Lakukan Comeback Gemilang, Galaxy Racer Juarai BTS Pro Series Season 7: Southeast Asia

Galaxy Racer akhirnya memenangkan trophy bergengsi Dota 2 pertamanya. Tim asal Malaysia tersebut menjuarai BTS Pro Series Season 7: Southeast Asia. Galaxy Racer berhasil melakukan comeback gemilang di partai grand final setelah sebelumnya tertinggal 2-0 atas Fnatic. InYourdreaM dan kawan-kawan mengakhiri permainan dengan skor akhir 3-2 untuk Galaxy Racer.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by DOTA 2 INDONESIA (@dotaindonesia2)

BTS Pro Series Season 7: Southeast Asia sendiri merupakan turnamen musim ketujuh yang diadakan oleh Beyond the Summit. Turnamen ini digelar sejak 2 hingga 15 Agustus 2021 kemarin. Sebanyak 8 tim Dota 2 terbaik di Asia Tenggara mengikuti turnamen ini. BTS Pro Series Season 7: Southeast Asia memperebutkan total hadiah sebesar US$50.000 atau sekitar Rp720 juta.

BTS Pro Series Season 7: Southeast Asia dapat dikatakan sebagai ajang pemanasan bagi tim Dota 2 Asia Tenggara sebelum mengikuti The International 10 yang akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2021 mendatang. Pasalnya, 2 tim Asia Tenggara yang berhasil lolos ke TI10 yakni T1 dan Fnatic mengikuti turnamen ini. Sedangkan 6 tim lainnya yakni Motivate.Trust Gaming, Team SMG, Galaxy Racer, Army Geniuses, Execration, dan OB Esports x Neon merupakan tim papan atas Dota 2 di Asia Tenggara.

Sayangnya, penampilan 2 tim TI 10 tersebut kurang memuaskan dalam BTS Pro Series Season 7: Southeast Asia. T1 dan Fnatic hanya mampu menempati posisi 3 dan 4 klasemen akhir di bawah Execration dan Galaxy Racer. Pada babak playoff Fnatic berusaha memperbaiki penampilan mereka hingga akhirnya berhasil lolos ke partai grand final bertemu dengan Galaxy Racer. Meskipun sudah unggul 2 game lebih dahulu, Fnatic tidak mampu menyelesaikan kemenangannya setelah di 3 game lanjutannya dimenangkan oleh tim Galaxy Racer.

Kemenangan Galaxy Racer di BTS Pro Series Season 7: Southeast Asia ini tidak lepas dari 2 pemain baru asal Indonesia yakni InYourdreaM dan Jhocam. Performa naik turun yang dialami Galaxy Racer akhirnya terbayarkan setelah merekrut keduannya pada pertengahan tahun 2021. Sebelumnya Galaxy Racer hanya mampu berada di papan tengah turnamen DPC 2021 SEA Lower Division musim ini.

Kita lihat saja apakah performa gemilang Galaxy Racer akan terus berlanjut setelah hadirnya 2 pemain asal Indonesia. Bisakah nantinya 2 pemain Indonesia tersebut membawa Galaxy Racer menuju pentas The International seperti yang dilakukan 2 pemain Indonesia yakni Xepher dan Whitemon bersama T1?

Profil Perjalanan Karir Xepher dan Whitemon, 2 Pemain Indonesia Pertama di The International

Pagelaran turnamen Dota 2 The International 10 yang akan digelar bulan Oktober 2021 mendatang menjadi spesial bagi pengemar di Indonesia — di masa ekosistem Dota 2 di Indonesia tak lagi subur seperti dulu. Pasalnya, turnamen TI kali ini merupakan kali pertamanya pemain asal Indonesia dapat mengikuti turnamen esports terbesar di dunia ini.

Pemain Indonesia yang berhasil menembus TI10 tidak lain adalah Kenny “Xepher” Deo dan Matthew “Whitemon” Filemon. Kedua pemain tersebut merupakan pemain Support yang saat ini membela T1. Tim T1 berhasil lolos menuju TI10 berkat penampilan apik pemainnya dalam turnamen DPC musim ini.

T1 berhasil lolos ke dalam 2 turnamen Major musim ini yakni ONE Esports Singapore Major 2021 dan WePlay AniMajor. Bahkan Xepher dan kawan-kawan berhasil menempati peringkat ketiga turnamen WePlay AniMajor yang digelar bulan Juni 2021 kemarin.

Lalu bagaimanakah perjalanan duo support Indonesia dalam mencapai tangga tertinggi turnamen Dota 2 The International? Fans Indonesia harus menunggu hingga seri yang kesepuluh alias 10 tahun sebelum dapat menyaksikan anak bangsa bersaing dalam perebutan trophy Aegis of the Immortal.

Xepher – Pemain Berpengalaman yang Selalu Tampil Konsisten

Tigers Juara DreamLeague Season 10
Image Credit: DreamHack

Kenny “Xepher” Deo merupakan pemain profesional Dota 2 yang cukup lama di Indonesia. Dia mengawali karir profesionalnya pada tahun 2014 silam bersama tim Zero Latitude. Bersama Xepher, tim ini langsung melejit menjadi salah satu tim Dota 2 terbaik di Indonesia. Sayangnya tim Zero Latitude tidak berumur panjang. Tim tersebut langsung disband di tahun yang sama, meskipun penampilan apik para pemainnya.

Selanjutnya Xepher bergabung bersama TEAM nxl>. Kiprahnya di TEAM nxl> juga tidak berjalan cukup lancar karena tim ini juga memutuskan untuk melepas para pemainnya. Kemudian di awal tahun 2015 Xepher memutuskan untuk bergabung dengan raksasa Dota 2 Indonesia yakni RRQ. Sayangnya kiprah Xepher bersama tim RRQ kurang begitu bagus. Bersama RRQ, Xepher hanya berhasil menembus tingkat Minor — itu pun GESC Indonesia Minor yang kualifikasinya hanya melawan tim-tim Indonesia lainnya.

Pada tahun 2018, Xepher memutuskan untuk keluar dari RRQ dan bergabung dengan tim TNC Tigers bersama InYourdreaM. Bersama tim TNC Tigers inilah performa Xepher semakin baik dan konsisten. Dia semakin diperhitungkan sebagai supports terbaik di Asia Tenggara. TNC Tigers yang akhirnya berganti nama menjadi Tigers berhasil merengkuh gelar juara DreamLeague Season 10 di tahun 2018.

Penampilan konsisten terus ditunjukan oleh Xepher saat bersama tim barunya Geek Fam. Di tim inilah akhirnya Xepher diduetkan dengan Whitemon sebagai duo supports. 2 trophy berhasil mereka persembahkan yakni dari turnamen BTS Pro Series Season 2: Southeast Asia dan ONE Esports Dota 2 SEA League, sebelum akhirnya tim ini memutuskan untuk disband pada tahun 2020.

Dengan susunan squad yang hampir sama, mantan pemain Geek Fam berlabuh menuju tim T1. Permainan para pemain T1 semakin lama semakin kompak. Hal ini membuat performa tim semakin naik dan menjadikan T1 salah satu tim kuat di dunia. Hingga akhirnya tim T1 dapat menembus ajang The International 10 dengan status sebagai tim undangan.

Whitemon – Pemain Baru yang Penuh Talenta

Image Credit: ESL

Matthew “Whitemon” Filemon dapat dikatakan sebagai pemain baru di kancah profesional Dota 2. Meskipun sudah bermain game Dota sejak lama yakni sejak kelas 5 SD, namun Whitemon belum perhah terjun ke dunia esports. Selain itu Whitemon juga sebenarnya mempunyai role sebagai Carry sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi Supports 5.

Karir profesional Whitemon dimulai saat dikontrak untuk bermain sebagai stand-in di tim Pandora Esports. Sayangya tim Pandora Esports tidak bertahan lama dan membubarkan timnya. Karir profesional Whitemon selanjutnya terganjal restu orang tua dan juga dia harus memulai kuliahnya. Namun berkat keseriusan dari tim EVOS Esports dan Whitemon sendiri akhirnya dia dapat bergabung bersama tim ini pada tahun 2018 kemarin.

Di EVOS Esports, Whitemon bermain bersama pemain pro Indonesia yang lebih senior lainnya seperti Aville, iLogic, dan InYourdreaM. Bermain bersama pemain-pemain berpengalaman talenta membuat Whitemon terus terasah. Sayangnya tim ini hanya tak dapat berbicara banyak di skena internasional dan kesulitan menghadapi tim-tim Dota 2 dari Asia Tenggara lainnya. Akhirnya tim EVOS Esports memutuskan untuk disband pada tahun 2019.

Tidak butuh waktu lama, Whitemon segera mendapatkan tim baru yakni bersama Geek Fam dan diduetkan dengan Xepher. Dengan talenta yang dimiliki oleh Whitemon, dia langsung beradaptasi dengan baik di tim barunya dan menjadikan Geek Fam tim papan atas di Asia Tenggara sebelum akhirnya tim ini juga memutuskan untuk disband pada tahun 2020.

Bersama dengan Xepher akhirnya Whitemon direkrut oleh tim T1. Keduanya menjadikan T1 sebagai tim yang patut diperhitungkan tidak hanya di Asia Tenggara namun juga di dunia. Meloloskan tim T1 ke dalam turnamen The International 10 langsung adalah bukti talenta dari Whitemon.

***

Kita lihat saja bagaimana kiprah duo supports Indonesia dalam turnamen The International 10 mendatang. Turnamen ini nantinya akan diselenggarakan di Rumania pada 7 hingga 17 Oktober 2021 mendatang. Total hadiah yang diperebutkan dalam turnamen ini mencapai US$40,018,195 atau sekitar Rp573 miliar.

Jika Anda tertarik, kami sempat menuliskan sejarah lengkap Dota 2 dan The Internasional di sini.

Studi Komparasi antara Olimpiade dan Kompetisi Esports: Mana yang Lebih Menguntungkan?

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.

Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esports events memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.

Persiapan Olimpiade

Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.

Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.

Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.

Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.

Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.

Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.

Persiapan Esports Events

Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.

Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.

Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.

“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”

“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.

Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.

“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”

Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:

1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan

“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.

LAN Events. | Sumber: ESL Gaming

Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.

“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”

Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.

“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.

“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.

LOL Worlds 2020 digelar di Shanghai. | Sumber: LOL Esports

Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.

Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.

“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”

Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.

“Dari pengalaman gue handle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”

Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.

Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.

“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.

Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports

Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.

Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.

Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.

Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:

Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%

Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.

CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.

Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah  peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.

Jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari TI dan LOL Worlds. | Sumber: Esports Charts

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.

Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.

Viewership LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Charts
Viewership dari The International 2019. | Sumber: Esports Charts

Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.

Money, Money, Money~

Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.

Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.

Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.

Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.

Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.

Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.

Pemasukan Olimpiade dari lisensi. | Sumber: Statista

Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.

Pemasukan Olimpiade dari marketing. | Sumber: Statista

Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.

Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.

Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.

Desa atlet di Turin. | Sumber: Olympics

Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.

Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.

“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”

Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah.  Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.


Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?

Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.

Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports,  sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”

Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”

BOOM Esports ketika menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.

“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”

Kesimpulan

Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.

Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.

InYourdreaM Kembali Puncaki MMR SEA Jadi Pemain Dota 2 Nomor 1 di Asia Tenggara

Pemain Dota 2 asal Indonesia yakni InYourdreaM kembali menorehkan prestasi individunya. Pemain dengan nama asli Muhammad Rizky ini berhasil mengambil alih puncak MMR leaderboard di SEA atau Asia Tenggara. Berarti, saat ini InYourdreaM menjadi pemain Dota 2 nomor 1 di Asia Tenggara. IYD menggeser pemain asal Laos yaitu JaCkky yang sebelumnya menjadi pemimpin klasemen.

Image Credit: Dota 2

Prestasi yang diraih oleh InYourdreaM ini bukanlah kali pertamanya. Sebelumnya IYD merupakan pemain pertama yang berhasil meraih MMR 9.000 pada tahun 2017 silam dan menjadi salah satu pemain yang berhasil menembus MMR 11.000 pada tahun 2021 kemarin di server Asia Tenggara.

IYD juga tercatat sebagai pemain Dota 2 Indonesia pertama yang membela tim Dota 2 besar luar negeri pada tahun 2017 lalu di Fnatic. Selain itu IYD juga tercatat pernah bermain untuk tim-tim besar seperti Fnatic, TNC Tigers, serta T1. Prestasi tertinggi yang pernah diraih oleh IYD adalah menjuarai turnamen minor Dota 2 DreamLeague Season 10 pada tahun 2018 lalu bersama tim Tigers.

Image Credit: DreamHack

Hingga saat ini InYourdreaM masih aktif membela tim Dota 2 dari Malaysia yakni Galaxy Racer bersama 1 pemain asal Indonesia lainnya yakni Jhocam. Sayangnya IYD gagal membawa tim ini untuk melaju ke dalam turnamen The International setelah dalam babak kualifikasi dikalahkan oleh BOOM Esports. Saat ini Galaxy Racer juga sedang bertanding dalam turnamen PNXBET Invitationals Southeast Asia Season 2 menghadapi tim-tim Dota 2 Asia tenggara lainnya.

Kita lihat saja apakah prestasi individu yang diraih oleh InYourdreaM ini mampu mengangkat performa timnya di tingkat internasional. Saat ini memang performa dari IYD sedang menurun. Hal ini terbukti, dalam 1 tahun terakhir, IYD sering bergonta ganti tim seperti BOOM Esports, T1, Zero Two, hingga akhirnya berlabuh di tim Galaxy Racer. Meskipun begitu penampilan dari InYourdreaM tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia selalu tampil impresif di setiap laga yang dia ikuti bersama timnya.

Sejarah Panjang Dota 2 dan The International: Berawal dari Mod Sampai Jadi Langganan Rekor Hadiah Turnamen Esports Terbesar Dunia

Di Indonesia, skena esports dari Dota 2 mungkin sudah dianggap hidup segan mati tak mau. Pasalnya, di Tanah Air, game esports yang populer memang mobile game. Karena itu, jangan heran jika tidak banyak organisasi esports yang punya tim Dota 2 atau game PC lainnya saat ini. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa Dota 2 tetap merupakan salah satu game esports yang sukses di dunia. Buktinya, The International selalu memecahkan rekor jumlah hadiah terbesar di dunia setiap tahunnya. Tak hanya itu, walau diluncurkan resmi delapan tahun lalu, Dota 2 tetap punya pemain aktif bulanan hingga ratusan ribu orang.

Berikut sejarah mengenai Dota 2 dan bagaimana The International bisa menjadi turnamen global yang diadakan setiap tahun.

Sejarah Dota 2

Semua berawal dari Aeon of Strife, yang dianggap sebagai “game” MOBA pertama. Aeon of Strife merupakan mod buatan fans untuk StarCraft: Brood War. Mod itu menjadi sangat populer sehingga Blizzard pun memasukkannya ke Warcraft 3. Pengalaman bermain Aeon of Strife memang tidak persis sama dengan game-game MOBA yang ada saat ini. Namun, game tersebut tetap punya gameplay dasar yang sama seperti kebanyakan MOBA. Misalnya, tujuan pemain dalam Aeon of Strife tetaplah menghancurkan markas musuh. Selain itu, peta dalam game itu juga punya tiga lini, sama seperti peta dalam game MOBA lainnya. Hanya saja, di Aeon of Strife, satu tim berisi empat orang dan bukannya lima orang. Selain itu, musuh yang harus dihadapi oleh para pemain adalah AI dan bukannya pemain lain, seperti yang disebutkan oleh RedBull.

Aeon of Strife dianggap sebagai game MOBA pertama. | Sumber: Hive Workship

Jika Aeon of Strife menjadi cikal bakal dari genre MOBA, Defense of the Ancients (DotA) merupakan awal dari Dota 2. Sama seperti Aeon of Strife, DotA juga merupakan mod. DotA dibuat modder Kyle “Eul” Sommer untuk Warcraft 3. Mod DotA sudah sangat mirip dengan game Dota 2 yang ada sekarang. Di DotA, lima pemain akan melawan lima pemain lainnya. Tim yang menang adalah tim yang bisa menghancurkan markas musuh lebih dulu. Walau mod DotA populer, Eul memutuskan untuk meninggalkannya. Dia justru mencoba untuk membuat sekuel dari DotA. Namun, proyek tersebut gagal. Pada akhirnya, Eul akan menyerahkan kepemilikannya atas DotA pada Valve.

Kesuksesan mod DotA menginspirasi banyak orang untuk membuat game serupa. Dari semua game yang muncul, hanya DotA: Allstars yang sukses. DotA: Allstars juga dibuat oleh seorang modder, yaitu Steve “Guinsoo” Feak. Nantinya, game inilah yang menjadi dasar dari Dota 2 yang kita kenal sekarang. Faktanya, Allstars juga sering dianggap sebagai DotA orisinal. Alasannya, game itu tidak hanya menjadi dasar dari Dota 2, tapi juga digunakan dalam pertandingan profesional.

Setelah sukses dengan Allstars, Guinsoo dan Steve “Pendragon” Mescon — yang membuat pusat komunitas DotA — memutuskan untuk masuk ke Riot Games dan membantu mereka mengembangkan League of Legends. Mereka meninggalkan DotA: Allstars di tangan IceFrog. Dalam sejarah Dota 2, IceFrog punya peran penting. Memang, dia tidak membuat Allstars dari nol atau merombak game tersebut, tapi, dialah yang membuat konten baru untuk Allstars setelah Guinsoo dan Mescon pergi. Tak hanya itu, dia juga memastikan bahwa gameplay Allstars tetap seimbang dan tidak ada karakter yang terlalu overpowered.

Saat itu, kesuksesan DotA murni berkat fans. Game tersebut dibuat oleh fans dan menjadi besar karena fans. Namun, keadaan berubah ketika League of Legends diluncurkan pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Peluncuran kedua game itu menunjukkan bahwa genre MOBA punya potensi besar. Jika DotA ingin tetap eksis dan bisa bersaing dengan game-game MOBA lainnya, game itu memerlukan bantuan dari perusahaan game besar.

Perusahaan itu adalah Valve.

Valve menggandeng IceFrog untuk membuat Dota 2.

Pada 2009, IceFrog bergabung dengan Valve untuk membuat sebuah game. Ketika itu, semua orang tahu bahwa Valve menggandeng IceFrog untuk membuat game MOBA. Namun, Valve beru mengungkap bahwa game MOBA yang mereka kembangkan adalah Dota 2 pada 2010. Satu tahun kemudian, pada 2011, Valve merilis versi beta dari Dota 2. Sebelum itu, mereka juga memberikan akses pada beberapa media. Versi beta dari Dota 2 mendapatkan sambutan positif dari para beta testers.

Masalah muncul ketika Valve mendaftarkan kata “DOTA” sebagai trademark pada 2012. Keputusan itu menjadi awal dari pertarungan legal Valve dengan Blizzard dalam beberapa bulan ke depan. Blizzard memang tidak mencoba untuk mendaftarkan kata “DOTA” sebagai trademark. Namun, menurut mereka, DotA, Dota: DOTA, dan Defense of the Ancients merupakan bagian dari Warcraft.  Blizzard beragumen, kata DOTA selalu diasosiasikan dengan Warcraft. Mereka juga menyebutkan, sebagai mod dari Warcraft 3, DOTA dibuat berdasarkan mekanisme pada game buatan Blizzard tersebut. Tak hanya itu, karakter dalam DOTA juga merupakan karakter di Warcraft 3, dengan tampilan desain yang sama, menurut laporan PC GAMER.

Walau membutuhkan beberapa bulan, pertarungan legal antara Valve dan Blizzard akhirnya bisa diselesaikan. Keduanya memutuskan bahwa mereka sama-sama bisa menggunakan varian dari nama “Defense of the Ancients” sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Valve akan menggunakan nama Dota untuk produk komersil mereka, termasuk game Dota 2 yang sedang mereka kembangkan. Sementara itu, ketika Blizzard menggunakan kata Dota, nama itu mengacu pada peta yang pemain buat untuk Warcraft 3 dan Starcraft 2, lapor Gamasutra. Setelah masalah itu selesai, proses pengembangan game Dota 2 berjalan dengan lancar.

Lahirnya The International: Berawal Sebagai Alat Marketing

Valve menggelar The International pertama pada 2011, bersamaan dengan Gamescom. Menariknya, ketika itu, Dota 2 belum resmi diluncurkan dan masih dalam tahap beta. Jadi, untuk apa Valve mengadakan The International? Sebagai alat marketing. Valve menyediakan total hadiah sebesar US$1,6 juta, menjadikan TI sebagai turnamen esports dengan hadiah terbesar pada masanya. Dengan  ini, Valve berharap mereka bisa mengenalkan Dota 2 ke masyarakat luas.

Dalam TI pertama, ada delapan tim yang diundang untuk ikut serta. Pertandingan TI pertama bisa ditonton secara langsung oleh orang-orang yang menghadiri Gamescom, yang digelar di Cologne, Jerman. Selain itu, Valve juga menyiarkan pertandingan TI agar bisa ditonton oleh seluruh gamers di dunia. Keputusan Valve untuk menjadikan TI sebagai alat marketing berbuah manis. Berkat TI, ribuan gamers menjadi tahu akan Dota 2 dan ingin segera mencoba game tersebut.

NaVi jadi juara The International pertama. | Sumber: Navi.gg

Dalam beberapa bulan ke depan, Valve juga terus menyebar undangan bagi gamers untuk menguji versi beta dari Dota 2. Seiring dengan bertambahnya pemain Dota 2, skena esports dari game itu pun mulai terbentuk. Sama seperti dengan Dota 2 yang berawal dari mod, ekosistem esports Dota 2 juga diprakarsi oleh para fans. Karena itu, pada awalnya, turnamen Dota 2 yang muncul hanyalah turnamen skala kecil. Kebanyakan turnamen itu menawarkan total hadiah kurang dari US$25 ribu. Meskipun begitu, ekosistem grassroot itulah yang menjadi awal dari ekosistem esports Dota 2 yang kita kenal sekarang.

Pada 2012, Valve kembali menggelar The International. Total hadiah dari TI2 masih sama seperti TI sebelumnya, yaitu US$1,6 juta. Hanya saja, kali ini, TI digelar di Seattle, Amerika Serikat. Saat itu, versi beta Dota 2 sudah dibuka untuk umum. Jumlah hero yang bisa dimainkan pun sudah semakin banyak. Alhasil, komunitas Dota 2 terus tumbuh.

Valve meluncurkan Dota 2 di Steam pada Juli 2013. Hal ini membuat jumlah pemain Dota 2 meroket. Pada Juni 2013, jumlah pemain rata-rata Dota 2 hanya mencapai 210 ribu orang. Angka ini naik menjadi 237 ribu orang pada Juli 2013 dan menjadi 330,7 ribu orang pada Agustus 2013. Di tahun ini, Valve juga mulai melakukan crowdfunding untuk menaikkan total hadiah dari The Internationnal. Taktik Valve sukses. Total hadiah dari The International 2013 mencapai US$2,8 juta, US$1,2 juta lebih banyak dari dua turnamen sebelumnya.

Sejak sukses dengan crowdfunding di TI3, Valve terus menggalang dana dari fans Dota 2 untuk menambah total hadiah dari TI. Alhasil, dari tahun ke tahun, total hadiah dari TI selalu naik. Tahun lalu, seorang pangeran Arab bahkan membeli battle pass untuk The International 10 — yang ditunda karena pandemi COVID-19 — seharga Rp588 juta. Sejauh ini, total hadiah dari TI10 telah melebihi US$40 juta, mengalahkan rekor tahun lalu. Dan angka ini masih terus naik.

Dari tahun ke tahun, pertumbuhan total hadiah TI memang cukup besar. Pada The International 2014, total hadiah telah menembus US$10 juta. Dua tahun kemudian, pada TI6, total hadiah yang ditawarkan mencapai lebih dari US$20 juta. Dan The International 9 menjadi TI pertama dengan total hadiah lebih dari US$30 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat data tentang total hadiah TI dari tahun ke tahun.

Hadiah The International dari tahun ke tahun. | Sumber data: Esports Earnings

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, terjadi lonjakan besar pada total hadiah The International beberapa kali. Kenaikan total hadiah paling besar terjadi pada The International 9, dengan kenaikan total hadiah hampir mencapai US$8,8 juta. Kenaikan total hadiah pada TI4 dan TI5 juga cukup signifikan. Terus naiknya total hadiah dari The International memang bisa dianggap sebagai tanda bahwa komunitas Dota 2 masih ingin terus mendukung skena esports profesional. Meskipun begitu, total hadiah The International yang sangat besar ini juga menimbulkan masalah sendiri.

Setelah membahas tentang jumlah hadiah dari The International, mari bicara soal tim-tim yang pernah memenangkan kompetisi bergengsi tersebut. Sejak The International digelar pada 2011, hanya ada satu tim yang berhasil menjadi juara dua kali, yaitu tim OG. Tim asal Eropa tersebut berhasil memenangkan TI8 dan TI9.  Menariknya, ketika memenangkan TI selama dua tahun berturut-turut, tim OG memiliki roster yang sama.

Berikut roster dari tim OG ketika memenangkan TI8 dan TI9:

Anathan “ana” Pham
Topias “Topson” Taavitsainen
Sebastien “Ceb” Debs
Jesse “JerAx” Vainikka
Johan “N0tail” Sundstein – kapten

Dan berikut adalah daftar tim yang pernah memenangkan The International:

2011 – Natus Vincere
2012 – Invictus Gaming
2013 – Alliance
2014 – Newbee
2015 – Evil Geniuses
2016 – Wings Gaming
2017 – Team Liquid
2018 – OG
2019 – OG

Total hadiah bukanlah satu-satunya tolok ukur untuk mengetahui sukses atau tidaknya sebuah turnamen. Dua faktor lain yang bisa menjadi pertimbangan adalah jumlah penonton rata-rata dan hours watched. Menurut data dari Esports Charts, baik jumlah penonton rata-rata maupun hours watched dari The International menunjukkan tren naik dalam empat tahun terakhir. Pada The International 7, jumlah penonton rata-rata hanya mencapai 418 ribu orang. Angka ini naik menjadi 537,7 ribu orang pada TI8 dan menjadi 738,9 ribu orang pada TI9. Sementara dari segi hours watched, total hours watched dari The International 7 hanya mencapai 44,3 juta jam. Pada TI8, total hours watched mencapai 63,9 juta jam dan pada TI9, angka itu naik menjadi 88,4 juta jam.

Jumlah hours watched dari TI7 sampai TI9. | Sumber: Esports Charts
Jumlah peak viewers dari TI7 sampai TI9. | Sumber data: Esports Charts

Sayangnya, walau jumlah penonton dari The International menunjukkan tren naik, lain halnya dengan jumlah pemain Dota 2. Sejak diluncurkan pada 2013, jumlah pemain Dota 2 menunjukkan tren naik-turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Steam Charts.

Jumlah pemain rata-rata dan peak players Dota 2 dari tahun ke tahun. | Sumber data: Steam Charts

Sejak Juli 2012 sampai Juli 2014, jumlah pemain rata-rata Dota 2 setiap bulannya menunjukkan tren naik. Pada September 2014, jumlah pemain rata-rata sempat turun menjadi 478 ribu orang, sebelum kembali naik menjadi 629 ribu orang pada Februari 2015. Sepanjang sejarah Dota 2, rekor jumlah pemain rata-rata paling banyak adalah 709 ribu orang. Hal ini terjadi pada Februari 2016.

Sejak saat itu, jumlah pemain rata-rata Dota 2 cenderung menurun. Jumlah pemain Dota 2 mencapai titik terendah pada April 2018, dengan total pemain hanya mencapai 430 ribu orang. Namun, jumlah gamers Dota 2 kembali naik sejak Januari 2019, mencapai 476 ribu orang. Pada Februari-Juni 2019, jumlah rata-rata pemain Dota 2 terus ada di atas 500 ribu orang. Angka itu turun menjadi 465 ribu orang pada Juli 2019. Sejak itu, jumlah pemain Dota 2 menunjukkan tren naik-turun.

Jumlah pemain rata-rata Dota 2 sempat kembali memuncak pada April 2020, mencapai 430 ribu orang. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu alasan mengapa jumlah pemain Dota 2 mengalami kenaikan pada kuartal pertama 2020. Sementara itu, sepanjang sejarah, tren jumlah peak players dari Dota 2 juga sama seperti tren dari jumlah pemain rata-rata. Rekor peak players terbanyak tercatat pada Maret 2016. Ketika itu, jumlah peak players mencapai 1,29 juta orang.

Bagaimana dengan Skena Esports Dota 2 di Indonesia?

“Komunitas Dota 2 di Indonesia saat ini memang berbeda jika dibandingkan dengan pada tahun 2014-2017,” kata Yudi Anggi, shoutcaster Dota 2 yang dikenal dengan nama “Justincase”. Namun, dia meyakinkan, perbedaan itu tidak dalam konotasi negatif. “Perbedaannya, dulu, ada banyak turnamen-turnamen Dota 2 lokal. Dan sekarang, hampir tidak ada turnamen lokal yang diadakan,” ujarnya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat.

“Tapi, dulu, livestreamer dan kreator konten Dota 2 Indonesia tidak seramai sekarang. Jadi, walau berbeda, tapi tidak buruk juga,” ujar Yudi. Dia mengungkap, saat ini, ada banyak pemain profesional yang aktif melakukan siaran, seperti Rusman, inYourDream, dan lain sebagainya. “Sehingga, para penggemar Dota 2 di Indonesia dimanjakan dengan banyaknya konten livestreaming yang tersedia,” katanya. “Dengan begitu, komunitas Dota 2 pun semakin tumbuh dan terawat, sehingga menjadi ramai kembali.”

Yudi “Justincase” Anggi. | Sumber: Facebook

Yudi menjelaskan, Saweria menjadi salah satu alasan mengapa semakin banyak orang yang tertarik untuk melakukan siaran dan membuat konten. Melalui Saweria, para kreator konten atau streamer bisa mendapatkan donasi dari para penonton. “Para donatur benar-benar dermawan dalam memberikan dukungan pada streamer favorit mereka,” kata Yudi. “Dengan begitu, para streamer pun menjadi semangat untuk membuat konten. Pada akhirnya, pihak yang diuntungkan adalah komunitas Dota 2 itu sendiri.”

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, Co-founder Saweria, Natalia menyebutkan bahwa 10 penerima dana dukungan terbesar di Saweria merupakan gamers. Sementara itu, orang dengan pemasukan terbesar di Saweria bisa mendapatkan sekitar Rp44 juta per bulan.

Gary Ongko Putera, pendiri dan CEO BOOM Esports punya perspektif yang berbeda dari Yudi terkait komunitas Dota 2 di Tanah Air. Menurut Gary, komunitas Dota 2 di Indonesia cukup toxic. Hal inilah yang membuatnya enggan untuk terlau memerhatikan komunitas lokal dari Dota 2. Contoh perilaku toxic yang dimaksud Gary adalah mendukung tim musuh walau ada tim Indonesia yang berlaga di sebuah turnamen esports. Dia menambahkan, “Sudah tipis, tapi masih suka ‘kanibal’, bunuh tim sendiri. Kadang-kadang, mendukung tim negara sendiri juga jadi malas.”

Meskipun begitu, Gary masih optimistis bahwa ekosistem esports Dota 2 di Indonesia akan bisa bertahan. “Masih ada kita sama AG (Army Geniuses-red), jadi harusnya aman. Selama masih ada yang mau ‘invest‘, pasti bisa hidup. Karena, skill pemain-pemain Dota d Indonesia tinggi,” ungkap Gary. “Tinggal dibantu coaching dan dikasih fasilitas serta standar, supaya bisa hidup dari Dota 2.” Dengan begitu, diharapkan, para pemain berbakat masih akan bersedia untuk serius berkarir sebagai pemain profesional.

Soal masa depan ekosistem esports, Yudi setuju dengan Gary. Dia juga merasa, ekosistem esports Dota 2 di masa depan masih cukup menjanjikan. Hanya saja, jika seseorang ingin bisa menjadi pemain Dota 2 profesional, dia harus siap dalam menghadapi semua tantangan yang ada. “Karena turnamen lokal tidak ada, jadi para pemain yang ingin menjadi profesional harus menunjukkan bakatnya langsung ke kancah internasional,” ungkap Yudi. “Tapi, bila mereka berhasil bersaing di Asia Tenggara, akan terbuka banyak sekali jalan untuk suksesnya. Di luar negeri, masih banyak organisasi esports yang mau menaungi mereka.”

Karena itulah, Yudi menyarankan, bagi orang-orang yang ingin menjadi pemain profesional atau manajer tim Dota 2, dia harus bisa berbahasa Inggris. “Karena lapangan kerja sebagai pemain atau manajer Dota 2 lebih banyak terbuka di luar nergeri daripada di dalam negeri,” katanya. “Kalau menjadi caster Dota 2, lebih baik jangan. Nonton saya saja siaran ya,” selorohnya.

Tim Dota 2 BOOM saat menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Gary bercerita, bagi organisasi esports, ketiadaan turnamen lokal juga mempersulit mereka untuk mencari talenta baru. “Lumayan susah,” jawabnya ketika ditanya apakah mencari pemain baru di Indonesia sulit atau tidak. “But, we did well for ourselves. Kita bisa menarik talenta-talenta dari luar Indonesia. Dan reputasi kita lumayan oke secara global, berkat prestasi dari tim Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive kita.”

Gary juga menyebutkan, gaji pokok yang ditawarkan oleh organisasi esports di Indonesia termasuk salah satu yang terbesar. Dan hal ini bisa menjadi daya tarik bagi para gamers yang memang ingin berkarir sebagai pemain Dota 2 profesional. “Jadi, sebenarnya, kalau bisa jadi pemain top, ya pasti menguntungkan. Sejujurnya, di semua game, kalau bisa jadi pemain-pemain terbaik pasti bisa lukratif. Tapi, kalau levelnya standar, ya susah. Karena, sekarang, organisasi esports yang fokus di Dota 2 juga tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan game lain. Apalagi, skill ceiling-nya juga jauh lebih tinggi dari game MOBA lain.”

Sebelum ini, Editor-in-Chief Hybrid.co.id, Yabes Elia, pernah membahas bagaimana passion tak lagi cukup untuk menjajaki dunia esports. Namun, tak bisa dipungkiri, tetap ada orang-orang yang bertahan di dunia esports karena passion. Gary dan Yudi adalah contohnya. Walau punya karir yang berbeda, keduanya memutuskan untuk bertahan di ekosistem esports Dota 2 karena memang suka dengan game MOBA tersebut. Padahal, di Indonesia, ekosistem mobile esports jauh lebih ramai. Gary mengaku, akan sulit baginya untuk tetap menjalankan BOOM jika dia hanya fokus sepenuhnya pada bisnis.

“Buat saya sih, lebih ke prinsip saja, tanpa Dota 2/CS:GO, nggak akan ada BOOM,” kata Gary, menjelaskan alasannya mengapa dia tetap mempertahankan tim Dota 2. “Karena, saya sukanya memang Dota 2 dan CS:GO. Dan akan susah untuk terus running BOOM kalau passion-nya sudah nggak ada dan jadi pure bisnis.” Dia mengaku, dia memang senang dengan game-game yang kompleks. Dan menurutnya, Dota 2 merupakan game tersusah di dunia. “No offense ke game lain, tapi saya main SMP sudah main Dota. Dan game ini memang kompleks banget. Bisa ada mekanik stacking, pulling creep, support jadi carry, itemization, dan lain-lain. Jadi, mungkin buat orang ‘tua’ yang biasa nonton game kompleks, disuruh nonton game lain, jadi kurang excited gitu.”

Hanya karena Dota 2 memang merupakan game yang disukai, bukan berarti Gary tak mempertimbangkan sisi bisnis. Ketika ditanya apakah mempertahankan tim Dota 2 di BOOM memang menguntungkan dari segi bisnis, Gary menjawab, “Dari segi bisnis, tentunya menguntungkan. Karena kami kan juga bermain di ‘dunia’. Walau, ya tidak sampai untung-untung banget; cukup untuk membayar cost tim sendirilah, kurang lebih.”

Sementara itu, Yudi mengungkap, alasannya untuk setia menjadi shoutcaster dari Dota 2 adalah karena masalah preferensi. “Saya tidak begitu suka mobile game. Jadi, saya tidak bisa maksimal dalam melakukan shoutcasting mobile games,” ujarnya. “Saya harus benar-benar menyukai sebuah game agar bisa memberikan performa terbaik saat siaran. Dengan saya menyukai sebuah game, saya akan antusias untuk menggali informasi, baik tentang game itu maupun esports scene dari game tersebut. Dua hal itu akan menjadi bahan pembicaraan ketika saya melakukan shoutcasting.”

Pada akhirnya, Yudi menutup, apakah seseorang memutuskan untuk bertahan di ekosistem esports Dota 2 atau banting setir ke mobile esports yang lebih ramai, hal itu bukan masalah. “Kembali lagi ke masing-masing orang. Kalau ada yang bilang, bekerja itu untuk uang, ya… tidak ada salahnya. Dan itu hak mereka untuk memilih,” katanya. “Tapi, bagi saya pribadi, sepertinya berkarir di Dota 2 saja sudah cukup untuk membuat perut kenyang. Walau memang uangnya masih tidak cukup untuk membeli franchise McDonald’s.”

Penutup

Delapan tahun sejak diluncurkan, Dota 2 masih dimainkan oleh ratusan ribu orang. Hal ini membuktikan kesuksesan Valve dalam membuat Dota 2 tetap digemari. Mengembangkan ekosistem esports jadi salah satu cara mereka untuk merealisasikan hal itu. Walau jumlah penonton The International masih kalah dari League of Legends World Championship, jumlah hadiah TI yang besar tak pernah gagal untuk menarik perhatian masyarakat dan media. Sementara itu, di Indonesia, ekosistem esports Dota 2 memang sudah berubah dari beberapa tahun lalu. Kabar buruknya, tidak banyak turnamen Dota 2 yang diselenggarakan. Kabar baiknya, masih ada organisasi esports lokal yang punya tim Dota 2. Karena itulah, para pemain Dota 2 yang ingin menjadi profesional harus langsung siap bertanding di, setidaknya, tingkat regional.

Pros and Cons of the Absolute Power of Game Publishers in the World of Esports

In the esports world, game publishers are the absolute power holder who can determine every aspect of the game’s ecosystem. They are essentially the kings of the esports kingdom. Of course, there are pros and cons that comes with this system. On the one hand, publishers can give much-needed resources to grow and develop an esports ecosystem. On the other hand, publishers can also single-handedly shut down the whole esports ecosystem if deemed unprofitable. Let’s explore each these advantages and disadvantages in greater depth. 

Advantage #1: No Power Scramble

In Indonesia, four major associations oversee the country’s esports scene, namely the Indonesia Esports Association (IESPA), the Indonesian Video Game Association (Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia or AVGI), the Indonesian Esports Federation (Federasi Esports Indonesia or FEI), and the Indonesian Esports Executive Board (Pengurus Besar Esports Indonesia or PBESI). Each association has its own affiliation. For example, IESPA has been a member of the International Esports Federation since 2013 and has been a member of the Indonesian Olympic Committee (Komite Olimpiade Indonesia or KOI) since 2018. In addition, it is also affiliated with the Indonesian Community Recreational Sports Federation (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia or FORMI). On the other hand, PBESI has a close relationship with the Indonesian National Sports Committee (Komite Nasional Olahraga Indonesia or KONI).

In August 2020, KONI recognized esports as a legitimate sport, no longer considered as merely a recreational sport. On the other hand, PBESI’s position is on par with the Football Association of Indonesia (PSSI) or the Badminton Association of Indonesia (PBSI). According to One Esports, however, PBESI is the association with the highest authority or power in promoting esports. All of this information suggests that IESPA’s power or influence in the esports realm is not very widespread. However, IESPA used to be involved in encouraging esports athletes to compete in global competitions and is even responsible for selecting esports athletes at the 2019 SEA Games.

We are proud to announce the Indonesian Esports national team contingent squad for the 2019 SEA Games. Further finalization processes will be carried out by the Indonesian Olympic Committee and @KEMENPORA_RI. Please support us so that Indonesia can win as much gold medals as possible! pic.twitter.com/OZ3apKDZgV

— Indonesia Esports Association (@iespaorg) September 2, 2019

Ideally, these esports associations in Indonesia can work hand in hand to develop the esports ecosystem in the country. Boxing, for example, has four associations that can coexist in overseeing and developing the sport. However, the coexistence of multiple associations does present the possibility of conflict and the overlapping of responsibilities.

Instead, if one single organization controls the whole sport, these power struggle conflict can be prevented entirely. Publishers can ensure that all parties involved in the esports ecosystem (players, teams, tournament organizers) will comply with the rules they set. As a result, the development of the esports ecosystem will become a much more cohesive and stable process.

Let’s compare the absolute power of publishers in the esports scene with a dictatorial government system. People have always said that a democratic system is far better than an autocratic one. However, in a democracy, the government leadership or power will always change once every few years. In Indonesia, for example, a person can serve as president for a maximum of ten years (or two terms). 

Unfortunately, different leaders will have different visions, goals, virtues, and implementation of policies. Erratic changes can occur especially if the new leader comes from the opposing party, which happened in DKI Jakarta a few years ago. When Anies Baswedan and Sandiaga Uno won the DKI Jakarta Regional Head Election in 2017, they immediately modified several policies that were put in place by the previous governors.

PBESI Inauguration. | Source: Hybrid.co.id

Of course, in the context of a country or state, a change in leadership may have a positive impact in the long term. However, in the esports scene, continuity is a very important commodity. For example, let’s say that the majority of the power in the esports scene was in the hands of association A. The association felt that the regeneration of esports players is of utmost importance and subsequently hosted several competitions at the high school and college level. However, the very next year, the power shifted to association B, which considers amateur-level tournaments unnecessary. Association B proceeds to disband all competitions at the student level held by association A in the previous year. You can see how changes of power or influence can cause instability and conflict in the esports ecosystem

On the flip side, countries under dictatorship solely depend on the goals and policies that the dictator implements. Similarly, when the publisher holds absolute power, the success or failure of the esports scene will depend entirely on the publisher’s actions. Fortunately, most game publishers do want their esports ecosystem to thrive since it highly impacts their finances and revenue.

Advantage #2: Publishers will try their best to maintain and cultivate their esports ecosystem

Valve earned approximately $130.8 million USD from the sales of The International 9 Battle Pass. 25% of the total Battle Pass sales — approximately US$32.7 million — went directly to TI9’s prize pool, enabling it to accumulate a whopping $34.3 million USD. Valve, interestingly, only prepared $1.6 million USD for the starting price and pocketed $98.1 million USD from the 75% of remaining sales of the Battle Pass. Dota 2 is a relatively old game, launched in July 2013, which is also free to play. However, due to the massive success of its esports scene, Dota 2 is arguably the most profitable money-making machine for Valve. Looking at Valve’s success from Dota 2, it begs the question: why do some game publishers not opt to maintain or grow their esports scene?

Of course, The International might be an extreme case that is not easily replicable for most publishers out there. However, publishers do have other options for monetizing the esports scene than just using the prize pool. For example, Riot Games creates special and limited skins based on the team that won the League of Legends World Championship. Riot also implemented the franchise league model to generate extra revenue from esports. A franchise league model allows teams to participate in the league if they pay a certain amount of money. Currently, Riot has implemented the model in three different LoL leagues, namely the North American League (LEC), European League (LEC), and South Korean League (LCK). In Indonesia, one of the publishers that adopt the franchise league monetization model is Moonton through Mobile Legends Professional League (MPL).

PBE previews, @DWGKIA for the win!

🏆DWG Nidalee
🏆DWG Kennen
🏆DWG Twisted Fate
🏆DWG Jhin
🏆DWG Leona pic.twitter.com/lk2YxQrWYI

— League of Legends (@LeagueOfLegends) April 13, 2021

Esports can also be used as a marketing tool to maintain the player base and extend the life span of a game. Ubisoft is an example of a successful publisher that uses esports as a means of marketing. In 2016, a year after launching Rainbow Six: Siege, the game only has around 10 million active players. Jumping to 2020, however, that number skyrocketed to 55 million players. This trend usually does not occur in the gaming industry, as games often lose players a few years after their release. However, Ubisoft uses R6’s esports scene to keep the game relevant and maintain the loyalty of its fans.

As we can observe, the esports scene can highly impact the success and relevancy of a game throughout its life span, which is why most game publishers will try their best to develop their esports ecosystem. For example, Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive were used to have a very big scene in Indonesia. However, since both of these franchises’ esports were not properly cultivated in the country, Dota 2 and CS eventually died out in the region. Very few esports organizations in Indonesia still have teams competing in these two games, and the player base in the country is also shrinking rapidly.

ClutchGuild that qualified for AOV World Cup 2018. | Source: Mineski

Similar to Dota 2 and CS, Arena of Valor is also losing its prestige in the local esports ecosystem. However, the AOV esports scene is still very much alive and much more thriving than the two previous games. AOV’s major tournament, Arena of Valor Premier League, is still being held today, with prize pools reaching $350 thousand USD. As you may have already expected, Tencent and Garena were directly involved in hosting these tournaments. Therefore, although some esports ecosystems can survive without publisher support (like what we see locally with Dota 2), the game publisher’s support will extensively affect the degree of success of an esports scene.

Advantage #3: Fixed Set of Rules

In most esports, both tournament organizers and game publishers usually determine the rules in their esport scenes. However, publishers do have a stronger influence to enforce the rules they set since they obviously have direct access to the game. For example, if an esports player cheats in an official PUBG Mobile competition, Tencent can directly ban the player ID from the game. On the other hand, if a player was caught cheating in a third-party tournament, then he/she might only be banned from participating in the tournament. 

We can also take an example from Pro Evolution Soccer, one of the large esports ecosystems in Indonesia without publisher support. The PES esports scene can grow due to the efforts of Liga1PES and also the Indonesia Football e-League (IFeL). Of course, these 2 leagues have implemented their own set of rules. However, Liga1PES will not be able to interfere in the regulations made by IFeL and vice versa, potentially causing several inconsistencies or interference. 

Head of Indonesia Football e-League, Putra Sutopo. | Source:  IFeL Official Documentation

Indeed, there is a possibility of abusing the absolute power that publishers have. However, referring back to the second point/advantage, publishers will most likely use their influence for the good of the esports ecosystems as it directly impacts their finances. 

Disadvantage #1: Abrupt Shutdowns of the Esports Ecosystem

Although esports can generate a lot of revenue for publishers, creating and maintaining a profitable esports ecosystem is not an easy task. More often than not, publishers have to invest a substantial amount of budget and time to develop the esports scene of their games. As a result, when esports is no longer deemed profitable for the company, it can decide to pull out their investments and shut down the ecosystem overnight. Blizzard Entertainment is an infamous publisher that has done this in the past.

In 2015, Blizzard released Heroes of the Storm as their MOBA franchise. In the same year, Blizzard collaborated with a university-level esports organization, Tespa, to hold a HoTS competition called Heroes of the Dorm. Blizzard provides a prize pool of $25,000 USD in scholarships for the winning team. One year later, in 2016, Blizzard held a top-tier HoTS competition for professionals called Heroes of the Storm Global Championship (HGC). It went all-in on the tournament, making it global, and invested a lot of capital into it. The HoTS esports scene was a massive hit, gathering a number of well-known esports organizations, such as Gen.G from South Korea and Fnatic from England.

Unfortunately, in December 2018, Blizzard decided to stop supporting the HoTS esports scene, considering it to be unprofitable. Blizzard did not inform this move far ahead of time, causing many HoTS professional coaches and players to abruptly lose their jobs. Esports organizations that recently created HoTS teams also suffer sizable losses. Luckily, many loyal HoTS fans continued to push and support the HoTS esports scene, although most tournaments are conducted at a much smaller scale.

Blizzard’s decision to unilaterally shut down HoTS’ esports is one of the negative impacts that may arise when publishers hold absolute power in the esports world. South Korean politicians even reacted to Blizzard’s action and subsequently made regulations to prevent this type of event. In May 2021, Korean Democratic Party congressman Dong-su Yoo proposed a regulation called the Heroes of the Storm Law which ensures that no tournament organizers or game publishers can abruptly cancel or shut down tournaments before properly informing related parties. According to a Naver Sports report, through the HoTS Law, Yoo hopes that game publishers will notify teams and players far ahead of time before executing an event cancellation.

“In esports, if the game publisher is no longer willing to support the competition, the rights of many other parties who are involved in the competitions, including esports organizations, players, casters, viewers, and others would seriously be affected by these kinds of unilateral decisions,” Yoo said, as quoted from The Esports Observer. He pointed out that most esports players are in their early 20s, a vital period of determining a person’s career. Instability or a sudden shut down of an esports ecosystem can have massive consequences. “Laws must be in place to protect them from unilateral damage,” he said.

Disadvantage #2: Publishers who have no interest in Esports

Nintendo, as an example, shows absolutely no interest in building an esports ecosystem out of Super Smash Bros. Contrary to our expections, however, the Super Smash Bros esports scene is actually quite developed. The game is included in EVO, a collection of the most prestigious fighting games competition, and an annual tournament called Smash Summit is also held since 2015. Despite the collective success that has been forged by the community, Nintendo still turns a blind eye towards Super Smash Bros’ esports scene.

Nintendo does provide some form of logistical support to the Smash community once in a while, but it rarely contribute to any sort of financial assistance. As a result, Super Smash Bros tournaments don’t have the large prize pools that we often see in other esports scenes. As a comparison, Smash Summit 5, which currently has the largest prize pool in all of Smash’s esports, only offered a prize of $83.7 thousand USD. On the other hand, MPL, which is only primarily broadcasted in Indonesia, has a prize pool of $150 thousand USD. Furthermore, Riot contributed $2.25 million USD for the League of Legends World Championship prize.

Nintendo’s philosophy towards Smash’s esports scene has generated a lot of backlash from professional Smash players. Eventually, in 2020, Nintendo’s President, Shuntaro Furukawa, was prompted to clarify the reasons behind Nintendo’s decision to not support the Super Smash Bros esports ecosystem. He explained that Nintendo wanted the game to be enjoyed by both casual and also hardcore players. Nintendo didn’t want to accentuate the differences in skills between the two groups. Indeed, most people do consider Super Smash Bros to be a much more casual fighting game played for fun and entertainment.

“Esports, in which players compete on stage for prize money as an audience watches, demonstrates one of the wonderful charms of video games,” Furukawa told Nikkei, as translated by Kotaku. “We are not necessarily opposing the idea of esports. However, we also want our games to be widely enjoyed by anyone regardless of experience, gender, or age. We want to be able to participate in a wide range of different events, instead of merely competing for prize money. Our strength, what differentiates us from other companies, is this different viewpoint.

Disadvantage #3: Declining Legitimacy of Third Party Tournaments

Let’s go back to Dota 2 for a moment. You probably have realized by now that The International is essentially the World Cup for Dota 2 players. Winning a TI is the pinnacle of all Dota 2 pros due to the sheer scale in prize pool money. 

For Valve, the massive hype for TI is definitely beneficial for the company. For third-party tournament organizers, however, not so much. Obviously, third-party tournaments are incredibly insignificant compared to TI. You can probably win all non-TI tournaments in a year and still can’t get close to TI’s winning prize or prestige. Thus, some teams or players might be discouraged to participate in these smaller-scale tournaments. Subsequently, the tournament organizers might have a more difficult time getting views from audiences.

Furthermore, small-scale tournaments created by third-party organizers usually find it difficult to compete with official tournaments from publishers in terms of prestige. When you watch The International or PUBG Mobile Global Championship, you know that the teams competing in those tournaments are some of the best teams in the world. The teams in these high-tier tournaments need to go through a “preliminary round” at the national or regional level, filtering all the less competent teams. You can also observe which teams can compete at the national, regional, and global levels.

Astralis and Team Liquid, winners of Intel Grand Slam Season 1 and 2. | Source: Dexerto

Of course, not all third-party TOs are willing to spend substantial investments to create this “filtration” process or a tiered esports competition. One exception is Intel, a non-publisher company that held the Intel Grand Slam with help from ESL Gaming. Intel Grand Slam offers a $1 million USD prize for a CS:GO team that wins 4 S-Tier tournaments in a window of 10 consecutive esport events.

The existence of the Intel Grand Slam does prove, to a certain extent, that third-party organizations can create high-tier and competitive tournaments. But, of course, not many companies are willing to invest as much as Intel. Intel has an adequate budget and is also considered an endemic brand in esports. As an illustration, in 2020, Intel’s revenue reached $ 77.87 billion USD. On the other hand, NVIDIA’s revenue in the 2021 fiscal year was only $16.68 billion USD, while Sony’s is $10.7 billion USD, and Lenovo Group only accumulated $50.7 billion USD.

Conclusion

There is a saying that goes: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. A person or entity who has complete control is very likely to make selfish decisions that will benefit themself. In the world of esports, publishers –  who always have absolute control – also have the potential to act arbitrarily, evident from Blizzard’s decision to unilaterally shutting down the Heroes of the Storm esports ecosystem.

Of course, not all companies will follow in Blizzard’s footsteps. Most publishers out there do consider esports as a marketing tool to attract new audiences, maintain the loyalty of fans, and subsequently generate revenue. However, establishing a healthy esports ecosystem is can be difficult, and will need the collective support of professional teams, players, and tournament organizers. Therefore, while publishers have all the power to make all the decisions, they must also take the necessary steps to benefit all parties if they were to create a profitable esports scene. 

Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Dota 2 Champions League Siap Digelar, RSG dari Singapura Ekspansi ke Filipina

Minggu lalu, Epic Esports Event mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Federasi Esports Rusia untuk mengadakan Dota 2 Champions League. Selain itu, RSG dari Singapura juga berencana melakukan ekspansi ke Filipina, walau belum diketahui game apa yang akan mereka mainkan. BLAST Premier juga mengumumkan bahwa mereka akan memperpanjang kontrak dengan platform streaming game Tiongkok, DouYu.

Epic Esports Events dan Federasi Esports Rusia Bakal Gelar Dota 2 Champions League

Penyelenggara turnamen esports asal Rusia, Epic Esports Events dan Federasi Esports Rusia, mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan seri turnamen esports berjudul Dota 2 Champions League. Seri turnamen tersebut akan terdiri dari lima turnamen dengan total hadiah sebesar US$250 ribu. Event pertama dari Dota 2 Champions League akan diadakan pada 19 Juli sampai 8 Agustus 2021. Dota 2 Champions League akan disiarkan dalam bahasa Rusia dan Inggris. Siaran berbahasa Rusia akan ditangani oleh RuHub Studio, perusahaan pembuat konten milik ESforce Holding. Sementara siaran berbahasa Inggris akan menjadi tanggung jawab dari The EsportsBible. Untuk mengadakan Dota 2 Champions League, Epic Esports Events juga bekerja sama dengan platform data GRID, menurut laporan Esports Insider.

Organisasi Esports Singapura, RSG, Bakal Ekspansi ke Filipina

RSG, organisasi esports asal Singapura, mengungkap bahwa mereka akan melakukan ekspansi ke Filipina. Sejauh ini, RSG punya delapan tim yang berlaga di delapan game yang berbeda, yaitu Mobile Legends: Bang Bang, PUBG Mobile, League of Legends: Wild Rift, Call of Duty Mobile, WarCraft III Reforged, Street Fighter V, Dragon Ball FighterZ, dan eRacing.

Saat ini, belum diketahui game apa yang akan dimainkan oleh tim RSG di Filipina. Namun, menurut laporan Yahoo News, ada dugaan bahwa RSG akan mencari tim Mobile Legends untuk bertanding di Mobile Legends Professional League Philippines (MPL PH). Jika rumor itu benar, maka RSG menjadi organisasi esports non-Filipina kedua yang mengikuti MPL PH. Sebelum ini, EVOS Esports mengungkap bahwa mereka akan bekerja sama dengan Nexplay Esports untuk kembali berlaga di MPL PH.

RSG dari Singapura bakal melakukan ekspansi ke Filipina.

BLAST Premier Perpanjang Kontrak dengan DouYu

BLAST Premier, yang dikenal dengan seri turnamen Counter-Strike: Global Offensive mereka, mengumumkan bahwa mereka telah memperbarui kontrak dengan platform streaming game Tiongkok, DouYu. Dengan itu, DouYu akan  tetap memegang hak eksklusif untuk menyiarkan siaran BLAST Premier 2021. Selain itu, DouYu juga mendapatkan kesempatan untuk mengadakan BLAST Premier Fall Qualifier, event BLAST pertama di Tiongkok.

“Dengan bangga, kami mengumumkan bahwa kami telah memperpanjang kontrak kami dengan DouYu. Hal ini sejalan dengan strategi kami untuk bekerja sama dengan sejumlah broadcaster terbesar di dunia,” kata Alexander Lewin, VP of Distribution and Programming, BLAST, seperti dikutip dari Esports Insider. “Keahlian dan jangkauan DouYu yang luas akan memberikan fans CS:GO di Tiongkok konten turnamen esports terbaik.”

ESL Gaming Gandeng Coinbase sebagai Rekan Bursa Crypto

Penyelenggara turnamen esports, ESL Gaming, mengumumkan bahwa mereka telah menjalin kerja sama dengan platform cryptocurrency, Coinbase. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai kerja sama tersebut, menurut laporan The Esports Observer. Dengan ini, Coinbase menjadi rekan bursa crypto resmi untuk beberapa event ESL pada 2021 dan 2022, termasuk ESL Pro Tour untuk Counter-Strike: Global Offensive, StarCraft II, dan Warcraft III.

ESL Gaming jadikan Coinbase sebagai rekan.

Event pertama yang didukung oleh Coinbase adalah Intel Extreme Masters 2021, yang diadakan pada 6-18 Juli 2021. Sebagai bagian dari kontrak kerja sama ini, ESL dan Coinbase juga berkolaborasi untuk membuat siaran, konten media sosial, media digital, dan lain sebagainya. ESL Gaming bukan pelaku esports pertama yang menjalin kerja sama dengan bursa crypto. Sebelum ini, organisasi esports Team SoloMid juga menjalin kerja sama dengan bursa crypto, Future Exchange.

APC Sponsori Tim Esport Brasil

Setelah mensponsori World Electronic Sports Games (WESG) di Amerika Latin, APC — perusahaan peralatan listrik milik Schneider Electric — mengumumkan bahwa mereka akan mensponsori tiga tim di bawah W7M Gaming, organisasi esports asal Brasil. Ketiga tim yang dipilih oleh APC adalah tim Counter-Strike: Global Offensive perempuan, tim Free Fire, dan tim Rainbow Six Siege. Dengan ini, tim-tim W7M Gaming akan mempromosikan produk dari APC. Selain itu, APC juga akan menyediakan UPS untuk W7M Gaming.

“Kami memerhatikan antusiasme dari warga Brasil akan esports,” kata Kenia Paim, Sales Director, Schneider Electric pada The Esports Observer. “Ada beberapa tim Brasil yang bertanding di berbagai game berbeda di tingkat global. Dan mereka mendapatkan dukungan dari banyak fans mereka. Kami ingin menjadi bagian dari itu dan membantu para tim esports untuk menghindari kekalahan dari daya listrik yang tak memadai.”

Inilah 18 Tim Peserta The International 10 yang Akan Berlaga

Turnamen The International 10 telah menyelesaikan babak kualifikasinya. 6 tim berhasil mengamankan 6 slot terakhir dari babak kualifikasi. Tim OG berhasil merebut slot terakhir setelah memenangkan babak kualifikasi wilayah Eropa Barat. Juara dunia TI 2 kali tersebut nantinya akan mempertahankan gelarnya melawan 17 tim lainnya di The International 10.

Kedelapan belas tim tersebut adalah Evil Geniuses, PSG.LGD, Virtus.pro, Quincy Crew, Invictus Gaming, T1, Vici Gaming, Team Secret, Team Aster, Alliance, beastcoast, Thunder Predator, Undying, SG e-sports, OG, Team Spirit, Elephant, dan Fnatic.

Sumber Gambar: Wykrhm Reddy

Peserta turnamen The International 10 ini dapat dibilang merata. Dota Pro Circuit poin yang digunakan oleh Valve untuk menentukan tim undangan menuju TI 10 sangat tepat. Hal ini membuat tim-tim Dota 2 dari berbagai regional mempunyai kesempatan yang sama untuk tampil.

Sebelum The International 10 digelar, Valve mengadakan beberapa turnamen untuk mendapatkan DPC poin. Pada musim ini terdapat 2 turnamen regional dan 2 turnamen major yang digelar oleh Valve. 12 tim dengan perolehan DPC poin tertinggi mendapatkan undangan langsung menuju The International 10.

Sumber Gambar: Valve

Beberapa tim kuat yang berhasil lolos ke ajang tahunan terbesar Dota 2 ini antara lain Evil Geniuses, PSG.LGD, T1, Team Secret, hingga juara bertahan OG. Mereka dijagokan untuk memenangkan trophy aegis of immortal tahun ini. Meskipun begitu, tim-tik kuda hitam macam beastcoast, Team Aster, dan Fnatic juga tidak boleh diremehkan.

Sayangnya, ada beberapa tim Dota 2 kuat yang tidak lolos ke dalam turnamen The International 10. Tim Liquid dan Team Nigma dari Eropa Barat, NAVI dari Eropa Timur, EHOME dari Tiongkok, serta TNC Predator dari Asia Tenggara tidak mampu lolos dari babak kuaifikasi. Buruknya performa mereka dalam mengikuti turnamen minor maupun major tahun ini merupakan salah satu penyebab gagal lolosnya tim-tim tersebut.

The International 10 sendiri akan digelar pada 7 hingga 17 Oktober 2021 mendatang. Meskipun sempat direncanakan batal digelar di Swedia, akhirnya Valve memutuskan untuk menggelar TI 10 di Bucharest, Romania. Turnamen ini akan memperebutkan total hadiah sebesar US$40.018.195 atau sekitar Rp580 miliar.

Jumlah Penonton WePlay AniMajor Pecahkan Rekor Baru

WePlay Esports sukses menjadikan turnamen AniMajor sebagai kompetisi Dota 2 non-The International yang paling banyak ditonton. Turnamen WePlay AniMajor merupakan kompetisi terakhir dari Dota Pro Circuit 2020-21. Sejak awal, WePlay memang sudah memasang sejumlah target. Salah satunya, mereka ingin mengalahkan Kiev Major 2017 dalam hal jumlah penonton terbanyak. Berikut data audiens dari turnamen WePlay AniMajor berdasarkan Esports Charts.

Tim Asia Mendominasi Juara Empat Besar

Turnamen WePlay AniMajor diadakan pada 2-13 Juni 2021 di Kiev, Ukraina. Secara total, ada 18 tim Dota 2 dari seluruh dunia yang berlaga di turnamen tersebut. Di kompetisi itu, tim-tim Asia mendominasi. Buktinya, tiga dari empat tim yang juara berasal dari Asia. Gelar juara dimenangkan oleh PSG.LGD, yang berasal Tiongkok. PSG.LGD berhasil menjadi juara setelah menang dari tim asal Amerrika Utara, Evil Geniuses, di babak final. Juara ketiga dimenangkan oleh T1, yang mewakili Asia Tenggara dan posisi keempat diduduki oleh Vici Gaming, yang juga merupakan tim asal Tiongkok.

Sebagai juara AniMajor, PSG.LGD mendapatkan US$200 ribu dan 500 DPC poin.  Perjalanan PSG.LGD untuk menjadi juara AniMajor berjalan dengan mulus. Di group stage, mereka berhasil menduduk posisi nomor satu setelah mendapatkan 4 kemenangan dan 3 seri. Dalam fase playoff,  PSG.LGD masuk dalam upper bracket. Mereka dapat mempertahankan posisi mereka di upper bracket dengan mengalahkan Alliance, Nigma, dan T1. Sementara itu, Evil Geniuses memulai fase playoff di lower bracket. Mereka harus bertanding melawan NoPing e-sports, TNC Predator, Team Nigma, dan Vici Gaming sebelum mereka bertemu dengan T1 di babak final lower bracket. Setelah menang 2-1 dari T1, mereka melaju ke babak final untuk melawan PSG.LGD. Di babak final, PSG.LGD berhasil menang 3-0 dari EG.

Informasi penonton dari turnamen WePlay AniMajor. | Sumber: Esports Charts

Pertandingan antara PSG.LGD dan EG bukan pertandingan yang paling banyak ditonton. Pada puncaknya, babak final dari turnamen AniMajor tersebut hanya ditonton oleh 445,8 ribu orang. Gelar babak terpopuler justru jatuh pada pertandingan antara EG dengan T1 di semifina, yang mendapatkan peak viewers sebanyak 645,1 ribu orang. Pertandingan terpopuler kedua adalah pertandingan antara EG dan TNC Predator di babak playoff. Pertandingan tersebut memiliki peak viewers sebanyak 581,4 ribu orang.

Menariknya, performa tim tidak memengaruhi jumlah penonton. Buktinya, Virtus.pro menjadi tim dengan jumlah penonton rata-rata paling banyak, sebanyak 317,7 orang. Padahal, tim asal CIS (Commonwealth of Independent States) tersebut tidak pernah memenangkan satu pertandingan pun. Sementara tim terpopuler kedua adalah Alliance, yang punya average viewers sebanyak 309,6 ribu orang. Tim itu hanya pernah menang satu kali, yaitu ketika mereka bertemu dengan Team Spirit di lower bracket pada babak playoff. T1 menjadi tim terpopuler ke-3 dengan jumlah penonton rata rata sebanyak 294,2 ribu orang, dan EG di posisi ke-4 dengan jumlah penonton rata-rata 269,8 ribu orang.

Tim-tim yang populer berdasarkan average viewers. | Sumber: Esports Charts

AniMajor Pecahkan Rekor Total Hours Watched

WePlay Esports adalah penyelenggara turnamen esports asal Ukraina. Selama ini, mereka dikenal dengan siaran mereka yang unik. Dalam turnamen AniMajor, mereka memilih tema utama berupa anime. Karena itu, WePlay menghias studio untuk siaran bahasa Inggris dengan segala sesuatu berbau anime dan Jepang. Namun, siaran berbahasa Rusia dari turnamen WePlay AniMajor punya tema yang berbeda. Pasalnya, siaran dalam bahasa Rusia tidak ditangani oleh WePlay, tapi oleh Maincast.

Ketika mengadakan AniMajor, WePlay punya ambisi untuk menjadi turnamen tersebut sebagai turnamen Major dengan peak viewers terbanyak. Untuk itu, AniMajor harus mengalahkan turnamen Kiev Major 2017, yang memiliki peak viewers sebanyak 842 ribu orang. Demi merealisasikan ambisinya, WePlay memberikan hadiah pada para penonton setiap mereka berhasil mencapai milestone tertentu. Hadiah yang WePlay berikan beragam, mulai dari router gaming, kursi gaming, langganan Dota 2 Plus selama setahun, sampai tiket untuk menonton The International secara offline.

Durasi siaran turnamen WePlay AniMajor mencapai 137 jam. Sementara total hours watched dari turnamen tersebut mencapai 37 juta jam dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 272,8 ribu orang. Pada puncaknya, AniMajor ditonton oleh 645 ribu orang. Dengan begitu, AniMajor sukses menjadi turnamen Major Dota 2 dengan jumlah hours watched terbanyak. Sayangnya, dari segi jumlah peak viewers, AniMajor masih kalah dari Kiev Major 2017. Meskipun begitu, AniMajor tetap merupakan turnamen Major Dota 2 dengan jumlah peak viewers terbanyak kedua, mengalahkan One Esports Singapore Major.

WePlay bertanggung jawab atas siaran AniMajor dalam bahasa Inggris dan Ukraina. Sementara Maincast bertanggung jawab untuk membuat siaran dalam bahasa Rusia. Namun, WePlay juga mengizinkan para streamers untuk menyiarkan AniMajor di channel mereka masing-masing. Dengan begitu, para penonton bisa menonton AniMajor bersama dengan streamer favorit mereka. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa penonton AniMajor sangat beragam. Sekitar 50% dari total hours watched AniMajor berasal dari penonton berbahasa Inggris dan 31% lainnya berasal dari audiens berbahasa Rusia. Fans berbahasa Spanyol memberikan kontribusi terbesar ketiga dalam hal hours watched, diikuti oleh fans berbahasa Filipina dan Thailand.

Pada siaran berbahasa Inggris, community streamers hanya memberikan kontribusi sebesar 5% dari total hours watched. Namun, kontribusi community streamers jauh lebih besar pada siaran berbahasa Rusia, mencapai 20% dari total hours watched. Hal ini menunjukkan, audiens berbahasa Inggris lebih suka untuk menonton siaran dari penyelenggara resmi.

Dari semua community casters yang menyiarkan turnamen WePlay AniMajor, Alexander “Nix” Levin merupakan caster yang paling populer, dengan satu juta hours watched. Caster terpopuler kedua berasal dari kawasan CIS, yaitu Yaroslav “NS” Kuznetsov, yang mendapatkan 537 ribu hours watched.

Niko Partners: The Growing Esports Viewership in Southeast Asia

The gaming industry in the Greater Southeast Asia region — including Southeast Asia and Taiwan — is estimated to be worth$8.3 billion USD by 2023. One of the primary driving factors behind the growth of the gaming industry at GSEA is esports. This is not a surprise considering that most gamers in Asia are also esports enthusiasts. According to data from Niko Partners, around 95% of PC gamers and 90% of mobile players in Asia are, to a certain extent, active or interested in the esports world. In a previous article, we already discussed the state of the gaming industry at GSEA in 2020. This time, we will dive deeper into the esports world in Asia, especially SEA.

The Esports Audience in Southeast Asia

According to Niko Partners’ data, the number of esports viewers in East Asia and Southeast Asia reaches 510 million people. Furthermore, around 350 million of these esports fans came from China, and the remaining 160 million are from Southeast Asia, Japan, and South Korea.

“There are approximately 100 million esports viewers throughout Southeast Asia. The number of viewers and players in each specific country, more or less, is directly proportional to the population size and internet quality in the country,” said Darang S. Candra, Director of Asia’s Gaming Market Research Company, Niko Partners. “In SEA, Indonesia has the largest number of viewers and esports players, followed by the Philippines, Vietnam, Thailand, Malaysia, and Singapore.” If you want more details regarding the statistics of the esports audience in SEA, you can refer to Niko Partner’s premium report.

The population size and internet speeds in Southeast Asian Countries.

The five countries in Southeast Asia with the largest population are Indonesia, the Philippines, Vietnam, Thailand, and Myanmar. In terms of internet speed, Singapore comes on top not only in the SEA region but also throughout the world. According to data from Speedtest, the average speed of a fixed broadband network in Singapore reaches 245.5 Mbps. As you can see in the table above, although Indonesia has the largest population, the country’s internet quality is relatively subpar when compared to the other countries in Southeast Asia.

The Philippines, by far, is the country in SEA that has racked up the most top-tier esports achievements. For instance, the Philippines managed to bring home the most medals (3 gold, 1 silver, 1 bronze medal) from the esports section at the 2019 SEA Games. As a comparison, Indonesia’s esports team only managed to win two silver medals.

The Philippines won three gold medals in three different games: Dota 2, StarCraft II, and Mobile Legends: Bang Bang. Last January, Bren Esports, a Filipino team, also won the M2 World Championship. The StarCraft II player who won the gold medal for the Philippines was Caviar “EnDerr” Acampado, a pro StarCraft II player since 2011. EnDerr is still active in the StarCraft II esports scene until this very day. In 2021, he has even won two minor tournaments called PSISTORM StarCraft League – Season 1 and Season 2. Last 2020, he also won a major Starcraft II tournament, DH SC2 Masters 2020 Winter: Oceania / Rest of Asia.

The Philippines also houses many talented Dota 2 players and teams. In addition to successfully bringing home a gold medal at the 2019 SEA Games, the Philippines also has a formidable Dota 2 team called TNC Predator. Not long ago, TNC won the Asia Pacific Predator League 2020/21 – APAC. In 2020, they also placed first in both the BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia and ESL One Thailand 2020: Asia. Furthermore, they also won the MDL Chengdu Major and ESL One Hamburg in 2019. TNC is also one of the few SEA teams that consistently made it into The International, qualifying for four consecutive years from 2016 to 2019.

TNC Predator is regarded by many to be the best Dota 2 team in SEA. | Source: IGN

Another member of the Philippines’ esports arsenal is Alexandre “AK” Laverez. He is a professional Filipino Tekken player who brought home the silver medal at the 2019 SEA Games. AK is incredibly well-known in the global Tekken esports scene since 2013. At that time, he managed to place third in the Tekken Tag Tournament 2 Global Championship despite being only 13 years old. In addition, he also won the runner-up position at the WEGL Super Fight Invitational and EVO Japan 2019.

However, Indonesian esports teams also do have their own set of accomplishments. When compared to most esports organizations in other Southeast Asian countries, the Indonesian esports team is incredibly popular. In fact, the three most popular esports teams in Southeast Asia (EVOS Esports, Aura Esports, and RRQ) are all based in Indonesia.

Esports Tournament Ecosystem in Southeast Asia

The number of esports players and viewers in a region can only grow if its ecosystem is healthy and thriving. Fortunately, the esports industry in Southeast Asia has a lot of potential. Lisa Cosmas Hanson, President of Niko Partners, even said that it is incredibly likely that SEA will become a global esports center in the future. To test this prediction, we can take a look at the number of esports tournaments held in the region.

“In 2020, there were over 350 major tournaments held in the Southeast Asian region. This figure does not even include amateur or small-scale tournaments,” said Darang.

Phoenix Force from Thailand won FFWS 2021. | Source: The Strait Times

The esports tournament prize pools in SEA are also quite large. Free Fire World Series (FFWS) 2021 is, by far, the esports tournament with the largest total prize pool in the region, reaching $2 million USD. Furthermore, this tournament broke the record for the largest viewing numbers in all of esports. During its peak, FFWS 2021 managed to accumulate viewership numbers of 5.4 million people. In comparison, the 2019 League of Legends World Championship — the previous title holder of the largest audience in an esports tournament — only had a peak of 3.9 million viewers.

Besides FFWS 2021, another esports tournament that offers a massive prize pool is the ONE Esports Singapore Major, which has a hefty $1 million USD prize pool. In 2018, another Dota 2 tournament held in SEA, the Dota 2 Kuala Lumpur Major, also had a $1 million USD prize pool.

Currently, many esports leagues in Southeast Asia implement the franchise model, which is predicted to be the trend in the future. An example of these leagues is Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID). There is also a rumor that MPL Philippines will be adopting the franchise model in Season 8. The Free Fire Master League has also used a league system similar to the franchise system. Each team is required to pay a certain amount of money if they wish to participate in the FFML. Esports organizations also have the choice to include more than one team to participate in the league. This contract between esports teams and the tournament organizers usually only lasts for the duration of one season.

Featured Image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo