4 Cara Mengukur Efektivitas Iklan, Marketer Wajib Tahu!

Dunia pemasaran selalu berkembang dengan tren yang terus berganti setiap saat. Bertahun-tahun lalu, kita hanya mengenal istilah marketing yang merujuk pada kegiatan pemasaran konvensional. Namun, kini muncul istilah baru yaitu digital marketing yang merujuk pada kegiatan pemasaran dengan menggunakan teknologi, atau dilakukan secara digital.

Evolusi pemasaran diiringi dengan ketatnya persaingan antar merek dalam merebut hati audiens. Tentu, seluruhnya ingin menjadi merek terfavorit atau bahkan menjadi top of mind masyarakat, namun untuk mencapai tahap tersebut tidak mudah. Setiap merek perlu melakukan serangkaian upaya pemasaran, salah satunya dengan iklan.

Tidak berhenti di situ, penting untuk mengetahui apakah iklan yang dibuat mampu mencapai target, atau dalam kata lain berhasil dan efektif.

Cara Mengukur Efektivitas Iklan

Berikut empat cara untuk mengetahui apakah iklan Anda efektif atau tidak:

Evaluasi Key Performance Indicator (KPI)

Sebelum mengeksekusi sebuah iklan, alangkah baiknya untuk menetapkan Key Performance Indicator (KPI) atau ukuran kuantitatif yang ingin dicapai dari sebuah iklan. Dengan begitu, kita memiliki tujuan yang jelas dan terukur.

Dari KPI yang telah ditentukan, kita bisa menganalisis pencapaian dari iklan yang telah dipasang. Apakah pencapaian tersebut memenuhi seluruh KPI? Bila tidak, perkirakan di mana letak kesalahan atau kekurangannya. Bila sudah sesuai dengan KPI, maka iklan sudah bisa dikatakan efektif. 

Mengukur Biaya per Segmen

Dengan memanfaatkan fitur yang dimiliki Google Analytics, kita dapat membuat statistik untuk menghitung konversi tiap pengguna dalam setiap segmennya. Sehingga, kita dapat mengetahui perkiraan rata-rata biaya dari setiap konversi yang dilakukan. Sehingga, yang perlu diperhatikan bukan hanya statistik jumlah kunjungan saja.

Analisis Dampak

Setelah membuat dan memasang sebuah iklan, kita akan menerima feedback baik positif maupun negatif. Keduanya merupakan hal yang sama pentingnya untuk mengukur efektivitas iklan.

Dampak positif dapat berupa impresi dan konversi ke pembelian yang tinggi. Lebih jauh, sebuah iklan yang efektif bisa membuat dampak positif jangka panjang pada merek, misalnya brand awareness yang tinggi, iklan yang viral, dan lain–lain. Sedangkan, dampak negatif dapat berupa tingginya jumlah pengguna yang menyembunyikan dan memilih untuk menutup iklan. Bisa juga berupa cuitan di media sosial dengan tone negatif mengenai iklan.

Apapun dampaknya, sebagai pengiklan sebaiknya menjadikan hal tersebut sebagai bahan evaluasi untuk iklan selanjutnya. Belajar dari kesalahan, kita akan mampu memahami audiens lebih baik.

Analisis Result Rate

Sesuai dengan namanya, result rate merupakan pengukuran dari hasil akhir sebuah iklan. Pengukuran ini mencakup beberapa matriks, seperti Rasio klik-tayang (RKT), Biaya per Klik (BPK), Biaya per Akuisisi (CPA), dan Cost per lead (CPL).

Itulah beberapa cara mudah untuk mengukur efektivitas iklan yang bisa Anda coba. Tentunya, kemampuan membaca data statistik menjadi hal penting untuk dikuasai seorang marketer. Selamat mencoba!

Credit: Pixabay.com

Engagement dalam Iklan: Definisi dan Tips Meningkatkannya

Dalam dunia digital marketing, terdapat banyak metrik penting untuk mengukur performa iklan. Dengan memahami metrik-metrik tersebut Akan membantu Anda dalam merumuskan strategi terbaik, dan mampu mengukur performa iklan. 

Untuk menarik perhatian audiens dan membuat audiens percaya akan produk atau layanan yang kita tawarkan, butuh lebih dari sekadar pemberian informasi. Pemberian informasi merupakan komunikasi satu arah, di mana pihak brand memberikan pesan kepada audiens tanpa timbal balik. Bentuk komunikasi yang lebih baik adalah komunikasi dua arah, di mana audiens bisa memberikan timbal balik berupa tanggapan, pertanyaan, atau bahkan saran.

Nah, terdapat metrik yang mengukur timbal balik dari audiens terhadap konten atau iklan Anda, lho. Metrik tersebut bernama engagement.

Apakah Anda sudah familiar dengan istilah engagement? Yuk, ketahui selengkapnya.

Definisi Engagement

Engagement merupakan pengukuran terhadap keterlibatan audiens pada iklan Anda. Engagement mengukur interaksi yang dilakukan oleh audiens sebagai hasil dari iklan yang Anda pasang. Pada intinya, engagement mengukur seberapa banyak interaksi yang berhasil diraih oleh iklan.

Interaksi yang dimaksud dapat berupa banyak hal. Pada media sosial Instagram misalnya, interaksi dari audiens dapat berupa like, comment, share, dan save. Amat disayangkan bila akun bisnis Anda memiliki banyak followers, namun minim interaksi pada konten-konten yang Anda unggah. Semakin banyak interaksi, maka semakin tinggi engagement rate iklan Anda.

Mengapa engagement penting? Karena engagement mengukur timbal balik dari audiens, maka efektifitas iklan dapat dipantau.

Anda bisa melihat apakah iklan berhasil mendapat perhatian dari audiens, apakah iklan disukai oleh audiens, apakah audiens tertarik dan penasaran dengan iklan Anda, bahkan Anda dapat mengetahui apakah bisnis Anda memiliki hubungan baik dengan audiens atau tidak.

Tips Meningkatkan Engagement

Butuh perencanaan dan upaya agar iklan Anda menarik audiens untuk melakukan interaksi. Tidak mudah untuk membangun hubungan dengan audiens, namun hal tersebut tidak mustahil.

Nah, bila selama ini Anda masih kesulitan untuk meningkatkan engagement, berikut beberapa tips yang bisa Anda terapkan:

  • Buat Iklan Berkualitas

Bila Anda ingin iklan yang menarik dan disukai audiens, tentunya iklan Anda harus berkualitas. Baik dari segi isi, pesan, audio, hingga visual harus disusun secara apik agar hasil keseluruhan baik.
Untuk itu, Anda harus mengetahui iklan seperti apa yang berkualitas. Dengan begitu, akan meningkatkan kemungkinan audiens untuk menyukai iklan Anda.

  • Buat Konten Iklan Interaktif

Apa itu konten iklan interaktif? maksudnya adalah iklan yang bisa mengundang interaksi dari audiens. Daripada sekadar memberikan informasi mengenai produk dan harga, Anda bisa mengemasnya dengan cara lain agar audiens bisa berpartisipasi.

Misalnya, Anda bisa membuat konten promosi dalam bentuk kuis, polling, atau bahkan giveaway yaitu program berhadiah yang mengajak audiens untuk berpartisipasi aktif.

  • Stay relevant (perhatikan target audiens, ikuti trend)

Dalam industri bisnis apapun, strategi promosi harus disesuaikan dengan target audiens. Perhatikan segmen target audiens Anda dan ketahui preferensinya. Selain itu, agar iklan semakin relevan, Anda harus up-to-date dengan tren.
Iklan yang relevan dan sesuai dengan target audiens tentunya cenderung lebih disukai.

  • Pancing interaksi

Selain tiga tips di atas, Anda juga bisa mencoba menyelipkan kalimat yang mengundang interaksi. Caranya, berikan pertanyaan atau tebakan yang membuat audiens tertarik berkomentar, bahkan ikut penasaran.

Misalnya, daripada hanya menulis “Ada berbagai varian es krim”, kamu bisa menambahkan pertanyaan “Es krim apa yang ingin kamu coba? Komen di bawah ya!”.

Dengan begitu, audiens akan merasa terdorong untuk melakukan interaksi.

Nah, itu tadi penjelasan mengenai engagement dan beberapa tips untuk meningkatkannya. Jika Anda secara rutin mengupayakan peningkatan engagement, maka tingkat engagement iklan Anda pasti akan naik.

Kira-kira, tips manakah yang akan Anda coba terlebih dahulu? Semoga berhasil!

Iklan Popunder: Definisi, Cara Kerja, Perbedaan dengan Iklan Pop-up

Bisa dibilang, kebanyakan orang tidak menyukai keberadaan iklan. Oleh karena itu, seorang pengiklan harus memikirkan strategi agar iklannya bisa mendapat perhatian target audiens. Berbagai cara kreatif dilakukan, mulai dari menggunakan berbagai media iklan, menggunakan talent yang menarik, menggunakan musik yang ear-catching, hingga membuat iklan viral.

Nah, dalam iklan digital terutama pada website, terdapat iklan yang cukup unik bernama iklan popunder (pop-under advertisement). Beberapa orang menganggap iklan jenis ini mengganggu, tetapi faktanya cukup efektif untuk menarik perhatian audiens. Mari simak selengkapnya tentang iklan popunder.

Definisi Iklan Popunder

Iklan popunder merupakan iklan yang muncul berupa window baru saat seorang pengunjung website mengklik apapun dalam website tersebut. 

Misalnya Anda mengunjungi suatu website, kemudian sengaja atau tanpa sengaja Anda mengklik area manapun dari wesbite tersebut, maka akan muncul iklan dalam bentuk window baru di layar Anda.

Perbedaan dengan Iklan Pop-up

Iklan pop-up merupakan iklan yang muncul tiba-tiba, walaupun pengunjung website tidak melakukan aktivitas apapun.

Pada dasarnya, iklan popunder dan pop-up hampir mirip. Keduanya juga sama-sama sering dianggap mengganggu oleh pengunjung website. Namun terdapat beberapa perbedaan:

  • Sementara iklan popunder hanya akan muncul ketika pengunjung website melakukan klik di area website, iklan pop-up muncul secara otomatis
  • Karena iklan popunder muncul di window baru di belakang window utama, terkadang pengunjung tidak menyadari keberadaannya. Sementara, iklan pop-up pasti disadari karena pengunjung harus menutup iklan jika ingin membaca isi website
  • Tak jarang iklan popup memiliki tombol silang (close) yang menipu dan justru mengarahkan pada halaman iklan
  • Terkadang, iklan popunder melakukan redirect secara langsung

Keuntungan dan Kekurangan Iklan Popunder

Selanjutnya, berikut ini beberapa keuntungan dari memasang iklan popunder:

  • Meningkatkan brand awareness atau kesadaran merek di benak target audiens
  • Menarik perhatian target audiens
  • Bisa menjangkau audiens yang luas
  • Tidak perlu memikirkan posisi strategis iklan, karena akan muncul pada window baru
  • Umumnya dianggap lebih sedikit mengganggu daripada iklan pop-up
  • Memungkinkan untuk redirect ke halaman yang Anda inginkan, misalnya halaman unduh aplikasi. Dengan begitu, iklan popunder bisa mengarahkan target audiens untuk melakukan hal sesuai harapan Anda.

Tentunya, iklan popunder bukan hanya mendatangkan keuntungan melainkan juga kekurangan. Untuk itu, Anda perlu mempertimbangkan keduanya. Apa saja kekurangan dari jenis iklan ini? Berikut beberapa kekurangan iklan popunder:

  • Dianggap mengganggu bahkan menyebalkan oleh beberapa orang
  • Memungkinkan seseorang untuk langsung menutup window saat halaman iklan belum sepenuhnya tampil
  • Walau audiens yang dijangkau luas, namun kurang spesifik
  • Dapat menimbulkan impresi buruk, baik bagi website yang mengiklankan maupun bagi merek

Perhitungan Biaya Iklan Popunder

Setelah Anda memahami iklan popunder, selanjutnya Anda perlu mengetahui perhitungan biaya iklan popunder.

Umumnya, iklan popunder menggunakan sistem biaya per seribu tayangan atau Cost per Mille (CPM). Model perhitungan biaya ini dihitung dengan membagi biaya iklan dengan total impression (jumlah tayangan), kemudian dikali dengan 1.000.

Hasilnya merupakan biaya yang perlu Anda bayarkan. 

Platform Iklan Popunder

Anda mungkin mempertimbangkan untuk menggunakannya dalam strategi periklanan Anda. Terdapat beberapa platform pop-under yang bisa Anda pertimbangkan:

  • PopMyAds

PopMyAds adalah platform iklan bagi pengiklan maupun penerbit iklan yang customizable. Pengiklan memiliki kontrol penuh atas CPM dan pengunjung yang diharapkan. Anda bisa melakukan deposit melalui Paypal, serta alternatif lain dengan mengontak PopMyAds.

  • Popcash

Popcash adalah jaringan iklan popunder dengan jangkauan di seluruh dunia, dan hasil yang bergaransi. Platform ini dapat digunakan oleh penerbit iklan maupun pengiklan. Bagi pengiklan, Anda perlu meluangkan waktu 10 menit untuk melakukan pendaftaran, melakukan deposit minimal 5 dollar, ajukan kampanye Anda, dan cukup tunggu selama satu jam.

  • PropellerAds

PropellerAds merupakan platform khusus kampanye dengan fokus pada conversion. Pada PropellerAds, Anda bisa menumbuhkan pendapatan usaha melalui berbagai iklan, seperti push notification, onclick ads, in-page push, dan interstitials.

  • AdMaven

AdMaven adalah platform self-serve untuk membuat kampanye dan menghubungkan dengan layanan iklan AdMaven secara langsung. Platform ini menyediakan berbagai bentuk iklan, yakni push notification, popunder adsinterstitial, dan banner. Anda bisa melakukan pembayaran ke AdMaven melalui Paypal, kartu kredit, Payoneer, dan lain-lain.

Memahami Reach dalam Iklan, Ketahui Jangkauan Audiens Anda

Sebelum memasang sebuah iklan, tentunya Anda sudah menetapkan tujuan terlebih dahulu, misalnya berapa target orang yang terpapar dengan iklan Anda. Baik iklan di Instagram, Facebook, website, atau channel manapun.

Tentunya masih banyak lagi indikator atau metrik yang menjadi target keberhasilan iklan Anda. Nah, kali ini kita akan membahas lebih dalam mengenai reach. Simak hingga akhir, ya.

Pengertian Reach

Secara sederhana, reach merupakan metrik yang mengukur jumlah orang yang telah melihat iklan Anda.

Jika total reach suatu iklan adalah 100, maka artinya iklan tersebut telah dilihat oleh 100 orang. Bisa saja, satu orang melihat tayangan iklan yang sama lebih dari satu kali.

Walaupun seseorang telah melihat iklan sebanyak lima kali, misalnya, reach hanya mengukur berapa banyak orang yang telah melihat dan bukan berapa kali iklan telah tayang.

Manfaat Reach dalam Periklanan

Setelah memahami pengertian reach, selanjutnya Anda akan mengetahui manfaat reach dalam periklanan.

Telah Anda ketahui bahwa reach merujuk pada total jangkauan audiens, sehingga dengan mengetahui total reach iklan Anda, Anda akan mengetahui berapa banyak orang yang telah terpapar dengan informasi pada iklan Anda.

Dengan begitu, Anda bisa mengukur keberhasilan dari iklan serta strategi marketing yang Anda terapkan. Apakah iklan telah berhasil menjangkau target audiens? Apakah iklan telah diketahui masyarakat luas? Nah, dengan mengetahui reach iklan, akan membantu Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

Selain itu, reach juga dapat menunjukkan tingkat brand awareness atau kesadaran merek. Mengapa? Tentu saja karena semakin tinggi angka pada metrik reach, artinya semakin banyak audiens yang sadar akan keberadaan merek yang Anda iklankan.

Tips Meningkatkan Reach

Semakin tinggi total reach suatu iklan, maka artinya semakin baik performa iklan tersebut. Oleh karena itu, Anda pasti ingin mendapat angka reach yang tinggi, bukan?

Berikut beberapa tips yang bisa Anda coba.

  • Sesuaikan iklan dengan target audiens

Pertama-tama, kenali target audiens Anda. Kemudian, buat iklan yang sesuai dengan preferensi target audiens. Tentunya sangat berbeda antara iklan produk susu untuk lansia dan susu untuk balita, baik pesan yang disampaikan, gaya, hingga visual harus relevan dengan target audiens.

  • Berikan hashtag yang relevan

Selain konten iklan yang relevan, Anda juga bisa mencoba menggunakan hashtag alias tagar. Dengan menggunakan tagar bisa menambah peluang iklan Anda untuk dilihat orang banyak. Namun, perlu diingat bahwa tagar yang digunakan juga harus relevan dengan iklan, ya!

  • Gunakan berbagai channel

Jika menggunakan satu channel, Anda hanya akan mendapatkan audiens dari satu channel saja. Memperbanyak penggunaan channel akan memperluas jangkauan audiens.

Semakin banyak channel yang Anda gunakan, maka akan semakin besar kemungkinan orang untuk melihat iklan Anda.
Tips ini sangat direkomendasikan bila Anda memiliki budget lebih, karena sangat efektif untuk menambah jumlah reach.

  • Lakukan kolaborasi

Tips terakhir ini pada prinsipnya mirip dengan tips sebelumnya. Melakukan kolaborasi dengan komunitas, organisasi, media, atau influencer/Key Opinion Leader (KOL) akan memperluas jangkauan audiens Anda.

Bila ada pihak lain yang turut menyebarluaskan atau mengunggah iklan Anda, maka audiens yang mereka miliki akan melihat iklan tersebut. Terlebih bila Anda berkolaborasi dengan pihak yang memiliki audiens besar, tentunya akan sangat menguntungkan dan berdampak positif pada jumlah reach iklan Anda.

Bagaimana, menarik bukan? Sekarang Anda telah memahami reach beserta beberapa tips untuk meningkatkannya. Dengan memahami berbagai metrik periklanan dan digital marketing, akan membantu Anda dalam merumuskan strategi terbaik dalam mewujudkan tujuan perusahaan Anda. Semoga bermanfaat.

Telkomsel dan Gojek Integrasikan Layanan Iklan Digital Khusus Mitra Usaha

Telkomsel dan Gojek kembali mengumumkan kolaborasi bisnis berikutnya, kali ini berkaitan dengan perluasan layanan iklan digital Telkomsel MyAds yang bisa diakses melalui aplikasi GoBiz. Kemitraan ini membuka kesempatan para mitra usaha Gojek untuk perluas bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru.

“Kami harap, kolaborasi antara MyAds dan GoBiz ini dapat membuka lebih banyak peluang dan kesempatan bagi UMKM di Tanah Air, sekaligus membantu perekonomian negara untuk kembali tumbuh secara berkelanjutan,” terang Direktur Utama Telkomsel Setyanto Hantoro dalam keterangan resmi, Senin (25/1).

Co-CEO Gojek Andre Soelistyo turut menambahkan, GoBiz adalah salah satu solusi komprehensif Gojek untuk memfasilitas pelaku UMKM go-digital di masa pandemi. “Kami percaya kolaborasi dengan Telkomsel melalui integrasi MyAds Telkomsel dan GoBiz akan membantu ratusan ribu pelaku UMKM di dalam ekosistem Gojek untuk memperluas pangsa pasar dan meningkatkan potensi pengembangan bisnis mereka.”

Melalui integrasi ini, para mitra usaha Gojek dapat mengakses layanan Telkomsel MyAds dari aplikasi GoBiz untuk membuat, mengirimkan, dan memonitor kampanye iklan usaha mereka. Sehingga, mereka dapat memperluas pangsa pasar dan mengembangkan bisnis dengan menjangkau lebih banyak pelanggan baru yang mengandalkan solusi iklan yang terarah dari Telkomsel MyAds.

Telkomsel menyiapkan promo berkala khusus para mitra usaha dalam menggunakan layanan Telkomsel MyAds, sebagai nilai tambahnya.

Telkomsel MyAds adalah bagian dari Telkomsel DigiAds, solusi periklanan digital dari Telkomsel. Solusi bisnis ini memfasilitas pelaku usaha dalam membuat, mengirimkan, dan memonitor kampanye iklan berbasis SMS, MMS, dan pesan pop-up secara mandiri. Solusi ini telah dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis dari seluruh skala bisnis dan industri, mulai dari kuliner, otomotif, warung elektronik, dan edukasi.

Sementara, GoBiz adalah super app yang diciptakan khusus mitra usaha Gojek untuk melengkapi solusi bisnis mereka, terkait operasional sehari-hari hingga pengembangan usaha ke tahapan selanjutnya. Dalam aplikasi tersebut, mitra dapat mengatur promosi secara mandiri untuk menarik lebih banyak pelanggan, menyediakan pilihan metode pembayaran non tunai, rekap seluruh transaksi dan manajemen usaha dengan POS.

GoBiz diklaim telah dimanfaatkan oleh ratusan ribu mitra usaha yang datang dari sektor kuliner dan ritel, dan menghubungkan mitra ke jutaan pengguna Gojek di Indonesia.

Kemitraan Telkomsel dan Gojek sebelumnya

Pasca investasi yang dilakukan Telkomsel kepada Gojek pada tahun lalu sebesar $150 juta, kolaborasi kedua perusahaan semakin gencar dilakukan. Sebelumnya, kedua perusahaan bekerja sama untuk GoShop.

Ada lebih dari 20 ribu mitra seller/outlet Telkomsel telah mendapatkan akses untuk berjualan langsung di GoShop dari aplikasi Gojek. Dengan demikian, para mitra reseller dapat menjangkau kebutuhan dari lebih banyak pelanggan secara digital. Selain itu, Telkomsel turut mendukung produktivitas mitra pengemudi Gojek melalui Paket Swadaya dengan harga mulai dari Rp25 ribu.

“Ke depan, kami menatap optimis untuk menghadirkan lebih banyak upaya kolaboratif dari Telkomsel dan Gojek yang mampu menjadi solusi bagi para pelaku UMKM untuk mengakselerasikan bisnisnya, sekaligus memperkuat komitmen Telkomsel dalam mengembangkan ekosistem digital yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia lebih jauh lagi,” tutup Setyanto.

Telkomsel, di saat yang bersamaan, bersama dengan Grab menjadi salah satu pemegang saham di LinkAja. Hubungan ini menjadi lebih menarik karena baik Grab dan Gojek merupakan kompetitor. LinkAja pun kini turut hadir sebagai alternatif metode pembayaran baik di Gojek maupun Grab.

Application Information Will Show Up Here

Ketum IDA, Dian Gemiano Berbicara tentang Lanskap, Disrupsi, dan Masa Depan Industri Media Digital

Senin (07/9) lalu, Indonesia Digital Association (IDA) mengadakan proses pemilihan ketua umum baru untuk periode 2020-2023. CMO KG Media Dian Gemiano (Gemi) resmi terpilih, melalui proses voting yang diikuti perwakilan 22 perusahaan media digital di Indonesia secara online. IDA didirikan untuk menjadi salah satu payung industri digital, khususnya di bidang media, periklanan, dan pemasaran. Tugas besarnya, membantu perusahaan meningkatkan “kue iklan”.

DailySocial berkesempatan untuk mewawancara Gemi, menggali perspektifnya tentang industri media saat ini, di tengah gempuran pandemi Covid-19; dan mendalami visi asosiasi yang kini di bawah kepemimpinannya.

“Industri media digital pada periode pandemi ini pada umumnya diuntungkan dari sisi volume traffic atau keterbacaan, namun sayangnya peningkatan volume tersebut tidak merefleksikan peningkatan revenue iklan yang biasanya kedua parameter tersebut bergerak beriringan,” ujar Gemi.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pendapatan iklan yang cenderung stagnan (bahkan turun) disebabkan karena dua hal. Pertama, banyak pengiklan yang menahan belanja ikan dikarenakan situasi ekonomi yang tidak pasti (wait and see), terlebih sepanjang Q1 dan Q2. Kedua, naiknya volume keterbacaan menekan turun harga programmatic ads, dikarenakan over-supply inventory.

“Tekanan kedua cukup berat karena di beberapa media proporsi pendapatan dari programmatic ini cukup besar. Covid-19 ini harus menjadi wake up call untuk para pelaku bisnis media digital karena makin terasa bahwa kontrol kita terhadap pendapatan iklan semakin lama semakin mengecil. Perlu ada upaya-upaya strategis dari pengelola media untuk meng-assess praktik bisnis yang selama ini dijalankan dan mengambil kembali kontrol yang hilang tadi,” imbuh pria lulusan ITB tersebut.

Disrupsi dan tantangan industri media

Banyak survei menunjukkan tingginya penetrasi pengguna media sosial di Indonesia. Salah satunya dirangkum dalam laporan terbaru WeAreSocial, sekurangnya tahun ini ada 130 juta pengguna Facebook di Indonesia dan 63 juta pengguna Instagram. Twitter, YouTube, Tik Tok, dan platform lainnya juga makin digemari. Secara tidak langsung, layanan tersebut mengubah cara orang dalam mengonsumsi konten digital seperti berita, pun bagi bisnis untuk menempatkan iklannya.

Kondisi ini memaksa bisnis media untuk berbenah, menyusun ulang strategi mereka agar tetap relevan bagi pembacanya. Gemi pun setuju bahwa media sosial menjadi salah satu tantangan eksternal yang dihadapi industri media digital. Karena sudah menjadi sebuah keniscayaan, di setiap ekosistem bisnis akan ada kompetitor yang sifatnya disruptif. Namun ia menekankan, idealnya kompetitor bisa membuat iklan bisnis menjadi lebih sehat, karena mendorong inovasi agar industri tetap bertumbuh.

“Untuk mencapai kondisi (ideal) tersebut, seluruh pemain harus berada di playing field yang setara sehingga keuntungan mutualisme terjadi dengan netral. Jadi menurut saya bukan keberadaan media sosial atau platform lain yang menjadi isu, tetapi apakah hubungan antarpemain sehat dan setara?,” terang Gemi.

Ia melanjutkan, “Suka atau tidak keberadaan media sosial untuk para publisher digital pun memberikan keuntungan, setidaknya di area distribusi konten dan consumer engagement. Namun pengelola media juga harus mampu menganalisis dengan cermat apakah keuntungan tersebut sudah adil dan setara? Jika belum maka harus diperjuangkan, dan jika merasa kurang memiliki kekuatan untuk fight, berarti harus diperjuangkan bersama-sama. Banyak sekali parameter yang harus dilihat dalam hal ini, mulai dari kebijakan, praktik bisnis, pengelolaan konsumen hingga masalah etika,” imbuhnya.

Ia juga menyoroti, selain di eksternal juga ada tantangan terbesar di sisi internal yang perlu diselesaikan bersama, yakni kompetensi. Misalnya terkait kompetensi pengelolaan data. Sejak lama banyak digembor-gemborkan tentang optimasi data dan peran data untuk peningkatan bisnis media, juga jargon-jargon seperti “data is the next oil”. Menurut pengamatannya, sampai saat ini belum terlihat pebisnis media di Indonesia yang berhasil mengelola data audiens dengan baik dan scaling up bisnis dari situ.

“Salah satu tantangan pengelolaan data ini adalah volume yang dimiliki masing-masing media. Jika dibandingkan dengan kompetitor global, maka volume individual tadi jadi tidak signifikan,” ujar Gemi.

Yang akan diupayakan IDA

Indonesia Digital Association

Visi terkait peningkatan kue iklan sudah sangat jelas dan dibutuhkan oleh seluruh pelaku di industri media. Namun tentunya visi tersebut harus mampu diperinci dengan langkah-langkah strategis yang dapat memberikan dampak nyata. Merurut Gemi, ada dua hal utama yang akan diperjuangkan: peningkatan kompetensi dan mendorong keberpihakan kebijakan pemerintah pada perusahaan lokal.

“Produk iklan harus atraktif. Dalam konteks iklan digital, attractiveness meningkat jika performa iklan juga baik. Agar performa iklan baik salah satu aspek utamanya adalah pemanfaatan data. IDA akan memfasilitasi dan mendorong pengelola media agar memiliki kompetensi yang baik di bidang data dengan pelatihan talenta atau menghubungkan dengan rekanan teknologi yang tepat. Ide lain yang perlu di eksplorasi adalah memfasilitasi data scale up antar media agar volume data yang dimiliki media lokal bisa bersaing dengan pemain global,” jelas Gemi.

Sementara itu, terkait kebijakan, IDA akan aktif memberikan edukasi kepada pembuat kebijakan terkait praktik bisnis periklanan digital — sejauh ini memang kompleks dan kadang tidak mudah dipahami orang di luar industri. IDA akan mengadakan diskusi reguler dengan pembuat kebijakan dalam lingkup kemitraan sehingga harapannya IDA dapat menjadi salah satu sumber referensi utama dalam penentuan kebijakan terkait industri digital.

Sebagai asosiasi yang menaungi banyak pemain industri, IDA juga mengharapkan adanya partisipasi dan kesepakatan untuk tumbuh bersama.

“Terdengar klise, tetapi untuk melakukan hal tersebut diperlukan investasi dan transparansi antar perusahaan media digital. Harapan ke depannya IDA dapat menjadi fasilitator yang efektif untuk inisiatif-inisiatif seperti itu. Komunitas ini juga harus bersepakat untuk mengedukasi pasar agar bergerak ke satu arah yang sama yaitu arah yang memberikan manfaat yang adil untuk semua stakeholder industri ini,” tuturnya.

Industri media digital masih terus bertumbuh

Perubahan industri sangat cepat, sehingga sulit untuk memprediksikan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Namun ia cukup yakin, bahwa industri media digital di Indonesia masih akan tumbuh karena ruang pertumbuhan pengguna internet pun masih sangat lebar.

“Pertumbuhan penetrasi internet Indonesia akan terakselerasi ke luar Jawa. Karena hal tersebut kapabilitas hyperlocal media jadi sangat penting untuk dimiliki. Dalam waktu dekat juga kita akan mengalami ‘cookie-less internet’ yang akan mengubah lanskap digital advertising kita dengan signifikan (KG Media memprediksikan penurunan revenue programatic sekitar 16% akibat kondisi ini). Pemilik media harus mampu memetakan lanskap baru ini dengan rinci agar bisa memosisikan dirinya dengan baik ketika hal itu terjadi,” tutup Gemi.

Alasan Utama Iklan Native Lebih Dianjurkan Dibandingkan Iklan Banner

Iklan banner pernah berjaya di industri internet.

Para pengiklan pasti senang melihat iklan terpapar hampir di setiap sudut internet dan penerbit pasti ingin mendapat keuntungan lebih selain dari sisi advertorial.

Namun, sedikit yang menyadari bahwa keberhasilan ini pada dasarnya tidak terlalu menguntungkan bagi pengguna internet.

Pengalaman membaca para pengunjung website sangat terganggu dan waktu memuat halaman menjadi sangat lama.

Sekian lama para pengguna internet dipaksa menikmati iklan banner hingga akhirnya iklan native muncul.

Iklan native memang mengatasi masalah dari kalangan pengguna internet. Solusi ini tumbuh dengan cepat dan diharapkan bisa menjaga momentum di tahun mendatang.

Meningkatnya popularitas native bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat semakin pentingnya pengalaman pengguna dalam industri ini.

Di sini saya menyimpulkan ada 4 alasan utama iklan native bisa mengungguli iklan banner dan mengapa iklan native diproyeksi menjadi format iklan utama di masa depan.

Iklan native lebih menghasilkan traffic

Alasan dibalik keunggulan iklan native bukan hanya dari segi format yang tidak mengganggu dan layaknya editorial namun juga didasari pemanfaatan pemasaran konten (content marketing).

Dibandingkan dengan iklan spanduk yang khas dengan pemaparan masiv, iklan native lebih fokus pada pengalaman pengguna sebelum dan sesudah-klik.

Tampilan yang tidak mengganggu membuat pengguna merasa lebih nyaman dan menghindari pengguna yang acap kali keliru mengklik iklan.

Terlebih, konten yang menarik dan penuh insight yang dibagikan di laman depan akan menciptakan insentif yang kuat bagi pengguna untuk tinggal lebih lama, meningkatkan jumlah page view yang dan durasi rerata sesi.

“Iklan native dapat menciptakan peforma yang sama, terkadang lebih baik, seperti iklan banner. Kami juga menemukan fenomena menarik bahwa pengguna lebih bersedia membagikan konten dari iklan native. Hal ini tidak terjadi pada iklan banner, ”Hoyoung Lee, Dable Indonesia’s Country Manager said.

Jika iklan native dimanfaatkan dengan baik, situs web bisa merasakan trafik yang lebih berkualitas dari pengunjung baru. Basis pengguna yang semakin besar, nantinya bisa menjadi sumber yang bagus untuk penilaian dan mendorong pertumbuhan untuk bisnis yang mandek.

Iklan native lebih relevan

Berbeda dengan iklan spanduk, yang hanya bertumpu pada audiens, mekanisme eksposur dibalik iklan native didasari pada audiens dan kontekstual.

Iklan native hanya akan tampil ketika audiens target sesuai dengan demografi yang diinginkan pengiklan, serta judul iklan cocok dengan artikel dan konteks.

Misalnya, iklan native akan menempatkan iklan produk kecantikan dengan target wanita lebih muda ke dalam artikel yang membahas peragaan busana alih-alih kompetisi balap mobil.

Agar lebih relevan, situs web juga harus memanfaatkan teknologi rekomendasi konten untuk menampilkan artikel relevan yang dapat menarik perhatian pengunjung.

Pendekatan ini akan memastikan iklan bukan hanya terpapar pada pelanggan yang cenderung mengklik tapi juga dengan konteks yang lebih relevan.

Iklan native secara signifikan akan menghapuskan batas antara konten iklan dan editorial, lalu menghasilkan rasio klik-tayang (RKT) yang lebih baik.

Iklan native cenderung tidak diabaikan

Kita memasuki era abai spanduk di mana pengguna internet tanpa sadar mengabaikan iklan berbentuk spanduk.

Orang-orang terbiasa mengabaikan iklan spanduk seolah-olah tidak pernah ada.

Menurut penelitian, sekitar 44% dari uang yang disalurkan pada pemasangan iklan dihabiskan untuk iklan yang tidak dilihat oleh pengunjung situs web. Secara keseluruhan, RKT iklan banner kini semakin menurun.

Sementara hal ini menjadi isu yang hangat bagi para pemasar, iklan native, dengan fitur yang berpusat pada pengguna, diharapkan menjadi solusi terbaik.

Sejauh ini dilaporkan bahwa pengguna internet bersedia mengklik iklan native meskipun tahu itu adalah iklan. Tingkat klik-tayang rata-rata untuk iklan native juga lebih tinggi 57%, dibandingkan dengan iklan banner.

Menjadi native serta menghadirkan pengalaman beriklan yang lebih baik adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kondisi abai iklan spanduk.

Iklan native jarang diblokir

Untuk mengatasi gangguan iklan dan spanduk, banyak pengguna internet mulai memasang pemblokir iklan untuk menghindari visual yang mengganggu.

Faktanya, menurut sebuah penelitian, sekitar 30% pengguna internet di seluruh dunia sekarang menggunakan pemblokir iklan, menandakan popularitas iklan banner yang semakin menurun.

Sebaliknya, iklan native tampaknya tidak bermasalah dengan pengalaman visual pembaca. Sementara itu, iklan native seringkali tidak diblokir.

Sebagai alasan, bahwa setiap bagian dari iklan native memerlukan platform iklan untuk bekerjasama dengan penerbit.

Format iklan native dibuat dengan baik dan sangat menyatu dengan situs web. Seringkali, sulit untuk mengenali iklan native jika tidak dilihat dari dekat.

Maka dari itu, iklan asli jarang dikenali sebagai target pada pemblokir iklan, serta bisa memaparkan lebih banyak tanpa mengganggu.


Artikel asli ditulis oleh Edison Chen. Ia adalah seorang Sales Manager, Advertiser Solution di Dable. Ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Top Reasons Why Brands Should Choose Natives Ads Over Banner Ads

Banner ads used to be a huge success for the internet industry.

Advertisers were thrilled to see ads displayed nearly every corner on the internet and publishers were excited to acquire extra revenue stream other than advertorial.

What little did people realize, however, was that this success was not essentially beneficial to internet users.

Website visitors’ reading experience was tremendously disrupted and the average page load time strikingly increased.

Internet users suffered from banner ads for a long time until the emergence of native ads.

Native ads do solve the long-standing pain point among internet users. It is growing fast and is expected to keep the growth momentum in the following years.

The increasing popularity doesn’t come out of surprise as the importance of user experience arises.

Here I conclude 4 top reasons how native ads beat banner ads and why native ads will become the mainstream advertising format in the future.

Native ads provide better traffic

The reason why native ads stand out is not simply because of the non-intrusive and editorial-like formats but largely because of the utilization of content marketing.

As compared to typical banner ads that emphasize on massive exposure, native ads focus more on before and after-click user experience.

The non-intrusive look makes users feel more comfortable and filters out some random users who carelessly or mistakenly click on ads.

More importantly, interesting and insightful content shared in landing pages creates a strong incentive for users to stay longer, resulting in higher page view and average session duration.

“Native ads can deliver the same, sometimes better, performance as banner ads do. We also find an interesting phenomenon that users are more willing to share the content from natives ads. This is not common for banner ads,” indicated Hoyoung Lee, Dable Country Manager of Indonesia.

If native ads are utilized well, a website would see more quality traffic generated from new visitors coming in. The enlarging user base will, afterward, become a great source for remarking use and fuel the growth momentum for stagnant businesses.

Native ads offer higher relevance

Unlike banner ads, which only rely on audience targeting, the exposure mechanism behind natives ads is based on both audience targeting and contextual targeting.

Only when the target audience fits advertisers’ desired demographics and, meanwhile, titles of the ads match articles and context will the native ads be displayed.

For example, native ads will place an advertisement about beauty product targeting younger females to under an article of fashion show news update instead of car racing competition.

To boost higher relevance, websites should take advantage of content recommendation technology to recommend relevant articles that website visitors might feel interested in.

This approach ensures that advertisers’ ads not only are exposed to customers who are more likely to click but also are put in a more relevant context where users don’t find ads irrelevant.

Native ads significantly blur the boundary between advertisement and editorial content and ultimately produce a better click-through rate (CTR).

Native ads are less likely to be ignored

We are entering an era of banner blindness where internet users unconsciously ignore banner-like information.

People have got used to disturbing banner ads as if they are not existing.

According to research, about 44% of the money spent on ads is wasted on ads that remain unviewed by website visitors. Overall, the average CTR for banner ads continues dropping down.

While this phenomenon has become a hot potato to handle for marketers, native ads, with its user-centric features, is expected to be the best remedy.

It is reported that internet users are willing to click on native ads even though they have recognized the advertisement. The average click-through rate for native ads is also outstandingly higher by 57%, comparing to banner ads.

Going native and presenting better advertising experience is the only way out to beat banner blindness.

Native ads are rarely blocked

To deal with annoying display and banner ads, more internet users nowadays choose to install ad blockers to avoid the visual interference experience.

In fact, according to a study, around 30% of internet users around the world now use ad blockers, signifying the growing unpopularity of banner ads.

On the contrary, native ads don’t seem to have any issue with interrupting the reading experience. Further to that, native ads are not blocked in most cases.

The reason is that every single piece of native ads requires advertising platforms to conduct in-depth cooperation with each media publisher.

The format of native ads is well crafted and well blended into the website. Oftentimes, it is hard to tell whether or not native ads are advertisements if you don’t take a close look.

Consequently, native ads are rarely recognized as a target for ad blocker software, gaining more exposure opportunities without intruding.


Disclosure: This guest post is written by Edison Chen. He is Sales Manager, Advertiser Solution at Dable.

Gandeng Telkom, Layanan Adtech Infomo Tawarkan Kegiatan Beriklan Alternatif

Facebook dan Google saat ini masih menjadi platform pilihan untuk brand, advertiser, dan publisher melancarkan kegiatan pemasaran. Selain sifatnya yang viral, kedua platform tersebut banyak digunakan masyarakat untuk melihat konten berita, video, dan media lainnya.

Besarnya peluang dan potensi tersebut dianggap tidak dibarengi dengan target pasar yang tepat hingga proses tracking yang akurat. Sifatnya yang memaksakan pengguna untuk melihat iklan juga dinilai kurang personal dan ‘mengganggu’ kegiatan browsing pengguna.

Melihat kekurangan tersebut, Infomo yang merupakan ekosistem iklan dan promosi mobile yang memanfaatkan kekuatan dan jangkauan jaringan seluler dengan komunitas pelanggan mereka, hadir dan siap membantu brand dan advertiser untuk melancarkan kegiatan pemasarannya.

Infomo hadir dengan sebuah ekosistem sebagai alternatif programmatic processes sebagai platform iklan dan promosi seluler berbasis reward yang dirancang khusus untuk operator jaringan seluler maupun mobile application publisher. Pengiriman iklan permission based atau non-intrusive dan sesuai permintaan dimana konten iklan sangat interaktif. Adapun kemunculan iklan dipancing panggilan telepon, SMS, notifikasi, lokasi maupun waktu, serta tidak membutuhkan koneksi internet.

“Kita ingin membantu perusahaan telekomunikasi memanfaatkan data yang mereka miliki sekaligus meningkatkan revenue yang saat ini sudah semakin sulit didapatkan, dengan adanya media sosial seperti Facebook dan Google untuk kegiatan beriklan,” kata Founder dan CEO Infomo Ananda Rao.

Menggandeng Telkom Indonesia, startup, dan media lokal

Untuk langkah awal, Infomo menjalin kolaborasi dengan Telkom Indonesia. Selain itu Infomo juga menggandeng partner lainnya, seperti Uzone.id dari PT Metranet Indonesia, dan Anterin, sebuah perusahaan ride hailing berbasis aplikasi.

Dengan teknologi yang dimiliki, Infomo mengklaim mampu menyediakan ekosistem iklan mobile yang jauh lebih simpel untuk pengiklan, operator, pengguna smartphone, bisa mengurangi biaya beriklan, meningkatkan transparansi, serta mengurangi terjadinya penipuan (fraud).

Infomo berharap dapat membantu operator meningkatkan pendapatannya serta mengoptimalisasi investasi aset infrastruktur mereka. Selain itu, Infomo juga memberikan hasil yang menarik dan menguntungkan bagi setiap pihak dalam value chain iklan digital.

“Infomo ingin mempermudah proses tersebut dengan fokus kepada brand dan agensi melalui publisher memasarkan iklan di aplikasi mobile atau situs langsung ke konsumen. Dengan proses ini diharapkan konsumen semakin tertarik untuk melihat iklan, dan dari sisi brand menjadi pendekatan menarik untuk kegiatan pemasaran,” kata Ananda.

Masih Didominasi TV, Iklan Digital di Indonesia Diprediksikan Meningkat 8,4 Persen Tahun Ini

eMarketer bekerja sama dengan IAB Singapore merilis kisaran capaian iklan digital di Asia Tenggara pada tahun 2017. Secara keseluruhan di Asia Tenggara peningkatan pengeluaran untuk iklan digital mencapai 20 persen. Spesifik di Indonesia, pertumbuhan akan mencapai 8,4 persen, termasuk yang cukup kencang di wilayah tersebut. Kisaran pertumbuhan tahunan akan mencapai 25 persen dan diprediksikan tahun 2020 akan mencapai dua kali lipatnya.

Iklan digital, khususnya untuk pasar Indonesia, termasuk di dalamnya ragam media, mulai dari televisi hingga iklan di ponsel (mobile advertising). Kendati penyedia platform pengiklan digital sudah mulai memamerkan mekanisme andalnya, seperti programmatic mobile advertising, iklan di televisi masih mendominasi.

Tahun 2017 porsi iklan televisi diperkirakan berada di 60,1 persen, dengan total nilai pengeluaran iklan senilai $1,68 miliar.

Perlahan tapi pasti, temuan eMarketer juga menunjukkan sebuah perubahan pemilihan model iklan digital, di tengah meningkatnya anggaran yang dikucurkan untuk kebutuhan tersebut.

Advertising spending forecast for Southeast Asia

Bisnis digital mendongkrak popularitas adtech

Di kancah startup digital pun pengeluaran untuk iklan digital masih akan terus didorong. Salah satunya seperti dilaporkan dalam survei berjudul “CMO Spend Survey 2016-2017” yang dirilis Gartner, disebutkan bahwa iklan digital menjadi tiga hal teratas untuk alokasi dana dalam sebuah perusahaan. Kurang lebih ada 65 persen responden, yang merupakan pimpinan di sektor marketing, menyebutkan akan menambah jumlah dana untuk digital advertising di tahun 2017 ini.

Dalam sebuah wawancara DailySocial dengan salah satu pemain e-commerce terbesar di Indonesia, pendekatan iklan digital konvensional melalui media televisi atau radio dinilai masih sangat efektif. Salah satu pertimbangannya karena di kalangan masyarakat masih dalam tahap transisi edukasi dalam pemanfaatan media online. Iklan di televisi selain untuk ajang memberikan awareness tentang suatu layanan, juga dinilai menjadi bagian penting dalam membangun kepercayaan.

Sementara itu beberapa pemain di bidang native ads dan programmatic ads memandang bahwa pasar di Indonesia begitu menggiurkan. Salah satunya Glispa, nilainya yang sudah mencapai $244 juta per tahun (per tahun 2015) untuk programmatic ads kian memberikan keyakinan bahwa Indonesia akan menjadi pemimpin di Asia Tenggara. Tahun lalu eMarketer juga memprediksikan implementasi native ads di Indonesia nilainya akan mencapai $1,5 miliar di tahun 2017.

Bisnis e-commerce menjadi salah satu pendongkrak dengan faktor umum pendukung seperti (1) penetrasi ponsel pintar di Indonesia, (2) peningkatan kecepatan broadband, dan (3) pasar ritel (offline) yang terfragmentasi. Selain itu banyak perusahaan yang mulai membutuhkan kualitas data yang lebih akurat, real-time, dan mampu bergerak dinamis memprediksikan beragam hal, termasuk membantu keputusan bisnis.