online hotel dan tiket pesawat Traveloka. Setelah melakukan pembaruan di aplikasi pada awal Juni 2016 lalu kini di Traveloka pengguna bisa memesan hotel dengan harga terjangkau (budget hotel) di 5 kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Yogyakarta, Bali, Bogor dan Bandung. Kerja sama dengan Airyrooms memungkinkan Traveloka untuk menyediakan lebih dari 300 lebih kamar hotel  untuk pengguna Traveloka.

Sebelumnya Traveloka telah menjalin kemitraan dengan 14 partner hotel secara resmi untuk hotel domestik dan internasional. Kemitraan Traveloka dengan AiryRooms merupakan salah satu strategi yang dilancarkan untuk menyediakan lebih banyak budget hotel yang saat ini semakin dicari oleh pengguna. AiryRooms sendiri sebagai jaringan pemesanan kamar untuk budget hotel belum resmi diluncurkan.

Communications Executive Traveloka Busyra Oryza menjawab pertanyaan DailySocial mengatakan, “Benar, opsi hotel budget kami tambahkan di aplikasi Traveloka versi terbaru (V. 2.4) karena kami menerima banyak feedback dari customer yang ingin mendapatkan hotel dengan harga terjangkau dengan fasilitas yang nyaman.”

Tentang alasan Traveloka memilih AiryRooms sebagai mitra dan apakah kemitraan ini bersifat eksklusif, pihak Traveloka enggan untuk memberikan jawaban.

“Untuk pertanyaan tambahan ini kami memilih untuk tidak berkomentar, tapi saya bisa memastikan bahwa penambahan opsi hotel budget di aplikasi Traveloka adalah untuk memudahkan pengguna dalam mencari kamar berkualitas yang terstandarisasi dengan harga terjangkau,” lanjut Busyra.

Pemesanan budget hotel adalah segmen baru yang mulai ramai di akhir tahun 2015. Setidaknya sudah ada 3 pesaing Traveloka-Airyrooms yang bermain di segmen ini, yaitu RedDoorz, Nida Rooms, dan Tinggal. Mengklaim sebagai perusahaan teknologi, sebelumnya Traveloka juga telah merambah segmen yang berbeda dengan memberikan fitur Last Minute Booking.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Traveloka Tambahkan Fitur Mata Uang dan Bahasa Thailand

Kemudahan pengguna dalam mengakses aplikasi Traveloka menjadi lebih lengkap dengan ditambahkannya fitur Currency atau mata uang yang bisa disesuaikan secara manual saat pengguna sedang berwisata di negara tertentu. Fitur ini sengaja ditambahkan untuk para pengguna yang kerap kesulitan mengetahui konversi nilai tukar mata uang saat berwisata ke luar negeri.

Resmi diperbarui 27 Oktober lalu, selain fitur Currency Traveloka juga menambah pilihan bahasa Thailand dalam aplikasinya.

“Di aplikasi versi terbaru ini kami juga telah menambahkan banyak rute penerbangan dan hotel sehingga pilihannya semakin beragam termasuk membandingkan harga dengan beberapa mata uang asing. Dengan adanya update terbaru ini, kini user juga bisa menggunakan aplikasi Traveloka di negeri tujuan. Dengan begitu, user kami bisa melakukan traveling dari Indonesia ke luar negeri dengan lebih mudah,” ujar Communications Executive Traveloka Busyra Oryza.

Dengan mengubah tampilan negara dalam pengaturan di aplikasi, pengguna juga bisa melihat promo harga pesawat hingga hotel disesuaikan dengan penawaran di masing-masing negara. Saat ini Traveloka sudah tersedia di negara Malaysia, Singapura dan Thailand, untuk yang terakhir dilengkapi dengan bahasa terkait.

“Kami dari tim Traveloka senantiasa menghadirkan pilihan fitur yang inovatif dan tentunya bermanfaat untuk pengguna, nantikan saja kejutan dari kami,” tutup Busyra.