Telkomsel Perkenalkan Layanan Seluler berbasis Aplikasi “by.U” sebagai Upaya Bertransformasi Digital

Telkomsel resmi memperkenalkan produk terbarunya “by.U” yang diklaim sebagai layanan seluler berbasis digital pertama di Indonesia. Disebut digital karena seluruh aktivitas pembelian hingga pemakaian sepenuhnya dilakukan melalui aplikasi.

Layanan prabayar by.U membidik generasi Z yang saat ini dianggap sudah melek digital alias digital savvy. Segmen tersebut umumnya sangat mengandalkan smartphone dalam menjalankan aktivitas.

Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini mengungkapkan bahwa peluncuran by.U merupakan salah satu upaya perusahaan untuk bertransformasi di era digital. Ini menjadi gebrakan inovasi Telkomsel di industri seluler yang selama ini perkembangannya mulai stagnan.

Maka itu, ungkap Emma, layanan by.U sengaja dibuat untuk membidik segmen pasar yang tidak bisa tercapai dengan produk-produk yang sudah ada, yakni simPATI, AS, dan Loop. Pasalnya, belum seluruhnya masyarakat Indonesia dan pelanggan Telkomsel sudah melek digital.

“Telkomsel sudah 24 tahun berdiri dan sudah dipandang sebagai brand lama. Makanya kami launch by.U untuk merangkul generasi muda yang mana secara ekosistem sudah siap. Jadi produk ini tidak akan menganibalisasi produk existing kami yang sudah kuat posisinya,” papar Emma di acara peluncuran by.U di Jakarta, Kamis (11/10/2019).

Layanan seluler serba digital

“Gen Z itu tidak mau diatur produknya, mereka tidak product-driven. Berbeda dengan selama ini produk-produk yang sudah ada di-drive oleh operator. Nah, by.U ini bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna,” papar Emma.

DailySocial sempat menyaksikan rekan mendaftar sebagai pelanggan by.U. Diawali sign up dengan akun Google atau Facebook, pemilihan nomor, pengiriman starter pack, pembayaran, hingga registrasi kartu seluruhnya dilakukan via aplikasi. Pengalamannya sangat seamless dengan User Interface (UI) yang simple.

Metode pembayaran yang tersedia di aplikasi by.U
Metode pembayaran yang tersedia di aplikasi by.U

Perlu diketahui, lewat aplikasi ini, kita dapat memilih nomor sendiri. Kartu SIM dapat dikirim ke rumah atau diambil sendiri. Metode pembayarannya bisa melalui LinkAja, GoPay, Virtual Account, serta kartu kredit/debit. Untuk registrasi, pengguna tinggal scan KTP atau KK saja.

Uniknya, pengguna by.U tak hanya bisa memilih nomor sendiri, tetapi juga paket kuota (disebut topping) yang akan dibeli berdasarkan aplikasi yang digunakan. Misalnya, topping Instagram 3GB/30 hari seharga Rp12.500 atau WhatsApp 2GB/30 hari seharga Rp8.500.

Demi meniadakan keterlibatan manusia, Telkomsel juga mengembangkan chatbot sendiri bernama Nindy yang dapat diakses sendiri di dalam aplikasi. Chatbot ini akan menggantikan peran customer service.

Saat ini by.U baru diluncurkan di beberapa wilayah di Pulau Jawa, seperti Depok, Sukabumi, Cianjur, dan Bogor. Ketersediaan by.U akan menyusul di seluruh wilayah Indonesia yang ekosistem digitalnya sudah kuat. Aplikasinya juga akan tersedia untuk publik di Android dalam waktu dekat.

Sebagaimana disampaikan di awal, kehadiran by.U menjadi salah satu strategi utama Telkomsel dalam melakukan transformasi digital. Emma mengungkap bahwa by.U dikembangkan secara agile dengan membentuk tim dan divisi tersendiri di Telkomsel.

Bahkan sebelum layanan ini resmi diperkenalkan, by.U sudah lebih dulu melalui uji coba pasar dengan menggunakan nama “hup” untuk versi beta.

Pada kesempatan sama, Tribe Leader Smart Attacker Telkomsel Trio Y G Lumbantoruan menambahkan bahwa pengembangan by.U akan terus dilakukan. “Ya seperti MVP, perlahan-lahan fiturnya akan ditambahkan sesuai dengan kebutuhan pasar.”

QRIM Express Strategy in the E-commerce Era, Making Transformation Using Technology

Recently, the logistics industry has significantly risen up due to the “blast” of the e-commerce industry. Logistics companies strive to build up in order to provide excellent service for the community. QRIM Express is one of them. The company, formerly known as Red Carpet Logistics (RCL), is working to improve services through a technology-based approach.

QRIM Express is a logistics company owned by Sumitomo and Lippo Group. With the new identity, they are committed to providing national logistics with and real-time tracking systems. Accessible, Reliable and Convenience become their leading vision.

“Business transformation is one of the strategic steps taken by the company in order to optimize the business amid the fresh air of economic growth and the national logistics business,” QRIM Express’ CEO, Abdul Rahim Tahir said.

To date, QRIM Express has 54 hubs around Java, Sumatra, Kalimantan, Bali, and Sulawesi. They have no less than 515 vehicles and 423 couriers. The truck and motorcycle are targeted to reach 3000 units in the next few years.

“In addition, we also managed to reach more than 1.3 trillion Rupiah in revenue. In the first two quarters of 2019, QRIM Express shows up as the top player with profitable revenue growth. At QRIM, we believe to develop an end-to-end full containment model to ensure consistent and on-time deliveries,” he added.

The company is getting ready for the grand launch, it’s to be held in September 2019. The event will also introduce QRIM Express automation solutions, bringing the concept of techno-based delivery service.

QRIM Express’ CSO, Tetsushi Kuroda explained, their mission is to provide delivery services and payment platforms in its contribution to the local community development and to become a leading logistics provider that for solution-based express delivery services. This year, they will collaborate with BTPN, Ovo, True Money, and Grab Indonesia for their users to have easy access.

“We have a commitment to make business transformation by developing our C2C or retail segment. Currently, we have been competing in the B2B segment for over 60 percent, and B2C around 20 percent. Why? It is to enter the retail segment due to its rapid growth, reaching up to 37 percent per year. In our observation through the market approach, C2C in Indonesia’s logistics business has reached 80 percent, we are targeting to get 10-20 percent of the total market,” the CEO explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Strategi QRIM Express di Era E-commerce, Lakukan Transformasi dengan Teknologi

Industri logistik beberapa tahun terakhir turut terdongkrak signifikan akibat “meledaknya” industri e-commerce. Perusahaan logistik kemudian berlomba-lomba memperbaiki diri demi menyediakan layanan prima bagi masyarakat. QRIM Express salah satunya. Perusahaan yang dulu dikenal dengan nama Red Carpet Logistic (RCL) ini tengah berupaya meningkatkan pelayanan melalui pendekatan berbasis teknologi.

QRIM Express merupakan perusahaan logistik miliki Sumitomo dan Lippo Group. Dengan identitas barunya, mereka berkomitmen untuk menyediakan solusi logistik dengan cakupan jaringan nasional dan sistem pelacakan real time. Accessible, Reliable dan Convenience adalah visi yang coba dikedepankan.

“Transformasi bisnis adalah salah satu langkah strategis yang diambil perusahaan dalam rangka mengoptimalkan bisnis di tengah hawa segar pertumbuhan ekonomi dan bisnis logistik nasional,” terang CEO QRIM Express Abdul Rahim Tahir.

Sejauh ini QRIM Express sudah memiliki 54 hub yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Mereka tak kurang memiliki 515 kendaraan dan 423 kurir. Ditargetkan unit truk dan sepeda motor akan terus mencapai 3000 unit dalam beberapa tahun ke depan.

“Di samping itu kami juga berhasil mencapai pendapatan lebih dari 1,3 triliun Rupiah. Pada dua kuartal pertama tahun 2019, QRIM Express menunjukkan sebagai pemain teratas dengan pertumbuhan pendapatan yang menguntungkan. Di QRIM, kami percaya dalam mengembangkan model penahanan penuh dari ujung ke ujung untuk memastikan bahwa kami memberikan pengiriman yang konsisten dan tepat waktu,” imbuh Abdul.

Perusahaan juga sedang  mempersiapkan grand launching, rencananya diadakan bulan September 2019 mendatang. Acara tersebut nantinya juga akan memperkenalkan solusi automasi QRIM Express, mengusung konsep techno-based delivery service.

Dijelaskan CSO QRIM Express Tetsushi Kuroda, misi yang mereka emban adalah menyediakan jasa delivery dan platform pembayaran untuk berkontribusi bagi pembangunan masyarakat lokal dan menjadi penyedia logistik terkemuka yang menyediakan layanan pengiriman ekspres berbasis solusi. Tahun ini untuk memudahkan pengguna mereka akan berkolaborasi dengan BTPN, Ovo, True Money, dan Grab Indonesia.

“Kami berkomitmen melakukan transformasi bisnis signifikan dengan memperkuat segmen C2C atau ritel. Selama ini kami banyak bermain di segmen B2B lebih dari 60 persen, lalu B2C sekitar 20 persen. Alasan kami untuk masuk ke segmen ritel karena pertumbuhannya pesat, yakni hingga 37 persen per tahun. Kalau dilihat dari sisi market, C2C di bisnis logistik Indonesia mencapai 80 persen, kami menargetkan bisa mendapat kue 10-20 persen dari total market itu,” terang Abdul lebih jauh.

Nasib Buruh di Era Digital

Memasuki tahun 2019, total populasi penduduk dunia sudah mencapai lebih dari 7,6 miliar orang.  5,1 miliar di antaranya adalah pengguna perangkat mobile, sementara 4,4 miliar di antaranya sudah terhubung ke internet. Statistik ini menjadi penting, pasalnya pengguna mobile dan internet tengah membentuk era baru yang disebut dengan ekonomi digital.

Suksesi tersebut bukan tanpa dampak. Banyak penelitian mulai memproyeksikan plus minusnya. Salah satunya laporan yang dirilis World Economic Forum bertajuk masa depan pekerjaan di era digital — bagaimana kecerdasan buatan (artificial intelligence) membentuk porsi kebutuhan tenaga kerja. Ada beberapa jenis pekerjaan yang makin dibutuhkan, sementara beberapa pekerjaan lain mulai tak lagi dibutuhkan.

Slide1

Negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, atau India mulai menyiasati dengan meningkatkan kompetensi kecerdasan buatan. Tujuan tentu agar tetap mampu berada di barisan terdepan persaingan global.

Disrupsi teknologi

Walt Disney didirikan pada tahun 1923. Per tahun 2018 lalu, mereka sudah mempekerjakan sekitar 199 ribu pegawai dan menghasilkan kapitalisasi pasar senilai $245 miliar. Di sisi lain, Facebook mulai hadir pada tahun 2004. Tahun 2018 total karyawan yang dimiliki mencapai 35 ribu orang dan menghasilkan kapitalisasi pasar setara $551 miliar. Kedua perusahaan sama-sama bergerak sektor di media, dengan pendekatan pasar yang berbeda.

Masih banyak perbandingan lain yang bisa disandingkan untuk menunjukkan bagaimana pendekatan berbasis teknologi mampu menghadirkan potensi pasar yang lebih besar dengan cara yang cenderung lebih cepat. Dari situ istilah disrupsi mulai banyak digembor-gemborkan.

Disrupsi adalah sebuah indikasi saat teknologi mulai mengubah proses bisnis secara menyeluruh dan menghadirkan cara-cara baru yang lebih efisien, personal, dan terukur.

Sejak tahun 2015, istilah disrupsi juga sudah menjadi perbincangan para eksekutif di dunia. Dalam sebuah penelitian ditunjukkan mengenai sektor apa saja yang mulai rentan terhadap disrupsi. Di sisi lain, ditunjukkan pula sektor-sektor yang sudah mengantisipasi dan siap menghadapinya. Pada praktiknya, transformasi bukan hanya sekadar menerapkan aplikasi digital, namun juga mengubah kultur bisnis.

Slide2

Hipotesisnya, semua sektor akan terdisrupsi teknologi. Startup digital diyakini menjadi salah satu katalisator utamanya. Pertanyaannya, seberapa siap komponen industri, termasuk di dalamnya pengusaha, proses bisnis, dan pekerja, menghadapi tantangan tersebut?

Indonesia dalam revolusi industri

Kementerian ESDM telah mencanangkan poin-poin yang menjadi fokus pemerintah dalam menyambut revolusi industri 4.0. Di antaranya energi terbarukan untuk kelistrikan, bangunan dan transportasi; kendaraan listrik; dan transaksi online. Beberapa realisasinya sudah terlihat, salah satunya dalam sinergi BUMN untuk menghadirkan platform e-money terintegrasi LinkAja. Termasuk kendaraan listrik yang sudah mulai digenjot inovasinya oleh kalangan industri dan akademisi.

Untuk merealisasikan misi tersebut, dibutuhkan kesiapan di banyak hal. Salah satu yang sekarang menjadi isu adalah mengenai sumber daya manusia dengan kompetensi teknologi yang memadai. Keluhan ini hampir dirasakan oleh seluruh industri yang tengah bergerak ke arah digital. Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menyebutkan, di lanskap e-commerce saja saat ini kebutuhan engineer mencapai ratusan ribu orang dan baru terpenuhi sekitar 60%. Rata-rata perusahaan seperti e-commerce memiliki porsi pegawai 50-60% dari kalangan engineer.

Dari perspektif industri jawabannya sudah sangat lugas. Mereka sangat haus dengan talenta di bidang teknologi. Lantas bagaimana sektor akademik berpendapat tentang fenomena itu? Beberapa waktu yang lalu DailySocial pernah melakukan wawancara dengan beberapa dosen dari universitas yang menghasilkan lulusan di bidang teknologi. Salah satunya Romi Satrio Wahono, dosen di beberapa universitas TI di Indonesia dan Founder Brainmatics. Ia berpendapat mahasiswa harus diajak untuk menjadi proaktif.

Kurikulum yang dikembangkan universitas dapat menjadi pendorong untuk mengajak para mahasiswa dapat terhubung dengan praktisi, komunitas, atau bahan ajar yang terbuka di internet.

Automasi dan masa depan industri

Saya masih ingat cerita startup e-commerce Sale Stock (kini Sorabel) di tahun 2016. Mereka dikabarkan melakukan layoff terhadap lebih dari 200 karyawan. Salah satu penyebabnya: perusahaan mulai mengganti layanan pelanggan (customer services) dengan sistem berbasis chatbot. Dengan teknologi seperti machine learning dan natural language processing, sebuah mesin robot dapat didesain untuk mampu memahami dan menjawab pesan yang dikirimkan oleh pelanggan.

Jika berbicara tentang penerapan teknologi robotika atau IoT, bukan tidak mungkin jika pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan dengan tangan manusia akan digantikan perannya. Jika ditanya siapa korban-korban automasi, manusia (pekerja/buruh) bisa saja menjadi salah satunya.

Sebagai praktisi pengembang teknologi, CEO dan CTO GDP Labs On Lee berpendapat, secara umum digitalisasi memiliki lebih banyak dampak positif untuk menunjang kehidupan dan pekerjaan. Semuanya bertumbuh secara alami layaknya perkembangan yang pernah dirasakan sebelumnya.

“Terobosan dalam kecerdasan buatan mengikuti pola yang mirip dengan penetrasi PC, internet, evolusi ponsel pintar, dan lain-lain; semua dimulai dari tujuan khusus, akhirnya menjadi komoditas yang lebih umum. Khusus untuk kecerdasan buatan, penerapannya telah membuat dampak signifikan di beberapa area, seperti kesehatan, permainan, fintech, pemasaran, media, perdagangan dan lainnya selama 10 tahun terakhir.”

Ia juga memaparkan, “digitalisasi yang ideal dapat meningkatkan taraf kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan mesin seperti layaknya sistem transportasi.”

Untuk mencapai titik ideal tersebut, tidak ada cara lain selain harus mempelajari teknologi baru secara kontinu, sehingga bisa memahami, menghargai, dan memanfaatkan untuk melahirkan solusi. Perusahaan perlu berinvestasi pada karyawan dengan memberikan pelatihan. Termasuk pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang memungkinkan teknologi baru untuk dielaborasikan di banyak sektor.

Penyelarasan revolusi industri 4.0

Di sektor lain, perbankan misalnya, digitalisasi juga mulai memberikan dampak nyata. Menurut pemaparan Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Sukarela Batunanggar, pergeseran minat konsumen ke digital banking membuat kurang lebih 1000 cabang bank tutup dalam tiga tahun terakhir. Jumlah kantor cabang bank mengalami penurunan 3%. Tutupnya cabang bank artinya mengurangi jumlah karyawan yang perlu dialokasikan, sementara menurunnya pertumbuhan cabang bank mengurangi potensi penyerapan tenaga kerja.

Tren seperti ini dipastikan akan terus berlanjut di lintas sektor. Sebelum menghasilkan kesenjangan lebih masif, mdiperlukan strategi penyelarasan antara perkembangan digital dengan kapabilitas sumber daya manusia. Secara prinsip, ketika ada jenis pekerjaan yang mulai menghilang, akan ada pekerjaan baru yang muncul. Sebagai contoh, berbicara 10-15 tahun lalu, belum marak pekerjaan seperti data scientist, AI bot trainer, UX researcher, bahkan social media manager.

Perkembangan teknologi tidak bisa direm, sehingga dari sisi penyiapan sumber daya manusianya yang harus lebih adaptif. Institusi akademik harus mampu secara cepat menyesuaikan kurikulum pengajaran sesuai dengan kebutuhan industri. Sekolah kejuruan perlu mulai mengganti konsentrasi baru dari jurusan-jurusan yang ada untuk mengimbangi transformasi digital yang terus digencarkan perusahaan.

Peran pemerintah juga menjadi sangat sentral menjadi “komposer”, yakni memastikan semua komponen turut serta dalam penyelarasan tersebut. Ketika akademisi sudah mulai berbenah, pemerintah perlu mendorong sektor industri untuk membuka peluang selebar-lebarnya untuk terjalinnya kolaborasi, guna memastikan relevansi mengenai materi-materi yang diajarkan dengan berbagai cara, mulai dari peluang magang hingga alokasi dana CSR.

Selain itu investasi dalam riset dan pengembangan perlu menjadi agenda serius. Tidak melulu soal anggaran, lebih kepada bagaimana regulasi mengatur agar semua dapat berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Pusat riset dan teknologi penting untuk dimiliki. Dampaknya memang bukan di jangka pendek, melainkan pada kesiapan dan antisipasi untuk perubahan-perubahan yang akan terjadi di masa mendatang.

Payung regulasi

Seperti layaknya kegiatan ekonomi yang sudah terjadi, ekonomi digital juga terdiri dari aspek mikro, makro, perdagangan dan finansial. Untuk memastikan adanya keseimbangan dan sinergi, maka dibutuhkan perangkat hukum yang tepat. Dari sisi ekonomi, sejauh ini pelaku ekonomi digital berkiblat pada beberapa aturan, mulai dari UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM dan Lembaga Pembiayaan.

Slide3

Di sisi teknologi, bisnis mengacu pada UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan PP 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Masih ada pekerjaan rumah di sisi regulasi, misalnya terkait aspek privasi data, kekayaan intelektual, dan perpajakan yang masih perlu banyak disesuaikan.

Di sisi ketenagakerjaan, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja tengah mempersiapkan penyempurnaan UU No 13 Tahun 2003. Dari kajian yang sudah dijalankan, salah satu fokus yang akan dirangkum adalah mengenai kompetensi dan produktivitas tenaga kerja. Salah satu realisasinya ada pada program pelatihan menyesuaikan bidang industri yang digeluti.

Tanpa peningkatan skill, mustahil seorang buruh bisa terus menerus bertahan mengerjakan pekerjaan repetitif yang memiliki potensi besar digantikan digitalisasi dan automasi di masa mendatang.

Sri Widowati is Appointed as Chief Digital Transformation at Unilever Indonesia

Today (4/5) Unilever Indonesia announces Sri Widowati as the Chief Digital Transformation and Growth Officer. Previously, Wido is known as Facebook Indonesia’s Country Director. This is quite a new position at Unilever, after 86 years of operation.

Unilever Indonesia’s President Director, Hemant Bakshi said in his speech that digital transformation is one of the main objective for Unilever to keep the business on top of the market in the future. He also said that one of the actual trends in the last few years is the consumer’s behavior and lifestyle shifting to modernization.

Chief Digital Transformation and Growth Officer will have strategic role in creating transformative, disruptive and on target strategy for any consumer’s segment. Wido is to focus in managing digital hub, consumer and market intelligence.

“Wido’s expertise for more than 20 years in marketing industry, including her big role in the digital industry in the last few years should bring more innovation for Unilever Indonesia. I am optimistic that Wido is the perfect portrait to lead our digital transformation,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sri Widowati Ditunjuk Jadi Chief Digital Transformation di Unilever Indonesia

Hari ini (05/4) Unilever Indonesia mengumumkan penunjukkan Sri Widowati sebagai Chief Digital Transformation and Growth Officer. Sebelumnya Wido dikenal sebagai Country Director Facebook Indonesia. Jabatan yang diduduki Wido ini juga baru ada tahun ini, setelah Unilever beroperasi selama 86 tahun di Indonesia.

Dalam sambutannya Presiden Direktur Unilever Indonesia Hemant Bakshi menyampaikan bahwa transformasi digital merupakan salah satu agenda utama Unilever untuk mempertahankan keunggulan bisnis agar tetap menang di masa mendatang. Ia juga mengungkapkan salah satu tren yang paling nyata dalam beberapa tahun terakhir adalah pergeseran perilaku dan gaya hidup konsumen yang semakin modern.

Chief Digital Transformation and Growth Officer akan memiliki peran strategis dalam menciptakan strategi yang transformatif, disruptif dan tepat sasaran bagi setiap segmen konsumen. Wido juga akan fokus pada pengelolaan digital hub, consumer and market intelligence.

“Pengalaman Wido selama lebih dari 20 tahun di dunia marketing, ditambah peran pentingnya di industri digital beberapa tahun belakangan ini tentu dapat membawa inovasi bagi Unilever Indonesia. Saya optimis bahwa Wido merupakan sosok yang tepat untuk memimpin perjalanan transformasi digital kami,” sambut Hemant.

Kiat Fore Coffee Optimalkan Bisnis Melalui Teknologi

Fore Coffee merupakan startup kopi binaan East Ventures. Belum lama ini mereka mendapatkan pendanaan lanjutan senilai 118 Miliar Rupiah dari sejumlah investor, termasuk East Ventures, SMDV dan lain-lain. Hal menarik dari startup ini ialah konsep bisnis yang dihadirkan, yakni dengan memanfaatkan kapabilitas teknologi secara menyeluruh dalam operasionalnya.

Dalam sebuah kesempatan, Co-Founder & Deputi CEO Fore Coffee Elisa Suteja menceritakan tentang kiatnya mengelola bisnis. Usaha ritelnya mencoba menerapkan transformasi digital secara end-to-end, mulai dari pemrosesan pesanan, pengantaran, hingga pengalaman pelanggan.

“Merbaknya aplikasi on-demand mengubah pola konsumsi pelanggan dalam cara memesan makanan dan minuman sehari-harinya,” ujar Elisa.

Fore Coffee memulai bisnisnya pada Agustus 2018, sebulan kemudian mereka meluncurkan aplikasi mobile untuk menangani pesanan di tokonya. Melalui aplikasi tersebut, konsumen bisa membeli kopi atau biji kopi.

“Orang-orang kantoran (target pasar utamanya) inginnya serba cepat, tulah mengapa kami memutuskan untuk meluncurkan aplikasi mobile untuk menangani order yang masuk ke toko,” lanjut Elisa.

Dalam jangka waktu lima bulan, Fore Cofee telah membuka 16 gerai di Jakarta dan menjual lebih dari 100 ribu cangkir kopi per bulannya. Investasi yang baru didapatkan juga akan difokuskan untuk pengembangan mempercepat inovasi dalam memberikan pengalaman online-to-offline.

Teknologi sebagai kunci bisnis

Elisa mengatakan bahwa teknologi menjadi salah satu kunci utama dalam menjalankan bisnis saat ini, “Tidak hanya untuk delivery saja kami memanfaatkan aplikasi yang ada, tapi mulai dari pemesanan di tempat untuk memudahkan pegawai, sampai dengan urusan administrasi dan kegiatan operasional seperti stok barang dan laporan penjualan.”

Selain menggunakan aplikasi yang dikembangkan sendiri, Elisa mengaku bahwa untuk urusan operasional, ia mempercayakan bisnisnya pada penyedia jasa sistem kasir digital Moka — keduanya sama-sama startup portofolio East Ventures. Ia memanfaatkan fitur laporan penjualan ​real-time​ untuk memantu pendapatan penjualan secara lebih akurat dalam kurun waktu tertentu. Selain fitur laporan, Elisa juga memanfaatkan fitur ​ingredient inventory yang sangat membantu dari segi pergudangan.

Dengan jumlah cabang Fore Coffee yang cukup banyak, ia tentu harus melakukan pengecekan secara berkala untuk setiap tokonya. Di fitur​ inventory management, ia bisa menghitung harga dasar setiap produk dengan lebih komprehensif sehingga dapat menentukan harga jual. Dengan kata lain, fitur ini membantunya mengelola stok dan keuangan bisnisnya secara seimbang.

Selain bercerita tentang bisnisnya, Elisa juga memberikan tips untuk pemula yang ingin membangun bisnis di luar sana, “Mulai dulu dengan ide yang sudah dibangun, akan banyak hal yang kita gak tau kalau kita gak coba.”

Disclosure: Artikel ini hasil kerja sama Moka POS dan DailySocial

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Codex: An Initiative to Help Telkom Digitize Indonesia

In order to take more roles in the digitization, one of Telkom’s divisions is trying to develop some solution for more companies in general. Under the name Codex, some projects ongoing are framework and technology for Product Management System and People Management System.

To DailySocial, Hopy Familianto as Codex’s CEO and co-initiator explained that their team is trying to take roles in Indonesia’s digitization process. Started from Telkom’s demand of technology and digital services, a broader initiative was born to help other companies.

“Before rising as a form named Codex, it was come from top management initiative to help Telkom, especially the Digital Service Division, to transform into Digital Telco. I, Bramasta Dwi Saka, and Muhammad Nazri who started this project to be implemented,” he added.

Codex initiative is introduced in July 2018. There are talents in various sectors, such as designer, researcher, data scientist, and programmer. They started to develop new products expected to bring transformation in Telkom. Since September 2018, Codex is started to open for public and has developed some solution for common problems in some companies.

“In the beginning, we used a lot of existed technology in market, aiming to guarantee experience from the developing products to meet the users expectation. Our main objective is experience, then technology, following the demand,” Familianto said.

In the different occassion, Codex‘s team member, Joy Gabriel explained that they’re developing a Talent Management platform functioned as digital solution for human resource management.

“Special for this [Talent Management Platform] we didn’t develop it limited to Telkom. Instead, it’s also for general case, therefore, when being implemented in other companies, it can easily adapt,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Codex, Inisiatif yang Bercita-cita Bantu Telkom Digitalisasi Indonesia

Mencoba mengambil peran lebih banyak dalam proses digitalisasi Indonesia, salah satu divisi di dalam Telkom mencoba mengembangkan beberapa solusi untuk perusahaan yang lebih umum. Membawa nama Codex, beberapa hal yang tengah mereka kembangkan adalah framework dan teknologi untuk Product Management System dan People Management System.

Kepada DailySocial, co-initiator dan CEO Codex Hopy Familianto menjelaskan bahwa tim Codex berusaha mengambil peran dalam proses digitalisasi Indonesia. Diawali kebutuhan Telkom dalam hal teknologi dan layanan digital, lahirlah inisiatif yang lebih luas untuk membantu perusahaan-perusahaan lainnya.

“Sebelum menjadi sebuah bentuk, yaitu Codex, hal ini diawali dari inisiatif kebutuhan top management dalam membantu Telkom, khususnya Divisi Digital Service, untuk bertransformasi menjadi Digital Telco. Saya, Bramasta Dwi Saka, dan Muhammad Nazri yang memulai bentuk agar inisiatif ini bisa diimplementasikan,” terang Hopy.

Inisiatif Codex sendiri dimulai pada Juli 2018 silam. Di dalamnya terdapat talenta dari beragam bidang, seperti desainer, researcher, data scientist, dan programmer. Mereka mulai mengembangkan beberapa produk yang diharapkan mampu membawa transformasi di dalam tubuh Telkom. Sejak September 2018 Codex mulai terbuka untuk umum dan mulai mengembangkan beberapa solusi untuk permasalahan-permasalahan yang sering dijumpai di perusahaan.

“Di awal-awal kami banyak menggunakan teknologi yang sudah ada di market, dengan tujuan untuk memastikan experience dari produk yang dikembangkan sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pengguna. Fokus utama ke experience, kemudian teknologi mengikuti kebutuhan akan experience tersebut. Setelah valid, baru kami membangun platform Codex secara perlahan, sesuai dengan kebutuhan,” cerita Hopy.

Secara terpisah, anggota tim Codex Joy Gabriel menjelaskan bahwa mereka juga mengembangkan sebuah platform Talent Management yang berfungsi yang sebagai solusi digital untuk manajemen human resource.

“Khusus yang ini [Talent Management Platform] kami tidak membuatnya terbatas untuk Telkom. Jadi kami buat untuk kasus general, sehingga nantinya bila diimplementasikan di perusahaan lain juga langsung beradaptasi,” terang Joy.

PuskoMedia Rilis Panda.id, Aplikasi Terpadu untuk Administrasi Desa

Pemerintah dalam dua tahun belakang mulai menghadirkan beberapa program untuk memajukan desa. Salah satunya program domain desa.id, memungkinkan setiap desa membuat situs website. Selain untuk membuat informasi lebih transparan, digitalisasi di level desa diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pelayanan.

Tren masuknya teknologi ke desa-desa ini ditangkap dengan baik oleh PuskoMedia. Mereka menghadirkan produk Panda.id, solusi SaaS terpadu untuk berbagai kebutuhan pencatatan dan informasi layanan desa.

Panda.id merilis fitur yang cukup lengkap untuk keperluan desa, mulai dari website desa, pengelolaan data kependudukan, dan sistem surat-menyurat. Visinya untuk melakukan transformasi digital di lingkup pemerintahan desa, agar lebih terstruktur dan terbuka.

Selain yang sudah disebutkan, ada juga fitur yang memudahkan layanan administrasi inventaris sarana, pengelolaan kas umum, inventaris kekayaan desa, pengelolaan APBDes, dan fitur untuk menampilkan berbagai macam statistik data.

“Intinya Panda.id menjadi cara kami membantu desa untuk lebih dekat dengan teknologi. Aplikasi Panda.id membantu kinerja pemerintah, digabungkan dengan website desa yang digunakan sebagai media desa untuk memamerkan segala potensi yang desa punya; seperti toko online desa, profil desa, berita desa dan lain-lain,” terang CTO PuskoMedia Navynda Aldadera.

Untuk bisa menggunakan sistem Panda.id, desa harus melakukan registrasi domain desa.id terlebih dulu. Setelah itu bisa melanjutkan membuat akun di Panda.id untuk pengelolaan domain dan hosting.

Tim dari Panda.id akan melakukan instalasi seluruh sistem Panda.id ke domain milik desa, sehingga pihak desa bisa langsung menggunakan sistemnya. Panda.id juga menyediakan pelatihan bagi para petugas di desa untuk bisa menggunakan sistem dengan baik.

Dari penuturan Navynda, saat ini Panda.id telah berhasil mengelola 350 desa yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Beberapa desa bergabung karena promosi yang dilakukan tim Panda.id, beberapa bergabung karena melihat apa yang dilakukan Panda.id di desa lainnya berjalan cukup baik.

Navynda menjelaskan, pihaknya cukup yakin bahwa apa yang mereka tawarkan melalui akan sangat berguna bagi desa. Karena selain mereka mengembangkan sistem yang memang sesuai dengan kebutuhan, beberapa dari tim PuskoMedia pernah menjadi relawan TIK yang terjun langsung ke desa.

Selain itu sebagai sebuah bisnis yang menyangkut data-data pribadi dan sensitif banyak orang turut dijamin privasinya. Hal ini karena Panda.id memiliki data center yang telah sesuai dengan standar yang diberikan oleh pemerintah.

“Target kami seluruh desa di Indonesia dapat menjadi mitra kami. Lalu pemerintah diwajibkan menggunakan Panda.id. Karena nanti pemerintah bisa lebih mudah mendapat laporan real-time,” tutup Navynda.