Shroud Akan Buat Tim untuk VALORANT Champions Tour

Mantan pemain profesional CS:GO yang saat ini aktif menjadi streamer yaitu Shroud, dilaporkan akan mengikuti turnamen VALORANT. Hal ini dikonfirmasi dari streaming Twitchnya bahwa dia sedang merekrut beberapa pemain untuk mengikuti turnamen VALORANT Champions Tour.

Shroud bukanlah orang baru dalam permainan bergenre First Person Shooter. Pria bernama lengkap Michael Grzesiek tersebut merupakan legenda Counter-Strike: Global Offensive. Shroud sudah aktif dalam kancah profesional CS:GO sejak tahun 2013 silam.

Shroud dahulunya merupakan pilar tim Cloud 9 dan kunci kesuksesan tim tersebut dalam beberapa turnamen internasional yang pernah diikuti. Beberapa turnamen bergengsi yang pernah dimenangkan oleh Shroud bersama Cloud 9 antara lain juara iBUYPOWER Cup 2015, ESL Pro League Season 4 2016, serta Americas Minor Championship — Kraków 2017.

Beberapa nama diisukan akan bergabung bersama tim yang dibuat oleh Shroud ini. Mereka adalah Sean, n0thing, Dicey, serta ShawnBM. Keempat nama tersebut juga merupakan mantan pemain profesional CS:GO.

Rumor yang beredar nantinya mereka akan memakai nama tim sebagai Old Guys Club. Tim yang terakhir mereka gunakan saat bermain turnamen profesional CS:GO pada akhir 2018 lalu. Sementara itu turnamen terakhir yang pernah mereka ikuti adalah turnamen ESEA Amerika Utara pada bulan April 2019 kemarin.

Kesuksesan tim Sentinels dalam menjuarai turnamen VALORANT Champions Tour 2021: Stage 2 Masters – Reykjavík kemarin membuat mantan pemain profesional CS:GO tidak boleh dianggap remeh. Tim Old Guys Club bisa menjadi ancaman baru bagi tim-tim profesional VALORANT di Amerika Utara nantinya.

Meskipun begitu, masih belum diketahui apakah nantinya Shroud dan kawan-kawan benar-benar serius dalam berkarir di kancah profesional VALORANT. Ataukah mereka hanya bermain-main saja dan mengacau dalam turnamen yang diikuti. Turnamen terdekat yang mungkin mereka ikuti nantinya adalah VALORANT Champions Tour 2021: North America Qualifier yang akan berlangsung Juli 2021 ini.

Kolaborasi Free Fire dan Street Fighter V Telah Dimulai, Fnatic Maju ke The International 10

Ada beberapa berita menarik di dunia esports pada minggu lalu. Salah satunya, event kolaborasi antara Free Fire dan Street Fighter V telah resmi dimulai. Selain itu, Fnatic melaju ke The International setelah mengalahkan TNC Predator di babak kualifikasi Asia Tenggara. Pemain Counter-Strike: Global Offensive asal Malaysia, Andrew “kaze” Khong juga akan ikut bertanding di IEM Cologne.

Event Kolaborasi Free Fire dengan Street Fighter V Telah Dimulai

Kolaborasi antara Free Fire dengan Street Fighter V resmi dimulai pada akhir pekan lalu. Melalui event bernama Free Fighter ini, Garena menyediakan sejumlah item baru, termasuk outfit Chun-Li dan Ryu, skin granat Hadouken, dan pistol AWM. Tak hanya itu, Garena juga menambahkan emote baru, berupa Hadouken. Kali ini bukanlah pertama kalinya Garena mengadakan kolaborasi dengan intellectual property lain. Menurut laporan Dot Esports, sebelum ini, Garena juga pernah menggandeng sejumlah IP populer lain, seperti Attack on Titan dan One-Punch Man. Mereka juga pernah berkolaborasi dengan pemain sepak bola Cristiano Ronaldo.

Smash Summit 11 Pecahkan Rekor Total Hadiah Terbesar

Smash Summit 11 menawarkan total hadiah sebesar US$98 ribu. Dengan ini, turnamen tersebut berhasil memecahkan rekor dan menjadi kompetisi Super Smash Bros. dengan total hadiah terbesar, lapor Dot Esports. Sebelum ini, rekor tersebut dipegang oleh Smash Summit 5 yang diadakan pada 2017 dengan total hadiah sebesar US$83,7 ribu. Dari total hadiah Summit 11, sekitar 90% berasal dari sumbangan fans.

Memang, Summit 11 punya sistem yang unik dalam menentukan peserta yang bisa ikut dalam turnamen tersebut, yaitu berdasarkan voting dari fans. Dalam turnamen kali ini, fans harus membeli merchandise atau berlangganan channel Twitch dari BTS Summit untuk bisa mendapatkan suara dan memilih pemain atau streamer favorit mereka. Sebagian pemasukan dari penjualan merchandise dan langganan Twitch itu lalu dimasukkan ke dalam total hadiah dari Summit 11.

Fnatic Bakal Melaju ke The International

Fnatic dipastikan akan tampil di The International 10 setelah mengalahkan TNC Predator di babak kualifikasi untuk kawasan Asia Tenggara. Di dua babak pertama, TNC Predator berhasil mengalahkan Fnatic. Pertandingan pertama antara kedua tim itu bahkan hanya berlangsung selama 36 menit, seperti yang Gosu Gamers sebutkan. Di pertandingan kedua, TNC Predator kembali berhasil mengalahkan Fnatic.

Fnatic dapat mengalahkan TNC pada pertandingan ketiga. Kemenangan tersebut menjadi titik balik dari perlawanan Fnatic. Pada pertandingan keempat, Fnatic juga berhasil menang dari TNC. Kemenangan tersebut tampaknya menghancurkan moral TNC. Selain itu, tim TNC juga terlihat sudah lelah karena mereka harus bertanding melawan BOOM Esports di babak final lower bracket. Alhasil, Fnatic keluar sebagai juara dengan skor 3-2.

Malaysia Esports League 2021 Bakal Digelar Pada 10 Juli 2021

Malaysia Esports League 2021 (MEL21) bakal dimulai 10 Juli sampai 10 September 2021. Turnamen tersebut menawarkan total hadiah sebesar RM200 ribu (sekitar Rp698 juta). Esports Integrated (ESI) mengungkap bahwa MEL21 diadakan dengan tujuan untuk menyediakan platform bagi semua pemain esports, mulai dari pemain amatir, semi-pro, sampai profesional. Kompetisi esports tersebut bakal diadakan secara online, sesuai dengan standard operating procedures (SOP)  dalam National Recovery Plan – Phase 1. MEL21 akan mengadu empat game, yaitu PUBG Mobile, Mobile Legends: Bang Bang, FIFA 21, dan Dota 2.

Pemain CS:GO Malaysia, Kaze, Bakal Bertanding di IEM Cologne

Andrew “kaze” Khong, pemain Counter-Strike: Global Offensive profesional asal Malaysia, telah mendarat di Jerman pada 30 Juni 2021 untuk ikut serta dalam Intel Extreme Masters Cologne 2021. Kaze, yang merupakan seorang AWPer, merupakan satu-satunya pemain asal Asia Tenggara yang bertanding di turnamen bergengsi tersebut. Saat ini, dia bermain bersama ViCi Gaming, tim asal Tiongkok.

Andrew “kaze” Khong. | Sumber: Instagram

Kaze mulai bermain CS:GO pada 2006 dan telah aktif di skena esports profesional selama 3 tahun terakhir. Pada 2014, dia menjadi pemain pengganti di tim asal Singapura. Dia kemudian menjadi bagian dari tim asal Malaysia, MVP.Karnal pada 2015. Keseluruhan tim tersebut kemudian diakuisisi oleh Dragoon Esports. Sukses membangun reputasi sebagai salah satu AWPer terbaik di Asia Tenggara, kaze mendapatkan tawaran untuk bermain di tim Tiongkok, menurut laporan IGN.

Overwatch League Diselidiki Divisi Antitrust Amerika Serikat

Divisi antitrust dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) tengah melakukan investigasi pada Overwatch League. Alasannya, karena liga tersebut membatasi besar gaji yang tim bisa berikan pada pemain. Menurut laporan Dot Esports, pada 2020, pengeluaran tim untuk gaji pemain tidak boleh melebihi US$1,6 juta. Memang, tidak ada peraturan eksplisit yang melarang tim untuk memberikan gaji tinggi pada pemain. Namun, jika total gaji pemain mencapai lebih dari US$1,6 juta, maka tim diharuskan untuk membayar “pajak barang mewah” pada Overwatch League.

Pajak tersebut ditentukan berdasarkan selisih antara total gaji tahunan seluruh pemain dalam sebuah tim dengan batas gaji maksimal yang ditetapkah oleh OWL. Jadi, jika gaji total seluruh pemain dari sebuah tim mencapai US$1,7 juta, maka tim harus memberikan US$100 ribu pada OWL sebagai pajak. Hal ini membuat OWL diselidiki karena dianggap membuat tim enggan untuk memberikan gaji besar pada para pemain. Pihak Activision Blizzard mengaku bahwa DOJ memang tengah melakukan penyelidikan dan mereka akan bekerja sama dengan badan pemerintah tersebut.

Pro dan Kontra Kekuasaan Absolut Publisher Game di Dunia Esports

Jika esports adalah sebuah kerajaan, maka publisher adalah rajanya, pemegang kekuasaan absolut yang bisa menentukan hidup-mati dari ekosistem esports sebuah game. Di satu sisi, kekuasaan publisher memungkinkan mereka untuk mengembangkan ekosistem esports. Di sisi lain, publisher juga punya kuasa untuk mematikan skena esports jika mereka menganggap bisnis esports tidak menguntungkan. Berikut argumen pro dan kontra akan kekuasaan penuh yang dipegang oleh para publisher di skena esports.

Pro #1: Tidak Ada Perebutan Kekuasaan

Di Indonesia, ada empat asosiasi yang menaungi esports, yaitu Indonesia Esports Association (IESPA), Asosiasi Video Game Indonesia (AVGI), Federasi Esports Indonesia (FEI), dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI). Masing-masing asosiasi punya afiliasi sendiri-sendiri. Misalnya, IESPA telah menjadi anggota dari International Esports Federation sejak 2013 dan menjadi anggota dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sejak 2018. Selain itu, mereka juga terafiliasi dengan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Sementara PBESI punya hubungan erat dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Pada Agustus 2020, KONI mengakui esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Dengan begitu, esports tak lagi masuk dalam kategori cabang olahraga rekreasi. Artinya, kuasa IESPA di kancah esports menjadi tidak seluas sebelumnya. Sebaliknya, posisi PBESI justru menjadi setara dengan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) atau Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Dengan begitu, di mata hukum dan undang-undang, PBESI menjadi asosiasi dengan kewenangan tertinggi untuk memajukan esports, menurut One Esports. Padahal, sebelum itu, IESPA punya peran yang cukup besar dalam mendorong atlet esports berkompetisi di kompetisi global. Mereka bahkan bertanggung jawab atas pemilihat atlet esports di SEA Games 2019.

Idealnya, asosiasi-asosiasi esports di Indonesia bisa saling bahu membahu untuk mengembangkan ekosistem esports di Tanah Air. Dari tinju — yang punya empat organsiasi di dunia– kita bisa tahu asosiasi-asosiasi dari cabang olahraga yang sama bisa hidup berdampingan. Namun, keberadaan lebih dari satu asosiasi tidak hanya memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antar asosiasi, tapi juga tumpang tindih tanggung jawab.

Nah, jika publisher memegang kuasa penuh akan skena esports, maka konflik perebutan kekuasaan bisa dicegah. Publisher bisa memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam ekosistem esports — mulai dari pemain, tim, sampai penyelenggara turnamen — mematuhi peraturan yang mereka buat. Dengan begitu, proses pengembangan ekosistem esports bisa menjadi lebih kohesif. Tak hanya itu, ketika publisher memegang kuasa penuh, mereka juga bisa membuat skena esports menjadi lebih stabil.

Mari kita bandingkan kuasa absolut publisher di skena esports dengan sistem pemerintahan kediktatoran. Sistem pemerintahan demokrasi selalu disebut lebih baik dari kediktatoran. Namun, dalam demokrasi, pemimpin pemerintahan akan selalu berganti setiap beberapa tahun. Di Indonesia, paling maksimal, seseorang bisa menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (alias 2 periode). Jadi, maksimal setiap 10 tahun, presiden Indonesia akan berganti.

Masalahnya, ketika ada pergantian pemimpin, biasanya, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah juga akan berubah. Apalagi jika pemimpin yang baru berasal dari kelompok oposisi dari presiden yang lama. Hal ini pernah terjadi di DKI Jakarta. Ketika pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangkan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2017, mereka langsung mengubah beberapa kebijakan yang dibuat oleh pasangan gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.

Pelantikan PBESI. | Sumber: Hybrid.co.id

Dalam kehidupan bernegara, perubahan kepemimpinan mungkin bisa berdampak baik. Namun, dalam skena esports, kontinyuitas adalah komoditas yang sangat penting. Bayangkan jika tahun ini, kuasa akan skena esports ada di tangan asosiasi A. Mereka memutuskan untuk membuat kompetisi esports tingkat SMA dan kuliah karena mereka merasa, regenerasi pemain esports sangat penting. Namun, pada tahun depan, kuasa akan esports beralih ke asosiasi B, yang merasa, membuat kompetisi tingkat amatir tidak ada gunanya. Mereka lalu membubarkan semua kompetisi untuk pelajar dan mahasiswa yang telah diadakan oleh asosiasi A sebelumnya. Hal ini justru akan membuat skena esports menjadi tidak stabil.

Bagi negara yang ada di bawah kepemimpinan seorang diktator, hidup atau matinya negara tersebut memang sepenuhnya tergantung pada karakter dan moral sang diktator. Begitu juga dengan esports. Ketika publisher memegang kuasa penuh, maka sukses atau gagalnya skena esports akan bergantung sepenuhnya pada publisher. Kabar baiknya, hampir semua publisher ingin ekosistem esports dari game mereka sukses. Alasannya sederhana: karena ekosistem esports akan memberikan dampak langsung pada keuangan publisher.

Pro #2: Pubisher akan Perjuangkan Skena Esports Mati-Matian

Valve mendapatkan US$130,8 juta dari penjualan Battle Pass The International 9. 25% dari total penjualan Battle Pass — sekitar US$32,7 juta — disalurkan langsung ke total hadiah TI9. Hal inilah yang membuat TI9 bisa menawarkan total hadiah sebesar US$34,3 juta. Padahal, Valve sendiri hanya menyiapkan US$1,6 juta. Hal itu berarti, Valve bisa mengantongi US$98,1 juta dari penjualan Battle Pass TI9. Padahal, Dota 2 adalah game gratis yang diluncurkan pada Juli 2013. Namun, berkat kesuksesan skena esports dari Dota 2, game itu tetap bisa menjadi tambang emas bagi Valve. Pertanyaannya, jika skena esports yang sukses bisa menghasilkan puluhan juta dollar, publisher mana yang tidak akan berjuang mati-matian untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka?

Oke, The International mungkin merupakan kasus ekstrim yang tidak bisa ditiru oleh semua publisher. Namun, publisher punya beberapa opsi untuk memonetisasi skena esports dari game mereka. Misalnya, Riot Games membuat dan menjual skin dari tim yang menjadi juara League of Legends World Championship. Model monetisasi lain yang mereka gunakan adalah membuat liga League of Legends dengan model liga franchise. Artinya, jika sebuah tim ingin ikut serta dalam liga, mereka harus membayar sejumlah uang terlebih dulu. Saat ini, Riot telah menerapkan model franchise di tiga liga League of Legends, yaitu Liga Amerika Utara (LEC), Liga Eropa (LEC), dan Liga Korea Selatan (LCK). Di Indonesia, salah satu publisher yang mengadopsi model monetisasi liga franchise adalah Moonton dengan Mobile Legends Professional League (MPL).

Selain itu, esports juga bisa digunakan sebagai alat marketing, yang dapat memperpanjang lifecycle sebuah game. Ubisoft adalah contoh publisher yang sukses menjadikan esports sebagai alat marketing. Mereka meluncurkan Rainbow Six: Siege pada 2015. Satu tahun kemudian, pada 2016, jumlah pemain dari game FPS itu hanya mencapai 10 juta orang. Namun, pada 2020, angka itu meroket menjadi 55 juta pemain. Padahal, biasanya, semakin tua umur sebuah game, semakin sedikit jumlah pemainnya. Dalam kasus Ubisoft, skena esports R6 membuat game itu tetap relevan sehingga para pemain tetap setia dan tidak beralih ke game lain.

Karena sukses atau tidaknya sebuah skena esports punya dampak besar pada publisher, tentunya, mereka juga akan berjuang ekstra keras untuk memastikan skena esports dari game mereka tetap bertahan. Di Indonesia, skena esports Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar. Namun, sekarang, turnamen esports dari kedua game itu sudah jarang ditemui. Alasannya, karena gamers Indonesia lebih suka untuk memainkan mobile game dan juga tak ada publisher yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports dua game tersebut di sini.

Karena skena esports yang sehat bisa menguntungkan publisher — baik secara langsung maupun tidak langsung — maka mereka pun akan berjuang ekstra keras untuk menumbuhkan dan mempertahankan ekosistem esports dari game mereka. Contohnya, ekosistem esports dari Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar di Tanah Air. Sayangnya, sekarang, tidak banyak pihak yang mengadakan kompetisi esports dari kedua game itu.

ClutchGuild yang lolos ke AOV World Cup 2018. | Sumber: Mineski

Sekarang, mari bandingkan dengan Arena of Valor. Mobile game MOBA itu juga kalah pamor jika dibandingkan dengan game-game mobile lain. Meskipun begitu, skena esports-nya masih hidup. Buktinya, Arena of Valor Premier League masih digelar. Dan total hadiah dari turnamen tersebut tidak kecil, mencapai US$350 ribu. Coba tebak siapa yang menyelenggarakan Arena of Valor Premier League? Tencent dan Garena. Hal ini menunjukkan, walau ekosistem esports tetap bisa bertahan tanpa dukungan publisher, sokongan publisher tetap akan memengaruhi sukses atau tidaknya skena esports.

Pro #3: Peraturan yang Pasti

Soal regulasi, baik penyelenggara turnamen (TO) maupun publisher sebenarnya sama-sama bisa membuat peraturan dalam sebuah skena esports. Hanya saja, publisher punya power yang lebih kuat untuk menegakkan peraturan yang mereka buat karena mereka memang memiliki akses langsung ke game yang diadu. Misalnya, jika ada pemain esports yang berbuat curang dalam kompetisi resmi PUBG Mobile, Tencent punya akses untuk melakukan ban pada ID pemain dari game. Sementara itu, jika hal yang sama terjadi di turnamen dari pihak ketiga, pihak TO hanya akan bisa melarang pemain mengikuti turnamen-turnamen yang mereka buat di masa depan.

Contoh lainnya, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang besar tanpa dukungan publisher adalah Pro Evolution Soccer. Skena esports PES bisa tumbuh berkat Liga1PES dan juga Indonesia Football e-League (IFeL). Masing-masing kompetisi punya peraturan masing-masin. Namun, Liga1PES tidak akan bisa ikut campur dalam regulasi yang dibuat oleh IFeL dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu, publisher akan bisa membuat regulasi yang harus dipatuhi oleh semua TO yang tertarik untuk membuat turnamen esports dari game mereka.

Head of Indonesia Football e-League, Putra Sutopo. | Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Memang, kekuasaan absolut publisher ini bisa disalahgunakan. Namun, mengacu pada poin pro #2, publisher tidak akan membuat regulasi yang tidak adil. Karena, hal ini bisa membuat tim dan pemain profesional enggan ikut serta atau bahkan membuat para fans marah. Jadi, kemungkinan besar, publisher akan mencoba untuk membuat regulasi yang memang kondusif untuk pertumbuhan ekosistem esports.

Kontra #1: Bisa Mematikan Ekosistem Esports Kapan Pun

Esports memang bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi publisher. Hanya saja membuat ekosistem esports yang menguntungkan bukanlah perkara gampang. Terkadang, publisher harus menginvestasikan uang yang tidak sedikit dalam waktu lama demi mengembangkan ekosistem esports dari game buatan mereka. Karena itu, jangan heran jika ada publisher yang memutuskan untuk berhenti menyokong ekosistem esports dari game mereka ketika mereka menganggap, competitive gaming tidak menguntungkan. Blizzard Entertainment adalah salah satu publisher yang melakukan hal ini.

Blizzard merilis Heroes of the Storm pada 2015. Di tahun yang sama, Blizzard menggandeng organisasi esports tingkat universitas, Tespa, untuk menggelar kompetisi HoTS untuk para mahasiswa, Heroes of the Dorm. Blizzard menyediakan hadiah berupa beasiswa senilai US$25 ribu untuk tim yang bisa menjadi juara. Satu tahun kemudian, pada 2016, Blizzard mengadakan kompetisi HoTS untuk profesional. Tidak tanggung-tanggung, mereka membuat turnamen dengan skala global. Turnamen itu dinamai Heroes of the Storm Global Championship (HGC). Skena esports HoTS pun cukup sukses. Buktinya, sejumlah organisasi esports ternama ikut turut serta, seperti Gen.G dari Korea Selatan dan Fnatic dari Inggris.

Namun, pada Desember 2018, Blizzard memutuskan untuk berhenti mendukung skena esports HoTS. Alasannya, karena mereka menganggap, investasi di competitive gaming tidak menguntungkan. Masalahnya, ketika itu, Blizzard tidak menginformasikan rencana mereka untuk berhenti menyokong skena esports HoTS pada para tim atau pemain. Alhasil, pelatih dan pemain profesional HoTS mendadak kehilangan pekerjaan mereka. Organisasi profesional juga mengalami kerugian karena mereka sudah terlanjur membuat tim untuk HoTS. Kabar baiknya, para fans HoTS berhasil mempertahankan skena dari game MOBA tersebut. Walau tentu saja, skala turnamen yang diadakan menjadi jauh lebih kecil.

Keputusan Blizzard untuk menghentikan turnamen HoTS secara sepihak merupakan salah satu dampak negatif yang mungkin muncul karena publisher memegang kekuasaan absolut di dunia esports. Dan hal ini mendorong politikus Korea Selatan untuk membuat regulasi baru. Pada Mei 2021, anggota kongres dari Partai Demokrat Korea, Dong-su Yoo mengajukan regulasi bernama Heroes of the Storm Law. Regulasi tersebut ditujukan untuk memastikan tidak ada pihak penyelengggara turnamen — baik publisher atau TO — yang mendadak membatalkan kompetisi tanpa mengabarkan hal itu pada semua pihak terkait. Melalui HoTS Law, Yoo berharap, jika publisher atau perusahaan distributor game berencana untuk berhenti mengadakan kompetisi esports, mereka akan memberitahukan hal tersebut pada tim dan pemain beberapa sebelum rencana itu direalisasikan, menurut laporan Naver Sports.

“Dalam esports, jika publisher game tak lagi mendukung skena esports, banyak pihak yang akan terkena dampaknya, termasuk organisasi esports, pemain profesional, caster, penonton, dan berbagai pihak lain,” kata Yoo, seperti dikutip dari The Esports Observer. Dia menyebutkan, kebanyakan pemain esports merupakan remaja atau berumur 20-an, yang merupakan masa penting dalam menentukan dan membangun karir profesoinal mereka. Kematian ekosistem esports secara mendadak bisa memengaruhi karir mereka. “Harus ada regulasi yang melindungi mereka,” ujar Yoo.

Kontra #2: Publisher yang Tak Tertarik dengan Esports

Jika Blizzard memutuskan untuk menyetop kompetisi HoTS setelah menyokong ekosistemnya selama sekitar tiga tahun, Nintendo sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk membangun ekosistem esports dari Super Smash Bros. Padahal, ekosistem esports dari Super Smash Bros. cukup berkembang. Buktinya, ada kompetisi tahunan dari Super Smash Bros., Smash Summit, yang diadakan sejak 2015. Tak hanya itu, Super Smash Bros. juga masuk dalam EVO, kompetisi esports paling bergengsi untuk fighting game. Meskipun begitu, Nintendo tetap tak tertarik untuk menyokong ekosistem esports Super Smash Bros.

Memang, Nintendo masih memberikan bantuan pada komunitas Super Smash Bros., seperti bantuan logistik, tapi, mereka tidak memberikan bantuan finansial sma sekali. Alhasil, total hadiah dari turnamen-turnamen Super Smash Bros. jauh lebih kecil dari kebanyakan kompetisi esports lainnya. Sebagai perbandingan, Smash Summit 5 — kompetisi Super Smash Bros. dengan total hadiah terbesar — hanya menawarkan hadiah sebesar US$83,7 ribu. Sementara itu, MPL — yang hanya mencakup Indonesia — mempunya total hadiah sebesar US$150 ribu. Dan Riot menyediakan US$2,25 juta untuk League of Legends World Championship.

Keputusan Nintendo ini membuat sejumlah pemain profesional Super Smash Bros. meradang. Karena itu, pada 2020, President Nintendo, Shuntaro Furukawa, memberikan alasan di balik keputusan Nintendo untuk tidak mendukung ekosistem esports Super Smash Bros. Dia menjelaskan, perusahaan lebih ingin agar Super Smash Bros. bisa dinikmati oleh semua orang, baik gamer hardcore maupun kasual. Mereka tidak ingin menonjolkan perbedaan kemampuan antara pemain Super Smash Bros. profesional dengan pemain kasual. Memang, selama ini, Super Smash Bros. lebih dikenal sebagai fighting game yang fun dan bukannya fighting game yang serius.

Esports, yang menyediakan panggung bagi para gamers untuk bertanding dan memperebutkan hadiah di hadapan penonton, memang bisa menunjukkan daya tarik dari video game,” kata Furukawa pada Nikkei, seperti diterjemahkan oleh Kotaku. “Kami bukannya tidak mendukung esports. Kami ingin bisa berpartisipasi dalam berbagai event sehingga game-game kami bisa dinikmati semua orang, terlepas pengalaman, gender, atau umur. Kekuatan kami, apa yang membedakan kami dari perusahaan lain, adalah pandangan ini dan bukannya besar total hadiah turnamen.”

Kontra #3: Turunnya Legitimasi Turnamen Pihak Ketiga

The International adalah Piala Dunia-nya para pemain Dota 2. The be-all and end-all. Hal ini tidak aneh, mengingat TI memang menawarkan hadiah yang paling besar, tidak hanya jika dibandingkan dengan turnamen Dota 2 lainnya, tapi jika dibandingkan dengan semua kompetisi esports dalam satu tahun. Tim yang menjuarai TI sudah pasti akan menjadi tim dengan total hadiah terbesar dalam satu tahun.

Bagi Valve, tingginya hype TI memang kabar baik. Namun, bagi penyelenggara turnamen pihak ketiga, hal ini justru bisa menjadi masalah. Pasalnya, total hadiah TI yang terlalu besar justru membuat kompetisi Dota 2 lainnya terlihat tidak signifikan. Hal ini bisa membuat para tim atau pemain papan atas enggan untuk ikut serta dalam turnamen yang diadakan oleh pihak ketiga. Dan jika tidak ada pemain atau tim elit yang berlaga, pihak penyelenggara akan kesulitan untuk menarik perhatian penonton.

Selain dari segi total hadiah, turnamen dari penyelenggara pihak ketiga juga biasanya kesulitan untuk menyaingi turnamen resmi dari publisher dari segi prestige. Ketika Anda menonton The International atau PUBG Mobile Global Championship, Anda tahu bahwa tim-tim yang bertanding di turnamen itu merupakan tim terbaik. Karena, untuk bisa berlaga di TI atau PMGC, sebuah tim harus melalui “babak penyisihan”, seperti turnamen tingkat nasional atau regional. Hal ini menunjukkan, kompetisi resmi dari publisher biasanya memiliki jenjang yang jelas. Dari kompetisi tingkat nasional, lalu naik ke tingkat regional, sebelum masuk ke level global.

Astralis dan The Liquid yang memenangkan Intel Grand Slam Season 1 dan 2. | Sumber: Dexerto

Sementara itu, tidak semua kompetisi dari TO pihak ketiga bisa sekomprehensif itu. Selain itu, membuat kompetisi esports yang berjenjang, seperti yang dilakukan oleh para publisher, memakan biaya yang tidak sedikit. Tidak banyak perusahaan yang mau untuk menyiapkan dana dan tenaga demi membuat kompetisi esports dengan jenjang panjang. Salah satu perusahaan non-publisher yang bisa melakukan itu adalah Intel, yang mengadakan Intel Grand Slam dengan bantuan dari ESL Gaming. Intel Grand Slam menawarkan hadiah US$1 juta untuk tim CS:GO yang berhasil memenangkan 4 turnamen S-Tier dalam periode 10 kompetisi.

Keberadaan Intel Grand Slam memang membuktikan bahwa pihak ketiga pun bisa membuat kompetisi yang berkelanjutan. Hanya saja, ada berapa banyak perusahaan yang mampu dan mau melakukan hal itu? Intel ada di posisi unik. Mereka tidak hanya punya dana yang memadai, mereka juga merupakan merek endemik esports. Pada 2020, pemasukan Intel mencapai US$77,87 miliar. Sementara itu, pendapatan NVIDIA pada tahun fiskal 2021 adalah US$16,68 miliar, Sony US$10,7 miliar, dan Lenovo Group US$50,7 miliar.

Kesimpulan

Power corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Dalam kehidupan bernegara, seseorang yang memegang kekuasaan penuh kemungkinan besar memang akan tergoda untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Dan dalam dunia esports, publisher — sebagai pemegang kuasa absolut — juga punya potensi untuk berbuat semena-mena. Hal ini dibuktikan oleh Blizzard yang secara sepihak menyetop kompetisi Heroes of the Storm. Namun, hal itu bukan berarti semua publisher akan melakukan hal itu.

Pasalnya, sebagai perusahaan, publisher pasti akan mencoba untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya. Dan esports bisa menjadi sumber pemasukan baru. Hanya saja, untuk bisa mendapatkan untung dari esports, publisher harus terlebih dulu membangun ekosistem yang solid. Dan publisher tidak bisa melakukan hal itu sendiri. Mereka membutuhkan bantuan dari tim, pemain, dan penyelenggara turnamen esports. Jadi, walau publisher bisa membuat keputusan sesukanya, mereka harus mengambil langkah yang menguntungkan semua pihak yang terlibat jika mereka ingin mendapatkan untung dari esports.

Sumber header: Win.gg

Garena World 2021 Telah Digelar, PS5 Jadi Konsol Resmi NBA 2K League

Minggu lalu, PlayStation mengumumkan bahwa PlayStation 5 akan menjadi konsol resmi dari NBA 2K League. Selain itu, Garena World 2021 juga baru selesai digelar. Sementara ESIC bekerja sama dengan FBI untuk menyelesaikan masalah match fixing di skena esports CS:GO di Amerika Utara.

Garena World 2021 Gunakan AR untuk Pengalaman yang Lebih Realistis

Garena World 2021 diselenggarakan pada 3-4 April 2021 di Thailand. Tahun ini, acara game dan esports terbesar di Asia Tenggara itu akan diadakan secara online. Menggunakan augmented reality dan berbagai teknologi fans engagement lain, Garena akan berusaha untuk membuat “Dunia Virtual Interaktif”. Para pengunjung dari Thailand bisa mengikuti berbagai mini game untuk memenangkan token yang bisa ditukar dengan hadiah dalam game Arena of Valor (AOV), Free Fire, FIFA Online 4, Call of Duty: Mobile, dan Fairy Tail: Forces Unite! Selain itu, mereka juga bisa menukar token tersebut dengan hadiah nyata. Hadiah itu akan dikirimkan ke rumah mereka secara gratis, lapor IGN.

Persiapan Garena World 2021. | Sumber: IGN
Persiapan Garena World 2021. | Sumber: IGN

Seperti biasa, Garena World 2021 juga akan menampilkan berbagai turnamen esports. Kali ini, ada empat game yang Garena yang diadu, yaitu AOV, Free Fire, FIFA Online 4, dan Call of Duty: Mobile – Garena. Secara keseluruhan, ada 39 tim dari 9 kawasan yang berbeda yang berlaga di kompetisi-kompetisi tersebut. Sementara total hadiah yang ditawarkan mencapai US$660 ribu atau sekitar Rp9,6 miliar.

PlayStation 5 Jadi Konsol Resmi untuk NBA 2K League

PlayStation 5 menjadi konsol resmi untuk NBA 2K League. Hal ini diumumkan ole VP, Global Competitive Gaming, PlayStation, Steven Roberts dalam situs resmi PlayStation. Kerja sama ini akan dimulai pada bulan Mei 2021. Ke depan, tim dan pemain dari NBA 2K League akan menggunakan PlayStation 5 saat bertanding di berbagai kompetisi. Selain itu, PlayStation juga akan mengadakan turnamen esports untuk para fans.

“Dengan bangga kami mengumumkan, turnamen online untuk fans akan diadakan pada minggu depan untuk pertama kalinya,” ujar Roberts, pada 2 April 2021. “Mulai sekarang, semua pemilik PS5 di Amerika Serikat bisa mendaftarkan diri di turnamen Three for All Showdown Qualifier, yang akan diadakan pada 5-6 April 2021.” Pemenang dari turnamen itu akan ikut serta dalam pertandingan 3-on-3 bersama influencers Troydan dan PoorBoySin di kompetisi NBA 2KL Three for All Showdown, yang bakal diadakan pada 9-10 April 2021.

Team Nigma Pindah Markas ke Abu Dhabi

Team Nigma baru saja mengumumkan bahwa mereka punya markas baru di Abu Dhabi, ibukota dari Uni Emirat Arab. Mereka melakukan hal ini sebagai bagian dari kerja sama baru dengan twofour54, organisasi yang disokong oleh pemerintah Abu Dhabi. Selama lima tahun ke depan, Team Nigma akan berlatih di tempat pelatihan khusus. Tujuan Team Nigma pindah ke Abu Dhabi adalah untuk mendorong pertumbuhan industri game dan esports di Timur Tengah.

Team Nigma merupakan salah satu tim populer di Dota 2. | Sumber: ONE Esports
Team Nigma merupakan salah satu tim populer di Dota 2. | Sumber: ONE Esports

“Kami tidak sabar untuk mendukung tim yang berisi para superstars lokal ini,” kata James Hart, Director of Strategic Partnership, twofour54, menurut laporan Clutch Points. “Team Nigma akan membuka berbagai lowongan pekerjaan baru di sektor esports di Abu Dhabi. Dan mereka juga akan menjadi inspirasi bagi para talenta lokal dengan menunjukkan apa yang bisa seseorang capai jika mereka mendedikasikan diri dan bekerja keras di industri esports.”

ESIC Kerja Sama dengan FBI untuk Atasi Match Fixing di Skena CS:GO Amerika Utara

Tahun lalu, polisi Australia bekerja sama dengan Esports Integrity Commission (ESIC) untuk menangkap pelaku match fixing di skena Counter-Strike: Global Offensive. Namun, ternyata, masalah match fixing dan judi ilegal di CS:GO lebih serius dari yang diduga. Untuk menyelesaikan masalah match fixing di skena CS:GO Amerika Utara, FBI pun dilibatkan. Hal ini diungkapkan oleh Ian Smith, Commissioner dari Esports Integrity Commission (ESIC) dalam wawancara dengan YouTuber slash32. Dia menjelaskan, ESIC dan FBI tengah mengadakan investigasi yang melibatkan sejumlah pemain CS:GO soal match fixing di MDL Amerika Utara.

“Kasus ini merupakan contoh dari match fixing klasik — para pemain tidak berinisiatif untuk sengaja kalah, tapi mereka disogok oleh sindikat judi demi menentukan hasil pertandingan,” kata Smith, seperti dikutip dari Kotaku. “Dan masalah ini telah muncul sejak lama, serta jauh lebih terorganisasi. Jadi, untuk menyelesaikan masalah tersebut, kami bekerja sama dengan penegak hukum dan FBI, yang belum lama ini membuka unit investigasi baru terkait perjudian olahraga.”

Secretlab Sponsori Wild Rift SEA Icon Series, Cloud9 Bubarkan Tim CS:GO

Minggu lalu, ada beberapa pengumuman menarik di dunia esports. Kabar baiknya, 100PLUS dan Secretlab telah resmi menjadi sponsor dari Wild Rift SEA Icon Series. Sementara itu, kabar buruk muncul dari Cloud9, yang memutuskan untuk membubarkan tim Counter-Strike: Global Offensive mereka.

100PLUS dan Secretlab Jadi Sponsor dari Wild Rift SEA Icon Series

Secretlab, pembuat kursi gaming, dan 100PLUS, merek sport drink, resmi menjadi sponsor dari League of Legends: Wild Rift Southeast Asia Icon Series Singapore. Dengan ini, 100PLUS akan menyediakan minuman untuk semua staf, casters, dan bahkan peserta dari turnamen itu. Sementara itu, Secretlab akan menyediakan kursi yang akan digunakan pada peserta. Menurut laporan Esports Insider, kerja sama ini adalah kali pertama 100PLUS memasuki dunia esports. Sementara Secretlab memang telah mendukung perkembangan ekosistem esports di Asia sejak lama.

Cloud9 Bubarkan Tim CS:GO

Cloud9 membubarkan tim Counter-Strike: Global Offensive mereka. Mereka melakukan hal ini karena mereka merasa, mereka tidak bisa merealisasikan potensi tim CS:GO mereka akibat pandemi virus corona. Jadi, untuk sementara, Cloud9 memutuskan untuk melepaskan pemain CS:GO mereka dan meninggalkan skena esports dari game FPS itu.

Cloud9 memutuskan untuk mundur dari skena esports CS:GO untuk sementara. | Sumber: Dot Esports
Cloud9 memutuskan untuk mundur dari skena esports CS:GO untuk sementara. | Sumber: Dot Esports

Selama ini, Cloud9 memang mengutamakan performa dari tim CS:GO mereka. Satu-satunya tugas tim CS:GO di Cloud9 adalah untuk memenangkan kompetisi. Tim yang dinamai Colossus itu bahkan tidak wajib untuk melakukan kegiatan streaming, seperti tim-tim dari game lain. Hanya saja, sejak September 2020, tim CS:GO dari Cloud9 gagal untuk memberikan hasil sesuai ekspektasi karena pandemi, lapor Clutch Points.

Game Berikan Kontriusi Besar Pada Pemasukan FIFA Tahun Lalu

Pada 2020, game memberikan kontribusi yang lebih besar pada total pemasukan FIFA daripada sepak bola itu sendiri. Berdasarkan laporan keuangan dari FIFA, pemasukan mereka pada tahun lalu mencapai US$266,5 juta. Dari total pendapatan mereka, lebih dari 50% atau sekitar US$158,9 juta berasal dari penjualan lisensi, termasuk menjual lisensi untuk game.

“Menjual lisensi untuk game merupakan salah satu sumber pemasukan utama kami terkait penjualan lisensi,” kata FIFA, seperti dikutip dari Inside the Games. “Berbeda dengan kebanyakan sektor ekonomi yang terkena dampak buruk selama pandemi COVID-19, industri game terbukti jauh lebih tangguh dalam menghadapi pandemi.”

Krafton dan FaZe Clan Rilis Jersey Edisi Terbatas

Krafton Inc., perusahaan di balik PUBG dan PUBG Mobile, bekerja sama dengan FaZe Clan untuk membuat merchandise edisi terbatas berupa FaZe Clan PUBG Jersey. Merchandise ini dibuat dalam rangka perayaan PUBG Global Invitational. S PGI. S) 2021, yang tengah diselenggarakan di Korea Selatan. Jersey hasil kerja sama antara Krafton dan FaZe hanya dijual selama 72 jam. Menurut laporan The Esports Observer, jersey tersebut akan dijual seharga US$70. Kali ini adalah pertama kalinya Krafton bekerja sama dengan organisasi esports untuk meluncurkan merchandise resmi.

Jersey hasil kerja sama Krafton dengan FaZe Clan. | Sumber: The Esports Observer
Jersey hasil kerja sama Krafton dengan FaZe Clan. | Sumber: The Esports Observer

Gen.G Gandeng Toyota untuk Adakan Turnamen Minecraft

Gen.G bekerja sama dengan Toyota untuk membuat kompetisi Minecraft yang berlangsung selama satu minggu. Kompetisi yang bertema “Let’s Go Places in Your Dream Ride” ini dinamai Toyota Sienna Dream Builds. Kompetisi tersebut dimulai pada 26 Maret 2021 dan akan berakhir pada 1 April 2021. Dari semua peserta, 10 pemain dengan build terbaik akan dipilih sebagai pemenang. Juara pertama akan mendapatkan PlayStation 5. Sementara para pemenang lainnya akan mendapatkan beragam hadiah seperti Nintendo Switch dan gift cards, lapor The Esports Observer.

10 Atlet Esports Perempuan dengan Pendapatan Terbesar

Industri game dan esports memang identik dengan dunia pria. Meskipun begitu, tetap ada beberapa pemain esports perempuan yang berhasil meraih sukses. Berikut 10 pemain esports perempuan dengan pemasukan terbesar, menurut Esports Earners. Menariknya, para pemain yang masuk daftar ini berlaga di game yang berbeda-beda. Padahal, kebanyakan pemain esports laki-laki yang mendapatkan hadiah terbesar merupakan pemain Dota 2, khususnya, para pemenang The International.

Berikut daftar 10 pemain profesional perempuan dengan pemasukan terbesar.

1. Sasha “Scarlett” Hostyn

Sasha "Scarlette" Hostyn. Via: Reddit
Sasha “Scarlette” Hostyn. Via: Reddit

Dengan total pemasukan sebesar US$393,5 ribu, Scarlett merupakan pemain esports perempuan dengan penghasilan terbesar. Tak hanya itu, dia juga merupakan pemain Starcraft perempuan pertama yang berhasil memenangkan turnamen major. Dan belum lama ini, dia menandatangani kontrak dengan tim baru, Shopify Rebellion. Memang, skena esports Starcraft tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan game esports lain seperti League of Legends atau Counter-Strike: Global Offensive. Meskipun begitu, turnamen major dari Starcraft masih diminati. Jadi, Scarlett masih akan bisa melanjutkan karirnya.

2. Vi “VKLiooon” Xiaomeng

Xiaomeng Li. Via: Esports Talk
Xiaomeng Li. Via: Esports Talk

VKLiooon duduk di posisi kedua dalam daftar pemain perempuan dengan pemasukan terbesar. Secara total, dia telah mendapatkan penghasilan sebesar US$238 ribu. Dia merupakan salah satu pemain perempuan ternama di skena esports Hearthstone. Dia mendadak menjadi tenar ketika berhasil memenangkan Hearthstone Grandmasters Global Finals pada 2019. Ketika itu, dia menjadi perempuan pertama yang memenangkan kompetisi tersebut.

3. Kat “Mystik” Gunn

Sekarang, Mystik berkontribusi dalam industri game dan esports dengan menjadi streamer dan cosplayer. Namun, sebelum dia dikenal sebagai streamer, dia merupakan pemain profesional CS:GO. Dia berhasil memenangkan hadiah besar berkat kesuksesan timnya, Carolina Core, di Championship Gaming Series (CGS). Dengan total pemasukan US$122,6 ribu, dia merupakan pemain esports perempuan dengan pemasukan terbesar ketiga. Memang, karir Mystik sebagai pemain profesional tidak bertahan lama. Namun, hal itu cukup untuk membuat namanya dikenal di kalangan fans esports sehingga dia bisa ganti haluan menjadi streamer.

Kat "Mystik" Gunn. | Sumber: katgunn.com
Kat “Mystik” Gunn. | Sumber: katgunn.com

4. Rumay “Hafu” Wang

Hafu dikenal sebagai satu streamer terpopuler di Twitch. Dia dikenal berkat kemampuannya dalam bermain Teamfight Tactics. Sejauh ini, dia telah mendapatkan US$84,5 ribu. Belakangan, dia tidak lagi bertanding di kompetisi esports. Meskipun begitu, dia masih aktif di dunia esports sebagai streamer. Pada November 2020, Hafu menjadi streamer perempuan dengan penonton terbanyak setelah Valkyrae.

Rumay “Hafu” Wang
Rumay “Hafu” Wang

5. Ricki Ortiz

Ricki Ortiz, pemain Street Fighter, duduk di peringkat lima dengan total pemasukan sebesar US$81,2 ribu. Memang, sejak awal karirnya, Ricki selalu fokus pada fighting game. Sekarang, dia bermain sebagai perwakilan Evil Geniuses di kompetisi fighting game, khususnya Street Fighter. Dia bahkan berhasil meraih juara dua di Capcom Cup 2016. Dia hanya kalah di babak final dari mantan juara Du “NuckleDu” Dang.

Ricki Ortiz
Ricki Ortiz

6. Nina “Nina” Qual

Sepanjang karirnya sebagai pemain esports, Nina berhasil mendapatkan US$77,9 ribu. Hal ini membuatnya duduk di posisi enam. Sama seperti Scarlett, Nina juga merupakan pemain Starcraft 2. Sampai saat ini, dia masih aktif ikut kompetisi Starcraft bersama Team eXoN. Sebelum itu, dia merupakan bagian dari ROOT Gaming. Dia pertama kali bergabung dengan ROOT Gaming pada 2012. Dia sempat keluar dari tim tersebut karena alasan keluarga pada Oktober 2012. Namun, satu bulan kemudian, dia kembali bergabung dengan ROOT Gaming.

Nina Qual
Nina Qual

7. Kim “Geguri” Se-yeon

Geguri merupakan pemain Overwatch asal Korea Selatan. Dalam tim, dia biasanya berperan sebagai Off-Tank. Beberapa hero yang menjadi ciri khasnya adalah Zarya, D.Va, Roadhog, dan Orisa. Dia bergabung dengan Shanghai Dragons — tim Overwatch League yang mewakili Tiongkok — pada Februari 2018. Bersama Shanghai Dragons, Geguri pernah memenangkan beberapa turnamen bergengsi, seperti Overwatch League 2020 – Asia Playoffs, Overwatch League – 2020 Regular Season, dan Overwatch League 2020 – Countdown Cup. Namun, dia keluar dari Shanghai Dragon pada Oktober 2020. Secara total, Geguri berhasil mendapatkan US$70,1 ribu.

Geguri ketika mengenakan seragam Shanghai Dragons. | Sumber: Liquipedia
Geguri ketika mengenakan seragam Shanghai Dragons. | Sumber: Liquipedia

8. Tina “Tinaraes” Perez

Dengan total pemasukan sebesar US$66,2 ribu, Tinaraes duduk di peringkat delapan. Dia merupakan pemain Fortnite dan bergabung dengan Gen.G pada Oktober 2018. Ketika itu, Gen.G juga menandatangani kontrak dengan Maddie “Maddiesuun” Mann. Bersama dengan Maddiesuun, Tinaraes menjadi duo Fortnite perempuan di Gen.G. Keduanya merupakan pemain Fortnite perempuan pertama yang mendapatkan kontrak dengan tim esports besar. Bersama dengan Rhux dan Pika, Tinarae berhasil menjadi juara pertama dari TwitchCon 2019.

Via: InvenGlobal
Via: InvenGlobal

9. Maureen “Alice” Gabriella

Jika Anda merupakan pemain PUBG Mobile atau fans esports, Anda pasti pernah mendengar nama Maureen Gabriella alias Alice. Sepanjang karirnya, pemain Bigetron Red Alien ini telah mengumpulkan US$57,4 ribu, menjadikannya sebagai pemain esports perempuan dengan penghasilan terbesar ke-9. Berperan sebagai Sniper atau Support, Alice memang sudah memenangkan banyak kompetisi bergengsi bersama Bigetron, seperti PUBG Mobile Pro League – Fall Split 2020: SEA dan PUBG Mobile Pro League – Fall Split 2020: Indonesia League. Dalam PUBG Mobile GLobal Championship Season 0: League, Alice bersama Bigetron berhasil menjadi juara dua.

10. Marjorie “Kasumi Chan” Bartell

Nama Marjorie Bartell dikenal di dunia esports setelah dia mengalahkan Sarah Harrison di Championship Gaming Series, turnamen Dead or Alive. Dalam waktu kurang dari satu tahun, dia berhasil memenangkan lebih dari US$55 ribu, membuatnya menjadi pemain Dead or Alive dengan pemasukan terbesar. Dia mengambil nama “Kasumi Chan” dari salah satu karakter di seri Dead or Alive.

Marjorie menggunakan nama "Kasumi Chan" dari karakter Dead or Alive. | Sumber: Medium
Marjorie menggunakan nama “Kasumi Chan” dari karakter Dead or Alive. | Sumber: Medium

EVOS Esports Juara Free Fire Indonesia Masters 2021 Spring, EA Bakal Adakan FIFA Face-Off

Pada Minggu, 21 Maret 2021, EVOS berhasil menjadi juara dari Free Fire Indonesia Masters 2021 Spring. Dengan ini, mereka akan maju ke Free Fire World Series 2021. Sementara itu, pada minggu lalu, EA mengumumkan bahwa mereka akan menggelar turnamen FIFA di kalangan selebritas, influencers, dan pemain profesional.

EVOS Menang Free Fire Indonesia Masters 2021 Spring

EVOS Esport keluar sebagai juara Free Fire Indonesia Masters (FFIM) 2021 Spring. Sejak awal, EVOS memang sudah diduga akan dapat mempertahankan gelar mereka dan kembali memenangkan FFIM. Namun, mereka sempat kesulitan menghadapi tim-tim baru yang tangguh di Free Fire Master League (FFML) Season 3. Dengan menjadi juara FFIM 2021 Springs, EVOS Esports akan menjadi perwakilan Indonesia di Free Fire World Series 2021. Selain EVOS, First Raiders juga akan bertanding di turnamen yang diadakan di Singapura itu.

EVOS juara FFIM
EVOS juara Free Fire Indonesia Masters (FFIM). | Sumber: Garena

Sementara itu, gelar Predator — pemain yang dapat mengumpulkan kill points terbanyak selama Grand Finals FFIM 2021 Spring — jatuh pada SRN DVITOOO dari Siren Esports, yang berhasil meraih posisi 2nd Runner Up. Sebelum berlaga di FFIM 2021 Spring, SRN DVITOOO merupakan pemain dari tim di Divisi 2.

ESL Pro League Buat Dewan Pemain

ESL Pro League mengumumkan pembentukan EPL Player Council. Sesuai namanya, dewan ini berisi para pemain esports dari 12 tim yang menjadi rekan ESL. Pertemuan pertama dari anggota Player Council telah diadakan dan dihadiri oleh semua peserta. Sepanjang 2021, akan ada empat pertemuan lain yang bakal diselenggarakan, lapor Esports Insider. Masa berlaku anggota Player Council adalah dua tahun. Selama menjadi anggota Player Council, diharapkan para pemain akan bisa mengerti akan standar dan ekspektasi yang harus merkea penuhi. Player Council dibuat dengan tujuan untuk membuat para pemain lebih paham akan sisi bisnis dari industri esports.

Organisasi Esports Brasil Dominasi Obrolan di Twitter

Lima dari 10 organisasi esports yang paling banyak dibicarakan di Twitter merupakan organisasi esports asal Brasil, menurut Head of Gaming Content Partnerships, Rishi Chadha. Posisi pertama diduduki oleh LOUD. Salah satu alasan mengapa tim itu menjadi bahan pembicaraan adalah karena mereka merekrut tim baru untuk berlaga di Liga Brasil League of Legends (CBOL). Sebelum ini, LOUD hanya punya tim Free Fire dan Fortnite. Sementara posisi kedua diisi oleh G2 Esports dari Eropa, diikuti oleh paiN Gaming dari Brasil dan FaZe Clan dari Amerika Serikat.

10 tim esports yang paling sering dibicarakan di Twitter.
10 tim esports yang paling sering dibicarakan di Twitter.

Memang, dari 10 organisasi esports di atas, FaZe Clan dan Team Liquid bukan organisasi yang berasal dari Brasil. Namun, keduanya punya tim di negara tersebut. Faktanya, Tim Free Fire dari Team Liquid di Brasil bahkan berhasil memenangkan Continental Series pada 2020, seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer.

Diesel, Merek Parful dari L’Oréal, Lanjutkan Kerja Sama dengan Vodafone Giants

Diesel, merek parfum milik L’Oréal, mengumumkan bahwa mereka akan meneruskan kerja sama mereka dengan organisasi esports asal Spanyol, Vodafone Giants. Diesel dan Vodafone Giants telah bekerja sama sejak 2016. Hanya saja, nilai kerja sama antara keduanya tidak diumumkan, lapor The Esporst Observer. Melalui kerja sama ini, parfum Only The Brave dari Diesel akan dipromosikan oleh Vodafone Giants melalui jaringan media sosial mereka.

EA Sports Bakal Adakan FIFA Face-Off, Adu Selebritas dengan Pemain Pro FIFA

Electronic Arts mengumumkan, mereka akan mengadakan FIFA Face-Off, game show yang akan mengadu para influencers dan selebritas dengan pemain FIFA profesional. Game show yang terdiri dari dua episode ini akan disiarkan secara langsung pada 19 dan 26 Maret 2021. Beberapa selebritas yang ikut dalam acara ini antara lain Jason Sudeikis, Brendan Hunt, Trevor Noah, Becky G, dan Nicky Jam. Sementara itu, Edwin “Castro 1021” Castro akan menjadi host dari acara tersebut, menurut laporan Esports Insider.

EA bakal adakan FIFA Face-Off.
EA bakal adakan FIFA Face-Off.

GameSquare Esports Akuisisi Reciprocity

GameSquare Esports, perusahaan induk dari Code Red Esports, mengungkap bahwa mereka telah menyelesaikan proses akuisisi dari organisasi esports asal Kanada, Reciprocity. Untuk membeli keseluruhan saham yang dikeluarkan oleh Reciprocity, GameSquare mengeluarkan CA$14,44 juta (sekitar Rp166,6 miliar). Dengan akuisisi ini, Reciprocity akan menjadi bagian dari GameSquare. Reciprocity punya Gaming Community Network (GCN), media agency yang menjembatani para perusahaan sponsor dengan pelaku dunia esports.

Antara Cheating di Esports, Badan Arbitrase, dan Perebutan Uang & Kuasa

Jumlah penonton esports terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2023, Statista memperkirakan, jumlah audiens esports akan mencapai 646 juta orang, dengan 351 juta orang sebagai occasional viewers dan 295 juta sisanya sebagai esports enthusiasts. Banyaknya orang yang tertarik untuk menonton esports menjadi salah satu alasan mengapa semakin banyak merek — non-endemik sekalipun — yang tertarik untuk mendukung esports, menjadikan industri competitive gaming bernilai hingga hampir US$1 miliar.

Integritas kompetisi punya peran penting dalam memastikan agar pertandingan esports tetap diminati, Sayangnya, seiring dengan naiknya total hadiah yang ditawarkan dalam turnamen esports, semakin menggiurkan pula bagi para peserta untuk berbuat curang. Masalahnya, jika tidak ditangani, perbuatan curang bisa merusak ekosistem esports secara keseluruhan.

 

Definisi Kecurangan Dalam Olahraga

Dalam buku Fair Play in Sport, Sigmund Loland mendefinisikan kecurangan dalam olahraga sebagai “usaha untuk mengungguli lawan dengan melanggar peraturan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak”. Sementara itu, di jurnal berjudul Cheating in Contests, Ian Preston dan Stefan Szymanski membagi jenis kecurangan dalam olahraga tradisional ke dalam tiga kategori, yaitu menyabotase musuh, menggunakan doping, dan mengatur jalannya pertandingan alias match fixing.

Esports merupakan kompetisi olahraga dengan game sebagai media pertandingan. Dengan begitu, kita bisa mendefinisikan kecurangan dalam esports sama dengan kecurangan di olahraga tradisional. Dan memang, di dunia esports, menggunakan doping merupakan salah satu bentuk kecurangan yang pernah dilakukan oleh sebagian pemain profesional. Selain itu, juga ada atlet esports yang melakukan match fixing.

Kory "Semphis" Friesen. | Sumber: 90MIN
Kory “Semphis” Friesen. | Sumber: 90MIN

Kory “Semphis” Friesen, mantan pemain Counter-Strike: Global Offensive dari Cloud9 mengaku bahwa dia dan timnya pernah menggunakan adderall ketika bertanding dalam kompetisi pada 2015. Adderall sebenarnya adalah obat yang biasa diminum oleh pengidap Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Tujuannya adalah untuk membantu mereka berkonsentrasi. Sayangnya, obat ini terkadang disalahgunakan oleh para pemain profesional. Penggunaan adderall atau doping lain tidak hanya terjadi di skena esports CS:GO, tapi juga Overwatch. Timo “Taimou” Kettunen, mantan pemain Dallas Fuel, mengungkap, ada setidaknya 20 pemain di Overwatch League yang menggunakan adderall.

Maraknya penggunaan doping ini mendorong ESL untuk membuat peraturan terkait penggunaan doping. Mereka menetapkan, pemain yang tertangkap menggunakan doping akan dikenakan ban selama 1-2 tahun. Jika ESL tahu bahwa tim juara menggunakan doping, maka gelar juara dari tim itu akan dicabut. Tak hanya itu, mereka juga tidak akan mendapatkan hadiah uang. Sementara jika seorang pemain atau sebuah tim ketahuan menggunakan doping selama turnamen berlangsung, maka mereka akan didiskualifikasi.

Bentuk kecurangan lain yang bisa terjadi di dunia esports adalah match fixing, yaitu ketika sebuah tim bermain untuk mendapatkan hasil yang sudah ditentukan. Misalnya, sengaja mengalah pada musuh. Salah satu contoh kasus match fixing terjadi di Victoria, Australia. Pada April 2020, polisi berhasil menangkap enam pemain CS:GO yang melakukan match fixing. Mereka sengaja kalah dari musuh dalam setidaknya lima pertandingan di turnamen esports. Mereka melakukan itu karena sudah memasang taruhan bahwa tim mereka akan kalah. Ketika itu, para pelaku dihadapkan pada hukuman hingga 10 tahun penjara.

Esports Integrity Commission (ESIC) bekerja sama dengan Polisi Victoria untuk menangkap para pelaku. Meskipun para pelaku berhasil tertangkap, kepada Bloomberg, Stephen Hanna, Director of Global Strategy and Partnerships, ESIC berkata, “Tidak mungkin untuk menghapuskan judi ilegal dan match fixing sepenuhnya. Tugas kita hanyalah untuk meminimalisir hal itu.”

Kecurangan lain yang bisa dilakukan oleh pemain profesional adalah menggunakan kode cheat. Memang, di industri game, keberadaan kode cheat bukanlah hal yang aneh. Namun, ketika seorang pemain profesional menggunakan kode cheat untuk unggul atau bahkan untuk bisa menang, maka hal ini akan merusak integritas pertandingan esports. Jika dibiarkan, hal itu dapat berujung pada rusaknya kepercayaan fans.

Ada berbagai kode cheat yang bisa digunakan oleh para atlet esports. Misalnya, di game FPS seperti CS:GO, ada aim bot, yang memudahkan pemain untuk membidik musuh. Kode cheat lain yang biasa digunakan adalah wall hack, yang membuat pemain bisa melihat menembus tembok, serta speed hack, yang akan memungkinkan pemain untuk bergerak dengan jauh lebih cepat.

Salah satu atlet esports yang pernah ketahuan menggunakan aim bot adalah Nikhil “forsaken” Kumawat.  Dia merupakan pemain CS:GO yang sempat menjadi anggota OpTic India. Dia tertangkap basah menggunakan aim bot di babak final eXTREMESLAND 2018 Asia. Lucunya, ketika tertangkap, dia tidak langsung mengaku dan justru berusaha untuk menghilangkan bukti dengan menghapus aim bot yang terpasang di PC-nya, yang dia namai Word.exe. Penyelidikan lebih lanjut membuktikan bahwa dia juga menggunakan aim bot saat dia bertanding di ESL India Premiership 2018 Fall, lapor Essentially Sports.

Selain kode cheat, ada cara lain bagi atlet esports untuk berbuat curang di turnamen esports. Kecurangan paling simpel yang bisa pemain profesional lakukan adalah dengan melihat layar yang dihadapkan ke para penonton untuk melihat posisi lawan. Hal ini pernah dilakukan oleh Azubu Frost di League of Legends World Championship 2012. Mereka ketahuan berbuat curang karena mengalihkan pandangan dari monitor PC mereka sendiri — sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh para pemain League of Legends. Pada akhirnya, Azubu Frost mendapatkan denda sebesar US$30 ribu, walau mereka tidak didiskualifikasi dari kompetisi itu.

 

Kecurangan yang Abu-Abu

Di olahraga tradisional, seperti sepak bola misalnya, para atlet tidak akan mendadak mendapatkan kemampuan spesial karena menggunakan peralatan khusus. Pierre-Emerick Aubameyang masuk dalam daftar 10 pesepak bola tercepat karena dia sanggup berlari dengan kecepatan 35,55 km per jam. Tentu saja, jenis sepatu yang dia gunakan dan tempatnya berlari akan memengaruhi kecepatan berlarinya. Namun, Anda tidak akan bisa mendadak berlari sekencang Aubameyang hanya karena mengenakan sepatu yang sama.

Lain halnya dengan esports. Dalam pertandingan esports, kualitas perangkat dan alat yang digunakan sangat memengaruhi performa pemain. Misalnya, jika dalam pertandingan El Clasico Mobile Legends antara RRQ melawan EVOS Esports, salah satu tim memiliki koneksi internet yang lebih baik. Tentunya, tim itu akan diuntungkan. Pasalnya, refleks seorang pemain untuk bereaksi akan menjadi sia-sia jika terjadi lag dalam game.

Pemain bisa mendapatkan field of view yang lebih luas di PUBG Mobile dengan tablet. | Sumber: IDN Times
Pemain bisa mendapatkan field of view yang lebih luas di PUBG Mobile dengan tablet. | Sumber: IDN Times

Contoh lainnya, ketika memainkan game seperti PUBG Mobile, Anda akan mendapatkan field of view yang lebih luas saat menggunakan tablet atau iPad. Hal ini akan memberikan Anda keunggulan jika dibandingkan pemain yang bermain di smartphone. Hal ini memunculkan pertanyaan: pemain yang menggunakan perangkat yang lebih baik, apakah mereka bisa dianggap curang? Di sinilah pentingnya standarisasi.

Dengan memastikan semua peserta kompetisi menggunakan perangkat yang sama, hal ini akan menjamin bahwa pertandingan akan mengadu kemampuan para peserta dan bukannya beradu perangkat siapa yang lebih baik. Karena itulah, dalam beberapa turnamen esports offline, penyelenggara menyediakan perangkat yang digunakan oleh peserta. Selain agar peserta tidak memasang kode cheat, alasan lainnya adalah agar tidak ada peserta yang diuntungkan karena perangkat yang dia gunakan.

Dalam buku peraturan kompetisi resmi PUBG Mobile versi 2019, terdapat peraturan yang mengatur tentang perangkat yang boleh digunakan oleh para pemain. Ketika itu, Proxima — sebagai pemegang hak distribusi game PUBG Mobile di dunia kecuali di Jepang dan Korea Selatan — menentukan bahwa para peserta hanya bisa menggunakan smartphone berbasis Android atau iOS. Penggunaan tablet atau PC dilarang. Aturan ini kemudian dihilangkan pada buku peraturan kompetisi resmi versi 2020.

Meskipun begitu, keputusan Proxima untuk menjadikan smartphone Android atau iPhone sebagai perangkat standar kompetisi menarik untuk dibahas. Alasannya, tablet memungkinkan para pemain untuk melihat sudut pandang yang lebih luas. Dengan begitu, pertandingan bisa menjadi semakin menarik. Pertanyaannya, kenapa justru smartphone yang dijadikan perangkat standar?

Semakin banyak orang yang memainkan sebuah game, semakin besar pula keuntungan yang didapatkan oleh publisher. Jadi, publisher punya kepentingan untuk membuat kompetisi esports tidak hanya menarik untuk ditonton, tapi juga terasa relatable bagi para pemain. Tujuannya adalah agar semakin banyak penonton yang terdorong untuk memainkan game yang diadu. Dan kompetisi esports terbukti efektif  menjual harapan demi meningkatkan jumlah pemain. Hal ini telah dibuktikan oleh Ubisoft.

Jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik berkat esports. | Sumber: Red Bull
Jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik berkat esports. | Sumber: Red Bull

Lalu, apa hubungannya dengan menjadikan smartphone sebagai perangkat standar dalam kompetisi? Harga smartphone lebih murah dari tablet, apalagi iPad. Jadi, tidak aneh jika jumlah pengguna smartphone jauh lebih banyak dari jumlah pengguna tablet. Dengan menjadikan smartphone sebagai perangkat standar kompetisi, publisher akan bisa merangkul lebih banyak fanbase. Dan pada akhirnya, hal ini akan membuat pemasukan publisher naik.

Saat ini, memang ada publisher yang langsung turun tangan dalam mengembangkan ekosistem esports dari game buatan mereka. Sebut saja Riot Games, Moonton, dan Garena. Namun, juga ada perusahaan yang menjadi penyelenggara turnamen esports walau mereka bukanlah publisher. Contohnya adalah ESL. Biasanya, para penyelenggara turnamen ini punya metode sendiri untuk mengatasi kecurangan. ESL mengaku bahwa mereka punya software khusus. Penyelenggara turnamem esports lainnya, FACEIT, juga mengembangkan software anti-cheat mereka sendiri.

Kepada The Esports Observer, Marcel Menge, SVP Play & Platforms, ESL mengungkap bahwa sekitar seperlima sampai seperempat dari budget teknologi ESL digunakan untuk mengembangkan teknologi anti-cheat. Salah satu program anti-cheat yang ESL gunakan adalah ESL Wire Anti-Cheat, yang mereka mulai gunakan pada 2010. Menge mengakui, software anti-cheat yang digunakan oleh ESL memang lebih intrusif daripada sistem anti-cheat dari publisher, seperti Valve. Alasannya, karena fokus dari ESL dan Valve memang berbeda. Sebagai publisher, fokus Valve adalah untuk mencegah para pemain berbuat curang. Sementara ESL lebih fokus untuk mendeteksi kecurangan yang dilakukan pemain.

ESL sangat serius dalam mengembangkan teknologi anti-cheat mereka. Mereka bahkan mempekerjakan orang secara diam-diam untuk memantau forum cheating online. Tugas mereka adalah untuk mendapatkan informasi tentang software cheat terbaru dan melakukan reverse-engineer dari software cheat tersebut.

“Kami punya cheating lab,” kata Menge pada The Esports Observer. “Laboratorium ini punya jaringan internet sendiri. Jadi, alamat IP di lab itu berbeda dari alamat IP kantor kami. Hal seperti ini diperlukan untuk mengalahkan para developer software cheat, karena pasar ini memang pasar yang besar.” Kode cheat standar biasanya dihargai sekitar US$20 sampai US$35. Sementara kode cheat khusus bisa dihargai hingga ribuan dollar.

 

Selain Publisher, Siapa yang Berhak Menegakkan Hukum di Esports?

Saat ini, ada dua federasi besar yang menaungi esports di dunia, yaitu International eSports Federation (IESF) dan Global Esports Federation (GEF). Bermarkas di Busan, Korea Selatan, IESF merupakan badan nirlaba yang didirikan pada Agustus 2008. Menurut IESF Statutes, salah satu tujuan IESF adalah untuk meningkatkan kualitas industri esports dan mempromosikan nilai-nilai yang terkandung di esports, seperti edukasi, budaya, dan persatuan. Selain itu, mereka juga ingin agar anak muda belajar tentang etika dan semangat fair play dari esports.

IESF World Championship 2020. | Sumber: Revival TV
IESF World Championship 2020. | Sumber: Revival TV

Salah satu bentuk kecurangan yang menjadi perhatian IESF adalah penggunaan doping. Terkait hal ini, IESF mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh IOC, Sport Accord, WADA, dan badan lain yang relevan. Sementara daftar substansi yang tidak boleh digunakan dalam kompetisi IESF ditentukan oleh Komite Kompetisi, yang ditunjuk oleh para Dewan IESF. Jika terjadi pertikaian, maka Komite Kompetisi dan Dewan IESF akan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut. Namun, jika kedua pihak itu ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah yang muncul, maka masalah itu akan dibawa ke Court of Arbitration for Sport (CAS), yang terletak di Switzerland.

Sementara itu, GEF didirikan pada 2019 dengan dukungan Tencent. GEF bermarkas di Singapura. Dalam situs resminya, GEF mengungkap bahwa salah satu tujuan mereka adalah menjaga integritas esports dan GEF. Untuk itu, mereka membuat kode etik dan menegakkan kode etik tersebut. Pihak yang melanggar kode etik dan peraturan yang telah ditetapkan oleh GEF akan dikenakan sangsi. Sangsi yang dikenakan oleh GEF beragam, mulai dari sekedar peringatan tertulis atau verbal, pencabutan gelar atau denda, diskualifikasi, skors, sampai pemecatan.

Untuk menentukan sangsi yang diberikan para pelaku, salah satu hal yang menjadi pertimbangan GEF adalah jenis pelanggaran yang dilakukan. Beberapa faktor lain yang GEF pertimbangkan sebelum menentukan sangsi untuk pelaku adalah apakah pelaku pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, apakah pelaku mau bekerja sama saat GEF melakukan penyelidikan, tujuan pelaku, apakah pelaku merasa penyesalan, dan lain sebagainya.

Selain IESF dan GEF, esports juga punya ESIC. Badan yang didirikan pada 2016 itu bertujuan untuk melindungi integritas esports. Mereka melakukan itu dengan menyelidiki kasus kecurangan di dunia esports dan memberikan hukuman pada para pelaku. Beberapa kecurangan yang ditangani oleh ESIC adalah match fixing dan penggunaan doping. Sebelum ini, mereka telah membantu polisi Australia untuk menangkan enam pemain CS:GO yang  melakukan match fixing.

Saat ini, ada 13 penyelenggara turnamen yang menjadi anggota ESIC, termasuk ESL, DreamHack, dan WePlay Esports. Anggota tertua ESIC bergabung sejak tahun 2017, sementara anggota terbaru badan tersebut bergabung pada tahun ini. Dalam situs resminya, ESIC menjelaskan, para anggota punya hak untuk menentukan bagaimana ESIC beroperasi.

Dalam wawancara dengan The Esports Observer, Ian Smith, Integrity Commissioner, ESIC mengungkap bahwa banyak perusahaan esports yang punya sumber daya pas-pasan. Perusahaan-perusahaan itu akan kesulitan untuk menangani kecurangan dilakukan para pemain. Memang, para penyelenggara turnamen esports bisa membuat software anti-cheat sendiri, seperti yang dilakukan oleh ESL. Namun, sebagai pihak ketiga, ESIC mampu membuka komunikasi dengan penyelenggara turnamen esports lain.

Di Indonesia, badan yang menaungi game dan esports juga ada lebih dari satu. Indonesia Esports Association (IESPA) adalah yang tertua, berdiri pada 2013. Sementara Asosiasi olahraga Video Game Indonesia (AVGI) dibentuk pada Juli 2019 dan Federasi Esports Indonesia (FEI) berdiri pada Oktober 2019. Organisasi yang terbaru adalah Pengurus Besar Esports (PB Esports), yang terbentuk pada Januari 2020.

Federasi Esports Indonesia. | Sumber: Esports ID
Sumber: Esports ID

Kemunculan lebih dari satu badan yang menaungi esports menimbulkan masalah tersendiri. Pasalnya, hal ini akan menimbulkan kontroversi dan membuat komunitas dan pelaku esports menjadi bingung: organisasi mana yang harus mereka patuhi? Bagaimana jika peraturan yang dibuat oleh satu organisasi bertentangan dengan peraturan dari organisasi lain? Kabar baiknya, para pelaku esports bisa belajar dari dunia tinju soal ini.

Sama seperti esports, tinju juga punya lebih dari satu badan internasional. Faktanya, ada empat organisasi tinju di dunia. Keempat badan itu antara lain World Boxing Association (WBA), World Boxing Council (WBC), International Boxing Federation (IBF), dan World Boxing Organizaation. Keempat organisasi itu juga punya gelar juara dunia/sabuk masing-masing. Hal itu berarti, ada 4 juara dunia untuk masing-masing 17 kelas tinju.

Menurut laporan MK Boxing, gelar juara dunia WBC merupakan gelar yang paling populer. Alasannya, gelar inilah yang biasanya diincar oleh para petinju. Sejauh ini, ada sejumlah petinju ternama telah memenangkan gelar juara WBC, seperti Muhammad Ali, Floyd Mayweather, dan Joe Calzaghe. Menariknya, walau keempat badan ini sama-sama menaungi olahraga tinju, mereka jarang bekerja sama. Alasannya klasik: uang. Setiap organisasi tinju akan mendapatkan uang ketika pertandingan untuk memperebutkan sabuk dari organisasi itu diperebutkan.

Dari tinju, para pelaku industri esports bisa belajar satu hal: beberapa organisasi yang menaungi olahraga yang sama bisa eksis dalam satu waktu selama memang uangnya masih bisa dibagi-bagi… Pelajaran ekstra yang bisa dipetik dari industri tinju adalah uang merupakan salah satu insentif untuk menciptakan badan yang menaungi olahraga tertentu. Dan karena esports kini tengah naik daun, tidak heran jika ada banyak pihak yang tertarik untuk membuat badan esports.

 

Kesimpulan

Liga Premier merupakan salah satu liga sepak bola domestik paling sukses di dunia. Salah satu alasannya adalah liga itu sangat kompetitif. Hasil pertandingan di Liga Premier tidak selalu bisa ditebak. Misalnya, walau di atas kertas Arsenal lebih unggul dari Aston Villa — Arsenal duduk di peringkat 8 pada musim lalu, sementara Aston Villa di peringkat 17 — tapi Aston villa tetap berhasil mengalahkan Arsenal 1-0 pada 5 Februari 2021 lalu. Hasil yang terkadang tidak terduga inilah yang membuat banyak orang senang menonton Liga Premier.

Selain persaingan yang ketat, integritas juga punya peran penting untuk menjamin sebuah kompetisi olahraga bisa terus hidup. Memang, siapa yang mau menonton pertandingan olahraga yang para pemainnnya berbuat curang? Tidak ada. Dan jika jumlah penonton turun, hal ini juga akan memberikan dampak langsung pada pemasukan para pelaku di dunia olahraga, termasuk tim dan pemain. Tanpa fans, penjualan merchandise dan tiket pertandingan langsung akan turun. Dan jika tidak ada orang yang mau menonton kompetisi olahraga, hanya masalah waktu saja sebelum para sponsor ikut pergi, seperti yang disebutkan oleh Genius Sports.

Saat ini, industri esports tengah berkembang pesat. Hal ini membuat banyak perusahaan — endemik atau non-endemik — tertarik untuk mendukung para pelaku esports. Jumlah penonton esports yang mencapai ratusan juta menjadi salah satu alasan mengapa banyak perusahaan yang mau menjadi sponsor di dunia esports. Masalahnya, jika tidak ada jaminan bahwa pertandingan esports bebas dari kecurangan, para penonton tentunya juga akan berpaling. Dan tanpa penonton, para sponsor juga akan kehilangan minat untuk mendukung industri esports.

Sumber header: Talk Esports

Avila Bahar Masuk ke JMX Phantom, F1 Esports Virtual Grand Prix akan Kembali Diadakan

Minggu lalu, ada beberapa berita penting di dunia esports, baik di tingkat lokal maupun internasional. Di Indonesia, Kementerian Pemuda dan Olahraga mengungkap rencana mereka untuk memasukkan esports dalam pembahasan revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Sementara di tingkat global, F1 mengumumkan bahwa mereka akan kembali menggelar Grand Prix virtual.

Kemenpora Mau Esports Masuk Dalam Pembahasan Revisi UU SKN

Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) berencana untuk memasukkan esports dalam pembahasan revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Sekretaris Kemenpora, Gatot S Dewa Broto merasa, esports pantas untuk masuk dalam revisi UU SKN karena competitive gaming merupakan salah satu cabang olahraga berprestasi. Dia juga ingin agar para pelaku industri esports tidak segan untuk menunjukkan betapa pentingnya memasukkan pembahasan tentang esports di UU SKN. Selain itu, dia mengungkap, edukasi masyarakat tentang esports juga penting. Pasalnya, masih ada stigma buruk yang melekat pada esports, lapor Antara.

F1 Esports Virtual Grand Prix Bakal Kembali Digelar

F1 Esports Virtual Grand Prix akan kembali diselenggarakan pada 31 Januari 2021. Turnamen balapan virtual ini dibuat pada tahun lalu karena kompetisi F1 2020 harus ditunda akibat pandemi virus corona. Kompetisi balapan virtual itu sukses besar. Lebih dari 30 juta orang menonton pertandingan balapan virtual itu pada tahun lalu.

F1 Grand Prix akan kembali diadakan pada 2021.
F1 Esports Virtual Grand Prix akan kembali diadakan pada 2021.

Kompetisi F1 Esports Virtual Grand Prix pada tahun ini akan diikuti oleh 10 tim. Sama seperti tahun lalu, satu tim akan terdiri dari dua orang, yaitu seorang pembalap dan seorang selebritas. Tim-tim ini akan saling beradu untuk mendapatkan hadiah berupa uang yang akan disumbangkan ke badan amal, lapor The Esports Observer.

Avila Bahar Masuk ke JMX Phantom

Avila Bahar, anak pertama dari pembalap Alvin Bahar, mengaku siap untuk bertanding di Digital Motorsport musim ini di bawah bendera JMX Phantom. Dia mengungkap, JMX Phantom punya tujuan yang sama dengan dirinya, yaitu untuk membawa para pembalapnya untuk bertanding di tingkat regional dan dunia. Meskipun telah bergabung dengan JMX Phantom, Avila tetap akan bertanding di Indonesian Sentul Series Of Motorsport, yang akan diadakan pdaa Maret 2021, menurut laporan Antara.

MiBR Buat Tim CS:GO Perempuan

MiBR menandatangani kontrak dengan tim Counter-Strike: Global Offensive perempuan. Salah satu anggota tim itu adalah Bruna “bizinha” Marvila, yang pernah ikut dalam Intel Challenge Katowice 2018 dan bertanding di WESG World Finals 2019. Menurut VP Esports, kali ini adalah pertama kalinya MiBR membuat tim perempuan sejak 2010. Tim baru MiBR ini akan berlaga di Grrrls League, yang merupakan salah satu turnamen CS:GO perempuan paling besar.

Anggota tim CS:GO perempuan dari MiBR.
Anggota tim CS:GO perempuan dari MiBR.

Berikut anggota tim CS:GO perempuan dari MiBR:

  • Bruna “bizinha⁠” Marvila
  • Jessica “fly⁠” Pellegrini
  • Julia “julih⁠” Gomes
  • Gabriela “bokor⁠” Bokor
  • Ana “annaEX⁠” Dias

Sumber header: F1 Esports

Pemain Real Madrid Buat Tim CS:GO, Genshin Impact Dapatkan US$245 Juta dari Mobile

Dalam seminggu terakhir, muncul beberapa kabar menarik terkait ekosistem esports dan industri game, seperti pesepak bola profesional Casemiro yang memutuskan untuk membuat organisasi esports. Selain itu, hanya dalam waktu sebulan, pemasukan Genshin Impact dari para pemain mobile telah mencapai US$245 juta.

Pemain Real Madrid Buat Tim CS:GO

Pemain sepak bola Real Madrid, Carlos Henrique Casimiro alias Casemiro, ikut terjun ke dunia esports dengan mendirikan organisasi esports yang dinamai CaseEsports. Casemiro bukanlah pesepak bola pertama yang tertarik untuk masuk ke industri esports. Pada Februari 2020, Gareth Bale juga membuat organisasi esports sendiri, yaitu Ellevens.

Tim pertama CaseEsports adalah tim CS:GO. | Sumber: Steam
Tim pertama CaseEsports adalah tim CS:GO. | Sumber: Steam

Tim pertama CaseEsports adalah tim Counter-Strike: Global Offensive. Mereka telah menandatangani kontrak dengan tim asal Brasil, yang terdiri dari Paulo “land1n” Felipe, Denis “dzt” Fisher, Felipe Delboni, Yan “yepz” Pedretti, dan Vinicius “n1ssim” Pereira. Casemiro berencana untuk memfokuskan CaseEsports di Spanyol. Untuk itu, dia menyiapkan kantor dan gaming house di Madrid. Tim CS:GO CaseEsports diperkirakan akan ikut bertanding di babak kualifikasi DreamHack Open pada Desember 2020.

“Saya membuat CaseEsports karena hobi saya bermain game. Saya harap, mereka akan menjadi tim profesional yang bisa berlaga di turnamen besar,” kata Casemiro, menurut laporan Esports Insider. “Saya sadar, membuat tim baru yang sukses akan membutuhkan waktu dan kerja keras. Saya harap, para pemain dan fans akan bisa menikmati proyek saya ini.”

Dalam Sebulan, Genshin Impact Dapatkan US$245 Juta dari Mobile

Sebulan setelah peluncuran, pemasukan Genshin Impact dari mobile telah mencapai setidaknya US$245 juta. Dengan ini, Genshin Impact menjadi sebagai salah satu mobile game terpopuler saat peluncuran, menurut Sensor Tower. Pemasukan Genshin Impact dari mobile pada bulan pertama sejak peluncuran bahkan mengalahkan Lineage 2: Revolution, Fire Emblem Heroes, dan Fortnite. Meskipun begitu, pemasukan Pokemon Go pada bulan pertama peluncuran masih lebih tinggi, mencapai US$283 juta.

Genshin Impact jadi bukti bahwa developer Tiongkok bisa memenangkan hati gamer global.
Genshin Impact jadi bukti bahwa developer Tiongkok bisa memenangkan hati gamer global.

Satu hal yang harus diingat, US$245 juta hanyalah pemasukan Genshin Impact dari mobile, tak termasuk pemasukan di PC dan PlayStation 4. Selain itu, data pemasukan ini juga tidak menghitung pemasukan Genshin Impact dari ponsel Android di Tiongkok. Secara total, pemain di Tiongkok menyumbangkan US$82 juta pada pemasukan Genshin Impact. Sementara pada bulan pertama, Amerika Serikat memberikan kontribusi sebesar US$45 juta.

“Genshin Impact adalah bukti kesuksesan developer Tiongkok untuk masuk ke pasar negara-negara Barat. Sang developer fokus pada mekanisme gameplay yang populer, sistem progression yang dalam, dan tidak segan mengeluarkan biaya produksi yang besar,” kata analis Niko Partners, Daniel Ahmad pada Sensor Tower, menurut laporan GamesIndustry.

VSPN Dapat Investasi Senilai Hampir US$100 Juta

Versus Programming Network (VSPN), perusahaan penyedia solusi esports asal Tiongkok, mengumumkan bahwa mereka telan mendapatkan pendanaan Seri B dengan nilai hampir mencapai US$100 juta. Ronde pendanaan kali ini dipimpin oleh Tencent Holdings. Beberapa investor lain yang ikut serta antara lain Tiantu Capital, SIG (Susquehanna International Group), dan Kuaishou. Kucuran dana kali ini akan digunakan untuk mengembangkan produk dan ekosistem esports di Tiongkok dan Asia.

“Kami bangga dapat mengumumkan ronde pendanaan terbaru ini,” kata CEO VSPN, Dino Ying, dikutip dari TechCrunch. “Beberapa tahun belakangan, VSPN tumbuh dengan pesat berkat regulasi dari pemerintah Shanghai yang mendukung pengembangan ekosistem esports dan kepercayaan pemerintah Beijing, Chendu, dan Xi’an akan pertumbuhan industri esports. Setelah ronde pendanaan ini, kami akan membangun fasilitas penelitian esports, taman budaya esports, dan kami juga akan melakukan ekspansi global.”

VSPN didirikan pada 2016 di Shanghai. Mereka merupakan salah satu penyelenggara turnamen esports pertama asal Asia. Sejak saat itu, VSPN telah masuk ke berbagai operasi esports lain, termasuk pengadaan tempat turnamen esports offline.