eFishery Peroleh Kredit 250 Miliar Rupiah dari Bank OCBC NISP

Bank OCBC NISP menyalurkan pinjaman bilateral senilai 250 miliar Rupiah kepada PT Multidaya Teknologi Nusantara (eFishery). Ini merupakan kerja sama lanjutan setelah pemberian pembiayaan kepada pembudidaya eFishery melalui program KTA Cazhbiz OCBC NISP, yang disalurkan melalui layanan Kabayan eFishery, pada tahun lalu.

Saat dihubungi DailySocial.id, Co-Founder dan CEO eFishey Gibran Huzaifah mengonfirmasi pinjaman tersebut berbentuk debt financing. Melalui debt financing, perusahaan hanya berkewajiban melunasi utang berikut dengan bunga sehingga persentase kepemilikan saham dalam perusahaan tidak berkurang sedikit pun, tidak seperti equity financing yang lumrah di dunia startup.

eFishery akan memanfaatkan dana pinjaman tersebut untuk membiayai kebutuhan modal kerja dalam mendukung pertumbuhan penjualan dalam negeri dan peningkatan ekspor.

“Kerja sama pembiayaan ini bertujuan untuk mendukung eFishery untuk berinovasi secara berkelanjutan. Harapannya, Bank OCBC NISP dan eFishery dapat bersama-sama mendukung ketahanan pangan nasional melalui terwujudnya ekosistem akuakultur yang terintegrasi dan berkelanjutan,” terang Direktur Bank OCBC NISP Emilya Tjahjadi dalam keterangan pers, Selasa (7/2).

eFishery membangun ekosistem di mana para pembudidaya ikan dan udang dapat dengan mudah meningkatkan produktivitas, sekaligus menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan, aman, dan adil.

Gibran menyampaikan pihaknya percaya bahwa kegiatan budidaya ikan dan udang menjadi solusi dalam peningkatan produksi perikanan sebagai sumber pangan, yang juga merupakan sumber utama protein hewani yang tidak hanya kaya nutrisi tetapi juga dapat diakses oleh semua kalangan.

“Dengan adanya suntikan dana dari Bank OCBC NISP, kami semakin optimistis untuk bertumbuh kembang bersama membangun ekosistem akuakultur dan berkontribusi secara signifikan dalam ketahanan pangan nasional, yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif pada para pembudidaya ikan dan petambak udang,” katanya.

Latar belakang bank tertarik untuk memberikan fasilitas pinjaman ini dalam rangka mendukung new economy, sebuah konsep ekonomi yang menggambarkan aspek atau sektor ekonomi yang memproduksi atau menggunakan teknologi inovatif secara intensif menjadi faktor pendukung yang signifikan. Konsep ini diterapkan oleh eFishery yang fokus di sektor akuakultur.

Menurut Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan Indonesia meningkat dari skor 59,2 di 2021 menjadi 60,2 di 2022. Sektor akuakultur turut berkontribusi di dalamnya, mengingat Indonesia saat ini tercatat sebagai negara penghasil perikanan budidaya terbesar kedua di dunia dengan volume produksi 14,8 juta ton, dan berdasarkan prediksi Food and Agriculture Organization (FAO), perikanan budidaya Indonesia akan tumbuh sebesar 26% pada 2030.

Pinjaman dari bank

Sebagai catatan ini adalah pinjaman kedua yang diterima eFishery. Pertama kali diperoleh dari Bank DBS Indonesia pada Oktober 2022. Nominal pinjamannya sebesar Rp500 miliar berbentuk pinjaman jangka pendek (loan).

Saat itu Gibran menyampaikan pertimbangan eFishery mengambil dana pinjaman dari bank ketimbang menggalang dana dari modal ventura. Alasannya, dana dari bank bila dihitung untuk jangka panjang, termasuk dana murah. Bila mengambil ekuitas, ada saham bernilai yang harus dilepas dari perusahaan buat investor. Yang mana, bila perusahaan bertumbuh dengan naik, untuk kembali membeli saham tersebut di kemudian hari, harga yang dikeluarkan lebih mahal daripada saat pertama dilepas.

Kondisi sebaliknya, bila menghitung dari pinjaman bank, justru biayanya lebih murah karena hanya melihat dari bunga yang harus dibayarkan. Terlebih itu, berhasil mendapat pinjaman dari bank membuktikan bahwa kini eFishery, sebagai startup aquatech berada di posisi yang berhasil dinilai bankable oleh bank. Baginya, saat ini eFishery berada dalam fase yang membutuhkan tidak hanya VC, tapi juga institusi finansial lain yang bisa mendukung bisnis bisa bertumbuh lebih cepat.

Gibran juga menginginkan eFishery ke depannya dapat menjadi perusahaan-perusahaan taipan yang kini menjadi pemimpin di industri, yang dalam proses awalnya mengandalkan institusi finansial dalam mengembangkan bisnis.

“Sekarang kami berada di titik yang mature, skala bisnisnya besar, profit terlihat, risiko lebih mature, sehingga kita bisa tumbuhkan revenue di pasar yang predictable buat kita. Ini juga jadi bukti sebagai perusahaan yang dirasa sudah matang.”

ALAMI Raih Dukungan “Loan Channeling” 431 Miliar Rupiah dari Lendable [UPDATED]

Startup p2p lending syariah ALAMI mengumumkan dukungan loan channeling alias fasilitas pembiayaan dari Lendable, institusi penyedia pinjaman untuk negara berkembang asal Inggris. Lendable akan menyediakan plafon pinjaman hingga $30 juta (lebih dari 431 miliar Rupiah) sebagai fasilitas jaminan senior di bawah akad Wakalah bil Istithmar.

Kesepakatan ini akan memperkuat posisi ALAMI sebagai platform fintech yang menyediakan pembiayaan produktif berbasis syariah untuk UMKM. Diklaim, fasilitas dari Lendable ini menjadikan ALAMI sebagai startup fintech syariah pertama di Indonesia. Dalam portofolio Lendable, sebelumnya sudah menyalurkan pinjaman untuk KoinWorks dan Amartha.

Dalam keterangan resmi, Co-Founder & CEO ALAMI Group Dima Djani mengatakan, fasilitas ini akan disalurkan ke proyek-proyek UMKM di Indonesia melalui platform ALAMI, sehingga dapat berkontribusi secara signifikan dalam mengisi kesenjangan pembiayaan produktif.

“Saat ini, ada kebutuhan pembiayaan dari UKM sekitar $165 miliar, namun baru $57 miliar yang terpenuhi, menyisakan celah yang cukup besar untuk diisi. Dengan fasilitas ini kami bertujuan untuk merangsang dan merevitalisasi sektor UKM, sebagai tulang punggung perekonomian nasional kita,” kata Dima.

Mengutip dari berbagai riset, dikatakan bahwa potensi industri halal sangat menjanjikan. Pada 2019, nilainya diperkirakan mencapai $2,2 triliun, termasuk sektor kuliner, farmasi, kosmetik, fesyen, dan pariwisata. Industri ini diproyeksikan meningkat menjadi $3 triliun pada 2023.

Selain itu, peringkat global Indonesia terus membaik, mencapai posisi ke-4 yang diukur oleh Global Islamic Economy Indicator (GIEI), setelah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.

Industri halal Indonesia merupakan peluang yang semakin menarik bagi investor internasional karena meningkatnya kesadaran para pemain ekosistemnya termasuk menyediakan pembiayaan untuk mendukung modal kerja dan belanja modal untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.

Pembiayaan untuk mendukung kebutuhan modal kerja dan belanja modal para inovator fintech seperti ALAMI membantu memenuhi permintaan yang terus meningkat akan solusi berbasis syariah yang berdampak.

Dia menilai, Lendable memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan perusahaan, yaitu membantu UKM memiliki akses pembiayaan dan fokus pada dampak sosial. Ia pun optimistis untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dan mempercepat pertumbuhan kinerja ALAMI tahun ini.

Chief Investment Officer Lendable Hani Ibrahim menambahkan, “Kami bangga telah menyelesaikan fasilitas pertama kami yang sesuai dengan syariah dan merasa terhormat telah bekerja dengan tim ALAMI pada pencapaian ini. Fasilitas Lendable akan memberi ALAMI skala dan kapasitas untuk tumbuh dengan cepat dan berkelanjutan melalui kerja yang inovatif dan didukung teknologi. Solusi modal untuk sejumlah besar penerima manfaat yang kurang terlayani dan berdampak besar di seluruh Indonesia.”

ALAMI menargetkan setidaknya dua kali lipat volume pencairannya dari Rp 2,1 triliun, dan meningkatkan jumlah proyek UKM yang didanai, yang saat ini mencapai lebih dari 8.500 proyek. Adapun, per Maret 2022, perusahaan mencatatkan akumulasi penyaluran pinjaman sebesar Rp2,19 triliun. Angka tersebut melonjak dari September 2021 sebesar Rp1 triliun.

Penyaluran pembiayaan terbesar disokong oleh sektor telekomunikasi sebesar 18,2% dari total penyaluran, diikuti oleh kuliner 14,6%, dan energi 13,2%. Sementara, untuk pendana (lender) ALAMI tumbuh sebesar 370% secara tahunan (year on year) dan jumlah pengguna aplikasi ALAMI mencapai lebih dari 83 ribu tersebar di seluruh Indonesia.

Kinerja positif ini masih tetap diikuti dengan kualitas pembiayaan yang baik, dengan TKB90 berada di level 100%, atau jika dianalogikan pada perbankan syariah dikenal dengan Non-Performing Financing (“NPF”) berada di level 0%.

Pendanaan debt di Indonesia

Lendable sebelumnya menjadi lender institusi di Amartha menggelontorkan fasilitas pinjaman sebesar $50 juta, sementara di KoinWorks sebesar $40 juta, yang terbagi menjadi dua tahap. Selain Lendable, ada beberapa lembaga lainnya yang juga memberikan dana serupa bagi fintech lending di Indonesia, misalnya Accial Capital untuk Pintek, Awan Tunai, dan Investree. Selain itu ada GMO Payament Gateway (Investree), Partners for Growth (Kredivo), dll.

Sebenarnya ada dua skema yang banyak diaplikasikan untuk menyalurkan dana dari institusi, yakni loan channeling dan venture debt. Skema pertama memang ditujukan bagi institusi seperti perbankan untuk menyalurkan dana kreditnya kepada UMKM melalui fintech lending. Banyak perbankan lokal yang mulai mengumumkan masuk ke ekosistem fintech lewat kerja sama ini. Terbaru ada BCA yang salurkan dana lewat iGrow.

Sementara venture debt/pendanaan debt sebenarnya sifatnya lebih strategis seperti untuk membiayai operasional dan growth – umumnya masuk berbarengan dengan pendanaan ekuitas dari pemodal ventura. Tapi tidak sedikit yang menggunakan dana yang diberikan untuk kembali disalurkan.

Selain yang sudah disebutkan, fintech lain yang sudah menerima pendanaan debt adalah Digiasia, Kredivo, Modalku, UangTeman, Akseleran, dan Modal Rakyat.

Application Information Will Show Up Here

Investree Bags 142 Billion Rupiah Debt Funding from responsAbility

Investree announced another debt funding worth of $10 million (over 142 billion Rupiah) from responsAbility Investments, a Switzerland based asset manager that focuses on follow-up investments. responsAbility is an investor partner of one of the institutional lenders at Investree, Accial Capital, which first entered as a lender since 2017.

This debt funding will be redistributed to facilitate the financing needs proposed by Investree’s borrower or SME players. For responsAbility, channeling funding to Investree means directly contributing to the United Nations Sustainable Development Goals (SGDs), in relation to limited financial access for SMEs which limits job creation, triggers inequality, and hinders economic development.

Investree’s Co-founder & CEO, Adrian Gunadi said, this is a very big stepping stone for Investree because in its third funding round, Accial Capital invites one of its co-investors, responAbility to participate through the Investree platform.

“In line with responsAbility’s vision and mission as a sustainability investment ‘home’ specializing in impact, we will target funding from the responsAbility-Accial Capital partnership to finance our borrower projects with significant economic, social and environmental impacts on life, especially amidst a recovery period due to this pandemic,” Adrian said in an official statement, Thursday (10/28).

One of Investree’s ongoing projects is to help empower women as ultra-micro traders in the Gramindo ecosystem. These traders have group characteristics, consisting of women without access to banks and running businesses using conventional and sharia schemes. The number has reached 5,700 on the Investree platform.

For responsAbility, this is a unique credit transaction model in Southeast Asia, especially in Indonesia as it is collaborated with Accial Capital to provide financing support to SMEs through the Investree platform.

responsAbility’s Deputy Head of Financial Inclusion Debt, Jaskirat S. Chandha said, “We are very pleased to be able to partner in this innovative structure to provide working capital funding that is urgently needed by SME borrowers in Indonesia. Financial technology is a key driver of financial inclusion. We are delighted to have found the right collaboration at Accial Capital and Investree with the required expertise.”

Investree entering its 6th year

In its 6th year, the company has grown far beyond just a fintech lending company. During 2021, the company has empowered 5 thousand ultra micro women entrepreneurs who need financial support to develop their simple businesses.

Next, partnering with digital freight forwarder Andalin to offer access to customs and tax financing for Andalin clients through Buyer Financing products. This collaboration aims to help ease the burden on clients’ costs so they don’t have to incur large initial costs, therefore, the company’s cash flow management can be optimized.

As of September 2021, Investree booked a total loan facility of Rp 12 trillion, rises 51% yoy from last year, and the value of disbursed loans was Rp 8 trillion. In terms of the number of lenders and borrowers, there were 46 thousand lenders and 6 thousand borrowers at the end of the third quarter of 2021, joined Investree cumulatively. The ratio is 40:60 of the number of individual lenders and institutional lenders that fund.

Investree’s contribution to the fintech lending industry in Indonesia is real.
Investree’s outstanding loans contributed 8.3% to the national productive outstanding loans. As of September 2021, their TKB90 is 98.22% – better than the national average of 93.3%.

Productive sector has quite small portion

According to reports from DSInnovate and AFPI last year, 36.1 million borrowers in the productive sector borrowed Rp. 2.5 million to Rp. 25 million. Only 17.6% of them borrowed more than Rp500 million. This sector still needs to be further boosted by regulators, especially during this pandemic, many MSMEs still down and need to survive.

Source: DSResearch
Source: DSResearch


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Investree Kantongi Pendanaan Debt 142 Miliar Rupiah dari responsAbility

Investree kembali mengumumkan perolehan pendanaan debt sebesar $10 juta (lebih dari 142 miliar Rupiah) dari responsAbility Investments, manajer aset dari Swiss yang berfokus pada investasi lanjutan. responsAbility merupakan mitra investor dari salah satu lender institusi di Investree, yakni Accial Capital yang pertama kali masuk sebagai lender sejak 2017.

Pendanaan debt ini akan disalurkan kembali untuk membiayai kebutuhan pembiayaan yang diajukan oleh borrower atau pelaku UKM di Investree. Bagi responsAbility, menyalurkan pendanaan kepada Investree berarti secara langsung berkontribusi terhadap Sustainable Development Goals (SGDs) PBB, kaitannya dengan akses keuangan terbatas untuk UKM yang membatasi penciptaan lapangan kerja, memicu ketidaksetaraan, dan menghambat pembangunan ekonomi.

Co-founder & CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan, ini merupakan batu lompatan yang amat besar buat Investree karena pada putaran pendanaan mereka yang ketiga, Accial Capital mengajak salah satu co-investornya yaitu responsAbility untuk turut mendanai melalui platform Investree.

“Sejalan dengan visi dan misi responsAbility sebagai ‘rumah’ investasi keberlanjutan yang berspesialisasi pada dampak, kami akan menargetkan pendanaan dari kemitraan responsAbility-Accial Capital untuk membiayai proyek-proyek borrower kami yang memiliki dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan signifikan bagi kehidupan, terutama di tengah masa pemulihan akibat pandemi ini,” kata Adrian dalam keterangan resmi, Kamis (28/10).

Salah satu proyek yang sudah dilakukan Investree adalah membantu pemberdayaan ibu-ibu pedagang ultramikro yang berada dalam ekosistem Gramindo. Pada pedagang ini memiliki karakteristik berkelompok, terdiri dari perempuan-perempuan tanpa akses ke bank dan menjalankan usaha dengan menggunakan skema konvensional maupun syariah. Kini jumlahnya sudah mencapai 5.700 di platform Investree.

Bagi responsAbility sendiri, ini merupakan model transaksi kredit yang unik di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia karena tandem dengan Accial Capital untuk memberikan dukungan pembiayaan kepada UKM melalui platform Investree.

Deputy Head Financial Inclusion Debt responsAbility Jaskirat S. Chandha menuturkan, “Kami sangat senang dapat bermitra dalam struktur inovatif ini menyediakan pendanaan modal kerja yang sangat dibutuhkan oleh peminjam UKM-UMKM di Indonesia. Teknologi finansial merupakan pendorong utama inklusi keuangan. Kami senang telah menemukan kolaborasi yang tepat di Accial Capital dan Investree dengan keahlian yang dibutuhkan.”

Investree memasuki usia ke-6

Di usia ke-6 ini, perusahaan sudah berkembang jauh tidak hanya sekadar perusahaan fintech lending. Selama 2021 saja, perusahaan telah memberdayakan 5 ribu pengusaha perempuan ultra mikro yang membutuhkan dukungan pembiayaan untuk mengembangkan usaha sederhana mereka.

Berikutnya, menggandeng digital freight forwarder Andalin untuk menawarkan akses pembiayaan bea cukai dan pajak bagi para klien Andalin melalui produk Buyer Financing. Kerja sama ini bertujuan untuk membantu meringankan beban biaya klien agar mereka tidak perlu mengeluarkan biaya besar di awal, sehingga manajemen arus kas perusahaan dapat dioptimalkan.

Hingga September 2021, Investree membukukan total fasilitas pinjaman sebesar Rp 12 triliun, naik 51% secara yoy dari tahun lalu, dan nilai pinjaman tersalurkan sebesar Rp 8 triliun. Dari segi angka pemberi pinjaman dan peminjam, pada akhir kuartal III 2021, tercatat sudah ada 46 ribu lender dan 6 ribu borrower yang tergabung di Investree secara kumulatif. Perbandingan jumlah lender individu dan lender institusi yang mendanai berada di persentase 40:60.

Kontribusi Investree terhadap industri fintech lending di Indonesia pun nyata.
Pinjaman outstanding Investree berkontribusi sebesar 8,3% terhadap pinjaman outstanding produktif nasional. Per September 2021, TKB90 mereka adalah 98,22% – lebih baik dari rata-rata nasional 93,3%.

Porsi sektor produktif masih minim

Menurut laporan DSInnovate dan AFPI pada tahun lalu sebanyak 36,1 juta peminjam di sektor produktif meminjam Rp2,5 juta-Rp25 juta. Hanya 17,6% di antaranya yang meminjam lebih dari Rp500 juta. Sektor ini masih perlu digenjot lebih lanjut oleh regulator, terlebih lagi di masa pandemi ini banyak UMKM yang butuh terpukul dan harus tetap bertahan.

Sumber: DSResearch

 

Sumber: DSResearch
Application Information Will Show Up Here

Kredivo Bags 1.4 Trillion Rupiah Debt Funding from Victory Park Capital

The multi-finance startup Kredivo announced additional credit from a US-based investment company, Victory Park Capital Advisors, LLC (VPC) worth of $100 million (more than 1.4 trillion Rupiah). This is the VPC’s second time to top up with the same nominal for Kredivo, the first collaboration occurred in July 2020.

In a virtual press conference with media held by the company today (22/6), Kredivo Indonesia’s CEO, Umang Rustagi said that the funds will be fully channeled to Kredivo’s consumers in Indonesia in need for credit. The company plans to expand financing products beyond just cash loans and transactions on e-commerce platforms.

Positioned as a multi-finance company, Kredivo is preparing financing products for health, education, and vehicles. “The funds provided through this collaboration will be able to accelerate our business scale in 2021 and in the following years, also help achieve our target to serve 10 million customers in Indonesia by 2025,” Rustagi said.

Currently, Kredivo claims to have more than three million users in Indonesia. This number is equivalent to 40% of credit card users totaling 8 million people, after being deducted by an estimate that one person has more than one credit card.

“Kredivo’s consumer growth and disbursement needs in Indonesia are growing rapidly. Through our research, new users have been using the paylater for the past year,” Kredivo’s VP Marketing & Communications, Indina Andamari said.

Rustagi continued, VPC’s decision to top up credit at Kredivo was due to the large potential for the unbanked group in Indonesia. In addition, the company’s ability to maintain risk management and successfully become a sustainable business in the midst of a pandemic over the past year.

Separately, in an official statement, VPC’s Partner, Gordon Watson said, “We are very impressed with Kredivo’s resilience and business growth and are certainly very pleased to continue to strengthen our collaboration with Kredivo. The company represents a unique combination of growth, scale, risk management and financial inclusion in one of the world’s most attractive emerging markets.”

In addition to VPC, Kredivo has previously partnered with a number of local banks as institutional lenders, including Bank Permata with a value of IDR 1 trillion and Partners for Growth with a value of IDR 283 billion. Both institutions entered last year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kredivo Kembali Peroleh Pinjaman Kredit 1,4 Triliun Rupiah dari Victory Park Capital

Startup multifinance Kredivo kembali mengumumkan tambahan kredit dari perusahaan investasi asal Amerika Serikat, Victory Park Capital Advisors, LLC (VPC) sebesar $100 juta (lebih dari 1,4 triliun Rupiah). Ini kedua kalinya VPC melakukan top up dengan nominal yang sama untuk Kredivo, kerja sama pertama kali terjadi pada Juli 2020.

Dalam konferensi pers virtual bersama sejumlah media yang digelar perusahaan hari ini (22/6), CEO Kredivo Indonesia Umang Rustagi menyampaikan, dana tersebut akan disalurkan sepenuhnya ke konsumen Kredivo di Indonesia yang membutuhkan kredit dalam memenuhi kebutuhannya. Perusahaan berencana untuk memperluas produk pembiayaan tidak hanya sekadar pinjaman cepat (cash loan) dan transaksi di platform e-commerce saja.

Dengan status sebagai multifinance, Kredivo sedang mempersiapkan produk pembiayaan untuk kesehatan, pendidikan, dan kendaraan bermotor. “Dana yang tersedia melalui kerja sama ini akan mampu mengakselerasi skala bisnis kami pada 2021 dan tahun-tahun selanjutnya, juga membantu mencapai target kami untuk melayani 10 juta pelanggan di Indonesia pada 2025,” ujar Rustagi.

Saat ini Kredivo mengklaim telah memiliki lebih dari tiga juta pengguna di Indonesia. Angka tersebut setara dengan 40% pengguna kartu kredit yang berjumlah 8 juta orang, setelah dikurangi dengan diestimasi satu orang memiliki lebih dari satu kartu kredit.

“Pertumbuhan konsumen Kredivo dan kebutuhan disbursement di Indonesia sangat cepat. Dalam riset kami disampaikan pengguna baru menggunakan paylater itu satu tahun belakangan,” tambah VP Marketing & Communications Kredivo Indina Andamari.

Rustagi melanjutkan, keputusan VPC untuk melakukan top up kredit di Kredivo tak lain karena masih besarnya potensi kelompok unbankable di Indonesia. Serta, kemampuan perusahaan dalam menjaga manajemen risiko dan berhasil menjadi bisnis yang sustain di tengah pandemi selama setahun terakhir.

Secara terpisah dalam keterangan resmi, Partner VPC Gordon Watson mengatakan, “Kami sangat terkesan dengan resiliensi dan pertumbuhan bisnis Kredivo dan tentunya sangat senang dapat terus mempererat kerja sama kami dengan Kredivo. Perusahaan ini merepresentasikan kombinasi unik antara pertumbuhan, skala bisnis, manajemen risiko, dan inklusi keuangan di salah satu pasar berkembang paling atraktif di dunia.”

Selain VPC, sebelumnya Kredivo telah bermitra dengan sejumlah bank lokal sebagai lender institusi, di antaranya Bank Permata senilai Rp1 triliun dan Partners for Growth senilai Rp283 miliar. Keduanya masuk pada tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here

Pro dan Kontra Investasi Ekuitas dan Pembiayaan Utang

Saat ini investasi ekuitas dan pembiayaan utang sudah banyak beredar di lingkungan startup dan investor. Kedua pilihan tersebut dilakukan oleh startup baru hingga startup yang sudah memasuki tahap penggalangan dana mulai dari seed sampai seri A. Tapi sebelum Anda memilih untuk mendapatkan pendanaan dalam bentuk ekuitas atau pembiayaan utang, ada baiknya untuk mengetahui pro dan kontra masing-masing investasi tersebut seperti yang ditulis oleh Shweta Saxena Singh.

Investasi Ekuitas

Pendanaan dalam bentuk investasi ekuitas biasanya banyak dipilih oleh startup baru. Kemudahan yang ditawarkan oleh ekuitas tentunya menjadi alasan utama mengapa pada akhirnya investasi ini menjadi pilihan, berbeda dengan pembiayaan utang yang cenderung lebih rumit dan membutuhkan kriteria tertentu. Masih terbatasnya akses startup baru terhadap investasi pembiayaan utang juga menjadi salah satu alasan mengapa investasi ekuitas menjadi pilihan.

Berikut ini adalah pro dan kontra jika startup mendapatkan investasi ekuitas:

Pro:

  • Tidak perlu khawatir untuk pengembalian uang. Ketika startup memutuskan untuk menerima investasi dalam bentuk ekuitas secara otomatis posisi founder dengan investor berada pada posisi yang sama atau setara. Masing-masing pihak akan mencari nilai tertinggi untuk melancarkan exit strategy. Rencana exit strategy ini bisa berupa penggalangan dana selanjutnya dengan valuasi yang lebih tinggi, akuisisi, atau IPO.
  • Pendanaan pada waktu yang dibutuhkan. Investor ekuitas biasanya akan memberikan kucuran dana ketika startup baru saja memulai perjalannya danbuth pendanaan untuk mengembangkan produk, menambah jumlah pengguna, memperluas jangkauan operasional, dan sebagainya.

Kontra:

  • Pendanaan beresiko kehilangan kontrol perusahaan. Biasanya kerugian yang akan dialami oleh startup jika mengambil investasi ekuitas adalah kehilangan 10-20 persen kepemilikan atas perusahaan terutama dalam tahap seed funding. Kemudian ketika akan mendapatkan pendanaan seri A, perusahaan kembali akan kehilangan kepemilikan sejumlah 15-25 persen.
  • Startup wajib memberikan laporan kepada investor. Hal kontra lainnya adalah kewajiban startup untuk menyampaikan laporan berkala kepada investor. Ini termasuk semua laporan finansial untuk uji coba produk hingga kegiatan kampanye di startup. Hal ini bukan hal mudah yang bisa dilakukan oleh pendiri pemula di tahap awal perjalanannya di dunia startup.

Pembiayaan utang

Ketika startup telah cukup matang menjalankan bisnisnya dan telah memiliki nilai valuasi yang cukup tinggi, pinjaman uang dari Venture Debt Capital Market secara otomatis bisa aktif. Biasanya startup yang bisa mendapatkan pembiayaan utang adalah startup yang berusia 2 – 4 tahun dan telah menerima pendanaan seri A dari private equity.

Terlepas dari dua kondisi yang disebutkan di atas, perusahaan bisa meningkatkan utang usaha ketika mereka memiliki beberapa kejelasan dalam cashflow dan proyeksi keuangan ke depannya. Perusahaan juga harus membayar kembali jumlah utang dalam masa waktu tertentu bersama dengan bunga.

Berikut ini adalah pro dan kontra yang bakal dialami startup ketika menerima investasi dalam bentuk pembiayaan utang:

Pro:

  • Tidak ada pencairan ekuitas. Perusahaan tidak perlu mencairkan saham ekuitas mereka untuk meningkatkan utang meskipun terdapat ekuitas surat perintah klausul dalam utang usaha yang memungkinkan pilihan dana utang usaha untuk berpartisipasi hingga 1-5 persen dari jumlah pinjaman dalam kasus putaran lain dari pendanaan atau akuisisi startup.
  • Pihak Venture Debt akan memberikan waktu kepada perusahaan untuk menaikan putaran pendaan berikutnya dari private equity investor (PE). Dengan demikian masing-masing pihak bisa melakukan negosiasi terkait dengan valuasi serta ketentuan yang terbaik ketika waktunya telah habis.

Kontra:

  • Perusahaan harus berjalan dengan stabil. Ketika startup tengah menjalani bisnis dengan pembiayaan utang, pastikan agar perusahaan bisa mendapatkan profit margin dan cash flow yang meningkat. Tapi, masa depan bisnis yang dijalankan tidak dapat diprediksi. Di sisi lain, utang harus terus dibayar berikut dengan bunga setiap bulannya. Jika startup gagal memenuhi tanggung jawab, bangkrut dan litigasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi.
  • Meningkatkan tekanan pekerjaan. Menaikkan utang dapat memberikan tekanan ekstra pada perusahaan dalam hal beban bunga yang wajib dibayarkan di kisaran  15-30 persen. Namun, pilihan ini merupakan efek dari kepuasaan atas kepemilikian penuh perusahaan Anda.

Pada akhirnya seorang founder bertanggung jawab untuk melakukan persiapan dan siap menerima semua resiko ketika pendanaan dalam bentuk investasi ekuitas atau pembiayaan utang menjadi pilihan, tentunya berdasarkan pro dan kontra masing-masing yang telah diuraikan diatas.

Jenis-jenis Permodalan (Bagian 1)

Perkembangan usaha di Indonesia dewasa ini telah membuat terminologi financing atau permodalan menjadi hal yang umum didengar. Istilah-istilah seperti angel investor, venture capital, dan bank loan merupakan beberapa hal yang sudah lazim menjadi topik perbincangan dalam komunitas entrepreneur. Sebagian entrepreneur sudah senior dan paham mengenai seluk-beluk permodalan, tapi sebagian lain merupakan pendatang baru, yang masih bertanya-tanya dari mana saja mereka bisa menerima suntikan modal untuk ide bisnis mereka.

Modal adalah aset dalam bentuk uang atau non-uang, yang dimiliki oleh penanam modal, dan mempunyai nilai ekonomis. Modal bisa berbentuk uang cash, bisa juga berbentuk bangunan, mesin, ataupun perlengkapan. Modal-modal ini ada yang datang dari kantong sendiri, tapi ada juga yang diberikan oleh orang lain dalam suatu kegiatan penanaman modal. Apa sajakah jenis-jenis penanaman modal tersebut? Secara garis besar, terdapat tiga macam kegiatan penanaman modal:

1. Equity Financing

Menurut Investopedia, equity financing adalah penanaman modal melalui penjualan saham di suatu perusahaan, sehingga kegiatan ini erat dengan penjualan kepentingan kepemilikan bisnis demi menggalang dana usaha. Equity financing banyak dilakuan oleh angel investor, venture capitals, dan private equity. Dalam kegiatan ini, investor biasanya mencari perusahaan yang memiliki potensi pasar yang baik dan kemudian menginjeksi modal ke dalam perusahaan tersebut. Injeksi modal tersebut akan dihitung ekuivalen dengan struktur modal dalam tubuh perusahaan dan dikonversi menjadi kepemilikan saham.

2. Debt Financing

Seperti namanya, dalam kegiatan ini, modal didapatkan dari hutang. Hutang tersebut dapat berbentuk surat berharga atau uang tunai. Dalam skema ini, investor (kreditur) mendapatkan untung dari pengembalian hutang beserta dengan bunganya. Hubungan hutang-piutang di Indonesia dapat terjadi antara perorangan dengan perorangan, antara perorangan dengan badan hukum, ataupun antara badan hukum dengan badan hukum. Regulasi terkait hutang ada bermacam-macam, tergantung dari subyek hutang-piutang itu sendiri.

3. Crowd-based Financing

Crowd-based financing, atau lebih dikenal dengan sebutan crowdfunding, merupakan sebuah hal baru yang terjadi dalam perkembangan pasar dewasa ini. Pada dasarnya, dalam crowdfunding, dana usaha dikumpulkan secara kolektif dari masyarakat umum, yang kebanyakan dilakukan melalui Internet dan media sosial. Bentuknya pun bisa bermacam-macam seperti berikut:

a. Donation Model

Model ini mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penghimpunan dana demi merealisasikan suatu gagasan. Mereka yang memberikan dana biasanya memang tidak mengharapkan timbal balik dalam bentuk finansial. Meskipun demikian, untuk menarik perhatian dari masyarakat, pemilik proyek biasanya memberikan reward atau apresiasi tertentu sebagai insentif bagi donatur.

b. Lending Model

Model ini sangat mirip dengan debt financing, akan tetapi penghimpunan dananya dilakukan secara mikro dari banyak pihak. Dana yang telah dikumpulkan di dalam kegiatan ini, pada jangka waktu yang disepakati, harus dikembalikan seperti layaknya perjanjian hutang-piutang pada umumnya. Model seperti ini juga dikenal dengan sebutan crowdlending.

c. Investment Model

Untuk model yang satu ini, kegiatannya mirip dengan IPO (Initial Public Offering), yang biasa terjadi pada kegiatan equity financing di pasar modal, oleh karena itu kadang disebut “IPO Lite”. Berbeda dengan donation model, masyarakat yang memberikan dana akan mendapatkan timbal balik berupa kepemilikan saham atau sebagian keuntungan dari proyek yang dijalankan. Jumlahnya biasanya akan dihitung prorata sejumlah dana yang diberikan. Model seperti ini juga dikenal dengan sebutan crowdsourcing. Baru-baru ini, crowdsourcing sudah mendapatkan lampu hijau di Amerika Serikat, dan tentunya hal ini akan mengubah wajah kewirausahaan di negeri Paman Sam itu. Apakah suatu hari hal ini dapat terjadi juga di Indonesia? Mungkin saja.

Begitulah bentuk-bentuk permodalan yang dapat anda pilih untuk memodali usaha Anda. Tidak menutup kemungkinan usaha anda dimodali melalui lebih dari satu cara, selama anda ingat bahwa investor tentunya selalu ingin menerima keuntungan. Anda harus cukup realistis dalam menerima modal dari orang lain, apakah anda mampu untuk memberikan profit yang diharapkan oleh investor? Dalam artikel selanjutnya, kami ingin berbagi lebih rinci lagi mengenai kegiatan equity financing di Indonesia. Semoga bermanfaat.

logo_klikkonsulKlikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.