HSBC Berikan Debt Funding Rp300 Miliar ke AwanTunai

HSBC memberikan fasilitas debt sebesar Rp300 miliar ($18,5 juta) kepada AwanTunai untuk mendukung pengadaan persediaan bagi UMKM di Indonesia. Pembiayaan ini diharapkan dapat membantu AwanTunai mengatasi tantangan pengelolaan inventaris yang dihadapi oleh sekitar 3,5 juta warung di seluruh Indonesia.

HSBC bertindak sebagai bank penyusun, pemberi pinjaman bilateral, agen fasilitas, agen keamanan, dan bank akun dalam struktur pendanaan ini. Pembiayaan ini dirancang dengan fleksibilitas yang diperlukan AwanTunai untuk tumbuh, dengan paket keamanan yang terkait dengan kinerja buku pinjaman daripada ketentuan keuangan pada perusahaan secara keseluruhan.

Ini adalah pendanaan kedua yang diumumkan AwanTunai tahun ini. Maret lalu perusahaan juga baru membukukan pendanaan seri B senilai $27,5 juta dipimpin Norfund, MIUP (lengan investasi MUFG), dan FinnFund.

Warung, yang menguasai 70% pasar penjualan bahan makanan di Indonesia, sering kali mengandalkan uang tunai dan tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal. Menurut data AwanTunai, kesenjangan pembiayaan pembelian persediaan untuk UMKM di Indonesia mencapai $50 miliar.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, AwanTunai mengembangkan platform AwanToko yang memungkinkan pemilik warung memeriksa stok dan harga dari ratusan grosir serta melakukan pemesanan secara online. Selain itu, layanan AwanTempo memberikan pendanaan hingga Rp500 juta kepada pemilik warung untuk membeli persediaan.

“Kami menantikan kemitraan strategis jangka panjang dengan HSBC, yang memiliki visi dan komitmen untuk memungkinkan inklusi keuangan dalam skala besar. Kami berharap dapat membuka segmen UMKM yang sulit dilayani di Indonesia dan di pasar berkembang lainnya dengan dukungan global HSBC,” kata Co-Founder & CEO AwanTunai, Dino Setiawan.

Direktur Perbankan Wholesale, Commercial Banking HSBC Indonesia, Riko Tasmaya menyatakan, “Kami senang mendukung tujuan AwanTunai dalam menggunakan pembiayaan tertanam untuk membantu bisnis kecil di Indonesia mengatasi hambatan dalam mengejar peluang pertumbuhan.”

Ia menambahkan bahwa kesenjangan pembiayaan global untuk UMKM formal dan informal diperkirakan mencapai $8 triliun, dan kerja sama antara bank dan fintech sangat penting untuk mengatasi hambatan kritis ini terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup di seluruh dunia berkembang.

Debt funding khusus dari HSBC

Maret lalu, HSBC mengumumkan peluncuran debt fund khusus startup “ASEAN Growth Fund” senilai $1 miliar (sekitar Rp15,8 triliun) untuk mengakselerasi ekspansi startup di kawasan Asia Tenggara yang tumbuh pesat. Dana ini dikhususkan pada startup/perusahaan digital, terutama di sektor new economy yang mengincar ekspansi ke Asia Tenggara.

Ticket size untuk tiap pinjaman ini dimulai dari $15 juta-$100 juta dengan tenor satu sampai tiga tahun. Bank akan menggunakan metriks saat penilaian dengan mempertimbangkan operasional bisnis terkait portofolio aset generatif arus kas perusahaan, termasuk piutang, dibandingkan hanya berpatokan pada metrik keuangan tradisional.

Hal menarik lainnya, untuk startup yang ingin ekspansi ke kawasan ASEAN dapat menggunakan limit yang mereka terima dan dicairkan sesuai mata uang negara di mana negara yang akan mereka sasar. Sebagai catatan, di kawasan ini HSBC beroperasi di enam negara, yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Sejumlah startup dari kawasan ini telah mendapat fasilitas pembiayaan dari HSBC, di antaranya Akulaku, Sea Group, eFishery, Atome, dan Funding Societies.

Application Information Will Show Up Here

Disclosure: Artikel ini diproduksi dengan teknologi AI dan supervisi penulis konten

AwanTunai Bukukan Pendanaan Rp427,6 Miliar Dipimpin Norfund, MIUP, dan FinnFund

Startup fintech lending AwanTunai mendapatkan pendanaan ekuitas senilai $27,5 juta atau setara Rp427,6 miliar. Norfund, MIUP (lengan investasi MUFG), dan FinnFund memimpin putaran terbaru ini. Sebelumnya mereka berencana untuk menutup putaran seri B ini senilai $25 juta, namun nilainya ditingkatkan seiring kelebihan permintaan, demikian disampaikan Co-Founder & CEO AwanTunai Dino Setiawan.

Ini sekaligus menjadi investasi ketiga Norfund, dana kelolaan dari Norwegia  untuk investasi di negara berkembang. Sebelumnya mereka masuk ke pendanaan debt Modalku di tahun 2023 dan Amartha di 2021. Khusus AwanTunai, mereka masuk ke pendanaan ekuitas, alih-alih debt.

Perwakilan Norfund mengatakan, “Kami sangat bersemangat untuk bermitra dengan AwanTunai yang menjadikannya investasi ekuitas pertama kami di fintech Asia Tenggara. Kami terkesan dengan cara AwanTunai memanfaatkan fintech untuk menjangkau dan membiayai segmen sektor UMKM yang kurang terlayani atau tidak memiliki layanan perbankan di Indonesia dengan solusi ERP unik yang menangkap data eksklusif di berbagai lapisan rantai pasokan FMCG tradisional dan menerapkannya solusi manajemen risiko mereka yang telah dipatenkan untuk mencapai kinerja kredit yang prima.”

Sebelumnya AwanTunai telah mengumpulkan pendanaan seri A dalam tiga ronde, meliputi putaran pertama pada tahun 2018 senilai $4,3 juta dipimpin oleh Insignia Venture Partners dan AMTD Group. Kemudian dilanjutkan putaran kedua pada 2021 senilai $11,2 juta dengan keterlibatan Atlas Pacific, BRI Ventures, OCBC NISP. Lalu putaran seri A3 pada 2022 senilai $8,5 juta dengan melibatkan International Finance Corporation, Global Brain, dan sejumlah investor.

“FinnFund (melalui OP FinnFund Global Impact Fund I) sangat bersemangat untuk mendukung pertumbuhan AwanTunai di Indonesia, di mana sektor FMCG memiliki masalah modal kerja yang besar yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga keuangan tradisional. Melalui investasi ini, kami memiliki misi meningkatkan inklusi digital dan keuangan pada UMKM serta mendorong kesetaraan gender karena pengecer kecil, yang didominasi perempuan, kurang terlayani,” ujar perwakilan FinnFund, sebuah sovereign fund dan dana kelolaan dari bank terbesar di Finlandia.

Dapat ketertarikan tinggi dari investor global

Dengan proposisi nilai yang unik sebagai pembiayaan rantai pasok untuk UMKM, AwanTunai mengklaim memiliki model bisnis yang solid. Dino menyampaikan, bahwa perusahaan telah mencapai EBITDA positif dan ditargetkan menjadi profitabel (setelah pajak) pada akhir tahun ini.

“Kami hanya perlu meningkatkan volume hingga sekitar Rp3 triliun per bulan untuk mencapai skala ekonomi awal. Dalam dunia peminjaman, jumlah pinjaman tersebut sebenarnya cukup kecil, yang mencerminkan seberapa efisien model bisnis kami dibandingkan dengan alternatif lain di pasar,” ujar Dino.

Ia pun mengungkapkan bahwa masih terdapat kelebihan permintaan yang signifikan dari PE besar dan investor global, sehingga tidak menutup kemungkinan putaran pendanaan seri B ini akan dilanjutkan. Bahkan disampaikan akan ada pendanaan debt yang segera dibukukan secara terpisah untuk memenuhi kebutuhan pinjaman yang masih besar tersebut.

Presiden & CEO MUFG Innovation Partners (MIUP) Nobutake Suzuki mengatakan, “Kami terkesan dengan komitmen AwanTunai untuk memberdayakan UMKM Indonesia di sektor FMCG dengan mendigitalkan operasi mereka dan memberi mereka akses terhadap layanan keuangan. Selain mendapatkan visibilitas terhadap operasional klien mereka, AwanTunai memanfaatkan ilmu data untuk menganalisis data transaksi tidak terstruktur untuk mengelola risiko pinjaman. Kami berharap AwanTunai dapat memperkuat hubungan kolaboratif dengan bank mitra MUFG, Bank Danamon, untuk memberikan akses keuangan yang lebih baik kepada segmen UKM yang kurang terlayani di Indonesia.”

Proposisi nilai AwanTunai

Co-Founder AwanTunai: Rama Notowidigdo, Windy Natriavi, dan Dino Setiawan / AwanTunai
Co-Founder AwanTunai: Rama Notowidigdo, Windy Natriavi, dan Dino Setiawan / AwanTunai

Dua produk utama AwanTunai adalah layanan pembiayaan stok warung AwanTempo dan pembiayaan grosir Supplier Financing. Melalui inovasi teknologi yang diejawantahkan dengan ERP terpadu, AwanTunai membentuk sebuah sistem yang memungkinkan UMKM dan pemasok FMCG mendapatkan akses finansial yang lebih lancar. Platform ERP tersebut sekaligus menjadi sumber data penting untuk membantu perusahaan melakukan analisis risiko secara lebih komprehensif.

Faktanya, data sejauh ini memang menjadi tantangan utama bagi penyaluran kredit ke UMKM. Data yang kurang baik berimplikasi pada penilaian kredit yang buruk, kadang membuat perusahaan fintech lending atau institusi tradisional pun menghadapi masalah serius terkait pengembalian dana. Sementara segmen UMKM yang belum terlayani fasilitas kredit perbankan masih sangat besar jumlahnya di Indonesia, dari lebih dari 60 juta UMKM, baru sekitar 27% yang telah mendapatkan akses ke fasilitas kredit.

Sistem manajemen risiko (termasuk di dalamnya skoring kredit) memang menjadi landasan penting yang sejak awal dikembangkan secara matang oleh AwanTunai. Adanya perhatian besar pada aspek ini, dinilai yang membuat mereka unggul dalam memberikan penyaluran dana ke UMKM.

“AwanTunai beruntung memiliki investor yang sabar, memberi kami landasan untuk terlebih dulu mengembangkan keunggulan kompetitif dalam manajemen risiko di ruang UMKM yang sulit tanpa jaminan, sebelum mulai meningkatkan volumenya. Fondasi yang kuat inilah yang memungkinkan kami untuk terus tumbuh secara sehat di lingkungan operasional yang sulit,” ujar Dino.

AwanTunai sedari awal fokus ke sektor perdagangan umum yang memasok kebutuhan sehari-hari masyarakat. Pasar ini sudah dinilai sangat besar, sehingga mereka memilih fokus pada dua produk utama tersebut, dari pada memperbanyak produk atau memperluas segmen yang berbeda.

“Pendanaan ini akan digunakan untuk membangun basis ekuitas kami agar dapat mendukung perluasan fasilitas pinjaman modal untuk menutupi lebih dari $2 miliar pembiayaan pembelian inventaris tahunan pada akhir 2024, serta melanjutkan pengembangan teknologi manajemen risiko kami,” tutup Dino.

Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Scores Series A3 Funding in the Form of Equity and Debt

AwanTunai fintech lending service has received another funding. Based on the data submitted to the regulator, the value is around $8.5 million or equivalent to 121.5 billion Rupiah. Several investors participated, including International Finance Corporation (IFC), Global Brain, Insignia Ventures, OCBC NISP Ventures, and others.

DailySocial.id confirmed with AwanTunai’s Co-Founder & CEO Dino Setiawan about the new funding, which was part of the Series A3. He also explained that the investment consisted of two types, equity funding and loan (debt facilities). The above value is equity funding, while the debt facility is yet to be disclosed.

In this round, IFC became the largest contributor around 50% of the total value of equity funding. The participation of a financial institution under the World Bank in AwanTunai’s funding round adds to the list of its portfolio in Indonesia. Previously, IFC also invested in PasarPolis, ASSA, and eFishery. Part of its mission is to seek impactful investment projects, such as to increase financial inclusion and digitalization in the real sector.

AwanTunai announced a series A2 funding of $56.2 million (over 811 billion Rupiah) in equity and loan facilities in mid-2021. Equity funding of $11.2 million was provided by new investors BRI Ventures and OCBC NISP Ventura, as well as participation from previous investors, including Insignia Ventures and Global Brains.

AwanTunai specializes in supply chain financing, targeting micro-enterprises in the regions. As of June 2021, the company has collaborated with more than 160 supplier partners to help traditional wholesalers digitize and finance their businesses. AwanTunai has served more than 8,000 micro merchants as users, with an increasing number of users coming from tier 2 and 3 cities in Indonesia.

AwanTunai Bukukan Pendanaan Seri A3, Berbentuk Ekuitas dan Debt

Layanan fintech lending AwanTunai kembali mendapatkan pendanaan. Berdasarkan data yang diinputkan ke regulator, nilainya berkisar $8,5 juta atau setara 121,5 miliar Rupiah. Sejumlah investor turut terlibat, termasuk International Finance Corporation (IFC), Global Brain, Insignia Ventures, OCBC NISP Ventures, dan beberapa lainnya.

Ketika dihubungi DailySocial.id, Co-Founder & CEO AwanTunai Dino Setiawan membenarkan adanya pendanaan baru tersebut, yang masuk dalam seri A3. Ia juga menjelaskan, bahwa investasi yang didapat terdiri dari dua jenis, yakni pendanaan ekuitas dan fasilitas pinjaman (debt facility). Untuk nilai di atas adalah pendanaan ekuitas, sementara debt facility belum disebutkan nilainya.

Di putaran ini, IFC menjadi penopang dana terbesar, menyubang sekitar 50% dari total nilai pendanaan ekuitas yang didapat. Masuknya institusi keuangan di bawah Bank Dunia tersebut di AwanTunai menambah daftar portofolionya di Indonesia. Sebelumnya IFC juga berinvestasi ke PasarPolis, ASSA, dan eFishery. Sebagian misinya untuk mencari proyek investasi berdampak, seperti untuk meningkatkan inklusi keuangan dan digitalisasi di sektor riil.

AwanTunai mengumumkan pendanaan seri A2 senilai $56,2 juta (lebih dari 811 miliar Rupiah) dalam bentuk ekuitas dan fasilitas pinjaman pada pertengahan tahun 2021 lalu. Pendanaan ekuitas sebesar $11,2 juta diberikan oleh investor baru BRI Ventures dan OCBC NISP Ventura, serta partisipasi dari investor sebelumnya, antara lain Insignia Ventures dan Global Brains.

Spesialisasi AwanTunai adalah pada pembiayaan rantai pasok, menyasar kalangan pelaku usaha mikro di daerah. Hingga Juni 2021, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 160 mitra supplier untuk membantu pedagang grosir tradisional melakukan digitalisasi dan pembiayaan usaha mereka.  AwanTunai telah melayani lebih dari 8.000 pedagang mikro sebagai pengguna, dengan peningkatan jumlah pengguna yang berasal dari kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Grabs Over 811 Billion Rupiah in a Form of Equity and Loan

Fintech lending startup AwanTunai confirmed the series A2 funding that the company had obtained amounting to $56.2 million (more than 811 billion  Rupiah) in the form of equity and loan facilities. Equity funding of $11.2 million was provided by BRI Ventures and OCBC NISP Ventura as new investors, participated also Insignia Ventures and Global Brains as previous investors.

Meanwhile, a loan facility of $45 million was provided from Accial Capital and Bank OCBC NISP. This is a top up loan provided from the bank which has disbursed a facility worth more than $45 million.

In an official statement delivered today (27/8), AwanTunai’s CEO, Dino Setiawan said this fresh funding will be used to finance the company’s domestic expansion, therefore, more micro MSMEs are empowered with fast and affordable access to financing.

He continued, the company is currently building a data infrastructure for digitizing online inventory purchase transactions. The data is effective for credit risk management and opens up opportunities for micro MSMEs that previously had minimal access to working capital from banking institutions already partnered with Awan Tunai.

“We expectAwanTunai to become a platform that allows the banking industry to reach millions of traditional MSMEs that previously had difficulty obtaining services,” he said.

As a new investor in this round, BRI Ventures provide a statement. BRI Ventures’ CEO Nicko Widjaja said, AwanTunai has a customer profile similar to Bank BRI. By empowering micro merchants, they have supported small businesses maintain and grow their businesses in these difficult times.

“We expect to further collaborate with AwanTunai to reach underserved MSMEs,” Nicko said.

In addition to providing digitalized services for inventory order, payments and consumer management for traditional wholesalers and retailers, AwanTunai’s platform also provides financing for purchasing supplies to suppliers of fast moving consumer goods (FMCG) and micro traders of everyday groceries.

Micro MSMEs can purchase their inventory online through the AwanToko mobile application and access affordable financing through a simple process of registering with an Identity Card (KTP).

As of June 2021, the company has collaborated with more than 160 supplier partners to help traditional wholesalers digitize and finance their businesses. As well as, providing financing for purchasing supplies and integrated online ordering for micro MSME stalls consumers through the AwanToko mobile application.

AwanTunai has served more than 8,000 micro merchants as users, with an increasing number of users coming from tier 2 and 3 cities in Indonesia.

AwanTunai’s position in the fintech lending industry is quite unique, they focus on providing funding access to small retail entrepreneurs such as warungs. The main product is AwanGrosir for supplier financing, helping shop owners to be able to make payments to distributors on time. In this system, AwanTunai also provides point of sales facilities to help business owners manage transactions.

There is also AwanToko, the product focuses on helping shop owners with lack of capital to increase their stock of goods. The loan is facilitated through AwanTempo — all of the financing is in the form of goods. Shopping is available through the Wholesale Agent Store, which contains a fairly complete network of partner distributors.

Productive financing trend

According to the survey results summarized in the report “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia” by DSInnovate and AFPI, 75% of survey respondents (146 fintech lending players) work in the productive lending sector. While 53% play in the consumptive sector and 6.8% in sharia. However, one platform may have more than one business model.

Of the total players who play in the productive sector, the majority sell services through invoices and inventory financing — also to suppliers is included.

Productive funding variants presented by many fintech lending players / DSInnovate – AFPI

The productive sector is clearly more promising, especially now that there are around 59.2 million MSMEs spread across Indonesia, this is reflected in the profile of the majority of borrowers in these services (offline and online MSMEs). The issue of capital is still one of the most significant because bank credit facilities have not fully accommodated these needs.

The borrowers profile who use productive loan services / DSInnovate – AFPI

The average loan application is 2.5 million Rupiah to 25 million Rupiah. Although some platforms offer fantastic loans of hundreds to billions of rupiah. The distribution of more than 90% is still around Jabodetabek and Java, although the new regulation will encourage fintech players to prioritize access to loans to other areas as well.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Umumkan Pendanaan Lebih dari 811 Miliar Rupiah, Berbentuk Ekuitas dan “Loan”

Startup fintech lending AwanTunai mengonfirmasi pendanaan seri A2 yang telah diperoleh perusahaan sebesar $56,2 juta (lebih dari 811 miliar Rupiah) dalam bentuk ekuitas dan fasilitas pinjaman. Pendanaan ekuitas sebesar $11,2 juta diberikan oleh investor baru BRI Ventures dan OCBC NISP Ventura, serta partisipasi dari investor sebelumnya, antara lain Insignia Ventures dan Global Brains.

Sementara untuk fasilitas pinjaman sebesar $45 juta diberikan dari Accial Capital dan Bank OCBC NISP. Ini adalah top up pinjaman yang diberikan Bank OCBC NISP yang telah menyalurkan fasilitas senilai lebih dari $45 juta.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (27/8), CEO AwanTunai Dino Setiawan mengatakan pendanaan segar ini akan digunakan untuk membiayai ekspansi dalam negeri perusahaan, agar semakin banyak UMKM mikro yang terberdayakan dengan akses pembiayaan yang cepat dan terjangkau.

Dia melanjutkan, saat ini perusahaan sedang membangun infrastruktur data untuk digitalisasi transaksi pembelian persediaan online. Data tersebut efektif untuk manajemen risiko kredit dan membuka kesempatan bagi UMKM mikro yang sebelumnya minim akses untuk mendapatkan modal kerja dari institusi perbankan yang telah bermitra dengan Awan Tunai.

“Kami berharap AwanTunai menjadi platform yang membuat industri perbankan dapat menjangkau jutaan UMKM tradisional yang sebelumnya sulit memperoleh layanan,” ucapnya.

Sebagai investor baru yang masuk dalam putaran kali ini, BRI Ventures turut memberikan pernyataannya. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyampaikan, AwanTunai memiliki profil pelanggan yang serupa dengan Bank BRI. Dengan memberdayakan pedagang mikro, mereka telah membantu usaha kecil mempertahankan dan mengembangkan usaha mereka dalam masa-masa yang sulit ini.

“Kami berharap dapat berkolaborasi lebih lanjut dengan AwanTunai untuk menjangkau UMKM yang selama ini kurang dilayani,” kata Nicko.

Selain menyediakan layanan digitalisasi pemesanan persediaan pembayaran dan manajemen konsumen untuk pedagang grosir dan eceran tradisional, platform AwanTunai juga menyediakan pembiayaan pembelian persediaan kepada supplier fast moving consumer goods (FMCG) dan pedagang mikro bahan pangan sehari-hari.

UMKM mikro dapat membeli inventaris mereka secara online melalui aplikasi mobile AwanToko yang dapat mengakses pembiayaan terjangkau melalui proses sederhana mendaftar dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Hingga Juni 2021, perusahaan telah bekerja sama dengan lebih dari 160 mitra supplier untuk membantu pedagang grosir tradisional melakukan digitalisasi dan pembiayaan usaha mereka. Serta, menyediakan pembiayaan pembelian persediaan dan pemesanan online terintegrasi bagi konsumen warung UMKM mikro melalui aplikasi mobile AwanToko.

AwanTunai telah melayani lebih dari 8.000 pedagang mikro sebagai pengguna, dengan peningkatan jumlah pengguna yang berasal dari kota tier 2 dan 3 di Indonesia.

Posisi AwanTunai di industri fintech lending cukup unik, mereka fokus menghadirkan akses pendanaan ke pengusaha ritel kecil seperti warung. Produk utamanya AwanGrosir untuk supplier financing, membantu pemilik toko untuk bisa melakukan pembayaran ke distributor secara tepat waktu. Di sistem ini, AwanTunai juga memberikan fasilitas point of sales untuk membantu pemilik usaha mengelola transaksi.

Ada juga produk AwanToko, fokusnya membantu pemilik warung yang terkendala modal dalam menambah stok barang. Fasilitas pinjaman tersebut difasilitasi melalui AwanTempo — seluruh pembiayaannya dalam bentuk barang. Adapun belanja dapat dilakukan melalui Toko Agen Grosir, di dalamnya berisi jaringan distributor mitra yang cukup lengkap.

Tren pembiayaan produktif

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam laporan “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia” oleh DSInnovate dan AFPI, 75% dari responden survei (146 pemain fintech lending) menggarap sektor pinjaman produktif. Sementara 53% bermain di sektor konsumtif dan 6,8% syariah. Kendati demikian, dalam satu platform bisa saja memiliki lebih dari satu model bisnis.

Dari total pemain yang bermain di sektor produktif, mayoritas menjajakan layanan melalui invoice dan inventory financing — pembiayaan ke suplier juga masuk di dalamnya.

Varian pendanaan produktif yang banyak disajikan pemain fintech lending / DSInnovate – AFPI

Sektor produktif jelas lebih menjanjikan, terlebih saat ini ada sekitar 59,2 juta UMKM yang tersebar di Indonesia, hal ini tercermin dari profil mayoritas peminjam di layanan tersebut (UMKM offline dan online). Isu permodalan pun masih menjadi salah satu yang paling signifikan akibat fasilitas kredit perbankan belum sepenuhnya bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Profil peminjam yang banyak memanfaatkan layanan pinjaman produktif / DSInnovate – AFPI

Rata-rata pinjaman yang diajukan adalah 2,5 juta Rupiah s/d 25 juta Rupiah. Kendati beberapa platform menawarkan pinjaman fantastis ratusan hingga miliaran rupiah. Sebarannya lebih dari 90% masih di seputar Jabodetabek dan Jawa, kendati beleid baru akan mendorong para pemain fintech untuk turut memprioritaskan akses pinjaman ke daerah-daerah lainnya juga.

Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Kantongi Pendanaan Lanjutan 161 Miliar Rupiah

AwanTunai membukukan pendanaan pra-seri B senilai $11,2 juta atau sekitar 161,2 miliar Rupiah. Adapun investor yang terlibat termasuk Atlas Pacific, BRI Ventures, OCBC NISP Ventura, Insignia Venture Partners, dan beberapa lainnya. Data investasi putaran ini telah dimasukkan ke sistem regulator. Sejumlah pihak yang terlibat juga memberikan konfirmasi kepada DailySocial.id.

Bank OCBC NISP sendiri juga merupakan salah satu institutional lender untuk AwanTunai. Kerja sama mereka telah diresmikan sejak September 2020 lalu, fokus pada penyaluran fasilitas pembiayaan penerusan (channeling).

Terakhir kali AwanTunai mengumumkan pendanaan ekuitas pada tahun 2018 lalu untuk putaran seri A senilai $4,3 juta dipimpin Insignia Venture Partners dan AMTD Group. Di tahun 2020 mereka juga turut mendapatkan pendanaan debt dari Accial Capital senilai $20 juta.

Posisi AwanTunai di industri fintech lending cukup unik, mereka fokus menghadirkan akses pendanaan ke pengusaha ritel kecil seperti warung. Produk utamanya AwanGrosir untuk supplier financing, membantu pemilik toko untuk bisa melakukan pembayaran ke distributor secara tepat waktu. Di sistem ini, AwanTunai juga memberikan fasilitas point of sales untuk membantu pemilik usaha mengelola transaksi.

Ada juga produk AwanToko, fokusnya membantu pemilik warung yang terkendala modal dalam menambah stok barang. Fasilitas pinjaman tersebut difasilitasi melalui AwanTempo — seluruh pembiayaannya dalam bentuk barang. Adapun belanja dapat dilakukan melalui Toko Agen Grosir, di dalamnya berisi jaringan distributor mitra yang cukup lengkap.

Segera rambah ke pembiayaan lainnya

AwanTunai didirikan sejak 2017 oleh tiga orang founder, meliputi Dino Setiawan, Rama Notowidigdo, dan Windy Natriavi. Misinya adalah meningkatkan kesejahteraan UMKM melalui akses kepada pembiayaan yang terjangkau. Kendati sampai saat ini fokus utamanya masih ke pembiayaan supply chain di bisnis ritel, namun perusahaan juga sudah merencanakan perluasan ke depan.

Hal ini disampaikan langsung oleh Dino selaku CEO dalam kesempatan wawancara tahun 2020 lalu. Perusahaan sedang mempersiapkan produk baru untuk pembiayaan hasil bumi untuk petani kecil. Sudah bermitra dengan LSM asing dan mitra aggregator hasil bumi untuk menyalurkan pembiayaan dari AwanTunai ke petani. Konsepnya pembiayaannya mirip dengan AwanTempo. Para aggregator harus kenal para petaninya untuk meminimalisir risiko gagal bayar.

Salah satu realisasinya melalui kerja sama dengan Sayurbox yang diresmikan Agustus 2020 lalu untuk pembiayaan ke petani. AwanTunai dan Sayurbox adalah “sister company”, dirintis oleh co-founder yang sama yakni Rama Notowidigdo

Pembiayaan produktif jadi primadona

Menurut hasil survei yang dirangkum dalam laporan “Evolving Landscape of Fintech Lending in Indonesia” oleh DSInnovate dan AFPI, 75% dari responden survei (146 pemain fintech lending) menggarap sektor pinjaman produktif. Sementara 53% bermain di sektor konsumtif dan 6,8% syariah. Kendati demikian, dalam satu platform bisa saja memiliki lebih dari satu model bisnis.

Dari total pemain yang bermain di sektor produktif, mayoritas menjajakan layanan melalui invoice dan inventory financing — pembiayaan ke suplier juga masuk di dalamnya.

Varian pendanaan produktif yang banyak disajikan pemain fintech lending / DSInnovate – AFPI

Sektor produktif jelas lebih menjanjikan, terlebih saat ini ada sekitar 59,2 juta UMKM yang tersebar di Indonesia, hal ini tercermin dari profil mayoritas peminjam di layanan tersebut (UMKM offline dan online). Isu permodalan pun masih menjadi salah satu yang paling signifikan akibat fasilitas kredit perbankan belum sepenuhnya bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Profil peminjam yang banyak memanfaatkan layanan pinjaman produktif / DSInnovate – AFPI

Rata-rata pinjaman yang diajukan adalah 2,5 juta Rupiah s/d 25 juta Rupiah. Kendati beberapa platform menawarkan pinjaman fantastis ratusan hingga miliaran rupiah. Sebarannya lebih dari 90% masih di seputar Jabodetabek dan Jawa, kendati beleid baru akan mendorong para pemain fintech untuk turut memprioritaskan akses pinjaman ke daerah-daerah lainnya juga.

Application Information Will Show Up Here

AwanTunai to Facilitate Credit Agriculture for Farmers on Sayurbox

The p2p lending startup AwanTunai is expanding its financing products for farmers who distribute their crops in Sayurbox. Pilot projects are already ongoing for selected farmers located in Bogor, Sukabumi, Bandung, and Indramayu.

The two companies partnered due to the circumstances of sister companies and founded by the same co-founder, Rama Notowidigdo. Both have the same ambition to improve the lives of micro-entrepreneurs.

AwanTunai’s Co-Founder and CEO, Dino Setiawan explained that the company is interested in entering this segment considering it’s in line with the company’s core focus on SME financing in the FMCG and grocery supply chain.

“Downstream we have stalls that sell goods to end consumers and upstream there are farmers. Therefore, farmers are the next SME group we serve,” he told DailySocial.

Before AwanTunai, Sayurbox had never been involved with farmers to finance working capital because the selling system was off. Sayurbox Head of Communication Oshin Hernis explained, when farmers need a loan, the company will usually educate and recommend it to Bank BRI Agro as the company’s partner.

Furthermore, the bank will perform some curation based on historical data from Sayurbox regarding these farmers. The bank will get an overview of determining credit scoring before approving a capital loan.

On the other hand, the company also offers a one-month partnership, when they meet certain requirements. For example, it is in good quality and guaranteed quantity.

“If the two big factors fulfilled, Sayurbox will offer to be a partner as a form of higher commitment and appreciation. This is one of our selections so that our partners’ expectations can be maintained properly in the future,” Oshin added.

Regarding its partnership with AwanTunai, there will be no specific criteria for farmers in Sayurbox to get a loan. The company only ensures that the farmers to be referred are Indonesian citizens as proven by an ID.

“The rest, we provide flexibility for AwanTunai to select farmers who become our suppliers to get a capital loan facility.”

Dino continued, the company provides loans ranging from IDR5 million to IDR 500 million per farmer for this collaboration curated by Sayurbox. The tenor is quite short, between 2 weeks to 1 month and the interest is 0.75% per week.

“Loan repayments through virtual accounts/bank transfers are due to maturity. For every return according to maturity, we will be given cashback,” he said.

In risk mitigation, companies do not provide financing in cash, it is in the form of seeds, fertilizers, or other inputs needed for agriculture. They believe this method can reduce the risk default, as well as learn from previous mistakes.

This method is also used for AwanTempo, a financing product for grocery stores in need of additional capital to buy their shop needs. The company works closely with suppliers to provide financing to the small shop.

“In past agricultural financing programs, loan misuse has become quite a problem. We want to apply our AwanTempo financing program to micro farmers.”

This product has been rolled out for selected farmers located in Bogor, Sukabumi, Bandung, and Indramayu. Dino said that there were interesting insights found in the field, including that some farmers needed advanced payment therefore they could turn the funds into agricultural raw materials such as seeds and pesticides.

“This scheme is similar to cash on delivery (COD) without additional time. Meanwhile, for gardens or paddy fields, some farmers manage land owned by other people through a production sharing system or land rental system. ”

The pandemic effect

Sayurbox is one of the leading e-commerce players for groceries in Indonesia. Was founded in 2016, it has received seeds from Insignia Ventures Partners, Patamar Capital, and Tokopedia.

Oshin explained, since the pandemic happened at the end of March-April, Sayurbox transactions skyrocketed due to panic buying. The company had decided to temporarily close the transaction for a while.

“However, as the new normal began, transactions are quite stable even though the current level of competition is increasing,” Oshin said.

In an interview with Tempo, Sayurbox Co-Founder and CEO Amanda Cole said that the company added more partnerships with farmers from 50 to 100 people during the pandemic as the demand increases.

He said, the company is lucky to become “famous” and continues to grow exponentially because of the recommendation of “word of mouth”. He hopes that after the pandemic ends, it’ll be a new habit for people to shopping for vegetables and fruit online.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Kini Salurkan Kredit Pertanian untuk Petani di Sayurbox

Startup p2p lending AwanTunai memperluas produk pembiayaan untuk petani yang mendistribusikan hasil panennya di Sayurbox. Pilot project sudah berjalan untuk petani terpilih yang berlokasi di Bogor, Sukabumi, Bandung, dan Indramayu.

Kedua perusahaan ini bermitra tak lain karena menjadi sister company yang dirintis oleh co-founder yang sama, ialah Rama Notowidigdo. Keduanya punya kesamaan ambisi ingin memperbaiki hidup para pengusaha mikro.

Co-Founder dan CEO AwanTunai Dino Setiawan menjelaskan, perusahaan tertarik untuk masuk ke segmen ini karena sejalan dengan fokusnya pada pembiayaan UKM dalam rantai pasokan FMCG dan sembako.

“Di hilir kami memiliki warung yang menjual barang ke konsumen akhir dan di hulu ada petani. Jadi petani adalah kelompok UMKM berikutnya yang kami layani,” katanya kepada DailySocial.

Sebelum AwanTunai masuk, Sayurbox belum pernah terlibat dengan petani untuk pembiayaan modal kerja karena selama ini sistem jual lepas. Head of Communication Sayurbox Oshin Hernis menjelaskan, apabila petani memerlukan pinjaman, biasanya perusahaan akan mengedukasi sekaligus merekomendasikannya ke Bank BRI Agro sebagai mitra perusahaan.

Selanjutnya, pihak bank akan melakukan proses seleksi yang didasari oleh data historikal yang dimiliki Sayurbox mengenai petani-petani tersebut. Bank akan mendapat gambaran untuk penentuan skoring kredit sebelum menyetujui pinjaman modal.

Di sisi lain, perusahaan juga membuka sistem kemitraan dalam waktu satu bulan, bila mereka memenuhi sejumlah persyaratan. Seperti kualitas yang diberikan sesuai ekspektasi dan kuantitas dapat terus dipenuhi oleh petani tersebut.

“Apabila dua faktor besar ini dipenuhi, maka Sayurbox akan menawarkan untuk menjadi mitra sebagai bentuk komitmen dan penghargaan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan salah satu seleksi kami agar ekspektasi para pelanggan dapat terus menerus terjaga dengan baik oleh para mitra kami ke depannya,” kata Oshin.

Terkait kemitraannya dengan AwanTunai, setiap petani yang direferensikan oleh Sayurbox, tidak ada kriteria khusus mana petani yang bisa memperoleh pinjaman modal. Perusahaan hanya memastikan bahwa petani yang akan direferensikan ini merupakan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan KTP.

“Selebihnya kami memberikan keleluasaan untuk AwanTunai untuk memilih petani yang menjadi supplier kami untuk mendapat fasilitas pinjaman modal.”

Dino melanjutkan, untuk kerja sama ini perusahaan menyediakan fasilitas mulai dari Rp5 juta sampai Rp500 juta per petani yang direferensikan Sayurbox. Tenornya tergolong pendek antara 2 minggu sampai 1 bulan dan bunganya 0,75% per minggu.

“Pengembalian pinjaman melalui virtual account/transfer bank sesuai jatuh tempo. Untuk setiap pengembalian sesuai jatuh tempo akan diberikan cashback oleh kami,” ucapnya.

Dalam mitigasi risiko, perusahaan tidak memberikan pembiayaan dalam bentuk tunai, melainkan dalam program pembiayaan yang berbentuk benih, pupuk, atau input lain yang dibutuhkan untuk pertaniannya. Cara ini dipercaya dapat mengurangi risiko dari gagal bayar, sekaligus belajar dari kesalahan sebelumnya.

Metode ini juga dipakai untuk AwanTempo, produk pembiayaan untuk toko kelontong yang butuh tambahan modal untuk membeli kebutuhan tokonya. Perusahaan bekerja sama dengan supplier untuk memberikan pembiayaan kepada toko kecil tersebut.

“Dalam program pembiayaan pertanian di masa lalu, penyalahgunaan dana pinjaman telah menjadi masalah. Kami ingin menerapkan keberhasilan dari program pembiayaan AwanTempo warung kami kepada petani mikro juga.”

Produk ini sudah digulirkan untuk petani terpilih yang berlokasi di Bogor, Sukabumi, Bandung, dan Indramayu. Dino mengatakan insight menarik yang ditemukan di lapangan, di antaranya sebagian petani memerlukan pembayaran di depan agar dapat memutar dana untuk melakukan pembelian bahan baku pertanian seperti bibit dan pestisida.

“Secara skema ini mirip dengan cash on delivery (COD) tanpa tambahan waktu. Sementara untuk lahan kebun atau sawah, beberapa petani mengelola lahan milik orang lain yang dilakukan dengan sistem bagi hasil atau sistem sewa lahan.”

Dampak pandemi

Sayurbox menjadi salah satu pemain e-commerce khusus kebutuhan sehari-hari yang terdepan di Indonesia. Sejak dirintis pada 2016, sudah beberapa kali mendapat pendanaan tahap awal dari Insignia Ventures Partners, Patamar Capital, dan Tokopedia.

Oshin menerangkan, sejak pandemi di akhir Maret-April kemarin, transaksi Sayurbox meroket tajam karena ada panic buying dari pengguna baru. Perusahaan sempat memutuskan untuk menutup transaksi sementara waktu karenanya.

“Namun seiring berjalannya new normal saat ini, transaksi dapat dikatakan signifikan stabil walaupun tingkat kompetisi saat ini meningkat,” ujar Oshin.

Dalam wawancara bersama Tempo, Co-Founder dan CEO Sayurbox Amanda Cole menyebut selama pandemi perusahaan menambah jumlah kemitraan dengan petani dari 50 menjadi 100 orang untuk memenuhi lonjakan permintaan.

Menurutnya, perusahaan beruntung menjadi “tenar” dan terus tumbuh secara eksponensial karena rekomendasi “word of mouth”. Dia berharap setelah pandemi berakhir, akan terbentuk kebiasaan baru masyarakat yang sudah terbiasa berbelanja sayur dan buah secara online.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

AwanTunai Receives Debt Funding Over 290 Billion Rupiah from Accial Capital

AwanTunai p2p lending startup announced a “debt” funding of US$20 million (over 290 billion Rupiah) led by private debt investor Accial Capital. Several other banks involved in this round as lenders.

AwanTunai’s Co-Founder & CEO Dino Setiawan explained to DailySocial, the fresh money will be fully channeled back in the form of financing for customers. The company also held stock-based fundraising, which is yet to be announced, and will be focused on technology development.

“The US$20 million fund is led by Accial Capital and our partnership with several banks to finance AwanTunai customers,” he said yesterday (7/21).

In acquiring debt funding, companies do tend to take from institutions as lenders. Some banks have partnered up include OCBC NISP, Jtrust Bank, Credit Saison, and UOB. There some other banks ongoing process.

“Through this partnership banks can enter the SME segment and channel financing securely.”

Accial Capital’s CIO,  Michael Shum said in his official statement, AwanTunai has a unique approach in managing credit risk in the micro segment well, quickly, and responsibly. This allows thousands of micro traders to expand their business even during the Covid-19 crisis.

AwanTunai has a flagship product called AwanTempo released in April 2019. This is a financing product for a grocery store in need of additional capital to buy its store products. The company is working with suppliers to provide financing to the small shop.

Dino said that with the debt funding, it is expected to accelerate the expansion of financing of its wholesale suppliers and its flagship products, therefore, more store owners are helped with capital needs. It is said that AwanTempo has distributed funding up to Rp390 billion.

Before introducing its product, the company used to make a loan distribution product for smartphone purchasing with a maximum range of IDR 4 million. In minimizing risk, the company partners with Blue Bird targeting taxi drivers.

“AwanTempo is now our main product. We are no longer continuing the smartphone products,” he said.

New product development

Dino admitted that the company was quite lucky to continue financing during the pandemic. He mentioned the grocery shop segment can survive during the PSBB period because it’s open to serve basic needs.

“We have a collaborative program with AwanTunai‘s wholesale partner to help stalls heavily affected by Covid-19, especially those in the office area.”

In terms of product development plan, Dino said the company is currently preparing a new product to finance crops for small farmers. They’ve partnered with foreign NGOs and agricultural product aggregator to channel financing from AwanTunai to farmers. The concept of financing is similar to AwanTempo. The aggregator must know the farmers well to minimize the risk of default.

“The risk is very high. In previous cases, the bank entered the SME segment. The NPL turns out very high because no data appears on the SLIK or incorrect KTP. Therefore, the KUR is stuck inside the banks, there is no safe way to expel KUR to unbanked people,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian