Mengenal PaaS untuk Dunia Perindustrian

Inovasi, dalam spektrum apapun, dibangun oleh salah satu sifat yang merujuk pada fleksibilitas, yakni dinamis. Kita semua tentu sudah tidak asing dengan istilah tersebut, bila dikaitkan pada kemunculan perubahan-perubahan dari perusahaan sekelas Apple, misalnya. Tak hanya inventornya, teknologi pendukung daya cipta pun harus akur terhadap dinamika proses trial-error, atau kemungkinan perkembangan bisnis yang tiba-tiba melonjak.

Pembaruan industri membuat sifat dinamis ini menjadi sebuah urgensi, apalagi sehubungan dengan dibentuknya ekosistem baru untuk melahirkan bibit-bibit inovasi, seperti Digital Foundry. Itulah contoh implementasi revolusi industri jilid keempat dari kacamata proses kreatif. Dari sisi teknis, mari ambil teknologi cloud computing sebagai contohnya.

Cloud computing mempermudah technologist dalam membangun produk dan mendirikan startup. Dari berbagai ‘atmosfer’ komputasi awan, PaaS (Platform as a Service) adalah bentuk teknologi cloud yang dirancang tepat untuk dapat beradaptasi dengan laju perkembangan bisnis teknologi yang pesat dan pengelolaan aplikasi yang dinamis.

PaaS, melalui segala dayanya dalam mengelola aplikasi dan memelihara infrastruktur secara simpel, membuat kolaborasi yang terjadi di Digital Foundry menjadi tidak terdengar mustahil. Terlebih bila Anda sudah berkenalan dengan Predix.

Predix milik General Electric (GE) telah didesain sedemikian rupa untuk menghadirkan infrastruktur berbasis cloud dengan tingkat keamanan yang tinggi, demi mendukung dunia industri dalam merasakan manfaat dari pertumbuhan Industrial Internet yang pesat. GE mengaku bahwa Predix dirancang untuk industri, oleh industri, guna mengolah data di masa depan.

Cara kerja layanan PaaS Predix yang ditujukan untuk konsep Internet of Things (IoT) cukup sederhana. Anda tinggal menghubungkan data dari sebuah mesin yang dihubungkan ke Predix cloud, lalu Anda bisa mengembangkan Industrial Internet services di dalamnya.

Tak perlu lagi pengeluaran besar untuk memesan sistem in-house data analytic, layanan PaaS Predix membantu Anda untuk meninjau operasional mesin, hingga kemudian Anda dapat menguji dan mengaktifkan aplikasi untuk industri dengan lebih mudah dan terintegrasi pada cloud.

Schindler telah merasakan betapa layanan Predix secara efektif bisa diandalkan. Sebagai salah satu perusahaan lift terbesar di dunia, Predix dapat mengoptimalkan konsumsi daya dari lift dan eskalator rilisan mereka. Bahkan, diproyeksikan Predix akan membantu Schindler menganalisa 100 aplikasi di tingkat mesin (dan mengkoreksinya bila perlu) dalam satu waktu.

Ide membuat platform untuk IoT telah tersaji di atas. Cloud computing telah terbukti menjadi opsi tepat agar industri lebih produktif dalam mengembangkan produk dan mengerjakan proyek. Kini, tinggal idenya. Apa ide pengembangan industrimu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Gaya Kolaborasi Startup di Korporasi Perindustrian, Bisakah?

Kita sama-sama sudah mengetahui sebelumnya bahwa keterlibatan orang-orang yang kreatif dan satu visi adalah ciri yang lekat dengan gaya kerja ala startup. Kita juga tahu bahwa cara kerja dan suasana sesantai itu tak hanya menjadi kegemaran dan idaman pekerja masa kini, namun juga telah terbukti dari kualitas produk yang dihasilkan.

Pertanyaannya, dengan kultur serba teratur, dapatkah perusahaan-perusahaan besar yang bergelut di ranah perindustrian seperti migas, transportasi, bahkan digital energy mengadopsi sistem kerja startup yang santai-namun-tetap-terukur?

Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi para petinggi perusahaan untuk menerapkan prinsip kerja startup ke organ-organ usaha mereka. Diperlukan beberapa poin yang harus dipenuhi agar korporasi mereka tak hanya dapat mengadopsi kultur kerja startup, tapi juga merasakan pembaruan dalam pengembangan produk.

Mari ambil contoh korporasi yang telah menghadirkan inovasi produk yang dicetuskan oleh spirit kolaborasi startup, yakni General Electric.

Sempat dibahas di artikel lainnya bahwa, melalui Digital Foundry-nya, General Electric telah mengadaptasi pengorganisasian product development serupa bisnis rintisan. Gaya ini berkaitan dengan salah satu syarat dalam menerapkan kolaborasi ala startup: menghadirkan stimulasi kreatif di segala penjuru working space.

Digital Foundry yang menempati lantai dua di gedung Le Centorial, Rue du Quatre Septembre, Paris ini memang dirancang sebagai rumah inovasi. Dirancang oleh arsitek Jepang Hidekazu Moritani, bentuk Digital Foundry mengacu pada struktur sarang lebah, di mana ruang berbentuk heksagonal akan menstimuli orang jadi lebih dinamis.

Dan menariknya, semua dinding sebenarnya adalah papan tulis kaca, sehingga siapapun dapat menuliskan ide-ide yang muncul di pikiran mereka ke dinding tersebut.

Infrastruktur ini menarik orang-orang untuk datang dan menunjang kolaborasi mereka dengan karyawan General Electric. Bahkan, memang secara jelas pihak General Electric mengaku, mereka membuka Digital Foundry tak hanya untuk karyawan namun juga untuk konsumen General Electric, seperti mahasiswa dan programmer.

Kolaborasi dan interaksi seperti ini sangat memicu adanya percikan-percikan ide, sehingga mereka semua bisa mewujudkannya bersama-sama.

Nah, seberapa besar keberhasilan adaptasi gaya startup seperti ini memberi efek pada daya cipta karyawan? Lagi-lagi General Electric sudah memperlihatkan buktinya.

Di samping diciptakannya inovasi baru dari GE Healthcare, kini telah hadir sistem operasi PREDIX yang terus dikembangkan tim General Electric. PREDIX adalah platform yang dihadirkan untuk pengembangan teknologi, yang mereka sebut sebagai, Industrial Internet of Things (IIoT)—diyakini lebih besar dan meledak dari Internet of Things (IoT). Dengan teknologi tersebut, aeroderivative gas turbines, misalnya, akan mengadopsi desktop technology di dalamnya.

Inovasi-inovasi besar semacam itu hanya bisa lahir jika kamu punya percikan ide, keinginan untuk eksekusi, dan kesediaan berkolaborasi dengan pihak lain yang satu visi.

Jangan ragu juga untuk bergabung dengan program-program katalisator pengembangan ide seperti Digital Foundry! Karena bisa jadi, inovasimu akan terwujud di sana. Pertanyaannya: apa gagasan-gagasan inovasi teknologi yang ada di kepalamu sekarang?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Mengapa Bekerja di Perusahaan Startup?

Bagi kamu yang seringkali membuat orang tua bertanya-tanya setiap kali pamit bekerja sambil mengenakan t-shirt, celana jeans dan sneaker, kemungkinan besar kamu adalah seorang pekerja di lingkungan startup—atau setidaknya kamu dan kantormu sekarang sedang menganut kultur tersebut.

Sesampainya di kantor, mereka pun bekerja dengan budaya yang santai. Gaya berpakaian dan bekerja yang kasual seperti ini banyak diadopsi oleh karyawan startup dalam keseharian. Lingkungan berbasis open working space juga banyak digunakan sebagai tempat mereka berkolaborasi dan berkarya.

Baik, mungkin sampai di titik ini bekerja di perusahaan startup kedengarannya fleksibel dan tidak rumit. Tapi percayalah, dengan kultur kedisiplinan yang mereka ciptakan sendiri, gaya bekerja seperti ini terbukti telah menghasilkan inovasi-inovasi kelas dunia.

Lantas, bagaimana sistem kerja yang kasual bisa menjadi bagian dari perusahaan raksasa dunia? Mengapa harus kultur startup? Mengapa harus bekerja di startup?

Paling tidak, tiga alasan ini seharusnya dapat memecah rasa ingin tahumu tersebut. Ini dia!

1. Keterlibatan dan jejaring yang kuat

Budaya yang lepas dan santai dari startup memang menjadi magnet tersendiri bagi orang-orang yang senang berkreasi dan berkolaborasi dalam waktu yang bersamaan. General Electric, korporasi yang bisnisnya berada di berbagai segmen—dari migas hingga jasa kesehatan, telah mengaplikasikannya.

Melalui tempat yang menjadi melting pot bagi engineer dan teknisi bernama Digital Foundry, General Electric berhasil menciptakan ide-ide baru, dan bahkan mengajak pelanggan untuk ikut serta berkolaborasi di Digital Foundry.

2. Lingkungan yang siap berinovasi

Salah satu hal yang menyenangkan dari bekerja di perusahaan startup adalah mentalitas orang-orang di dalamnya yang selalu siap dengan perubahan dan tidak khawatir dengan trial-error. Kultur ini yang membuat mereka ingin terus bertumbuh.

Saat bekerja di Google, mantan Direktur Pemasaran Google Brett Crosby punya pengalaman menarik soal pertumbuhan. Kala Google Drive diluncurkan, Brett dan tim punya growth goals yang begitu besar, bahkan mereka sempat tidak yakin dapat mencapai target pada awalnya.

Namun, kultur yang ingin terus bertumbuh dapat mendobrak kenyataan dan menjawab urusan alokasi dana marketing mereka, yang saat itu cukup menyesakkan perusahaan. Hingga pada akhirnya Google Drive dapat diintegrasikan pada Gmail, dan membuat mereka berhasil mencetak target tersebut.

3. Melihat dari sudut pandang yang unik

Produk unik memerlukan orang-orang dengan pemikiran unik di belakangnya. Hal ini berkaitan dengan alasan nomor satu tadi. Lagi-lagi, hal ini dilakukan oleh General Electric.

Sebelumnya, General Electric tak bisa diasosiasikan dengan budaya startup. Tak ada dinding kaca dengan coretan sisa brainstorming dan meja foosball. Tapi, lewat Digital Foundry, General Electric berhasil mematahkan pemikiran tersebut. Hasilnya, Digital Foundry menelurkan, salah satunya, sebuah produk dari seorang data scientist di Digital Foundry yang dapat memilah dan mengelompokkan ribuan gambar MRI dari GE Healthcare, sehingga membuat pekerjaan lebih efisien dan makin efektif.

Tiga alasan tadi setidaknya bisa jadi sampel dari bagaimana perusahaan kelas dunia pun berhasil mendobrak pemikiran bahwa kantor bukan hanya menjadi mesin pencetak uang, namun juga rumah imajinasi dan laboratorium inovasi.

Ide-ide besar dan kreatif adalah asupan sehari-hari para karyawan startup. Nah, apakah kamu tertarik dengan suasana kantor seperti ini? Atau, bagaimana kantor idamanmu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Begini Caranya Microsoft Bisa Tahu Project Scorpio Sanggup Sajikan 4K Gaming Sejati

Ketimbang menyediakan hardware berspesifikasi tinggi, PlayStation 4 Pro memanfaatkan kombinasi teknik render dan fitur hardaware demi menyuguhkan game di resolusi UHD karena Sony tidak mau volume console jadi membengkak. Tentu saja arahan upscale itu belum memuaskan sebagian orang yang menginginkan 4K gaming sejati. Karena alasan inilah perhatian khalayak kini beralih ke Project Scorpio.

Mendekati pelepasannya yang dijadwalkan untuk dilakukan tahun ini, sang console maker akhirnya memajang Project Scorpio di Microsoft Store, dan membiarkan perwakilan Digital Foundry membeberkan sejumlah rincian mengenai spesifikasi sistem game baru tersebut. Di sana, Richard Leadbetter sempat menjelaskan kesanggupan Scorpio menjalankan demo Forza Motorsport di 4K. Dan mungkin Anda penasaran, bagaimana cara device itu melakukannya.

Leadbetter memberikan pemaparan di artikel Eurogamer terpisah. Senior director of console marketing Xbox Albert Penello memang belum mengonfirmasi metode Scorpio menangani game di 4K, namun dari gerak-geriknya, ia sangat percaya diri pada kapabilitas console. Informasi lebih lanjut datang dari anak perusahaan Microsoft, yaitu developer di belakang franchise Forza, Turn 10 Studios.

Untuk mendemonstrasikan kemampuan Scorpio, Turn 10 dan tim Xbox menggunakan ForzaTech. Software ini bukanlah Forza Motorsport 6 ataupun permainan Forza 7 yang belum diumumkan. Kedua tim juga diketahui mempunyai peran penting dalam pengembangan console, dan hasilnya mungkin tak hanya sesuai janji Microsoft, namun boleh jadi malah melampauinya.

Chris Tector selaku studio software architect Turn 10 menerangkan fungsi dari ForzaTech, yakni sebagai platform menguji fitur-fiftur semisal Direct3D 12 di PC hingga mencoba kemampuan Scorpio – terutama untuk menguji apakah hardware sanggup melakukan apa yang pengembang inginkan. Selain itu, ForzaTech juga merupakan wadah buat merealisasikan visi-visi Turn 10 dalam menggarap game Forza berikutnya.

Di sisi Microsoft sendiri, mereka telah menciptakan tool inovatif bernama PIX (atau Performance Investigator for Xbox). Tool ini bertugas merekam proses kerja dari GPU, dan dengan data yang telah diperoleh, Microsoft menggunakannya buat mendesain prosesor baru. PIX menyediakan data untuk dimasukkan ke emulator hardware, sehingga Microsoft bisa menakar kinerja Scorpio. PIX juga memberi keleluasaan pada developer buat men-tweak dan menyempurnakan engine permainan.

Penjabaran lengkap mengenai PIX dan ForzaTech, serta bagaimana elemen-elemen ini memengaruhi proses pengembangan Project Scorpio dapat Anda baca di Eurogamer. Console spesialis 4K gaming itu kabarnya akan meluncur di kuartal keempat tahun ini.

Spesifikasi Hardware Project Scorpio Akhirnya Terungkap

Seperti Sony dengan PlayStation 4 Pro mereka, Project Scorpio merupakan jawaban Microsoft atas semakin tingginya standar penyajian konten hiburan. Eksistensinya diungkap lebih dulu dari hardware sang rival, namun console maker dari Amerika itu memutuskan untuk melepasnya di musim liburan 2017 nanti, saat ada lebih banyak orang mengadopsi TV 4K.

Tak lama setelah diumumkan, Microsoft juga sudah memberikan garis besar spesifikasi hardware Project Scorpio. Kabarnya, console ditenagai APU delapan-core dengan bandwith memori 320GB per detik, serta menyimpan performa grafis sebesar 6-teraflop demi menyajikan video game di resolusi native ultra high-definition. Scorpio juga sempat disebut-sebut sebagai console terkuat yang pernah dibuat.

Berdasarkan laporan staf Digital Foundry Rich Leadbetter dari kunjungannya ke kampus Redmond, tampaknya klaim Microsoft tersebut bukanlah janji kosong semata. Pemaparannya mengenai spesifikasi menunjukkan kesanggupan Scorpio buat menghidangkan 6-teraflop, namun ia masih dilarang untuk membeberkan rincian lainnya, termasuk harga. Simak spesifikasi lengkapnya di bawah:

  • CPU delapan-core custom x86, masing-masing berkecepatan 2,3GHz.
  • GPU 40 compute unit custom berkecepatan 1172MHz.
  • RAM GDDR5 sebesar 12GB dengan bandwith memori 326GB per detik.
  • Penyimpanan berbasis hard drive 2,5-inci berkapasitas 1TB.
  • Optical disc drive UHD Blu-ray.
  • Unit power supply terintegrasi.
  • Opsi input/output-nya seperti Xbox One S. Ada HDMI in dan out, dua port USB 3.0, S/PDIF, networking dan lock port.

Dari pengakuan Leadbetter, performa hardware Scorpio sangat luar biasa. Console ini sanggup menjalankan demo Forza Motorsport 6 di resolusi 4K dengan setting grafis setara Xbox One di 60 frame rate per detik. Forza Motorsport 6 ialah salah satu permainan yang paling menuntut kinerja hardware, dan berdasarkan acuan ini, Scorpio tak akan kesulitan menyuguhkan permainan lain di 60fps.

Banyak orang mengharapkan agar Scorpio mengusung teknolog CPU next-gen, namun Microsoft masih mempertahankan arsitektur lama agar console tetap kompatibel dengan software-software Xbox One yang sudah ada.

Sebagai rangkuman: prosesor Scorpio 30 persen lebih cepat dari pendahulunya, lalu kartu grafisnya 4,6 kali lebih bertenaga dari Xbox One. Komponennya dirancang untuk menyalurkan aset-aset game berkualitas tinggi lebih cepat, sangat membantu buat menyuguhkan konten 4K.

Kabarnya, desain Project Scorpio akan mengejutkan Anda, tapi tentu saja harganya tidak murah – boleh jadi di rentang US$ 500-650. Scorpio sudah mulai dipajang di Microsoft Store sejak bulan Maret 2017 kemarin.

Sumber tambahan: Eurogamer.

Apakah Rise of the Tomb Raider di PlayStation 4 Lebih Baik dari Versi PC dan Xbox One?

Upaya Square Enix dalam menyegarkan kembali petualangan Lara Croft terbilang sukses. Reboot Tomb Raider di tahun 2013 terjual lebih dari satu juta kopi hanya dalam 48 jam, mendorong publisher serta developer Crystal Dynamics menggarap penerusnya, Rise of the Tomb Raider. Setelah dirilis di Xbox One hampir setahun silam, game akhirnya tiba di console current-gen Sony.

Demi memuaskan gamer PlayStation 4 yang telah lama menanti kehadiran Rise of the Tomb Raider, developer membundel permainan dengan beragam bonus. Versi PS4 ini merupakan edisi ulang tahun Tomb Raider ke-20, menyajikan level baru di dalam Croft Manor, mode nightmare dan endurance (mode survival multiplayer co-op) serta dukungan kompatibilitas PlayStation VR.

Rise of the Tomb Raider PS4 2

Meski begitu, melimpahnya konten memang belum menjawab satu pertanyaan besar: seperti apa performa Rise of the Tomb Raider di PlayStation 4? Apakah game tampil lebih baik dari versi Xbox One? Lalu bagaimana jika dikomparasi ke versi PC? Tim Digital Foudry Eurogamer mencoba memberikan jawabannya melalui video perbandingan dan analisis grafis mendetail.

Kabar gembira bagi fans, Rise of the Tomb Raider di PlayStation 4 memang menyuguhkan keunggulan grafis dibanding Xbox One. Gap-nya memang tidak banyak, tapi bisa jadi kebanggaan gamer PS4: walaupun keduanya berjalan di resolusi 1080p, hanya versi PlayStation 4 saja yang mampu menjaga jumlah pixel saat cutscene. Di console Microsoft itu, resolusi cutscene diturunkan ke 1440×1080.

Fokus Nixxes Software, yaitu tim yang bertanggung jawab mem-porting Rise of the Tomb Raider ke PC dan PS4, ialah penyempurnaan pada performa. Mereka menghilangkan efek motion blur demi memastikan tidak adanya penurunan frame rate di area-area bergrafis berat – contohnya seperti Geothermal Valley yang cukup membebani Xbox One. Masalah ini sendiri sebetulnya sudah tidak lagi muncul di Xbox One S.

Rise of the Tomb Raider PS4 1

Namun tak sulit ditebak, versi PlayStation 4 belum mampu menyusul superioritas game di PC. Digital Foundry menemukan bahwa Nixxes belum memaksimalkan kapabilitas hardware PS4. Rise of the Tomb Raider baru ini masih menggunakan solusi anti-aliasing serupa Xbox One, tidak ada update pada teknologi filtering, lalu level detail di tekstur masih sama. Frame rate per detik juga dikunci di 30 untuk memastikan permainan tersaji stabil.

Tapi terlepas dari apapun platform pilihan Anda, Rise of the Tomb Raider tetap merupakan game petualangan yang tidak boleh dilewatkan – wajib main jika Anda sama sekali belum sempat menikmatinya.

Bagaimana Cara PlayStation 4 Pro, Console Seharga US$ 400, Sajikan Game di Resolusi 4K?

Tema 4K gaming lahir karena keinginan sebagian kecil gamer untuk menikmati permainan di resolusi super-tinggi, dan kini ia berubah menjadi standar hiburan next-gen. 4K juga merupakan salah satu faktor pemicu refresh hardware di era console generasi kedelapan. Tapi mendekati pelepasan PlayStation 4 Pro, informasi yang diungkap Sony mengenainya masih terbilang minim.

Beragam demo game, dari mulai Days Gone sampai Horizon: Zero Dawn, yang Sony pamerkan di PlayStation Meeting memberikan alasan kuat mengapa fans tampak bersemangat menyongsong kehadiran PS4 Pro. Faktor andalan lain ialah harganya. Jarak antara ‘New’ PlayStation 4 dan Pro cukup dekat, versi high-end tersebut dibanderol US$ 400, setara dengan harga PlayStation 4 di awal perilisannya. Tapi bagaimana sebetulnya cara console US$ 400 itu menangani 4K gaming?

Tim Digital Foundry Eurogamer memberikan penjabaran lengkap di artikel mereka. Terlepas dari janji Sony (dan tentu saja Microsoft lewat Project Scorpio) soal kapabilitas sistem menyentuh resolusi 4K, mereka belum menyampaikan apakah hardware sanggup menyajikan 60 frame rate per detik atau tidak. PS4 Pro dan rivalnya dibatasi oleh satu hal serupa, yaitu sedikitnya pilihan CPU berteknologi x86.

Menurut analisis Digital Foundry, seluruh konten 4K yang diperlihatkan di PlayStation Meeting merupakan hasil dari upgrade resolusi 1080p dan tidak berjalan di native 4K. Pendekatan Sony buat PS4 Pro adalah memperlakukan ultra-high-definition sebagai ‘kanvas’ buat gameplay di resolusi lebih tinggi, bukannya memproses pixel tiap saat ala proses standar. Caranya ialah meng-ekstrapolasi struktur 2×2-pixel menjadi 4×4-pixel menggunakan hardware build-in di GPU PS4 Pro.

Teknik ini biasa dikenal dengan istilah upscaling, dan kualitasnya tergantung dari permainannya. Tapi dengan bermain di televisi ruang keluarga, Digital Foundry cukup yakin 4K upscale terlihat mirip resolusi native UHD. Dan kabar gembiranya lagi, developer tidak perlu mengeluarkan modal lebih banyak. Tentu saja upscale menyisakan satu pertanyaan: seberapa efektif hardware anyar tersebut mengerjakan tugasnya? Dan hal ini jadi tantangan besar buat Sony.

Digital Foundry hampir tidak menemukan masalah dalam Horizon dan Days Gone, namun melihat sedikit artefak pada Call of Duty: Infinite Warfare, serta keterbatasaan PS4 Pro saat menjalankan Infamous First Light dan demo Uncharted 4. Mungkin Anda juga sudah melihat komparasi Rise of the Tomb Raider di PS4 Pro dan PC, di mana kurangnya memori menyebabkan console tidak bisa menyuguhkan tekstur super-tinggi.

Terlepas dari kekurangannya itu, PS4 Pro tetap merupakan medium 4K gaming menarik, apalagi ia dijajakan di harga sangat atraktif. Saat ini telah tersedia banyak pilihan layar 23- sampai 27-inci di pasar, dan dengan ukuran yang lebih kecil, artefak jadi lebih sulit terlihat.

PS4 Pro rencananya akan dirilis pada tanggal 10 November 2016.

Apakah PlayStation 4 Pro Merupakan Console Pamungkas Sony yang Kita Tunggu-Tunggu?

Meski eksistensinya hampir bisa dipastikan setelah jadi bahan spekulasi penghuni internet sejak bulan April, kemampuan Sony untuk menahan diri dan tidak banyak memberi bocoran mengenai PlayStation 4 Pro patut dipuji. Produk akhirnya disingkap resmi di PlayStation Meeting minggu lalu, dan ketika ia dirilis November besok, Pro akan menjadi console tercanggih di pasar saat ini.

Pengumuman PlayStation 4 Pro menyingkirkan segala mitos mengenai Neo yang sempat berseliweran. Hardware lebih mumpuni memang memungkinkannya menyajikan visual dan frame rate lebih baik, serta tentu saja, kapabilitas menangani PlayStation VR secara lebih optimal. Namun Pro bukanlah console spesialis 4K gaming yang sebagian orang harapkan, TweakTown bahkan melihat sebuah kelemahan.

Di artikelnya, TweakTown menyampaikan bahwa hardware PlayStation 4 Pro yang mulai ‘usang’ dapat menyebabkan masalah bottleneck. Tunggu dulu, apa benar begitu? Perlu Anda ketahui, Pro merupakan console pertama bersenjata mikroarsitektur terbaru besutan AMD, Polaris. Sistem dibekali GPU 4,2-TFLOP, hampir menyamai kemampuan Radeon RX 470, sanggup meng-upscale permainan ke 4K dengan resolusi native di 1080p 60fps.

Sayangnya ada kendala pada komponen lainnya. PlayStation 4 Pro diketahui masih menggunakan chip AMD Jaguar yang ada di PlayStation 4 standar, dengan memori sistem GDDR5 8GB serupa. Sony memang sudah meng-overclock kecepatan Jaguar dari 1,6GHz ke 2,1Ghz, kemudian meningkatkan bandwith RAM GDDR5 di sana; namun sejatinya, komponen tetaplah sama, tanpa ada upgrade besar pada CPU dan kecepatan RAM.

Hardware yang mulai menua itu berpotensi memberi masalah buat developer. Mengapa? Dengan begini, para desainer game harus mengorbankan sejumlah fitur ketika mereka ingin menyuguhkan kemampuan upscale ke 4K serta menjalankan permainan di native 1080p 60fps. Boleh jadi efek-efek visual seperti pencahayaan, bayangan, dan partikel tidak terhidang maksimal.

Buktinya sudah ada dan Anda bisa melihatnya langsung. Tim Digital Foundry Eurogamer yang sudah lebih dulu menjajalnya menjelaskan bahwa PlayStation 4 Pro sedikit kesulitan menjalankan Rise of the Tomb Raider di resolusi full-HD serta 60 frame rate per detik secara konsisten karena bottleneck, dan menyebutnya sebagai kelemahan fundamental. Meskipun developer diberi akses ke RAM tambahan sebesar 512GB, hal ini masuk belum cukup mengakomodasi tekstur ultra-HD.

Anda dapat menyimak komparasi Rise of the Tomb Raider versi PC dengan PS4 Pro persembahan Digital Foundry di bawah. Mengapa varian console masih belum mampu menyamai komputer? Itu karena versi Pro mempunyai aset yang sama seperti milik Xbox One – hanya setara setting high di PC, bukan very high.

Lalu kenapa Sony terburu-buru melepas PS4 Pro? Alasannya cukup sederhana, dengan meluncurkannya lebih dulu, mereka berkesempatan menjual device lebih banyak dari Project Scorpio.

Rangkuman Review Xbox One S, Apakah Versi Slim Console Current-Gen Microsoft Ini Layak Anda Miliki?

Gelombang pertama versi mungil console current-gen Microsoft yang diberi nama Xbox One S akhirnya meluncur kurang dari dua bulan setelah ia resmi diperkenalkan, tepatnya di tanggal 2 Agustus kemarin. Sejumlah website teknologi dan gaming ternama sudah menguji sistem game anyar itu secara intensif dan mempublikasi ulasannya beberapa jam lalu.

Apakah Xbox One S layak dimiliki, dan haruskah gamer Xbox beralih ke varian anyar itu? Ayo simak tanggapan para reviewer:

Menurut Gamespot, kehadiran Project Scorpio di tahun depan menyebabkan Xbox One S berada di posisi yang janggal. Mereka mempertanyakan, untuk siapa sebenarnya sistem ini ditujukan? Jika sudah mempunyai versi terdahulu, reviewer beropini bahwa One S tidak menawarkan banyak perbedaan, kecuali Anda benar-benar menginginkan sistem game berfitur HDR dan video 4K sekarang juga.

Di ulasan singkatnya, Ryan McCaffrey dari IGN bilang bahwa sebagai pemilik Xbox One, ia lebih baik menghemat uang dan menunggu Scorpio. Pada dasarnya, Xbox One S tak memberi banyak manfaat seandainya Anda tidak mempunyai TV 4K HDR. Meski demikian, IGN memuji Microsoft karena kehadiran Xbox One S artinya memberikan lebih banyak pilihan bagi konsumen, serta membuat Xbox One tipe standar turun harga.

Tim Digital Foundry Eurogamer merasa fitur video 4K Xbox One S kurang dikembangkan secara sempurna, kemudian performa GPU-nya belum mampu memberikan perbedaan signifikan buat meningkatkan pengalaman bermain. Namun mereka mengapresiasi Microsoft karena Xbox One S menyuguhkan segala permintaan fans, satu contohnya ialah desain yang lebih kecil dan lebih baik. Eurogamer mengakui, Xbox One S merupakan sebuah lompatan penting dari varian standar.

Dibanding media lain, pandangan Engadget sangat menarik. Di judul ulasan, mereka menekankan: Xbox One S ialah penerus sejati Xbox 360. Tapi bagian konsklusi terasa senada dengan IGN dan Gamespot: Xbox One S tidak wajib dimiliki kecuali Anda mempunyai TV high-end. Satu-satunya keunggulan versi slim ini adalah ruang penyimpanan yang lebih luas, namun bukan alasan kuat karena Anda sebetulnya bisa meng-upgrade kapasitas storage Xbox One standar.

Tech Radar sendiri memberikan Xbox One S skor tinggi, 4,5 dari 5 bintang. Bagi mereka, Xbox One S menetapkan sebuah tingkatan baru dalam pengembangan console, yang seharusnya Microsoft lakukan tiga tahun lalu. Xbox One S lebih anggun, lebih murah (dibanding varian bundel Kinect 2.0), dan lebih bertenaga dari sang pendahulu. Tak hanya sempurna bagi konsumen yang ingin mulai menikmati game Xbox, Tech Radar menilai, upgrade dari Xbox One ke Xbox One S merupakan langkah pintar.

Meski tampaknya bukan sebuah produk ‘esensial’, respons media terhadap Microsoft Xbox One S terbilang cukup positif.

Nintendo NX Sanggup Menjalankan Permainan-Permainan Wii dan GameCube?

Walaupun Nintendo memilih untuk tidak berkomentar, bocoran info yang beredar belum lama memberikan kita gambaran ke arah mana sang perusahaan gaming Jepang itu mengembangkan NX. Salah satu di antara rumor itu menyatakan bahwa NX akan ditenagai chip Nvidia Tegra X1, membuat kapabilitas backward compatibility platform tersebut jadi dipertanyakan.

Backward compatibility telah menjadi aspek andalan sistem game Nintendo sejak era Game Boy Color sampai Wii U. Problemnya, arsitektur Nvidia Tegra berbeda dari tiga console terdahulu yang mengusung IBM PowerPC, dan tampaknya NX difokuskan pada faktor portabilitas. Apakah Nintendo berkenan merelakan fitur kebanggaan itu demi sebuah console berkonsep baru? Menurut analisis Digital Foundry, backward compatibility tetap bisa disajikan.

Lewat tes yang dilangsungkan Digital Foundry, ada peluang SoC perangkat bergerak Nvidia tersebut tidak kesulitan menjalankan game-game di platform lawas melalui teknologi Virtual Console. Menurut mereka, sistem emulasi merupakan satu-satunya cara bagi NX buat menghidangkan backward compatibility, dan Tegra X1 (atau kemungkinan X2 berbasis Pascal) mampu menanganinya.

Digital Foundry mendemonstrasikan kesanggupan Tegra dengan berbekal emulator (tidak resmi) Dolphin yang dijalankan di Nvidia Shield TV. Mereka menguji sejumlah permainan-permainan terbaik di Nintendo Wii dan GameCube, dan terkesan pada performa Tegra – apalagi umumnya game tidak optimal saat dijalankan di emulator. Memang tidak ada jaminan Nintendo mengusung teknik ini, tapi melihat kemampuannya, mengapa tidak?

Di eksperimen tersebut, Digital Foundry melakukan tes pada Super Mario Sunshine. Di resolusi native serta upscale ke 1080p, permainan berjalan cukup stabil di 30 frame rate per detik, sesekali mengalami penurunan ke satu atau 10fps. Mario Kart: Double Dash sendiri kurang mulus, frame rate anjok dari 60 ke 30 saat di-upscale ke full-HD, belum lagi adanya slowdown. Digital Foundry berpendapat, masalah ini disebabkan oleh bottleneck di sisi GPU.

Jika Nintendo memilih metode emulasi, maka sudah pasti fitur Virtual Console untuk NX akan difokuskan buat mengoptimalkan performa Tegra dan didesain agar NX lebih mengerti cara kerja console tempat permainan tersebut berasal.

Saya sendiri ragu Nintendo berkenan mengorbankan backward compatibility, namun saya juga penasaran sejauh apa produsen mau berinovasi demi memegang janji menggarap console dengan ‘brand new concept‘, apalagi NX tidak diciptakan untuk menggantikan 3DS maupun Wii U.

Berdasarkan informasi sebelumnya, Nintendo berencana meluncurkan NX di bulan Maret 2017.

Sumber: Eurogamer.