Pendapat Presiden Nintendo Soal Cloud Gaming

Cloud gaming diperkirakan akan menjadi tren baru dalam industri gaming. Berbagai perusahaan teknologi berlomba-lomba untuk mengembangkan layanan cloud gaming, mulai dari Google, Microsoft, sampai Tencent dan NVIDIA. Bagaimana dengan pendapatan Nintendo? Presiden Nintendo, Shuntaro Furukawa memperkirakan bahwa teknologi cloud gaming masih memerlukan waktu untuk berkembang.

“Ada kemungkinan cloud gaming akan populer dalam waktu 10 tahun dari sekarang. Namun, pada saat ini, saya rasa, konsol gaming masih akan populer,” kata Furukawa dalam wawancara dengan media Jepang, Nikkei, seperti dikutip dari Dot Esports. “Kita masih harus menunggu beberapa tahun lagi sebelum kita tahu apa yang akan terjadi. Meskipun begitu, kita tidak bisa hanya fokus pada permainan di konsol. Ketika para gamer tahu bahwa mereka bisa bermain di konsol lain atau di smartphone, maka bisnis Anda akan tamat.”

Komentar Furukawa tampaknya mengacu pada Project xCloud dari Microsoft, yang nantinya akan memungkinkan para pemain untuk memainkan game Xbox di perangkat mobile selama mereka memiliki jaringan internet yang memadai. Memang, layanan cloud gaming ini akan menarik perhatian gamer dan meningkatkan penjualan software. Pada saat yang sama, keberadaan layanan cloud gaming akan membuat konsumen enggan untuk membeli konsol, yang akan berdampak negatif pada penjualan Xbox.

Ki-ka: Preisen Nintendo ke-6, Shuntaro Furukawa dan Presiden Nintendo ke-5 Tatsumi Kimishima.
Presisen Nintendo ke-6, Shuntaro Furukawa (kiri) dan Presiden Nintendo ke-5 Tatsumi Kimishima (kanan).

Meskipun begitu, tidak tertutup kemungkinan, Nintendo akan mengembangkan layanan cloud gaming sendiri di masa depan. Amazon juga dikabarkan hendak membuat layanan cloud gaming sendiri. Saat ini, Furukawa mengaku, mereka akan fokus untuk menyediakan konsol. “Saya percaya, bisnis utama kami, yaitu memberikan pengalaman bermain yang unik, hanya bisa diberikan dengan pengembangan hardware dan software yang terintegrasi,” ujar Furukawa. “Memberikan pengalaman bermain unik yang hanya bisa diberikan oleh Nintendo, itulah prioritas kami.”

Melihat kesuksesan Switch, tidak heran jika Nintendo masih ingin fokus pada pengembangan konsol dan game. Selain itu, kebanyakan pemilik Switch juga memiliki konsol lain. Jadi, jika Nintendo ingin melihat apa yang akan terjadi sebelum memutuskan untuk mengembangkan cloud gaming sendiri, itu bukanlah masalah. Namun, Furukawa menegaskan bahwa Nintendo tetap berusaha untuk mengembangkan teknologi baru yang dapat membuat produk mereka menjadi lebih baik lagi.

“Satu hal yang saya ingin masyarakat tahu adalah kami tidak berusaha untuk mengacuhkan teknologi — kami terus melakukan riset dan penelitian,” ungkap Furukawa. “Tim pengembangan hardware kami terus mengevaluasi teknologi baru yang ada saat ini dan berdiskusi dengan tim pengembangan software kami. Jika mereka memutuskan bahwa sebuah teknologi bisa digunakan dalam satu game, mereka akan menggunakan teknologi itu. Kami tidak akan mengubah pendekatan kami ini di masa depan.”

Selama ini, Nintendo juga dikenal dengan berbagai inovasi yang mereka lakukan. Hanya karena apa yang mereka lakukan sekarang terbukti sukses bukan berarti mereka akan berhenti untuk mencoba mencari teknologi baru untuk bermain game. Furukawa mengatakan, mereka tertarik dengan teknologi augmented reality dan tengah mencari cara untuk mengaplikasikan teknologi itu ke proyek mereka sekarang.

Facebook Akuisisi PlayGiga, Indikasikan Ketertarikannya Terhadap Cloud Gaming

Cloud gaming, istilah ini sebenarnya sudah kita kenal sejak cukup lama, akan tetapi hype-nya baru naik belakangan ini berkat Google Stadia. Tahun depan, persaingan di industri ini bakal semakin ketat dengan meluncurnya layanan serupa dari Microsoft yang bernama xCloud, belum lagi rumor bahwa Amazon juga akan turut serta.

2019 belum berakhir, kini giliran Facebook yang dispekulasikan juga tertarik mencicipi peruntungan di ranah cloud gaming. Indikasinya adalah akuisisi yang mereka lakukan atas PlayGiga, sebuah startup asal Spanyol yang bergerak di bidang cloud gaming. Pertama kali diberitakan oleh media setempat CincoDias, akuisisi ini telah dikonfirmasi langsung oleh Facebook kepada CNBC.

CincoDias melaporkan bahwa Facebook membayar sekitar 70 juta euro untuk meminang PlayGiga, akan tetapi Facebook rupanya enggan berkomentar soal nominalnya. Nilainya memang kecil jika dibandingkan dengan akuisisi lain Facebook di sektor gaming, spesifiknya Oculus yang melibatkan mahar sebesar $2 miliar di tahun 2014, namun tetap saja akuisisi ini memicu spekulasi bahwa Facebook juga tertarik menjadi salah satu pemain di bidang cloud gaming.

Di situs PlayGiga sendiri, mereka bilang bahwa mereka masih akan terus melanjutkan kiprahnya di ranah cloud gaming, tapi sekarang dengan sebuah misi baru. Sebelum ini, layanan cloud gaming PlayGiga sudah beroperasi di Itali, Argentina, Chili dan Spanyol dengan katalog berisikan lebih dari 300 game berdasarkan info yang didapat Variety.

Sekali lagi semuanya masih berupa spekulasi, apalagi mengingat divisi gaming milik Facebook sejauh ini baru menawarkan koleksi Instant Games dan platform live streaming ala Twitch. Kita tunggu saja bagaimana perkembangan industri cloud gaming tahun depan.

Sumber: CNBC.

Typhoon Studios Adalah Akuisisi Pertama Tim Developer Mandiri Google Stadia

Salah satu alasan mengapa publik menaruh harapan besar pada Stadia adalah fakta bahwa Google berada di baliknya. Sumber daya yang begitu melimpah pada dasarnya merupakan jaminan atas keberhasilan Stadia, terutama terkait rencananya untuk menelurkan sejumlah game eksklusif.

Seperti yang kita tahu, Stadia punya tim developer sendiri bernama Stadia Games and Entertainment yang dipimpin oleh eks veteran Ubisoft, Sebastien Puel. Studio yang berumur masih sangat muda ini belum menghasilkan karya apapun, dan mereka rupanya masih sibuk mengembangkan timnya.

Tidak mengejutkan dari anak perusahaan Google, rute yang diambil adalah rute akuisisi. Stadia baru saja mengumumkan akuisisinya atas Typhoon Studios. Tidak pernah dengar namanya? Wajar, mengingat Typhoon merupakan studio baru beranggotakan sekitar dua lusin orang, dan game pertama bikinannya, Journey to the Savage Planet, baru akan dirilis Januari mendatang di console dan PC.

Journey to the Savage Planet, game pertama sekaligus terakhir Typhoon Studios / Typhoon Studios
Journey to the Savage Planet, game pertama sekaligus terakhir Typhoon Studios / Typhoon Studios

Tentunya ada alasan tersendiri di balik pemilihan Typhoon sebagai akuisisi perdana Stadia. Typhoon memang masih seumur jagung, akan tetapi personil-personilnya merupakan senior di industri game. Duo pendirinya, Reid Schneider dan Alex Hutchinson, punya portofolio panjang yang berkesan sebelum membentuk Typhoon.

Alex Hutchinson misalnya, memulai karirnya di Maxis sebagai Lead Designer atas The Sims 2 dan Spore, sebelum akhirnya hijrah ke Ubisoft dan ditunjuk sebagai Creative Director atas Assassin’s Creed III dan Far Cry 4. Di sisi lain, Reid Schneider bertanggung jawab atas pengembangan seri Batman Arkham sekaligus Splinter Cell orisinal sebelum memutuskan untuk mengambil jalur indie.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa Stadia cukup selektif dalam hal akuisisi, dan ini tentunya baru awal dari upaya mereka membesarkan tim developer mandirinya. Tim Typhoon sendiri masih akan berfokus pada game pertama sekaligus terakhirnya tersebut, sebelum akhirnya dilebur dengan tim Stadia Games and Entertainment.

Sumber: Google dan VentureBeat.

Tencent Kerja Sama dengan NVIDIA untuk Sediakan Cloud Gaming

Cloud gaming dipercaya sebagai masa depan dari industri game. Karena itu, tidak heran jika banyak perusahaan yang berbondong-bondong untuk menyediakan layanan cloud gaming, mulai dari Sony, Microsoft sampai Google. Di Indonesia, juga ada perusahaan lokal yang menawarkan layanan cloud gaming seperti Skyegrid. Tak mau kalah, Tencent juga menyediakan layanan cloud gaming bernama START cloud gaming service. Sekarang, perusahaan Tiongkok itu mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama dengan NVIDIA.

START telah mulai diuji pada tahun ini. Sama seperti layanan cloud gaming lainnya, START memungkinkan pengguna untuk memainkan game-game dengan spesifikasi tinggi pada semua komputer, terlepas dari spesifikasi pada komputer tersebut. Satu hal yang membedakan platform START dengan layanan cloud gaming lainnya adalah gamer dapat menyimpan setting dan file langsung pada platform tersebut.

Melalui START, Tencent Games ingin menawarkan layanan cloud gaming pada jutaan gamer di Tiongkok sehingga mereka tak perlu lagi pergi ke warung internet untuk bermain game. Sebagai gantinya, mereka bisa bermain game di rumah dengan komputer mereka, tak peduli apakah mereka memiliki komputer dengan spesifikasi yang memadai atau tidak.

NVIDIA juga punya GeForce Now. | Sumber: NVIDIA
NVIDIA juga punya GeForce Now. | Sumber: NVIDIA

“Sebagai salah satu perusahaan global terbesar dalam industri game, Tencent Games ingin menyediakan layanan cloud gaming yang memuaskan,” kata Jeff Fisher, Senior Vice President of Gaming, NVIDIA, dikutip dari Daily Esports. “Menggabungkan platform Tencent dengan teknologi GPU dari NVIDIA akan menyediakan pengalaman kelas dunia untuk semua gamer di dunia.” Melalui kerja sama ini, Tencent akan menggunakan GPU buatan NVIDIA pada platform START.

“NVIDIA merupakan pemimpin dalam mengembangkan GPU terbaik di dunia. Selain itu, mereka juga memiliki pengalaman dalam membuat solusi cloud. Dua hal ini akan membantu kami untuk menyediakan platform START pada jutaan gamer,” kata Steven Ma, Senior Vice President, Tencent, menurut pernyataan resmi. “Hari ini menandai kesempatan bagi kedua perusahaan untuk mendorong teknologi gaming agar menjadi lebih maju lagi.” Memang, sebelum ini, NVIDIA telah mengoperasikan layanan cloud gaming GeForce Now di beberapa negara di Amerika Utara dan Eropa. Tak hanya itu, mereka juga bekerja sama dengan SoftBank di Jepang dan LG Uplus di Korea Selatan.

Selain penggunaan GPU buatan NVIDIA pada platform cloud gaming Tencent, melalui kerja sama ini, Tencent dan NVIDIA juga akan mengembangkan laboratorium inovasi untuk game. Keduanya akan fokus untuk melakukan pengembangan terkait AI dalam game, optimasi game engine, dan teknik lighting, termasuk ray tracing dan light baking.

Sumber header: wccftech

Mengapa Microsoft Berkeras Bertahan di Industri Gaming?

Sejak diluncurkan, Microsoft telah menjual sekitar 42,9 juta unit Xbox One. Sebagai perbandingan, total penjualan Sony PlayStation 4 mencapai 98,4 juta unit, lebih dari dua kali lipat dari penjualan konsol Xbox One, menurut data dari VGChartz. Namun, itu tak membuat Microsoft menutup divisi gaming mereka. Padahal selama ini, mereka tidak segan untuk menghentikan proyek yang memang tidak menguntungkan, seperti Windows Phone dan aplikasi musik Groove. Di industri gaming, mereka justru meluncurkan layanan cloud gaming bernama xCloud. Ini menunjukkan kekukuhan tekad Microsoft untuk tetap bersaing di industri gaming, walau sebagian besar produk mereka ditujukan untuk korporasi.

Industri game berkembang dengan pesat. Tahun ini, nilai industri game diperkirakan mencapai US$152,1 miliar. Menurut channel analisa perusahaan teknologi, TechAltar, salah satu hal yang membuat game menjadi semakin populer adalah karena semakin banyak game yang bisa dimainkan bersama. Beberapa game yang sangat populer saat ini, seperti Fortnite dan Player Unknown’s Battleground, sejak awal dikembangkan dengan tujuan untuk menjadi tempat sosialisasi bagi para pemainnya. Selain itu, semakin banyak orang yang tertarik untuk menonton konten game, seperti pertandingan esports. Sementara di masa depan, cloud gaming diduga akan menjadi tren, memungkinkan para gamer untuk memainkan game dari perangkat apapun selama mereka bisa memiliki jaringan internet yang memadai.

Ke depan, game akan berjalan di atas cloud. Dan Microsoft berharap, layanan cloud mereka akan menjadi tulang punggung untuk berbagai layanan terkait game, mulai dari platform streaming game sampai cloud gaming. Pada awalnya, Microsoft dikenal sebagai pembuat sistem operasi Windows. Namun, sejak Satya Nadella ditunjuk sebagai CEO Microsoft pada Februari 2014, strategi Microsoft berubah dan menjadi fokus pada cloud. Pada Q 4 2019, pendapatan Microsoft mencapai US$33,7 miliar. Dari tiga segmen bisnis Microsoft, divisi Intelligent Cloud — yang mencakup Azure — menjadi penyumbang pendapatan paling besar dengan kontribusi US$11,4 miliar.

Alasan lain mengapa Microsoft tak mau mundur dari industri gaming adalah game kemungkinan akan mendorong perkembangan teknologi cloud. Selama ini, game memang selalu menjadi pendorong kemajuan teknologi, membuat PC dan perangkat mobile menjadi semakin powerful karena tuntutan grafik game yang sangat berat. Mengingat cloud gaming diperkirakan akan menjadi tren berikutnya dalam industri gaming, tak tertutup kemungkinan, ini akan mendorong Microsoft — dan perusahaan penyedia cloud lain — untuk mengembangkan teknologi cloud agar menjadi lebih baik lagi.

Sumber: The Verge
Sumber: The Verge

Sekarang, telah ada beberapa perusahaan yang meluncurkan platform gaming, seperti Google dengan Stadia, Microsoft dengan xCloud, atau Skyegrid dan Emago dari Indonesia. Namun, untuk bisa bermain di platform gaming, Anda akan membutuhkan koneksi internet dengan kecepatan tinggi. Menurut Android Authority, layanan Google Stadia memakan 7GB untuk memainkan game dengan resolusi 720p atau 1080p selama satu jam. Jika seorang gamer ingin memainkan game dengan resolusi 4K, mereka bisa memerlukan hingga 25GB per jam. Agar gamer dapat bermain dengan lancar ketika mereka menggunakan cloud gaming, maka mereka membutuhkan infrastruktur cloud yang jauh lebih memadai dari yang ada saat ini.

Saat ini, strategi Microsoft terkait industri gaming cukup sederhana. Mereka memiliki platform streaming konten game bernama Mixer. Mereka juga mengakuisisi sejumlah studio game sehingga mereka dapat membuat game eksklusif untuk platform mereka, yaitu Xbox. Terakhir, mereka membuat platform cloud gaming, xCloud. Sayangnya, Twitch milik Amazon masih mendominasi pasar platform streaming. Salah satu strategi Microsoft untuk memperkenalkan Mixer adalah dengan membuat perjanjian eksklusif dengan sejumlah streamer ternama seperti Tyler “Ninja” Blevins dan Michael “Shroud” Grzesiek.

Microsoft bukan satu-satunya perusahaan teknologi raksasa yang tertarik dengan industri gaming. Amazon dan Google juga memiliki strategi serupa dengan Microsoft untuk menguasai pasar gaming. Amazon memiliki Twitch sebagai platform streaming sementara GOogle memiliki YouTube Gaming. Baik Amazon dan Google juga memiliki sejumlah studio game. Google bahkan telah memperkenalkan layanan cloud gaming mereka, Stadia Games. Walau Amazon belum memperkenalkan layanan cloud gaming buatan mereka, mereka dikabarkan tengah mengembangkan layanan cloud gaming sendiri.

Sekarang, Amazon menguasai pasar platform streaming dengan Twitch. Mereka juga dianggap sebagai penyedia cloud terbesar berkat Amazon Web Services. Namun, satu hal yang dimiliki Microsoft tapi tak dimiliki oleh Amazon adalah konsol. Microsoft bisa memanfaatkan Xbox untuk mendorong pemilik Xbox berpindah ke layanan cloud gaming dengan membiarkan mereka melakukan streaming via konsol mereka. Satu hal lain yang dimiliki oleh Microsoft tapi tak dipunyai Amazon adalah sekumpulan game buatan mereka sendiri, yang bisa masukkan ke layanan cloud gaming mereka. Meskipun begitu, sekarang, masih terlalu cepat untuk menyatakan bahwa Microsoft akan dapat menang melawan Amazon dan Google.

Google Stadia Adalah Momok Bagi Pengguna Layanan Internet dengan Aturan Batas Pemakaian Wajar

Seberapa besar data yang dikonsumsi layanan cloud gaming macam Google Stadia? Kalau menurut estimasi Google sendiri, satu jam sesi gaming menggunakan Stadia bisa mengonsumsi sekitar 4,5 GB – 20 GB, dengan angka tertinggi yang didapat apabila streaming berjalan di resolusi 4K 60 fps.

Pertanyaan selanjutnya, apakah perkiraan Google ini akurat? Kalau menurut pengujian VentureBeat, klaim Google itu cukup bisa dipertanggungjawabkan. Diestimasikan bahwa dalam satu jam memainkan Red Dead Redemption 2 via Stadia, data yang terpakai berkisar 7,14 GB. Kok kecil? Karena pengujiannya hanya menggunakan resolusi 1080p 60 fps, bukan 4K.

Di resolusi 4K 60 fps, data yang terkonsumsi semestinya paling tidak dua kali lebih besar mengingat jumlah pixel-nya empat kali lebih banyak. Dengan demikian, estimasi 20 GB per jam yang diberikan Google cukup bisa menggambarkan praktek dunia nyatanya.

Red Dead Redemption 2 / Rockstar Games
Red Dead Redemption 2 / Rockstar Games

Ini merupakan berita buruk bagi konsumen yang layanan internetnya menerapkan sistem FUP (fair usage policy) alias batas pemakaian wajar, yang akan menurunkan kecepatan secara drastis saat konsumsi datanya sudah mencapai batas yang telah ditentukan, semisal 1 TB.

Anggap sehari Anda bermain selama 4 jam dan mengonsumsi sekitar 80 GB kuota data. Itu berarti batas pemakaian wajarnya akan tercapai dalam waktu tidak sampai dua minggu, dan ini sama sekali belum melibatkan aktivitas lain di luar gaming seperti streaming video atau backup data ke cloud.

Ya, layanan seperti Stadia memang boleh dibilang sangat boros untuk urusan pemakaian data internet. Namun premis yang ditawarkan sejak awal adalah kepraktisan sekaligus kemudahan bermain di mana saja dan kapan saja, tidak peduli apa perangkat yang sedang ada dalam jangkauan Anda.

Sumber: VentureBeat.

Kabarnya Amazon Akan Luncurkan Layanan Cloud Gaming Dengan Integrasi Twitch Tahun Depan

Google Stadia akhirnya resmi meluncur minggu ini lewat Founder’s dan Premiere Edition. Ia memang bukan layanan cloud gaming pertama, namun mayoritas khalayak mempercayai pengalaman Google di ranah teknologi. Tapi meski Stadia beroperasi seperti yang Google inginkan, banyak pakar merasa bahwa platform ini belum sepenuhnya siap – apalagi sejumlah fitur penting belum ada di sana.

Ada banyak hal yang harus Google lakukan agar Stadia mampu merangkul lebih banyak pengguna, apalagi dalam waktu ke depan, kompetisi dipastikan akan jadi kian ketat. Ketika Stadia baru mampu menawarkan 22 game, Microsoft xCloud sudah didukung oleh 50 permainan di masa uji coba dan ia dijadwalkan untuk tiba di PC tahun depan. Dan Anda juga mungkin telah mendengar agenda Amazon buat menyediakan layanan gaming on demand serupa.

Berdasarkan laporan CNET, raksasa teknologi asal Seattle itu berencana untuk memperkenalkan platform cloud gaming-nya tahun depan. Langkah tersebut boleh katakan sebagai ekspansi bisnis mereka di ranah gaming. Lewat kanal eCommerce-nya, Amazon sudah lama menjual game, console/hardware resmi serta segala macam aksesori pendukung gaming. Dan kita tahu, Amazon telah mengambilalih Twitch di 2014 – salah satu layanan video streaming game terbesar di dunia.

Dalam pengembangan platform cloud gaming, Amazon sudah mulai merekrut talenta-talenta berpengalaman yang sempat bekerja di perusahan gaming besar, seperti Microsoft. Mereka juga membuka lowongan di tim Amazon Web Services untuk mengeksekusi ‘inisiatif baru’. Menurut pengakuan dua narasumber pada CNET, semua ini berkaitan dengan ekspansi layanan gaming Amazon di masa depan.

Dan tidak tanggung-tanggung, Amazon turut mengakui niatannya untuk mengintegrasikan Twitch dan layanan-layanan lain milik perusahaan ke platform gaming on demand mereka.

Di salah satu posting lowongan pekerjaan, Amazon sempat bilang, “Kami percaya evolusi yang dahulu dicetus oleh komunitas arcade telah berkembang menjadi tren live stream dan esports yang sangat populer sekarang. Industri gaming akan terus tumbuh hingga semua orang dapat jadi gamer, dan tiap gamer bisa berkreasi, bertanding, berkolaborasi dan saling berhubungan dengan sesamanya dalam skala masif.”

Sekali lagi, gaming bukanlah hal baru bagi Amazon. Di tahun 2012 mereka mendirikan tim developer first-party Amazon Game Studios. Saat ini mereka tengah menggodok Crucible (permainan last man standing berbasis kelas yang mengadu 12 pemain) dan New World (MMO sandbox bertema supernatural). Sayangnya dua permainan ini masih belum dirilis oleh Amazon Game Studio, dan bersamaan dengan ajang E3 2019 kemarin, studio malah diketahui merumahkan sejumlah karyawannya.

Via The Verge. Header: Amazon.

Game Google Stadia Bertambah 10, Kini Ada Metro Exodus dan Final Fantasy XV

Layanan cloud gaming Google Stadia dijadwalkan untuk meluncur minggu ini lewat opsi Founder’s atau Premiere Edition. Demi memeriahkan momen tersebut, Google telah menyiapkan 12 game blockbuster yang dapat segera dinikmati. Namun menelaah lebih jauh, Stadia ternyata tak dibekali sejumlah fitur esensial di hari pelepasannya, dan hal ini membuat banyak orang bertanya-tanya apakah betul Stadia siap dirlis…

Berdasarkan penjelasan Google, fitur-fitur penting tersebut (seperti Achievement, Family Sharing dan Stream Connect) baru akan hadir menyusul di tahun 2020. Tapi sepertinya Google menyadari terlepas dari dukungan judul-judul seperti trilogi reboot Tomb Raider, Red Dead Redemption 2, dan Asssassin’s Creed teranyar, 12 game masih terasa sangat sedikit. Keadaan ini mendorong mereka untuk menambah lagi jumlahnya.

Melalui akun Twitter-nya, general manager sekaligus vice president Google Phil Harrison mengumumkan penambahan 10 game di hari peluncuran Stadia, sehingga totalnya kini adalah 22 permainan. Sayangnya, hal itu kemungkinan besar mengubah agenda awal Google yang berniat buat membubuhkan dukungan 14 game sebelum tahun 2019 berakhir. 10 judul baru tersebut meliputi:

  • Attack on Titan: Final Battle 2
  • Farming Simulator 2019
  • Final Fantasy XV
  • Football Manager 2020
  • Grid (2019)
  • Metro Exodus
  • NBA 2K20
  • Rage 2
  • Trials Rising
  • Wolfenstein: Youngblood

Permainan-permainan di atas akan melengkapi 12 judul yang sempat diumumkan:

  • Assassin’s Creed Odyssey
  • Destiny 2: The Collection
  • GYLT
  • Just Dance 2020
  • Kine
  • Mortal Kombat 11
  • Red Dead Redemption 2
  • Thumper
  • Tomb Raider: Definitive Edition
  • Rise of the Tomb Raider
  • Shadow of the Tomb Raider: Definitive Edition
  • Samurai Shodown

Itu artinya, ‘hutang’ Google pada pengguna Stadia di tahun ini hanya tinggal merilis Borderlands 3, Darksiders Genesis, Dragon Ball Xenoverse 2, dan Ghost Recon Breakpoint. Pertanyaannya, apakah Goolge akan menambah lagi jumlahnya? Kita tahu ada banyak gameupcoming‘ yang dijadwalkan buat mendarat di Stadia dan sebagian dari mereka masih dalam proses pengembangan, misalnya Cyberpunk 2077, Baldur’s Gate 3, Watch Dogs: Legion, Doom Eternal, serta Marvel’s Avengers.

Perlu diketahui bahwa meski aplikasi Stadia tersaji gratis, Anda perlu membeli game-nya terlebih dulu agar bisa menikmati layanan on demand ini. Dan di hari perilisannya, Stadia baru dapat diakses oleh perangkat Pixel 2 hingga 4, tablet ber-Chrome OS atau via browser Chrome di PC Anda. Tanpa memesan Founder’s Edition, Anda perlu membeli Stadia Controller serta Chromecast Ultra agar bisa ber-cloud gaming di layar televisi. Namun Stadia versi ‘dasar’ sendiri baru tiba tahun depan.

Via PCGamer.

Fitur-Fitur Esensial yang Absen dari Google Stadia di Hari Peluncurannya

Dijadwalkan untuk meluncur di tanggal 19 November, Google Stadia memulai sebuah babak baru di ranah penyajian konten hiburan. Seperti Steam atau PlayStation, Stadia disiapkan sebagai platform gaming, namun pengoperasiannya dilandaskan pada sistem cloud sehingga pengguna dapat mengakses permainan dari mana saja (walaupun di waktu peluncurannya, Stadia baru mendukung Google Pixel).

Demi meramaikan momen debut Stadia, Google menyiapkan 12 permainan yang bisa segera dinikmati. Sejumlah judul besar ada di sana, dari mulai Assassin’s Creed Odyssey, Red Dead Redemption 2 yang baru saja keluar di PC, edisi lengkap Destiny 2, Mortal Kombat 11, hingga trilogi remake Tomb Raider. Meski begitu, jangan terlalu berharap Stadia akan ditunjang oleh fitur secara lengkap.

Berdasarkan sesi Ask Me Anything di Reddit yang dipandu oleh product director Andrey Doronichev serta product manager Beri Lee, Stadia kehilangan sejumlah fitur esensial di hari pelepasannya – beberapa baru akan hadir menyusul di tahun depan. Satu contoh kecilnya ialah Achievement. Sistem Stadia akan merekam segala pencapaian Anda di permainan, tetapi UI yang bertugas untuk memberitahu bahwa Anda telah mendapatkannya belum diimplementasikan.

Kemudian, Family Sharing juga belum ada, sehingga satu akun belum dapat digunakan bersama-sama oleh anggota keluarga. Doronichev bilang, Family Sharing merupakan fitur ‘prioritas tinggi’, namun baru tersedia tahun. Itu artinya, jika ingin ber-gaming di Stadia bersama pasangan atau buah hati, Anda perlu membeli permainan dua kali. Kabar baiknya, orang tua tetap bisa mengelola apa yang dapat dikonsumsi si kecil lewat Family Link.

Fitur lain yang absen adalah Buddy Pass. Buddy Pass mempersilakan para pelanggan Stadia Founder’s Edition untuk memilih seorang teman buat turut menikmati layanan itu. Paket Founder’s Edition dibanderol di harga yang cukup mahal: US$ 130; bundelnya berisi controller Stadia edisi terbatas berwarna biru, perangkat Chromecast Ultra, kenggotaan Stadia Pro selama tiga bulan, serta Buddy Pass.

Selanjutnya, kita juga belum bisa menggunakan Stream Connect di tanggal 19 November nanti. Itu artinya, untuk sementara tidak ada mode multiplayer asimetris serta kooperatif. Rencananya akan ada satu permainan yang mendukung Stream Connect sebelum tahun 2019 berakhir. Belum ada pula State Share dan Crowd Play yang mempersilakan streamer YouTube membagikan file save-nya dan membiarkan pemirsa buat masuk ke game.

Jawaban-jawaban Andrey Doronichev dan Beri Lee di AMA mengisyaratkan bagaimana Stadia belum betul-betul siap untuk lepas landas dan peluncurannya terasa diburu-buru. Saya tidak bilang layanan ini tak akan bekerja optimal di hari H besok, tapi ada banyak sekali fitur esensial yang absen di platform yang seharusnya menjadi standar baru penyajian video game.

Via PCGamer & DigitalTrends.

Google Stadia Bakal Sajikan 12 Game di Hari Pertama Peluncurannya

Konsumen yang telah membeli Stadia Founder’s Edition tentu sudah tidak sabar lagi menanti tanggal 19 November 2019, tanggal yang sudah Google tunjuk sebagai hari peluncuran layanan cloud gaming-nya tersebut. Bagi yang menggunakan perangkat Android, mereka bahkan sudah bisa mengunduh aplikasi Stadia dari Play Store lebih awal.

Yang menjadi pertanyaan banyak orang, apa saja game yang bisa pelanggan Stadia nikmati mulai hari pertama? Google sekarang sudah punya daftar lengkapnya. Total ada 12 game yang siap dimainkan di hari H peluncuran Google Stadia, berikut rinciannya:

  • Assassin’s Creed Odyssey
  • Destiny 2: The Collection
  • GYLT
  • Just Dance 2020
  • Kine
  • Mortal Kombat 11
  • Red Dead Redemption 2
  • Thumper
  • Tomb Raider: Definitive Edition
  • Rise of the Tomb Raider
  • Shadow of the Tomb Raider: Definitive Edition
  • SAMURAI SHODOWN

Destiny 2: The Collection

Perlu dicatat, gamegame di atas bukan berarti bisa langsung kita nikmati secara cuma-cuma setelah berlangganan Stadia. Kita tetap harus membelinya terlebih dulu, dan Google sendiri menjual digital copy-nya melalui aplikasi Stadia. Lalu bagaimana dengan janji “akses gratis ke sejumlah game” yang dijanjikan paket Stadia Pro (yang termasuk dalam bundel Stadia Founder’s Edition)?

Kuncinya ada pada kata “sejumlah”, dan dari 12 judul di atas, hanya satu yang dapat dinikmati secara cuma-cuma oleh pelanggan Stadia Pro, yakni Destiny 2. Namun tentu saja jumlahnya bakal bertambah seiring Google melengkapi katalog game Stadia.

Pasca peluncuran Stadia, Google juga sudah menyiapkan 14 game yang akan menyusul sebelum pergantian tahun. Berikut daftar lengkap game Stadia yang akan tersedia di tahun ini, tapi tidak pada hari H perilisan Stadia:

  • Attack on Titan 2: Final Battle
  • Borderlands 3
  • Darksiders Genesis
  • DRAGON BALL XENOVERSE 2
  • Farming Simulator 19
  • FINAL FANTASY XV
  • Football Manager 2020
  • Ghost Recon Breakpoint
  • GRID
  • Metro Exodus
  • NBA 2K20
  • RAGE 2
  • Trials Rising
  • Wolfenstein: Youngblood

Sayang sekali saya tidak menemukan Baldur’s Gate 3 tercantum pada daftar. Namun kita juga tak boleh sepenuhnya menyalahkan Google mengingat game tersebut memang belum selesai dibuat oleh developer-nya Larian Studios. Di samping itu, judul-judul lain yang sangat diantisipasi seperti Cyberpunk 2077, WatchDogs: Legion, atau Doom: Eternal baru akan menyusul ke Stadia tahun depan.

Sumber: Google.