Warisan Pekerjaan Lama Buat Menteri Baru Terkait Startup dan Ekonomi Digital

Perubahan kabinet yang rutin terjadi tiap lima tahun sekali di Indonesia merupakan dinamika biasa dalam proses politik yang berujung pada bagaimana visi Presiden mewujudkan tujuan politiknya.

Tantangan di tiap periode jabatan selalu berubah. Banyak faktor eksternal dan internal di berbagai sisi yang selalu terjadi. Baik itu kondisi ekonomi yang selalu dinamis, pun demikian sosial, politik, teknologi, juga perilaku masyarakatnya.

Menghadapi kondisi demikian, perlu tokoh-tokoh berbeda yang punya kapasitas dan kemampuan yang sesuai untuk menghadapi tantangan tersebut. Presiden punya kepercayaan pada menteri yang ia tunjuk untuk menyelesaikannya.

Tidak ada visi menteri, yang ada hanya visi Presiden dan Wakil Presiden. Begitu tukas Presiden yang kembali ia ulang saat Sidang Kabinet Paripurna, pekan lalu. Sebelumnya pernyataan ini ia utarakan sesaat mengumumkan kabinet Indonesia Maju.

Bicara ekonomi digital, Presiden begitu ambisius untuk mengembangkan Indonesia sebagai macan baru Asia sejak pertama kali memimpin di periode sebelumnya. Di periode kedua sekarang, arah kebijakannya ke ekonomi digital dipertajam dengan merekrut orang-orang profesional di bidangnya yakni Nadiem Makarim, Wishnutama, dan Erick Tohir.

Lahirnya lima unicorn dari Indonesia, sejak Joko Widodo memimpin, membuktikan bahwa memang sudah saatnya pemerintah untuk lebih serius mengembangkan ekonomi digital yang menyimpan potensi besar. Makanya pemerintah perlu mendorong investasi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi.

Solusi yang paling dasar dari situ adalah mempermudah pembuatan izin usaha. Pada Juli 2019, pemerintah merilis sistem OSS (Online Single Submission) yang sebelumnya dilakukan melalui PTSP (Perizinan Terpadu Satu Pintu).

Itikadnya sungguh mulia karena menggabungkan seluruh proses izin ke dalam satu platform. Impiannya untuk proses perizinan usaha baru bisa selesai satu jam saja. Sayang, praktiknya belum bisa sampai di tahap itu.

Indonesia adalah negara dengan sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Kuasa pemerintah daerah masih begitu kental sejak reformasi. Alhasil, OSS belum sinkron dengan perizinan di level daerah, khususnya izin wilayah. Padahal seharusnya OSS ini bisa menghubungkan kementerian/lembaga dan daerah di seluruh Indonesia.

Posisi EODB masih di belakang

Dampaknya, Indonesia masih termasuk ke dalam peringkat terbelakang dibanding negara tetangga untuk kemudahaan berbisnis (ease of doing business / EODB) yang dirilis Bank Dunia. Indonesia ada di peringkat ke-73, tidak berubah baik untuk peringkat di 2019 maupun tahun 2020. Peringkat ini terpaut jauh dari yang ditargetkan Presiden yaitu ke-40.

Di tingkat Asia Tenggara, Indonesia masih di bawah Singapura (2), Malaysia (12), Vietnam (70), Thailand (21), dan Brunei Darussalam (66). Bila dibandingkan tiga tahun lalu tentu ada peningkatan. Saat itu Indonesia masih menempati posisi ke-114.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira mencontohkan, untuk mengurus dokumen ekspor-impor butuh 61 hari dan border compliance sebanyak 53,3 hari. Pengusaha di Indonesia perlu meluangkan waktu 207 jam per tahun untuk memenuhi administrasi perpajakan jika dibandingkan Malaysia, misalnya, yang hanya 118 jam.

Menurutnya, kuasa ini ada di tangan BKPM. Meskipun demikian, BKPM tidak bisa bermain sendiri karena harus di-backup oleh Kementerian Koordinator yang tepat.

“Sayangnya, aneh bin ajaib ada angin apa urusan investasi kini di bawah Kemenko Maritim dan Investasi. Seperti dipaksakan sehingga fungsi koordinasi justru kurang nyambung dengan kebutuhan penguatan BKPM,” kata Bhima.

Aturan modal ventura kurang ramah startup teknologi

Rendahnya peringkat ini, menurut kacamata investor kurang tertarik masuk ke Indonesia ketika harus berurusan dengan perdagangan lintas batas dan pembayaran pajak.

Tren investasi ke sektor digital pada 2020 akan terus berlanjut untuk startup lokal. Akan tetapi, bila indikator EODB saja mandeg, kekhawatiran yang terbesar adalah berkurangnya channel penerimaan pajak buat negara.

Contoh terdekat yang bisa diambil adalah kehadiran pemain modal ventura (VC) asing ke Indonesia, namun tidak berizin sebagai modal ventura di bawah OJK. Sebagian dari mereka malah tidak berbadan hukum lokal.

Managing Partner Ideosource Edward Chamdani pernah mengatakan kepada DailySocial bahwa Ideosource belum memiliki izin PMV karena regulasi dirasa memberatkan. Mereka harus menyetor modal minimal Rp50 miliar untuk memproses perizinan menurut POJK No.34 Tahun 2015.

Aturan ini kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi, karena kebanyakan dari mereka menggalang dana dari investor eksternal.

“Jadi PMV license sangat memberatkan dari sisi persyaratan, namun dana ventura sesuai dengan pola VC tech. Kebanyakan VC tech polanya bukan setor modal, tapi menggalang dana dari investor eksternal.”

OJK mencatat jumlah PMV yang mengantongi izin ada 65 perusahaan per Oktober 2019, sementara anggota di Amvesindo ada 75 perusahaan. MCI dan CCV termasuk ke dalam daftar OJK. Sedangkan, MDI dengan nama badan hukum PT Metra Digital Investama, tidak termasuk di dalamnya.

Kejadian di lapangan ini tidak sepenuhnya salah karena seluruh investasi yang diterima startup lokal harus melapor ke BKPM untuk didata sebagai investasi PMA. Masalahnya, mengapa investornya belum sepenuhnya taat dengan aturan pemerintah?. Jawabannya adalah besarnya pajak yang harus mereka bayarkan ke negara.

Maka, perlu insentif yang menarik di sini. Edward yang juga menjabat di Amvesindo menerangkan pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang besar masih jadi tantangan terbesar untuk investor lokal untuk kompetisi dengan pemodal asing.

PMK No.48 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura pada Perusahaan Mikro, Kecil, dan Menengah dianggap belum ramah mengakomodir aturan tentang pajak capital gain.

Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Besarnya angka ini membuat investor asing selama ini lebih memilih untuk menyalurkan modalnya melalui PMA, ketimbang kolaborasi dengan PMV lokal.

Padahal, menurutnya, sebetulnya banyak pemain PMV lokal yang tertarik untuk berpartisipasi dengan investor asing untuk bentuk pendanaan baru. Salah satunya yang cukup besar adalah komitmen Softbank untuk menyuntik $2 miliar kepada Grab.

“Kalau mereka [Softbank] masuk full $2 miliar sebagai PMA, langsung ke Grab sebetulnya tidak ada salahnya, tetapi itu jadi peluang yang mesti ditangkap IKNB OJK untuk menawarkan struktur dana ventura yang melibatkan investor lokal juga,” terangnya dikutip dari Bisnis.com.

Solusi untuk keluar dari masalah ini adalah mengubah UU, padahal kita tahu tidak mudah jika tidak ada yang mengajukannya ke prolegnas.

Lain-lain

Ini baru urusan investasi, belum bicara soal perusahaan teknologi global yang membuka kantor di Indonesia. Pemerintah di negara manapun sedang bersatu padu mencari cara memajaki raksasa teknologi. Google, Facebook, Amazon, Apple, Netflix juga termasuk dalam incaran.

Banyak cara buat para raksasa teknologi tersebut mengelabui pemerintah di tiap negara untuk bebas bayar pajak. Sekecil apapun persentase pajak yang harus mereka bayar, nilainya akan sangat besar karena begitu raksasa pemasukannya. DailySocial pernah membahas hal ini dan tak kalah serunya.

Warisan pekerjaan rumah ini patut menjadi perhatian para menteri baru. Perlu ada revolusi relaksasi aturan untuk meningkatkan gairah investor untuk tertib dengan aturan main di Indonesia, agar setiap investasi yang masuk tetap berkualitas dan tetap menjunjung keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Harap-Harap Cemas Ekosistem Industri Kreatif dan Ekonomi Digital Pasca Pengumuman Kabinet Indonesia Maju

Kemarin (23/10) Presiden Joko Widodo telah memilih dan mengumumkan daftar menteri dan pejabat untuk kabinet barunya. Kendati selama masa kampanye jargon “ekonomi digital” disampaikan, namun daftar kementerian yang diumumkan cukup mengejutkan pelaku di ekosistem startup, sebagai salah satu ujung tombak dari ekonomi digital nasional.

Ada dua hal yang cukup mengganjal, pertama dileburnya Bekraf ke dalam Kemenpar, menjadi Kemenparekraf. Peleburan menjadi istilah untuk tidak menyebutnya sebagai peniadaan. Kendati dipimpin sosok yang digadang-gadang identik muda dan kreatif, namun ini mengindikasikan turunnya prioritas untuk pengembangan industri kreatif, termasuk startup digital. Bagaimana tidak, sejauh ini peran Bekraf cukup signifikan dirasakan para pelaku industri.

Program-programnya secara spesifik menyasar kebutuhan insan kreatif, terlihat dari susunan deputi yang ada, meliputi riset, permodalan, infrastruktur, pemasaran, hak kekayaan intelektual, dan hubungan antarlembaga. Sementara idealnya dengan potensi yang ada, pariwisata memang menjadi fokus tersendiri.

Ekonomi kreatif tidak bisa dipandang sebelah mata

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh BPS dan Bekraf pada tahun 2016, sektor ekonomi kreatif berkontribusi pada 7,35% GDP nasional, menyumbangkan nilai lebih dari 922 triliun rupiah. Secara kontinu, angka tersebut beranjak naik hingga diproyeksikan bertumbuh 4,13% hingga akhir tahun ini. Ekonomi kreatif telah menopang hampir 17 juta pekerja, dari berbagai bidang termasuk startup digital.

Data pertumbuhan ekonomi kreatif nasional / Bekraf
Data pertumbuhan ekonomi kreatif nasional / Bekraf

Mengacu pada sumber lain, misalnya hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company bertajuk “e-Conomy SEA 2019”, tahun ini ekonomi digital Indonesia telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan meningkat tajam hingga $133 miliar di tahun 2025 mendatang. Sektor e-commerce, ride-hailing, travel, dan media menjadi pendorong utamanya. Dengan angka tersebut, Indonesia menjadi yang terdepan di Asia Tenggara.

Hal-hal yang disayangkan

Selain Bekraf, pengayom industri digital nasional adalah Kemkominfo. Sejauh ini, Rudiantara cukup aktif melakukan advokasi pelaku startup, dengan target ambisius melahirkan unicorn baru. Untuk mendukung langkah tersebut, diperlukan berbagai upaya, termasuk mengakomodasi dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai. Kini Johnny Gerald Plate terpilih menjadi Mekominfo. Nama tersebut tergolong sangat baru bagi sebagian besar pelaku industri kreatif dan digital – mungkin tidak demikian di politik. Ini menjadi poin kedua.

Langkah tangkas dibutuhkan untuk mengayomi ekosistem kreatif dan digital yang saat ini bertumbuh sangat cepat. Disrupsi yang dihadirkan sangat nyata mengubah cara-cara baru di masyarakat. Ekosistem bukan lagi di usia “early-stage”, sebaliknya sudah masuk ke “scale-up”, sehingga dibutuhkan rekam jejak yang relevan dari pemangku kebijakan yang menaunginya. Saat pengumuman menteri kemarin, Johnny didaulat presiden untuk mengurus hal berkaitan dengan keamanan siber, kedaulatan data, dan industri TIK domestik. Tugas yang sangat berat dan serius.

Hari Senin (22/10) lalu, kehadiran Nadiem Makarim ke istana cukup memberikan angin segar bagi industri. Banyak yang berharap pembentukan kementerian baru yang khusus menaungi ekonomi kreatif dan digital. Nyatanya, ia diposisikan pada Kementerian Pendidikan. Memang, SDM menjadi isu krusial yang harus direvolusi dengan pendekatan yang lebih berdampak. Namun rekam jejak Nadiem untuk menangani penyelarasan bisnis disruptif menjadi hal yang disayangkan untuk tidak dioptimalkan.

Berat untuk tidak pesimis

Startup digital telah melahirkan sektor fintech, mereka mampu memfasilitasi berbagai kalangan yang sebelumnya tidak tersentuk layanan perbankan pada produk-produk keuangan, dengan konektivitas teknologi. Startup digital telah melahirkan sektor ride-hailing dan online marketplace, membuka ribuan peluang bisnis sekaligus mentransformasi UKM melalui internet. Belum lagi berbicara soal sektor new retail, healthtech, edutech, dan lain-lain yang mulai memberikan dampak berarti bagi Indonesia.

Berat untuk memberikan pemakluman, kendati tahu bahwa ada kalkulasi politik yang harus dipertimbangkan Presiden.  Semoga ini bukan proses untuk mengorbankan industri kreatif dan digital untuk kepentingan-kepentingan yang dianggap lebih besar.

Indonesia’s Digital Economy is Now at $40 Billion, E-commerce as the Biggest Participant

Google and Temasek have published another annual report on Southeast Asia’s digital economy. Titled as e-Conomy SEA 2019, there are some issues worth highlighting. Since 2015, the internet user has exceeded 100 thousand people-increased by 10% in the past year. In 2019, SEA’s total internet user has reached 360 million. New users are mostly at the age of 15-19 years old.

The increasing number has an impact on the internet/digital economy. The number has reached $100 billion in 2019, projected to reach $300 by the year 2025. The estimated number increased after last year’s report prediction at $240 – in 2018 the value reached out to $72 billion.

As seen from the internet industry’s sub-sector, most of the internet users are in the online game category (180 million active users), followed by e-commerce and ride-hailing. The number is getting higher as esports trend arises in the region – still exploring the true identity with business models that keeps changing, more than just a game.

Indonesian digital economy 1

The ride-hailing demand also gives quite an impact. Since 2015, the report shows increasing internet users five times up. In terms of industry players, Grab and Gojek are still competing for the regional market. Both are consistently raise funding for expansion.

Indonesia is leading

Indonesia’s digital economy is predicted to reach $130 billion by 2025, it’s already at $40 billion this year49% growth in average per year. E-commerce and ride-hailing become the main industry; as the digital payment dominating all the app-based services. The related growth is supported by endless investment. It includes funding for Indonesian unicorns, the value is at $4 billion in 2018.

Indonesian digital economy 2

Indonesia, compared to six other countries with the rapid-growing internet economy, is more significant in terms of value. Based on its geographical condition and total population, it’s far indeed. Vietnam is projected as the second biggest market after Indonesia. The digital players start eyeing the region to settle. Some of Indonesian giant digital companies – such as Gojek and Traveloka – has its debut there.

In its report, Google-Temasek always highlighting e-commerce, online travel, online media, and ride-hailing. The four main sectors are playing great roles for business transformation in Southeast Asia – as the locomotive and gate to the digital economy. In fact, the e-commerce and ride-hailing sectors in Indonesia has opened new opportunities, particularly to encourage SMEs to level-up and create more job offers.

Indonesian digital economy 3

Indonesia is getting momentum, for at least 152 million internet users, has exceeded the total population. The online travel sector leads the last year achievement, this year is for e-commerce to rise. The growth has reached 88% since 2015, the number (GMV – Gross Merchandise Value) this year has reached $21 billion. While online travel is still at $10 billion. Ride-hailing on the other side is at $6 billion.

Centralized area

One of the highlighted issues in the report is the internet economy distribution in the region. Research has compared the economic cycle that occurs in the metro or urban areas, has outperformed the other regions. Take Indonesia for example, the GMV per capita for the internet economy in Jabodetabek is $555 while the other region is at $103.

Indonesian digital economy 3

Meanwhile, only 15% of the total Southeast Asia population living in the urban area. Some digital startups have a “holy mission” to reach the rurals. As in Indonesia, the digital payment app penetration aims for the unbankable. It includes some e-commerce trying to accommodate SMEs from the rural area.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ekonomi Digital Indonesia Capai $40 Miliar, Bisnis E-commerce Beri Sumbangsih Terbesar

Google dan Temasek kembali merilis laporan tahunannya menyorot perkembangan ekonomi digital di Asia Tenggara. Bertajuk e-Conomy SEA 2019, ada beberapa hal menarik disorot dalam laporan. Sejak tahun 2015 tercatat pertumbuhan jumlah pengguna internet mencapai 100 juta orang –penambahan satu tahun terakhir mencapai 10 juta. Untuk tahun 2019 jumlah pengguna internet di Asia Tenggara mencapai 360 juta orang. Pengguna baru hadir sebagian besar dari demografi usia 15-19 tahun.

Pertumbuhan tersebut turut memberikan sumbangsih pada pertumbuhan ekonomi internet/digital. Tahun 2019 tercatat nilainya mencapai $100 miliar, diproyeksikan akan mencapai $300 miliar pada tahun 2025 mendatang. Prakiraan tersebut meningkat, setelah laporan tahun lalu memprediksi angkanya akan sampai $240 miliar saja – tahun 2018 nilainya $72 miliar.

Ditinjau dari sub-sektor industri internet, alokasi jumlah pengguna paling banyak masuk ke kategori online game (180 juta pengguna aktif), dilanjutkan e-commerce dan ride-hailing. Angka tersebut diperkuat dengan tren esports yang memang terus berkembang di kawasan ini – secara bisnis masih terus mencari jati diri dengan model bisnis yang terus berevolusi, dari sekadar permainan game biasa.

e-Conomy SEA 2019

Permintaan layanan ride-hailing juga memberikan dampak berarti. Sejak tahun 2015, laporan mencatat pertumbuhan jumlah pengguna mencapai 5x lipat. Ditinjau dari pemain industri, Grab dan Gojek yang tengah mencoba untuk terus memenangkan pasar regional. Keduanya secara konsisten menggalang pendanaan baru untuk menguatkan ekspansi di tiap negara.

Indonesia masih mendominasi

Ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 mendatang, tahun ini angkanya sudah mencapai $40 miliar – rata-rata pertumbuhannya 49% per tahun. E-commerce dan ride-hailing menjadi pendorong utama di kawasan ini; ditambah adopsi pembayaran digital yang mendominasi semua layanan berbasis aplikasi. Pertumbuhan bisnis terkait didukung investasi yang terus mengalir. Termasuk dukungan yang diberikan pada unicorn Indonesia, nilainya mencapai $4 miliar pada tahun 2018 lalu.

e-Conomy SEA 2019

Dibandingkan enam negara lain yang turut mendapat lonjakan tinggi dari ekonomi internet, Indonesia memang memiliki signifikansi lebih dari sisi nilai. Ditinjau dari luas geografis dan total populasi perbandingannya memang sangat jauh. Vietnam digadang-gadang sebagai pangsa pasar terbesar kedua setelah Indonesia. Pebisnis digital mulai memperhatikan wilayah tersebut untuk memantapkan bisnis. Beberapa perusahaan digital besar di Indonesia –sebut saja Gojek dan Traveloka—juga telah debut di sana.

Dalam laporannya, Google-Temasek selalu menyoroti e-commerce, online travel, online media, dan ride-hailing. Empat sektor utama tersebut dianggap memiliki peran besar dalam mentransformasi bisnis di wilayah Asia Tenggara –sebagai lokomotif sekaligus gerbang ekonomi digital. Di Indonesia sendiri, platform e-commerce dan ride-hailing telah mampu menghadirkan banyak kesempatan baru, khususnya dalam rangka mendorong UKM untuk naik kelas dan membuka kesempatan kerja lebih luas.

e-Conomy SEA 2019

Indonesia mendapatkan momentum, sekurangnya jumlah pengguna internet tahun ini mencapai 152 juta pengguna, telah melebihi dari total populasi. Tahun lalu sektor online travel masih memimpin perolehan, tahun ini giliran e-commerce. Peningkatan e-commerce dari tahun 2015 mencapai 88%, tahun ini angkanya (GMV – Gross Merchandise Volume) sudah mencapai $21 miliar. Sementara untuk online travel masih berada di $10 miliar. Ride-hailing mendapatkan porsi $6 miliar.

Terpusat di area metro

Sorotan lain yang turut disampaikan dalam laporan mengenai sebaran ekonomi internet di kawasan tersebut. Riset membandingkan antara putaran ekonomi yang terjadi di area metro atau pusat perkotaan, sebagian besar mengungguli berkali-kali lipat daerah lain. Di Indonesia misalnya, GMV per kapita untuk ekonomi internet yang terjadi di Jabodetabek mencapai $555 sementara di luar kawasan itu hanya di angka $103.

e-Conomy SEA 2019

Sementara secara keseluruhan populasi di Asia Tenggara yang berada di kawasan metro hanya 15% dari total. Namun beberapa startup digital memiliki “misi mulia” untuk menjangkau kawasan rural. Seperti di Indonesia, penetrasi aplikasi pembayaran digital banyak ditargetkan untuk menjangkau pengguna unbankable. Termasuk beberapa e-commerce yang mencoba mengakomodasi produk-produk dari UKM di daerah.

Tokopedia Kembangkan Layanan Publik dan Ekonomi Digital di Jawa Barat

Tokopedia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mengembangkan pelayanan publik dan ekonomi digital di Jawa Barat, sebagai upaya mengakselerasi pemerataan ekonomi secara digital dengan melibatkan UMKM dan BUMDes.

Inisiasi ini adalah salah satu bentuk komitmen perusahaan sebagai ‘Super Ecosystem’ dalam melakukan pemerataan ekonomi secara digital. Caranya dengan berkolaborasi bersama para mitra strategis, termasuk pemerintah.

Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya mengharapkan kolaborasi ini dapat mewujudkan pelayanan publik yang mudah, cepat, dan murah. Dia menjelaskan kerja sama ini terdiri dari tiga program kerja, yakni Desa Digital, Jabar Digital Province, dan pemberdayaan petani sayur dan buah.

Desa Digital ini meliputi promosi potensi unggulan daerah, pemasaran produk hasil program ‘One Village One Company’, penguatan kelembagaan BUMDes dan perluasan akses pemberdayaan masyarakat desa melalui Tokopedia Center.

Sementara, Jabar Digital Province merupakan kolaborasi dalam digitalisasi layanan publik. Hal ini mencakup bidang pelayanan penerbitan perizinan dan non perizinan secara online, termasuk pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) lewat Tokopedia E-Samsat, serta kemudahan mengakses tiket pariwisata.

Di sisi lain, Tokopedia dan Pemprov Jabar juga berkolaborasi dengan Sayurbox untuk lebih memberdayakan petani sayur dan buah di sana. Untuk pembangunan Tokopedia Center, akan tersedia di Desa Sukanagara dan Bobojong, Kabupaten Cianjur. William menyebut, di sana masyarakat dapat melakukan transaksi O2O, membayar tagihan dan pembelian tiket.

“Tokopedia Center adalah wujud komitmen kami untuk investasi lebih dalam ke seluruh pelosok tanah air dalam bentuk ruang edukasi sehingga peluang dan kesempatan dunia digital menjadi terjangkau bagi semua masyarakat Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Tokopedia Center pertama kali dirilis pada September 2018, kini telah hadir di 20 lokasi. Di antaranya Medan, Padang, Bogor, Bandung, Cirebon, Kuningan, Tasikmalaya, Jogjakarta, Surakarta, Boyolali, Malang, Belitung, Makassar, Pontianak, hingga Desa Prabumulih (Palembang).

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menambahkan, sebagai perusahaan teknologi Tokopedia memiliki semangat untuk merevolusi desa sehingga kemudahan digital tidak hanya dapat diakses oleh masyarakat kota besar tetapi juga dapat menjangkau desa.

“Kami berharap para pelaku UMKM dan BUMDes setempat bisa lebih melek teknologi karena kita punya potensi yang luar biasa; apalagi kalau disentuh teknologi, masyarakat Jabar dapat mencapai kemandirian ekonomi sekaligus berkontribusi lebih aktif dalam memajukan ekonomi negara,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Riset INDEF: Tahun 2018 Ekonomi Digital Sumbang 814 Triliun Rupiah untuk PDB Indonesia

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Laboratorium Data Persada dengan dukungan Google merilis sebuah laporan bertajuk “Menuju Ekonomi Digital yang Inklusif: Perspektif Gender, Regional dan Sektoral”. Dalam laporan tersebut disimpulkan beberapa data, termasuk mengenai total kontribusi ekonomi digital terhadap PDB Indonesia di tahun 2018 yang mencapai Rp 814 triliun (US$ 56,4 miliar) atau 5,5% dari PDB serta menambah 5,7 juta lapangan kerja baru atau 4,5% dari total tenaga kerja.

GDP Indonesia 2018
Perkembangan ekonomi di Indonesia dan dampaknya pada GDP / INDEF

Riset menganalisis dampak ekonomi digital melalui nilai investasi, pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran rumah tangga dalam survei acak bertingkat di 34 provinsi. Dalam lima tahun mendatang, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan naik 2x lipat menjadi Rp1.447 triliun –dinilai akan berdampak pada peningkatan daya saing dan mempersempit kesenjangan antar wilayah, gender, dan sektor ekonomi.

Sektor manufaktur masih memberikan kontribusi tertinggi, yakni 25,4% dari total PDB dengan nominal yang diberikan melebihi Rp100 triliun. Dilanjutkan transportasi, ritel dan finansial. Sebanyak 25% dari nilai transaksi produk juga telah terjual melalui e-commerce dengan persentase paling signifikan dimulai dari perangkat elektronik (57,61%), barang terkait hobi (53,58%), dan furnitur (28,28%).

Riset juga menyorot bagaimana sub-sektor di ekonomi digital menyerap tenaga kerja. Paling banyak disumbang oleh bisnis terkait transportasi, pergudangan dan komunikasi (17,01%). Bidang finansial, properti dan bisnis turut memberikan kontribusi aktif dalam peningkatan kesempatan kerja (9,69%). Dilanjutkan oleh manufaktur (6,54%), layanan publik (5,39%), dan ritel (4,96%).

“Peran ekonomi digital di Indonesia kini semakin inklusif dengan peran perempuan yang membesar, pertumbuhan penggunaan internet oleh penduduk di Kawasan Timur yang semakin tinggi, serta keterlibatan masyarakat miskin dalam transaksi digital yang semakin besar,” ujar Peneliti Laboratorium Data Persada Bastian Zaini.

Ekonomi digital juga mendorong kesetaraan dari sisi pemberdayaan perempuan, termasuk memperdayakan ekonomi di Indonesia Timur.

Ekonomi Inklusif Indonesia 2018
Dampak ekonomi digital secara inklusif / INDEF

“Untuk menjaga agar ekonomi digital tetap berada pada jalur pertumbuhan inklusif, pembangunan infrastruktur lunak dan keras adalah kunci. Lingkungan regulasi untuk inovasi digital harus memungkinkan percepatan pertumbuhan ekonomi untuk seluruh orang dan memastikan bahwa kebutuhan bisnis di semua sektor terpenuhi.”

Kemkominfo: Mencetak Talenta Digital Dimulai dari Kurikulum yang “Disruptif”

Indonesia saat ini memiliki empat startup unicorn, yaitu Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Menkominfo Rudiantara sempat memprediksi setidaknya ada dua unicorn baru dalam 2-3 tahun ke depan.

Hal ini menandakan bahwa Indonesia memiliki peluang sangat besar dalam mencetak unicorn baru. Dalam skala besar, Indonesia dapat mengembangkan potensi di bidang ekonomi digital, terutama menghadapi industri 4.0. Namun Indonesia masih terbentur pada kurangnya talenta digital.

“Kita punya potensi ekonomi digital yang besar. Bagaimana unleash-nya? Kita kebanyakan potensi, tetapi kapan jadinya?” ungkap Staf Khusus Menkominfo Lis Sutjiati di Pembukaan idEA Works Pro, Kamis (11/4).

Menurutnya, hal ini dapat terjawab apabila Indonesia telah siap dalam mencetak talenta digital baru yang saat ini dinilai masih minim. Saat ini talenta-talenta terbaik kini menjadi rebutan sejumlah startup atau perusahaan besar.

Menurut riset McKinsey, lanjut Lis, Indonesia diprediksi memiliki 180 juta populasi di usia produktif sebagai penggerak ekonomi, dengan sembilan juta harus melakukan shifting profesi dan dua juta profesi bakal tidak relevan lagi di 2030.

Indonesia juga diperkirakan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030 berdasarkan metode Purchasing Power Parity (PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja.

“Nah, 180 juta ini mau kerja apa? Ini yang menjadi tantangan terbesar kita. Indonesia butuh sembilan juta talenta di bidang digital untuk bisa unleash semua sektor potensial kita. Tidak hanya e-commerce dan fintech, tetapi juga kesehatan, agrikultur, dan pendidikan,” paparnya.

Memulai dari kurikulum pendidikan

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi era ekonomi digital di masa depan adalah mencetak talenta-talenta baru melalui sejumlah program. Salah satunya ada Indonesia Digital Talent Scholarship yang menggaet sejumlah mitra global dalam penyediaan kurikulum, seperti IBM dan Cisco.

Namun hal itu saja belum cukup untuk menyelesaikan masalah kekurangan talenta di masa depan. Menurutnya, kemampuan non-teknis dan akademis atau soft skill dan hard skill seseorang dapat diasah melalui kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar.

“Kita tidak bisa pakai kurikulum konvensional [untuk menambah talenta baru]. Kurikulumnya harus disruptif. Begitu juga industri [harus kasih kurikulum] supaya bisa match juga dengan industri,” ungkap Lis.

Kemampuan hard skill, seperti coding sudah bisa diperkenalkan sebagai mata pelajaran di sekolah. Demikian juga kemampuan soft skill, seperti critical thinking dan creative thinking. “Ini sama pentingnya juga karena creative thinking tidak bisa mengandalkan engine,” katanya.

Ketua Umum idEA Ignatius Untung menilai bahwa soft skill juga sama pentingnya dengan hard skill. Kemampuan ini sebetulnya yang wajib dimiliki generasi selanjutnya di masa depan.

“Diakui ada gap antara kampus dan industri masih besar. Ketika lulus mereka tidak siap untuk bekerja. Penting untuk memikirkan profesi di era ekonomi digital,” ujar Untung.

idEA Sampaikan Tiga Fokus Utama untuk Tahun Ini

Sebagai asosiasi yang menaungi industri e-commerce di Indonesia, idEA memiliki sejumlah rencana dan target yang ingin dicapai. Kepada DailySocial, Ketua Umum idEA Ignatius Untung mengungkapkan, fokus utama idEA tahun ini bakal lebih meluas. Tidak hanya industri e-commerce, tetapi juga elemen pendukung yang dinilai relevan.

Salah satu target tentu saja membina hubungan baik dengan regulator, dalam hal ini pemerintah, terutama mereka yang kerap bersinggungan dengan industri. Hal ini termasuk membahas dan berdiskusi soal “perang harga” yang saat ini masih banyak terjadi di antara layanan e-commerce di Indonesia.

Fokus lain yang menjadi perhatian idEA adalah mencari solusi dan mengatasi masalah tenaga kerja digital serta menjadikan asosiasi sebagai wadah seluruh industri digital Indonesia. Terdapat sejumlah action plan untuk meningkatkan kemampuan talenta digital di Indonesia, termasuk melakukan startup mentoring dan perhitungan ideal gaji para pegawai atau salary benchmark.

Perluasan fokus ini adalah upaya idEA memfasilitasi semua bisnis ekonomi digital, bahkan di luar layanan e-commerce, termasuk sharing economy, on demand service, health technology, agriculture, internet of things, game, dan content.

Perubahan tersebut dianggap relevan dilakukan idEA untuk kebutuhan yang akan datang. Di kepengurusan kali ini, Asosiasi E-Commerce Indonesia memiliki visi mengakselerasi keberpihakan terhadap industri ekonomi digital.

Fokus yang terakhir adalah mengumpulkan data semua layanan e-commerce di Indonesia. Data tersebut nantinya bisa dimanfaatkan tidak hanya pihak asosiasi, tetapi juga pemerintah.

“Untuk rencana tersebut saat ini masih dalam proses. Dalam hal ini kami dari idEA dan dedicated resource dari pemerintah masih dalam tahap pembicaraan,” kata Untung yang baru saja mengundurkan dari posisi Country Manager rumah123.

Gelombang ketiga

Menurut riset yang dilakukan idEA, industri e-commerce di Indonesia saat ini sudah mulai memasuki gelombang ketiga atau third wave. Transisi ini sebelumnya sudah mulai terlihat sejak tahun 2016. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan sejak gelombang pertama (sekitar tahun 2006-2012) dan gelombang kedua (sekitar tahun 2012-2016).

“Saat gelombang kedua isu e-commerce yang banyak dibicarakan adalah unicorn. Periode ini adalah periode di mana gampang sekali bikin startup. Kasarnya, almost any idea akan dapat pendanaan,” kata Untung.

Gelombang ketiga yang masih berjalan ini, menurut Untung, akan terlihat lebih sulit. Penyebabnya adalah perolehan funding yang lebih sulit, investor yang lebih teliti dalam memilih, hingga munculnya startup baru yang muncul dengan kategori lebih spesifik.

“Untuk itu isu yang harus diperhatikan adalah sustainability, karena mulai ada startup yang tutup, pivot, merger dan diakuisisi,” katanya.

Laporan Hinrich: Kontribusi E-commerce Terhadap PDB Diproyeksikan Tembus 2.305 Triliun Rupiah di 2030

Kontribusi e-commerce terhadap PDB Indonesia diproyeksikan tembus Rp2.305 triliun atau tumbuh 18 kali lipat dari Rp125 triliun pada 2017. Proyeksi ini diambil dari laporan “The Digital Komodo Dragon: How Indonesia Can Capture The Digital Trade Opportunity at Home and Abroad” yang dipublikasikan Hinrich Foundation dan AlphaBeta Advisors.

Lebih dalam dijelaskan, kontribusi yang diberikan e-commerce pada 2017 ini setara dengan angka 0,9 persen dari PDB secara nasional. Ini menunjukkan adanya potensi yang belum dimanfaatkan, mengingat ekonomi ASEAN lainnya seperti Malaysia telah berkontribusi sekitar dua persen dari PDB mereka.

Laporan ini menggunakan definisi “perdagangan digital” secara luas yang mencakup produksi, distribusi, pemasaran, penjualan, atau pengiriman barang dan jasa –baik di dalam dan di luar negeri– yang didukung oleh aliran data lintas batas. Mencakup perdagangan produk/layanan yang dimungkinkan secara digital dan arus data lintas batas yang menciptakan nilai ekonomi bagi ekonomi domestik.

Disebutkan kontribusi terbesar pada 2030 berasal dari pertanian & pangan (Rp548 triliun), konsumen & ritel (Rp539 triliun), infrastruktur (Rp289 triliun), sumber daya (Rp272 triliun), layanan keuangan (Rp235 triliun), sisanya datang dari manufaktur, pendidikan & pelatihan, dan kesehatan.

Kontribusi ekspor

Tak hanya itu, dalam laporan ini juga menyinggung soal kontribusi ekspor digital untuk Indonesia. Disebutkan pada 2017 mencapai lebih dari Rp28 triliun setara 1,2 persen, berada di urutan ke 11 dari sektor ekspor.

Angka tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia. Meski ukuran PDB Indonesia tiga kali lebih besar dari Malaysia, tapi nilai ekspor digital Indonesia kurang dari sepertiganya Malaysia.

Namun menurut Hinrich, nilai ekspor digital Indonesia berpotensi bisa berkembang hingga lebih dari 8,5 kali lipat dari saat ini sebesar Rp240 triliun.

“Jika produk digital bisa dianggap sebagai suatu sektor tersendiri, maka sektor tersebut akan mewakili ekspor terbesar ke-11 di Indonesia. Bisa meningkat hingga 768 persen pada 2030,” terang Mitra AlphaBeta Genevieve Lim.

Lim menambahkan, untuk meningkatkan produktivitas dalam perdagangan online bisa dilakukan melalui enam cara. Pertama, mengidentifikasi dan membangun pasar baru. Kedua, menekan biaya dan mempercepat manajemen data. Ketiga, mendukung kolaborasi lintas batas.

Keempat, memperkaya data secara mendalam. Kelima, memperkenalkan model bisnis yang efisien. Terakhir, memperkecil rantai distribusi.

Rencana Google Tingkatkan Ekonomi Digital di Indonesia

Dalam laporan yang diterbitkan Google dan Temasek disebutkan, Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang memiliki pengguna internet terbesar. Fakta tersebut menjadikan Indonesia pasar yang ideal untuk startup digital melancarkan bisnis. Bukan hanya kepada startup unicorn seperti Go-Jek, Traveloka dan Tokopedia, namun investor juga mulai melirik startup baru yang memiliki produk potensial.

Seperti yang dirangkum DailySocial, laporan bertajuk e-Conomy SEA 2018 turut mencatat pertumbuhan investasi di kawasan regional. Sepanjang paruh pertama tahun 2018 (H1), angkanya sudah mencapai $9,1 miliar — meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun lalu.

Dalam laporan tersebut Google juga memprediksi, sektor e-commerce, online media, online travel, ride-hailing akan mendapatkan investasi lebih banyak lagi di tahun mendatang. Google juga memprediksi, ekonomi internet di Indonesia akan tumbuh 4 kali lipat pada tahun 2025 mencapai $100 miliar.

Kepada DailySocial Managing Director Google Indonesia yang baru beberapa bulan menjabat Randy Jusuf mengungkapkan, laporan yang dihadirkan oleh Google dan Temasek memvalidasi apa yang terjadi dari tren dan kondisi yang ada.

“Saya melihat setiap hari sudah banyak berita soal pertumbuhan startup di Indonesia, investasi, konsolidasi dan lainnya. Laporan ini menurut saya memvalidasi apa yang terjadi saat ini,” kata Randy.

Randy berharap selanjutnya pihak terkait bukan hanya membaca dan memahami saja laporan yang telah diterbitkan, namun juga ada aksi yang bisa segera dilakukan untuk meningkatkan performa bisnis.

“Laporan ini tentunya bisa digunakan bagaimana idealnya informasi ini untuk bisa maju ke depan, menggunakan informasi dengan investor agar bisa mendapatkan investasi dan memiliki keyakinan masa depan,” kata Randy.

Kantor baru dan inisiasi “Google for Indonesia”

Selain memiliki Managing Director baru, Google juga telah memindahkan kantor mereka yang sebelumnya di seputar Senayan ke kawasan SCBD Jakarta. Tidak berbeda jauh dengan desain kantor sebelumnya, kantor Google Indonesia yang baru juga syarat dengan dekorasi khas Indonesia dan ruangan kerja hingga bermain yang luas untuk pegawai.

Di bawah kepemimpinan baru, Randy juga memiliki rencana untuk meningkatkan relasi dengan pemerintah dan pihak terkait guna membantu lebih banyak UKM di Indonesia. Salah satu rencana yang bakal diluncurkan adalah “Google for Indonesia” sebuah kegiatan yang dalam waktu dekat akan diresmikan oleh Google Indonesia.

“Bukan hanya fokus kepada UKM, Google juga ingin membantu startup dan pihak lainnya guna membantu meningkatkan ekonomi di Indonesia. Untuk itu nantikan rencana dari Google untuk Indonesia selanjutnya,” tutup Randy.