PixelPlayer Adalah AI yang Mampu Mengidentifikasi Suara Tiap-Tiap Instrumen Musik dari Sebuah Video

Kemampuan mendengar tiap-tiap individu pasti berbeda. Saat menonton suatu video konser misalnya, ada yang mampu berfokus pada suara bass-nya saja, tapi ada juga yang kesulitan sehingga suara semua instrumen terdengar membaur baginya. Batasan ini tidak berlaku buat mesin, seperti yang dibuktikan baru-baru ini oleh tim peneliti di MIT.

Para cendekiawan yang tergabung dalam Computer Science and Artificial Intelligence Laboratory (CSAIL) di MIT ini mengembangkan sistem kecerdasan buatan bernama PixelPlayer, yang mampu melihat video beberapa orang bermain musik, lalu mengisolasi dan memisahkan suara tiap-tiap instrumen. Semuanya dilakukan tanpa bantuan manusia.

Ambil contoh video duet pemain tuba dan terompet yang membawakan lagu tema Super Mario misalnya. Yang keren, saat video tersebut dilimpahkan ke PixelPlayer, tim peneliti dapat mengklik pada bagian sang pemain tuba untuk mendengarkan hanya suara dari instrumen tersebut, dan hal yang sama juga berlaku untuk sang pemain terompet.

MIT CSAIL PixelPlayer

Metode deep learning yang diterapkan mengacu pada tiga neural network yang telah dilatih menggunakan berbagai video dengan durasi total lebih dari 60 jam. Ketiga network itu punya tugas spesifik tersendiri: satu untuk mengamati aspek visual dari video, satu untuk audionya, dan satu lagi bertindak sebagai synthesizer yang mengasosiasikan bagian video tertentu dengan gelombang suara yang spesifik.

Sejauh ini PixelPlayer sudah bisa mengidentifikasi suara lebih dari 20 jenis instrumen musik yang umum dijumpai. Kalau bekal berlatihnya (data) lebih banyak, tentu yang dapat dikenali bisa lebih banyak lagi. Kendati demikian, yang sulit bagi sistemnya adalah membedakan jenis instrumen yang teramat spesifik, semisal alto sax dan tenor sax.

Lalu gunanya apa? Pertama, PixelPlayer bisa membantu mereka yang sedang belajar alat musik, yang kerap menonton video YouTube dan mengamati cara memainkan lagu-lagu favoritnya. Kedua, sistem ini juga dapat membantu produser untuk menyempurnakan karya musisi yang ditanganinya. Potensinya sangat luas kalau menurut tim pengembangnya.

Sumber: MIT News.

Mengupas Perspektif Teknik Artificial Intelligence dari Berbagai Industri di kumparan Academy

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) menjadi salah satu konsep yang dinilai akan mendorong efek bola salju pada tren produk teknologi ke depannya. AI pada dasarnya, menurut Richard E. Bellman, merupakan sistem automasi dari proses yang memerlukan pemikiran yang direfleksikan dalam teknologi. Penerapannya dapat terjadi di berbagai sektor dan serangkaian proses bisnis, mulai dari penentuan keputusan hingga pemecahan masalah.

kumparan Academy membahas mengupas tuntas Aplikasi AI di berbagai industri ini dikupas tuntas dalam kegiatan kumparan Academy pada hari Senin (23/04) di Yogyakarta, bekerja sama dengan Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gajah Mada (UGM) dan didukung oleh DailySocial.id.

Setelah membawa pembahasan “Deep Learning vs Conventional Machine Learning from Technical Perspective” di Jakarta, kumparan Academy kembali berbagi wawasan yang masih beririsan dengan algoritma deep learning dan machine learning dalam skala yang lebih makro, yakni Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan.

Pemahaman secara umum dijelaskan oleh Dessi Puji Letari, Ph.D sebagai Chief Speech Scientist Prosa.ai—sebuah startup yang mengembangkan teknologi text dan speech recognition. “Salah satu parameter AI adalah komunikasi, sehingga speech recognition menjadi sangat signifikan,” ujar Dessi.

AI di industri dibahas dari sudut pandang praktikal dan teknis oleh Chief Data & Product kumparan Thomas Diong dalam perspektif media, Kepala Lab Sistem Cerdas FMIP UGM dari perspektif bioinformatika, dan Co-Founder Konvergen.ai Lintang Sutawika yang mewakili pengembang produk AI.

Di bidang media, salah satu yang telah diterapkan di kumparan saat ini adalah big data. Hal ini dikarenakan banyaknya informasi yang harus dikelola dan diproses sebagai sebuah industri media. Terlebih kumparan juga menerapkan konsep User Generated Content (UGC). “Pondasi big data di kumparan terdiri dari beberapa komponen. Mulai dari sistem untuk tracking, data warehouse, lalu dilanjutkan otomasi proses yang dilakukan oleh algoritma pintar yang diterapkan dalam sistem,” jelas Thomas.

Berbeda dengan bioinformatika yang pada dasarnya gabungan antara ilmu biologi dan informatika. Biologi menyediakan data dan dari informatika memprosesnya. “Bioinformatic data obtained from DNA to Cell Function, terdiri dari DNA Squencer, Animo Acid Squence, Protein, 3D Structure, Protein Function, Protein Function sampai Cell Activity,” ujar Afi.

Disclosure: DailySocial adalah media partner dari kumparan Academy Yogyakarta.

AI Dapat Membantu Mengoptimalkan Frekuensi Notifikasi Smartphone

Lagu “I Miss You But I Hate You” gubahan Slank tak cuma bisa ditujukan kepada pasangan saja, tapi juga pada notifikasi smartphone. Saat sedang menganggur dan bosan, ekspektasi kita terhadap notifikasi yang masuk jadi bertambah besar. Sebaliknya, saat sedang sibuk bekerja, kita bisa dibuat frustasi oleh banjir notifikasi yang datang.

Dari sudut pandang lain, ketika suatu aplikasi mengirim terlalu sedikit notifikasi, kemungkinan konsumen jadi kurang termotivasi untuk menggunakannya. Sebaliknya, ketika notifikasi yang dikirim terlalu banyak, bisa jadi konsumen malah menghapus aplikasi tersebut.

Repot memang mencari titik keseimbangannya, akan tetapi tim peneliti asal Taiwan tengah menyiapkan solusinya dengan mengandalkan bantuan AI. Berdasarkan hasil riset dan pengembangan yang mereka lakukan, AI terbukti mampu meningkatkan efektivitas notifikasi dan mencegahnya menjadi fitur yang mengganggu.

iOS notification

Duo pengembangnya, TonTon Hsien-De Huang dan Hung-Yu Kao, menamai AI ini C3-PO (Click-sequence-aware deeP neural network-based Pop-uPs recOmmendation) – sedikit maksa, tapi oke lah yang penting fungsional. Sederhananya, AI dilatih menggunakan data-data seperti browsing history, shopping history dan detail finansial.

Di samping itu, AI juga menganalisa notifikasi yang kerap diterima konsumen, dan mana saja yang mereka klik. Dari situ AI bisa menentukan kapan harus mengirim notifikasi, seberapa sering frekuensinya, dan apa saja konten yang pantas (tidak berpotensi mengganggu).

Hasilnya menurut mereka cukup positif. AI terbukti sanggup mengurangi jumlah notifikasi yang muncul, dan jumlah klik terhadap notifikasi yang dilakukan konsumen pun juga meningkat. Namun tentu saja masih dibutuhkan upaya lebih lanjut untuk mematangkan teknologinya.

Di sisi lain, duo peneliti ini juga punya rencana untuk menerapkan AI serupa dalam konteks dunia periklanan. Harapannya adalah membantu para pengiklan untuk mengoptimalkan eksposur mereka (kapan dan seberapa sering iklan harus disajikan).

Sumber: MIT Technology Review dan Engadget.

Dibanderol $3.000, Nvidia Titan V Ialah Kartu Grafis Monster Untuk Pengembangan AI

Meski namanya tak bisa dilepaskan dari teknologi grafis, 2017 merupakan momen penting bagi Nvidia dalam memperluas bisnisnya ke ranah kecerdasan buatan. Di bulan Mei, perusahaan Santa Clara itu bekerja sama dengan Toyota dalam implementasi PX-series demi menunjang sistem driverless. Kemudian di bulan Agustus kemarin, mereka membuka pusat pengembangan AI di Universitas Binus.

Dan di konferensi Neural Information Processing Systems 2017 beberapa jam yang lalu, Nvidia resmi memperkenalkan Titan V. Titan V diklaim sebagai kartu grafis paling paling bertenaga di dunia, mengusung arsitektur Volta. Namun target pasarnya bukanlah gamer atau bahkan pengguna PC kelas antusias. Sesuai tema acara NIPS, Titan V dispesialisasikan ke segmen artificial intelligence serta untuk membantu proses simulasi ilmiah.

Data-data berupa angka terkati Titan V yang Nvidia pamerkan akan membuat Anda menganga: GPU menyimpan memori HBM2 sebesar 12GB dan 640 Tensor Core, mampu menghidangkan performa sebesar 110-teraFLOP (berdasarkan perhitungan mentah, kinerjanya 31 persen lebih tinggi dari Titan Xp). Selanjutnya, Titan V memiliki 21 miliar transistor dan CUDA core sebanyak 5.120-nya dioptimalkan untuk arsitektur Volta.

Nvidia Titan V 1

Base clock, boost clock dan kecepatan VRAM Titan V berada di bawah GTX 1080 Ti – masing-masing 1.200MHz, 1.455MHz dan 1.700MT/s. Clockspeed memori 1,7Gbps dan interface memori 3.072-bit di sana cukup baik untuk bandwidth 653-gigabyte per detik.

Nvidia Titan V 2

“Visi kami untuk Volta adalah mendorong batasan-batasan performa tinggi di ranah komputasi dan kecerdasan buatan,” kata CEO Nvidia Jensen Huang. “Kami berhasil memperoleh pencapaian baru ini berkat arsitektur anyar di prosesor, instruksi, format numerik, memori dan link prosesor. Dengan Titan V, kami memberikan kecanggihan Volta ke tangan para peneliti di seluruh dunia. Saya tidak sabar menyaksikan terobosan-terobosan yang akan mereka buat.”

Nvidia Titan V 3

Bersamaan dengan pengungkapan Titan V, perusahaan juga mempersilakan developer buat memanfaatkan software AI di Nvidia GPU Cloud, semua tersuguh gratis. Mereka bisa menggunakannya untuk pengembangkan kecerdasan buatan, mendalami deep learning serta high performance computing.

Wujud Titan V sendiri hampir menyerupai Titan Xp, termasuk pada posisi kipas, dengan case berdesain ala poligon. Bedanya, warna emas dipadu hitam mendominasi permukaan GPU Volta itu dan Anda bisa segera melihat branding ‘Titan V’ di sana.

Kabarnya, Nvidia Titan V sudah mulai dipasarkan pada hari ini. Kartu grafis monster tersebut dibanderol seharga US$ 3.000 atau sekitar Rp 40,6 juta.

Sumber: Nvidia.

Memahami Dasar-dasar “Data Science” untuk Bisnis (Bagian 4)

Machine Learning (ML) menjadi salah satu teknologi yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan. Perannya bisa bermacam-macam, salah satu yang sudah mulai banyak realisasinya ialah untuk membangun sebuah sistem dengan kecerdasan buatan, misalnya layanan chatbot. Dalam praktik Data Science, konsep ML turut diberlakukan. Pengertian ML di sini adalah penerapan model algoritmik terhadap data, dengan cara yang iteratif, sehingga komputer dapat menemukan pola tersembunyi atau tren yang dapat digunakan untuk membuat prediksi.

Beberapa contoh pemanfaatan ML dalam kebutuhan proyeksi data yang saat ini ada misalnya untuk kebutuhan real-time internet advertising, spam filtering, search egine, recommendation engine, dan sebagainya. Pada dasarnya gambaran untuk proses sederhana ML dalam data ada tiga tahapan, yakni penyiapan data, pembelajaran data, dan aplikasi data. Sistem bergerak secara berkelanjutan mempelajari setiap masukan data, dengan memvalidasi dan menguji hingga menghasilkan akurasi data untuk proyeksi.

Konsep ilmu dasar dalam implementasi ML adalah statistik dan ilmu komputer. Lalu kedua konsep tersebut disusun dengan berbagai model, ada tiga tepatnya yang populer saat ini, yaitu Supervised Algorithms, Unsupervised Algorithms, dan Semi-Supervised/Reinforcement Algorithms. Perbedaan antara ketiganya ialah pada pelabelan masukan data, karena ini menjadi salah satu kunci pada pemrosesan berikutnya. Komputer harus mampu memahami dan memilah tipikal data tersebut dan mengelompokkan sesuai kategori yang ditunjuk.

Model Roinforcement menjadi yang paling relasional, sistem mempelajari tingkah laku secara komprehensif. Model ini mencoba mengadopsi cara berpikirnya manusia untuk belajar yang saat ini masih terus dieksplorasi untuk penerapan dan studi kasusnya.

Apa yang bisa dilakukan dengan data dan Machine Learning?

Peruntukan konsep ML sangat bergantung dengan pendekatan algortima yang digunakan. Saat ini ada banyak sekali temuan algoritma untuk pembelajaran mesin tersebut. Masing-masing dapat diterapkan pada fungsionalitas khusus. Sehingga sebelum menerapkan suatu konsep ML, pastika untuk terlebih dulu memahami tentang masing-masing pendekatan algoritma yang tersedia, agar mendapati proses yang lebih optimal.

Algoritma Machine Learning / Jixta
Algoritma Machine Learning / Jixta

Sebagai contoh untuk pengguna aplikasi Gmail di ponsel, ada yang namanya fitur Smart Reply. Sebuah opsi tombol yang berisi balasan muncul ketika ada email masuk di aplikasi. Misalnya emailnya seputar ajakan untuk melakukan sesuatu, sistem akan melihat kalender yang terintegrasi lalu mengusulkan waktu yang tepat. Apa yang dilakukan oleh sistem ialah mempelajari secara mendalam susunan kata dan maknanya yang ada di dalam badan email tersebut, sehingga dapat disimpulkan tipikal email tersebut apakah sebuah informasi, undangan, atau lain sebagainya.

Fitur Smart Reply di Gmail Apps / Google
Fitur Smart Reply di Gmail Apps / Google

Contoh lain penerapan fitur ini adalah pada layanan Facebook. Ketika mengunggah sebuah foto bersama teman-teman, biasanya secara otomatis Facebook sudah memberikan rekomendasi orang-orang yang di-tag di foto tersebut. Fitur ini bernama DeepFace. Sama, menggunakan metode Deep Learning untuk menemukan sebuah keluaran prediktif. Deep Learning ini merupakan model ML yang menggunakan hierarchical neural network untuk mempelajari data pada cara yang iteratif dan adaptif. Cara ini efektif untuk mempelajari pola data yang tidak memiliki label atau tidak terstruktur.

Masih banyak algoritma lain yang dapat diterapkan untuk pemecahan kasus berbeda. Namun pada dasarnya semua akan bergantung pada satu masukan yang disebut dengan data. Semakin detail dan banyak data yang diberikan, sistem akan mempelajari lebih banyak hal.

Pada penerapannya Machine Learning tidak akan berjalan secara standalone. Berbagai konsep lain dalam Data Science seperti Big Data masih akan terlibat, misalnya untuk membuat analisis real-time dalam pembelajaran data –salah satunya menggunakan Apache Spark. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran tentang Data Science sangatlah luas. Data sendiri masih banyak potensi untuk dieksplorasi. Ke depan diyakini masih akan banyak konsep baru yang lahir terkait dengan pengelolaan data, khususnya guna menunjang kebutuhan bisnis.


Baca juga seri tulisan sebelumnya:

Memahami Teknologi di Balik Chatbot

Percakapan dengan robot seolah menjadi tren belakangan ini. Atas nama pengalaman pengguna yang lebih baik banyak perusahaan atau bisnis mulai mengembangkan chatbot untuk berbagai macam keperluannya. Mulai dari pelayanan pengguna hingga memberikan pelayanan mandiri lainnya.

Chatbot menjelma menjadi inovasi paling banyak diminati. Chatbot juga menyimpan banyak potensi dengan berbagai macam teknologi mutakhir di belakangnya, mulai dari AI (Artificial Intelligence), Machine Learning, Deep Learning, dan NLP (Natural Language Processing).

Chatbot bekerja untuk menggantikan peranan manusia dalam melayani pembicaraan melalui aplikasi pesan. Ia menjawab kalimat demi kalimat yang dituliskan orang yang berada di ujung satunya. Tentu jika orang diujung lainnya merasa dirinya dilayani manusia, itu artinya kesuksesan bagi chatbot.

Chatbot memungkinkan komputer atau mesin menggantikan peran manusia dalam membalas percakapan di sisi satunya. Chatbot memahami, belajar, dan berinteraksi layaknya manusia. Semua itu berkat kemampuannya berevolusi dan berkembang.

Fondasi teknologi chatbot

AI atau dikenal juga sebagai kecerdasan buatan merupakan cabang ilmu komputer yang diciptakan sekitar tahun 1960an. Cabang ilmu ini berkaitan dengan pemecahan masalah-masalah seperti layaknya manusia. Seperti berbicara, kreatif, mengenali benda, dan menerjemahkan sesuatu.

Kecerdasan buatan kini tak lagi teori seperti waktu pertama kali dicetuskan. Terus berkembang dan berkembang bahkan hingga saat ini. AI berkembang seperti layaknya manusia belajar. Mengenali, membangun, tumbuh, menemukan cacat, memperbaiki dan begitu seterusnya.

Sementara itu teknologi NLP (Natural Language Processing) yang paling banyak digunakan di dalam chatbot fungsinya memahami percakapan yang dilakukan. NLP secara sederhana memahami setiap kalimat yang dikirimkan oleh pengguna, kemudian mengenalinya sebagai sebuah perintah dengan mengambil makna dari kalimat tersebut. Kemudian melalui teknologi NLP juga chatbot bisa mengirimkan kalimat yang bisa dipahami manusia, layaknya bercakap-cakap dengan manusia.

Teknologi selanjutnya adalah Machine Learning. Sebuah teknologi yang memungkinkan mesin belajar dan memecahkan sendiri permasalahan yang ditemui. Semua dilakukan berkat mempelajari data-data yang ada. Teknologi dengan sengaja memprogram mesin untuk belajar dan memberikan respons. Sedangkan Deep Learning adalah bagian lebih dalam dari Machine Learning. Dengan algoritma yang lebih kompleks sistem bisa lebih dalam mempelajari dan berinovasi lebih jauh lagi sehingga mendekati layaknya manusia.

Bagaimana chatbot menjadi lebih pintar

Dengan kemajuan dalam kecerdasan buatan dan pesatnya pertumbuhan aplikasi pesan instan, pertumbuhan chatbot menjadi semakin penting di banyak industri. Sebenarnya teknologi bot sendiri sudah ada sejak beberapa dekade, namun dengan kecerdasan buatan yang semakin berkembang bot tumbuh lebih dramatis.

Hadirnya pemahaman bahasa manusia di dalam chatbot membuat komunikasi menjadi lebih intim. Kemudian di dalam sistem terdapat analisis prediktif yang menggunakan statistik, permodelan, data mining dan lainnya untuk menghasilkan informasi yang lebih proaktif.

AI adalah fondasi dari berkembangnya chatbot. Dengan pemahaman bahasa yang terus membaik melalui NLP, chatbot bisa menjadi lebih baik memahami kebutuhan manusia. Machine learning dan Deep Learning adalah modal selanjutnya untuk perkembangan chatbot.

Dua teknologi yang serupa tersebut mampu menjadikan chatbot pembelajar yang baik melalui data. Ia membantu chatbot memperkaya respons atau tanggapan, dengan demikian kedinamisan percakapan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah percakapan yang diperoleh.

Selanjutnya, analisis sentimen menggunakan analisis bahasa untuk menentukan sikap atau keadaan emosional orang-orang di ujung satunya. Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi chatbot. Oleh karena itu pengembang menciptakan chatbot yang mengotomatisasi proses yang lebih luas dengan cara yang manusiawi, terus belajar dan berkembang dari waktu ke waktu.

Ilmuwan Ciptakan AI untuk Mengubah Hasil Foto Smartphone Jadi Sekelas DSLR

Hampir semua review Google Pixel 2 yang beredar memuji kualitas kameranya. Yang lebih mengesankan lagi, pencapaian tersebut diraih tanpa mengandalkan konfigurasi kamera ganda seperti kebanyakan smartphone kelas flagship lainnya.

Hardware memang memegang peranan terbesar dalam menentukan kualitas gambar yang bisa dihasilkan kamera smartphone, akan tetapi bagi Google software dan AI (artificial intelligence) juga tidak kalah penting. Pixel 2 membuktikan bahwa anggapan mereka ini benar, dan kini sejumlah cendekiawan asal Swiss mencoba membuktikan anggapan tersebut lebih lanjut.

Ilmuwan asal universitas ETH Zurich ini menciptakan sistem berbasis AI yang digadang-gadang dapat menyulap hasil jepretan kamera smartphone menjadi sekelas DSLR. Istilah “sekelas DSLR” memang terkesan sangat ambigu, tapi yang pasti tujuannya adalah menyempurnakan kualitas foto yang dihasilkan kamera smartphone.

Fokusnya di sini bukanlah memperkuat efek bokeh, melainkan memperbaiki exposure secara keseluruhan. Area shadow yang sebelumnya hanya tampak hitam tanpa ada detail dibuat jadi lebih cerah selagi masih mempertahankan area highlight agar tidak terlampau terang.

Perbandingan hasil foto sesudah (kiri) dan sebelum (kanan) diproses AI / ETH Zurich
Perbandingan hasil foto sesudah (kiri) dan sebelum (kanan) diproses AI / ETH Zurich

Rahasianya terletak pada sistem deep learning yang pada awalnya diajari dengan cara mengamati dua foto yang sama yang diambil menggunakan smartphone dan DSLR. Dari situ versi lebih barunya telah disempurnakan supaya dapat melihat dua foto dari kamera yang berbeda, lalu menerapkan peningkatan kualitas dari yang satu ke lainnya.

Tentu saja sistem ini masih memiliki sejumlah kekurangan. Yang paling utama, sistem tak akan bisa menambahkan detail pada foto yang diambil, sebab ini sama saja dengan menambahkan informasi yang sebelumnya tidak ada. Dalam beberapa kasus, meski foto yang telah diproses tampak lebih terang dan lebih akurat warnanya, terkadang detailnya malah bisa berkurang.

Ke depannya, para pengembangnya berharap bisa menyempurnakan sistemnya agar dapat digunakan untuk mengubah kondisi foto ketimbang kualitasnya. Jadi semisal foto diambil dalam posisi hujan lebat, sistem ini nantinya bisa mengubahnya jadi terlihat cerah.

Kalau Anda tertarik mencoba dan penasaran dengan efektivitasnya, silakan langsung kunjungi situs resminya di phancer.com.

Sumber: Engadget dan DPReview.

Berkat Chip Myriad X dari Intel, Drone Bakal Punya ‘Penglihatan’ yang Lebih Baik Lagi

Pernah mendengar perusahaan bernama Movidius? Mungkin tidak, padahal hasil karyanya banyak terdapat di gadget populer macam drone DJI Phantom 4. Tanpa jerih payah Movidius, mustahil pabrikan drone nomor satu itu bisa menciptakan drone yang mampu memahami kondisi di sekitarnya.

Fokus Movidius ada pada pengembangan prosesor khusus untuk keperluan deep learning maupun computer vision. Begitu istimewanya teknologi ciptaan Movidius, Intel sampai tertarik untuk mengakuisisinya tahun lalu. Kini di bawah naungan Intel, Movidius malah makin serius berinovasi.

Buah pemikiran terbarunya adalah Myriad X, kelanjutan dari chip Myriad 2 yang datang dengan kapabilitas deep learning luar biasa berkat integrasi Neural Compute Engine. Secara prinsip peran Myriad X sebagai sebuah vision processing unit (VPU) masih sama seperti Myriad 2, yakni menghilangkan ketergantungan perangkat terhadap jaringan cloud dalam melakukan analisis, tapi dengan kinerja yang jauh lebih baik lagi.

Secara teknis, Myriad X sanggup mengatasi hingga 4 triliun pengoperasian per detik, sedangkan batas maksimum Myriad 2 hanya pada 1 – 1,5 triliun saja. Pada prakteknya, perangkat seperti drone atau kamera pengawas yang dibekali chip Myriad X tak hanya sanggup mendeteksi ada seseorang di jarak pandangnya, tapi mungkin juga mengenali jenis kelamin ataupun usianya.

Namun yang terpenting adalah bagaimana semua ini bisa dilakukan secara lokal, alias tanpa mengandalkan bantuan cloud, dan juga tanpa mengonsumsi daya yang besar. Itulah mengapa Intel dan Movidius membidik perangkat-perangkat macam drone, VR atau AR headset, robot maupun berbagai jenis kamera pintar sebagai target pasar Myriad X.

Sumber: TechCrunch dan Intel.

Terapkan AI dan Deep Learning, Lyke Hadirkan Fitur Image Search

Setelah mendapatkan pendanaan Seri A beberapa waktu lalu, aplikasi mobile fashion Lyke menghadirkan inovasi baru memanfaatkan Artificial intelligence (AI) dan Deeep Learning bernama Image Search. Fitur yang tampak serupa dengan milik Pinterest ini memungkinkan pengguna untuk mendapatkan produk fesyen, aksesoris dan beauty product hanya dengan mengunggah foto atau screen capture dari smartphone ke aplikasi Lyke.

Sesuai dengan visi dan komitmen dari Lyke yaitu mengedepankan teknologi, inovasi ini bukan hanya mempermudah pengguna mendapatkan barang yang diinginkan secara cepat dan hampir serupa, namun juga membuka kesempatan untuk penjual memperluas layanannya.

“Sebagai satu-satunya aplikasi yang menghadirkan produk fesyen berkualitas, Lyke berharap dengan fitur terbaru ini, bisa membuat kegiatan belanja online lebih menyenangkan dan sesuai dengan harapan pengguna,” kata CEO Lyke Bastian Purrer.

Teknologi yang sepenuhnya memanfaatkan AI dan deep learning tersebut, mampu melakukan automatic object recognition hanya dalam waktu 10 detik, gambar yang diunggah oleh pengguna selanjutnya akan memberikan rekomendasi produk yang hampir serupa dengan yang diinginkan oleh pengguna. Bukan hanya untuk produk lokal, namun pencarian gambar tersebut juga bisa dilakukan untuk produk mancanegara.

“Meskipun rekomendasi gambar tersebut tidak 100% sama, namun Lyke mampu memberikan rekomendasi produk lokal yang hampir mirip secara cepat dengan harga istimewa,” kata Bastian.

Saat ini Lyke telah memiliki 300 toko pilihan yang tersebar di Indonesia mengombinasikan inventori produk berjumlah lebih dari 150 ribu jenis produk yang dapat langsung dibeli melalui aplikasi. Bukan hanya Jabodetabek saja, namun layanan Lyke saat ini juga sudah bisa dinikmati di seluruh Indonesia.

“Saat ini aplikasi Lyke telah diunduh oleh 2 juta orang, sementara untuk pemesanan Lyke sudah menerima 2 ribu order per harinya,” kata Bastian.

Fitur personalisasi Lyke

Inovasi lain yang saat ini sudah bisa dinikmati oleh pengguna Lyke adalah fitur personalisasi tampilan di halaman depan aplikasi Lyke. Tersedia tiga kategori yang bisa dipilih sesuai selera, yaitu Premium, Affordable dan Pretty Cheap. Fitur personalisasi ini bisa dimanfaatkan untuk pengguna yang hanya ingin mendapatkan produk premium dan enggan untuk melihat pilihan produk di luar dari kategori yang diinginkan.

“Dengan demikian pengguna bisa memilih sesuai dengan selera yang relevan. Untuk soal harga bisa dipastikan harga yang ditawarkan oleh Lyke jauh lebih murah dari harga toko sebenarnya,” kata Bastian.

Saat ini Lyke telah menjalin kemitraan dengan berbagai brand fesyen lokal hingga asing juga layanan e-commerce dan marketplace di Indonesia. Disinggung tentang strategi agar bisa tampil lebih unggul dengan layanan serupa, Bastian menyebutkan perbedaan bisnis model yang dimiliki serta fokus Lyke yang mengedepankan teknologi, merupakan keunggulan dari aplikasi Lyke.

“Sebagai platform fesyen dan kecantikan yang memanfaatkan teknologi, ke depannya Lyke berharap bisa tampil seperti GO-JEK dan UBER. Dari sisi teknologi kami akan terus melakukan inovasi menghadirkan fitur terkini dan layanan lebih untuk pengguna.”

Application Information Will Show Up Here

Baidu Gandeng Nvidia Maksimalkan Peran AI untuk Mobil Tanpa Sopir dan Cloud Computing

Nvidia yang kita kenal sekarang bukan lagi sekadar produsen kartu grafis. Perusahaan yang bermarkas di Santa Clara tersebut juga serius mengembangkan artificial intelligence (AI), yang salah satu implementasinya berupa sistem kemudi otomatis Drive PX. Dua tahun sejak Drive PX pertama diumumkan, rupanya sudah ada pihak yang tertarik dengan potensinya.

Tidak main-main, yang tertarik dengan teknologi Nvidia ini adalah raksasa internet asal Tiongkok, Baidu. Kedua perusahaan baru-baru ini mengumumkan rencana mereka untuk bekerja sama dalam memaksimalkan peran AI pada ranah mobil tanpa sopir, cloud computing serta home assistant.

Salah satu bentuk kerja samanya adalah penggunaan Drive PX 2 pada platform mobil tanpa sopir Baidu, Apollo, plus rencana untuk mengembangkan mobil kemudi otomatis bersama sejumlah pabrikan otomotif besar di Tiongkok. Baidu sendiri sangat serius dalam hal pengembangan sistem kemudi otomatis sampai-sampai co-founder-nya, Robin Li, memberanikan diri untuk datang ke sebuah event dengan menunggangi mobil tanpa sopir meskipun hal ini melanggar hukum setempat.

Di ranah cloud computing, platform Baidu Cloud nantinya akan ditenagai oleh GPU Nvidia Volta, yang memang dirancang secara spesifik untuk implementasi AI. Selain itu, Volta juga akan membantu optimalisasi PaddlePaddle, framework deep learning besutan Baidu yang open-source, sehingga akses untuk para akademisi dan peneliti pun bisa diperluas lagi.

Terakhir, kolaborasi ini juga akan membuahkan integrasi asisten virtual DuerOS kepunyaan Baidu pada perangkat Nvidia Shield TV untuk pasar Tiongkok, mengubahnya menjadi semacam home assistant ala Amazon Echo, atau yang baru saja diluncurkan untuk pasar Tiongkok oleh Alibaba, Tmall Genie.

Sumber: Engadget dan Nvidia.